Telinga
Suaraku lebih mewah dari lanskap di wajah bersisik.
Maka tutup matamu
karna saat mata terpejam, para telinga terbangun.
Jika mampu manusia merajai indera lainnya, maka
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
13/02/21
Puisi-Puisi W. Herlya Winna
Berlayar Menuju Tanahmu
Mungkin musim masih enggan mengantar kita
kembali seperti Februari tahun lalu.
Ada perjalanan yang terus kenang
terekam di memori bayang mata.
Mungkin musim masih enggan mengantar kita
kembali seperti Februari tahun lalu.
Ada perjalanan yang terus kenang
terekam di memori bayang mata.
21/11/20
Puisi-Puisi Mario F. Lawi
Kompas, 27 Okt 2013
Rosaria
/1/
Kesementaraanku menghidu lapang nahu yang bergetar setelah tahu telah lama puisi tak lagi sakti di hadiratmu. Engkau mengecup tanganku seperti hati Ishak yang awas memberkati Yakub ketika nazar tak lagi cukup melambungkan Esau ke langit. Telapak tangan kananmu menimbang seberapa pantas airmataku jatuh di hadapan altarmu.
Rosaria
/1/
Kesementaraanku menghidu lapang nahu yang bergetar setelah tahu telah lama puisi tak lagi sakti di hadiratmu. Engkau mengecup tanganku seperti hati Ishak yang awas memberkati Yakub ketika nazar tak lagi cukup melambungkan Esau ke langit. Telapak tangan kananmu menimbang seberapa pantas airmataku jatuh di hadapan altarmu.
01/11/20
Puisi-Puisi Dedy Tri Riyadi
Kompas, 14 Juli 2013
Dan Waktu Seperti Tertidur
Waktu seperti kasir yang sibuk menghitung
perniagaan kita sehari-hari rugi dan untung
Kita bandar besar, kapal dagang dan kapal barakan
berlabuh di dermaganya. Di gerbang, pengemis dan
pelacur menunggu keajaiban datang.
Dan Waktu Seperti Tertidur
Waktu seperti kasir yang sibuk menghitung
perniagaan kita sehari-hari rugi dan untung
Kita bandar besar, kapal dagang dan kapal barakan
berlabuh di dermaganya. Di gerbang, pengemis dan
pelacur menunggu keajaiban datang.
17/07/20
Empat Puisi Kedung Darma Romansha
Jawa Pos, 4 Oktober 2015
Aku Mencium Bau Bangkai dari Tubuhmu
aku mencium bau bangkai kenangan dari tubuhmu
orang-orang memasuki lubang hitam matamu
dan kau mencari di mana letak gelap.
Aku Mencium Bau Bangkai dari Tubuhmu
aku mencium bau bangkai kenangan dari tubuhmu
orang-orang memasuki lubang hitam matamu
dan kau mencari di mana letak gelap.
14/01/20
Puisi-Puisi Ahmad Yulden Erwin
Kompas, 17 Des 2016
Epitaf Ikarus
Selengkung jalan di tepi detak jam
dinding, jeda yang menjelma lubang
di samping wajah lesi itu, keheningan
jejak karbon menembus tirai angkasa;
Epitaf Ikarus
Selengkung jalan di tepi detak jam
dinding, jeda yang menjelma lubang
di samping wajah lesi itu, keheningan
jejak karbon menembus tirai angkasa;
21/09/19
Puisi-Puisi Dwi Pranoto
Pengakuan Lain Sritanjung
Di tepian sungai itu Sritanjung menantang Sidopekso untuk
menenggelamkan dirinya ke dalam maut.
: Bebaskan tubuhku dari pikiranmu, wahai. Biarkan darah bercerita
padamu tentang waktu-waktu yang menggelapi matamu. Biarkan suara-
suara yang mengalir dalam pembuluh dan mengerogotkan karat dalam
pikiran keluar dari kepalamu agar kau dengan sendirimu bertemu
binatang-binatang mesummu.
Di tepian sungai itu Sritanjung menantang Sidopekso untuk
menenggelamkan dirinya ke dalam maut.
: Bebaskan tubuhku dari pikiranmu, wahai. Biarkan darah bercerita
padamu tentang waktu-waktu yang menggelapi matamu. Biarkan suara-
suara yang mengalir dalam pembuluh dan mengerogotkan karat dalam
pikiran keluar dari kepalamu agar kau dengan sendirimu bertemu
binatang-binatang mesummu.
04/01/18
Puisi-Puisi Bambang Kempling
KALAU BOLEH AKU BERKATA
Inilah penderitaan yang mendera
sejak udara pagi tak bisa menikam keluku.
sejak udara pagi tak bisa menikam keluku.
:rekah jalan berkerikil semakin memperpenat hasrat.
23/10/11
Puisi-Puisi Dody Kristianto
http://sastra-indonesia.com/
Berbicara Tentang Kotamu yang Terlelap
berbicara tentang kotamu yang terlelap aku bangkitkan mayat mayat yang berbaris di lenganmu kesunyian di alismu perlahan bangkit dengan sungai yang lahir melalui wujud menara tapi bulan tumbuuh di rambutmu dan perlahan kawanan pemabuk menyentuhku mencekikku lewat keabadian goa yang terkutuk ribuan cahaya segera aku mati tanpa jasad dan segala kenanganku membentuk planet hijau di otakmu tapi begitulah, imajiku mengagungkan pelacur dan kaum surealis yang beku memaku birahiku persis kutunggui kupu kupu retak di alismu rupanya kesedihanku menggugurkan dedaun dan di ketinggian bulan retak, aku mencungkil matamu dan sayap laba laba yang kudengungkan berubah seseram jenazah seperti mimpiku yang lekas berlalu, begitu pula elang elang yang berdzikir di mulutmu aku kekalkan hari seperti kelak mayatku membiru memuja gairahmu dengan mulutku yang busuk
2007
Kuarungkan 1000 Surealita
jalan jalan angkasa telah mengaburkan
1000 langkahku. seperti warna sajak dengan kehitaman pekat
kesunyian yang kuterbangkan menjelma ikan dengan insang terbuka
tapi kota kesepianku sudah kadung terluka dan langkahku lebih terlunta dari para pemabuk
aku mendekam
dengan sayapku yang tersampir di bulan
serupa mayat pelacur dengan wajah ngeri
peri peri kecil di hatiku
menjadi ketakutan
katakanlah tentang cinta yang lebih sakit
ketimbang kemenawanan kota
dengan sejuta cahayanya
aku gagal menerbangkan mimpi surealita
setelah jauh kau tinggal dalam darahku
jutaan serigala menggasang
dan ekor ku mengayun alun berganti rupa
dengan laba laba yang kau ceritakan
pada saat kau hidup kan aroma parade hitam
sajak sajakku terluka dan aku
mengawang awang
seperti kegemaranmu menyalib burung
di musim hujan
2007
Berbicara Tentang Kotamu yang Terlelap
berbicara tentang kotamu yang terlelap aku bangkitkan mayat mayat yang berbaris di lenganmu kesunyian di alismu perlahan bangkit dengan sungai yang lahir melalui wujud menara tapi bulan tumbuuh di rambutmu dan perlahan kawanan pemabuk menyentuhku mencekikku lewat keabadian goa yang terkutuk ribuan cahaya segera aku mati tanpa jasad dan segala kenanganku membentuk planet hijau di otakmu tapi begitulah, imajiku mengagungkan pelacur dan kaum surealis yang beku memaku birahiku persis kutunggui kupu kupu retak di alismu rupanya kesedihanku menggugurkan dedaun dan di ketinggian bulan retak, aku mencungkil matamu dan sayap laba laba yang kudengungkan berubah seseram jenazah seperti mimpiku yang lekas berlalu, begitu pula elang elang yang berdzikir di mulutmu aku kekalkan hari seperti kelak mayatku membiru memuja gairahmu dengan mulutku yang busuk
2007
Kuarungkan 1000 Surealita
jalan jalan angkasa telah mengaburkan
1000 langkahku. seperti warna sajak dengan kehitaman pekat
kesunyian yang kuterbangkan menjelma ikan dengan insang terbuka
tapi kota kesepianku sudah kadung terluka dan langkahku lebih terlunta dari para pemabuk
aku mendekam
dengan sayapku yang tersampir di bulan
serupa mayat pelacur dengan wajah ngeri
peri peri kecil di hatiku
menjadi ketakutan
katakanlah tentang cinta yang lebih sakit
ketimbang kemenawanan kota
dengan sejuta cahayanya
aku gagal menerbangkan mimpi surealita
setelah jauh kau tinggal dalam darahku
jutaan serigala menggasang
dan ekor ku mengayun alun berganti rupa
dengan laba laba yang kau ceritakan
pada saat kau hidup kan aroma parade hitam
sajak sajakku terluka dan aku
mengawang awang
seperti kegemaranmu menyalib burung
di musim hujan
2007
Puisi-Puisi Indiar Manggara
PENARI DI ATAS KATA-KATA
(kepada dewi)
kali ini aku membisu
terbungkam jarum jam dinding
yang mengetuk setiap detik
seperti kata-kata berlarian meninggalkanku
menari di atas kata-kata.
“wahai penariku, datang dengan amatlah memesona.”
waktu yang semakin menua tersenyum
menidurkanku dalam buai indah tariannya
keringat yang membasahi imajinasi
menjamahi tiap lekuk tubuhnya
dan kubasahi dengan hitam yang elok
tertoreh dalam tariannya
bukan itu. bukan ini. entah apa?
kulukiskan saja seperti itu
pantaslah
teruslah menari di atas kata-kataku.
agar mereka pula terpaku pada detik jam dinding
yang semakin saja menua di tempatnya
15 januari '05
PUSPITA
Tertatih-tatih berjalan di atas langkah peluh
Pencerahan diam mati sepi entah menanti
Kembang sari terang redup-redup terang
Harum menakik dalam tidur pencarianku
Dingin abu-abu tergaris di bawah senyuman
Membaringkan aku di fatamorgana ruang
Di sana-di sini masih saja
Aku dan pencarianku
Sajak bulan telah rapuh terlukis cermin
Menjelma selara-selara tua retak
Tapi nafas itu masih utuh
Berhembus berdetak mempan merajut nyawa
Masih saja
Renyai harum terselip sepi
Terang redup-redup terang
Tetap menyala
9 oktober ‘05
DIA
dia
yang bersembunyi di kulit lembah dadanya
membawa desau ngilu pada jari-jari malam
selalu kulukis wajah buram itu
dan kubalutkan kerudung hitam
sehitam mantra tua di puncak kastil
sebagai garis namanya
dia
yang bersembunyi di balik pualam tubuhya
seperti lekukan puisi kelam
mengalir seperti sungai keringat di lehermu
membagikan potongan-potongan mayat dalam
sebuah kado berpita
dia
yang berada di balik tawa genitnya
mengirimku kekosongan
senyap
sepi
sunyi
bertabur mawar merah terjilat temaram lilin
aku membayang pada temaramnya
dia
yang selalu kulukis buram pada wajah itu
menoreh siang
membekas malam
tersenyum pada cercahan cermin retak
menari dalam mimpiku
menyelimuti dari renyai gerimis
malam itu dan nanti
20-23 oktober ‘05
Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/
(kepada dewi)
kali ini aku membisu
terbungkam jarum jam dinding
yang mengetuk setiap detik
seperti kata-kata berlarian meninggalkanku
menari di atas kata-kata.
“wahai penariku, datang dengan amatlah memesona.”
waktu yang semakin menua tersenyum
menidurkanku dalam buai indah tariannya
keringat yang membasahi imajinasi
menjamahi tiap lekuk tubuhnya
dan kubasahi dengan hitam yang elok
tertoreh dalam tariannya
bukan itu. bukan ini. entah apa?
kulukiskan saja seperti itu
pantaslah
teruslah menari di atas kata-kataku.
agar mereka pula terpaku pada detik jam dinding
yang semakin saja menua di tempatnya
15 januari '05
PUSPITA
Tertatih-tatih berjalan di atas langkah peluh
Pencerahan diam mati sepi entah menanti
Kembang sari terang redup-redup terang
Harum menakik dalam tidur pencarianku
Dingin abu-abu tergaris di bawah senyuman
Membaringkan aku di fatamorgana ruang
Di sana-di sini masih saja
Aku dan pencarianku
Sajak bulan telah rapuh terlukis cermin
Menjelma selara-selara tua retak
Tapi nafas itu masih utuh
Berhembus berdetak mempan merajut nyawa
Masih saja
Renyai harum terselip sepi
Terang redup-redup terang
Tetap menyala
9 oktober ‘05
DIA
dia
yang bersembunyi di kulit lembah dadanya
membawa desau ngilu pada jari-jari malam
selalu kulukis wajah buram itu
dan kubalutkan kerudung hitam
sehitam mantra tua di puncak kastil
sebagai garis namanya
dia
yang bersembunyi di balik pualam tubuhya
seperti lekukan puisi kelam
mengalir seperti sungai keringat di lehermu
membagikan potongan-potongan mayat dalam
sebuah kado berpita
dia
yang berada di balik tawa genitnya
mengirimku kekosongan
senyap
sepi
sunyi
bertabur mawar merah terjilat temaram lilin
aku membayang pada temaramnya
dia
yang selalu kulukis buram pada wajah itu
menoreh siang
membekas malam
tersenyum pada cercahan cermin retak
menari dalam mimpiku
menyelimuti dari renyai gerimis
malam itu dan nanti
20-23 oktober ‘05
Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/
16/09/11
Puisi-Puisi Sapardi Djoko Damono
Kompas, 11 Jan 2009
Sonet 5
Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;
kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup
poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.
Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?
Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam
yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin
yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.
Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.
Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu
ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.
Sonet 6
Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas
memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.
Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.
Sonet 7
Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana
siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?
Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela
dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan
membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris
tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu
setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.
Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?
Ada jarak yang harus diremas sampai kerut
dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru
kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau:
yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,
yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas
kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.
Sonet 8
Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu
kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana?
Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu,
agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata
dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu,
seperti yang sudah dijanjikan sejak purba
ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru
dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya
rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu?
Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat
antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu
dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat.
Mengapa terasa harus ada yang menunggu?
Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.
Sonet 9
Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar
sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi,
ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar
ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri.
Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan
beranda yang pernah membiarkan kita mengitari
pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan
bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali.
Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya
di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari
gambar sebuah taman yang memancarkan aroma
secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi
ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu
masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!
Sonet 10
Ada selembar kertas yang belum bertulisan.
Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula,
belum penuh dengan coretan?
Ada yang ingin menulis aksara demi aksara
dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru
di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan,
(Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?)
meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan.
Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai
bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca
bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai
kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya.
Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita
ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?
Sonet 11
Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya
sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun,
kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga
ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun.
Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini.
Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan
berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi.
Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan
kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan
berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar
melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman
yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!
Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,
residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.
Sonet 12
Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,
tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat
aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;
tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –
dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi
dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat
harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –
tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat
pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari
jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng
jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi
merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?
Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?
Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?
Sonet 13
Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu;
ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas:
sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu.
Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.
Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah
yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan
sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah
sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.
Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu
tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas.
Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu,
meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.
Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan
tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan?
___________________________
Sapardi Djoko Damono menulis puisi, cerita, dan esai. Buku puisinya yang akan segera terbit adalah Kolam di Pekarangan dan Syair Inul. ”Sonet 1” hingga ”Sonet 4” gubahannya pernah dimuat di lembaran ini.
Sonet 5
Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;
kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup
poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.
Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?
Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam
yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin
yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.
Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.
Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu
ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.
Sonet 6
Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas
memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.
Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.
Sonet 7
Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana
siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?
Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela
dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan
membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris
tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu
setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.
Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?
Ada jarak yang harus diremas sampai kerut
dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru
kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau:
yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,
yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas
kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.
Sonet 8
Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu
kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana?
Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu,
agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata
dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu,
seperti yang sudah dijanjikan sejak purba
ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru
dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya
rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu?
Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat
antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu
dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat.
Mengapa terasa harus ada yang menunggu?
Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.
Sonet 9
Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar
sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi,
ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar
ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri.
Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan
beranda yang pernah membiarkan kita mengitari
pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan
bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali.
Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya
di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari
gambar sebuah taman yang memancarkan aroma
secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi
ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu
masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!
Sonet 10
Ada selembar kertas yang belum bertulisan.
Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula,
belum penuh dengan coretan?
Ada yang ingin menulis aksara demi aksara
dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru
di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan,
(Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?)
meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan.
Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai
bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca
bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai
kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya.
Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita
ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?
Sonet 11
Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya
sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun,
kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga
ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun.
Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini.
Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan
berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi.
Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan
kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan
berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar
melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman
yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!
Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,
residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.
Sonet 12
Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,
tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat
aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;
tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –
dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi
dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat
harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –
tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat
pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari
jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng
jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi
merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?
Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?
Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?
Sonet 13
Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu;
ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas:
sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu.
Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.
Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah
yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan
sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah
sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.
Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu
tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas.
Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu,
meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.
Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan
tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan?
___________________________
Sapardi Djoko Damono menulis puisi, cerita, dan esai. Buku puisinya yang akan segera terbit adalah Kolam di Pekarangan dan Syair Inul. ”Sonet 1” hingga ”Sonet 4” gubahannya pernah dimuat di lembaran ini.
Puisi-Puisi Fikri MS
http://sastra-indonesia.com/
Mau Apa Sebenarnya Ini
Kita disebut-sebut sebagai mahluk mulia
Istimewah daripada yang lain bahkan malaikat sekalipun
Padahal kita tak bersayap untuk terbang,
tapi kok ngotot ingin ke mana-mana
Ingin diundang ke kalangan-kalangan
Ingin dihormati
Dijunjung-junjungkan
Dibeliaukan.
Kita disebut-sebut sempurna
Kok malah mencari celah
Mencelah-celah yang belum tentu bersalah
Mau apa sebenarnya ini?
Dikasih roti kok mintanya daging
Dikasih daging malah dijual buat beli tanah, rumah,
lalu beli mobil lalu beli yang lain-lain.
Daging apa itu?
Kalau bukan daging manusia
darah manusia
keringat manusia, tenaga tetangga sendiri.
Sebenarnya mau apa ini, manusia kok mau segalanya
Apa-apa ingin dipunyai
Apa sudah punya cinta?
24 Januari 2011, warung kopi
Gelagau Itu Pecah Lagi
Kepada Sasmitha
Gelagau itu pecah lagi dihantam angin yang membawa butiran dendam
Pecah berderak berserakan lalu jatuh ke lantai
Berubah menjadi air
Mengalir memasuki lembah-lembah luka
Aku mengerang meremas dada
Sementara engkau biarkan saja itu
Terjadi!
Seorang perempuan dengan sehelai kain menghampiriku
Ia usap keringat di leherku
Ia tiup lembut lukaku
Ia pandangi aku
Aku menatapnya
Pantulan wajahnya jatuh bersama gelombang air mataku
Berulang dan berulang-ulang kali
Hinggga kain itu lembab
Antara hangat dan dingin
Perempuan itu mendamaikanku sementara
Kau telah berpaling
Menggenggam belati
Lalu jatuh lagi sebutir air mata
Ini untukmu Sasmitha.
24 Januari 2011, di atas meja makan
Membuatmu Tersenyum
Mimpiku membentur dinding malam lalu kembali ke dalam sukma
Ia memprotes; kenapa malam terkunci sementara pintunya tak bertali!?
Tiba-tiba bayangan tentangmu menggugatku
Dari depanku, dari belakangku, dan dari atas kananku
Menari-nari, bernyanyi-nyanyi menjerat mataku yang kian berkantung kantuk
Sesaat yang tak terduga jendela malam terbuka sedikit sekali
Lalu lekas sukmaku beranjak tapi tak sampai
Jendela terkatup rapat lagi diikat jeratmu
Kau jinakkan lagi aku bersama nyamuk yang menggigit di tengkukku
Nyamuk yang kebal lotion kebal asap
Sebab pabrik-pabrik kian jalang
Sebab jumlah nyamuk di negeri ini lebih banyak daripada jumlah buruh yang bekerja meramu racun nyamuk.
Sebab bayangan wajahmu lebih hebat menggigitku daripada nyamuk
Sementara dinding malam bertambah tebal
Kian menghimpitku
Dinding malam berubah menjadi kabut
Aku masuk tanpa sadar tak melalaui pintu atau jendelanya
Aku masuk bersama ingatanku pada suatu malam ketika kau bertanya; untuk apa aku mencintaimu.
Aku ingin membuatmu tersenyum, jawabanku pecah bersama kabut dan berubah menjadi mimpi.
24 Januari 2011
———–
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.
Mau Apa Sebenarnya Ini
Kita disebut-sebut sebagai mahluk mulia
Istimewah daripada yang lain bahkan malaikat sekalipun
Padahal kita tak bersayap untuk terbang,
tapi kok ngotot ingin ke mana-mana
Ingin diundang ke kalangan-kalangan
Ingin dihormati
Dijunjung-junjungkan
Dibeliaukan.
Kita disebut-sebut sempurna
Kok malah mencari celah
Mencelah-celah yang belum tentu bersalah
Mau apa sebenarnya ini?
Dikasih roti kok mintanya daging
Dikasih daging malah dijual buat beli tanah, rumah,
lalu beli mobil lalu beli yang lain-lain.
Daging apa itu?
Kalau bukan daging manusia
darah manusia
keringat manusia, tenaga tetangga sendiri.
Sebenarnya mau apa ini, manusia kok mau segalanya
Apa-apa ingin dipunyai
Apa sudah punya cinta?
24 Januari 2011, warung kopi
Gelagau Itu Pecah Lagi
Kepada Sasmitha
Gelagau itu pecah lagi dihantam angin yang membawa butiran dendam
Pecah berderak berserakan lalu jatuh ke lantai
Berubah menjadi air
Mengalir memasuki lembah-lembah luka
Aku mengerang meremas dada
Sementara engkau biarkan saja itu
Terjadi!
Seorang perempuan dengan sehelai kain menghampiriku
Ia usap keringat di leherku
Ia tiup lembut lukaku
Ia pandangi aku
Aku menatapnya
Pantulan wajahnya jatuh bersama gelombang air mataku
Berulang dan berulang-ulang kali
Hinggga kain itu lembab
Antara hangat dan dingin
Perempuan itu mendamaikanku sementara
Kau telah berpaling
Menggenggam belati
Lalu jatuh lagi sebutir air mata
Ini untukmu Sasmitha.
24 Januari 2011, di atas meja makan
Membuatmu Tersenyum
Mimpiku membentur dinding malam lalu kembali ke dalam sukma
Ia memprotes; kenapa malam terkunci sementara pintunya tak bertali!?
Tiba-tiba bayangan tentangmu menggugatku
Dari depanku, dari belakangku, dan dari atas kananku
Menari-nari, bernyanyi-nyanyi menjerat mataku yang kian berkantung kantuk
Sesaat yang tak terduga jendela malam terbuka sedikit sekali
Lalu lekas sukmaku beranjak tapi tak sampai
Jendela terkatup rapat lagi diikat jeratmu
Kau jinakkan lagi aku bersama nyamuk yang menggigit di tengkukku
Nyamuk yang kebal lotion kebal asap
Sebab pabrik-pabrik kian jalang
Sebab jumlah nyamuk di negeri ini lebih banyak daripada jumlah buruh yang bekerja meramu racun nyamuk.
Sebab bayangan wajahmu lebih hebat menggigitku daripada nyamuk
Sementara dinding malam bertambah tebal
Kian menghimpitku
Dinding malam berubah menjadi kabut
Aku masuk tanpa sadar tak melalaui pintu atau jendelanya
Aku masuk bersama ingatanku pada suatu malam ketika kau bertanya; untuk apa aku mencintaimu.
Aku ingin membuatmu tersenyum, jawabanku pecah bersama kabut dan berubah menjadi mimpi.
24 Januari 2011
———–
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.
31/08/11
Puisi-Puisi Gus tf Sakai
Kompas, 3 Oktober 2010
Susi: Merah Padam
Telinga yang terang, antarlah Susi menyaksikan
tubuh tak berbayang. Jarak ini, alangkah mustahil
dicapai dengan mata. Bermilyar tahun cahaya: kau
dibungkus orbit terendah. Semua cakra melingkar
hanya mencecah, melayang di punggung tanah.
Tak cukup kata untuk rasa yang kau indera. Susi
menangis, merintih, tetapi tak sedih. Susi meraung,
memukul-mukul dada, namun tertawa. Apakah kata
untuk rasa semacam riang, namun pilu? Semacam
rindu, tetapi sendu? Susi bergetar, lampus prana.
Cahaya menyentuh apa pun rupa. Getar melepas
apa pun rasa. Jalan ke Sang Sumber, nikmat aduh
tak terkira. ”Susi, ah Susi, siapa terbakar—merah
padam, karena cinta?” Semua menanti, engkau
kembali: membawakan kami kabar gembira*.
Payakumbuh, 2009 * Dari QS 2:119.
Susi: Sengal Perahu
genting tampukmu, gelantung rawan kami meragu.
Gugurmu, Susi, ”Pucat gemerincing dalam seratku.”
anyir usiamu, geronggang musim yang tak kautahu.
Benihmu, Susi, ”Liar mendengking dalam sarafku.”
puting jantanmu, timpangan laku kami menggancu.
Sengalmu, Susi, ”Kerongkong gatal tersedak debu.”
ranum dagingmu, muara dan hulu di bandul waktu.
Kekalmu, Susi, ”Dayunglah dayung perahumu laju.”
Padang, 2009
Susi: Jerat Jantan
kenapa mesti dengan Susimu—untuk melihat
tiap sentimeter kubik dagingku. Biarkan saja dia,
Si Kehendak Bebas itu, beterbangan bagai debu:
liar gemerincing, dalam buluh-buluh daging.
kenapa harus dengan Susimu—untuk berlepas
dari jerat jantan Susiku. Biarkan saja dia, Si Kata
Pemisah, memilah, mencari sendiri dirinya: dari
kehendak bebas, dari kelamin yang dia suka.
kenapa mesti dengan Kata Pemisah, kenapa harus
dari Kehendak Bebas—kau mengikat Susi berlepas.
Lima milyar tahun, kau amuba Susi primata. Jerat
jantanku, DNA itu, kau membeku Susi meluber,
ah, sejak dari Sanskrit: ya Patr ya Pater ya Father.
Payakumbuh, 2009
Susi: Belaka Orbit
Engkau yang tidur dalam mimpi buruk Susi, masih juga
tak menyadari: akankah Kami lelah dengan ciptaan pertama?
Tidak! Tetapi mereka meragukan adanya ciptaan baru*. Yeah,
gunung-gunung menggembung, lempeng-lempeng bergeser.
Planet-planet meraung, sujud tafakur pada Sang Sumber.
Tidurkah kau dalam Susi, tidur purba mimpi buruk kami?
Empat ribu tahunmu, saat dikembalikan planet kesepuluh,
engkau melepuh. Mimpi buruk Susi: tanah-batu mengerang.
Kau pun ditandai dari dahi, dari ubun-ubun yang terang. Tak!
Tak materi, tidak pula anti-materi, yang kemudian diangkat.
Atom bergetar, melesat, panen jiwa-jiwa yang selamat**.
Tidurkah kau dalam kami, tidur purba mimpi buruk Susi?
Susi: Belaka Orbit
Engkau lepaskan diri, dari orbit, bintang quasar tepi galaksi.
Tak ada yang diangkat, katamu, di tempat materi hilang berat.
Mimpi buruk Susi: hanya orbit! Belaka orbit semesta ini. Yeah,
kesulitan itu, persoalan terbesar kami: menyelamatkan orang
yang tak tahu bahaya apa celaka apa yang mereka hadapi.
Payakumbuh, 2009
* Dari QS 50:15.
** Dari Matius 13:39
Gus tf lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965. Kolektor dan pekerja puisi. Buku puisinya yang telah terbit adalah Sangkar Daging (1997), Daging Akar (2005), dan Akar Berpilin(2009).
Susi: Merah Padam
Telinga yang terang, antarlah Susi menyaksikan
tubuh tak berbayang. Jarak ini, alangkah mustahil
dicapai dengan mata. Bermilyar tahun cahaya: kau
dibungkus orbit terendah. Semua cakra melingkar
hanya mencecah, melayang di punggung tanah.
Tak cukup kata untuk rasa yang kau indera. Susi
menangis, merintih, tetapi tak sedih. Susi meraung,
memukul-mukul dada, namun tertawa. Apakah kata
untuk rasa semacam riang, namun pilu? Semacam
rindu, tetapi sendu? Susi bergetar, lampus prana.
Cahaya menyentuh apa pun rupa. Getar melepas
apa pun rasa. Jalan ke Sang Sumber, nikmat aduh
tak terkira. ”Susi, ah Susi, siapa terbakar—merah
padam, karena cinta?” Semua menanti, engkau
kembali: membawakan kami kabar gembira*.
Payakumbuh, 2009 * Dari QS 2:119.
Susi: Sengal Perahu
genting tampukmu, gelantung rawan kami meragu.
Gugurmu, Susi, ”Pucat gemerincing dalam seratku.”
anyir usiamu, geronggang musim yang tak kautahu.
Benihmu, Susi, ”Liar mendengking dalam sarafku.”
puting jantanmu, timpangan laku kami menggancu.
Sengalmu, Susi, ”Kerongkong gatal tersedak debu.”
ranum dagingmu, muara dan hulu di bandul waktu.
Kekalmu, Susi, ”Dayunglah dayung perahumu laju.”
Padang, 2009
Susi: Jerat Jantan
kenapa mesti dengan Susimu—untuk melihat
tiap sentimeter kubik dagingku. Biarkan saja dia,
Si Kehendak Bebas itu, beterbangan bagai debu:
liar gemerincing, dalam buluh-buluh daging.
kenapa harus dengan Susimu—untuk berlepas
dari jerat jantan Susiku. Biarkan saja dia, Si Kata
Pemisah, memilah, mencari sendiri dirinya: dari
kehendak bebas, dari kelamin yang dia suka.
kenapa mesti dengan Kata Pemisah, kenapa harus
dari Kehendak Bebas—kau mengikat Susi berlepas.
Lima milyar tahun, kau amuba Susi primata. Jerat
jantanku, DNA itu, kau membeku Susi meluber,
ah, sejak dari Sanskrit: ya Patr ya Pater ya Father.
Payakumbuh, 2009
Susi: Belaka Orbit
Engkau yang tidur dalam mimpi buruk Susi, masih juga
tak menyadari: akankah Kami lelah dengan ciptaan pertama?
Tidak! Tetapi mereka meragukan adanya ciptaan baru*. Yeah,
gunung-gunung menggembung, lempeng-lempeng bergeser.
Planet-planet meraung, sujud tafakur pada Sang Sumber.
Tidurkah kau dalam Susi, tidur purba mimpi buruk kami?
Empat ribu tahunmu, saat dikembalikan planet kesepuluh,
engkau melepuh. Mimpi buruk Susi: tanah-batu mengerang.
Kau pun ditandai dari dahi, dari ubun-ubun yang terang. Tak!
Tak materi, tidak pula anti-materi, yang kemudian diangkat.
Atom bergetar, melesat, panen jiwa-jiwa yang selamat**.
Tidurkah kau dalam kami, tidur purba mimpi buruk Susi?
Susi: Belaka Orbit
Engkau lepaskan diri, dari orbit, bintang quasar tepi galaksi.
Tak ada yang diangkat, katamu, di tempat materi hilang berat.
Mimpi buruk Susi: hanya orbit! Belaka orbit semesta ini. Yeah,
kesulitan itu, persoalan terbesar kami: menyelamatkan orang
yang tak tahu bahaya apa celaka apa yang mereka hadapi.
Payakumbuh, 2009
* Dari QS 50:15.
** Dari Matius 13:39
Gus tf lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965. Kolektor dan pekerja puisi. Buku puisinya yang telah terbit adalah Sangkar Daging (1997), Daging Akar (2005), dan Akar Berpilin(2009).
12/03/11
Puisi-Puisi Amien Wangsitalaja
http://sastra-indonesia.com/
Panji Selaten
adil raja karena desanya
lalim raja karena desanya
adil desa karena rajanya
lalim desa karena rajanya
karena itu
raja haruslah menurut mufakat
sekaligus tiang mufakat
begitulah asal sememangnya
walaupun pada nantinya
banyak raja mengarang mufakat
sekaligus membuang mufakat
Awang Long
awang long
ditemani laskar melayu
ditemani pasukan dayak
ditemani laskar bugis
menari
di sungai
“nanda senopati
tahukah engkau hikmah negeri?”
pada coklat air kali
perempuan-perempuan rajin mandi
dan desamu berseri-seri
tapi pada coklatnya juga
engkau tahu
kapal musuh lengkap bertentara
“nanda senopati
tahukah engkau hikmah air kali?”
awang long
di sungai
bukan senopati
Etnofotografi
sekerumun etnik
mengasah pisau
menaikkan panji
dan buku sejarah lapuk berdebu
orang tidak membaca
cara musa menjagal pemuda
dan menggiring gembala
(dengan lidah tidak sempurna
ia berkata: ya bani israila)
sekerumun etnik
mengasah pisau
“kata koran, kawan kami
ditikam orang di jalan raya”
sekerumun etnik
menaikkan panji
“seseorang menceramahi kami
seseorang menafkahi kami”
sekerumun etnik
sama sekali
bukan etnik
Aktivis Feminisme & Liberalisme
seorang syeikh diinterogasi
oleh para aktivis liberalisme & feminisme
karena ia dianggap melanggar HAM
karena ia memaksakan cinta
tapi
seorang syeikh takkan menginterogasi
para aktivis liberalisme & feminisme
meski mereka memaksakan HAM
meski mereka melanggar cinta
(kita paham
seorang syeikh tak mampu berbuat apa
sebab para aktivis liberalisme & feminisme
memiliki funding teramat kuatnya)
Panji Selaten
adil raja karena desanya
lalim raja karena desanya
adil desa karena rajanya
lalim desa karena rajanya
karena itu
raja haruslah menurut mufakat
sekaligus tiang mufakat
begitulah asal sememangnya
walaupun pada nantinya
banyak raja mengarang mufakat
sekaligus membuang mufakat
Awang Long
awang long
ditemani laskar melayu
ditemani pasukan dayak
ditemani laskar bugis
menari
di sungai
“nanda senopati
tahukah engkau hikmah negeri?”
pada coklat air kali
perempuan-perempuan rajin mandi
dan desamu berseri-seri
tapi pada coklatnya juga
engkau tahu
kapal musuh lengkap bertentara
“nanda senopati
tahukah engkau hikmah air kali?”
awang long
di sungai
bukan senopati
Etnofotografi
sekerumun etnik
mengasah pisau
menaikkan panji
dan buku sejarah lapuk berdebu
orang tidak membaca
cara musa menjagal pemuda
dan menggiring gembala
(dengan lidah tidak sempurna
ia berkata: ya bani israila)
sekerumun etnik
mengasah pisau
“kata koran, kawan kami
ditikam orang di jalan raya”
sekerumun etnik
menaikkan panji
“seseorang menceramahi kami
seseorang menafkahi kami”
sekerumun etnik
sama sekali
bukan etnik
Aktivis Feminisme & Liberalisme
seorang syeikh diinterogasi
oleh para aktivis liberalisme & feminisme
karena ia dianggap melanggar HAM
karena ia memaksakan cinta
tapi
seorang syeikh takkan menginterogasi
para aktivis liberalisme & feminisme
meski mereka memaksakan HAM
meski mereka melanggar cinta
(kita paham
seorang syeikh tak mampu berbuat apa
sebab para aktivis liberalisme & feminisme
memiliki funding teramat kuatnya)
05/02/11
Puisi-Puisi Taufiq Ismail
http://oase.kompas.com/
INDONESIA KERANJANG SAMPAH NIKOTIN
Indonesia adalah sorga luarbiasa ramah bagi perokok. Kalau klarifikasi sorga ditentukan oleh jumlah langit yang melapisinya. Maka negeri kita bagi maskapai rokok, sorga langit ketujuh klasifikasinya.
Indonesia adalah keranjang besar yang menampung semua sampah nikotin. Keranjang sampah nikotin luar biasa besarnya. Dari pinggir barat ke pinggir timur, jarak yang mesti ditempuh melintasi 3 zona waktu yaitu 8 jam naik pesawat jet, 10 hari kalau naik kapal laut, satu tahun kalau naik kuda Sumba, atau 5 tahun kalau saban hari naik kuda kepang Ponorogo.
Keranjang sampah ini luar biasa besarnya. Bukan saja sampah nikotin, tapi juga dibuangkan ke dalamnya berjenis cairan, serbuk, berbagai aroma dan warna, alkohol, heroin, kokain, sabu-sabu, ekstasi, dan marijuana, berbagai racun dan residu, erotisme dan vcd biru. Sebut saja semua variasi klasifikasi limbah dunia mulut Indonesia menganga menerimanya.
Semua itu, karena gerbang di halaman rumah kita terbuka luas, kita tergoda oleh materialisme dan disuap kapitalisme fikiran sehat kita kaku dan tangan kanan kiri terbelenggu dengan ramah dan sopan kiriman sampah itu diterima.
Di pintu depan bandara, karena urgennya modal mancanegara, karena tak tahan nikmatnya komisi dan upeti, dengan membungkuk-bungkuk kita berkata begini,
“Silahkan masuk semua, silakan. Monggo, monggo mlebet, dipun, sakecakaken. Sog asup sadayana, asup, asup. Ha lai ka talok, bahe banalah angku, bahe banalah.”
Keranjang sampah ini luar biasa kapasitasnya. Pedagang-pedagang nikotin yang dinegeri asalnya babak belur digebuki. Di pengadilan bermilyar dolar dendanya. Ketahuan penipunya dan telah memenuhi jutaan penghisapnya. Diusir terbirit-birit akhirnya berlarian ke dunia ketiga. Dan dengan rasa rendah diri luar biasa kita sambut mereka bersama-sama.
” Monggo, monggo den, linggih rumiyin. Ngersakaken menopo den bagus. Mpun, ngendiko mawon. Aih aih si aden, kasep pisan. Tos lami, sumping, di dieu, Indonesia? Alaa, ranca bana oto angku ko. Sabana rancak. Bao caronyo kami, supayo … ”
Demikian dengan rasa hormat yang lumayan berlebihan. Para pedagang nikotin dari negeri jauh di tepi langit sana. Penyebar penyakit rokok dan pencabut nyawa anak bangsanya. Terlibat pengadilan dan tertimbun bukti. Di negeri sendiri telah diusiri dan dimaki-maki. Ke dunia ketiga mereka melarikan diri. Pabrik-pabrik mereka ditutup di negeri sendiri. Lalu didirikan di Dunia Ketiga, termasuk negeri kita ini. Di depan hidung kita penyakit dipindah kesini. Dan untuk mereka kita hamparkan merahnya permadani. Lalu bangsa kita ditipu dengan gemerlapannya advertensi. Inilah nasib bangsa yang miskin dan pemerintah yang lemah. Semua bertumpu pada pemasukan uang sebagai orientasi.
2000 , 2002
PEROKOK ADALAH SERDADU BERANI MATI
Para perokok adalah pejuang gagah berani. Berada di dekat kawan-kawan saya perokok ini. Saya serasa berdampingan dengan rombongan serdadu berani mati. Veteran dua Perang Dunia, Perang Vietnam, Perang Revolusi Dan Perang Melawan Diri Sendiri.
Perhatikanlah upacara mereka menyala belerang berapi. Dengan khimadnya batang tembakau dihunus dan ditaruh antara dua jari. Dengan hormatnya Tuhan Sembilan Senti. Disisipkan antara dua bibir, digeser agak ke tepi. Sementara itu sudah siap An Naar, nyala api sebagai sesaji.
Hirupan pertama dilaksanakan penuh kasih sayang dan hati-hati. Kemudian dihembuskan asapnya, ke kanan atau ke kiri. Mata pun terpicing-picing tampak nikmat sekali. Berlindung pada adiksi dari tekanan hidup sehari-hari. Lena kerja, lupa politik, mana ingat anak dan isteri.
Para perokok adalah serdadu-serdadu gagah berani. Untuk kenikmatan 5 menit mereka tidak peduli 25 macam penyakit yang dengan gembira menanti-menanti. Saat untuk menerkam dari setiap penjuru dan sisi.
Paru-paru obstruksi kronik bronkhitis kronik dan emfisema. Gangguan jantung pembulu darah arteriosklerosis hipertensi dan gangguan pembulu darah otak. kanker rongga mulut, nasopharynx, oropharynx, hypopharynx dan rongga hidung. Lalu sinus paranasal, larynx, esophagus dan lambung. Radang pankreas, hati, ginjal, ureter dan kandung kemih. Radang cervix uteri dan sumsum tulang, infertilitas dan impotensi. Daftar ini belum disusun secara alfabetis, dan sebenarnya (ini rahasia profesi medis) penyakit yang 25 ini cuma nama samaran julukan pura-pura saja.
Nama aslinya penyakit rokok.
Rokok, abang kandung narkoba ini tak tertandingi dalam soal adiksi. 4000 macam racun didapatkan sepanjang sembilan senti. Untuk orgamus nikotin 5 menit itu serdadu tembakau ini mana peduli terhadap hari depan anak-anak yang masih memerlukan pencarian rezeki. Terhadap bagaimana terlantarnya kelak janda yang dulu namanya isteri. Atau nasib duda yang dulu namanya suami. Terhadap pengotoran udara depan belakang, kanan dan kiri. Dalam memuaskan ego, dengan sengaja mendestruksi diri pribadi.
Betapa beratnya memenangkan Perang Melawan Diri Sendiri.
2005
INDONESIA KERANJANG SAMPAH NIKOTIN
Indonesia adalah sorga luarbiasa ramah bagi perokok. Kalau klarifikasi sorga ditentukan oleh jumlah langit yang melapisinya. Maka negeri kita bagi maskapai rokok, sorga langit ketujuh klasifikasinya.
Indonesia adalah keranjang besar yang menampung semua sampah nikotin. Keranjang sampah nikotin luar biasa besarnya. Dari pinggir barat ke pinggir timur, jarak yang mesti ditempuh melintasi 3 zona waktu yaitu 8 jam naik pesawat jet, 10 hari kalau naik kapal laut, satu tahun kalau naik kuda Sumba, atau 5 tahun kalau saban hari naik kuda kepang Ponorogo.
Keranjang sampah ini luar biasa besarnya. Bukan saja sampah nikotin, tapi juga dibuangkan ke dalamnya berjenis cairan, serbuk, berbagai aroma dan warna, alkohol, heroin, kokain, sabu-sabu, ekstasi, dan marijuana, berbagai racun dan residu, erotisme dan vcd biru. Sebut saja semua variasi klasifikasi limbah dunia mulut Indonesia menganga menerimanya.
Semua itu, karena gerbang di halaman rumah kita terbuka luas, kita tergoda oleh materialisme dan disuap kapitalisme fikiran sehat kita kaku dan tangan kanan kiri terbelenggu dengan ramah dan sopan kiriman sampah itu diterima.
Di pintu depan bandara, karena urgennya modal mancanegara, karena tak tahan nikmatnya komisi dan upeti, dengan membungkuk-bungkuk kita berkata begini,
“Silahkan masuk semua, silakan. Monggo, monggo mlebet, dipun, sakecakaken. Sog asup sadayana, asup, asup. Ha lai ka talok, bahe banalah angku, bahe banalah.”
Keranjang sampah ini luar biasa kapasitasnya. Pedagang-pedagang nikotin yang dinegeri asalnya babak belur digebuki. Di pengadilan bermilyar dolar dendanya. Ketahuan penipunya dan telah memenuhi jutaan penghisapnya. Diusir terbirit-birit akhirnya berlarian ke dunia ketiga. Dan dengan rasa rendah diri luar biasa kita sambut mereka bersama-sama.
” Monggo, monggo den, linggih rumiyin. Ngersakaken menopo den bagus. Mpun, ngendiko mawon. Aih aih si aden, kasep pisan. Tos lami, sumping, di dieu, Indonesia? Alaa, ranca bana oto angku ko. Sabana rancak. Bao caronyo kami, supayo … ”
Demikian dengan rasa hormat yang lumayan berlebihan. Para pedagang nikotin dari negeri jauh di tepi langit sana. Penyebar penyakit rokok dan pencabut nyawa anak bangsanya. Terlibat pengadilan dan tertimbun bukti. Di negeri sendiri telah diusiri dan dimaki-maki. Ke dunia ketiga mereka melarikan diri. Pabrik-pabrik mereka ditutup di negeri sendiri. Lalu didirikan di Dunia Ketiga, termasuk negeri kita ini. Di depan hidung kita penyakit dipindah kesini. Dan untuk mereka kita hamparkan merahnya permadani. Lalu bangsa kita ditipu dengan gemerlapannya advertensi. Inilah nasib bangsa yang miskin dan pemerintah yang lemah. Semua bertumpu pada pemasukan uang sebagai orientasi.
2000 , 2002
PEROKOK ADALAH SERDADU BERANI MATI
Para perokok adalah pejuang gagah berani. Berada di dekat kawan-kawan saya perokok ini. Saya serasa berdampingan dengan rombongan serdadu berani mati. Veteran dua Perang Dunia, Perang Vietnam, Perang Revolusi Dan Perang Melawan Diri Sendiri.
Perhatikanlah upacara mereka menyala belerang berapi. Dengan khimadnya batang tembakau dihunus dan ditaruh antara dua jari. Dengan hormatnya Tuhan Sembilan Senti. Disisipkan antara dua bibir, digeser agak ke tepi. Sementara itu sudah siap An Naar, nyala api sebagai sesaji.
Hirupan pertama dilaksanakan penuh kasih sayang dan hati-hati. Kemudian dihembuskan asapnya, ke kanan atau ke kiri. Mata pun terpicing-picing tampak nikmat sekali. Berlindung pada adiksi dari tekanan hidup sehari-hari. Lena kerja, lupa politik, mana ingat anak dan isteri.
Para perokok adalah serdadu-serdadu gagah berani. Untuk kenikmatan 5 menit mereka tidak peduli 25 macam penyakit yang dengan gembira menanti-menanti. Saat untuk menerkam dari setiap penjuru dan sisi.
Paru-paru obstruksi kronik bronkhitis kronik dan emfisema. Gangguan jantung pembulu darah arteriosklerosis hipertensi dan gangguan pembulu darah otak. kanker rongga mulut, nasopharynx, oropharynx, hypopharynx dan rongga hidung. Lalu sinus paranasal, larynx, esophagus dan lambung. Radang pankreas, hati, ginjal, ureter dan kandung kemih. Radang cervix uteri dan sumsum tulang, infertilitas dan impotensi. Daftar ini belum disusun secara alfabetis, dan sebenarnya (ini rahasia profesi medis) penyakit yang 25 ini cuma nama samaran julukan pura-pura saja.
Nama aslinya penyakit rokok.
Rokok, abang kandung narkoba ini tak tertandingi dalam soal adiksi. 4000 macam racun didapatkan sepanjang sembilan senti. Untuk orgamus nikotin 5 menit itu serdadu tembakau ini mana peduli terhadap hari depan anak-anak yang masih memerlukan pencarian rezeki. Terhadap bagaimana terlantarnya kelak janda yang dulu namanya isteri. Atau nasib duda yang dulu namanya suami. Terhadap pengotoran udara depan belakang, kanan dan kiri. Dalam memuaskan ego, dengan sengaja mendestruksi diri pribadi.
Betapa beratnya memenangkan Perang Melawan Diri Sendiri.
2005
Puisi-Puisi Oka Rusmini
http://www.jawapos.com/
MISA
Di sebuah café. Kau duduk terdiam. Segelas wine. Sepiring roti. Juga kentang dan sedikit keju dingin. Kau tak bicara. Matamu yang biru, lengkap dengan laut dan ombak. Menyiram tubuhku yang dingin, mungkin mendekati layu.
Di luar hujan. Tak biasanya hujan di kota ini. Kupesan secangkir kopi, setangkup roti, juga separuh steak. Aku tidak ingin memakannya. Aku hanya senang duduk diam sambil memandang wajahmu yang bersih. Harum susu dan keju di tubuhmu menyentuh kulitku. aku menggigil.
Sore itu, kau tak meneguk minumanmu. Kau menyulut rokok. Aku menggigil. Kulihat kau mulai berani menatapku. Tak ada senyum. Kurasakan ombak membasahi tubuhku. Berapa usiaku kini? Seorang lelaki tanpa nama telah memasuki kebunku. Memetik jantung dan memanah hatiku.
Aku telah melumuri tubuhku dengan pandan berduri. Sesaji, juga doa-doa yang sering ditiupkan anak lelakiku di tabung telingaku. Kau tak mau pergi.
Di café itu aku seperti menunggumu. Kali ini kupesan vodka. Berharap cairan itu mampu membunuhmu. Kuhidupkan laptop. Meluncur di jalan google. Aku mencoba mencari namamu, mungkin tersangkut di sudut-sudut jalan. Atau kau mulai memiliki nama baru yang tak pernah kau bisikkan di telingaku?
Hujan, mulai turun membasahi kaca jendela. Sedikit salju runtuh. Kurasakan hawa dingin menyergap tengkukku. Kurasakan kesepian yang terus mencongkeli tubuhku. Apakah yang kau taburkan dalam pikiranku?
Kulihat kabut semakin tebal. Aku belum juga menghabiskan potongan croissant kejuku. Seorang pelayan dengan senyumnya menatapku tajam. Aku ikut menatapnya. Dua matanya yang sendu, memuntahkan pisau ke jantungku. Aku tak bisa berkelit. Aku melihat matamu menjelma di matanya. Warna kulitnya, bau tubuhmu yang alami tanpa tersentuh parfum. Menyergapku. Aku sesak napas. Tetapi aku tak ingin menghindar darinya.
Di sebuah café yang sunyi. Laptopku tak juga panas. Aku sibuk memandang mata seorang pelayan yang mengingatkanku padamu. Ia tawarkan kopi. Aku menggeleng.
Senja terus memejamkan matanya. Sayup-sayup kudengar suara Frank Sinatra. Kau tidak juga mau pergi. Di mana kau bersembunyi? Takutkah kau menemuiku.
Aku menunggumu. Sambil terus melirik handphone berharap kau mengirim sebaris huruf. Sekadar menanyakan kabarku, atau menulis kalimat pendek: hai!
2008
—
YUGEK
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Ketika, tubuh kanak-kanakku mengelupas. Sebuah upacara besar digelar. Sesaji, bunga, tujuh mata air diruapkan di tubuh kurusku. Mataku dirajah. Ubun-ubunku ditancapkan mantra. Kepalaku ditaburi beragam bunga. Kulitku dibakar cairan kuning. Aku menjelma bidadari. Tubuhku dililitkan kain-kain kuno.
Aku berenang di rimba semesta. Tak pernah kupercaya laki-laki yang tumbuh dalam kepala teman-teman perempuanku. Aku sering menatap mereka sambil mengunyah gulali. Atau menelan kacang sukro. Menatap perempuan-perempuan kecil bergaya bak badut-badut aneh di depanku. Seorang perempuan telah meninggalkan seorang kanak-kanak di altar ditemani batang pohon. Udara dingin. Dan senyap yang terus-menerus menyuapkan api dalam tubuh kecilku. Membakar kaki-kakiku.
Aku tak ingin tumbuh. Orang-orang menatapku sambil mengiris hati, jantung, dan memeras keringatku. Kesunyian terus mengepung. Tak ada lelaki dan perempuan yang menyusui tubuhku. Ke mana ibuku? Di mana bapakku?
Perempuan-perempuan bertubuh batu memahat tulangku, meniupkan darah ke jantungku. Siapa yang mengirimku ke ladang tandus ini?
Kukenal para penyapu Pura. Juga para pemetik bunga kamboja. Mereka mengabarkan: Ibuku telah hilang. Bapakku sibuk mendekap perempuan bercadar. Rambutnya ular. Hatinya panah beracun. Kulitnya pandan berduri. Dari manakah mahluk itu berasal.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Seorang lelaki berdiri di depanku. Dengan sekerat taman bunga. Kata-kata manis. Kedua lengannya selalu siap menyentuh kulit kanak-kanakku. Apakah aku telah jatuh cinta padanya?
Matanya biru. Dengan laut ombak, dan aliran sungai yang terus mengalir. Kadang aku mengambil lokan dari telapak tangannya.
Kubuat cincin, kalung, dan anting. Aku dimandikan oleh buih laut. Kulitku digosok biji pasir. Lelaki itu siapakah dia?
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Orang-orang tak pernah bisa mengupas pikiranku. Mereka juga takut menatap mataku yang bulat, tajam. Bertabur nanah dan racun. Mata milikku mampu membunuh siapa pun yang menyentuh kulitku.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Pagi-pagi orang-orang mengantarku. Mereka tidak lagi memiliki mata. Tubuhku dibalut bunga, juga air mata. Mereka dudukkan aku di pinggir pantai. Angin laut, menjatuhkan satu kuntum bunga di atas kepalaku. Tak ada matahari. Cuaca gelap. Para perempuan membacakan mantra. Para pemangku menghidupkan dupa, bunga, dan sesaji. Orang-orang terus memejamkan mata. Sambil mengulang mantra yang sama. Aku duduk diam. Sambil menunggu orang-orang selesai meleburku dengan laut.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Kuharap seorang lelaki muncul. Dan aku akan jatuh cinta padanya. Lalu berlindung di dadanya yang bidang. Mengusap rambutnya yang tajam. Menyentuh kulitnya yang harum. Mencium bibirnya yang lentur. Mengusap matanya dengan bibirku. Menghirup ubun-ubunnya. Lalu memeluknya erat sambil bercerita tentang rahasia perjalanan darah dalam tubuhku.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Kubayangkan seorang laki-laki muncul dari buih laut. Sambil membacakan sajak-sajak erotik yang menyumbat lubang-lubang tubuhku.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Entah apa yang dicari orang-orang padaku. Subuh merayap. Kau tidak juga datang dan menjemputku. Sementara aku kuyup diguyur mata air dan bunga-bunga yang mulai membusuk. Mungkin aku akan menjelma bangkai.
Aku pernah dinikahkan dengan laut. Kau percaya padaku?
2008
*) Saat ini tinggal di Denpasar, Bali. Ia menulis puisi, novel dan cerita pendek. Bukunya yang telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007) , Erdentanz (novel Tarian Bumi edisi bahasa Jerman, (2007) , Pandora (2008) dan Tempurung (2010).
MISA
Di sebuah café. Kau duduk terdiam. Segelas wine. Sepiring roti. Juga kentang dan sedikit keju dingin. Kau tak bicara. Matamu yang biru, lengkap dengan laut dan ombak. Menyiram tubuhku yang dingin, mungkin mendekati layu.
Di luar hujan. Tak biasanya hujan di kota ini. Kupesan secangkir kopi, setangkup roti, juga separuh steak. Aku tidak ingin memakannya. Aku hanya senang duduk diam sambil memandang wajahmu yang bersih. Harum susu dan keju di tubuhmu menyentuh kulitku. aku menggigil.
Sore itu, kau tak meneguk minumanmu. Kau menyulut rokok. Aku menggigil. Kulihat kau mulai berani menatapku. Tak ada senyum. Kurasakan ombak membasahi tubuhku. Berapa usiaku kini? Seorang lelaki tanpa nama telah memasuki kebunku. Memetik jantung dan memanah hatiku.
Aku telah melumuri tubuhku dengan pandan berduri. Sesaji, juga doa-doa yang sering ditiupkan anak lelakiku di tabung telingaku. Kau tak mau pergi.
Di café itu aku seperti menunggumu. Kali ini kupesan vodka. Berharap cairan itu mampu membunuhmu. Kuhidupkan laptop. Meluncur di jalan google. Aku mencoba mencari namamu, mungkin tersangkut di sudut-sudut jalan. Atau kau mulai memiliki nama baru yang tak pernah kau bisikkan di telingaku?
Hujan, mulai turun membasahi kaca jendela. Sedikit salju runtuh. Kurasakan hawa dingin menyergap tengkukku. Kurasakan kesepian yang terus mencongkeli tubuhku. Apakah yang kau taburkan dalam pikiranku?
Kulihat kabut semakin tebal. Aku belum juga menghabiskan potongan croissant kejuku. Seorang pelayan dengan senyumnya menatapku tajam. Aku ikut menatapnya. Dua matanya yang sendu, memuntahkan pisau ke jantungku. Aku tak bisa berkelit. Aku melihat matamu menjelma di matanya. Warna kulitnya, bau tubuhmu yang alami tanpa tersentuh parfum. Menyergapku. Aku sesak napas. Tetapi aku tak ingin menghindar darinya.
Di sebuah café yang sunyi. Laptopku tak juga panas. Aku sibuk memandang mata seorang pelayan yang mengingatkanku padamu. Ia tawarkan kopi. Aku menggeleng.
Senja terus memejamkan matanya. Sayup-sayup kudengar suara Frank Sinatra. Kau tidak juga mau pergi. Di mana kau bersembunyi? Takutkah kau menemuiku.
Aku menunggumu. Sambil terus melirik handphone berharap kau mengirim sebaris huruf. Sekadar menanyakan kabarku, atau menulis kalimat pendek: hai!
2008
—
YUGEK
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Ketika, tubuh kanak-kanakku mengelupas. Sebuah upacara besar digelar. Sesaji, bunga, tujuh mata air diruapkan di tubuh kurusku. Mataku dirajah. Ubun-ubunku ditancapkan mantra. Kepalaku ditaburi beragam bunga. Kulitku dibakar cairan kuning. Aku menjelma bidadari. Tubuhku dililitkan kain-kain kuno.
Aku berenang di rimba semesta. Tak pernah kupercaya laki-laki yang tumbuh dalam kepala teman-teman perempuanku. Aku sering menatap mereka sambil mengunyah gulali. Atau menelan kacang sukro. Menatap perempuan-perempuan kecil bergaya bak badut-badut aneh di depanku. Seorang perempuan telah meninggalkan seorang kanak-kanak di altar ditemani batang pohon. Udara dingin. Dan senyap yang terus-menerus menyuapkan api dalam tubuh kecilku. Membakar kaki-kakiku.
Aku tak ingin tumbuh. Orang-orang menatapku sambil mengiris hati, jantung, dan memeras keringatku. Kesunyian terus mengepung. Tak ada lelaki dan perempuan yang menyusui tubuhku. Ke mana ibuku? Di mana bapakku?
Perempuan-perempuan bertubuh batu memahat tulangku, meniupkan darah ke jantungku. Siapa yang mengirimku ke ladang tandus ini?
Kukenal para penyapu Pura. Juga para pemetik bunga kamboja. Mereka mengabarkan: Ibuku telah hilang. Bapakku sibuk mendekap perempuan bercadar. Rambutnya ular. Hatinya panah beracun. Kulitnya pandan berduri. Dari manakah mahluk itu berasal.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Seorang lelaki berdiri di depanku. Dengan sekerat taman bunga. Kata-kata manis. Kedua lengannya selalu siap menyentuh kulit kanak-kanakku. Apakah aku telah jatuh cinta padanya?
Matanya biru. Dengan laut ombak, dan aliran sungai yang terus mengalir. Kadang aku mengambil lokan dari telapak tangannya.
Kubuat cincin, kalung, dan anting. Aku dimandikan oleh buih laut. Kulitku digosok biji pasir. Lelaki itu siapakah dia?
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Orang-orang tak pernah bisa mengupas pikiranku. Mereka juga takut menatap mataku yang bulat, tajam. Bertabur nanah dan racun. Mata milikku mampu membunuh siapa pun yang menyentuh kulitku.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Pagi-pagi orang-orang mengantarku. Mereka tidak lagi memiliki mata. Tubuhku dibalut bunga, juga air mata. Mereka dudukkan aku di pinggir pantai. Angin laut, menjatuhkan satu kuntum bunga di atas kepalaku. Tak ada matahari. Cuaca gelap. Para perempuan membacakan mantra. Para pemangku menghidupkan dupa, bunga, dan sesaji. Orang-orang terus memejamkan mata. Sambil mengulang mantra yang sama. Aku duduk diam. Sambil menunggu orang-orang selesai meleburku dengan laut.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Kuharap seorang lelaki muncul. Dan aku akan jatuh cinta padanya. Lalu berlindung di dadanya yang bidang. Mengusap rambutnya yang tajam. Menyentuh kulitnya yang harum. Mencium bibirnya yang lentur. Mengusap matanya dengan bibirku. Menghirup ubun-ubunnya. Lalu memeluknya erat sambil bercerita tentang rahasia perjalanan darah dalam tubuhku.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Kubayangkan seorang laki-laki muncul dari buih laut. Sambil membacakan sajak-sajak erotik yang menyumbat lubang-lubang tubuhku.
Aku pernah dinikahkan dengan laut.
Entah apa yang dicari orang-orang padaku. Subuh merayap. Kau tidak juga datang dan menjemputku. Sementara aku kuyup diguyur mata air dan bunga-bunga yang mulai membusuk. Mungkin aku akan menjelma bangkai.
Aku pernah dinikahkan dengan laut. Kau percaya padaku?
2008
*) Saat ini tinggal di Denpasar, Bali. Ia menulis puisi, novel dan cerita pendek. Bukunya yang telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007) , Erdentanz (novel Tarian Bumi edisi bahasa Jerman, (2007) , Pandora (2008) dan Tempurung (2010).
16/01/11
Pohon Insomnia Dari Puisi-puisi Alejandra Pizarnik
Dadang Ari Murtono
http://www.balipost.co.id/
mungkin malam adalah kehidupan dan
siang adalah maut
(malam)
1.
nokturno menghelaku
membelaku dari mata api
sunyi
ada yang bersiap bersemi
barangkali
cangkang tubuh mulai rapuh
2.
asin peluh
malam keruh
kuasah sangkur
kuasuh gembur
syair para penidur
mengalir dari dubur
3.
kusimpan setetes embun
sedepa humus ranum
dalam hening kambium
dan dadaku akan mekar
membawa nektar segar
menjaga yang ada
atau tak ada
atau tak perlu ada
4.
hijau membara
kelopak terjaga
ternyata
yang engkau hanyalah aku
yang rindu dan bisu
5.
sebisu retakan kun
lelubang buahku perlahan menenun
kata demi kata
bahasa yang mengada
dari yang kukira topeng senja
6.
aku meraba
akar tegar, batang tenang
rimbun daun, buah basah
namun fajar akan pecah
dan jantung akan terbelah
jangan persembahkan aku,
wahai tengah malam pilu,
kepada putih siang tercemar
(hati yang telah mengada)
7.
tetapi yang ada dan tiada
dan senantiasa
adalah tak akan
adalah tak pernah
adalah tak indah
lalu bertukar lidah
http://www.balipost.co.id/
mungkin malam adalah kehidupan dan
siang adalah maut
(malam)
1.
nokturno menghelaku
membelaku dari mata api
sunyi
ada yang bersiap bersemi
barangkali
cangkang tubuh mulai rapuh
2.
asin peluh
malam keruh
kuasah sangkur
kuasuh gembur
syair para penidur
mengalir dari dubur
3.
kusimpan setetes embun
sedepa humus ranum
dalam hening kambium
dan dadaku akan mekar
membawa nektar segar
menjaga yang ada
atau tak ada
atau tak perlu ada
4.
hijau membara
kelopak terjaga
ternyata
yang engkau hanyalah aku
yang rindu dan bisu
5.
sebisu retakan kun
lelubang buahku perlahan menenun
kata demi kata
bahasa yang mengada
dari yang kukira topeng senja
6.
aku meraba
akar tegar, batang tenang
rimbun daun, buah basah
namun fajar akan pecah
dan jantung akan terbelah
jangan persembahkan aku,
wahai tengah malam pilu,
kepada putih siang tercemar
(hati yang telah mengada)
7.
tetapi yang ada dan tiada
dan senantiasa
adalah tak akan
adalah tak pernah
adalah tak indah
lalu bertukar lidah
21/12/10
Puisi-Puisi Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/
Memandangmu dari Sisi Benakku
melihatmu dari sisi benakku
diantara cahaya mata terpaku
juga pada redup matamu
temaram siluetmu
di antara celah-celah bidai bambu
membayang samar pada pagar
mengisahkan kedalaman duka
atau rasa rindu yang masih tersisa
memisahkan antara benar dan alpa
dalam jazirah perjalanan luka
engkau berdiri menepi
mungkin itu sebuah isyarat
engkau telah jenuh menanti
atau telah tak ada arti
ribuan jarak yang terlewati
entah apa yang engkau cari
diantara beribu ujung argumentasi
mungkin mempertahankan eksistensi
tak ada warna abu-abu di langit kita
karena Tuan kita hanya memberi
dua warna antara mawar atau melati
yang tertanam pada masing-masing hati
Semarang, 20 November 2010
Bacalah
“bacalah,” begitulah ungkap-Mu yang paling romantis itu dan semua seperti tersihir untuk menyitir dan mengungkapkannya.
lalu kami pun menjadi mahir untuk membaca dan meneriakkannya. namun kami hanya pandai membaca aksara-aksara yang ditulis oleh para tetangga, sedangkan ketika membaca huruf-huruf yang kami gores ke dada sendiri, kami menjadi gagu dan alpa.
Sidomoro, 18 November 2010
Haruskah Engkau
haruskah engkau memenuhi rongga batinku
menyita hampir-hampir seluruh ingatan
menjadikannya seperti sejenis rindu
haruskah engkau mengisi kota hatiku
memenuhi hampir-hampir seluruh ruang kosongnya
dengan baris-baris namamu
ya hanya namamu
teringat olehmu seperti mengenang derita purba sebuah kota
orang-orangnya tertawan berbagai derita dan senjata
lalu tiba-tiba orang-orang itu menjelma menjadi hatiku
sedangkan senjata itu adalah namamu
mungkin juga senyummu
engkau tak kan pernah tahu di mana letak derita
karena aku telah menyimpannya
di dada
Sidomoro, 10 November 2010
Apa Kabar, Pagi?
apa kabar, pagi?
di tengah-tengah hiruk pikuk
debu-debu industri
masih sempat ku dengar
Engkau bernyanyi
pada pokok-pokok dedahan
dan reranting sunyi
Sidomoro, 8 November 2010
Pantun Rindu
patuh dalam didih dadaku
jatuh dalam pedih batinku
menyimak amsal sendu tak diam-diam
gelegak magma rindu tak padam-padam
Sidomoro, 19 November 2010
Angin Pagi
angin pagi menyeret anganku kepadaMu dalam iringan orkesta tubuh yang rapuh.
Memandangmu dari Sisi Benakku
melihatmu dari sisi benakku
diantara cahaya mata terpaku
juga pada redup matamu
temaram siluetmu
di antara celah-celah bidai bambu
membayang samar pada pagar
mengisahkan kedalaman duka
atau rasa rindu yang masih tersisa
memisahkan antara benar dan alpa
dalam jazirah perjalanan luka
engkau berdiri menepi
mungkin itu sebuah isyarat
engkau telah jenuh menanti
atau telah tak ada arti
ribuan jarak yang terlewati
entah apa yang engkau cari
diantara beribu ujung argumentasi
mungkin mempertahankan eksistensi
tak ada warna abu-abu di langit kita
karena Tuan kita hanya memberi
dua warna antara mawar atau melati
yang tertanam pada masing-masing hati
Semarang, 20 November 2010
Bacalah
“bacalah,” begitulah ungkap-Mu yang paling romantis itu dan semua seperti tersihir untuk menyitir dan mengungkapkannya.
lalu kami pun menjadi mahir untuk membaca dan meneriakkannya. namun kami hanya pandai membaca aksara-aksara yang ditulis oleh para tetangga, sedangkan ketika membaca huruf-huruf yang kami gores ke dada sendiri, kami menjadi gagu dan alpa.
Sidomoro, 18 November 2010
Haruskah Engkau
haruskah engkau memenuhi rongga batinku
menyita hampir-hampir seluruh ingatan
menjadikannya seperti sejenis rindu
haruskah engkau mengisi kota hatiku
memenuhi hampir-hampir seluruh ruang kosongnya
dengan baris-baris namamu
ya hanya namamu
teringat olehmu seperti mengenang derita purba sebuah kota
orang-orangnya tertawan berbagai derita dan senjata
lalu tiba-tiba orang-orang itu menjelma menjadi hatiku
sedangkan senjata itu adalah namamu
mungkin juga senyummu
engkau tak kan pernah tahu di mana letak derita
karena aku telah menyimpannya
di dada
Sidomoro, 10 November 2010
Apa Kabar, Pagi?
apa kabar, pagi?
di tengah-tengah hiruk pikuk
debu-debu industri
masih sempat ku dengar
Engkau bernyanyi
pada pokok-pokok dedahan
dan reranting sunyi
Sidomoro, 8 November 2010
Pantun Rindu
patuh dalam didih dadaku
jatuh dalam pedih batinku
menyimak amsal sendu tak diam-diam
gelegak magma rindu tak padam-padam
Sidomoro, 19 November 2010
Angin Pagi
angin pagi menyeret anganku kepadaMu dalam iringan orkesta tubuh yang rapuh.
10/12/10
Puisi-Puisi Eka Budianta
http://www.suarakarya-online.com/
Kenangan Pramoedya
(6 Februari 1925 – 30 April 2006)
Kamu mencintai tulang dan pori-pori
Bumi kelahiranmu dan semua bangsa
Para korban kebodohan yang terlupa
Tetapi ketika kautulis kebenaran
Kamu dijebloskan ke penjara
Buku-buku dan pembacamu teraniaya
Akan kukenang Pramoedya
Dengan seluruh keangkuhan saudaraku
Yang tidak sanggup memahami & mencintaimu
Di langit hatiku hujan telah reda
Tinggal namamu tertulis dan bersinar
Menagih cintaku pada bumi manusia
(2006)
Perjalanan Sungai
(1)
Sungai yang dulu menangis
Di antara batu-batu di pegunungan
Sekarang telah sampai di kota
Dan akan terus menuju ke laut
Tak lagi terdengar derai air terjun
Udara sejuk, nyanyian burung, semerbak bunga
Telah berganti panas terik dan polusi
Sampah, minyak bekas, ikan-ikan mati
Tapi aku terus mengalir
Menyilakan kapal-kapal berbeban berat
Masuk dari muara
Menyambut hangat hempasan ombak dunia
(2)
Sungai-sungai kecil, sungai-sungai besar
Bergelora dalam hidup singkat ini
Pegunungan dan air terjun memanggil
Burung-burung mencicit
Menyulut awan putih
Menjadi lautan menyala
Menyepuh nama-namamu
Kota-kota kecil, kota-kota besar
Gemuruh dalam sunyi hati
Burung-burung menyayat sungai
Mengalirkan cinta
Di ambang usia saat butir-butir pohon
Menunggu undangan dari langit yang kekal
(2003)
Sebelum Laut Bertemu Langit
Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.
Puisiku – telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja
Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya
Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu
Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi
Jakarta, 2003
Eka Budianta lahir di Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur, 1 Februari 1956. Penulis produktif ini mengenal secara pribadi Pramoedya Ananta Toer sejak 1983. Kedekatannya dengan Pramoedya dituangkan dalam buku “Mendengar Pramoedya” tahun 2005. Karya terakhirnya Eka Budianta Mekar di Bumi terbit tahun 2006.
Kenangan Pramoedya
(6 Februari 1925 – 30 April 2006)
Kamu mencintai tulang dan pori-pori
Bumi kelahiranmu dan semua bangsa
Para korban kebodohan yang terlupa
Tetapi ketika kautulis kebenaran
Kamu dijebloskan ke penjara
Buku-buku dan pembacamu teraniaya
Akan kukenang Pramoedya
Dengan seluruh keangkuhan saudaraku
Yang tidak sanggup memahami & mencintaimu
Di langit hatiku hujan telah reda
Tinggal namamu tertulis dan bersinar
Menagih cintaku pada bumi manusia
(2006)
Perjalanan Sungai
(1)
Sungai yang dulu menangis
Di antara batu-batu di pegunungan
Sekarang telah sampai di kota
Dan akan terus menuju ke laut
Tak lagi terdengar derai air terjun
Udara sejuk, nyanyian burung, semerbak bunga
Telah berganti panas terik dan polusi
Sampah, minyak bekas, ikan-ikan mati
Tapi aku terus mengalir
Menyilakan kapal-kapal berbeban berat
Masuk dari muara
Menyambut hangat hempasan ombak dunia
(2)
Sungai-sungai kecil, sungai-sungai besar
Bergelora dalam hidup singkat ini
Pegunungan dan air terjun memanggil
Burung-burung mencicit
Menyulut awan putih
Menjadi lautan menyala
Menyepuh nama-namamu
Kota-kota kecil, kota-kota besar
Gemuruh dalam sunyi hati
Burung-burung menyayat sungai
Mengalirkan cinta
Di ambang usia saat butir-butir pohon
Menunggu undangan dari langit yang kekal
(2003)
Sebelum Laut Bertemu Langit
Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.
Puisiku – telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja
Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya
Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu
Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi
Jakarta, 2003
Eka Budianta lahir di Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur, 1 Februari 1956. Penulis produktif ini mengenal secara pribadi Pramoedya Ananta Toer sejak 1983. Kedekatannya dengan Pramoedya dituangkan dalam buku “Mendengar Pramoedya” tahun 2005. Karya terakhirnya Eka Budianta Mekar di Bumi terbit tahun 2006.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita