Maman S. Mahayana *
Cerita pendek Indonesia dalam satu dasawarsa ini, agaknya makin mengukuhkan
jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif
melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam
mainstream-nya sendiri. Maka, tidak dapat lain, pembicaraan mengenai cerpen
Indonesia, mesti dilekatkan pada dirinya an sich dan bukan sebagai tempelan
atau sekadar pelengkap. Kini cerpen Indonesia menunjukkan jalan hidupnya yang
lebih mandiri. Kajian kritis terhadapnya dan pembicaraan cerpen dalam institusi
(pendidikan) sastra, oleh karena itu, mesti berada dalam kotak tersendiri.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Maman S Mahayana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maman S Mahayana. Tampilkan semua postingan
27/06/21
21/11/20
RAJA ALI HAJI: BAPAK KESUSASTRAAN MELAYU
Maman S. Mahayana *
Kalau bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Klasik, maka kesusastraan Indonesia lahir karena dukungan sastra klasik yang tersebar di kepulauan Nusantara, seperti Bali, Jawa, Sunda, atau Melayu. Khusus dalam pembicaraan yang menyangkut kesusastraan Melayu Klasik, tentu saja Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tidak dapat dilewatkan. Beberapa karyanya yang terkenal, antara lain Syair Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan, Hikayat Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah.
Kalau bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Klasik, maka kesusastraan Indonesia lahir karena dukungan sastra klasik yang tersebar di kepulauan Nusantara, seperti Bali, Jawa, Sunda, atau Melayu. Khusus dalam pembicaraan yang menyangkut kesusastraan Melayu Klasik, tentu saja Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tidak dapat dilewatkan. Beberapa karyanya yang terkenal, antara lain Syair Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan, Hikayat Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah.
19/06/20
CITRA WANITA INDIA DALAM NOVEL MADU DALAM SARINGAN *
Maman S. Mahayana *
Mengherankan, dibandingkan dengan pengaruh kesusastraan klasik India—kisah Ramayana atau Mahabharata, misalnya—yang jejaknya dapat dengan mudah dijumpai dalam khazanah kesusastraan Indonesia, pengaruh kesusastraan kontemporer India di Indonesia, tampaknya seperti hampir tak terdengar, laksana tak berpengaruh, dan terkesan begitu asing.[1] Padahal, di samping epos Ramayana dan Mahabharata, sejak zaman Pujangga Baru khazanah kesusastraan kontemporer India, sudah coba diperkenalkan.[2]
Mengherankan, dibandingkan dengan pengaruh kesusastraan klasik India—kisah Ramayana atau Mahabharata, misalnya—yang jejaknya dapat dengan mudah dijumpai dalam khazanah kesusastraan Indonesia, pengaruh kesusastraan kontemporer India di Indonesia, tampaknya seperti hampir tak terdengar, laksana tak berpengaruh, dan terkesan begitu asing.[1] Padahal, di samping epos Ramayana dan Mahabharata, sejak zaman Pujangga Baru khazanah kesusastraan kontemporer India, sudah coba diperkenalkan.[2]
10/10/17
MENOLAK KONON: SEBUAH PERTANGGUNGJAWABAN
Editor: Maman S Mahayana
Guna mengetahui serba sedikit proses penyusunan buku ASPI, berikut saya sertakan semacam Pertanggungjawaban Editor. Silakan dicermati.
“Penyair yang baik adalah penulis esai yang baik!” Ini bukan konon! Tetapi, begitulah keyakinan Sapardi Djoko Damono, salah seorang penyair terkemuka kita yang hingga kini masih terus berkarya. Maka, kita dapat melihat, esai-esai yang ditulis Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri atau Goenawan Mohamad—sekadar menyebut tiga nama—nyaris selalu hadir dengan penyajian yang mengalir lancar, renyah, dan sedap. Di sana, dalam esai-esai mereka, kalimat, ungkapan atau idiom, bahkan juga kata-kata tertentu kerap begitu trengginas, lincah, gesit, dan kadang kala juga tajam, keras, dan nyelekit, meski dikemas secara metaforis. Hampir selalu ada informasi baru dan ungkapan atau metafora yang segar dan inspiratif dalam esai-esai mereka.
Guna mengetahui serba sedikit proses penyusunan buku ASPI, berikut saya sertakan semacam Pertanggungjawaban Editor. Silakan dicermati.
“Penyair yang baik adalah penulis esai yang baik!” Ini bukan konon! Tetapi, begitulah keyakinan Sapardi Djoko Damono, salah seorang penyair terkemuka kita yang hingga kini masih terus berkarya. Maka, kita dapat melihat, esai-esai yang ditulis Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri atau Goenawan Mohamad—sekadar menyebut tiga nama—nyaris selalu hadir dengan penyajian yang mengalir lancar, renyah, dan sedap. Di sana, dalam esai-esai mereka, kalimat, ungkapan atau idiom, bahkan juga kata-kata tertentu kerap begitu trengginas, lincah, gesit, dan kadang kala juga tajam, keras, dan nyelekit, meski dikemas secara metaforis. Hampir selalu ada informasi baru dan ungkapan atau metafora yang segar dan inspiratif dalam esai-esai mereka.
12/09/17
Perkembangan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Maman S Mahayana
http://riaupos.co
ENCERMATI situasi pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di negeri ini, segalanya tampak seperti berlangsung baik-baik saja. Kurikulum yang gonta-ganti diterima dengan baik-baik saja, meskipun para guru dibuatnya kelimpungan. Adagium: ganti menteri, ganti kurikulum, dengan berat hati, disikapi, juga dengan baik-baik saja.
http://riaupos.co
ENCERMATI situasi pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di negeri ini, segalanya tampak seperti berlangsung baik-baik saja. Kurikulum yang gonta-ganti diterima dengan baik-baik saja, meskipun para guru dibuatnya kelimpungan. Adagium: ganti menteri, ganti kurikulum, dengan berat hati, disikapi, juga dengan baik-baik saja.
27/09/11
EKSPERIMENTASI DJENAR MAESA AYU DALAM “SMS”
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Djenar Maesa Ayu mencuat namanya bersamaan dengan maraknya isu sastra wangi, sebuah ungkapan bernada miring yang ditujukan pada beberapa artis cantik yang terjun ke dunia sastra. Maka, selepas terbit antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003), nada miring itu pun sepertinya melekat begitu saja. Namanya juga isu. Ia masih saja bergentayangan. Bahkan, ketika cerpennya “Waktu Nayla” terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2003, publik sastra masih juga belum begitu yakin atas prestasi Djenar. Keberhasilan sebelumnya yang menempatkan cerpennya “Menyusu Ayah” sebagai Cerpen Terbaik 2002 versi Jurnal Perempuan, seolah-olah tak berarti apa-apa.
Publik terkadang memang kejam. Tudingan tanpa dasar bisa menggelinding seperti bola liar. Isu yang dilontarkannya kemudian bergeser: dari sastra wangi karena kecantikan penulisnya, ke isi cerpen yang nyerempet-nyerempet, sensasional dan mengobral kata-kata nakal. Resensi yang ditulis Danarto di harian Republika, mewartakan, betapa Djenar sangat terampil dalam membangun narasi, menghancurkan tabu-tabu untuk kepentingan mengusung ideologi gender, dan menyelusupkan eksperimentasi tanpa berkesan pretensius. Ia sekadar bercerita, mengangkat potret sosial yang aktual, dan memosisikan dunia lelaki dengan mitos superioritasnya ke dalam simbolisasi perilaku kebinatangan. Ia membalikkan mitos itu dan menggiring dunia laki-laki ke dalam wilayah kaum pecundang.
Kiprah Djenar tegas tak sekadar mengisi waktu luang atau cari sensasi. Ia serius dan itu dibuktikan lewat sebuah antologi lagi Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004). Dalam waktu empat bulan, buku ini tiga kali dicetak ulang. Seperti juga antologi cerpen pertamanya, Jangan Main-Main termasuk kategori buku-buku laris. Bukankah itu bukti keberhasilannya? Lalu, masihkah publik sastra meragukan kepiawaiannya?
***
Secara iseng, saya coba bertanya pada sejumlah mahasiswa, kawan, dan beberapa orang yang tak saya kenal. Dari kedua buku antologi Djenar Maesa Ayu, cerpen manakah yang paling sederhana? Pilihan pertanyaan model itu sengaja untuk coba menangkap sejauh mana kekuatan Djenar pada cerpen yang paling sederhana menurut pandangan orang. Jika cerpen itu lemah, masih agak wajar jika muncul kontroversi. Sebaliknya, jika dari cerpen yang paling sederhana itu saja terkandung kekuatan, maka tak ada alasan lagi bagi publik untuk bertindak skeptis atas kepengarangan Djenar. Itulah dasar pemikirannya.
Beberapa ada yang menjawab “Tidak tahu” lantaran belum membaca semua cerpen dalam kedua antologi itu. Tetapi, sebagian besar yang sudah membaca kedua buku itu, memilih cerpen “SMS” yang terhimpun dalam antologi Mereka Bilang, Saya Monyet! sebagai cerpen yang dianggap paling sederhana. “Kok, orang ber-sms saja bisa jadi cerpen. Bukankah kini setiap hari kita nyaris tak dapat meninggalkan sms? Kalau begitu, saya juga bisa menulis cerpen!” demikian beberapa komentar mereka, yang mengingatkan jawaban yang sama ketika saya membacakan dua puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Luka” dan “Kalian.” Dari mana SCB punya ide menulis puisi dari ha ha dan pun, jika bukan dari sebuah kecerdasan. Hal yang sama tentu berlaku pada Djenar yang membangun cerpen dari kirim-balas sms. Itulah yang belum dapat dipahami publik. Maka, terima saja jika beberapa di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa mereka bisa menulis puisi atau cerpen yang jauh lebih bagus dari ha ha dan pun atau “SMS”.
Itulah publik! Terkadang lucu, sering pula naif. Selalu, mereka baru ngeh –sadar— ketika orang lain sudah memulai. Tetapi, di balik itu, saya takjub pada kesadaran mereka. Itulah kejujuran publik. Menjawab tanpa pretensi, menilai tanpa punya kepentingan apa pun. Benarkah “SMS” sebagai cerpen yang paling sederhana?
***
Secara tekstual dan sekilas pintas, ada benarnya juga jawaban publik itu. Tak ada narasi, tak ada deskripsi. Padahal, yang namanya cerpen –cerita pendek—di dalamnya mesti ada sesuatu yang diceritakan. Di sana, tak ada orang yang bercerita. Tak jelas pula, tokoh-tokohnya itu ganteng, cantik, atau jelek. Semuanya wujud dalam bentuk sms. Jika begitu, apakah “SMS” termasuk cerpen?
Masih ingatkah cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” karya Umar Kayam yang kemudian mendapat hadiah dari majalah sastra Horison, 1966/1967? Cerpen itu dibangun lewat dialog. Seolah-olah, di sana tak ada deskripsi, tak ada narasi. Semua nyaris disajikan dalam bentuk tanya-jawab. Dari dalam dialog itu, lahir narasi tentang rindu lelaki Jawa (Marno). Dari dialog itu pula, muncul deskripsi tentang suasana malam di Manhattan yang dibayangkannya seperti seribu kunang-kunang di desanya. Bukankah itu sebuah cerpen yang mumpuni? Dengan sebagian besar dialog, pembaca digiring pada suasana batin tokoh Marno dan Jane yang galau. Marno rindu kampung halaman, terbayang istri, sementara di depannya tergolek perempuan bule, Jane, yang rindu pada mantan suaminya. Jane siap melayani dan mengobati kegalauan Marno. Sebuah gangguan kesetiaan dihadapi Marno. Cinta pada sang istri atau berkhianat? Sebuah konflik batin yang dahsyat!
Bagaimana dengan cerpen “SMS” karya Djenar Maesa Ayu? Betul, cerpen ini tampaknya begitu sederhana. Tetapi cobalah cermati setiap kata dalam keseluruhan teks itu. Di situlah kita seperti berhadapan dengan teka-teki tentang dua gambar yang serupa tapi tak sama. Sebuah teka-teki yang mengasyikkan. Kita tidak hanya disuruh menghubungkaitkan sms yang satu dengan sms lainnya, mencermati sendiri tokoh-tokohnya, tetapi juga menciptakan sendiri segala peristiwa yang terjadi di balik sms itu. Sebuah puzzle dengan potongan-potongan gambar yang berserak, dan kita bebas merangkaikan sendiri menjadi sebuah gambar yang utuh.
Dilihat dari konteks eksperimentasi, semangatnya hampir sama dengan Danarto ketika ia hendak mengembalikan cerita sebagai cerita. Di dalam cerita, logika formal tidak diperlukan. Yang dipentingkan di sana adalah cerita tentang sesuatu. Logis tidaknya cerita itu, bukan urusannya. Danarto sekadar bercerita. Lalu mengapa orang harus repot-repot mencari hubungan kausalitas dan mencoba memahaminya dengan hukum logika formal.
Semangat Djenar sejenis itu. Ia tak hendak bercerita, karena ia menyerahkan segala ceritanya kepada pembaca. Yang ditekankan Djenar adalah memberi kebebasan kepada pembaca untuk bercerita menurut persepsi masing-masing. Djenar sekadar memberi tanda-tanda. Silakan kaitkan sendiri hubungannya, silakan ciptakan sendiri peristiwanya. Dalam hal ini, Djenar coba berisyarat, bahwa di balik rangkaian sms itu ada peristiwa dan cerita yang terjadi dan dialami tokoh Boim, Vira, Tyana, Jo, Armand, dan Robert. Dari tanda-tanda yang disinyalkannya, kita dapat menangkap, dua pasang manusia (Armand—Vira dan Boim—Tyana) gagal berkencan karena suami mereka (Jo dan Armand) ada di sana..
Bagaimana cerpen yang secara konvensional dipahami hakikatnya cerita, dijungkirbalikkan menjadi tanda-tanda. Lalu apa ceritanya? Itulah tugas pembaca. Djenar memahami, pembacanya adalah masyarakat yang tak lagi gegar teknologi. Jadi, sms (short messages service) bukanlah hal asing. Ini bagian dari kehidupan modern. Maka, dengan sms itu, Djenar memperlakukan pembacanya sebagai bagian dari masyarakat modern yang cerdas dan sangat paham tetek bengek sms. Sebagai pengarang, Djenar tak memanfaatkan kekuasaannya secara absolut. Ia liberal, demokratis, dan berbagi kekuasaan dengan pembacanya. Bukankah berbagi kekuasaan merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan pengarang kepada pembaca?
***
Jika disederhanakan, cerpen “SMS” bercerita tentang rencana perselingkuhan tokoh Boim—Tyana, Armand—Vira, dan sesama jenis Jo—Robert. Mula-mula Boim berkirim sms pada Vira. Di antara itu, Vira menerima sms dari Armand yang lalu mengajaknya bertemu di satu tempat. Boim yang katanya mau meeting, ternyata kirim sms pada Tyana. Keduanya juga sepakat jumpa di satu tempat. Sebagaimana lazimnya seorang istri yang hendak menunjukkan kesetiaan kepada suami, Vira minta izin pada Jo, suaminya. Begitu juga Tyana. Suami Tyana (Armand), tentu saja mengizinkan, lantaran ia punya janji dengan Vira. Ketika mereka hendak sampai ke tempat yang dituju, Vira dan Tyana melihat mobil suaminya masing-masing. Bubarlah rencana mereka. Tetapi Jo tidak. Ia memilih berkencan dengan sesama jenis, dengan Robert yang gay.
Dilihat dari waktu ceritanya, yaitu lama peristiwa itu berlangsung dalam cerita, semua peristiwa dalam “SMS” terjadi kurang dari satu setengah jam, dimulai dari jam 12:29:18 sampai 13:58:2. Jadi, dalam waktu yang kurang dari 90 menit, Djenar berhasil mengangkat berbagai peristiwa dan itu dirangkai dalam hitungan detik per detik. Dalam banyak prosa, waktu cerita bisa sangat panjang bisa sangat singkat. Serial silat Kho Ping Ho misalnya, waktu ceritanya berlangsung selama beberapa generasi, sementara Sitti Nurbaya dimulai dari masa remaja Samsul Bachri sampai ia tewas di tangan Datuk Meringgih. Jadi berlangsung sekitar tiga puluhan tahun.
Waktu cerita yang singkat seperti dalam “SMS” juga bukan hal baru. Tetapi, itu harus didukung oleh teknik dan kepiawaian yang tinggi dalam menciptakan berbagai hal dan rangkaian peristiwa. Sebutlah novel Sehari dalam Hidup Ivan Denisovitch karya Alexandre Solzhenitsyn. Kisah satu hari kehidupan Ivan berhasil dieksploitasi, dieksplorasi pengarang menjadi kisah dahsyat penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Ia membongkar kekejaman di kamp konsentrasi Siberia. Remah-remah roti dan kerak bubur adalah nafas yang dapat memperpanjang hidup. Kelaparan adalah denyut jantung mereka. Di sana, maut menempel di setiap pundak para tahanan yang terus membayangi mereka setiap detik.
Dengan kemampuan deskripsinya yang sangat terinci, Alexandre Solzhenitsyn berhasil memotret suasana dan latar kehidupan di kamp konsentrasi Siberia. Teknik yang sama dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam Keluarga Gerilya. Kehidupan yang berlangsung selama tiga hari itu, dimanfaatkan Pram untuk mengangkat suasana khaos akibat perang dan berantakannya kehidupan sebuah keluarga. Ibu yang jadi pelacur, ayah berkhianat, adik diperkosa, dan kakak-beradik yang jadi gerilyawan, terpaksa harus membunuh ayahnya sendiri. Sebuah tragedi kemanusiaan yang bisa terjadi di mana saja ketika manusia berhadapan dengan pilihan: bertahan hidup atau mengabdi pada negara.
Teknik yang digunakan Putu Wijaya dalam Stasiun lain lagi. Ia bermain dalam tataran pikiran dan perasaan tokoh-tokohnya. Seenaknya ia mondar-mandir menciptakan peristiwa apa saja, jungkir-balik, masa lalu dan masa depan. Semua bisa dihadirkan pada saat yang sama, pada satu tokoh lelaki yang duduk di peron stasiun. Jadi, peristiwa yang sebenarnya terjadi beberapa jam saja, dapat mengungkapkan banyak peristiwa. Mengingat pikiran dan perasaan tak terikat ruang dan waktu, apa pun bisa hadir dan terjadi di sana.
Peristiwa yang tak terikat ruang dan waktu, bisa juga hadir dalam mimpi. Itulah yang dimanfaatkan Taufik Ikram Jamil dalam Hempasan Gelombang untuk menguak sejarah masa lalu puaknya. Mimpi sekadar alat, pintu masuk untuk mengangkat peristiwa sejarah masa lalu menjadi peristiwa masa kini. Peristiwa mimpi juga dimanfaatkan Hudan Hidayat dalam cerpennya “Mimpi yang Mematikan”. Karena yang terjadi dalam mimpi, maka peristiwa kanibalisme dan penyimpangan seksual mempunyai dasar legitimasi.
Begitulah waktu cerita yang digunakan pengarang bisa sangat panjang bisa sangat singkat. Bergantung pada tuntutan ceritanya. Cerpen “SMS” yang waktu ceritanya kurang dari 90 menit, juga sebenarnya mengungkapkan banyak hal. Hanya, Djenar tak melakukan deskripsi atau narasi, sebagaimana yang terdapat pada karya-karya yang disebutkan tadi, tetapi justru menyerahkan peristiwanya kepada pembaca. Di sana banyak ruang kosong yang dapat kita masuki, kita isi dengan rangkaian cerita, kita hadirkan dengan berbagai peristiwa. Itulah salah satu kebaruan dalam “SMS”. Itulah eksperimentasi Djenar yang berbeda dengan cara yang pernah dilakukan para pengarang sebelumnya.
***
Yang juga menarik dari cerpen “SMS” ini adalah semangat Djenar yang tetap konsisten mengusung ideologi gender. Lihatlah tindakan Vira dan Tyana. Keduanya batal berselingkuh karena di sana ada suami mereka. Itulah bentuk penghormatan pada ikatan perkawinan. Tetapi apa yang dilakukan Jo, suami Vira? Ia memilih bermain dengan Robert, makhluk sejenis. Bukankah itu wujud kerakusan laki-laki? Lalu apa yang dikatakan si gay, Robert? “OK. Now let’s get rid of your wife!” Satu penghinaan luar biasa yang memperlakukan istri Jo sebagai sampah yang harus dicampakkan! Itulah cermin arogansi dunia laki-laki. Djenar seperti hendak meledek: laki-laki memang rakus, apa pun bisa dimakannya! Dan di balik itu, laki-laki tunduk pada ketidaknormalan, menikmati penyimpangan. Jadi, Jo (baca: laki-laki) itu tidak normal, menyimpang. Dengan kata lain, perempuan masih jauh lebih baik, karena ia masih menghargai kenormalan dan tak mau melakukan penyimpangan. Apa iya? Itulah yang terjadi dalam cerpen “SMS”.
Begitulah, cerpen “SMS” yang tampak sederhana itu ternyata menyimpan begitu banyak makna. Seperti puisi, ia kaya imaji, dan pembaca diberi ruang yang luas untuk masuk ke dalamnya. Dari mana Djenar punya ide menulis cerpen seperti itu? Niscaya itu datang dari kepiawaian yang cerdas atau dari kecerdasan yang piawai!
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok)
http://mahayana-mahadewa.com/
Djenar Maesa Ayu mencuat namanya bersamaan dengan maraknya isu sastra wangi, sebuah ungkapan bernada miring yang ditujukan pada beberapa artis cantik yang terjun ke dunia sastra. Maka, selepas terbit antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003), nada miring itu pun sepertinya melekat begitu saja. Namanya juga isu. Ia masih saja bergentayangan. Bahkan, ketika cerpennya “Waktu Nayla” terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2003, publik sastra masih juga belum begitu yakin atas prestasi Djenar. Keberhasilan sebelumnya yang menempatkan cerpennya “Menyusu Ayah” sebagai Cerpen Terbaik 2002 versi Jurnal Perempuan, seolah-olah tak berarti apa-apa.
Publik terkadang memang kejam. Tudingan tanpa dasar bisa menggelinding seperti bola liar. Isu yang dilontarkannya kemudian bergeser: dari sastra wangi karena kecantikan penulisnya, ke isi cerpen yang nyerempet-nyerempet, sensasional dan mengobral kata-kata nakal. Resensi yang ditulis Danarto di harian Republika, mewartakan, betapa Djenar sangat terampil dalam membangun narasi, menghancurkan tabu-tabu untuk kepentingan mengusung ideologi gender, dan menyelusupkan eksperimentasi tanpa berkesan pretensius. Ia sekadar bercerita, mengangkat potret sosial yang aktual, dan memosisikan dunia lelaki dengan mitos superioritasnya ke dalam simbolisasi perilaku kebinatangan. Ia membalikkan mitos itu dan menggiring dunia laki-laki ke dalam wilayah kaum pecundang.
Kiprah Djenar tegas tak sekadar mengisi waktu luang atau cari sensasi. Ia serius dan itu dibuktikan lewat sebuah antologi lagi Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004). Dalam waktu empat bulan, buku ini tiga kali dicetak ulang. Seperti juga antologi cerpen pertamanya, Jangan Main-Main termasuk kategori buku-buku laris. Bukankah itu bukti keberhasilannya? Lalu, masihkah publik sastra meragukan kepiawaiannya?
***
Secara iseng, saya coba bertanya pada sejumlah mahasiswa, kawan, dan beberapa orang yang tak saya kenal. Dari kedua buku antologi Djenar Maesa Ayu, cerpen manakah yang paling sederhana? Pilihan pertanyaan model itu sengaja untuk coba menangkap sejauh mana kekuatan Djenar pada cerpen yang paling sederhana menurut pandangan orang. Jika cerpen itu lemah, masih agak wajar jika muncul kontroversi. Sebaliknya, jika dari cerpen yang paling sederhana itu saja terkandung kekuatan, maka tak ada alasan lagi bagi publik untuk bertindak skeptis atas kepengarangan Djenar. Itulah dasar pemikirannya.
Beberapa ada yang menjawab “Tidak tahu” lantaran belum membaca semua cerpen dalam kedua antologi itu. Tetapi, sebagian besar yang sudah membaca kedua buku itu, memilih cerpen “SMS” yang terhimpun dalam antologi Mereka Bilang, Saya Monyet! sebagai cerpen yang dianggap paling sederhana. “Kok, orang ber-sms saja bisa jadi cerpen. Bukankah kini setiap hari kita nyaris tak dapat meninggalkan sms? Kalau begitu, saya juga bisa menulis cerpen!” demikian beberapa komentar mereka, yang mengingatkan jawaban yang sama ketika saya membacakan dua puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Luka” dan “Kalian.” Dari mana SCB punya ide menulis puisi dari ha ha dan pun, jika bukan dari sebuah kecerdasan. Hal yang sama tentu berlaku pada Djenar yang membangun cerpen dari kirim-balas sms. Itulah yang belum dapat dipahami publik. Maka, terima saja jika beberapa di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa mereka bisa menulis puisi atau cerpen yang jauh lebih bagus dari ha ha dan pun atau “SMS”.
Itulah publik! Terkadang lucu, sering pula naif. Selalu, mereka baru ngeh –sadar— ketika orang lain sudah memulai. Tetapi, di balik itu, saya takjub pada kesadaran mereka. Itulah kejujuran publik. Menjawab tanpa pretensi, menilai tanpa punya kepentingan apa pun. Benarkah “SMS” sebagai cerpen yang paling sederhana?
***
Secara tekstual dan sekilas pintas, ada benarnya juga jawaban publik itu. Tak ada narasi, tak ada deskripsi. Padahal, yang namanya cerpen –cerita pendek—di dalamnya mesti ada sesuatu yang diceritakan. Di sana, tak ada orang yang bercerita. Tak jelas pula, tokoh-tokohnya itu ganteng, cantik, atau jelek. Semuanya wujud dalam bentuk sms. Jika begitu, apakah “SMS” termasuk cerpen?
Masih ingatkah cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” karya Umar Kayam yang kemudian mendapat hadiah dari majalah sastra Horison, 1966/1967? Cerpen itu dibangun lewat dialog. Seolah-olah, di sana tak ada deskripsi, tak ada narasi. Semua nyaris disajikan dalam bentuk tanya-jawab. Dari dalam dialog itu, lahir narasi tentang rindu lelaki Jawa (Marno). Dari dialog itu pula, muncul deskripsi tentang suasana malam di Manhattan yang dibayangkannya seperti seribu kunang-kunang di desanya. Bukankah itu sebuah cerpen yang mumpuni? Dengan sebagian besar dialog, pembaca digiring pada suasana batin tokoh Marno dan Jane yang galau. Marno rindu kampung halaman, terbayang istri, sementara di depannya tergolek perempuan bule, Jane, yang rindu pada mantan suaminya. Jane siap melayani dan mengobati kegalauan Marno. Sebuah gangguan kesetiaan dihadapi Marno. Cinta pada sang istri atau berkhianat? Sebuah konflik batin yang dahsyat!
Bagaimana dengan cerpen “SMS” karya Djenar Maesa Ayu? Betul, cerpen ini tampaknya begitu sederhana. Tetapi cobalah cermati setiap kata dalam keseluruhan teks itu. Di situlah kita seperti berhadapan dengan teka-teki tentang dua gambar yang serupa tapi tak sama. Sebuah teka-teki yang mengasyikkan. Kita tidak hanya disuruh menghubungkaitkan sms yang satu dengan sms lainnya, mencermati sendiri tokoh-tokohnya, tetapi juga menciptakan sendiri segala peristiwa yang terjadi di balik sms itu. Sebuah puzzle dengan potongan-potongan gambar yang berserak, dan kita bebas merangkaikan sendiri menjadi sebuah gambar yang utuh.
Dilihat dari konteks eksperimentasi, semangatnya hampir sama dengan Danarto ketika ia hendak mengembalikan cerita sebagai cerita. Di dalam cerita, logika formal tidak diperlukan. Yang dipentingkan di sana adalah cerita tentang sesuatu. Logis tidaknya cerita itu, bukan urusannya. Danarto sekadar bercerita. Lalu mengapa orang harus repot-repot mencari hubungan kausalitas dan mencoba memahaminya dengan hukum logika formal.
Semangat Djenar sejenis itu. Ia tak hendak bercerita, karena ia menyerahkan segala ceritanya kepada pembaca. Yang ditekankan Djenar adalah memberi kebebasan kepada pembaca untuk bercerita menurut persepsi masing-masing. Djenar sekadar memberi tanda-tanda. Silakan kaitkan sendiri hubungannya, silakan ciptakan sendiri peristiwanya. Dalam hal ini, Djenar coba berisyarat, bahwa di balik rangkaian sms itu ada peristiwa dan cerita yang terjadi dan dialami tokoh Boim, Vira, Tyana, Jo, Armand, dan Robert. Dari tanda-tanda yang disinyalkannya, kita dapat menangkap, dua pasang manusia (Armand—Vira dan Boim—Tyana) gagal berkencan karena suami mereka (Jo dan Armand) ada di sana..
Bagaimana cerpen yang secara konvensional dipahami hakikatnya cerita, dijungkirbalikkan menjadi tanda-tanda. Lalu apa ceritanya? Itulah tugas pembaca. Djenar memahami, pembacanya adalah masyarakat yang tak lagi gegar teknologi. Jadi, sms (short messages service) bukanlah hal asing. Ini bagian dari kehidupan modern. Maka, dengan sms itu, Djenar memperlakukan pembacanya sebagai bagian dari masyarakat modern yang cerdas dan sangat paham tetek bengek sms. Sebagai pengarang, Djenar tak memanfaatkan kekuasaannya secara absolut. Ia liberal, demokratis, dan berbagi kekuasaan dengan pembacanya. Bukankah berbagi kekuasaan merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan pengarang kepada pembaca?
***
Jika disederhanakan, cerpen “SMS” bercerita tentang rencana perselingkuhan tokoh Boim—Tyana, Armand—Vira, dan sesama jenis Jo—Robert. Mula-mula Boim berkirim sms pada Vira. Di antara itu, Vira menerima sms dari Armand yang lalu mengajaknya bertemu di satu tempat. Boim yang katanya mau meeting, ternyata kirim sms pada Tyana. Keduanya juga sepakat jumpa di satu tempat. Sebagaimana lazimnya seorang istri yang hendak menunjukkan kesetiaan kepada suami, Vira minta izin pada Jo, suaminya. Begitu juga Tyana. Suami Tyana (Armand), tentu saja mengizinkan, lantaran ia punya janji dengan Vira. Ketika mereka hendak sampai ke tempat yang dituju, Vira dan Tyana melihat mobil suaminya masing-masing. Bubarlah rencana mereka. Tetapi Jo tidak. Ia memilih berkencan dengan sesama jenis, dengan Robert yang gay.
Dilihat dari waktu ceritanya, yaitu lama peristiwa itu berlangsung dalam cerita, semua peristiwa dalam “SMS” terjadi kurang dari satu setengah jam, dimulai dari jam 12:29:18 sampai 13:58:2. Jadi, dalam waktu yang kurang dari 90 menit, Djenar berhasil mengangkat berbagai peristiwa dan itu dirangkai dalam hitungan detik per detik. Dalam banyak prosa, waktu cerita bisa sangat panjang bisa sangat singkat. Serial silat Kho Ping Ho misalnya, waktu ceritanya berlangsung selama beberapa generasi, sementara Sitti Nurbaya dimulai dari masa remaja Samsul Bachri sampai ia tewas di tangan Datuk Meringgih. Jadi berlangsung sekitar tiga puluhan tahun.
Waktu cerita yang singkat seperti dalam “SMS” juga bukan hal baru. Tetapi, itu harus didukung oleh teknik dan kepiawaian yang tinggi dalam menciptakan berbagai hal dan rangkaian peristiwa. Sebutlah novel Sehari dalam Hidup Ivan Denisovitch karya Alexandre Solzhenitsyn. Kisah satu hari kehidupan Ivan berhasil dieksploitasi, dieksplorasi pengarang menjadi kisah dahsyat penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Ia membongkar kekejaman di kamp konsentrasi Siberia. Remah-remah roti dan kerak bubur adalah nafas yang dapat memperpanjang hidup. Kelaparan adalah denyut jantung mereka. Di sana, maut menempel di setiap pundak para tahanan yang terus membayangi mereka setiap detik.
Dengan kemampuan deskripsinya yang sangat terinci, Alexandre Solzhenitsyn berhasil memotret suasana dan latar kehidupan di kamp konsentrasi Siberia. Teknik yang sama dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam Keluarga Gerilya. Kehidupan yang berlangsung selama tiga hari itu, dimanfaatkan Pram untuk mengangkat suasana khaos akibat perang dan berantakannya kehidupan sebuah keluarga. Ibu yang jadi pelacur, ayah berkhianat, adik diperkosa, dan kakak-beradik yang jadi gerilyawan, terpaksa harus membunuh ayahnya sendiri. Sebuah tragedi kemanusiaan yang bisa terjadi di mana saja ketika manusia berhadapan dengan pilihan: bertahan hidup atau mengabdi pada negara.
Teknik yang digunakan Putu Wijaya dalam Stasiun lain lagi. Ia bermain dalam tataran pikiran dan perasaan tokoh-tokohnya. Seenaknya ia mondar-mandir menciptakan peristiwa apa saja, jungkir-balik, masa lalu dan masa depan. Semua bisa dihadirkan pada saat yang sama, pada satu tokoh lelaki yang duduk di peron stasiun. Jadi, peristiwa yang sebenarnya terjadi beberapa jam saja, dapat mengungkapkan banyak peristiwa. Mengingat pikiran dan perasaan tak terikat ruang dan waktu, apa pun bisa hadir dan terjadi di sana.
Peristiwa yang tak terikat ruang dan waktu, bisa juga hadir dalam mimpi. Itulah yang dimanfaatkan Taufik Ikram Jamil dalam Hempasan Gelombang untuk menguak sejarah masa lalu puaknya. Mimpi sekadar alat, pintu masuk untuk mengangkat peristiwa sejarah masa lalu menjadi peristiwa masa kini. Peristiwa mimpi juga dimanfaatkan Hudan Hidayat dalam cerpennya “Mimpi yang Mematikan”. Karena yang terjadi dalam mimpi, maka peristiwa kanibalisme dan penyimpangan seksual mempunyai dasar legitimasi.
Begitulah waktu cerita yang digunakan pengarang bisa sangat panjang bisa sangat singkat. Bergantung pada tuntutan ceritanya. Cerpen “SMS” yang waktu ceritanya kurang dari 90 menit, juga sebenarnya mengungkapkan banyak hal. Hanya, Djenar tak melakukan deskripsi atau narasi, sebagaimana yang terdapat pada karya-karya yang disebutkan tadi, tetapi justru menyerahkan peristiwanya kepada pembaca. Di sana banyak ruang kosong yang dapat kita masuki, kita isi dengan rangkaian cerita, kita hadirkan dengan berbagai peristiwa. Itulah salah satu kebaruan dalam “SMS”. Itulah eksperimentasi Djenar yang berbeda dengan cara yang pernah dilakukan para pengarang sebelumnya.
***
Yang juga menarik dari cerpen “SMS” ini adalah semangat Djenar yang tetap konsisten mengusung ideologi gender. Lihatlah tindakan Vira dan Tyana. Keduanya batal berselingkuh karena di sana ada suami mereka. Itulah bentuk penghormatan pada ikatan perkawinan. Tetapi apa yang dilakukan Jo, suami Vira? Ia memilih bermain dengan Robert, makhluk sejenis. Bukankah itu wujud kerakusan laki-laki? Lalu apa yang dikatakan si gay, Robert? “OK. Now let’s get rid of your wife!” Satu penghinaan luar biasa yang memperlakukan istri Jo sebagai sampah yang harus dicampakkan! Itulah cermin arogansi dunia laki-laki. Djenar seperti hendak meledek: laki-laki memang rakus, apa pun bisa dimakannya! Dan di balik itu, laki-laki tunduk pada ketidaknormalan, menikmati penyimpangan. Jadi, Jo (baca: laki-laki) itu tidak normal, menyimpang. Dengan kata lain, perempuan masih jauh lebih baik, karena ia masih menghargai kenormalan dan tak mau melakukan penyimpangan. Apa iya? Itulah yang terjadi dalam cerpen “SMS”.
Begitulah, cerpen “SMS” yang tampak sederhana itu ternyata menyimpan begitu banyak makna. Seperti puisi, ia kaya imaji, dan pembaca diberi ruang yang luas untuk masuk ke dalamnya. Dari mana Djenar punya ide menulis cerpen seperti itu? Niscaya itu datang dari kepiawaian yang cerdas atau dari kecerdasan yang piawai!
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok)
11/08/11
TEROR DALAM KEHIDUPAN BERINGAS
Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Gelombang cerpen Indonesia mutakhir sungguh seperti gerak roda kereta; gemertak-keras-memekakkan, sangat beragam, bising dan kadang kala terlalu nyaring. Selepas Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, Agus Noor, Hudan Hidayat, Herlino Soleman, dan sederet panjang nama-nama yang acapkali menggelisahkan kita di hari Minggu, kini Teguh Winarsho AS coba meluncurkan antologi cerpennya. Meski namanya sudah sejak lama sering kita jumpai di banyak koran Minggu dan sejumlah tabloid atau majalah, sejauh pengamatan, kumpulan cerpennya Bidadari Bersayap Belati ini merupakan antologi pertamanya. Lalu, apakah kehadiran antologi ini sekadar semacam penggembira, menambah daftar nama dalam leksikon sastra –meski bukunya tak ikut terpanjang pada rak buku– atau cukup signifikan dan dipandang boleh mewarnai peta konstelasi cerpen Indonesia?
Dalam konteks itu, keterpukauan pada nama besar sering malah menjerumuskan kita pada sikap apriori dan subjektif. Akibatnya, belum apa-apa kita sudah terpengaruh dan mengendurkan sikap kritis kita untuk mencermati ihwal estetikanya. Di sini pula, teks menjadi jauh lebih penting daripada nama. Nama besar jika ekornya jatuh pada karya yang biasa saja, tentu juga tidaklah sedap didengar. Sebaliknya, nama baru namun menyodorkan karya yang menjanjikan, niscaya bakal memberi secercah optimisme dan pengharapan; kelak, menorehkan bentuk estetika yang khas dan cerdas dalam karya-karya berikutnya. Jadi, terimalah Bidadari Bersayap Belati ini secara lebih objektif. Siapa tahu, dari situ kita memperoleh banyak hal dan pertanyaan: adakah di sana tersembul sebuah kecenderungan yang menjanjikan?
***
Antologi ini memuat 18 cerpen. Sebagian besarnya sangat mungkin pernah mengganggu pikiran para pembaca koran hari Minggu. Mengganggu pikiran, lantaran dari sejumlah cerpennya itu, kadang kala menyeruak teror psikologis dan gertak makhluk banal yang kejam; gaya teror yang sangat berbeda dengan teror mental model Putu Wijaya. Atau, pikiran kita tiba-tiba dihadapkan pada sosok raja tega, pelaku tindak kriminal, atau pembunuh yang sengaja menikmati suasana mencekam yang menerkam persekitarannya dengan enteng. Dari sudut ini, Teguh tampak punya keseriusan yang cukup menakjubkan. Kadang kala, ia menggerakkan tokoh-tokohnya dengan pelahan, bahkan terkesan terlalu tenang, tanpa memperlihatkan ketergopohannya; satu sikap yang penting ditumbuhkan dalam diri seorang cerpenis, agar perenungannya dapat lebih intens.
Kesabaran membangun alur cerita dan usahanya mengecoh horison harapan pembaca, sungguh merupakan modal yang sangat berharga. Dengan itu, dalam sejumlah besar cerpennya, Teguh berhasil membina alur ceritanya menyerupai kisah-kisah detektif; memanfaatkan benar berbagai kejutan dan menciptakan trik-trik yang mengecoh. Sebuah siasat yang sering menjadi model estetik cerita detektif.
Meski begitu, ke-18 cerpen yang termuat dalam antologi ini tidak ada satu pun yang menampilkan sosok tokoh spion atau detektif yang coba membongkar kasus pembunuhan. Teguh sekadar mengambil pola alurnya yang mengecoh itu. Maka, kisah tentang seorang ibu yang gila, ayah yang bandit, anak yang sama brengseknya, preman gendeng atau perselingkuhan yang busuk, semua nyaris selalu berakhir dengan peristiwa yang tidak terduga; surprise yang menjengkelkan atau kejutan yang piawai.
Secara tematis, ada hal baru yang tampak hendak disodorkan antologi ini: dunia hitam dengan naluri-naluri gelapnya. Sememangnya tema model ini pernah juga diangkat beberapa cerpenis kita. Joni Ariadinata dalam Kali Mati (1999), tercatat salah satu di antaranya yang menonjol. Gambaran orang-orang marjinal yang tergusur, sebagaimana yang diangkat Ariadinata lebih dekat pada keliaran kaum gelandangan. Sementara Teguh, coba menyentuh kehidupan yang serba buas dan bergelimang teror: dunia pelacuran, perselingkuhan, ketertindasan dan penindasan perempuan, naluri lesbian dan homoseks, atau kegelisahan para preman. Dengan begitu, pikiran kita dibawa pada suasana yang terasa selalu dikejar teror psikologis; ketakutan, kecemasan, kepanikan, keteraniayaan, dan serangkaian peristiwa rencana pembunuhan. Kita seolah-olah sengaja dihadapkan pada bayangan tubuh yang bersimbah darah dan melesatnya roh yang mengejang kematian: segalanya menjadi begitu tragis. Dalam dunia yang demikian itu, nyawa manusia sungguh seperti tak punya makna apa-apa dan jasadnya boleh saja diperlakukan seenaknya menjadi alat permainan.
Jika ditarik lewat sebuah garis, antologi ini dapat dibagi ke dalam tema-tema besar yang mengangkat dunia wanita dalam sudut pandang yang gelap, kehidupan preman yang lebih gelap lagi, hubungan seks yang menyimpang atau naluri premanisme yang dapat menggoda siapa saja. Dilihat dari perspektif gender, kebusukan dunia wanita cenderung dihadirkan tidak berdiri sendiri. Ada penganiayaan dan ketidakadilan yang yang melatarbelakanginya, dan itu ditimpakan kaum lelaki pada kehidupan perempuan. Dengan begitu, kegelapan kehidupan kaum perempuan yang digambarkan dalam lebih dari separoh cerpen dalam antologi ini, semata-mata lantaran kebusukan lelaki. Dalam hal ini, Teguh agaknya hendak memprotes perlakuan itu, meski ia mengangkatnya lewat sisi gelap; sebuah keberpihakan gender yang ditampilkan secara paradoksal.
Bagaimana, misalnya, pilihan menjadi pelacur semata-mata untuk menggenapkan dosa ayah-ibu; atau pengabdian dan kesetiaan seorang istri kepada suami diejawantahkan lewat sajian hidangan kepala manusia, dan masih banyak peristiwa lain yang justru mencitrakan sosok perempuan dengan sejumlah naluri manusia-binatang. Maka, mencermati antologi ini patutlah kita menyiapkan kearifan (wisdom) dan menafsirkannya melalui logika akibat-sebab atau lewat perspektif gender jika hendak ditempatkan dalam konteks kritik sosial.
Sungguhpun begitu, dalam cerpen “Ibu: Hantu Sepanjang Hari,” “Iblis di Kepala Manusia,” “Ular Betina,” dan “Embun Cinta dan Sepasang Sayap Jelita” kita justru merasakan adanya kegeraman narator pada sosok seorang ibu. Ada dendam mendalam pada perlakuan biadab. Citra yang memancar dari keempat cerpen itu terkesan sebagai salah satu bentuk kesumat kegagalan seorang wanita menjadi ibu. Barangkali, inilah citra seorang ibu yang digambarkan paling busuk yang pernah muncul dalam cerpen Indonesia. Dalam konteks ini, Teguh tidak sekadar melawan prototipe dan pandangan klise tentang citra seorang ibu, tetapi juga menyodorkan model kritik sosial yang agaknya sengaja dibungkus dalam serangkaian peristiwa mengancam yang memaksa kita memasuki suasana tegangan yang mengasyikkan.
***
Model seperti tadi, tentu saja berbeda ketika kita mencermati cerpen-cerpen yang mengangkat premanisme atau kehidupan rumah tangga seorang preman. Digambarkan, bagaimana sosok raja tega menikmati keadaan jasad istrinya –lidah menjulur dengan mata melotot—yang mati dijerat tali jemuran (“Menjadi Mayat”), ayah yang tak sadar memperkosa anak gadisnya (“Ning di Mulut Harimau”) atau ayah yang berhasrat besar membunuh anak sendiri (“Televisi”). Dari kacamata moralitas, tentu perilaku yang demikian itu tak masuk daftar. Tetapi, penggambaran kesadisan itu memberi penyadaran kepada diri kita untuk melakukan retrospeksi, betapa keadaan itu sesungguhnya banyak terjadi dalam kehidupan kita dewasa ini. Dan Teguh sekadar mencoba memotret problem sosial itu. Persoalannya tinggal bergantung pada sensitivitas kita dalam menanggapinya; membiarkan kondisi masyarakat kita tetap carut marut seperti itu atau memusuhinya?
***
Bagaimanapun juga, sadar atau tidak, cerpen (sastra) dapat diperlakukan sebagai dunia alternatif ketika saluran-saluran komunikasi yang legal, tidak berfungsi. Sastra lalu berkesempatan untuk menawarkan dunia lain sebagai salah satu bentuk pemihakan atas diri manusia dan kemanusiaan dalam lingkaran problem sosial. Di sinilah, sastrawan punya caranya sendiri untuk melakukan pemihakan. Jika ia berteriak lantang menentang ketidakadilan dan penganiayaan, maka ia akan terjerumus pada propaganda dan dakwah. Karyanya akan hanyut dalam arus deras makna yang artifisial.
Sebaliknya, jika pemihakannya dikemas dengan halus dan pembelaannya pada manusia dan kemanusiaan disembunyikan dalam substansi cerita, maka sangat boleh jadi pembaca tak cukup jeli menangkap pesan estetiknya. Atau mungkin juga, pembaca tanpa sadar, ikut melakukan pemihakan dan tergoda menentang kebrengsekan dan ketakadilan. Di sinilah, sastra memainkan fungsinya. Ia tak perlu berkhotbah. Juga tak usah berbusa-busa membual macam tukang obat kaki lima. Sastra cukuplah menyajikan satu sisi potret sosial macam apapun kondisinya. Bahwa ia menyajikan potret buram, gelap, abu-abu, atau panorama indah yang cerah ceria, makna pesannya (massage) bukanlah terletak pada bentuk luarnya, melainkan pada sesuatu yang berada di balik itu.
Dalam jalur yang menampilkan sisi gelap, periksa saja, misalnya, kejorokan para penumpang kereta sebagaimana yang diangkat Idrus (“Kota-Harmoni”) atau kebusukan para gembel dalam “Lampor” atau Kali Mati, Joni Ariadinata. Apanya yang indah dari pelukisan Idrus tentang bau keringat dan terasi serta kaca jendela kereta yang penuh bekas ludah dan air sirih? Apanya yang menakjubkan dari deskripsi lumpur kental air comberan, belatung, dan bangkai binatang yang mengapung seperti yang dapat kita cermati dalam sejumlah cerpen Ariadinata? Estetika model apa pula yang ditawarkan Luxun ketika ia menguak kebringasan dan naluri liar seorang gila? Bagaimana pula Naguib Mahfouz yang mengumbar imajinasi dengan begitu beringas seperti sengaja lepas kendali?
Niscaya, kita masih dapat menderetkan contoh yang lebih panjang lagi perihal pesan moral dan nilai estetik yang ditawarkan sastrawan di belahan bumi ini. Bagaimana pula dengan antologi Bidadari Bersayap Belati yang menampilkan kebusukan perilaku manusia-binatang? Di manakah letak moralitasnya ketika Teguh bercerita tentang manusia-manusia yang justru tidak bermoral, biadab dan berhati iblis?
Dengan mengangkat tokoh-tokoh macam itu, Teguh sesungguhnya mengajak kita untuk memusuhi perilaku iblis macam yang digambarkannya. Itulah pesan moralnya, jika Bidadari Bersayap Belati hendak dikaitkan dengan persoalan moralitas. Dalam penggambaran manusia-binatang yang berperilaku iblis itu pula letak salah satu nilai estetiknya, di antara unsur intrinsik lainnya yang membangun struktur karya yang bersangkutan. Di situ pula kita secara proporsional dapat menempatkan Bidadari Bersayap Belati ini sebagai karya imajinatif, buah refleksi evaluatif atas problem sosial kita yang sudah mencapai ambang gawat.
***
Sesungguhnya, banyak hal dapat kita diskusikan atas kehadiran antologi Bidadari Bersayap Belati ini. Boleh jadi, sejumlah cerpen yang mengangkat tema-tema beringas dalam antologi ini bakal mengundang reaksi dan kontroversi. Justru di situlah, sastra mempertegas kembali fungsinya. Maka, anggap sajalah antologi ini sebagai provokator yang siap menjalankan tugasnya. Jika ia melakukan teror pada rasa kemanusiaan kita, eloklah kita tidak tergoda untuk melakukan kerusuhan!
Bojonggede, 18 Agustus 2002
http://mahayana-mahadewa.com/
Gelombang cerpen Indonesia mutakhir sungguh seperti gerak roda kereta; gemertak-keras-memekakkan, sangat beragam, bising dan kadang kala terlalu nyaring. Selepas Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, Agus Noor, Hudan Hidayat, Herlino Soleman, dan sederet panjang nama-nama yang acapkali menggelisahkan kita di hari Minggu, kini Teguh Winarsho AS coba meluncurkan antologi cerpennya. Meski namanya sudah sejak lama sering kita jumpai di banyak koran Minggu dan sejumlah tabloid atau majalah, sejauh pengamatan, kumpulan cerpennya Bidadari Bersayap Belati ini merupakan antologi pertamanya. Lalu, apakah kehadiran antologi ini sekadar semacam penggembira, menambah daftar nama dalam leksikon sastra –meski bukunya tak ikut terpanjang pada rak buku– atau cukup signifikan dan dipandang boleh mewarnai peta konstelasi cerpen Indonesia?
Dalam konteks itu, keterpukauan pada nama besar sering malah menjerumuskan kita pada sikap apriori dan subjektif. Akibatnya, belum apa-apa kita sudah terpengaruh dan mengendurkan sikap kritis kita untuk mencermati ihwal estetikanya. Di sini pula, teks menjadi jauh lebih penting daripada nama. Nama besar jika ekornya jatuh pada karya yang biasa saja, tentu juga tidaklah sedap didengar. Sebaliknya, nama baru namun menyodorkan karya yang menjanjikan, niscaya bakal memberi secercah optimisme dan pengharapan; kelak, menorehkan bentuk estetika yang khas dan cerdas dalam karya-karya berikutnya. Jadi, terimalah Bidadari Bersayap Belati ini secara lebih objektif. Siapa tahu, dari situ kita memperoleh banyak hal dan pertanyaan: adakah di sana tersembul sebuah kecenderungan yang menjanjikan?
***
Antologi ini memuat 18 cerpen. Sebagian besarnya sangat mungkin pernah mengganggu pikiran para pembaca koran hari Minggu. Mengganggu pikiran, lantaran dari sejumlah cerpennya itu, kadang kala menyeruak teror psikologis dan gertak makhluk banal yang kejam; gaya teror yang sangat berbeda dengan teror mental model Putu Wijaya. Atau, pikiran kita tiba-tiba dihadapkan pada sosok raja tega, pelaku tindak kriminal, atau pembunuh yang sengaja menikmati suasana mencekam yang menerkam persekitarannya dengan enteng. Dari sudut ini, Teguh tampak punya keseriusan yang cukup menakjubkan. Kadang kala, ia menggerakkan tokoh-tokohnya dengan pelahan, bahkan terkesan terlalu tenang, tanpa memperlihatkan ketergopohannya; satu sikap yang penting ditumbuhkan dalam diri seorang cerpenis, agar perenungannya dapat lebih intens.
Kesabaran membangun alur cerita dan usahanya mengecoh horison harapan pembaca, sungguh merupakan modal yang sangat berharga. Dengan itu, dalam sejumlah besar cerpennya, Teguh berhasil membina alur ceritanya menyerupai kisah-kisah detektif; memanfaatkan benar berbagai kejutan dan menciptakan trik-trik yang mengecoh. Sebuah siasat yang sering menjadi model estetik cerita detektif.
Meski begitu, ke-18 cerpen yang termuat dalam antologi ini tidak ada satu pun yang menampilkan sosok tokoh spion atau detektif yang coba membongkar kasus pembunuhan. Teguh sekadar mengambil pola alurnya yang mengecoh itu. Maka, kisah tentang seorang ibu yang gila, ayah yang bandit, anak yang sama brengseknya, preman gendeng atau perselingkuhan yang busuk, semua nyaris selalu berakhir dengan peristiwa yang tidak terduga; surprise yang menjengkelkan atau kejutan yang piawai.
Secara tematis, ada hal baru yang tampak hendak disodorkan antologi ini: dunia hitam dengan naluri-naluri gelapnya. Sememangnya tema model ini pernah juga diangkat beberapa cerpenis kita. Joni Ariadinata dalam Kali Mati (1999), tercatat salah satu di antaranya yang menonjol. Gambaran orang-orang marjinal yang tergusur, sebagaimana yang diangkat Ariadinata lebih dekat pada keliaran kaum gelandangan. Sementara Teguh, coba menyentuh kehidupan yang serba buas dan bergelimang teror: dunia pelacuran, perselingkuhan, ketertindasan dan penindasan perempuan, naluri lesbian dan homoseks, atau kegelisahan para preman. Dengan begitu, pikiran kita dibawa pada suasana yang terasa selalu dikejar teror psikologis; ketakutan, kecemasan, kepanikan, keteraniayaan, dan serangkaian peristiwa rencana pembunuhan. Kita seolah-olah sengaja dihadapkan pada bayangan tubuh yang bersimbah darah dan melesatnya roh yang mengejang kematian: segalanya menjadi begitu tragis. Dalam dunia yang demikian itu, nyawa manusia sungguh seperti tak punya makna apa-apa dan jasadnya boleh saja diperlakukan seenaknya menjadi alat permainan.
Jika ditarik lewat sebuah garis, antologi ini dapat dibagi ke dalam tema-tema besar yang mengangkat dunia wanita dalam sudut pandang yang gelap, kehidupan preman yang lebih gelap lagi, hubungan seks yang menyimpang atau naluri premanisme yang dapat menggoda siapa saja. Dilihat dari perspektif gender, kebusukan dunia wanita cenderung dihadirkan tidak berdiri sendiri. Ada penganiayaan dan ketidakadilan yang yang melatarbelakanginya, dan itu ditimpakan kaum lelaki pada kehidupan perempuan. Dengan begitu, kegelapan kehidupan kaum perempuan yang digambarkan dalam lebih dari separoh cerpen dalam antologi ini, semata-mata lantaran kebusukan lelaki. Dalam hal ini, Teguh agaknya hendak memprotes perlakuan itu, meski ia mengangkatnya lewat sisi gelap; sebuah keberpihakan gender yang ditampilkan secara paradoksal.
Bagaimana, misalnya, pilihan menjadi pelacur semata-mata untuk menggenapkan dosa ayah-ibu; atau pengabdian dan kesetiaan seorang istri kepada suami diejawantahkan lewat sajian hidangan kepala manusia, dan masih banyak peristiwa lain yang justru mencitrakan sosok perempuan dengan sejumlah naluri manusia-binatang. Maka, mencermati antologi ini patutlah kita menyiapkan kearifan (wisdom) dan menafsirkannya melalui logika akibat-sebab atau lewat perspektif gender jika hendak ditempatkan dalam konteks kritik sosial.
Sungguhpun begitu, dalam cerpen “Ibu: Hantu Sepanjang Hari,” “Iblis di Kepala Manusia,” “Ular Betina,” dan “Embun Cinta dan Sepasang Sayap Jelita” kita justru merasakan adanya kegeraman narator pada sosok seorang ibu. Ada dendam mendalam pada perlakuan biadab. Citra yang memancar dari keempat cerpen itu terkesan sebagai salah satu bentuk kesumat kegagalan seorang wanita menjadi ibu. Barangkali, inilah citra seorang ibu yang digambarkan paling busuk yang pernah muncul dalam cerpen Indonesia. Dalam konteks ini, Teguh tidak sekadar melawan prototipe dan pandangan klise tentang citra seorang ibu, tetapi juga menyodorkan model kritik sosial yang agaknya sengaja dibungkus dalam serangkaian peristiwa mengancam yang memaksa kita memasuki suasana tegangan yang mengasyikkan.
***
Model seperti tadi, tentu saja berbeda ketika kita mencermati cerpen-cerpen yang mengangkat premanisme atau kehidupan rumah tangga seorang preman. Digambarkan, bagaimana sosok raja tega menikmati keadaan jasad istrinya –lidah menjulur dengan mata melotot—yang mati dijerat tali jemuran (“Menjadi Mayat”), ayah yang tak sadar memperkosa anak gadisnya (“Ning di Mulut Harimau”) atau ayah yang berhasrat besar membunuh anak sendiri (“Televisi”). Dari kacamata moralitas, tentu perilaku yang demikian itu tak masuk daftar. Tetapi, penggambaran kesadisan itu memberi penyadaran kepada diri kita untuk melakukan retrospeksi, betapa keadaan itu sesungguhnya banyak terjadi dalam kehidupan kita dewasa ini. Dan Teguh sekadar mencoba memotret problem sosial itu. Persoalannya tinggal bergantung pada sensitivitas kita dalam menanggapinya; membiarkan kondisi masyarakat kita tetap carut marut seperti itu atau memusuhinya?
***
Bagaimanapun juga, sadar atau tidak, cerpen (sastra) dapat diperlakukan sebagai dunia alternatif ketika saluran-saluran komunikasi yang legal, tidak berfungsi. Sastra lalu berkesempatan untuk menawarkan dunia lain sebagai salah satu bentuk pemihakan atas diri manusia dan kemanusiaan dalam lingkaran problem sosial. Di sinilah, sastrawan punya caranya sendiri untuk melakukan pemihakan. Jika ia berteriak lantang menentang ketidakadilan dan penganiayaan, maka ia akan terjerumus pada propaganda dan dakwah. Karyanya akan hanyut dalam arus deras makna yang artifisial.
Sebaliknya, jika pemihakannya dikemas dengan halus dan pembelaannya pada manusia dan kemanusiaan disembunyikan dalam substansi cerita, maka sangat boleh jadi pembaca tak cukup jeli menangkap pesan estetiknya. Atau mungkin juga, pembaca tanpa sadar, ikut melakukan pemihakan dan tergoda menentang kebrengsekan dan ketakadilan. Di sinilah, sastra memainkan fungsinya. Ia tak perlu berkhotbah. Juga tak usah berbusa-busa membual macam tukang obat kaki lima. Sastra cukuplah menyajikan satu sisi potret sosial macam apapun kondisinya. Bahwa ia menyajikan potret buram, gelap, abu-abu, atau panorama indah yang cerah ceria, makna pesannya (massage) bukanlah terletak pada bentuk luarnya, melainkan pada sesuatu yang berada di balik itu.
Dalam jalur yang menampilkan sisi gelap, periksa saja, misalnya, kejorokan para penumpang kereta sebagaimana yang diangkat Idrus (“Kota-Harmoni”) atau kebusukan para gembel dalam “Lampor” atau Kali Mati, Joni Ariadinata. Apanya yang indah dari pelukisan Idrus tentang bau keringat dan terasi serta kaca jendela kereta yang penuh bekas ludah dan air sirih? Apanya yang menakjubkan dari deskripsi lumpur kental air comberan, belatung, dan bangkai binatang yang mengapung seperti yang dapat kita cermati dalam sejumlah cerpen Ariadinata? Estetika model apa pula yang ditawarkan Luxun ketika ia menguak kebringasan dan naluri liar seorang gila? Bagaimana pula Naguib Mahfouz yang mengumbar imajinasi dengan begitu beringas seperti sengaja lepas kendali?
Niscaya, kita masih dapat menderetkan contoh yang lebih panjang lagi perihal pesan moral dan nilai estetik yang ditawarkan sastrawan di belahan bumi ini. Bagaimana pula dengan antologi Bidadari Bersayap Belati yang menampilkan kebusukan perilaku manusia-binatang? Di manakah letak moralitasnya ketika Teguh bercerita tentang manusia-manusia yang justru tidak bermoral, biadab dan berhati iblis?
Dengan mengangkat tokoh-tokoh macam itu, Teguh sesungguhnya mengajak kita untuk memusuhi perilaku iblis macam yang digambarkannya. Itulah pesan moralnya, jika Bidadari Bersayap Belati hendak dikaitkan dengan persoalan moralitas. Dalam penggambaran manusia-binatang yang berperilaku iblis itu pula letak salah satu nilai estetiknya, di antara unsur intrinsik lainnya yang membangun struktur karya yang bersangkutan. Di situ pula kita secara proporsional dapat menempatkan Bidadari Bersayap Belati ini sebagai karya imajinatif, buah refleksi evaluatif atas problem sosial kita yang sudah mencapai ambang gawat.
***
Sesungguhnya, banyak hal dapat kita diskusikan atas kehadiran antologi Bidadari Bersayap Belati ini. Boleh jadi, sejumlah cerpen yang mengangkat tema-tema beringas dalam antologi ini bakal mengundang reaksi dan kontroversi. Justru di situlah, sastra mempertegas kembali fungsinya. Maka, anggap sajalah antologi ini sebagai provokator yang siap menjalankan tugasnya. Jika ia melakukan teror pada rasa kemanusiaan kita, eloklah kita tidak tergoda untuk melakukan kerusuhan!
Bojonggede, 18 Agustus 2002
26/02/11
SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI DAN KRITIK SASTRA INDONESIA
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Teori sastra (literary theory)[1] di Indonesia secara praksis sering kali dipahami juga sebagai kritik sastra (criticism).[2] Sementara kritik sastra tidak jarang diperlakukan sebagai pendekatan (approaches to literature).[3] Dalam hal ini, kritik sastra dianggap merupakan pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk berbagai kepentingan penelitian terhadap karya sastra konkret. Demikianlah, dalam banyak perbincangan, baik teori sastra maupun pendekatan atau penelitian sastra, hampir selalu ditempatkan dalam pengertian sebagai kritik sastra. Atau di bagian lain, teori sastra dikatakan juga sebagai teori kritik sastra.[4] Jadi, pembicaraan mengenai strukturalisme atau semiotik, misalnya, dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori kritik sastra.
Terlepas dari pemahaman yang tampak tumpang-tindih itu, sejauh pengamatan, hampir semua bersepakat, bahwa teori-teori itu sepenuhnya berasal dari Barat. Oleh karena itu, orientasi teori sastra di Indonesia dipahami dalam dikaitkannya dengan perkembangan teori sastra Barat. Kesan itu muncul ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra Indonesia yang khas dilahirkan berdasarkan cara pandang dan ruh kebudayaan Indonesia sendiri. Kesadaran untuk menghasilkan teori sastra yang khas Indonesia dan tidak bergantung teori sastra Barat itu, muncul lantaran dunia akademi tempat para mahasiswa dan dosen mempelajari dan mengembangkan ilmu sastra, dianggap telah menempatkan teori sastra modern cenderung lebih bersifat formalistik. Sementara itu, pembicaraan mengenai karya sastra itu sendiri atau kritik langsung terhadap karya sastra, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, teori ditempatkan sebagai teori an sich, dan bukan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis karya sastra. Demikianlah, atas anggapan itu, muncul kemudian keinginan dari beberapa pengamat sastra untuk tidak secara bulat-mentah menerima teori sastra Barat.
Subagio Sastrowardoyo, misalnya, mengungkapkan, “… dengan menitikberatkan pada teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra.”[5] Sebaliknya, ketika ada usaha untuk melakukan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra atau melakukan kritik langsung atas karya sastra, teori-teori yang mestinya menjadi alat analisis, tiba-tiba seperti gagal mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan makna karya sastra. Teori-teori itu seperti kehilangan relevansinya manakala hendak dioperasionalisasikan. Ia pada akhirnya seperti tempelan belaka yang seolah-olah sekadar memberi kesan ilmiah. “Penyelidikan sastra jadinya ditandai oleh ketiadaan teori dan metode yang jelas. Mungkin ada semacam teori dan metode, tetapi lebih merupakan teori dan metode yang bersifat ad hoc, disesuaikan dengan bahan yang ada.”[6] Itulah yang terjadi dalam banyak skripsi (tugas akhir kesarjanaan), mahasiswa fakultas sastra. Teori sastra jadinya sekadar hendak menegaskan kesan ilmiah belaka, sementara tugasnya sebagai alat analisis, interpretasi, dan evaluasi, tidak jelas ke mana arahnya.
Teori-teori sastra yang diperkenalkan dan diajarkan dalam dunia akademi di Indonesia, memang tidak lain bersumber dari teori sastra Barat. Dengan demikian, pembicaraan teori sastra (Indonesia) pada hakikatnya adalah teori sastra Barat. Itulah anggapan yang selama ini berkembang dalam sejumlah buku yang membicarakan kritik sastra Indonesia. Apakah sebelum itu, sama sekali tidak ada usaha-usaha untuk mencoba merumuskan semacam teori sastra (Indonesia) yang lebih sesuai dengan estetika kultur Indonesia sendiri? Bagaimana duduk masalah yang sesungguhnya, sehingga pemahaman tentang teori sastra (Barat) dan usaha untuk menerapkannya seperti tetesan minyak dalam air; terpisah sendiri dan sering kali gagal menjadi alat analisis, interpretasi, dan evaluasi?
***
Dalam ilmu sastra,[7] ada tiga bidang kegiatan penelitian yang berkaitan dengan sastra dan kesastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keberadaan masing-masing bidang bersifat saling melengkapi, komplementer dan saling mendukung. Mengingat sifatnya itu, ketiga bidang itu dapat dimasukkan ke dalam tiga wilayah kegiatan penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra –literary theory), historis (sejarah sastra –literary history), dan kritis (kritik sastra –literary criticism).
Dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.[8] Teori sastra bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikatnya, jenisnya, dasar-dasarnya, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Ia adalah studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategorinya, kriteria, dan sejenisnya. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra,[9] dan ia harus menciptakan dasar konsep yang universal, atau sekurang-kurangnya konsep umum, yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fakta-fakta.[10] Dengan demikian, teori sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra yang berusaha merumuskan pengertian-pengertian tentang sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan pengklasifikasian terhadap jenis dan ragam-ragam sastra, serta menyodorkan bagaimana analisis, interpretasi dan evaluasi terhadap karya sastra konkret dapat dilakukan.
Sebagai salah satu cabang ilmu sastra, teori sastra dapat memberi kontribusinya bagi cabang ilmu sastra lainnya, yaitu kritik sastra dan sejarah sastra. Kritik sastra, misalnya, hanya mungkin dapat melakukan evaluasi terhadap karya sastra secara objektif, jika evaluasinya didasarkan pada teori sastra. Kritik terhadap karya sastra konkret hanya akan menghasilkan penilaian yang sangat subjektif dan tak berdasar, jika ia mengabaikan teori sastra sebagai landasan penilaiannya. Begitu juga, sejarah sastra hanya mungkin dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika memperoleh bantuan teori sastra. Bagaimana mungkin sejarah sastra dapat mencatat terjadinya berbagai pembaruan dalam karya sastra jika ia tidak didukung oleh pemahaman mengenai teori sastra. Lalu, untuk apa pula teori sastra, jika ia tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kritik sastra. Begitu pula, kritik sastra yang tidak menggunakan teori sastra sebagai alat ukurnya, hanya akan menghasilkan interpretasi dan evaluasi yang terlalu subjektif. Di situlah, teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra, hadir dalam fungsinya yang saling melengkapi.
Dengan pemahaman bahwa yang dimaksud teori sastra itu merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria berdasarkan penyelidikan terhadap sejumlah karya sastra dengan tujuan menghasilkan dasar konsepsi yang berlaku secara universal atau paling tidak, berlaku umum, maka pandangan Rachmat Djoko Pradopo,[11] bahwa kritik sastra Indonesia tahun 1950-1970 belum menggunakan teori sastra, yang dimaksud teori sastra itu adalah teori sastra Barat. Demikian juga pernyataan Subagio Sastrowardoyo bahwa Indonesia selalu terlambat dalam menerima pengetahuan tentang teori-teori sastra yang bermunculan di dunia Barat,[12] menegaskan kembali betapa teori sastra (Barat) menjadi begitu penting dalam perkembangan teori sastra di Indonesia.
Lebih lanjut, dikatakan Sastrowardoyo bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, jarak hubungan kultural dan intelektual antara Indonesia dengan benua Amerika dan Eropa. Kedua, pemasukan buku dan majalah yang bersifat akademis dari luar negeri yang belum lancar dan masih terbatas jenisnya. Ketiga, kemampuan dan penguasaan umum yang masih lemah dalam pemahaman bahasa asing, sehingga menghambat pendalaman ke dalam objek studi, khususnya teori sastra.[13]
Jika yang dimaksud keterlambatan menerima teori sastra, sebagaimana yang dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu, sebagai keterlambatan menerima teori sastra Barat, maka masalah sebenarnya berkaitan dengan perkembangan kritik akademi atau kritik ilmiah. Dengan demikian, keterlambatan itu merupakan sesuatu yang wajar saja, jika itu ditempatkan dalam konteks kritik akademi atau kritik ilmiah. Apalagi jika mengingat munculnya kritik akademi atau kritik ilmiah, baru memperoleh bentuknya yang lebih jelas selepas tahun 1970-an, sebagaimana yang kemudian diajarkan di fakultas-fakultas sastra berbagai perguruan tinggi. Kritik sastra –yang di dalamnya menyangkut pembicaraan teori sastra— kemudian juga menjadi bagian dari kurikulum nasional pengajaran sastra.
Meskipun demikian, keterlambatan seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu sesungguhnya tidak juga sepenuhnya benar.[14] Anggapan terjadinya keterlambatan itu, sebenarnya cenderung lebih disebabkan oleh kelalaian membaca sejarah. Kritik dan teori sastra seolah-olah muncul tanpa sejarah. Itulah sebabnya, ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra sendiri –seperti yang pernah terjadi awal tahun 1980-an— pijakan pertama yang digunakan adalah teori sastra Barat, dan bukan lebih dahulu mencoba menyimak apa yang pernah terjadi sebelumnya. Atau, paling tidak, berangkat dari pertanyaan: apakah masalah itu sebelumnya pernah dibicarakan atau tidak. Dengan demikian, anggapan adanya keterlambatan penerimaan teori sastra Barat, boleh dikatakan muncul dari sikap apriori yang menafikan sejarah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia sendiri.
Jika melihat sejarah perjalanan kritik sastra di Indonesia yang justru sudah dimulai sejak zaman Pandji Poestaka,[15] maka dalam praktiknya, pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra, sebenarnya sudah dimulai sejak itu. Jadi, usaha-usaha ke arah perumusan teori sastra Indonesia sangat mungkin pula justru sudah muncul sejak zaman Pandji Poestaka dan kemudian semarak pada zaman Poedjangga Baroe. Lalu, apakah lantaran tulisan-tulisan itu masih tercecer dalam lembaran-lembaran suratkabar dan majalah, maka pembicaraan mengenai teori dan kritik sastra Indonesia hampir tak pernah mengungkap berbagai tulisan itu? Jadi, mengapa berbagai tulisan yang tersebar dalam majalah atau suratkabar itu hampir-hampir tidak pernah disinggung dalam konteks pembicaraan teori sastra (Indonesia)?
Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan berbagai tulisan dalam surat kabar dan majalah itu sering diabaikan dalam pembicaraan teori sastra.
Pertama, kecenderungan yang dilakukan para pengamat sastra Indonesia dalam menyusun sejarah sastra Indonesia mendasari penelitiannya pada karya-karya yang berujud buku, sementara karya-karya sastra yang masih tersebar di berbagai media massa sering kali diabaikan. A. Teeuw[16] dan Ajip Rosidi,[17] misalnya, menempatkan kelahiran kesusastraan Indonesia semata-mata berdasarkan karya-karya yang diterbitkan dalam bentuk buku. Akibatnya, awal kelahiran kesusastraan Indonesia, misalnya, dikatakannya berkisar pada kemunculan buku-buku terbitan Balai Pustaka. Padahal, cerita pendek, cerita bersambung (feuilleton), dan puisi, sudah sering bermunculan di berbagai suratkabar dan majalah pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dengan demikian, karya-karya yang disiarkan media massa itu kehadirannya justru mendahului buku-buku terbitan Balai Pustaka. Jadi, kelahiran kesusastraan Indonesia modern sesungguhnya tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan penerbitan suratkabar dan majalah.
Kedua, pemahaman kritik sastra –khasnya kritik sastra ilmiah atau kritik sastra akademi— dianggap hanya berkaitan dengan karya-karya ilmiah yang berupa karya kesarjanaan (skripsi, tesis, atau disertasi). Bahkan ada kesan bahwa kritik ilmiah atau kritik akademi, seolah-olah hanya berada di wilayah institusi pendidikan (fakultas sastra) dan tidak berada di luar itu. Kritik akademi jadinya memperoleh pemaknaan yang sempit dan dianggap yang hanya dapat dilakukan oleh para sarjana. Kritikus di luar itu, seolah-olah hanya menghasilkan kritik umum atau kritik impresionistik yang menekankan kesan subjektif kritikus, dan bukan menempatkan karya sastra sebagai objek penelitiannya. Akibat pemahaman itulah, kritik sastra akademi atau kritik sastra ilmiah lalu dibedakan dengan kritik impresionistik yang ditulis oleh sastrawan. Sementara kritik sastra umum yang terdapat di media massa, baik berupa resensi buku, maupun ulasan terhadap karya sastra konkret, cenderung tidak diperlakukan sebagai model kritik sastra ilmiah atau kritik akademi.[18]
Ketiga, kuatnya pengaruh kritik aliran Rawamangun[19] dalam institusi pendidikan sastra di Indonesia ikut pula mempengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap esai-esai yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, kritik atau ulasan terhadap karya sastra konkret yang disiarkan media massa itu, sering kali dianggap tidak ilmiah.
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan esai-esai (kritik sastra umum) yang disiarkan dalam suratkabar dan majalah kurang mendapat perhatian, bahkan terkesan seperti dibiarkan tercecer begitu saja. Untuk memberi gambaran, betapa pentingnya sejarah sastra –termasuk di dalamnya pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra— mengungkap tulisan-tulisan dan perbalahan yang terjadi di media massa, berikut ini akan dibincangkan berbagai tulisan dalam mengenai teori sastra yang pernah disiarkan Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe dan beberapa majalah lain yang terbit kemudian.
***
Seperti telah disebutkan, kritik sastra di Indonesia, secara praksis telah dimulai sejak Pandji Poestaka membuka rubrik atau ruangan “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam rubrik itu, Alisjahbana banyak mengulas dan memberi tanggapan atas sejumlah puisi yang dikirim ke majalah itu, dan juga membandingkannya dengan syair. Di samping itu, ia juga menyampaikan pandangannya mengenai apa yang disebutnya sebagai “Kesusastraan Baru” dengan berbagai ciri-cirinya. Dengan konsep kesusastraan baru yang diajukannya itu, ia melakukan interpretasi dan evaluasi atas puisi-puisi yang dibicarakannya. Dengan begitu, Alisjahbana sesungguhnya tidak hanya sudah melakukan praktik kritik sastra, tetapi juga memulai pembicaraan mengenai teori sastra. Dalam ruang “Memadjoekan Kesoesasteraan” (Pandji Poestaka, edisi Mei 1932),[20] Alisjahbana menurunkan artikel berjudul “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe”. Ia mengawali tulisannya sebagai berikut:
Pastilah roebrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” ini boekan sadja goenanja oentoek memoeatkan boeah tangan peodjangga kita. Sekali-kali ada djoega faedahnja, kalau dikemoekakan beberapa pikiran atau timbangan jang berfaedah oentoek memadjoekan kesoesasteraan.
Sekali ini kami hendak menoeliskan beberapa pertimbangan tentang kiasan dalam karang-mengarang pada oemoemnja dan dalam poeisi atau sjair pada choesoesnja.
Dikatakan lebih lanjut, bahwa kiasan, ibarat, atau perbandingan sangat penting dalam puisi Indonesia, mengingat bangsa Indonesia sudah sangat akrab dengan gaya bahasa itu. Kecenderungan yang menonjol pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi waktu itu adalah kiasan atau perbandingan yang sudah sering digunakan orang atau yang banyak terdapat dalam karya-karya sastra lama. “Pengarang harus melepaskan dirinya dari kebiasaan mengarang yang lama itu. Ia harus mengemukakan perasaannya sendiri, pikirannya sendiri, dan pemandangannya sendiri…. Sesungguhnyalah yang pertama sekali harus dilangsungkan oleh pujangga bangsa kita dewasa ini: melepaskan dirinya dari kungkungan yang erat mengikat dan kurungan yang lembab dan gelap, membunuh semangat.” Demikian penegasan Alisjahbana. Oleh karena itu, pemakaian kiasan dalam puisi, menurutnya, menuntut syarat-syarat tertentu.
Maka sesungguhnya perbandingan, kiasan, ibarat itu ada syarat-syaratnya.
Untuk menyelidiki betapa harusnya syarat kiasan dalam syair, haruslah kita mengaji dahulu apa yang dinamakan syair atau puisi.
Syair atau puisi ialah penjelmaan perasaan dengan perkataan.[21]
Dalam uraian selanjutnya, Alisjahbana mengungkapkan sejumlah kriteria mengenai ciri-ciri kiasan, ibarat, atau perbandingan yang menurutnya mencerminkan semangat kesusastraan baru. Dengan begitu, secara langsung Alisjahbana tidak hanya mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan puisi dan syair, pengertian kiasan, perbandingan, dan ibarat, tetapi juga menyodorkan sejumlah kriteria pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi baru.
Menurutnya, puisi lama cenderung mementingkan bunyi daripada isi atau amanat yang hendak penyair, sedangkan puisi baru, tidak hanya mempertimbangkan bunyi, tetapi juga makna setiap kata. “Tiap-tiap perkataan mesti kena tempatnya dan nyata arti dan perasaan yang dikemukakannya.[22] Dalam puisi baru … yang terpenting ialah perasaan dan pikiran yang masing-masing melahirkan bentuknya sendiri, yang sesuai benar tentang ikatan, pilihan kata, susunan kalimat dan irama dengan perasaan dan pikiran itu.”[23]
Selain Alisjahbana yang gencar sekali menyuarakan semangat kesusastraan baru,[24] beberapa penulis lain, di antaranya, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Hoesein Djajadiningrat, Soewandhi, J.E Tatengkeng, juga mencoba membuat rumusan, kriteria, dan ciri-ciri tentang berbagai aspek kesusastraan. Dengan kata lain, para penulis itu secara sadar berusaha pula membincangkan persoalan “teori sastra”.
Armijn Pane dalam artikelnya “Kesoesasteraan Baroe”[25] mengungkapkan panjang lebar mengenai ciri-ciri kesusastraan Indonesia baru dan peranan pujangga (sastrawan) dalam membangun bangsanya. Meskipun artikel itu tidak secara langsung membicarakan teori sastra, setidak-tidaknya ada usaha Armijn Pane untuk menempatkan kedudukan sastrawan dalam masyarakat dan menyodorkan semacam kriteria, bagaimana seorang sastrawan menyampaikan gagasannya secara jujur, sesuai dengan hati nuraninya. “Seorang hamba seni jang sejati adalah hamba soekmanja…. Djadi bagaimana djoea, jang menjanji dalam sadjak, dalam gambaran seorang hamba seni jang sedjati, ialah soekmanja. Seorang hamba seni hidoep dalam masjarakat, djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada masjarakat itoe, ia adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.”[26] Dalam hubungan itulah, sastrawan tidak dapat melepaskan dirinya dari tanggung jawab sosialnya. Ia dapat dipandang mewakili masyarakat, mewakili kebudayaan dan daerahnya, juga mewakili semangat zamannya. “Setiap masjarakat lain seninja, setiap waktoe lain seninja.”[27] Bukankah hal itu pula yang dikatakan Rene Wellek dan Austin Warren, bahwa sastra sering dianggap sebagai potret sosial dan mengungkapkan semangat zamannya. “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society).[28]
Selain membicarakan hubungan sastrawan dengan masyarakat, Armijn Pane juga menyampaikan beberapa ciri puisi baru yang menurutnya merupakan bentuk baru dari pantun. “Peodjangga baroe boekan hanja memindjam dari bangsa asing[29] akan menimboelkan vorm baroe, tetapi kami djoega membaroekan vorm jang lama soepaja sesoeai, sehidoep dengan semangat baroe.” Untuk mendukung pernyataannya itu, Armijn juga menyampaikan beberapa ulasan atas puisi-puisi yang muncul pada masa itu. Berikut ini akan dikutip ulasan Armijn Pane yang mengambil contoh kasus sebuah puisi karya Imam Soepardi yang dimuat Soeara PBI, Oktober 1932.
Kalau tidak karena sinar boelan
Tidaklah malam terang tjuatja
Beta termenoeng
Karena bingoeng
Kalau tidak karena kesadaran
Tidaklah kira, poetra bekerdja
Beta berloetoet
Ingin bersoedjoet
Dengan sepandang mata soedah kita ketahoei bahwa ini boekan pantoen, tetapi waktoe membatjanja, tiadalah tersingkirkan perasaan dari pada kita, bahwa ini jalah pantoen. Ritmenja, perasaannja, semangatnja sama dengan pantoen.
Itulah yang dimaksud Armijn Pane sebagai vorm baru, bentuk baru, yang membedakannya dengan pantun. Bukankah yang dilakukan Armijn Pane ini sebagai usaha untuk mengungkapkan ciri-ciri puisi baru dan merumuskan bentuknya sebagai gambaran dari semangat sastrawan pada masa itu? Dalam kerangka pemikiran Barat, bukankah itu termasuk sebagai bagian dari pembicaraan teori sastra?
Artikel lain yang juga memperlihatkan semangat untuk merumuskan kekhasan ciri-ciri kesusastraan Indonesia yang berbeda dengan kesusastraan Barat, dilakukan Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat. Pada peringatan 9 tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, Hoesein Djajadiningrat menyampaikan pidatonya yang bertajuk “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib.”[30]
Selain menyatakan keheranannya atas pandangan G.H. Werndly yang tidak menyinggung pantun dalam pembicaraannya mengenai sajak dalam bahasa Yunani dan Arab dan memperbandingkannya dengan persajakan Melayu, Hoesein Djajadiningrat juga menolak beberapa pendapat tentang pantun yang dikemukakan William Marsden, John Crawfurd, serta dua sarjana Belanda, W.R. van Hoevell dan L.K. Harmsen.. Menurutnya, Werndly telah salah menyebutkan “Pantun Speelman” sebagai “Syair Speelman”, sedangkan kekeliruan John Crawfurd terletak pada anggapannya yang menyebutkan pantun sebagai teka-teki. Adapun penolakan Djajadiningrat atas pendapat dua sarjana Belanda menyangkut isi pantun yang dalam dua baris pertamanya dikatakan sebagai “memberi keterangan yang bukan-bukan.”
Hal yang juga penting yang dilakukan Djajadiningrat adalah usahanya melacak asal-usul kata pantun. Menurutnya, kata pantun berasal dari perubahan kata paribahasa menjadi paribasan. Kata pari dalam bentuk yang lebih dihaluskan lagi kemudian menjadi pantun. Arti kata itu sendiri adalah umpama, seloka, paribahasa atau kiasan. Jadi, pantun adalah “suatu kuplet yang sebagian mengandung kiasan atau sesuatu yang kurang terang, yang dijelaskan oleh bagian yang lain, tiada peduli apa isinya, meskipun telah selayaknya kiasan yang dipakai demikian mempunyai semangatnya sendiri.”[31] Ia juga menyebutkan ciri-ciri yang melekat pada pantun, yaitu terdiri dari empat baris, tiap baris terdiri dari empat kaki, dan tiap kaki terbagi dua atau tiga suku kata dengan pola persajakan a-b-a-b. Sifatnya khas, karena setelah dua baris pertama, sekonyong-konyong datang perubahan arti kata-kata. Sementara inti pesannya terletak pada dua baris terakhir, yaitu isi suatu klanksuggestie,[32] yaitu bunyi yang memberi penunjuk bagi kedua baris yang akhir.
Ringkasnya, Djajadiningrat menegaskan bahwa pandangan para sarjana Barat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat. Dengan membandingkan pantun dengan parikan dan wangsalan Jawa atau sisindiran dan wawangsalan Sunda, disimpulkan bahwa pantun merupakan puisi khas Melayu yang ciri-cirinya tidak akan dijumpai dalam sajak-sajak Barat. Oleh karena itu, pemahaman ciri-ciri sebuah kuplet disebut pantun atau syair dan syarat-syarat yang menyertainya penting artinya untuk menempatkan kekhasan pantun sebagai bentuk persajakan Melayu yang berbeda dengan bentuk persajakan lainnya.
Dalam Poedjangga Baroe, No. 9, Th. II, Maret 1934, Amir Hamzah juga membicarakan “Pantoen”.[33] Isinya, meski tidak seluas artikel Hoesein Djajadiningrat, menegaskan kembali kekhasan pantun sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. “… bentoek pantoen Indonesia jang biasa itoe ja’ni, bahwa ia terdjadi dari empat baris dan doe baris jang diatas itoe pada sekali pandang tiada bersangkoet paoet dengan doea boeah kalimat jang dibawah. Inilah kegandjilannja pantoen Indonesia.” Seperti Djajadiningrat, Amir Hamzah juga mengingatkan, bahwa untuk memahami pantun, “hendaklah kita mengetahoei kehidoepan pikiran serta kesoesasteraan anak Indonesia, maka baharoelah moengkin kita menerangkan sangkoet paoet kalimat pantoen itoe.” Dengan perkataan lain, usaha untuk memahami pantun hanya mungkin dapat dilakukan lebih tepat jika pendekatannya berdasarkan ruh kebudayaan Indonesia sendiri.
Kritik terhadap pandangan para peneliti Barat terhadap pantun, juga dilakukan Intojo.[34] Mengingat begitu banyak terjadi kesalahpahaman dalam memahami pantun, Intojo mengingatkan:
… karena itu bangsa Indonesia mempunjai hak sepenuhnja untuk membanggakan tjiptaan nasionalnja: pantun ketjil jang memantjarkan keindahan jang halus dan menarik; jang mengandung gugusan asosiasi, lambang dan langgam aneka-ragam, jang bersilih-ganti bersahadja dan djelita. Karena itu orang Indonesiaberhak mengharap dari kawan-kawannja bangsa Eropah, supaja mereka menjelidiki pantun itu dan beladjar memahaminja lebih baik dari jang sudah; berbareng dengan itu orang Indonesia berkewadjiban membantunja dalam pekerdjaan jang tidak gampang itu.[35]
Dengan mengutip karangan seorang sarjana Italia, Dr. Giacomo Prampolini yang meneliti pantun dan membandingkannya dengan puisi-puisi berbagai bangsa, Intojo menolak anggapan bahwa pantun: hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan). Menurut Intojo, amoreus justru bukan sifat umum pantun, mengingat ada juga pantun anak-anak, pantun orang tua, dan pantun nasihat yang sama sekali tidak amoreus. Kekeliruan itu terjadi karena pantun dianggap sama dengan persajakan di belahan bumi yang lain yang menggunakan pola a-b-a-b. Jadi, menurut Prampolini, setiap sajak yang berpola a-b-a-b dapatlah dikatakan sebagai pantun.
Uraian Intojo selanjutnya menegaskan bahwa bagaimanapun juga, pantun memang memperlihatkan bentuk persajakan yang khas Melayu (Indonesia) yang justru tidak tidak terdapat dalam persajakan lain di dunia ini. Adanya kemiripan, tidaklah berarti sama persis atau identik. Dalam hal ini, menurut Intojo, pantun memang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu (Indonesia). Oleh karena itu, ia punya kekhasannya sendiri yang membedakannya dengan puisi dalam kesusastraan bangsa lain.
Mencermati artikel-artikel tentang pantun yang ditulis Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo, tampaklah bahwa ketiganya secara tegas menolak pandangan keliru tentang pantun yang ditulis para sarjana Barat. Pertanyaannya kini: bukankah yang dilakukan ketiga penulis itu menyangkut kritik dan teori sastra, khasnya teori tentang pantun? Mengingat pantun menunjukkan kekhasan persajakan Melayu, bolehlah kiranya kita mengatakan, bahwa pembicaraan dalam ketiga artikel itu merupakan bagian dari pembicaraan teori sastra, khasnya mengenai teori sastra tentang pantun Melayu?
***
Penulis lain yang membincangkan masalah teori sastra, terutama yang muncul dalam majalah Poedjangga Baroe, antara lain, Sanusi Pane,[36] Soewandhi,[37] Armijn Pane,[38] Amir Hamzah,[39] dan teristimewa Alisjabahana.[40] Di antara para penulis zaman Pujangga Baru itu, Alisjahbana yang paling gencar menawarkan gagasan tentang konsep puisi baru. Menurutnya, “letak sari pembaroean poeisi Indonesia adalah hidoep-saktinja kembali perasaan, kembalinja poeisi kepada asalnja, jaitoe djiwa bernjanji.”[41]
Melalui pembicaraan sejumlah puisi yang muncul pada masa itu, Alisjahbana menyimpulkan ciri-ciri umum puisi Indonesia, yaitu: (1) kuatnya suara sukma penyair yang disebutnya dengan frase: djiwa bernjanji. (2) Lirik sebagai curahan kalbu individu penyair. Oleh karena itu juga bersifat individualisme. (3) Munculnya berbagai macam bentuk aliterasi. (4) Kecenderungan kuatnya insiatif penyair untuk memanfaatkan pilihan kata yang tepat. (5) Kecenderungan pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi penyair. Meskipun beberapa ciri yang dilihat Alisjahbana menunjukkan adanya kesamaan dengan ciri-ciri romantisisme, tidaklah berarti kesamaan itu identik. Ciri individualisme dan pemanfaatan alam sebagai sumber inspirasi, misalnya, dikatakannya tidak dalam kerangka individualisme yang mementingkan diri pribadi. Dalam hal ini, individualisme yang dimaksud Alisjahbana sebatas pada kekhasan pribadi style penyair yang tercermin dalam karyanya. Sedangkan dalam kehidupan kemasyarakatan, seorang penyair tetap dituntut untuk memberi pencerahan kepada masyarakat. Jadi, ia menolak pendirian seni untuk seni, dan menganjurkan pendirian seni untuk masyarakat.[42]
Sementara mengenai pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi bagi penyair didasarkan pada pandangan bahwa kekayaan alam Indonesia telah banyak memberi inspirasi atau ilham kepada para penyair, dan bukan lantaran para penyair itu prihatin pada eksploitasi alam, sebagaimana yang terjadi di Eropa. Dengan demikian, alam sebagai sumber inspirasi penyair Indonesia, justru dalam konteks pengagungan, dan bukan didasarkan pada keprihatinan atas keserakahan manusia memanfaatkan alam.
Demikianlah, para sastrawan zaman Pujangga Baru telah berusaha merumuskan sejumlah konsep atau pengertian yang menurut pengertian Rene Wellek dan Austin Warren, bukankah itu termasuk ke dalam pembicaraan teori sastra. Bahkan di antaranya, sebagaimana yang telah dilakukan Sutan Takdir Alisjahbana, mencoba pula mencari dan menyodorkan estetika puitik terhadap kecenderungan karya-karya sastra, terutama puisi, yang muncul pada masa itu. Pertanyaannya kini: dapatkah tulisan-tulisan itu dimasukkan ke dalam pembicaraan kritik dan teori sastra? Bukankah tulisan-tulisan itu juga menyangkut penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikat, jenis, dasar-dasar, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Begitu juga apa yang dilakukan Alisjahbana tentang puisi dan Hoesein Djajadiningrat dan Intojo tentang pantun, bukankah pembicaraan yang demikian itu termasuk studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategori, kriteria, dan sejenisnya yang kemudian menghasilkan konsep umum yang berlaku dalam puisi Indonesia masa itu dan konsep umum tentang pantun?
***
Pada zaman pendudukan Jepang (1942—1945), semua kegiatan sastra dan budaya dan semua yang berkaitan dengan kegiatan publikasi, berada di bawah pengawasan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan. Dengan begitu, gagasan dan pemikiran mengenai konsepsi sastra dan berbagai hal yang berkaitan dengan itu, juga berada di bawah pengawasan lembaga itu.[43] Meskipun pada masa itu, dalam beberapa suratkabar dan majalah, seperti harian Asia Raja dan majalah Djawa Baroe, kita masih dapat menjumpai artikel-artikel yang membicarakan karya sastra konkret (kritik sastra) atau konsepsi sastra (teori sastra) menurut kepentingan pemerintah pendudukan Jepang, pengaruhnya bagi usaha merumuskan konsepsi sastra sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Pujangga Baru, dapat dikatakan tidaklah cukup signifikan. Oleh karena itu, usaha melihat perkembangan teori sastra pada zaman Jepang, agak payah dilakukan. Walaupun begitu, apa yang dilakukan H.B. Jassin yang berusaha memetakan kesusastraan pada zaman Jepang, sedikit banyak cukup membantu kita untuk memahami model estetik sastra Indonesia pada masa itu.[44]
***
Memasuki dasawarsa tahun 1950-an, pembicaraan mengenai konsepsi (:teori) sastra semarak kembali setelah pada tahun 1947, terbit majalah mingguan Siasat dan Mimbar Indonesia. Pada bulan Maret 1948, majalah mingguan Siasat membuka ruangan kesusastraan “Gelanggang” yang mencerminkan semangat para pengelola rubrik ini untuk mengusung sikap kulturalnya.[45] Pada awalnya fokus pembicaraan dalam sejumlah artikel yang dimuat dalam ruangan “Gelanggang” berkisar pada konsepsi estetik Generasi Gelanggang. Penamaan Generasi Gelanggang sendiri pada akhirnya kalah populer setelah muncul penamaan Angkatan 45.[46] Konsepsi estetik Angkatan 45 inilah yang kemudian hampir mendominasi perbincangan kesusastraan Indonesia pada masa itu.
Dalam majalah Siasat, 22 Oktober 1950, dimuat sebuah dokumen penting yang diberi nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang bertarikh 18 Februari 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang inilah yang kemudian dipandang sebagai sikap dan dasar konsepsi estetik Angkatan 45. Jassin kemudian menafsirkan dan merumuskan konsepsi itu dengan apa yang disebutnya konsep humanisme—universal. Dalam penjelasannya, Jassin mengungkapkan: “Angkatan 45 tidak mengabdi kepada sesuatu isme, tapi mengabdi kepada kemanusiaan yang mengandung segala yang baik dari sekalian isme… Angkatan 45 mempunyai konsepsi humanisme universal.[47]
Penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universal itu ternyata bukan tanpa masalah. Paling tidak, setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –sebuah lembaga kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri 17 Agustus 1950, penentangan terhadap penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universalnya, gencar dilakukan oleh golongan sastrawan Lekra yang mengusung humanisme proletariat. Bagi Lekra, kebudayaan –termasuk di dalamnya kesusastraan—haruslah berpihak kepada rakyat. Dengan demikian, kesenian pun harus berpihak kepada rakyat.
Terjadinya polemik antara kelompok Angkatan 45 dan golongan Lekra pada awalnya justru memberi sumbangan berarti bagi usaha-usaha perumusan konsep-konsep sastra yang dalam kerangka kritik sastra dapatlah dimasukkan sebagai pembicaraan teori sastra. Kondisi itu bertambah semarak saat muncul majalah-majalah kesusastraan. Maka, berbagai pemikiran mengenai teori sastra telah berkembang semarak pada masa itu.
Dalam majalah Indonesia,[48] misalnya, banyak dimuat berbagai artikel mengenai konsep-konsep sastra, seperti hubungan sastra dan politik, definisi dan konsep sastra, masalah angkatan, kriteria sastra pornografi, sastra bertendens, tanggung jawab sosial sastrawan, keindahan dan kebaruan dalam sastra, dan sejumlah artikel lain yang mencoba memberi penjelasan atas berbagai hal yang berkaitan dengan kesusastraan.[49] Puncak pertentangan itu terjadi tahun 1965, ketika Lekra bersama organ PKI lainnya melakukan serangan dan teror terhadap para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang mendukung konsep humanisme universal. Itulah masa khaos sastra Indonesia.
***
Pembicaraan mengenai teori sastra, mulai marak kembali setelah kritik dan teori sastra menjadi bahan pengajaran di fakultas sastra. Pengajaran teori dan kritik sastra dalam pengertian kritik ilmiah di Indonesia, seperti dimulai kembali.
Terjadinya kekacauan dalam kehidupan sastra Indonesia awal tahun 1960 sampai tahun 1965, menyadarkan kaum akademi bahwa campur tangan politik dalam kehidupan kesusastraan dan kebudayaan, telah berdampak sangat buruk.[50] Anggapan bahwa penilaian terhadap sastra hanya boleh dilakukan berdasarkan ideologi politik, seperti yang dilakukan sastrawan Lekra,[51] ternyata telah melahirkan kritik tanpa kriteria dan ukuran. Kritik jadinya seperti caci-maki karena tak ada teori yang digunakan sebagai landasan. Penilaian terhadap karya sastra menjadi relatif dan subjektif. Akibatnya terjadi kekacauan dalam kehidupan kesusastraan Indonesia secara keseluruhan.[52] Maka, agar sastra Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, kritik sastra harus dipisahkan dari kepentingan politik. Ia juga harus didasarkan atas landasan teori untuk menghasilkan penilaian yang objektif sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiahnya.
Sementara itu, praktik kritik sastra yang ditulis sastrawan cenderung menekankan pada kesan subjektif, tanpa menggunakan teori atau ukuran dan kriteria tertentu. Dalam hal ini, berlaku pula anggapan “sepuluh kritikus akan menghasilkan sepuluh penilaian”.
Itulah beberapa masalah yang melatarbelakangi lahirnya kesadaran untuk mencari identitas dan ukuran yang jelas dalam kritik dan teori sastra. Guna mencapai tujuan itu, diselenggarakan Simposium Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, 27 Oktober 1966, yang melibatkan peneliti dan sastrawan. Kegiatan serupa diselenggarakan lagi dalam rangka peringatan penyair Chairil Anwar, 30 April 1967.[53] Selepas terjadi perbalahan mengenai kritik sastra yang diwakili kelompok sastrawan dan peneliti sastra yang diselenggarakan 31 Oktober 1968, perbincangan kritik dan teori sastra menjadi isu penting.[54]
Selepas terjadi polemik antara pendukung kritik ilmiah atau kritik akademis (Aliran Rawamangun) dan pendukung kritik sastra melalui metode ganzheit (Metode Kritik Ganzheit),[55] teori-teori sastra Barat terus mengalir memasuki institusi-institusi pendidikan. Sejak simposium tahun 1968 itu, pengajaran kritik dan teori sastra di FSUI sendiri mulai mendapat perhatian serius dengan mencoba merumuskan prinsip dan ukuran yang boleh digunakan di dalam menilai karya sastra. Sejak itu pula, pengajaran kritik sastra di dalamnya mencakupi pembicaraan teori sastra. Secara eksplisit, dasar pijakan kritik sastra Aliran Rawamangun berlandasan pemikiran strukturalisme, seperti dikatakan Hutagalung. Pusat perhatian utama adalah karya itu sendiri (ergosentris). Maksudnya menempatkan karya sastra sebagai objek kajian. Dengan demikian, maka posisi karya sastra tidak lagi digeser oleh aspek eksternal di luar karya sastra tersebut.
Strukturalisme dan Aliran Kritik Baru (New Criticism) jelas berada di belakang pemikiran Aliran Rawamangun. Meski begitu, para pendukungnya tidak menunjukkan kesamaan sikap dalam menempatkan otonomi sastra dalam hubungannya dengan pengarang. Kritik Jassin, cenderung apresiatif dengan tetap menempatkan keberadaan dan latar belakang pengarang sebagai hal yang penting di dalam usaha memahami karya.[56] Hutagalung masih merasa perlu menggunakan ilmu lain (psikologi) untuk menganalisis karya sastra,[57] dan menempatkan pengarang sebagai bagian penting dalam memahami karya sastra.[58] Hal yang sama dilakukan Boen S. Oemarjati[59] dan J.U. Nasution.[60] Sementara Saleh Saad di dalam kuliah-kuliahnya selalu menekankan agar kritikus tidak berhubungan dengan pengarang jika ia hendak memahami sebuah karya. Jadi, di antara para pendukung Aliran Rawamangun, Saleh Saad yang secara tegas menempatkan karya sastra sebagai kenyataan otonom dan menolak menghubungkannya dengan pengarang.[61]
Tak dapat dinafikan pengaruh Aliran Rawamangun dalam pengajaran teori dan kritik sastra di berbagai universitas di Indonesia. Dengan begitu, teori-teori sastra Barat juga terus mengalir ke berbagai institusi pendidikan. Ada beberapa hal yang mendukung kuatnya pengaruh Aliran Rawamangun ini.
Pertama, adanya penataran-penataran sastra yang diselenggarakan atas kerja sama FSUI dan Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa yang pesertanya berasal dari berbagai universitas di Indonesia, telah ikut mempercepat penyebaran pengaruh aliran ini.
Kedua, dimasukkannya mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra di Indonesia, telah mengharuskan semua institusi (Fakultas Sastra di berbagai universitas di Indonesia) menyertakan kuliah kritik sastra. Dalam hal ini, mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu mata kuliah wajib yang berlaku dalam kurikulum nasional.
Ketiga, diterbitkannya sejumlah skripsi (tugas akhir kesarjanaan) ikut pula mendukung dan mengukuhkan pengaruh kritik sastra Aliran Rawamangun.
Keempat, adanya penyeragaman istilah-istilah di bidang sastra, makin meluaskan penyebaran pengaruhnya.[62] Dalam hal itu, sumbangan Aliran Rawamangun, penting artinya dalam merumuskan istilah sendiri, meski dasar pemikirannya dari teori Barat.
***
Kini perkembangan teori sastra di Indonesia seperti menyerap begitu saja teori-teori sastra dari Barat. Sebutlah, semiotik, feminisme dan gender, sampai sastra populer, cultural studies[63] dan New Historicism.[64] Ada dua hal yang diabaikan: Pertama, sejarah perjalanan pemikiran sastra, di dalamnya tentu saja berkaitan dengan persoalan konsepsi dan rumusan teoretis. Kedua, pemikiran yang berkembang dan tercecer di berbagai media massa. Akibatnya, sejak Aliran Rawamangun memperkenalkan Kritik Baru Amerika dan strukturalisme, teori dan kritik sastra Indonesia seperti berjalan tanpa sejarah.
Sementara institusi pendidikan seperti tersihir mengagumi teori sastra Barat, kita sendiri memang tak dapat mengabaikan keberadaan dan kontribusinya. Meski begitu, membutatulikan diri pada usaha-usaha yang telah dicoba oleh para pemikir kita, juga tidaklah elok. Oleh karena itu, sambil kita mempelajari segala teori sastra dari Barat itu, seyogianya kita juga membuka sejarah dan pemikiran yang tercatat dalam berbagai media massa. Siapa tahu, dari tumpukan sejarah dan ceceran lembaran majalah dan surat kabar, kita menemukan teori sastra yang khas milik bangsa sendiri, seperti yang ditunjukkan Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo mengenai pantun.
Dengan demikian, pengenalan teori dan kritik sastra Barat itu, sekadar alat yang boleh digunakan dalam mengenalisis karya-karya sastra Indonesia. Jika tidak cocok, tentu saja kita boleh menggunakan teori lain yang lebih tepat, atau kita cobakan teori yang kita rumuskan sendiri. Paling tidak, usaha-usaha ke arah itu memang sudah pernah dilakukan.
Demikianlah gambaran umum perjalanan sejarah teori dan kritik sastra Indonesia.
Mkl/teori-sastra/msm/28/11/02
Makalah Persidangan Teori dan Pemikiran Melayu, “Menjana Tamadun Melayu” diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka Wilayah Selatan Johor Bahru bekerja sama dengan Institut Pendidikan Nasional Universiti Nanyang Singapura dan Dinas Pendidikan Tanjung Balai Karimun, Riau, 12—14 Desember 2002.
CATATAN KAKI
[1]Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955, hlm. 27), menyebutnya dengantheory of literature sesuai judul bukunya. Istilah literary theory digunakan juga Rene Wellek dalam “Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20. Boleh jadi istilah ini digunakan untuk memberi tekanan yang sama penting pada tiga bidang ilmu sastra, yaitu teori sastra (literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra (literary criticism). Dalam istilah yang berbeda, M.H. Abrams (A Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, hlm. 35) menyebutnya dengan theoretical criticism untuk membedakannya dengan criticism. Istilah yang juga digunakan C. Hugh Holman & William Harmon (A Handbook to Literature, New York: Macmillan Publishing Company, 1980, hlm. 502).
[2]Dalam diskusi dan kuliah kritik sastra, misalnya, buku Ann Jefferson & David Robey (Ed.), Modern Literary Theory, (London: Batsford, 1982), dan Terry Eagleton, Literary Theory, (Oxford: Basil Blackwell, 1983), menjadi buku wajib, berdampingan dengan buku Paul Hernadi,What is Criticism (Bloomington: Indiana University Press, 1981), buku David Lodge (Ed.), 20th Century Literary Criticism (London: Longman, 1985), dan buku Rene Wellek, Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967). Dalam hal ini, pengertian kritik sastra di dalamnya mencakupi juga teori sastra.
[3]Wilfred L Guerin, et al (A Handbook of Critical Approaches to Literature, New York: Harper & Row Publishers Inc., 1979), misalnya, menguraikan sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian sastra. Di dalamnya disebutkan adanya pendekatan formalistik, psikologi, sosiologi, strutktural, dan feminisme. Jadi, kritik sastra digunakan sebagai alat (pendekatan) untuk melakukan penelitian sastra.
[4]Teori kritik sastra adalah istilah yang digunakan Rachmat Djoko Pradopo untuk menyebut kritik sastra teoretis (theoretical criticism), sekaligus untuk membedakannya dengan kritik praktik (practical criticism) atau kritik terapan (applied criticism).
[5]Subagio Sastrawardoyo, “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri,” Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 53.
[6]Umar Junus, “Teori Sastra dan Kreativitas Sastra,” Mitos dan Komunikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981) hlm. 8—9.
[7]Istilah ilmu sastra mula diperkenalkan A. Teeuw dalam ceramah-ceramahnya mengenai berbagai penelitian sastra –termasuk teori sastra— di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan pada penataran di Tugu tahun 1977. Sebelum itu bidang ini masih sering disebut penelitian sastra atau studi sastra sebagaimana yang digunakan William Henry Hudson (An Introduction to the Study of Literature, London: George G. Harrap, 1922) atau teori sastra jika mengacu pada buku Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature, New York: Harcourt, Brace and Company, 1955). Dengan mengambil model penelitian bahasa yang disebut ilmu bahasa atau penelitian terhadap aspek kesenian atau ilmu seni dan estetika, maka bidang yang membicarakan teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra dalam kerangka kegiatan ilmiah dikatakanlah sebagai ilmu sastra. Tulisan-tulisan A. Teeuw itu disusun kembali lebih komprehensif yang kemudian diberi tajuk, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
Meskipun demikian, jauh sebelum itu, Amir Hamzah dalam artikelnya, “Kesoesasteraan” (Poedjangga Baroe, No. 12, Djoeni 1934, hlm. 363, dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21) memakai istilah “ilmu sastra” dalam konteks kekayaan khazanah kesusastraan Indonesia. Sementara Sutan Takdir Alisjahbana dalam artikel “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” (Poedjangga Baroe, Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938, hlm. 43—60, dimuat juga dalam Sutan Takdir Alisjahbana,Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 49—67) menyebut kesusastraan sebagai cabang seni, dan ilmu kesusastraan telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang seni puisi. Jadi, istilah “ilmu sastra” atau “ilmu kesusastraan” menurut Sutan Takdir Alisjahbana, telah muncul sejak zaman Pujangga Baru, meskipun pada masa itu, belum ada kejelasan wilayah cakupan serta rumusan atau definisi mengenai beberapa konsep dan istilah di dalam kesusastraan.
[8]Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955), hlm. 27. Lihat juga, Rene Wellek, “Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20.
[9]Ibid.
[10]D.W. Fokkema & Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terj. J. Praptadiharja & Kepler Silaban (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 12.
[11]Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[12]Subagio Sastrowardoyo, “Keterlambatan Kita dalam Teori Sastra,” Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 44.
[13]Ibid., hlm. 45.
[14]Dalam Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938 yang antara lain memuat artikel Soetan Sjahrir, “Kesoesasteraan dan Ra’jat,” Soewandhie, “Masjarakat dan Bahasa,” Sutan Takdir Alisjahbana, “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” dan M. Amir, “Djiwa Poedjangga,” tampak jelas bahwa mereka juga tidak dapat menghindar dari pengaruh Barat. Beberapa konsep dan definisi mengenai sastra, puisi, prosa, pujangga, mereka kutip dari sumber-sumber Barat, termasuk dari karya William Henry Hudson, An Introduction to the Study of Literature, London: George G. Harrap, 1922.
[15]Kritik sastra di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1932 ketika majalah Pandji Poestaka menyelenggarakan sebuah rubrik yang bertajuk “Memadjoekan Kesoesasteraan”. Sutan Takdir Alisjahbana tercatat sebagai salah seorang redaksinya. Dalam rubrik itu, Alisjahbana mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah itu. Di samping itu, ia juga sering kali menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya para sastrawan untuk mengungkapkan gagasannya secara bebas, tanpa harus terikat oleh bentuk-bentuk kesusastraan lama. Dalam Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932, Th. X, misalnya, dimuat sebuah artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel inilah yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam perjalanannya, selepas Alisjahbana keluar dari majalah Pandji Poestaka dan bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane menumbuhkan majalahPoedjangga Baroe, tulisan-tulisan yang bersifat kritik dan teori sastra, makin ramai bermunculan dalam majalah itu.
[16]Buku A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1980), misalnya, sama sekali tidak menyinggung karya-karya sastra yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, banyak nama sastrawan Indonesia yang luput dari pengamatannya dan tak tercatat dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia.
[17]Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Bina Cipta, 1976), juga melakukan hal yang sama, yaitu tidak menyinggung khazanah karya sastra dalam majalah atau suratkabar. Dalam hal ini, baik Teeuw maupun Ajip Rosidi mengandalkan objek penelitiannya berdasarkan karya-karya yang telah diterbitkan sebagai buku.
[18]Berdasarkan media dan cara pengungkapannya, kritik sastra dapat dibagi ke dalam dua jenis kritik yaitu (1) kritik akademi atau kritik ilmiah dan (2) kritik sastra umum. Kritik akademi secara ketat menggunakan metodologi dan kerangka teori tertentu, sebagaimana yang disyaratkan dalam penulisan skripsi atau karya ilmiah dan karya kesarjanaan lainnya, sedang kritik umum yang memanfaatkan media massa (surat kabar dan majalah) sebagai wadahnya lebih menekankan pada aspek informasinya yang ditujukan kepada khalayak pembaca yang lebih luas. Dalam kritik sastra umum, kadangkala konsep dan istilah-istilah teknis, terpaksa harus disederhanakan, agar dapat dipahami masyarakat umum.
[19]Kritik sastra aliran Rawamangun adalah kritik sastra yang menekankan segi ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok peneliti sastra ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan Kritik Baru Amerika (New Criticism). Para pendukung aliran ini diwakili oleh J.U. Nasution, S. Effendi, M. Saleh Saad, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Yang dimaksud kelompok peneliti sastra ini adalah dosen-dosen FSUI dan peneliti di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Karena gedung kampus FSUI waktu itu letaknya bersebelahan dengan gedung Pusat Bahasa di kawasan Rawamangun, Hutagalung kemudian menyebutnya sebagai “Aliran Rawamangun”.
[20]Dimuat kembali dalam Sutan Takdir Alisjahbana, Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 16—48.
[21]Ejaan dalam kutipan ini disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Tampak di sini, Alisjahbana mencoba mendefinisikan konsep puisi. Menurut definisi sastra secara umum, rumusan Alisjahbana itu dapat dimaknai sebagai “gagasan yang lahir berdasarkan pengalaman –langsung atau tidak—ditambah imajinasi yang kemudian diungkapkan dengan bahasa sebagai medianya. Jadi, yang dimaksud perkataan menurut Alisjahbana, dapat dimaknai sebagai “bahasa sebagai medianya.”
[22]Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Baru dan Lama,” Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 36. Dalam artikelnya yang berjudul “Puisi Baru sebagai Pancaran Masyarakat Baru,” yang dijadikan semacam pendahuluan buku Puisi Baru Jakarta: Dian Rakyat, 1975; Cet. 1: 1946), Alisjahbana mengemukakan, bahwa terjadinya pertemuan antara bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa, telah membawa perubahan besar dalam cara pandang dan sikap masyarakat, termasuk cara pengungkapan dalam puisi. Itulah salah satu ciri yang kemudian membedakan puisi lama dan puisi baru.
[23]Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Lama dan Puisi Baru,” Poedjangga Baroe, Djoeli—Agoestoes 1940. Dimuat juga dalam Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 79—82.
[24]Beberapa artikel Sutan Takdir Alisjahbana berikut ini memperlihatkan betapa sesungguhnya Alisjahbana telah berusaha membuat semacam teori sastra, khasnya yang berkaitan dengan ciri-ciri dan kriteria kesusastraan baru. Adapun artikel-artikel yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Menoedjoe Seni Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 1, Th. I, Djoeli 1933), “Tidak ada jang dinanti,” (Poedjangga Baroe, No. 3, Th. I, September 1933), “Menghadapi Keboedajaan Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I, Djoeni 1934), “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, dan 9, Th. II, September, Oktober, November, Desember 1934, Januari dan Maret 1935, No. 1, Th. III, Djoeli 1935, No. 9 dan 10, Th. III, Djanoeari dan Febroeari 1936, No. 3—4, Th. IV, September—Oktober 1936, No. 10, April 1937).
[25]Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.
[26]Ibid., hlm. 9—10.
[27]Ibid.
[28]Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 109—110.
[29]Yang dimaksud Armijn Pane dengan “memindjam dari bangsa asing” adalah bentuk soneta yang digunakan Muhammad Yamin dan beberapa penyair lainnya waktu itu.
[30]Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 6, Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari—Maret 1934.
[31]Ibid., hlm. 197.
[32]Belakangan, ciri-ciri pantun dinyatakan terdiri dari empat baris (larik) yang terbagi dalam dua bagian, yaitu dua larik pertama berupa sampiran, dan dua larik terakhir berupa isi, yang menurut Hoesein Djajadiningrat menyampaikan isi suatu klanksuggestie (citraan bunyi).
[33]Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 49—59.
[34]Intojo, “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. III, April dan Djuli 1952.
[35]Ibid., hlm. 55.
[36]Sanusi Pane, “Menghadapi Kolotisme,” Poedjangga Baroe, No. 3, Th. I, September 1933. Artikel ini lebih menegaskan lagi dukungan sejumlah intelektual Indonesia waktu itu atas penerbitan majalah Poedjangga Baru sebagai salah satu sarana ekspresi bagi pujangga (sastrawan) baru.
[37]Soewandhi (“Mentjari Bentoek Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 10, Th. I, April 1934) mengungkapkan terjadinya perubahan berkesenian di Barat saat itu, juga terjadi di Indonesia. Menurutnya, semangat yang melatarbelakangi Poejangga Baroe adalah semangat romantik angkatan 80-an Belanda.
[38]Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.
[39]Amir Hamzah, “Kesoesasteraan,” Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I, Djoeni 1934, No. 2, 3, 4, 5, 6, 7, Th. II, Agoestoes, September, Oktober, November, Desember 1934, Djanuari 1935. Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21). Meski Amir Hamzah membicarakan kesusastraan Indonesia dalam kerangka masuknya pengaruh kesusastraan Timur ke Indonesia, paling tidak, Amir Hamzah hendak menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh kesusastraan India dan kesusastraan Timur lainnya.
[40]Selain artikel-artikel yang telah disebutkan dalam catatan kaki 24, Alisjahbana secara khusus mencoba membuat semacam kajian estetik puisi-puisi yang muncul pada zaman itu. Meski sesungguhnya yang dimaksud puisi Indonesia zaman baru lebih merupakan harapan dan cita-cita Alisjahbana sendiri yang begitu menggelora, dalam artikel “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, 9, Th. II, 1934, No. 1, Th. III, Djoeni 1935) –beberapa di antaranya pernah dimuat dalam Pandji Poestaka—Alisjahbana mencoba melihat kecenderungan puisi pada masa itu.
[41]Ibid., hlm. 79.
[42]Masalah seni untuk masyarakat dan seni untuk seni itulah yang kemudian melahirkan polemik antara Alisjahbana dan Sanusi Pane. Belakangan, masalah ini muncul kembali pada tahun 1960-an ketika Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat—Partai Komunis Indonesia) menganjurkan seni untuk rakyat dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan menolak pendirian itu dan menganjurkan paham seni untuk seni.
[43]Maman S. Mahayana, “Sikap Pemerintah Jepang di Bidang Sastra dan Budaya (1942—1945): Studi Kasus Harian Asia Raja” Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Depok: FSUI, 1994.
[44]Periksa Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan buku H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948) dan Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948). Dalam Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan kedua buku itu, Jassin mengupas secara mendalam kecenderungan estetik kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang dan awal kemerdekaan. Di samping itu, Jassin juga melihat perkembangan kesusastraan Indonesia masa itu dengan membandingkannya dengan kesusastraan zaman Pujangga Baru.
[45]Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang dikatakan bahwa “Generasi Gelanggang” lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Generasi ini hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk dan berani menantang pandangan, sifat dan anasir lama ini untuk menyatakan kekuatan baru. Lihat H.B. Jassin, “Pendahuluan” Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 12.
[46]Penamaan Angkatan 45 pertama kali dilansir Rosihan Anwar dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949, sedangkan menurut Sitor Situmorang, nama Angkatan 45 justru datang dari Chairil Anwar. Lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 184—185.
[47]H.B. Jassin, Angkatan 45 (Djakarta: Balai Pustaka, 1951), hlm. 6.
[48]Majalah Indonesia pertama kali terbit Januari 1950. Majalah yang terbit bulanan ini banyak memuat artikel yang membicarakan konsep sastra dengan berbagai isu aktual mengenai kesusastraan.
[49]Pembicaraan agak lengkap mengenai polemik terhadap sejumlah konsep kesusastraan dalam kaitannya dengan ideologi sastrawan dalam kesusastraan Indonesia tahun 1950-an, periksa Maman S. Mahayana, Akar Melayu, khususnya dalam pembicaraan Bab 4 “Konflik-konflik Ideologis” (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 181—239.
[50]Dalam tahun 1960–1965, kegiatan politik di Indonesia sudah sangat mengganggu berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kegiatan politik lebih penting daripada kegiatan apapun juga. Akibatnya, lapangan kehidupan yang lain, seperti ekonomi dan kebudayaan, termasuk di dalamnya kesusastraan, mengalami kekacauan.
[51]Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah sebuah badan atau organisasi kebudayaan, khasnya kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam lapangan kesusastraan, Lekra menganjurkan faham realisme sosialis. Menurut fahaman ini, kesusastraan harus berpihak kepada rakyat. Oleh karena itu, Lekra menganut fahaman seni untuk rakyat dan menentang fahaman seni untuk seni. Penelitian Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1972) mengungkapkan secara lengkap mengenai masalah ini.
[52]Puncak kekacauan itu terjadi ketika Presiden Soekarno, pada tanggal 8 Mei 1964 melarang Manifes Kebudayaan; sebuah pernyataan sikap seniman dan budayawan Indonesia yang menentang keterlibatan politik dalam lapangan kebudayaan dan kesenian. Mengenai pertentangan para pendukung Manifes Kebudayaan dan golongan sastrawan Lekra, selain penelitian Yahaya Ismail, lihat juga D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya (Bandung: Mizan, 1995). Periksa juga Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 181–223.
[53]Lukman Ali (Ed.), Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978), hlm. ix.
[54]Kelompok sastrawan diwakili Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Salim Said, dan beberapa sastrawan dari Dewan Kesenian Jakarta. Kelompok peneliti sastra diwakili J.U. Nasution, S. Efendi, Saleh Saad, Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Hutagalung, Op. Cit., hlm. 16–18.
[55]Metode Kritik Ganzheit adalah sebuah metode kritik (seni) yang diajukan Arief Budiman. Menurutnya, Metode Kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritisi terhadap karya seni yang dihadapinya. Dalam hal ini, hubungan atara kritikus dengan karya seni melahirkan pertemuan dialogis. Berdasarkan pengalaman estetik terhadap karya seni, kritkus mengungkapkan pengalamannya itu. Lahirlah sebuah kritik seni. Lebih lanjut, lihat Arief Budiman, “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” (Horison, April 1968).
[56]Periksa H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I–IV (Jakarta: Gunung Agung, 1955, 1962, 1967.
[57]M.S. Hutagalung, Jalan tak ada Ujung: Mochtar Lubis (Jakarta: Gunung Agung: 1963).
[58]M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (Jakarta: Gunung Agung: 1967).
[59]Boen S. Oemarjati, Roman Atheis Achdiat Karta Mihardja: Suatu Pembicaraan (Jakarta: Gunung Agung, 1962).
[60]J.U. Nasution, Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek (Jakarta: Gunung Agung, 1963).
[61]Belakangan diketahui, Saleh Saad sangat mendukung gagasan Roland Barthes mengenai kematian pengarang (“The Death of the Author,” Roland Barthes, Image-Music-Text. London: Routledge, 1977). Mengingat mata kuliah kritik sastra diselenggarakan M. Saleh Saad, maka sejak awal tahun 1970-an sampai awal tahun 1980, pengaruhnya masih sangat kuat bagi mahasiswa peserta mata kuliah ini.
[62]Beberapa istilah yang berhasil dibakukan, di antaranya, istilah Plot menjadi alur, setting menjadi latar, character menjadi tokoh, narrator menjadi pencerita, dll. Buku Panuti Sudjiman (Ed.), Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Gramedia, 1986), merupakan contoh salah satu usaha penyeragaman istilah sastra itu.
[63]Memasukkan kajian budaya (cultural studies) dalam pengajaran kritik sastra didasarkan pada pertimbangan pentingnya peranan kritik sastra dalam menganalisis karya sastra dan mengkaitkannya dengan persoalan budaya. Dalam hal ini, karya sastra diperlakukan sebagai salah satu produk budaya. Mengenai materi ini, yang menjadi buku pegangan adalah antologi artikel yang dihimpun John Storey (Ed),Cultural Theory and Popular Culture (New York: Harvester Wheatsheap, 1994) dan karya Tony Bennet, Popular Fiction: Technology, Ideology, Production, Reading (London: Routledge, 1990).
[64]New Historicism adalah sebuah gerakan kesadaran sejarah baru yang muncul sebagai reaksi atas pengaruh New Criticism. Di dalam kritik sastra, New Historicism mencoba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Yang menonjol dari aliran ini adalah usahanya untuk memanfaatkan berbagai disiplin ilmu lain (interdisipliner). Dalam pandangan aliran ini, Kritik Baru dianggap telah mengisolasi karya sastra dari segala macam unsur di luar sastra. Mengenai hal ini, lihat H. Aram Veeser (Ed.), The New Historicism (New York: Routledge, 1989).
http://mahayana-mahadewa.com/
Teori sastra (literary theory)[1] di Indonesia secara praksis sering kali dipahami juga sebagai kritik sastra (criticism).[2] Sementara kritik sastra tidak jarang diperlakukan sebagai pendekatan (approaches to literature).[3] Dalam hal ini, kritik sastra dianggap merupakan pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk berbagai kepentingan penelitian terhadap karya sastra konkret. Demikianlah, dalam banyak perbincangan, baik teori sastra maupun pendekatan atau penelitian sastra, hampir selalu ditempatkan dalam pengertian sebagai kritik sastra. Atau di bagian lain, teori sastra dikatakan juga sebagai teori kritik sastra.[4] Jadi, pembicaraan mengenai strukturalisme atau semiotik, misalnya, dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori kritik sastra.
Terlepas dari pemahaman yang tampak tumpang-tindih itu, sejauh pengamatan, hampir semua bersepakat, bahwa teori-teori itu sepenuhnya berasal dari Barat. Oleh karena itu, orientasi teori sastra di Indonesia dipahami dalam dikaitkannya dengan perkembangan teori sastra Barat. Kesan itu muncul ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra Indonesia yang khas dilahirkan berdasarkan cara pandang dan ruh kebudayaan Indonesia sendiri. Kesadaran untuk menghasilkan teori sastra yang khas Indonesia dan tidak bergantung teori sastra Barat itu, muncul lantaran dunia akademi tempat para mahasiswa dan dosen mempelajari dan mengembangkan ilmu sastra, dianggap telah menempatkan teori sastra modern cenderung lebih bersifat formalistik. Sementara itu, pembicaraan mengenai karya sastra itu sendiri atau kritik langsung terhadap karya sastra, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, teori ditempatkan sebagai teori an sich, dan bukan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis karya sastra. Demikianlah, atas anggapan itu, muncul kemudian keinginan dari beberapa pengamat sastra untuk tidak secara bulat-mentah menerima teori sastra Barat.
Subagio Sastrowardoyo, misalnya, mengungkapkan, “… dengan menitikberatkan pada teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra.”[5] Sebaliknya, ketika ada usaha untuk melakukan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra atau melakukan kritik langsung atas karya sastra, teori-teori yang mestinya menjadi alat analisis, tiba-tiba seperti gagal mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan makna karya sastra. Teori-teori itu seperti kehilangan relevansinya manakala hendak dioperasionalisasikan. Ia pada akhirnya seperti tempelan belaka yang seolah-olah sekadar memberi kesan ilmiah. “Penyelidikan sastra jadinya ditandai oleh ketiadaan teori dan metode yang jelas. Mungkin ada semacam teori dan metode, tetapi lebih merupakan teori dan metode yang bersifat ad hoc, disesuaikan dengan bahan yang ada.”[6] Itulah yang terjadi dalam banyak skripsi (tugas akhir kesarjanaan), mahasiswa fakultas sastra. Teori sastra jadinya sekadar hendak menegaskan kesan ilmiah belaka, sementara tugasnya sebagai alat analisis, interpretasi, dan evaluasi, tidak jelas ke mana arahnya.
Teori-teori sastra yang diperkenalkan dan diajarkan dalam dunia akademi di Indonesia, memang tidak lain bersumber dari teori sastra Barat. Dengan demikian, pembicaraan teori sastra (Indonesia) pada hakikatnya adalah teori sastra Barat. Itulah anggapan yang selama ini berkembang dalam sejumlah buku yang membicarakan kritik sastra Indonesia. Apakah sebelum itu, sama sekali tidak ada usaha-usaha untuk mencoba merumuskan semacam teori sastra (Indonesia) yang lebih sesuai dengan estetika kultur Indonesia sendiri? Bagaimana duduk masalah yang sesungguhnya, sehingga pemahaman tentang teori sastra (Barat) dan usaha untuk menerapkannya seperti tetesan minyak dalam air; terpisah sendiri dan sering kali gagal menjadi alat analisis, interpretasi, dan evaluasi?
***
Dalam ilmu sastra,[7] ada tiga bidang kegiatan penelitian yang berkaitan dengan sastra dan kesastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keberadaan masing-masing bidang bersifat saling melengkapi, komplementer dan saling mendukung. Mengingat sifatnya itu, ketiga bidang itu dapat dimasukkan ke dalam tiga wilayah kegiatan penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra –literary theory), historis (sejarah sastra –literary history), dan kritis (kritik sastra –literary criticism).
Dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.[8] Teori sastra bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikatnya, jenisnya, dasar-dasarnya, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Ia adalah studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategorinya, kriteria, dan sejenisnya. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra,[9] dan ia harus menciptakan dasar konsep yang universal, atau sekurang-kurangnya konsep umum, yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fakta-fakta.[10] Dengan demikian, teori sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra yang berusaha merumuskan pengertian-pengertian tentang sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan pengklasifikasian terhadap jenis dan ragam-ragam sastra, serta menyodorkan bagaimana analisis, interpretasi dan evaluasi terhadap karya sastra konkret dapat dilakukan.
Sebagai salah satu cabang ilmu sastra, teori sastra dapat memberi kontribusinya bagi cabang ilmu sastra lainnya, yaitu kritik sastra dan sejarah sastra. Kritik sastra, misalnya, hanya mungkin dapat melakukan evaluasi terhadap karya sastra secara objektif, jika evaluasinya didasarkan pada teori sastra. Kritik terhadap karya sastra konkret hanya akan menghasilkan penilaian yang sangat subjektif dan tak berdasar, jika ia mengabaikan teori sastra sebagai landasan penilaiannya. Begitu juga, sejarah sastra hanya mungkin dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika memperoleh bantuan teori sastra. Bagaimana mungkin sejarah sastra dapat mencatat terjadinya berbagai pembaruan dalam karya sastra jika ia tidak didukung oleh pemahaman mengenai teori sastra. Lalu, untuk apa pula teori sastra, jika ia tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kritik sastra. Begitu pula, kritik sastra yang tidak menggunakan teori sastra sebagai alat ukurnya, hanya akan menghasilkan interpretasi dan evaluasi yang terlalu subjektif. Di situlah, teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra, hadir dalam fungsinya yang saling melengkapi.
Dengan pemahaman bahwa yang dimaksud teori sastra itu merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria berdasarkan penyelidikan terhadap sejumlah karya sastra dengan tujuan menghasilkan dasar konsepsi yang berlaku secara universal atau paling tidak, berlaku umum, maka pandangan Rachmat Djoko Pradopo,[11] bahwa kritik sastra Indonesia tahun 1950-1970 belum menggunakan teori sastra, yang dimaksud teori sastra itu adalah teori sastra Barat. Demikian juga pernyataan Subagio Sastrowardoyo bahwa Indonesia selalu terlambat dalam menerima pengetahuan tentang teori-teori sastra yang bermunculan di dunia Barat,[12] menegaskan kembali betapa teori sastra (Barat) menjadi begitu penting dalam perkembangan teori sastra di Indonesia.
Lebih lanjut, dikatakan Sastrowardoyo bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, jarak hubungan kultural dan intelektual antara Indonesia dengan benua Amerika dan Eropa. Kedua, pemasukan buku dan majalah yang bersifat akademis dari luar negeri yang belum lancar dan masih terbatas jenisnya. Ketiga, kemampuan dan penguasaan umum yang masih lemah dalam pemahaman bahasa asing, sehingga menghambat pendalaman ke dalam objek studi, khususnya teori sastra.[13]
Jika yang dimaksud keterlambatan menerima teori sastra, sebagaimana yang dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu, sebagai keterlambatan menerima teori sastra Barat, maka masalah sebenarnya berkaitan dengan perkembangan kritik akademi atau kritik ilmiah. Dengan demikian, keterlambatan itu merupakan sesuatu yang wajar saja, jika itu ditempatkan dalam konteks kritik akademi atau kritik ilmiah. Apalagi jika mengingat munculnya kritik akademi atau kritik ilmiah, baru memperoleh bentuknya yang lebih jelas selepas tahun 1970-an, sebagaimana yang kemudian diajarkan di fakultas-fakultas sastra berbagai perguruan tinggi. Kritik sastra –yang di dalamnya menyangkut pembicaraan teori sastra— kemudian juga menjadi bagian dari kurikulum nasional pengajaran sastra.
Meskipun demikian, keterlambatan seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu sesungguhnya tidak juga sepenuhnya benar.[14] Anggapan terjadinya keterlambatan itu, sebenarnya cenderung lebih disebabkan oleh kelalaian membaca sejarah. Kritik dan teori sastra seolah-olah muncul tanpa sejarah. Itulah sebabnya, ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra sendiri –seperti yang pernah terjadi awal tahun 1980-an— pijakan pertama yang digunakan adalah teori sastra Barat, dan bukan lebih dahulu mencoba menyimak apa yang pernah terjadi sebelumnya. Atau, paling tidak, berangkat dari pertanyaan: apakah masalah itu sebelumnya pernah dibicarakan atau tidak. Dengan demikian, anggapan adanya keterlambatan penerimaan teori sastra Barat, boleh dikatakan muncul dari sikap apriori yang menafikan sejarah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia sendiri.
Jika melihat sejarah perjalanan kritik sastra di Indonesia yang justru sudah dimulai sejak zaman Pandji Poestaka,[15] maka dalam praktiknya, pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra, sebenarnya sudah dimulai sejak itu. Jadi, usaha-usaha ke arah perumusan teori sastra Indonesia sangat mungkin pula justru sudah muncul sejak zaman Pandji Poestaka dan kemudian semarak pada zaman Poedjangga Baroe. Lalu, apakah lantaran tulisan-tulisan itu masih tercecer dalam lembaran-lembaran suratkabar dan majalah, maka pembicaraan mengenai teori dan kritik sastra Indonesia hampir tak pernah mengungkap berbagai tulisan itu? Jadi, mengapa berbagai tulisan yang tersebar dalam majalah atau suratkabar itu hampir-hampir tidak pernah disinggung dalam konteks pembicaraan teori sastra (Indonesia)?
Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan berbagai tulisan dalam surat kabar dan majalah itu sering diabaikan dalam pembicaraan teori sastra.
Pertama, kecenderungan yang dilakukan para pengamat sastra Indonesia dalam menyusun sejarah sastra Indonesia mendasari penelitiannya pada karya-karya yang berujud buku, sementara karya-karya sastra yang masih tersebar di berbagai media massa sering kali diabaikan. A. Teeuw[16] dan Ajip Rosidi,[17] misalnya, menempatkan kelahiran kesusastraan Indonesia semata-mata berdasarkan karya-karya yang diterbitkan dalam bentuk buku. Akibatnya, awal kelahiran kesusastraan Indonesia, misalnya, dikatakannya berkisar pada kemunculan buku-buku terbitan Balai Pustaka. Padahal, cerita pendek, cerita bersambung (feuilleton), dan puisi, sudah sering bermunculan di berbagai suratkabar dan majalah pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dengan demikian, karya-karya yang disiarkan media massa itu kehadirannya justru mendahului buku-buku terbitan Balai Pustaka. Jadi, kelahiran kesusastraan Indonesia modern sesungguhnya tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan penerbitan suratkabar dan majalah.
Kedua, pemahaman kritik sastra –khasnya kritik sastra ilmiah atau kritik sastra akademi— dianggap hanya berkaitan dengan karya-karya ilmiah yang berupa karya kesarjanaan (skripsi, tesis, atau disertasi). Bahkan ada kesan bahwa kritik ilmiah atau kritik akademi, seolah-olah hanya berada di wilayah institusi pendidikan (fakultas sastra) dan tidak berada di luar itu. Kritik akademi jadinya memperoleh pemaknaan yang sempit dan dianggap yang hanya dapat dilakukan oleh para sarjana. Kritikus di luar itu, seolah-olah hanya menghasilkan kritik umum atau kritik impresionistik yang menekankan kesan subjektif kritikus, dan bukan menempatkan karya sastra sebagai objek penelitiannya. Akibat pemahaman itulah, kritik sastra akademi atau kritik sastra ilmiah lalu dibedakan dengan kritik impresionistik yang ditulis oleh sastrawan. Sementara kritik sastra umum yang terdapat di media massa, baik berupa resensi buku, maupun ulasan terhadap karya sastra konkret, cenderung tidak diperlakukan sebagai model kritik sastra ilmiah atau kritik akademi.[18]
Ketiga, kuatnya pengaruh kritik aliran Rawamangun[19] dalam institusi pendidikan sastra di Indonesia ikut pula mempengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap esai-esai yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, kritik atau ulasan terhadap karya sastra konkret yang disiarkan media massa itu, sering kali dianggap tidak ilmiah.
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan esai-esai (kritik sastra umum) yang disiarkan dalam suratkabar dan majalah kurang mendapat perhatian, bahkan terkesan seperti dibiarkan tercecer begitu saja. Untuk memberi gambaran, betapa pentingnya sejarah sastra –termasuk di dalamnya pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra— mengungkap tulisan-tulisan dan perbalahan yang terjadi di media massa, berikut ini akan dibincangkan berbagai tulisan dalam mengenai teori sastra yang pernah disiarkan Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe dan beberapa majalah lain yang terbit kemudian.
***
Seperti telah disebutkan, kritik sastra di Indonesia, secara praksis telah dimulai sejak Pandji Poestaka membuka rubrik atau ruangan “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam rubrik itu, Alisjahbana banyak mengulas dan memberi tanggapan atas sejumlah puisi yang dikirim ke majalah itu, dan juga membandingkannya dengan syair. Di samping itu, ia juga menyampaikan pandangannya mengenai apa yang disebutnya sebagai “Kesusastraan Baru” dengan berbagai ciri-cirinya. Dengan konsep kesusastraan baru yang diajukannya itu, ia melakukan interpretasi dan evaluasi atas puisi-puisi yang dibicarakannya. Dengan begitu, Alisjahbana sesungguhnya tidak hanya sudah melakukan praktik kritik sastra, tetapi juga memulai pembicaraan mengenai teori sastra. Dalam ruang “Memadjoekan Kesoesasteraan” (Pandji Poestaka, edisi Mei 1932),[20] Alisjahbana menurunkan artikel berjudul “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe”. Ia mengawali tulisannya sebagai berikut:
Pastilah roebrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” ini boekan sadja goenanja oentoek memoeatkan boeah tangan peodjangga kita. Sekali-kali ada djoega faedahnja, kalau dikemoekakan beberapa pikiran atau timbangan jang berfaedah oentoek memadjoekan kesoesasteraan.
Sekali ini kami hendak menoeliskan beberapa pertimbangan tentang kiasan dalam karang-mengarang pada oemoemnja dan dalam poeisi atau sjair pada choesoesnja.
Dikatakan lebih lanjut, bahwa kiasan, ibarat, atau perbandingan sangat penting dalam puisi Indonesia, mengingat bangsa Indonesia sudah sangat akrab dengan gaya bahasa itu. Kecenderungan yang menonjol pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi waktu itu adalah kiasan atau perbandingan yang sudah sering digunakan orang atau yang banyak terdapat dalam karya-karya sastra lama. “Pengarang harus melepaskan dirinya dari kebiasaan mengarang yang lama itu. Ia harus mengemukakan perasaannya sendiri, pikirannya sendiri, dan pemandangannya sendiri…. Sesungguhnyalah yang pertama sekali harus dilangsungkan oleh pujangga bangsa kita dewasa ini: melepaskan dirinya dari kungkungan yang erat mengikat dan kurungan yang lembab dan gelap, membunuh semangat.” Demikian penegasan Alisjahbana. Oleh karena itu, pemakaian kiasan dalam puisi, menurutnya, menuntut syarat-syarat tertentu.
Maka sesungguhnya perbandingan, kiasan, ibarat itu ada syarat-syaratnya.
Untuk menyelidiki betapa harusnya syarat kiasan dalam syair, haruslah kita mengaji dahulu apa yang dinamakan syair atau puisi.
Syair atau puisi ialah penjelmaan perasaan dengan perkataan.[21]
Dalam uraian selanjutnya, Alisjahbana mengungkapkan sejumlah kriteria mengenai ciri-ciri kiasan, ibarat, atau perbandingan yang menurutnya mencerminkan semangat kesusastraan baru. Dengan begitu, secara langsung Alisjahbana tidak hanya mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan puisi dan syair, pengertian kiasan, perbandingan, dan ibarat, tetapi juga menyodorkan sejumlah kriteria pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi baru.
Menurutnya, puisi lama cenderung mementingkan bunyi daripada isi atau amanat yang hendak penyair, sedangkan puisi baru, tidak hanya mempertimbangkan bunyi, tetapi juga makna setiap kata. “Tiap-tiap perkataan mesti kena tempatnya dan nyata arti dan perasaan yang dikemukakannya.[22] Dalam puisi baru … yang terpenting ialah perasaan dan pikiran yang masing-masing melahirkan bentuknya sendiri, yang sesuai benar tentang ikatan, pilihan kata, susunan kalimat dan irama dengan perasaan dan pikiran itu.”[23]
Selain Alisjahbana yang gencar sekali menyuarakan semangat kesusastraan baru,[24] beberapa penulis lain, di antaranya, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Hoesein Djajadiningrat, Soewandhi, J.E Tatengkeng, juga mencoba membuat rumusan, kriteria, dan ciri-ciri tentang berbagai aspek kesusastraan. Dengan kata lain, para penulis itu secara sadar berusaha pula membincangkan persoalan “teori sastra”.
Armijn Pane dalam artikelnya “Kesoesasteraan Baroe”[25] mengungkapkan panjang lebar mengenai ciri-ciri kesusastraan Indonesia baru dan peranan pujangga (sastrawan) dalam membangun bangsanya. Meskipun artikel itu tidak secara langsung membicarakan teori sastra, setidak-tidaknya ada usaha Armijn Pane untuk menempatkan kedudukan sastrawan dalam masyarakat dan menyodorkan semacam kriteria, bagaimana seorang sastrawan menyampaikan gagasannya secara jujur, sesuai dengan hati nuraninya. “Seorang hamba seni jang sejati adalah hamba soekmanja…. Djadi bagaimana djoea, jang menjanji dalam sadjak, dalam gambaran seorang hamba seni jang sedjati, ialah soekmanja. Seorang hamba seni hidoep dalam masjarakat, djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada masjarakat itoe, ia adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.”[26] Dalam hubungan itulah, sastrawan tidak dapat melepaskan dirinya dari tanggung jawab sosialnya. Ia dapat dipandang mewakili masyarakat, mewakili kebudayaan dan daerahnya, juga mewakili semangat zamannya. “Setiap masjarakat lain seninja, setiap waktoe lain seninja.”[27] Bukankah hal itu pula yang dikatakan Rene Wellek dan Austin Warren, bahwa sastra sering dianggap sebagai potret sosial dan mengungkapkan semangat zamannya. “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society).[28]
Selain membicarakan hubungan sastrawan dengan masyarakat, Armijn Pane juga menyampaikan beberapa ciri puisi baru yang menurutnya merupakan bentuk baru dari pantun. “Peodjangga baroe boekan hanja memindjam dari bangsa asing[29] akan menimboelkan vorm baroe, tetapi kami djoega membaroekan vorm jang lama soepaja sesoeai, sehidoep dengan semangat baroe.” Untuk mendukung pernyataannya itu, Armijn juga menyampaikan beberapa ulasan atas puisi-puisi yang muncul pada masa itu. Berikut ini akan dikutip ulasan Armijn Pane yang mengambil contoh kasus sebuah puisi karya Imam Soepardi yang dimuat Soeara PBI, Oktober 1932.
Kalau tidak karena sinar boelan
Tidaklah malam terang tjuatja
Beta termenoeng
Karena bingoeng
Kalau tidak karena kesadaran
Tidaklah kira, poetra bekerdja
Beta berloetoet
Ingin bersoedjoet
Dengan sepandang mata soedah kita ketahoei bahwa ini boekan pantoen, tetapi waktoe membatjanja, tiadalah tersingkirkan perasaan dari pada kita, bahwa ini jalah pantoen. Ritmenja, perasaannja, semangatnja sama dengan pantoen.
Itulah yang dimaksud Armijn Pane sebagai vorm baru, bentuk baru, yang membedakannya dengan pantun. Bukankah yang dilakukan Armijn Pane ini sebagai usaha untuk mengungkapkan ciri-ciri puisi baru dan merumuskan bentuknya sebagai gambaran dari semangat sastrawan pada masa itu? Dalam kerangka pemikiran Barat, bukankah itu termasuk sebagai bagian dari pembicaraan teori sastra?
Artikel lain yang juga memperlihatkan semangat untuk merumuskan kekhasan ciri-ciri kesusastraan Indonesia yang berbeda dengan kesusastraan Barat, dilakukan Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat. Pada peringatan 9 tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, Hoesein Djajadiningrat menyampaikan pidatonya yang bertajuk “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib.”[30]
Selain menyatakan keheranannya atas pandangan G.H. Werndly yang tidak menyinggung pantun dalam pembicaraannya mengenai sajak dalam bahasa Yunani dan Arab dan memperbandingkannya dengan persajakan Melayu, Hoesein Djajadiningrat juga menolak beberapa pendapat tentang pantun yang dikemukakan William Marsden, John Crawfurd, serta dua sarjana Belanda, W.R. van Hoevell dan L.K. Harmsen.. Menurutnya, Werndly telah salah menyebutkan “Pantun Speelman” sebagai “Syair Speelman”, sedangkan kekeliruan John Crawfurd terletak pada anggapannya yang menyebutkan pantun sebagai teka-teki. Adapun penolakan Djajadiningrat atas pendapat dua sarjana Belanda menyangkut isi pantun yang dalam dua baris pertamanya dikatakan sebagai “memberi keterangan yang bukan-bukan.”
Hal yang juga penting yang dilakukan Djajadiningrat adalah usahanya melacak asal-usul kata pantun. Menurutnya, kata pantun berasal dari perubahan kata paribahasa menjadi paribasan. Kata pari dalam bentuk yang lebih dihaluskan lagi kemudian menjadi pantun. Arti kata itu sendiri adalah umpama, seloka, paribahasa atau kiasan. Jadi, pantun adalah “suatu kuplet yang sebagian mengandung kiasan atau sesuatu yang kurang terang, yang dijelaskan oleh bagian yang lain, tiada peduli apa isinya, meskipun telah selayaknya kiasan yang dipakai demikian mempunyai semangatnya sendiri.”[31] Ia juga menyebutkan ciri-ciri yang melekat pada pantun, yaitu terdiri dari empat baris, tiap baris terdiri dari empat kaki, dan tiap kaki terbagi dua atau tiga suku kata dengan pola persajakan a-b-a-b. Sifatnya khas, karena setelah dua baris pertama, sekonyong-konyong datang perubahan arti kata-kata. Sementara inti pesannya terletak pada dua baris terakhir, yaitu isi suatu klanksuggestie,[32] yaitu bunyi yang memberi penunjuk bagi kedua baris yang akhir.
Ringkasnya, Djajadiningrat menegaskan bahwa pandangan para sarjana Barat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat. Dengan membandingkan pantun dengan parikan dan wangsalan Jawa atau sisindiran dan wawangsalan Sunda, disimpulkan bahwa pantun merupakan puisi khas Melayu yang ciri-cirinya tidak akan dijumpai dalam sajak-sajak Barat. Oleh karena itu, pemahaman ciri-ciri sebuah kuplet disebut pantun atau syair dan syarat-syarat yang menyertainya penting artinya untuk menempatkan kekhasan pantun sebagai bentuk persajakan Melayu yang berbeda dengan bentuk persajakan lainnya.
Dalam Poedjangga Baroe, No. 9, Th. II, Maret 1934, Amir Hamzah juga membicarakan “Pantoen”.[33] Isinya, meski tidak seluas artikel Hoesein Djajadiningrat, menegaskan kembali kekhasan pantun sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. “… bentoek pantoen Indonesia jang biasa itoe ja’ni, bahwa ia terdjadi dari empat baris dan doe baris jang diatas itoe pada sekali pandang tiada bersangkoet paoet dengan doea boeah kalimat jang dibawah. Inilah kegandjilannja pantoen Indonesia.” Seperti Djajadiningrat, Amir Hamzah juga mengingatkan, bahwa untuk memahami pantun, “hendaklah kita mengetahoei kehidoepan pikiran serta kesoesasteraan anak Indonesia, maka baharoelah moengkin kita menerangkan sangkoet paoet kalimat pantoen itoe.” Dengan perkataan lain, usaha untuk memahami pantun hanya mungkin dapat dilakukan lebih tepat jika pendekatannya berdasarkan ruh kebudayaan Indonesia sendiri.
Kritik terhadap pandangan para peneliti Barat terhadap pantun, juga dilakukan Intojo.[34] Mengingat begitu banyak terjadi kesalahpahaman dalam memahami pantun, Intojo mengingatkan:
… karena itu bangsa Indonesia mempunjai hak sepenuhnja untuk membanggakan tjiptaan nasionalnja: pantun ketjil jang memantjarkan keindahan jang halus dan menarik; jang mengandung gugusan asosiasi, lambang dan langgam aneka-ragam, jang bersilih-ganti bersahadja dan djelita. Karena itu orang Indonesiaberhak mengharap dari kawan-kawannja bangsa Eropah, supaja mereka menjelidiki pantun itu dan beladjar memahaminja lebih baik dari jang sudah; berbareng dengan itu orang Indonesia berkewadjiban membantunja dalam pekerdjaan jang tidak gampang itu.[35]
Dengan mengutip karangan seorang sarjana Italia, Dr. Giacomo Prampolini yang meneliti pantun dan membandingkannya dengan puisi-puisi berbagai bangsa, Intojo menolak anggapan bahwa pantun: hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan). Menurut Intojo, amoreus justru bukan sifat umum pantun, mengingat ada juga pantun anak-anak, pantun orang tua, dan pantun nasihat yang sama sekali tidak amoreus. Kekeliruan itu terjadi karena pantun dianggap sama dengan persajakan di belahan bumi yang lain yang menggunakan pola a-b-a-b. Jadi, menurut Prampolini, setiap sajak yang berpola a-b-a-b dapatlah dikatakan sebagai pantun.
Uraian Intojo selanjutnya menegaskan bahwa bagaimanapun juga, pantun memang memperlihatkan bentuk persajakan yang khas Melayu (Indonesia) yang justru tidak tidak terdapat dalam persajakan lain di dunia ini. Adanya kemiripan, tidaklah berarti sama persis atau identik. Dalam hal ini, menurut Intojo, pantun memang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu (Indonesia). Oleh karena itu, ia punya kekhasannya sendiri yang membedakannya dengan puisi dalam kesusastraan bangsa lain.
Mencermati artikel-artikel tentang pantun yang ditulis Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo, tampaklah bahwa ketiganya secara tegas menolak pandangan keliru tentang pantun yang ditulis para sarjana Barat. Pertanyaannya kini: bukankah yang dilakukan ketiga penulis itu menyangkut kritik dan teori sastra, khasnya teori tentang pantun? Mengingat pantun menunjukkan kekhasan persajakan Melayu, bolehlah kiranya kita mengatakan, bahwa pembicaraan dalam ketiga artikel itu merupakan bagian dari pembicaraan teori sastra, khasnya mengenai teori sastra tentang pantun Melayu?
***
Penulis lain yang membincangkan masalah teori sastra, terutama yang muncul dalam majalah Poedjangga Baroe, antara lain, Sanusi Pane,[36] Soewandhi,[37] Armijn Pane,[38] Amir Hamzah,[39] dan teristimewa Alisjabahana.[40] Di antara para penulis zaman Pujangga Baru itu, Alisjahbana yang paling gencar menawarkan gagasan tentang konsep puisi baru. Menurutnya, “letak sari pembaroean poeisi Indonesia adalah hidoep-saktinja kembali perasaan, kembalinja poeisi kepada asalnja, jaitoe djiwa bernjanji.”[41]
Melalui pembicaraan sejumlah puisi yang muncul pada masa itu, Alisjahbana menyimpulkan ciri-ciri umum puisi Indonesia, yaitu: (1) kuatnya suara sukma penyair yang disebutnya dengan frase: djiwa bernjanji. (2) Lirik sebagai curahan kalbu individu penyair. Oleh karena itu juga bersifat individualisme. (3) Munculnya berbagai macam bentuk aliterasi. (4) Kecenderungan kuatnya insiatif penyair untuk memanfaatkan pilihan kata yang tepat. (5) Kecenderungan pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi penyair. Meskipun beberapa ciri yang dilihat Alisjahbana menunjukkan adanya kesamaan dengan ciri-ciri romantisisme, tidaklah berarti kesamaan itu identik. Ciri individualisme dan pemanfaatan alam sebagai sumber inspirasi, misalnya, dikatakannya tidak dalam kerangka individualisme yang mementingkan diri pribadi. Dalam hal ini, individualisme yang dimaksud Alisjahbana sebatas pada kekhasan pribadi style penyair yang tercermin dalam karyanya. Sedangkan dalam kehidupan kemasyarakatan, seorang penyair tetap dituntut untuk memberi pencerahan kepada masyarakat. Jadi, ia menolak pendirian seni untuk seni, dan menganjurkan pendirian seni untuk masyarakat.[42]
Sementara mengenai pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi bagi penyair didasarkan pada pandangan bahwa kekayaan alam Indonesia telah banyak memberi inspirasi atau ilham kepada para penyair, dan bukan lantaran para penyair itu prihatin pada eksploitasi alam, sebagaimana yang terjadi di Eropa. Dengan demikian, alam sebagai sumber inspirasi penyair Indonesia, justru dalam konteks pengagungan, dan bukan didasarkan pada keprihatinan atas keserakahan manusia memanfaatkan alam.
Demikianlah, para sastrawan zaman Pujangga Baru telah berusaha merumuskan sejumlah konsep atau pengertian yang menurut pengertian Rene Wellek dan Austin Warren, bukankah itu termasuk ke dalam pembicaraan teori sastra. Bahkan di antaranya, sebagaimana yang telah dilakukan Sutan Takdir Alisjahbana, mencoba pula mencari dan menyodorkan estetika puitik terhadap kecenderungan karya-karya sastra, terutama puisi, yang muncul pada masa itu. Pertanyaannya kini: dapatkah tulisan-tulisan itu dimasukkan ke dalam pembicaraan kritik dan teori sastra? Bukankah tulisan-tulisan itu juga menyangkut penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikat, jenis, dasar-dasar, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Begitu juga apa yang dilakukan Alisjahbana tentang puisi dan Hoesein Djajadiningrat dan Intojo tentang pantun, bukankah pembicaraan yang demikian itu termasuk studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategori, kriteria, dan sejenisnya yang kemudian menghasilkan konsep umum yang berlaku dalam puisi Indonesia masa itu dan konsep umum tentang pantun?
***
Pada zaman pendudukan Jepang (1942—1945), semua kegiatan sastra dan budaya dan semua yang berkaitan dengan kegiatan publikasi, berada di bawah pengawasan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan. Dengan begitu, gagasan dan pemikiran mengenai konsepsi sastra dan berbagai hal yang berkaitan dengan itu, juga berada di bawah pengawasan lembaga itu.[43] Meskipun pada masa itu, dalam beberapa suratkabar dan majalah, seperti harian Asia Raja dan majalah Djawa Baroe, kita masih dapat menjumpai artikel-artikel yang membicarakan karya sastra konkret (kritik sastra) atau konsepsi sastra (teori sastra) menurut kepentingan pemerintah pendudukan Jepang, pengaruhnya bagi usaha merumuskan konsepsi sastra sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Pujangga Baru, dapat dikatakan tidaklah cukup signifikan. Oleh karena itu, usaha melihat perkembangan teori sastra pada zaman Jepang, agak payah dilakukan. Walaupun begitu, apa yang dilakukan H.B. Jassin yang berusaha memetakan kesusastraan pada zaman Jepang, sedikit banyak cukup membantu kita untuk memahami model estetik sastra Indonesia pada masa itu.[44]
***
Memasuki dasawarsa tahun 1950-an, pembicaraan mengenai konsepsi (:teori) sastra semarak kembali setelah pada tahun 1947, terbit majalah mingguan Siasat dan Mimbar Indonesia. Pada bulan Maret 1948, majalah mingguan Siasat membuka ruangan kesusastraan “Gelanggang” yang mencerminkan semangat para pengelola rubrik ini untuk mengusung sikap kulturalnya.[45] Pada awalnya fokus pembicaraan dalam sejumlah artikel yang dimuat dalam ruangan “Gelanggang” berkisar pada konsepsi estetik Generasi Gelanggang. Penamaan Generasi Gelanggang sendiri pada akhirnya kalah populer setelah muncul penamaan Angkatan 45.[46] Konsepsi estetik Angkatan 45 inilah yang kemudian hampir mendominasi perbincangan kesusastraan Indonesia pada masa itu.
Dalam majalah Siasat, 22 Oktober 1950, dimuat sebuah dokumen penting yang diberi nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang bertarikh 18 Februari 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang inilah yang kemudian dipandang sebagai sikap dan dasar konsepsi estetik Angkatan 45. Jassin kemudian menafsirkan dan merumuskan konsepsi itu dengan apa yang disebutnya konsep humanisme—universal. Dalam penjelasannya, Jassin mengungkapkan: “Angkatan 45 tidak mengabdi kepada sesuatu isme, tapi mengabdi kepada kemanusiaan yang mengandung segala yang baik dari sekalian isme… Angkatan 45 mempunyai konsepsi humanisme universal.[47]
Penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universal itu ternyata bukan tanpa masalah. Paling tidak, setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –sebuah lembaga kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri 17 Agustus 1950, penentangan terhadap penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universalnya, gencar dilakukan oleh golongan sastrawan Lekra yang mengusung humanisme proletariat. Bagi Lekra, kebudayaan –termasuk di dalamnya kesusastraan—haruslah berpihak kepada rakyat. Dengan demikian, kesenian pun harus berpihak kepada rakyat.
Terjadinya polemik antara kelompok Angkatan 45 dan golongan Lekra pada awalnya justru memberi sumbangan berarti bagi usaha-usaha perumusan konsep-konsep sastra yang dalam kerangka kritik sastra dapatlah dimasukkan sebagai pembicaraan teori sastra. Kondisi itu bertambah semarak saat muncul majalah-majalah kesusastraan. Maka, berbagai pemikiran mengenai teori sastra telah berkembang semarak pada masa itu.
Dalam majalah Indonesia,[48] misalnya, banyak dimuat berbagai artikel mengenai konsep-konsep sastra, seperti hubungan sastra dan politik, definisi dan konsep sastra, masalah angkatan, kriteria sastra pornografi, sastra bertendens, tanggung jawab sosial sastrawan, keindahan dan kebaruan dalam sastra, dan sejumlah artikel lain yang mencoba memberi penjelasan atas berbagai hal yang berkaitan dengan kesusastraan.[49] Puncak pertentangan itu terjadi tahun 1965, ketika Lekra bersama organ PKI lainnya melakukan serangan dan teror terhadap para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang mendukung konsep humanisme universal. Itulah masa khaos sastra Indonesia.
***
Pembicaraan mengenai teori sastra, mulai marak kembali setelah kritik dan teori sastra menjadi bahan pengajaran di fakultas sastra. Pengajaran teori dan kritik sastra dalam pengertian kritik ilmiah di Indonesia, seperti dimulai kembali.
Terjadinya kekacauan dalam kehidupan sastra Indonesia awal tahun 1960 sampai tahun 1965, menyadarkan kaum akademi bahwa campur tangan politik dalam kehidupan kesusastraan dan kebudayaan, telah berdampak sangat buruk.[50] Anggapan bahwa penilaian terhadap sastra hanya boleh dilakukan berdasarkan ideologi politik, seperti yang dilakukan sastrawan Lekra,[51] ternyata telah melahirkan kritik tanpa kriteria dan ukuran. Kritik jadinya seperti caci-maki karena tak ada teori yang digunakan sebagai landasan. Penilaian terhadap karya sastra menjadi relatif dan subjektif. Akibatnya terjadi kekacauan dalam kehidupan kesusastraan Indonesia secara keseluruhan.[52] Maka, agar sastra Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, kritik sastra harus dipisahkan dari kepentingan politik. Ia juga harus didasarkan atas landasan teori untuk menghasilkan penilaian yang objektif sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiahnya.
Sementara itu, praktik kritik sastra yang ditulis sastrawan cenderung menekankan pada kesan subjektif, tanpa menggunakan teori atau ukuran dan kriteria tertentu. Dalam hal ini, berlaku pula anggapan “sepuluh kritikus akan menghasilkan sepuluh penilaian”.
Itulah beberapa masalah yang melatarbelakangi lahirnya kesadaran untuk mencari identitas dan ukuran yang jelas dalam kritik dan teori sastra. Guna mencapai tujuan itu, diselenggarakan Simposium Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, 27 Oktober 1966, yang melibatkan peneliti dan sastrawan. Kegiatan serupa diselenggarakan lagi dalam rangka peringatan penyair Chairil Anwar, 30 April 1967.[53] Selepas terjadi perbalahan mengenai kritik sastra yang diwakili kelompok sastrawan dan peneliti sastra yang diselenggarakan 31 Oktober 1968, perbincangan kritik dan teori sastra menjadi isu penting.[54]
Selepas terjadi polemik antara pendukung kritik ilmiah atau kritik akademis (Aliran Rawamangun) dan pendukung kritik sastra melalui metode ganzheit (Metode Kritik Ganzheit),[55] teori-teori sastra Barat terus mengalir memasuki institusi-institusi pendidikan. Sejak simposium tahun 1968 itu, pengajaran kritik dan teori sastra di FSUI sendiri mulai mendapat perhatian serius dengan mencoba merumuskan prinsip dan ukuran yang boleh digunakan di dalam menilai karya sastra. Sejak itu pula, pengajaran kritik sastra di dalamnya mencakupi pembicaraan teori sastra. Secara eksplisit, dasar pijakan kritik sastra Aliran Rawamangun berlandasan pemikiran strukturalisme, seperti dikatakan Hutagalung. Pusat perhatian utama adalah karya itu sendiri (ergosentris). Maksudnya menempatkan karya sastra sebagai objek kajian. Dengan demikian, maka posisi karya sastra tidak lagi digeser oleh aspek eksternal di luar karya sastra tersebut.
Strukturalisme dan Aliran Kritik Baru (New Criticism) jelas berada di belakang pemikiran Aliran Rawamangun. Meski begitu, para pendukungnya tidak menunjukkan kesamaan sikap dalam menempatkan otonomi sastra dalam hubungannya dengan pengarang. Kritik Jassin, cenderung apresiatif dengan tetap menempatkan keberadaan dan latar belakang pengarang sebagai hal yang penting di dalam usaha memahami karya.[56] Hutagalung masih merasa perlu menggunakan ilmu lain (psikologi) untuk menganalisis karya sastra,[57] dan menempatkan pengarang sebagai bagian penting dalam memahami karya sastra.[58] Hal yang sama dilakukan Boen S. Oemarjati[59] dan J.U. Nasution.[60] Sementara Saleh Saad di dalam kuliah-kuliahnya selalu menekankan agar kritikus tidak berhubungan dengan pengarang jika ia hendak memahami sebuah karya. Jadi, di antara para pendukung Aliran Rawamangun, Saleh Saad yang secara tegas menempatkan karya sastra sebagai kenyataan otonom dan menolak menghubungkannya dengan pengarang.[61]
Tak dapat dinafikan pengaruh Aliran Rawamangun dalam pengajaran teori dan kritik sastra di berbagai universitas di Indonesia. Dengan begitu, teori-teori sastra Barat juga terus mengalir ke berbagai institusi pendidikan. Ada beberapa hal yang mendukung kuatnya pengaruh Aliran Rawamangun ini.
Pertama, adanya penataran-penataran sastra yang diselenggarakan atas kerja sama FSUI dan Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa yang pesertanya berasal dari berbagai universitas di Indonesia, telah ikut mempercepat penyebaran pengaruh aliran ini.
Kedua, dimasukkannya mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra di Indonesia, telah mengharuskan semua institusi (Fakultas Sastra di berbagai universitas di Indonesia) menyertakan kuliah kritik sastra. Dalam hal ini, mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu mata kuliah wajib yang berlaku dalam kurikulum nasional.
Ketiga, diterbitkannya sejumlah skripsi (tugas akhir kesarjanaan) ikut pula mendukung dan mengukuhkan pengaruh kritik sastra Aliran Rawamangun.
Keempat, adanya penyeragaman istilah-istilah di bidang sastra, makin meluaskan penyebaran pengaruhnya.[62] Dalam hal itu, sumbangan Aliran Rawamangun, penting artinya dalam merumuskan istilah sendiri, meski dasar pemikirannya dari teori Barat.
***
Kini perkembangan teori sastra di Indonesia seperti menyerap begitu saja teori-teori sastra dari Barat. Sebutlah, semiotik, feminisme dan gender, sampai sastra populer, cultural studies[63] dan New Historicism.[64] Ada dua hal yang diabaikan: Pertama, sejarah perjalanan pemikiran sastra, di dalamnya tentu saja berkaitan dengan persoalan konsepsi dan rumusan teoretis. Kedua, pemikiran yang berkembang dan tercecer di berbagai media massa. Akibatnya, sejak Aliran Rawamangun memperkenalkan Kritik Baru Amerika dan strukturalisme, teori dan kritik sastra Indonesia seperti berjalan tanpa sejarah.
Sementara institusi pendidikan seperti tersihir mengagumi teori sastra Barat, kita sendiri memang tak dapat mengabaikan keberadaan dan kontribusinya. Meski begitu, membutatulikan diri pada usaha-usaha yang telah dicoba oleh para pemikir kita, juga tidaklah elok. Oleh karena itu, sambil kita mempelajari segala teori sastra dari Barat itu, seyogianya kita juga membuka sejarah dan pemikiran yang tercatat dalam berbagai media massa. Siapa tahu, dari tumpukan sejarah dan ceceran lembaran majalah dan surat kabar, kita menemukan teori sastra yang khas milik bangsa sendiri, seperti yang ditunjukkan Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo mengenai pantun.
Dengan demikian, pengenalan teori dan kritik sastra Barat itu, sekadar alat yang boleh digunakan dalam mengenalisis karya-karya sastra Indonesia. Jika tidak cocok, tentu saja kita boleh menggunakan teori lain yang lebih tepat, atau kita cobakan teori yang kita rumuskan sendiri. Paling tidak, usaha-usaha ke arah itu memang sudah pernah dilakukan.
Demikianlah gambaran umum perjalanan sejarah teori dan kritik sastra Indonesia.
Mkl/teori-sastra/msm/28/11/02
Makalah Persidangan Teori dan Pemikiran Melayu, “Menjana Tamadun Melayu” diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka Wilayah Selatan Johor Bahru bekerja sama dengan Institut Pendidikan Nasional Universiti Nanyang Singapura dan Dinas Pendidikan Tanjung Balai Karimun, Riau, 12—14 Desember 2002.
CATATAN KAKI
[1]Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955, hlm. 27), menyebutnya dengantheory of literature sesuai judul bukunya. Istilah literary theory digunakan juga Rene Wellek dalam “Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20. Boleh jadi istilah ini digunakan untuk memberi tekanan yang sama penting pada tiga bidang ilmu sastra, yaitu teori sastra (literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra (literary criticism). Dalam istilah yang berbeda, M.H. Abrams (A Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, hlm. 35) menyebutnya dengan theoretical criticism untuk membedakannya dengan criticism. Istilah yang juga digunakan C. Hugh Holman & William Harmon (A Handbook to Literature, New York: Macmillan Publishing Company, 1980, hlm. 502).
[2]Dalam diskusi dan kuliah kritik sastra, misalnya, buku Ann Jefferson & David Robey (Ed.), Modern Literary Theory, (London: Batsford, 1982), dan Terry Eagleton, Literary Theory, (Oxford: Basil Blackwell, 1983), menjadi buku wajib, berdampingan dengan buku Paul Hernadi,What is Criticism (Bloomington: Indiana University Press, 1981), buku David Lodge (Ed.), 20th Century Literary Criticism (London: Longman, 1985), dan buku Rene Wellek, Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967). Dalam hal ini, pengertian kritik sastra di dalamnya mencakupi juga teori sastra.
[3]Wilfred L Guerin, et al (A Handbook of Critical Approaches to Literature, New York: Harper & Row Publishers Inc., 1979), misalnya, menguraikan sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian sastra. Di dalamnya disebutkan adanya pendekatan formalistik, psikologi, sosiologi, strutktural, dan feminisme. Jadi, kritik sastra digunakan sebagai alat (pendekatan) untuk melakukan penelitian sastra.
[4]Teori kritik sastra adalah istilah yang digunakan Rachmat Djoko Pradopo untuk menyebut kritik sastra teoretis (theoretical criticism), sekaligus untuk membedakannya dengan kritik praktik (practical criticism) atau kritik terapan (applied criticism).
[5]Subagio Sastrawardoyo, “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri,” Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 53.
[6]Umar Junus, “Teori Sastra dan Kreativitas Sastra,” Mitos dan Komunikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981) hlm. 8—9.
[7]Istilah ilmu sastra mula diperkenalkan A. Teeuw dalam ceramah-ceramahnya mengenai berbagai penelitian sastra –termasuk teori sastra— di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan pada penataran di Tugu tahun 1977. Sebelum itu bidang ini masih sering disebut penelitian sastra atau studi sastra sebagaimana yang digunakan William Henry Hudson (An Introduction to the Study of Literature, London: George G. Harrap, 1922) atau teori sastra jika mengacu pada buku Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature, New York: Harcourt, Brace and Company, 1955). Dengan mengambil model penelitian bahasa yang disebut ilmu bahasa atau penelitian terhadap aspek kesenian atau ilmu seni dan estetika, maka bidang yang membicarakan teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra dalam kerangka kegiatan ilmiah dikatakanlah sebagai ilmu sastra. Tulisan-tulisan A. Teeuw itu disusun kembali lebih komprehensif yang kemudian diberi tajuk, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
Meskipun demikian, jauh sebelum itu, Amir Hamzah dalam artikelnya, “Kesoesasteraan” (Poedjangga Baroe, No. 12, Djoeni 1934, hlm. 363, dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21) memakai istilah “ilmu sastra” dalam konteks kekayaan khazanah kesusastraan Indonesia. Sementara Sutan Takdir Alisjahbana dalam artikel “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” (Poedjangga Baroe, Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938, hlm. 43—60, dimuat juga dalam Sutan Takdir Alisjahbana,Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 49—67) menyebut kesusastraan sebagai cabang seni, dan ilmu kesusastraan telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang seni puisi. Jadi, istilah “ilmu sastra” atau “ilmu kesusastraan” menurut Sutan Takdir Alisjahbana, telah muncul sejak zaman Pujangga Baru, meskipun pada masa itu, belum ada kejelasan wilayah cakupan serta rumusan atau definisi mengenai beberapa konsep dan istilah di dalam kesusastraan.
[8]Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955), hlm. 27. Lihat juga, Rene Wellek, “Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20.
[9]Ibid.
[10]D.W. Fokkema & Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terj. J. Praptadiharja & Kepler Silaban (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 12.
[11]Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[12]Subagio Sastrowardoyo, “Keterlambatan Kita dalam Teori Sastra,” Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 44.
[13]Ibid., hlm. 45.
[14]Dalam Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938 yang antara lain memuat artikel Soetan Sjahrir, “Kesoesasteraan dan Ra’jat,” Soewandhie, “Masjarakat dan Bahasa,” Sutan Takdir Alisjahbana, “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” dan M. Amir, “Djiwa Poedjangga,” tampak jelas bahwa mereka juga tidak dapat menghindar dari pengaruh Barat. Beberapa konsep dan definisi mengenai sastra, puisi, prosa, pujangga, mereka kutip dari sumber-sumber Barat, termasuk dari karya William Henry Hudson, An Introduction to the Study of Literature, London: George G. Harrap, 1922.
[15]Kritik sastra di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1932 ketika majalah Pandji Poestaka menyelenggarakan sebuah rubrik yang bertajuk “Memadjoekan Kesoesasteraan”. Sutan Takdir Alisjahbana tercatat sebagai salah seorang redaksinya. Dalam rubrik itu, Alisjahbana mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah itu. Di samping itu, ia juga sering kali menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya para sastrawan untuk mengungkapkan gagasannya secara bebas, tanpa harus terikat oleh bentuk-bentuk kesusastraan lama. Dalam Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932, Th. X, misalnya, dimuat sebuah artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel inilah yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam perjalanannya, selepas Alisjahbana keluar dari majalah Pandji Poestaka dan bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane menumbuhkan majalahPoedjangga Baroe, tulisan-tulisan yang bersifat kritik dan teori sastra, makin ramai bermunculan dalam majalah itu.
[16]Buku A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1980), misalnya, sama sekali tidak menyinggung karya-karya sastra yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, banyak nama sastrawan Indonesia yang luput dari pengamatannya dan tak tercatat dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia.
[17]Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Bina Cipta, 1976), juga melakukan hal yang sama, yaitu tidak menyinggung khazanah karya sastra dalam majalah atau suratkabar. Dalam hal ini, baik Teeuw maupun Ajip Rosidi mengandalkan objek penelitiannya berdasarkan karya-karya yang telah diterbitkan sebagai buku.
[18]Berdasarkan media dan cara pengungkapannya, kritik sastra dapat dibagi ke dalam dua jenis kritik yaitu (1) kritik akademi atau kritik ilmiah dan (2) kritik sastra umum. Kritik akademi secara ketat menggunakan metodologi dan kerangka teori tertentu, sebagaimana yang disyaratkan dalam penulisan skripsi atau karya ilmiah dan karya kesarjanaan lainnya, sedang kritik umum yang memanfaatkan media massa (surat kabar dan majalah) sebagai wadahnya lebih menekankan pada aspek informasinya yang ditujukan kepada khalayak pembaca yang lebih luas. Dalam kritik sastra umum, kadangkala konsep dan istilah-istilah teknis, terpaksa harus disederhanakan, agar dapat dipahami masyarakat umum.
[19]Kritik sastra aliran Rawamangun adalah kritik sastra yang menekankan segi ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok peneliti sastra ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan Kritik Baru Amerika (New Criticism). Para pendukung aliran ini diwakili oleh J.U. Nasution, S. Effendi, M. Saleh Saad, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Yang dimaksud kelompok peneliti sastra ini adalah dosen-dosen FSUI dan peneliti di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Karena gedung kampus FSUI waktu itu letaknya bersebelahan dengan gedung Pusat Bahasa di kawasan Rawamangun, Hutagalung kemudian menyebutnya sebagai “Aliran Rawamangun”.
[20]Dimuat kembali dalam Sutan Takdir Alisjahbana, Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 16—48.
[21]Ejaan dalam kutipan ini disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Tampak di sini, Alisjahbana mencoba mendefinisikan konsep puisi. Menurut definisi sastra secara umum, rumusan Alisjahbana itu dapat dimaknai sebagai “gagasan yang lahir berdasarkan pengalaman –langsung atau tidak—ditambah imajinasi yang kemudian diungkapkan dengan bahasa sebagai medianya. Jadi, yang dimaksud perkataan menurut Alisjahbana, dapat dimaknai sebagai “bahasa sebagai medianya.”
[22]Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Baru dan Lama,” Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 36. Dalam artikelnya yang berjudul “Puisi Baru sebagai Pancaran Masyarakat Baru,” yang dijadikan semacam pendahuluan buku Puisi Baru Jakarta: Dian Rakyat, 1975; Cet. 1: 1946), Alisjahbana mengemukakan, bahwa terjadinya pertemuan antara bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa, telah membawa perubahan besar dalam cara pandang dan sikap masyarakat, termasuk cara pengungkapan dalam puisi. Itulah salah satu ciri yang kemudian membedakan puisi lama dan puisi baru.
[23]Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Lama dan Puisi Baru,” Poedjangga Baroe, Djoeli—Agoestoes 1940. Dimuat juga dalam Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 79—82.
[24]Beberapa artikel Sutan Takdir Alisjahbana berikut ini memperlihatkan betapa sesungguhnya Alisjahbana telah berusaha membuat semacam teori sastra, khasnya yang berkaitan dengan ciri-ciri dan kriteria kesusastraan baru. Adapun artikel-artikel yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Menoedjoe Seni Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 1, Th. I, Djoeli 1933), “Tidak ada jang dinanti,” (Poedjangga Baroe, No. 3, Th. I, September 1933), “Menghadapi Keboedajaan Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I, Djoeni 1934), “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, dan 9, Th. II, September, Oktober, November, Desember 1934, Januari dan Maret 1935, No. 1, Th. III, Djoeli 1935, No. 9 dan 10, Th. III, Djanoeari dan Febroeari 1936, No. 3—4, Th. IV, September—Oktober 1936, No. 10, April 1937).
[25]Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.
[26]Ibid., hlm. 9—10.
[27]Ibid.
[28]Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 109—110.
[29]Yang dimaksud Armijn Pane dengan “memindjam dari bangsa asing” adalah bentuk soneta yang digunakan Muhammad Yamin dan beberapa penyair lainnya waktu itu.
[30]Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 6, Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari—Maret 1934.
[31]Ibid., hlm. 197.
[32]Belakangan, ciri-ciri pantun dinyatakan terdiri dari empat baris (larik) yang terbagi dalam dua bagian, yaitu dua larik pertama berupa sampiran, dan dua larik terakhir berupa isi, yang menurut Hoesein Djajadiningrat menyampaikan isi suatu klanksuggestie (citraan bunyi).
[33]Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 49—59.
[34]Intojo, “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. III, April dan Djuli 1952.
[35]Ibid., hlm. 55.
[36]Sanusi Pane, “Menghadapi Kolotisme,” Poedjangga Baroe, No. 3, Th. I, September 1933. Artikel ini lebih menegaskan lagi dukungan sejumlah intelektual Indonesia waktu itu atas penerbitan majalah Poedjangga Baru sebagai salah satu sarana ekspresi bagi pujangga (sastrawan) baru.
[37]Soewandhi (“Mentjari Bentoek Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 10, Th. I, April 1934) mengungkapkan terjadinya perubahan berkesenian di Barat saat itu, juga terjadi di Indonesia. Menurutnya, semangat yang melatarbelakangi Poejangga Baroe adalah semangat romantik angkatan 80-an Belanda.
[38]Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.
[39]Amir Hamzah, “Kesoesasteraan,” Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I, Djoeni 1934, No. 2, 3, 4, 5, 6, 7, Th. II, Agoestoes, September, Oktober, November, Desember 1934, Djanuari 1935. Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21). Meski Amir Hamzah membicarakan kesusastraan Indonesia dalam kerangka masuknya pengaruh kesusastraan Timur ke Indonesia, paling tidak, Amir Hamzah hendak menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh kesusastraan India dan kesusastraan Timur lainnya.
[40]Selain artikel-artikel yang telah disebutkan dalam catatan kaki 24, Alisjahbana secara khusus mencoba membuat semacam kajian estetik puisi-puisi yang muncul pada zaman itu. Meski sesungguhnya yang dimaksud puisi Indonesia zaman baru lebih merupakan harapan dan cita-cita Alisjahbana sendiri yang begitu menggelora, dalam artikel “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, 9, Th. II, 1934, No. 1, Th. III, Djoeni 1935) –beberapa di antaranya pernah dimuat dalam Pandji Poestaka—Alisjahbana mencoba melihat kecenderungan puisi pada masa itu.
[41]Ibid., hlm. 79.
[42]Masalah seni untuk masyarakat dan seni untuk seni itulah yang kemudian melahirkan polemik antara Alisjahbana dan Sanusi Pane. Belakangan, masalah ini muncul kembali pada tahun 1960-an ketika Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat—Partai Komunis Indonesia) menganjurkan seni untuk rakyat dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan menolak pendirian itu dan menganjurkan paham seni untuk seni.
[43]Maman S. Mahayana, “Sikap Pemerintah Jepang di Bidang Sastra dan Budaya (1942—1945): Studi Kasus Harian Asia Raja” Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Depok: FSUI, 1994.
[44]Periksa Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan buku H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948) dan Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948). Dalam Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan kedua buku itu, Jassin mengupas secara mendalam kecenderungan estetik kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang dan awal kemerdekaan. Di samping itu, Jassin juga melihat perkembangan kesusastraan Indonesia masa itu dengan membandingkannya dengan kesusastraan zaman Pujangga Baru.
[45]Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang dikatakan bahwa “Generasi Gelanggang” lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Generasi ini hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk dan berani menantang pandangan, sifat dan anasir lama ini untuk menyatakan kekuatan baru. Lihat H.B. Jassin, “Pendahuluan” Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 12.
[46]Penamaan Angkatan 45 pertama kali dilansir Rosihan Anwar dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949, sedangkan menurut Sitor Situmorang, nama Angkatan 45 justru datang dari Chairil Anwar. Lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 184—185.
[47]H.B. Jassin, Angkatan 45 (Djakarta: Balai Pustaka, 1951), hlm. 6.
[48]Majalah Indonesia pertama kali terbit Januari 1950. Majalah yang terbit bulanan ini banyak memuat artikel yang membicarakan konsep sastra dengan berbagai isu aktual mengenai kesusastraan.
[49]Pembicaraan agak lengkap mengenai polemik terhadap sejumlah konsep kesusastraan dalam kaitannya dengan ideologi sastrawan dalam kesusastraan Indonesia tahun 1950-an, periksa Maman S. Mahayana, Akar Melayu, khususnya dalam pembicaraan Bab 4 “Konflik-konflik Ideologis” (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 181—239.
[50]Dalam tahun 1960–1965, kegiatan politik di Indonesia sudah sangat mengganggu berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kegiatan politik lebih penting daripada kegiatan apapun juga. Akibatnya, lapangan kehidupan yang lain, seperti ekonomi dan kebudayaan, termasuk di dalamnya kesusastraan, mengalami kekacauan.
[51]Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah sebuah badan atau organisasi kebudayaan, khasnya kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam lapangan kesusastraan, Lekra menganjurkan faham realisme sosialis. Menurut fahaman ini, kesusastraan harus berpihak kepada rakyat. Oleh karena itu, Lekra menganut fahaman seni untuk rakyat dan menentang fahaman seni untuk seni. Penelitian Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1972) mengungkapkan secara lengkap mengenai masalah ini.
[52]Puncak kekacauan itu terjadi ketika Presiden Soekarno, pada tanggal 8 Mei 1964 melarang Manifes Kebudayaan; sebuah pernyataan sikap seniman dan budayawan Indonesia yang menentang keterlibatan politik dalam lapangan kebudayaan dan kesenian. Mengenai pertentangan para pendukung Manifes Kebudayaan dan golongan sastrawan Lekra, selain penelitian Yahaya Ismail, lihat juga D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya (Bandung: Mizan, 1995). Periksa juga Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 181–223.
[53]Lukman Ali (Ed.), Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978), hlm. ix.
[54]Kelompok sastrawan diwakili Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Salim Said, dan beberapa sastrawan dari Dewan Kesenian Jakarta. Kelompok peneliti sastra diwakili J.U. Nasution, S. Efendi, Saleh Saad, Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Hutagalung, Op. Cit., hlm. 16–18.
[55]Metode Kritik Ganzheit adalah sebuah metode kritik (seni) yang diajukan Arief Budiman. Menurutnya, Metode Kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritisi terhadap karya seni yang dihadapinya. Dalam hal ini, hubungan atara kritikus dengan karya seni melahirkan pertemuan dialogis. Berdasarkan pengalaman estetik terhadap karya seni, kritkus mengungkapkan pengalamannya itu. Lahirlah sebuah kritik seni. Lebih lanjut, lihat Arief Budiman, “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” (Horison, April 1968).
[56]Periksa H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I–IV (Jakarta: Gunung Agung, 1955, 1962, 1967.
[57]M.S. Hutagalung, Jalan tak ada Ujung: Mochtar Lubis (Jakarta: Gunung Agung: 1963).
[58]M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (Jakarta: Gunung Agung: 1967).
[59]Boen S. Oemarjati, Roman Atheis Achdiat Karta Mihardja: Suatu Pembicaraan (Jakarta: Gunung Agung, 1962).
[60]J.U. Nasution, Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek (Jakarta: Gunung Agung, 1963).
[61]Belakangan diketahui, Saleh Saad sangat mendukung gagasan Roland Barthes mengenai kematian pengarang (“The Death of the Author,” Roland Barthes, Image-Music-Text. London: Routledge, 1977). Mengingat mata kuliah kritik sastra diselenggarakan M. Saleh Saad, maka sejak awal tahun 1970-an sampai awal tahun 1980, pengaruhnya masih sangat kuat bagi mahasiswa peserta mata kuliah ini.
[62]Beberapa istilah yang berhasil dibakukan, di antaranya, istilah Plot menjadi alur, setting menjadi latar, character menjadi tokoh, narrator menjadi pencerita, dll. Buku Panuti Sudjiman (Ed.), Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Gramedia, 1986), merupakan contoh salah satu usaha penyeragaman istilah sastra itu.
[63]Memasukkan kajian budaya (cultural studies) dalam pengajaran kritik sastra didasarkan pada pertimbangan pentingnya peranan kritik sastra dalam menganalisis karya sastra dan mengkaitkannya dengan persoalan budaya. Dalam hal ini, karya sastra diperlakukan sebagai salah satu produk budaya. Mengenai materi ini, yang menjadi buku pegangan adalah antologi artikel yang dihimpun John Storey (Ed),Cultural Theory and Popular Culture (New York: Harvester Wheatsheap, 1994) dan karya Tony Bennet, Popular Fiction: Technology, Ideology, Production, Reading (London: Routledge, 1990).
[64]New Historicism adalah sebuah gerakan kesadaran sejarah baru yang muncul sebagai reaksi atas pengaruh New Criticism. Di dalam kritik sastra, New Historicism mencoba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Yang menonjol dari aliran ini adalah usahanya untuk memanfaatkan berbagai disiplin ilmu lain (interdisipliner). Dalam pandangan aliran ini, Kritik Baru dianggap telah mengisolasi karya sastra dari segala macam unsur di luar sastra. Mengenai hal ini, lihat H. Aram Veeser (Ed.), The New Historicism (New York: Routledge, 1989).
05/02/11
ALUR PEMIKIRAN KRITIK SASTRA INDONESIA
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Tradisi ilmiah dan kehidupan intelektual di negeri ini, mesti diakui, masih centang-perenang. Para dosen dan peneliti kita terpaksa harus menggunakan kata nyambi dan cawe-cawe sekadar untuk menghidupi asap dapurnya. Meski begitu, masih banyak di antaranya yang tetap setia dan bertanggung jawab pada profesi. Mereka juga tidak melupakan peran sosialnya dengan bekerja dan berkarya. Bagaimana hasilnya, masyarakat yang kelak menilainya.
Dalam kondisi kehidupan ilmiah yang masih centang-perenang itu, sejak zaman Belanda hingga kini, kiblat dunia pendidikan kita masih saja ke Barat. Jadilah, suka tak suka, sistem pendidikannya juga berorientasi ke sana. Termasuk di dalamnya tradisi kritik sastra! Dalam lingkaran itulah, kritik sastra Indonesia ngulet, menggeliat, kemudian merangkak bangun.
***
Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu. Periksa saja komentar Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Majalah Pandji Poestaka, bahkan menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam edisi 5 Juli 1932, muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel ini yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam Pandji Poestaka edisi November 1932 — Maret 1933, dimuat pula secara berturut-turut tulisan Alisjahbana, “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang secara teoretis menolak style dan bahasa klise dalam kesusastraan tradisional sambil mengajukan ciri-ciri sastra Indonesia modern.
Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, tidak cuma berupa ulasan ringkas dan resensi, tetapi juga uraian mengenai konsep teoretis sastra dalam kaitannya dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Sutan Takdir Alisjahbana “Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI: September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni 1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka mencoba merumuskan konsepsi dan estetika sastra Indonesia, baik tradisional maupun modern. Ada dua arus besar pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, dan (2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.
Sebuah majalah yang terbit di Medan (1937), Pedoman Masjarakat, juga memuat ulasan dan resensi, meskipun masih dalam bentuk yang ringkas. Salah satu hal penting dari berbagai tulisan dalam majalah ini adalah munculnya semacam gerakan sastra di luar Balai Pustaka yang tidak mengikuti mainstream Poedjangga Baroe. Medan kemudian menjadi salah satu pusat penerbitan novel seperti itu. Karena formatnya begitu sederhana dengan cetakan dan kertas berkualitas rendah, harga jualnya jadi begitu murah. Dari sanalah lahir istilah roman picisan yang merujuk pada uang sepicis, sebagaimana yang diperkenalkan Dr. R. Roolvink (1952).
Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –sekadar menyebut beberapa– adalah media massa yang dijadikan corong Pemerintah Jepang waktu itu.
Awal merdeka, kita melihat perdebatan seru mengenai konsep estetik Angkatan 45 berikut gagasan humanisme universal. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan representasi dari elan dan semangat Angkatan itu atas gerak dan kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Masalah angkatan dan konsep kesusastraan, juga menjadi polemik hangat yang menjadi wacana pemikiran intelektual Angkatan 45.
Di tengah terjadinya polemik itu, Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) lahir dan mengusung humanisme proletariat lewat realisme sosialis dan konsep seni untuk rakyat. Pada dekade itu Jassin menerbitkan sejumlah bukunya yang berisi berbagai artikel yang pernah dimuat media massa. Inilah yang mengawali buku kritik sastra Indonesia. Teeuw juga mempublikasikan buku kritiknya, Pokok dan Tokoh (1952), meski isinya lebih dekat pada sejarah sastra Indonesia. Pada dasawarsa itu, terjadi perseteruan para pendukung gagasan humanisme universal dengan Lekra. Puncaknya jatuh pada Manifes Kebudayaan, 19 Oktober 1963 yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno, 8 Mei 1964.
Memasuki zaman Orba, masalah konsep dan operasionalisasi kritik sastra lebih tegas dirumuskan dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, 31 Oktober 1968. Lahir dua arus pemikiran yang bermuara pada Aliran Rawamangun dan metode Ganzheit. Di luar terjadinya perbedaan pandangan dua arus pemikiran itu, sejak itu kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra. Mengingat penguasa Orba selalu menyeragamkan apapun, termasuk pendidikan, maka di semua institusi pendidikan sastra diberlakukan kurikulum nasional. Di dalamnya termuat telaah atau kajian sastra yang tak lain adalah kritik sastra. Itulah perjalanan kritik sastra menjadi bagian penting –seperti juga mata kuliah telaah lainnya– dalam dunia akademik.
Tak dapat dinafikan sumbangan Aliran Rawamangun bagi institusi sastra di negeri ini. Penelitian yang dihasilkan para pendukung aliran ini, seperti M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, J.U. Nasution, atau Lukman Ali, kerapkali menjadi acuan, bagaimana operasionalisasi kritik akademis dilakukan. Bahkan, disertasi Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag, 1972) menjadi rujukan penting bagi peneliti Barat yang hendak “memahami” Chairil Anwar.
Sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, berbagai macam buku kritik sastra, terus bermunculan. Yang berupa kritik teoretis dapat disebutkan beberapa di antaranya, karya Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern (1988), antologi artikel yang dihimpun Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) atau kumpulan makalah yang disusun Mursal Esten, Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988). Yang berupa kritik terapan, secara kuantitatif lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya, Novel Baru Iwan Simatupang (1980) dan Hamba-Hamba Kebudayaan (1984) karya Dami N. Toda, Sastra dan Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya, Dialog antara Dunia Nyata dan tidak Nyata (1989) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Menelusuri Makna Ziarah karya Iwan Simatupang (1990) karya Okke K.S. Zaimar.
Terbitnya buku yang membincangkan kritik teoretis dan kritik terapan yang beraneka macam itu memperlihatkan betapa semarak kehidupan kritik sastra Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya peta kritik sastra Indonesia, baik yang dihasilkan kaum akademis, sastrawan, maupun sastrawan yang sekaligus juga kaum akademis. Dalam hal ini, kerja keras Rachmat Djoko Pradopo merupakan tonggak penting dalam usahanya menginventarisasi, mengklasifikasi, serta memetakan panorama kritik sastra Indonesia.
Dalam disertasi Rachmat Djoko Pradopo “Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989) yang hampir setebal bantal (949 halaman) itu—kemudian diterbitkan secara utuh sebagai buku berjudul Kritik Sastra Indonesia (Gama Media, 2002), dideskripsikan dan sekalian dianalisis secara mendalam dan luas berbagai jenis kritik sastra Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai penolakan teori kritik sastra khas Indonesia akhir dekade tahun 1980-an. Inilah penelitian yang sangat komprehensif mengenai panorama dan berbagai alur pemikiran dalam kritik sastra Indonesia.
Memasuki dasawarsa akhir abad ke-20, penerbitan karya para peneliti masih terus berlangsung. Bahkan, belakangan ini, sejumlah penerbit melakukan semacam “perburuan” naskah hasil penelitian kaum akademis. Jadi, jika faktanya begitu, adakah alasan lain yang memaksa entah siapa untuk berkata: “Krisis kritik sastra Indonesia?”
***
Bersamaan dengan pudarnya pengaruh Aliran Rawamangun, di berbagai institusi sastra mulai gencar dipelajari macam-macam teori kritik mutakhir. Praktik kritik sastra tidak lagi terpaku pada pendekatan struktural, baik yang mengacu pada gagasan Roland Barthes, maupun Kritik Baru (New Criticism) Amerika. Kejenuhan terhadap pendekatan ini, secara langsung telah membuka peluang penerapan berbagai macam jenis kritik.. Yang kini hangat, selain psikologi dan sosilogi sastra, juga kritik feminis, kajian budaya (cultural studies), dan New Historicism: sebuah gerakan kesadaran sejarah baru –sebagai reaksi atas New Criticism– dalam kritik sastra yang coba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Di luar itu, penggalian terhadap sumber-sumber kritik sastra Timur, juga terus dilakukan. Disertasi Bambang Wibawarta, “Modernisasi Jepang dalam Karya-Karya Mori Ogai” (2000) memberi cerita lain mengenai teori sastra Barat, khasnya strukturalisme dan “kematian pengarang” Barthes. Dalam sastra Jepang, “pengarang dapat dianggap sebagai sebuah teks” yang justru penting untuk melengkapi pemahaman teks yang dihasilkannya.
Karya Abdul Hadi WM, Tasauf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001), meski tidak menafikan teori sastra Barat, juga mengangkat hermeneutik dari tradisi intelektual Islam, terutama bersumber dari gagasan Ibn Arabi dan Al-Ghazali. Dengan begitu, kritik sastra Indonesia di masa hadapan, bakal makin semarak dengan masuknya tidak hanya pengaruh Barat, tetapi juga Timur. Bahkan, boleh jadi dari kultur dan estetika sendiri, seperti yang diangkat dalam disertasi Sapardi Djoko Damono, Novel Jawa tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1989).
Dalam konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan bulat-mentah. Jadi, mengulang pernyataan yang lalu: ia sekadar kendaraan yang dapat dimuati apa pun dan ditumpangi siapa pun, sesuai dengan kebutuhan dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja tidak perlu pula kita memberhalakannya. Barangkali, ada benarnya juga pepatah Minang ini: “Tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua” (Terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar).
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).
http://mahayana-mahadewa.com/
Tradisi ilmiah dan kehidupan intelektual di negeri ini, mesti diakui, masih centang-perenang. Para dosen dan peneliti kita terpaksa harus menggunakan kata nyambi dan cawe-cawe sekadar untuk menghidupi asap dapurnya. Meski begitu, masih banyak di antaranya yang tetap setia dan bertanggung jawab pada profesi. Mereka juga tidak melupakan peran sosialnya dengan bekerja dan berkarya. Bagaimana hasilnya, masyarakat yang kelak menilainya.
Dalam kondisi kehidupan ilmiah yang masih centang-perenang itu, sejak zaman Belanda hingga kini, kiblat dunia pendidikan kita masih saja ke Barat. Jadilah, suka tak suka, sistem pendidikannya juga berorientasi ke sana. Termasuk di dalamnya tradisi kritik sastra! Dalam lingkaran itulah, kritik sastra Indonesia ngulet, menggeliat, kemudian merangkak bangun.
***
Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu. Periksa saja komentar Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Majalah Pandji Poestaka, bahkan menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam edisi 5 Juli 1932, muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel ini yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam Pandji Poestaka edisi November 1932 — Maret 1933, dimuat pula secara berturut-turut tulisan Alisjahbana, “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang secara teoretis menolak style dan bahasa klise dalam kesusastraan tradisional sambil mengajukan ciri-ciri sastra Indonesia modern.
Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, tidak cuma berupa ulasan ringkas dan resensi, tetapi juga uraian mengenai konsep teoretis sastra dalam kaitannya dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Sutan Takdir Alisjahbana “Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI: September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni 1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka mencoba merumuskan konsepsi dan estetika sastra Indonesia, baik tradisional maupun modern. Ada dua arus besar pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, dan (2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.
Sebuah majalah yang terbit di Medan (1937), Pedoman Masjarakat, juga memuat ulasan dan resensi, meskipun masih dalam bentuk yang ringkas. Salah satu hal penting dari berbagai tulisan dalam majalah ini adalah munculnya semacam gerakan sastra di luar Balai Pustaka yang tidak mengikuti mainstream Poedjangga Baroe. Medan kemudian menjadi salah satu pusat penerbitan novel seperti itu. Karena formatnya begitu sederhana dengan cetakan dan kertas berkualitas rendah, harga jualnya jadi begitu murah. Dari sanalah lahir istilah roman picisan yang merujuk pada uang sepicis, sebagaimana yang diperkenalkan Dr. R. Roolvink (1952).
Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –sekadar menyebut beberapa– adalah media massa yang dijadikan corong Pemerintah Jepang waktu itu.
Awal merdeka, kita melihat perdebatan seru mengenai konsep estetik Angkatan 45 berikut gagasan humanisme universal. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan representasi dari elan dan semangat Angkatan itu atas gerak dan kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Masalah angkatan dan konsep kesusastraan, juga menjadi polemik hangat yang menjadi wacana pemikiran intelektual Angkatan 45.
Di tengah terjadinya polemik itu, Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) lahir dan mengusung humanisme proletariat lewat realisme sosialis dan konsep seni untuk rakyat. Pada dekade itu Jassin menerbitkan sejumlah bukunya yang berisi berbagai artikel yang pernah dimuat media massa. Inilah yang mengawali buku kritik sastra Indonesia. Teeuw juga mempublikasikan buku kritiknya, Pokok dan Tokoh (1952), meski isinya lebih dekat pada sejarah sastra Indonesia. Pada dasawarsa itu, terjadi perseteruan para pendukung gagasan humanisme universal dengan Lekra. Puncaknya jatuh pada Manifes Kebudayaan, 19 Oktober 1963 yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno, 8 Mei 1964.
Memasuki zaman Orba, masalah konsep dan operasionalisasi kritik sastra lebih tegas dirumuskan dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, 31 Oktober 1968. Lahir dua arus pemikiran yang bermuara pada Aliran Rawamangun dan metode Ganzheit. Di luar terjadinya perbedaan pandangan dua arus pemikiran itu, sejak itu kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra. Mengingat penguasa Orba selalu menyeragamkan apapun, termasuk pendidikan, maka di semua institusi pendidikan sastra diberlakukan kurikulum nasional. Di dalamnya termuat telaah atau kajian sastra yang tak lain adalah kritik sastra. Itulah perjalanan kritik sastra menjadi bagian penting –seperti juga mata kuliah telaah lainnya– dalam dunia akademik.
Tak dapat dinafikan sumbangan Aliran Rawamangun bagi institusi sastra di negeri ini. Penelitian yang dihasilkan para pendukung aliran ini, seperti M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, J.U. Nasution, atau Lukman Ali, kerapkali menjadi acuan, bagaimana operasionalisasi kritik akademis dilakukan. Bahkan, disertasi Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag, 1972) menjadi rujukan penting bagi peneliti Barat yang hendak “memahami” Chairil Anwar.
Sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, berbagai macam buku kritik sastra, terus bermunculan. Yang berupa kritik teoretis dapat disebutkan beberapa di antaranya, karya Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern (1988), antologi artikel yang dihimpun Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) atau kumpulan makalah yang disusun Mursal Esten, Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988). Yang berupa kritik terapan, secara kuantitatif lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya, Novel Baru Iwan Simatupang (1980) dan Hamba-Hamba Kebudayaan (1984) karya Dami N. Toda, Sastra dan Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya, Dialog antara Dunia Nyata dan tidak Nyata (1989) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Menelusuri Makna Ziarah karya Iwan Simatupang (1990) karya Okke K.S. Zaimar.
Terbitnya buku yang membincangkan kritik teoretis dan kritik terapan yang beraneka macam itu memperlihatkan betapa semarak kehidupan kritik sastra Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya peta kritik sastra Indonesia, baik yang dihasilkan kaum akademis, sastrawan, maupun sastrawan yang sekaligus juga kaum akademis. Dalam hal ini, kerja keras Rachmat Djoko Pradopo merupakan tonggak penting dalam usahanya menginventarisasi, mengklasifikasi, serta memetakan panorama kritik sastra Indonesia.
Dalam disertasi Rachmat Djoko Pradopo “Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989) yang hampir setebal bantal (949 halaman) itu—kemudian diterbitkan secara utuh sebagai buku berjudul Kritik Sastra Indonesia (Gama Media, 2002), dideskripsikan dan sekalian dianalisis secara mendalam dan luas berbagai jenis kritik sastra Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai penolakan teori kritik sastra khas Indonesia akhir dekade tahun 1980-an. Inilah penelitian yang sangat komprehensif mengenai panorama dan berbagai alur pemikiran dalam kritik sastra Indonesia.
Memasuki dasawarsa akhir abad ke-20, penerbitan karya para peneliti masih terus berlangsung. Bahkan, belakangan ini, sejumlah penerbit melakukan semacam “perburuan” naskah hasil penelitian kaum akademis. Jadi, jika faktanya begitu, adakah alasan lain yang memaksa entah siapa untuk berkata: “Krisis kritik sastra Indonesia?”
***
Bersamaan dengan pudarnya pengaruh Aliran Rawamangun, di berbagai institusi sastra mulai gencar dipelajari macam-macam teori kritik mutakhir. Praktik kritik sastra tidak lagi terpaku pada pendekatan struktural, baik yang mengacu pada gagasan Roland Barthes, maupun Kritik Baru (New Criticism) Amerika. Kejenuhan terhadap pendekatan ini, secara langsung telah membuka peluang penerapan berbagai macam jenis kritik.. Yang kini hangat, selain psikologi dan sosilogi sastra, juga kritik feminis, kajian budaya (cultural studies), dan New Historicism: sebuah gerakan kesadaran sejarah baru –sebagai reaksi atas New Criticism– dalam kritik sastra yang coba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Di luar itu, penggalian terhadap sumber-sumber kritik sastra Timur, juga terus dilakukan. Disertasi Bambang Wibawarta, “Modernisasi Jepang dalam Karya-Karya Mori Ogai” (2000) memberi cerita lain mengenai teori sastra Barat, khasnya strukturalisme dan “kematian pengarang” Barthes. Dalam sastra Jepang, “pengarang dapat dianggap sebagai sebuah teks” yang justru penting untuk melengkapi pemahaman teks yang dihasilkannya.
Karya Abdul Hadi WM, Tasauf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001), meski tidak menafikan teori sastra Barat, juga mengangkat hermeneutik dari tradisi intelektual Islam, terutama bersumber dari gagasan Ibn Arabi dan Al-Ghazali. Dengan begitu, kritik sastra Indonesia di masa hadapan, bakal makin semarak dengan masuknya tidak hanya pengaruh Barat, tetapi juga Timur. Bahkan, boleh jadi dari kultur dan estetika sendiri, seperti yang diangkat dalam disertasi Sapardi Djoko Damono, Novel Jawa tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1989).
Dalam konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan bulat-mentah. Jadi, mengulang pernyataan yang lalu: ia sekadar kendaraan yang dapat dimuati apa pun dan ditumpangi siapa pun, sesuai dengan kebutuhan dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja tidak perlu pula kita memberhalakannya. Barangkali, ada benarnya juga pepatah Minang ini: “Tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua” (Terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar).
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita