Tampilkan postingan dengan label Ahmadun Yosi Herfanda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ahmadun Yosi Herfanda. Tampilkan semua postingan

25/07/21

Mengubah Paradigma ‘Sastra Kampung(an)’

Ahmadun Yosi Herfanda **
infoanda.com/Republika
 
Jika Nusantara ini adalah kampung, maka sastra Indonesia adalah ‘sastra kampung’. Penempatan Indonesia sebagai bagian dari Kampung Nusantara, cukup tepat mengingat makin terpuruknya bangsa ini menjadi underdog negara-negara adidaya, terutama AS. Dalam ekonomi kita didekte oleh IMF, dalam politik kita didekte oleh AS, dalam kebudayaan kita didekte oleh Hollywood, dalam pemikiran sastra banyak di antara kita yang bernafas di ketiak Derrida dan Faucoul.

16/02/12

Aksi Panggung para Penyair Nusantara

Ahmadun Yosi Herfanda
Republika, 10 Juni 2007

ADA yang mengaum, ada yang beteriak, ada yang merintih, ada yang membanting kursi, ada yang berdendang, ada yang membawa jaelangkung, ada yang cool-cool saja. Begitulah aksi panggung para ‘penyair Nusantara’ dalam perhelatan Pesta Penyair Indonesia, Sempena The 1st Medan International Poetry Gathering, di Medan, 25-28 Mei 2007 lalu.

24/12/11

`Macdonalisasi` Produk Budaya Serba Instant

Ahmadun Yosi Herfanda
Republika, 29 April 2007

SUATU hari, para pemuda dari 31 provinsi di Indonesia berkumpul di atas KRI Sangkurilang. Sambil berlayar mengarungi Laut Jawa, mereka mempertunjukkan berbagai atraksi seni-budaya — dan tentu juga mempelajari masalah-masalah kelautan.

Meski bertajuk Kapal Pemuda Nusantara, acara dalam rangka Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari yang popular sebagai Festival Bahari itu penuh sentuhan seni-budaya. “Di dalam kapal, mereka juga melakukan semacam pertukaran budaya. Pemuda dari Ambon, misalnya, memakai pakaian Jawa dan memainkan tari Jawa,” kata Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI DR Adhyaksa Dault.

Tampaknya, Adhyaksa Dault, meski harus mengurus olahraga, tidak melupakan peran seni-budaya untuk membangun jati diri bangsa. Sebab, kebudayaan merupakan aspek penting nation and character building. “Kebudayaan menjadi jembatan pemersatu kita,” ujarnya dalam ‘diskusi terbatas’ di Jakarta, Kamis (26/4) lalu.

DR Adhyaksa membeberkan betapa pentingnya nilai-nilai kebudayaan nasional untuk diwariskan kepada generasi muda agar tetap memiliki akar budaya yang kuat. Sebab, menurutnya, tak bisa ada kebangkitan pemuda tanpa akar budaya yang kuat. “Gimana pemuda mau bangkit kalau akar budayanya hilang,” katanya.

Untuk itulah selama ini acara-acara yang digelar oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga selalu kental nuansa seni budaya. Bahkan, ada even-even khusus seni budaya yang digelar secara rutin setahun sekali, misalnya Festival Kreativitas Pemuda.

Selainkan pertunjukan berbagai kesenian oleh anak-anak muda pada puncak acara, festival dalam rangka Sumpah Pemuda ini juga menggelar berbagai lomba yang dibuka sejak awal tahun, seperti festival musik, festival nasyid dan sayembara menulis cerpen untuk pemuda. Khusus untuk lomba menulis cerpen, dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI).

“Kesenian, termasuk sastra, sangat efektif untuk memberdayakan pemuda. Karena itu, kami berkomitmen untuk mengadakan sayembara menulis cerpen ini tiap tahun,” kata Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Drs H Syahyan Asmara MSp, pada acara terpisah.

Even-even lain, yang sebenarnya bukan acara kesenian, juga tidak pernah sepi dari acara kesenian. Festival Bahari 2006, yang berlangsung di Makassar pada Agustus-September lalu, misalnya, dimeriahkan berbagai pertunjukan budaya tradisi bahari dan kesenian-kesenian etnis lainnya, seperti upacara Appanaung Ri Jane, musik tradisional Makassar, dan tari-tari dari empat etnis lain, seperti barongsae.

Festival Bahari 2007 yang akan digelar di Padang, 29 Juli – 8 Agustus 2007, juga akan diwarnai banyak acara kesenian. ”Ini merupakan festival multieven kepemudaan, keolahragaan, dan kepariwisataan yang dikemas dalam lomba internasional olahraga bahari,” kata Adhyaksa Dault.

Even internasional pemuda dan olahraga itu akan melibatkan empat lembaga negara, yakni Kantor Menegpora, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta Departemen Komunikasi dan Informatika.

Baik festival pemuda maupun olahraganya akan diwarnai banyak sentuhan budaya, sehingga mirip festival budaya. Karena, akan banyak digelar lomba olahraga tradisi, seperti lomba perahu naga, sampan, perahu pincalang, layar, layang-layang dan pencak silat. Juga lomba selancar, selam, renang pulau, jetski, gantole, voli pantai, sepak takraw, dan lari 10K.

Sedangkan untuk festival pemuda, antara lain berupa Kapal Pemuda Nusantara, kemah pemuda, Pramuka Saka Bahari, lomba foto, dan penulisan jurnalistik wisata, seni, dan olahraga, serta temu karya ilmiah iptek olahraga. Juga akan diadakan festival musik dan tari untuk lebih memberi sentuhan budaya.

Bahkan, akan ada beberapa pemecahan rekor MURI, seperti pemecahan rekor tari gelombang dengan peserta terbanyak, pemecahan rekor layang-layang raksasa, dan pemecahan rekor melamang (membuat makanan lemang) terpanjang, yakni sepanjang dua kilometre.

Saat ini, menurut Adhyaksa, upaya pewarisan nilai-nilai budaya bangsa muda makin penting untuk menguatkan akar budaya pemuda sekaligus menyelamatkan budaya bangsa dari serbuan budaya asing yang makin meminggirkan budaya-budaya tradisi yang diperlukan untuk nation and character building tadi.

Dalam situasi ‘perang informasi’ saat ini, menurut Adhyaksa, juga terjadi ‘perang wacana budaya’. Nilai-nilai dan produk budaya asing terus menyudutkan kebudayaan nasional, terutama budaya tradisi, dalam posisi yang makin tidak berdaya. “Perang informasi juga menyudutkan kita dalam fenomena mcdonalisasi,” katanya.

Mcdonalisasi, menurutnya, adalah kecenderungan yang serba cepat dan serba makmur, namun lupa pada budaya sendiri. Jadi, semua produk budaya, dan gaya hidup masyarakat, menjadi serba instan dan kehilangan akar. Dia mencontohkan sinetron-sinetron drama dan sinetron remaja di televisi, yang sama sekali tidak mendidik dan tidak memiliki wawasan budaya. Juga novel-novel chicklit serta teenlit yang mengadopsi begitu saja gaya hidup remaja Amerika.

Kecenderungan seperti itu, terutama terjadi karena kuatnya orientasi bisnis dalam ‘industri budaya’ kita. Orientasi bisnis, menurutnya, tetap penting agar kesenian dapat menghidupi dirinya sendiri dan tidak hanya bergantung pada subsidi pemerintah. Tetapi, tetap harus seimbang dengan orientasi nilai budaya, agar produk-produk kesenian tidak malah merusak.

Adhyaksa menyebut film Nagabonar dan November 1828 sebagai contoh produk budaya yang ideal. “Keduanya kental nilai sejarah dan punya akar budaya, tapi juga ada sentuhan orientasi bisnis, sehingga bisa laku. Kenapa sineas yang lain tidak mencontoh seperti itu?” katanya.

Guna mendorong tradisi berseni-budaya yang lebih sehat di masyarakat, Menegpora pun memberikan penghargaan seni. Misalnya, penghargaan Pelopor Kreativitas Pemuda 2006 kepada grup musik The Upstairs dan Menpora Award kepada Deddy Mizwar. Adhyaksa juga sering hadir di tengah acara-acara kesenian, seperti membaca puisi di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, dan pada 19 Mei 2007 nanti akan membaca puisi serta berorasi dalam acara Kenduri Cinta-nya Emha Ainun Nadjib di Taman Ismail Marzuki.

Peradaban masyarakat kita saat ini, terutama masyarakat perkotaan, sudah sangat parah karena melupakan akar budaya. Karena itu, menurut Adhyaksa, sudah saatnya, semua unsur bangsa bersinergi untuk membangun kembali kebudayaan nasional agar tumbuh lebih sehat dan pas dengan kebutuhan zaman.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/04/horison-macdonalisasi-produk-budaya.html

11/08/11

Souvenir Fiksi Islami

Ahmadun Yosi Herfanda
Republika 19 Agus 2007

Suatu hari, pada tahun 2003, saya menerima buku kumpulan cerpen 20 Tahun Cinta. Saat itu, saya merasa gembira sekaligus terkesima. Buku kumpulan cerpen terbitan Senayan Abadi Publishing itu tidak hanya dikemas secara elegan dengan desain grafis yang cantik, tapi juga memuat cerpen-cerpen karya para cerpenis ternama yang beberapa di antaranya dikenal sebagai penulis buku-buku bestseller.

Spontan saya memprediksi, buku tersebut akan laris. Dan, kabarnya, cetakan pertama buku tersebut habis tidak sampai sebulan. Saya melihat, buku kumpulan cerpen seperti 20 Tahun Cinta tidak hanya pantas untuk dimiliki oleh pecinta fiksi Indonesia, tetapi juga cukup bernilai — dan PD — untuk menjadi souvenir, hadiah ulang tahun, dan bahkan kado pernikahan. Tentu, begitu juga buku-buku serupa yang terbit berikutnya. Misalnya, Mengetuk Cintamu, Wajah di Balik Jendela, Sembilan Kuntum Adelweis dan Pipit tak Selamanya Luka. Desain cover-nya yang indah, dengan huruf dan ilustrasi timbul, membuat buku-buku tersebut juga elok untuk dipajang di ruang tamu. Tentu juga novel Ayat-Ayat Cinta (Republika, 2004) karya Habiburrahman el-Shirazy, yang menjadi mega bestseller, dan karya-karya Gola Gong, yang rata-rata juga laris manis.

Selain mereka, cerpenis seperti Asma Nadia dan Pipiet Senja juga dikenal sebagai penulis buku fiksi bestseller. Buku Asma, Cinta tak Pernah Menari (Gramedia, 2003), misalnya, dalam tiga pekan sudah mengalami cetak ulang dua kali. Sedangkan Gola Gong sudah dikenal lama sebagai penulis bestseller dengan serial novel trilogi PadaMu Aku Bersimpuh, Biarkan Aku Jadi Milikmu, dan Tempatku di SisiMu (DAR Mizan), serta serial Kupu-Kupu Pelangi. Sedangkan Pipiet Senja memiliki novel bestseller bertajuk Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim).

Masih banyak cerpenis lain yang sempat ikut mengisi khasanah fiksi Islami, dan ikut menghadirkan souvenir-souvenir sastra yang bermakna, seperti Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Kurnia Effendi, Teguh Winarsho AS, Isbedy Stiawan ZS, Fahrunnas MA Jabbar, Khairul Jasmi, Novia Syahidah, Fahri Aziza, Yus R Ismail, Nurul F Huda, Irwan Kelana, Arlen Ara Guci, dan M Arman AZ.

Di antara jenis-jenis karya sastra modern yang dikenal masyarakat, fiksi — baik cerpen maupun novel — memang merupakan jenis karya sastra yang paling diminati masyarakat. Indikasinya, sangat banyak buku kumpulan cerpen maupun novel yang menjadi bestseller. Di luar fiksi Islami, novel Saman karya Ayu Utami, dan Super Nova karya Dewi ‘Dee’ Lestari, juga bestseller.

Rubrik-rubrik cerpen maupun novel (dalam bentuk cerita bersambung) di surat kabar juga sangat diminati dan memiliki rating pembaca cukup tinggi. Majalah khusus cerpen, Annida, juga mampu mencapai oplah di atas 70 ribu eksemplar, jauh di atas oplah Majalah Horison dan majalah berita yang ada di Indonesia.

Di tingkat global, kita mengenal buku-buku novel maupun kisah serial yang bestseller di hampir seluruh pelosok dunia dan dicetak sampai puluhan juta eksemplar. Serial Harry Potter misalnya, selalu ditunggu seri terbarunya oleh puluhan juta penggemarnya di seluruh dunia. Novel-novel detektif karya John Grisham juga selalu bestseller. Begitu juga novel-novel Dean Koontz, novelis AS paling ternama AS saat ini, seperti The Husband.

Realitas di atas menunjukkan bahwa fiksi tidak hanya menyimpan potensi bisnis yang tinggi, tapi juga potensi pencerahan rokhani yang besar. Daya sugesti fiksi yang kuat, dengan peredarannya yang luas, sangat potensial mempengaruhi sifat dan karakter pembacanya. Dengan kata lain, fiksi dapat ikut mempengaruhi proses perubahan sosial.

Dan, di sinilah diperlukannya fiksi-fiksi Islami untuk dapat ikut mendorong proses perubahan masyarakat ke arah yang tercerahkan. Larisnya buku-buku fiksi Islami — bahkan sempat booming sepanjang tahun 1999-2006 — membuktikan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, memang membutuhkan fiksi-fiksi Islami sebagai bacaan yang tidak hanya menghibur, tapi juga aman dan mencerahkan.

Fiksi Islami, secara sederhana dimaksudkan sebagai fiksi yang secara tematik (isinya) bersemangat Islami, dan secara estetik (disajikan) secara Islami pula. Namun, tidak berarti harus dipenuhi simbol-simbol Islam formal, seperti masjid, kalimat syahadat, takbir, dan istighfar.

Untuk dapat menjangkau pembaca yang lebih luas, guna memberikan pencerahan secara lebih luas, yang ideal adalah novel Islami secara substansial. Tapi, jika memang diperlukan sebagai latar (setting), tentu tidak perlu ragu-ragu untuk menampilkan realitas dunia Islam dalam fiksi-fiksi kita. Fiksi-fiksi yang menuntun perjalanan rokhani menjadi hamba yang bertauhid dan cinta Allah SWT tetap penting juga.

Karena Islam bersifat universal, maka fiksi-fiksi Islami dapat mengeksplorasi tema-tema yang beragam, sejak kisah cinta, keluarga, politik, perang dan tragedi kemanusiaan, sampai ketakwaan pada Tuhan. Yang penting, bagaimana menghidupkan nilai-nilai Islami dalam fiksi, untuk meningkatkan martabat kemanusiaan pembacanya. Sebab, fungsi terpenting kebudayaan, termasuk sastra, adalah meningkatkan kemanusiaan manusia itu sendiri. Bukan sebaliknya.

Karena itu, marilah kita jadikan buku fiksi Islami sebagai souvenir yang benar-benar indah dan bermakna.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/buku-souvenir-fiksi-islami.html

29/11/10

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan

Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Judul asli tulisan ini adalah Sastra dan Peningkatan Kualitas Kecendekiaan, sebuah judul yang mengandaikan bahwa sastra dapat menjadi sumber nilai, sumber inspirasi, dan sumber pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya. Itu adalah pengandaian yang berpijak pada pendekatan yang pragmatik tentang sastra, bahwa karya sastra ditulis bukan hanya untuk tujuan literer (estetik) tapi juga tujuan yang bersifat pragmatik atau non-literer.

Kalangan pragmatik yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya berkeyanikan bahwa karya sastra dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan mereka..

Lebih dari itu, kalangan pragmatik bahkan meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial bukannya tidak mungkin akan dapat digerakkan..

Dalam pemahaman seperti itu, intelektual sosialis seperti Arief Budiman dan Ariel Heryanto (misalnya melalui buku Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985), meyakini pentingnya sastra terlibat (sastra kontekstual) sebagai wujud kepedulian sastrawan pada persoalan-persoalan sosial-politik di sekitarnya, dan agar kesastraan tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri..

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan (meminjam istilah Umar Kayam), tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif..

Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq Ismail tak henti-hentinya menganjurkan agar masyarakat terpelajar banyak membaca karya sastra, setidaknya sejak mereka di bangku SLTA. Karena itu pula, Taufiq mendorong agar sistem pengajaran sastra di sekolah diubah, supaya siswa lebih banyak membaca karya sastra. Tidak seperti sekarang, yang menurutnya, ”pengajaran sastra dengan nol buku.”.

Keyakinan atas fungsi sastra seperti itu pula yang mendorong Taufiq, belakangan ini, banyak menulis ‘sajak pencerahan’. Misalnya, sajak-sajak tentang bahaya rokok dan narkoba, seperti dibacakannya pada peringatan Hari Anti Narkoba Internasional di plasa Gedung Pemuda, Senayan, Jakarta, pada 24 Juni 2006, yang diadakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Kutipan sajak Tuhan Sembilan Senti berikut ini menegaskan keyakin. an Taufiq terhadap manfaat sastra sebagai media pencerahan:

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir. Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan? Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaiith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok. Jadi, ini PR untuk para ulama. Tapi, jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya dimakruh-makruhkan saja. Jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruang ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai batuk-batuk….

Meyakini kebermaknaan dan peran sastra dalam proses perubahan sosial sebenarnya tidak terlalu berlebihan, meskipun tidak semua sastrawan mempercayainya (Sapardi Djoko Damono, misalnya, menganggap karya sastra hanyalah ‘lebah tanpa sengat’). Apalagi, sekadar meyakini manfaat sastra untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya, tidaklah terlalu naif.

Jika keyakinan non-literer tersebut dirujukkan kepada pemikiran MH Abrams (dalam A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), pandangan pragmatik itu sesuai dengan ‘orientasi kedua’ yang memandang karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.

Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel Max Havelar karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.

Orientasi kedua itu pula sebenarnya yang menjadi tujuan penciptaan karya sastra di kalangan kaum sosialis dengan konsep realisme sosialnya. Tetapi kemudian, pada perkembangannya yang ekstrem, seperti tampak pada para sastrawan Lekra, sastra hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan ideologi, politik, dan kekuasaan. Ini memang ‘jebakan’ yang paling berbahaya dari orientasi yang terlampau pragmatis. Pencapaian prestasi estetik tidak lagi menjadi tujuan, sebab sastra sekadar sebagai alat politik, dan politik itulah sang panglima yang harus diabdi oleh sastra untuk tujuan kekuasaan.

Tanpa bermaksud mensejajarkan agama dengan ideologi kaum Marxis, penciptaan karya sastra untuk tujuan dakwah — seperti dipraktekkan oleh para penulis Forum Lingkar Pena (FLP) dengan gerakan yang sering disebut sebagai ‘gerakan fiksi Islami’ — sebenarnya juga berada pada jalur orientasi yang pragmatis tersebut. Indikasi yang ekstrem dari ‘gerakan fiksi Islami’ adalah cenderung dikesampingkannya tujuan dan prestasi estetik, dengan sikap yang sangat ‘hitam-putih’ dalam mendekati persoalan-persoalan kehidupan yang diangkat ke dalam karya. Nilai-nilai agama diformulasikan secara sangat formalistik dan tujuan-tujuan non-literer (dakwah) cenderung ditempatkan sebagai yang utama.

Orientasi yang terlampau pragmatis, baik dalam konteks sastra dakwah maupun sastra ideologi, memang sah-sah saja. Tetapi, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa orientasi yang terlampau pragmatis akan menyebabkan pertumbuhan sastra menjadi pincang, karena prestasi-prestasi estetiknya akan cenderung tertinggal. Ini sangat tampak, baik pada karya-karya sastra kaum sosialis maupun gerakan sastra dakwah. Itu pula, antara lain, kenapa karya-karya fiksi Islami yang dewasa ini marak di Tanah Air tidak cukup mengundang perhatian dari kalangan kritisi maupun akademisi sastra.

Guna menghindari jebakan orientasi yang terlampau pragmatis itu, diperlukan keseimbangan antara orientasi pragmatis dan orientasi estetik dalam proses penciptaan, agar karya sastra yang lahir tidak hanya bermakna secara tematik tapi juga unggul estetikanya. Bagaimanapun, karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang secara estetik mampu menggetarkan rasa keindahan dan secara tematik mampu mencerahkan nurani pembacanya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya.

Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.

Karya sastra juga memiliki efek pencerahan yang tidak jauh berbeda, ketika sang pengarang (penyair) memanfaatkan alam sebagai simbol pemikirannya, seperti misalnya dilakukan Abdul Hadi WM dalam sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang mengkristalkan konsep tasawuf dan menyadarkan kedekatan mahkluk dengan Tuhannya, sekaligus sebuah kesaksian (syahadat) sang penyair bahwa ia adalah ‘arah’ pada angin (titah) Tuhan:

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai api dan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai angin dan arahnya
Aku arah pada anginmu

Begitu juga ketika karya sastra diorientasikan sebagai pancaran perasaan dan pikiran sastrawannya. Ketika pikiran sastrawannya adalah sikap kritis terhadap keadaan di sekitarnya, maka tanpa disengaja karya sastranya akan memiliki kekuatan pencerahan. Dan, ketika perasaan yang diekspresikan sang penyair adalah perasaan cinta, kasih sayang, pada sesama, maka perasaan itu akan menjadi kekuatan sugestif untuk memancarkan perasaan cinta dan kasih sayang pembaca pada sesama.

Dengan demikian, sebenarnya, tidak semua karya sastra yang memiliki kekuatan pencerah dan menjadi sumber inspirasi perubahan sosial adalah ‘sastra Marxis’ atau realisme sosialis. Tetapi, ia adalah karya sastra yang lahir dari sikap peduli terhadap pentingnya peningkatan kualitas hati nurani dan intelektualitas pembacanya dan sikap kritis terhadap lingkungannya. Hati nurani dan intelektualitas pada dasarnya adalah inti kecendekiaan seseorang. Dari sisi ini pula karya sastra diyakini dapat ikut meningkatkan kecendekiaan pembacanya.

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan

Bagian terakhir dari dua tulisan
Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Dalam konteks peran sosial sastra, ‘kaum sastra kontekstual’ meyakini bahwa karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar menginspirasi ‘gerakan politik etis’ di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, dan Uncle Tom Cabin menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.

Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan, seperti terasa pada kutipan sajak Kerawang-Bekasi berikut ini:

Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.

Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino, sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mosye Dayan bahkan menganggap bahwa sebuah sajak patriotik penyair Palestina lebih berbahaya daripada satu kompi pasukan komando.

Kenyataannya, garakan Intifada banyak dikobarkan oleh sajak-sajak patriotik para penyair Palestina yang ditulis pada tembok-tempok dan beredar di bawah tanah. Dan, semangat untuk merdeka, untuk bebas dari penindasan kaum Zionis, itulah yang tidak mungkin dipadamkan oleh tentara Israel. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ”jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.”

Di dalam khasanah sastra Islam, sajak-sajak Mohammad Iqbal juga disebut-sebut ikut mendorong proses rekonstruksi pemikiran Islam. Sedangkan sajak-sajak Jalaluddin Rumi, dan Hamzah Fansuri, ikut mendorong proses rekonseptualisasi ajaran tasawuf. Bahkan, menjadi sumber rujukan penting para peneliti tasawuf, seperti Annemarie Schimmer, mengingat fungsi puisi sebagai sarana pengajaran dan ekspresi penghayatan sufistik para tokohnya.

Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial. Tokoh-tokoh seperti Taufiq Ismail, Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Najib juga meyakini bahwa karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu agen perubahan. Dan, di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar sebagai agen perubahan sosial guna membawa

Kesadaran yang juga penting untuk dimiliki oleh cendekiawan adalah kesadaran sejarah dan rasa kebangsaan (nasionalisme). Membaca karya sastra yang berdimensi sejarah dan mengaitkannya dengan masalah kebangsaan dapat ikut menumbuhkan kesadaran tersebut. Dengan membaca karya sastra yang berdimensi sejarah, kita juga dapat melihat evolusi ataupun perubahan visi kebangsaan di mana karya sastra ikut mengalami evolusi tematik yang seirama.

Pada masa Mohammad Yamin, misalnya, masalah kebangsaan yang dihadapi adalah bagaimana menyadarkan dan kemudian membangkitkan rasa kebangsaan masyarakat. Maka yang lahir adalah sajak-sajak cinta tanah air yang romantik, karena ketika itu memiliki tanah air yang merdeka masih sebatas ‘impian’. Sajak menjadi salah satu media bagi kalangan pergerakan nasional untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya memiliki satu bangsa yang merdeka.

Di tataran filsafat dan kebudayaan, Sutan Takdir Ali Syahbana dan Ki Hajar Dewantara kemudian mengentalkan rasa kebangsaan itu melalui proses kristalisasi konsep budaya bangsa. Tidak hanya melalui sajak-sajaknya Takdir mencoba meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa, tapi juga melalui sebuah polemik yang sangat terkenal — Polemik Kebudayaan — yang hingga kini masih menjadi rujukan bagi banyak pemikir budaya dalam meninjau ulang dan mencari arah terbaik kebudayaan bangsa ke depan.

Pada medio awal dasawarsa 1940-an, Chairil Anwar menangkap semangat kemerdekaan yang mengkristal sejak masa kebangkitan pergerakan nasional itu ke dalam sajak-sajak heroik dan penuh etos pemberontakan. Dengan semangat ‘binatang jalang’ ia melahirkan sajak-sajak yang tidak hanya membawa pemberontakan estetik, tapi juga memompa semangat pemberontakan terhadap penjajah Belanda untuk mencapai kemerdekaan.

Evolusi sastra Chairil Anwar — yang di dalamnya menyimpan evolusi rasa kebangsaan — adalah evolusi yang sudah sampai pada tahap pembebasan. Kesadaran akan rasa kebangsaan telah mengkristal begitu keras, hingga tinggal menunggu saatnya untuk diledakkan. Bentuk ledakannya adalah pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta yang siap dibela sampai titik darah terakhir.

Pasca-kemerdekaan sastra seperti kehilangan momentum untuk berbicara tentang patriotisme, nasionalisme dan pemupukan rasa kebangsaan. Dari sinilah kemudian Taufiq Ismail menerjemahkan perannya pada pembangunan bangsa melalui sajak-sajak kesaksian sejarah di seputar pergeseran kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Peran ini pula yang secara lebih kritis dan tajam diambil oleh Rendra dengan sajak-sajak kritik sosialnya dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980). Namun, jika rasa nasionalisme dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta dan kepedulian pada nasib bangsa, maka karya-karya Taufiq dan Rendra dapat dimasukkan ke dalamnya.

Sastra Indonesia kontemporer dewasa ini banyak diwarnai kecenderungan (mainstream) sastra seksual, feminis, dan bahkan masokis. Memang tampak juga kecenderungan lain, seperti maraknya fiksi Islami dan masih bersambungnya benang merah sastra religius dan sufistik, serta tetap hidupnya sastra humanisme universal, tetapi wacana sastra lebih banyak diwarnai persoalan-persoalan sastra yang bersikap memberontak dan bersemangat pembebasan nilai (liberalisasi).

Meskipun begitu, tidak berarti karya sastra tidak dapat lagi ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Bagaimanapun, seperti pernah ditegaskan oleh Umar Kayam, karya sastra adalah refleksi dari realitas kehidupan di sekitarnya. Dan, karena itu, bagaimanapun isi dan corak estetiknya, adalah tantangan bagi kaum cendekiawan untuk memahami dan merenungkan realitas itu, guna menyikapinya secara tepat.

*) Sastrawan dan wartawan Republika.

16/10/10

Bukavu, Cerpen-cerpen Puitis Helvy Tiana Rosa

Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Cerpen tak sanggup membatalkan Helvy Tiana Rosa dari seorang penyair.
Komentar pendek (endorsement) Putu Wijaya itu memang tidak tepat benar, tapi cukup mewakili gaya beberapa cerpen Helvy Tiana Rosa yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Bukavu: puitis. Helvy tentu tidak bermaksud menulis puisi dalam Bukavu, tapi citarasa bahasanya sebagai penyair cukup mempengaruhinya dalam menuliskan cerpen-cerpennya, sehingga hasilnya adalah narasi-narasi puitis, yang kadang simbolik, konotatif, dan bermajas, layaknya baris-baris puisi.

Buku kumpulan cerpen Bukavu (Forum Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2008) pun dibuka dengan cerpen yang di dalamnya ada kutipan puisi, yakni Pertemuan di Taman Hening, dan ditutup dengan cerpen, Jaring-jaring Merah, dengan narasi-narasi yang sangat puitis. Kutipan pada sampul Bukavu (dari cerpen Kivu Bukavu, hlm 193) juga berupa baris-baris yang sangat puitis:

Kivu, kau yang terindah
Bisik hemingway.
Aku ingin menangis,
Namun danau tak dapat menangis

Pada cerpen Pertemuan di Taman Hening, selain terselip narasi-narasi puitis dalam baris-baris bermajas, juga ada kutipan puisi yang ditulis sang tokoh cerita (Kas, hlm 7): Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap (hlm 2). Sementara, cerpen Jaring-Jaring Merah (peraih penghargaan cerpen terbaik Horison) banyak ditaburi narasi-narasi puitis, yang jika dutulis dalam baris-baris pendek, akan sangat mirip puisi, dengan makna konotatif yang berlapis:

Hidup adalah cabikan luka
Serpihan tanpa makna
Hari-hari yang meranggas lara

Cita rasa bahasa yang puitis juga dapat kita rasakan pada cerpen Lelaki, Kabut, dan Boneka (hlm 11), Idis (hlm 21), Dara Hitam (hlm 69), Ketika Cinta Menemukanmu (hlm 119), Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin (hlm 129), Lelaki Semesta (hlm 151), Pulang (hlm 183), dan Kivu Bukavu (hlm. 193).

Pada cerpen-cerpen lain, jika kita cermati, narasi-narasi puitis pun kerap kita temukan terselip di antara narasi-narasi realistik. Memang, narasi-narasi puitis itu tidak berdiri sendiri, tapi berpadu dengan gumam, gejolak perasaan tokoh cerita, deskripsi latar, atau narasi adegan. Coba kita simak ’sisipan’ narasi puitis, dalam bahasa yang prismatis, berikut ini.

Sungguh sudah lama sekali aku merindukan seruan itu. Seruan Hemingway, saat ia berteriak padaku: Kivu, kaulah yang terindah! Namun kini, adakah di dunia ini yang dapat merasakan kepedihanku? Kegetiran dalam riak gelombang dan hempasan angin malam? (Cerpen Kivu Bukavu, alinea 1-2, hlm 193)

Kadang, baris-baris puitis dalam cerpen Helvy juga dapat muncul dari kutipan tidak langsung sebuah dialog, atau dialog langsung yang disamarkan, dan bercampur dengan gumam, atau gerak batin (inner action) tokoh cerita. Misalnya, pada alinea 1-2 cerpen Jaring-Jaring Merah berikut ini.

Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara. Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini, atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.

Dalam dorongan untuk bertutur secara puitis itu, barangkali, imajinasi Helvy lantas sering jadi liar, seliar imajinasi penyair. Namun, semangat Islaminya, membuat tuturannya tetap terkendali, tetap santun, dan tidak terseret pada vulgarisasi kekerasan dan pornografi. Padahal, cerpen-cerpen Helvy umumnya mengangkat kekerasan terhadap kaum perempuan, dan nasib perempuan di tengah tragedi kemanusiaan, dan tentu dengan latar realitas yang keras dan pahit, seperti konflik bersenjata Aceh (Jaring-Jaring Merah), bom Bali (Lelaki, Kabut, dan Boneka), dan perang saudara di Rwanda (Kivu Bukavu).

Dalam gaya bertutur yang puitis itu imaji-imaji mengalir liar tapi terkendali, atau lincah tepatnya, namun tetap mampu membongkar batas-batas makna kata dan realitas yang lazim. Narasi-narasi puitis itu menyatu dengan gambaran-gambaran realitas yang mencekam, pahit, dan kadang mengerikan, namun tetap terasa mengalir enak, menghanyutkan sampai akhir cerita.

Pada salah satu bagian cerpen Jaring-Jaring Merah, misalnya, sang tokoh cerita (aku), yang mengalami depresi berat akibat kekerasan Aceh, mengimajinasikan dirinya sebagai seekor burung:

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi mera si loreng dan kubakar.

Sebenarnya, materi cerita cerpen-cerpen Helvy umumnya adalah materi cerpen realistik, dengan latar (setting) peristiwa yang kerap benar-benar terjadi. Cerpen Jaring-Jaring Merah, misalnya, berlatar konflik bersenjata di Aceh, mengisahkan nasib perempuan Aceh yang mengalami depresi berat karena jadi korban kekerasan itu. Sedangkan cerpen Kivu Bukavu berlatar konflik bersenjata di Rwanda, serta Lelaki, Kabut dan Boneka berlatar tragedi bom Bali.

Tetapi, karena dorongan untuk bermajas dalam gaya penuturan yang puitis, realitas itu tidak tampil secara telanjang. Mirip puisi, maknanya, inti ceritanya, jadi tersamar dalam gaya bertutur yang lincah dan prismatis. Bahkan, jati diri sang tokoh cerita pun ikut tersamar. Pembaca hanya dapat meraba siapa tokoh ‘aku’ dalam Jaring-Jaring Merah, siapa Kivu dalam Kivu Bukavu, atau siapa lelaki yang tak punya wajah tetap (juga Sunyi) dalam Lelaki Kabut dan Boneka, dan baru tertebak setelah dibaca berulang.

Begitulah! Gaya bertutur yang puitis menjadi kekuatan utama cerpen-cerpen Helvy, selain tentu juga pilihan temanya. Gaya bertutur semacam itu pernah menguat sebagai gaya bertutur beberapa cerpenis Indonesia sejak 1990-an. Setidaknya, pernah dicoba oleh Azhari, Maroeli Simbolon, Ucu Agustin, Abidah el-Khalieqy, Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, dan beberapa cerpenis lain yang umumnya merangkap sebagai penyair.

Cerpen-cerpen bergaya puitis rata-rata tidak begitu mengandalkan kekuatan unsur-unsur cerita, seperti plot dan karakterisasi. Memang ada karakter, tapi umumnya tersamar. Sedangkan plotnya dibiarkan cair, mengalir dengan lincah ke manapun imajinasi pergi. Sebab, andalan utamanya memang gaya bertuturnya itu sendiri. Dengan gaya bertutur seperti itu, Helvy membongkar pakem fiksi realistik yang lazim yang umumnya mengandalkan pada kekuatan unsur-unsur cerita, dan menggantikannya dengan gaya bertutur yang puitis.

Membaca cerpen-cerpen seperti itu, pembaca pun sering keasyikan menikmati citarasa tuturan yang puitis itu, tanpa berpikir bagaimana alurnya, plotnya, konfliknya, klimaksnya, dan endingnya. Mereka akan ikut mengalir saja dalam keindahan citarasa bahasa sastranya.

Tulisan ini merupakan prasaran untuk diskusi peluncuran buku kumpulan cerpen Bukavu karya Helvy Tiana Rosa, di Auditorium S Universitas Negeri Jakarta, Jumat 9 Mei 2008. Pembicara lain yang tampil dalam diskusi itu adalah DR Monika Arnez dan Zulfahnur ZF. Acara juga dimeriahkan baca cerpen oleh Helvy Tiana Rosa.

*) Redaktur Sastra Republika

09/01/09

Sajak-Sajak Ahmadun Yosi Herfanda

http://sastrakarta.multiply.com/
REINKARNASI

kukembalikan dagingku pada ikan
kuserahkan darahku pada kerang
makanlah milikku, ambil seluruhku
kukembalikan tulangku pada tripang

jika aku mati
hanya tinggal tanah
jiwaku membumbung
ke kekosongan

bertahun-tahun aku mengail
berhutang nyawa pada ikan
berabad-abad aku minum
berhutang hidup pada laut
berwindu-windu aku berlari
berhutang api pada matahari
tiba saatnya nanti kukembalikan
semua hutangku pada mereka

kukembalikan jasadku pada tanah
sukmaku kembali ke tiada
: zat pemilik segalanya!

Jakarta, 1992.



AYAT-AYAT ALAM

berabad-abad wajah tuhan bertaburan
jadi ayat-ayat alam yang berserak pada batu-batu
tiap perciknya menjelma wajah yang berbeda
berabad-abad wajah tuhan bertaburan
dalam serpihan cinta sekaligus sengketa

berabad-abad pula adam gelisah
mencoba menyatukan wajah tuhan
dalam gambaran seutuhnya. namun
selalu sia-sia ia. sebab, tuhan lebih suka
hadir dalam keelokan yang beraneka

pada keelokan pohon dan keindahan batu
pada keperkasaan ombak dan kediaman gunung
pada wajah suci seorang bayi dan hangat matahari
dan pada wajah manis seorang istri
tuhan hadir dalam senyum abadi

berabad-abad wajah tuhan bertebaran
pada ayat-ayat alam yang selalu
menemukan tafsir sendiri

Jakarta, 1995/2007.



JALAN RINDU

Di jalan manakah engkau kini menunggu
Kekasih. Begitu panjang jalan kutempuh
Tapi, tak sampai-sampai juga padamu

Berapa abad lagi aku mesti
Menahan nyeri hati tanpamu
Kutanggung sendiri berwindu rindu
Kutahan sendiri sepi tanpamu

Di manakah kini engkau menunggu
Kekasih. Setelah kutinggal khianat tanpamu
Tak tahu lagi kini alamat bagi rinduku
Masih terbukakah pintu untuk kembali
Ke satu cinta hanya padamu?

Jakarta, 2007.



SAJAK EMBUN

hanya karena cinta embun menetes
dari ujung bulu matamu, membasahi
rumput dan daun-daun, lalu meresap
ke jantungku. cacing-cacing pun berzikir
padamu, mensyukuri kodratnya tiap waktu

siapa yang menolak bersujud padamu
yang tak bersyukur karena karuniamu?
barangkali hanya orang-orang congkak itu
orang-orang yang berjalan dengan kepala
mendongak ke langit sambil melirik
dengan cibiran harimau

hanya karena cinta hujan menetes
dari sudut pelupuk matamu, membasahi rambutku
menyusup ke pori-pori tubuh, syaraf dan nadi
menghijaukan kembali taman hatiku
burung-burungpun bernyanyi karenaku
berzikir dan bersujud padamu
-- ya allah, ampuni adaku padamu!

Yogyakarta, 1990/2007.



NYANYIAN SENJA SEORANG PENCINTA

jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup tanah dan batu-batu
menumbuhkan pohonan di tamanmu
putik bunga pun bertemu benihku
membuahkan cintamu

jika kau haus, minumlah jiwaku
jika tubuhmu berdaki
mandilah dalam kasihku
ikan-ikan bahagia dalam asuhanku
kafilah gembira menemuku

tiadalah arti hidup jika sekadar hidup
tiadalah arti mati jika sekadar mati
jika hidup tiada sebatas hidup
jika mati pun tiada sebatas mati
(jika tak takut hidup jiwa pun tak takut mati
karena dalam mati jiwa menemu hidup sejati)

jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup akar belukar dan pohonan
katak-katak bahagia dalam sejukku
teratai pun tersenyum
dalam ayunan jiwaku

tiada makna hidup
jika tiada menghidupi
tiada nikmat hidup
jika tiada memberi arti
-- jika engkau pelaut
layarkan perahumu
pada keluasan hatiku!

Yogyakarta, 1984/2007.

01/12/08

Endorsement

Ahmadun Yosi Herfanda
http://republika.co.id/

Belakangan, saya sangat sering diminta untuk memberi endorsement pada buku yang hendak diterbitkan. Karena sibuk, sehingga tidak mungkin untuk membaca buku yang perlu saya beri endorsement itu, dengan berat hati sering saya menolaknya.

Ada pula yang semula saya sanggupi, naskah bukunya saya simpan guna mencari waktu terbaik untuk membacanya. Tapi, lagi-lagi karena sibuk atau lupa, tahu-tahu sudah lewat sekian bulan, dan buku tersebut telah terbit. Terbayanglah, wajah pengarangnya yang kesal, karena permintaan endorsement-nya terkesan saya abaikan.

Endorsement ada juga yang menyebutnya testimoni-- kini seakan menjadi sesuatu yang mutlak ada untuk mengantarkan buku baru kepada publiknya. Seakan, tanpa pengantar pendek pada sampul depan maupun belakang buku itu, sebuah buku menjadi kurang lengkap. Nyaris hampir tiap buku saat ini dilengkapi endorsement.

Bahkan, saking percayanya pada manfaat pengantar pendek tersebut, ada buku yang dilengkapi banyak endorsement, sampai berderet-deret pada sampul depan dan belakang, serta halaman dalam. Seakan penerbit dan pengarangnya tidak yakin kalau tanpa endorsement buku tersebut akan laku dan akan dibaca orang.

Makna leksikal endorsement, sebenarnya adalah pengesahan, pengabsahan, atau persetujuan. Pengantar pendek (umumnya hanya satu alinea) ini biasanya diberikan oleh tokoh yang dikenal atau dipercaya memiliki kapabilitas untuk mengomentari suatu buku.

Jika buku tersebut buku sastra, maka yang dipilih untuk memberikan endorsement adalah kalangan sastrawan, pengamat sastra, kritikus dan akademisi sastra. Sebab, merekalah yang dianggap kapabel untuk menilai ataupun mengantarkan buku sastra kepada publik (pembaca)-nya.

Tetapi, kalau kita amati, endorsement buku-buku sastra baik kumpulan puisi, kumpulan cerpen, novel, maupun kumpulan artikel serta esai sastra (juga buku-buku lain) yang terbit di Indonesia tidak selalu diberikan oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas seperti dimaksud. Kesannya, jadi pokoknya buku tersebut ada endorsement-nya. Tak peduli diberikan oleh siapa.

Gejala lain, kerap kita temukan endorsement yang kurang pas dengan isi buku, dan kerap pula terlampau memuji. Untuk gejala yang pertama, bisa ditebak bahwa pembuat endorsement belum membaca bukunya secara benar, karena belum punya waktu. Namun, karena diharapkan benar (setengah didesak) oleh penerbit ataupun pengarangnya, maka ia buat endorsement dari hasil pembacaan sepintas yang melompat-lompat.

Sedangkan untuk endorsement terlampau memuji, dapat diduga sang pembuatnya memang sengaja hendak mengangkat atau mempromosikan buku tersebut. Bisa dari inisiatif sendiri, bisa pula atas permintaan penerbit atau pengarangnya. Endorsement menjadi bagian dari alat promosi untuk menarik minat para calon pembacanya. Bahkan bisa jadi endorsement tersebut sudah disiapkan oleh penerbit atau pengarangnya, dan sang tokoh yang namanya bakal dicantumkan di bawah endorsement tinggal menyetujuinya.

Dalam kasus-kasus seperti di atas, sangat tidak pas jika endorsement dianggap sebagai kritik ataupun resensi pendek. Tidak pula cukup pas untuk dianggap sebagai gambaran ringkas atas isi buku. Pengantar pendek tersebut hanya dapat dianggap sebagai pelengkap, alat promosi, atau bahkan sekadar penambah unsur desain grafis agar sampul belakang buku tidak kosong.

Jika kita merujuk pada makna yang sebenarnya, endorsement sebenarnya tidak dapat dibuat dengan sembarangan, tidak pula sekadar dijadikan alat promosi, karena mengandung pertanggungjawaban moral dan intelektual. Apalagi, jika pengantar pendek itu dianggap sebagai testimoni, yang berarti kesaksian atau pemberian kesaksian (atas isi buku).

Dalam konteks makna tersebut, pemberi endorsement harus benar-benar membaca buku sampai selesai serta memahami isi buku, agar komentar pendeknya tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan komentar pesanan yang mengecoh pembaca, atau mempromosikan buku secara berlebihan.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita