Fahrudin Nasrulloh
Sehari Sebelum ke Mojokerto
Senin, 2 Agustus 2010,
saya berangkat dari Tandes pukul 10:32 WIB, langsung meluncur ke kantor Pos
Kecamatan Sumobito untuk mengambil 4 kardus buku yang dikirim Bilven dari
Penerbit Ultimus, Bandung. Di blangko resi penerimaan, buku-buku Ultimus dikirim
kalau tidak keliru pada 27 Juli Sampai di kantor Pos Sumobito. Pada 1 Agustus,
2 dus buku tersebut dibungkus dengan jahitan rafia. 1 dus beratnya 24,7 kg,
biaya paketnya sebesar Rp. 244.555. Satunya lagi, beratnya 24,9 kg, biaya
paketnya Rp. 244.535.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Fahrudin Nasrulloh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fahrudin Nasrulloh. Tampilkan semua postingan
29/12/20
08/04/12
Ayo, Siapa Lagi yang Nanggap Ludruk Brawijaya?
Fahrudin Nasrulloh*
http://www.radarmojokerto.co.id/
Mojokerto tretek terusan
Kali gede dalane prahu
Dadi joko ojok adol kebagusan
Nyambut gawe sing paling perlu
http://www.radarmojokerto.co.id/
Mojokerto tretek terusan
Kali gede dalane prahu
Dadi joko ojok adol kebagusan
Nyambut gawe sing paling perlu
21/03/12
DEWAN KESENIAN DAN PROBLEMATIK SASTRA JATIM
Fahrudin Nasrulloh*
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Dewan kesenian yang eksis di berbagai wilayah di propinsi Jawa Timur memiliki kontribusi sekaligus problem tersendiri. Dari 38 kota dan kabupaten di Jatim kiranya tidak semua wilayah tersebut bercokol lembag dewan kesenian. Kendati Jatim menyimpan 10 subkultur kebudayaan (ditambah 2 kultur budaya Arab dan Cina) yang sangat kaya dan luas.[1] Dewan kesenian terbentuk oleh entitasnya sebagai upaya bagaimana kesenian dipikirkan dan kemudian dikelola, diurus dengan baik. Apakah kesenian memang perlu dilestarikan dan terus ditumbuh-kembangkan oleh semacam lembaga yang semi swasta semi pemerintah ini?
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Dewan kesenian yang eksis di berbagai wilayah di propinsi Jawa Timur memiliki kontribusi sekaligus problem tersendiri. Dari 38 kota dan kabupaten di Jatim kiranya tidak semua wilayah tersebut bercokol lembag dewan kesenian. Kendati Jatim menyimpan 10 subkultur kebudayaan (ditambah 2 kultur budaya Arab dan Cina) yang sangat kaya dan luas.[1] Dewan kesenian terbentuk oleh entitasnya sebagai upaya bagaimana kesenian dipikirkan dan kemudian dikelola, diurus dengan baik. Apakah kesenian memang perlu dilestarikan dan terus ditumbuh-kembangkan oleh semacam lembaga yang semi swasta semi pemerintah ini?
09/03/11
Arief Zulkornen, Tukang Jahit Kitab dari Kampung Mercon
Tetap Bertahan Melestarikan Tradisi Penjilidan Manual
Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/
Di tengah industri penjilidan ala modern, sosok Arief Zulkornen merupakan keajaiban kecil di tengah gemuruh industri di Jombang yang umumnya berorientasi pada keuntungan besar. “Saya hanya melakoni wasiat abah saya untuk terus melanjutkan usaha penjilidan ini,” demikian tuturnya, pada Senin sore, 25 Agustus 2008. Bapaknya, Pak Zulkornen yang kelahiran 1956 di Rembang itu, semula nyantri di Pondok Tebuireng pada jaman Gus Kholik (kakak Kiai Yusuf Hasyim), putra KH. Hasyim Asy’ari. Kemudian ia menikah dan menetap Kampung Keras, Desa Keras, Kecamatan Diwek.
“Sebelumnya, bapak saya belajar pada Pak Halimi. Tapi orang yang paling awal memulai penjilidan manual ini adalah Pak Dawam, santrinya Mbah Hasyim,” tambah Arief yang menekuni bidang unik ini sejak 1993, di usia 17 tahun. Usaha bapaknya dimulai tahun 70-an sampai 2005. Order Pak Zul, semula dirintis dari pondok ke pondok, karena relasi belum luas. Seperti dari Pondok Gontor sampai Mojokerto, Lirboyo hingga hampir pelanggannya pernah dari seluruh Jawa Timur. Waktu itu ia sempat dibantu adiknya, Kamaluddin. “Dulu pernah abah punya 4 karyawan, setelah dapat order dari Kiai Zainal dari sebuah pesantren di Ngoro, dengan orderan sekitar 100 jilidan sebulan, mulai tahun 80-an sampai 1997. Mereka pesan nyetak Al-Qur’an ke Penerbit Toha Putra dalam bentuk sudah jahitan, lalu diserahkan pada kami untuk dijilid,” kenang Arief sembari memandangi foto abahnya di dinding ruang tamunya. Sementara order jilidan terbanyak dari para santri di sekitar Tebuireng.
Usaha ini kemudian agak merosot di tahun 1995 hingga 1997, ketika penjilidan modern mulai berkembang pesat. Terlebih pada 2005, saat Pak Zul meninggal dan Arief musti meneruskan amanatnya tersebut.
Proses penjilidan manual ini kelihatannya sederhana. Tapi hasilnya cukup memuaskan. Jahitan manual dapat diuji dan lebih kuat serta tahan lama puluhan tahun dibanding hasil jilidan pada umumnya. Juga cara penyampulan dan pengelemannya. Yang pasti hasil kerjanya lebih indah dan cantik serta membikin pembaca kian mencintai buku yang sebelumnya robek-robek atau mbrodol. Arief melayani mulai dari penjilidan buku, kitab, majalah, dan koran. Caranya pertama: diurutkan nomornya, dijahit, dilem, dikeringkan, dipotong, lalu dirapikan. Rincian bahannya: karton, kertas, lem rajawali, benang bol, dan lem latex. Sementara alat-alat yang digunakannya berupa gunting kuno, pres besi lawas, penjepit antik, gaman pemotong, bor baja pilihan, pisau penghalus, dan jarum penjahit.
Saat ini langganan yang terbilang tetap ada dua: H. Syafiq Munawwar (dari Perpustakaan Darul Ilmi Ponpes Al-Munawwar Sidayu Gresik); Perpustakaan Ponpes Wahid Hasyim Tebuireng yang sejak 20-an tahun lalu dipasrah-kelolakan pada Pak Zainal dan dibantu oleh Mas Tamrin. “Pernah ada juga yang njilid ke sini, sekitar tahun 1998, yaitu perpustakaan KUA Kertosono. Karena, kata mereka, hasilnya bagus sekali. Terbukti kemudian, KUA ini memeroleh juara tingkat karesidenan Kediri. Hingga kepala KUA-nya saat itu di-haji-kan. Sejak itu, hampir seluruh KUA Kota Kediri juga njilid ke sini,” papar Arief.
Harga penjilidan tergantung ukurannya. Rata-rata, untuk ukuran koran 20 ribu, majalah 15 ribu, dan buku 13 ribu. Ketika ditanya kenapa ia masih berkeyakinan untuk tetap meneruskan usaha ini, ia menjawab, “Jilid-menjilid itu merupakan karya seni. Nilai artistiknya ya pasti kepuasan yang susah diungkapkan. Dari sesutu yang amburadul menjadi rapi kembali. Pelanggan puas, saya bahagia. Intinya, memuaskan orang itu kan juga berpahala.”
Ia juga pembaca berat semua jenis buku. Bahwa yang njilid di tempatnya berasal dari berbagai macam orang dalam bentuk jenis buku yang berbeda-beda pula. Ia bercerita soal pengalaman abahnya, “Pas jamannya abah, ada orang suruhan Kiai Syamsuri dari Tebuireng untuk menjilidkan kitabnya. Beberapa jilid kitab kuning, cetakan Penerbit Beirut, lawas sekali. Isinya tentang tafsir, seingat saya. Kitab tersebut katanya waktu itu seharga seekor kambing.”
Pengalaman Arief yang paling berkesan adalah ketika datang order jilidan berupa akte nikah dari jaman Belanda, ejaan lama, dari kantor KUA Kertosono. “Masya Allah, susahnya amit-amit, saya keringetan pas njilidnya. Soalnya kan kertasnya sudah sangat tua. Jadi motongnya harus hati-hati sekali,” ceritanya bersemangat sambil menyruput kopi-jahe panasnya. Dalam lima bulan belakangan ia menerima order cukup menumpuk dari seorang penulis asal Mojokuripan berupa buku-buku sastra lawas, naskah Jawa kuno, komik-komik, dan cerita silat. Uniknya, penulis ini, saking salutnya, seringkali langsung bayar sebelum jilidannya selesai.
Ia berharap dapat terus ngopeni penjilidan ini, entah sampai kapan. Ia pun membayangkan usahanya dapat lebih maju dan berkembang plus bertambah langganan. “Sebenarnya butuh rekan satu atau dua. Tapi saya belum bisa bayar secara pantas. Dan keterampilan ini kan butuh kesabaran dan ketelatenan. Jadi jarang ada yang mau gabung. Yang belum bisa saya punya cuma mesin potong besar. Ya, agar tidak riwa-riwi ke kota Jombang untuk motong,” begitu pungkasnya.
Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/
Di tengah industri penjilidan ala modern, sosok Arief Zulkornen merupakan keajaiban kecil di tengah gemuruh industri di Jombang yang umumnya berorientasi pada keuntungan besar. “Saya hanya melakoni wasiat abah saya untuk terus melanjutkan usaha penjilidan ini,” demikian tuturnya, pada Senin sore, 25 Agustus 2008. Bapaknya, Pak Zulkornen yang kelahiran 1956 di Rembang itu, semula nyantri di Pondok Tebuireng pada jaman Gus Kholik (kakak Kiai Yusuf Hasyim), putra KH. Hasyim Asy’ari. Kemudian ia menikah dan menetap Kampung Keras, Desa Keras, Kecamatan Diwek.
“Sebelumnya, bapak saya belajar pada Pak Halimi. Tapi orang yang paling awal memulai penjilidan manual ini adalah Pak Dawam, santrinya Mbah Hasyim,” tambah Arief yang menekuni bidang unik ini sejak 1993, di usia 17 tahun. Usaha bapaknya dimulai tahun 70-an sampai 2005. Order Pak Zul, semula dirintis dari pondok ke pondok, karena relasi belum luas. Seperti dari Pondok Gontor sampai Mojokerto, Lirboyo hingga hampir pelanggannya pernah dari seluruh Jawa Timur. Waktu itu ia sempat dibantu adiknya, Kamaluddin. “Dulu pernah abah punya 4 karyawan, setelah dapat order dari Kiai Zainal dari sebuah pesantren di Ngoro, dengan orderan sekitar 100 jilidan sebulan, mulai tahun 80-an sampai 1997. Mereka pesan nyetak Al-Qur’an ke Penerbit Toha Putra dalam bentuk sudah jahitan, lalu diserahkan pada kami untuk dijilid,” kenang Arief sembari memandangi foto abahnya di dinding ruang tamunya. Sementara order jilidan terbanyak dari para santri di sekitar Tebuireng.
Usaha ini kemudian agak merosot di tahun 1995 hingga 1997, ketika penjilidan modern mulai berkembang pesat. Terlebih pada 2005, saat Pak Zul meninggal dan Arief musti meneruskan amanatnya tersebut.
Proses penjilidan manual ini kelihatannya sederhana. Tapi hasilnya cukup memuaskan. Jahitan manual dapat diuji dan lebih kuat serta tahan lama puluhan tahun dibanding hasil jilidan pada umumnya. Juga cara penyampulan dan pengelemannya. Yang pasti hasil kerjanya lebih indah dan cantik serta membikin pembaca kian mencintai buku yang sebelumnya robek-robek atau mbrodol. Arief melayani mulai dari penjilidan buku, kitab, majalah, dan koran. Caranya pertama: diurutkan nomornya, dijahit, dilem, dikeringkan, dipotong, lalu dirapikan. Rincian bahannya: karton, kertas, lem rajawali, benang bol, dan lem latex. Sementara alat-alat yang digunakannya berupa gunting kuno, pres besi lawas, penjepit antik, gaman pemotong, bor baja pilihan, pisau penghalus, dan jarum penjahit.
Saat ini langganan yang terbilang tetap ada dua: H. Syafiq Munawwar (dari Perpustakaan Darul Ilmi Ponpes Al-Munawwar Sidayu Gresik); Perpustakaan Ponpes Wahid Hasyim Tebuireng yang sejak 20-an tahun lalu dipasrah-kelolakan pada Pak Zainal dan dibantu oleh Mas Tamrin. “Pernah ada juga yang njilid ke sini, sekitar tahun 1998, yaitu perpustakaan KUA Kertosono. Karena, kata mereka, hasilnya bagus sekali. Terbukti kemudian, KUA ini memeroleh juara tingkat karesidenan Kediri. Hingga kepala KUA-nya saat itu di-haji-kan. Sejak itu, hampir seluruh KUA Kota Kediri juga njilid ke sini,” papar Arief.
Harga penjilidan tergantung ukurannya. Rata-rata, untuk ukuran koran 20 ribu, majalah 15 ribu, dan buku 13 ribu. Ketika ditanya kenapa ia masih berkeyakinan untuk tetap meneruskan usaha ini, ia menjawab, “Jilid-menjilid itu merupakan karya seni. Nilai artistiknya ya pasti kepuasan yang susah diungkapkan. Dari sesutu yang amburadul menjadi rapi kembali. Pelanggan puas, saya bahagia. Intinya, memuaskan orang itu kan juga berpahala.”
Ia juga pembaca berat semua jenis buku. Bahwa yang njilid di tempatnya berasal dari berbagai macam orang dalam bentuk jenis buku yang berbeda-beda pula. Ia bercerita soal pengalaman abahnya, “Pas jamannya abah, ada orang suruhan Kiai Syamsuri dari Tebuireng untuk menjilidkan kitabnya. Beberapa jilid kitab kuning, cetakan Penerbit Beirut, lawas sekali. Isinya tentang tafsir, seingat saya. Kitab tersebut katanya waktu itu seharga seekor kambing.”
Pengalaman Arief yang paling berkesan adalah ketika datang order jilidan berupa akte nikah dari jaman Belanda, ejaan lama, dari kantor KUA Kertosono. “Masya Allah, susahnya amit-amit, saya keringetan pas njilidnya. Soalnya kan kertasnya sudah sangat tua. Jadi motongnya harus hati-hati sekali,” ceritanya bersemangat sambil menyruput kopi-jahe panasnya. Dalam lima bulan belakangan ia menerima order cukup menumpuk dari seorang penulis asal Mojokuripan berupa buku-buku sastra lawas, naskah Jawa kuno, komik-komik, dan cerita silat. Uniknya, penulis ini, saking salutnya, seringkali langsung bayar sebelum jilidannya selesai.
Ia berharap dapat terus ngopeni penjilidan ini, entah sampai kapan. Ia pun membayangkan usahanya dapat lebih maju dan berkembang plus bertambah langganan. “Sebenarnya butuh rekan satu atau dua. Tapi saya belum bisa bayar secara pantas. Dan keterampilan ini kan butuh kesabaran dan ketelatenan. Jadi jarang ada yang mau gabung. Yang belum bisa saya punya cuma mesin potong besar. Ya, agar tidak riwa-riwi ke kota Jombang untuk motong,” begitu pungkasnya.
25/11/10
ESAIS, TUKANG CERITA, HINGGA KRITIK SASTRA
Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/
Pada mulanya esai diikhtiarkan sebagai karangan tak begitu panjang, kadang bernuansa prosa, yang menyoal hal ihwal dari telusur pandang tertentu dan subyektivitas esais secara bebas (bandingkan: Ensiklopedia Britanika). Proposisi ini kemudian bergulir ke ranah estetik dunia kepenulisan lain bahwa esai “seolah” prosa, atau dimensi yogabasa (istilah Rendra dalam gagasan proses kreatif) sebagai “bagian” dari prosa. Atau penjabaran serebral pemikiran puitik dari puisi jika hal ini dianggap sebagai perjumpaan yang absah.
Apabila persepsi ini ditimbang-lanjutkan, esai dapatlah disejajarkan atau dikategorikan sebagai genre sastra tertentu; sebagaimana prosa, puisi, catatan harian, ataupun (oto)biografi. Kita pun dapat menemui dan mencermati pada sejumlah esais terkemuka kita seperti — sekedar contoh — pada esai-esai Soekarno, Hatta, Sjahrir, Goenawan Mohamad, Ahmad Wahib, Umar Kayam, Ong Hok Ham, Emha Ainun Nadjib, Sindhunata, sampai Nirwan Dewanto atau Nirwan Ahmad Arsuka.
Ulasan secara spesifik perihal esai dapat kita susuri, misalnya, lewat tulisan “Esai tentang Esai”-nya Arief Budiman (majalah Horison, 1/1, 1966); “Esai: Godaan Subyektivitas”-nya Ignas Kleden (dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan terbitan Grafiti: Jakarta, 2004), atau “Membaca Esai”-nya Sapardi Djoko Damono (Jurnal Cipta, 2007). Bahkan, lebih lawas lagi, kita dapat menelisik esai-esai Montaigne (1533-1592), atau Walter Benjamin (1892-1940). Penulis yang terakhir disebut ini pernah menulis esai bertajuk, “Tukang Cerita: Renungan tentang Karya-karya Nikolai Leskov”. Tulisan ini dipandang Frank Kermode sebagai The Great Essays on Leskov, dan Peter Brooks menilai esai tersebut setaraf dengan karya penulis lain seperti Sigmund Freud dan Roland Barthes. Esai-esai Benjamin ini terkumpul dalam Illumination, Essays and Reflections yang terbit 1969 di New York.
Benjamin membabarkan ihwal karya penulis Leskov dari Rusia tersebut. Esai ihwal Leskov ini mulai dikaji ulang dan diperhitungkan 30 tahun kemudian setelah Benjamin mati bunuh diri pada 1960 di Jerman. Keunikan esai “Tukang Cerita” terletak pada kepusparagaman metafora, kembangan gagasan yang jenius dan alami, serta mendedahkan kelokan “pemikiran puitis” — meminjam istilah Octavio Paz — yang mengharukan sekaligus merangsang gairah kreatif pembaca untuk bertadabur terhadap apa yang didiskusikannya.
Tercerabutnya hasrat menulis dengan gaya bercerita secara tulus tentang kehidupan bahkan keseharian (semisal dalam aras sosial, budaya, atau keagamaan), juga lunturnya kemampuan bertukar-tangkap dengan pengalaman secara murni mengisyaratkan pada kita, tegas Benjamin, bahwa seni bercerita dalam menulis esai sedang “mendekati ajalnya” (atau sudah mati?).
Sebab tulisan — yang lazimnya ilmiah akademik — yang melulu berbalur dan terkungkung oleh data-data referensial semata dalam kajian posmodernisme sudah dianggap usang, meski dari segi kemanfaatan tetap dihargai dan bermanfaat di segala bidang kajian. Karena itu kajian ilmiah akdemis hingga “cultural studies” yang bersifat etnografis nyata-nyata telah malih menjadi mazhab tersendiri. Semisal pada lelaku penelitian-penelitian Cliffordz Geertz, Malinowski, sampai tulisan “adventurous” V. Surajprasad Naipaul dalam Among the Believers: An Islamic Journey (Alfred A. Knopf: New York, 1981). Beranjak dari paparan ini, Will Derks menganggap esai yang baik — pun tidak sekadar pada tingkatan melampaui batas kesadaran referensial — sebagai genre sastra yang berada di antara ilmu pengetahuan dan puisi.
Karenanya, spirit ide di kedalaman esai merupakan wedaran diskursif dengan piranti ilmiah dan bahan dasar “daur ulang pengetahuan” dari warisan kebudayaan manusia sampai yang tersilam sekalipun. Klaim akan “something here and something there” sebagai “yang Lain” dan bersifat estetik yang ditabalkan berharga bagi manusia (dan seni itu sendiri) pada batas tertentu adalah secebis cetusan untuk merancang ulang “citra” baru dari budaya atau seni yang dibayangkan itu.
Dari sini tukang esai yang sekaligus memiliki kepiawaian sebagai tukang cerita: ia menulis dengan kesadaran intelektual-alaminya secara maksimal mengintrusi “tata kognisi yang logis” dalam menghayati dan melakoni suatu karya bahasa, bukan sekadar “kesempurnaan logis” seperti yang disorongkan Max Weber. Di dalamnya kesadaran murni mencerna realitas dengan sejernih mungkin, keteraturan harmoni-kosmos pikiran, baik yang luput maupun yang tertangkap darinya; pada akhirnya mampu menghasilkan esai yang bisa diresap-renungi bobot dan keindahannya.
Esai barangkali pula adalah remah terkecil tapi gamblang dari puisi yang memang diniatkan berlarat-larat dari segi bentuk, penjelasan, dan gaya berceritanya. Kendati esais lumrahnya tak menyimpulkan gagasan. Ia menulis dengan kecermatan juga penghayatan akan gerak-gerik juga keluwesan pengungkapan bahasanya, dan pemikiran puitik di kedalamannya menjadi spirit yang menggerakkannya.
Sebagai misal, kita bisa menengok esai-esai Goenawan Mohamad, terkhusus dalam Catatan Pinggir. Membaca Catatan Pinggir ibarat menonton ragam epos manusia yang maha panjang, katalogus bercecabang yang seolah menampung kronik manusia (meski tak seluruhnya) yang ditulis secara piawai, menghanyutkan, ambigu, terkadang nylekit tapi kontemplatif dari seabrek persoalan mulai dari yang remeh-temeh hingga yang kontroversial. Sejumlah pemikir semisal William R. Liddle, Ignas Kleden, atau Haidar Baqir (baca: Catatan Pinggir 6, terbitan Pusat Data Analisa Tempo: Jakarta, 2006) juga pernah turut mengapresiasi penulis yang juga wartawan dan penyair ini. Tentang esai-esai GM, Haidar Baqir menyebut, “Esai adalah puisi yang kurang surealis, lebih kompromis dengan keruntutan alur dan sistemik, lebih telaten berargumentasi, dan — sampai batas tertentu — lebih teleologis. Dengan kata lain, lebih konvensional. Selebihnya, esai adalah puisi.”
Memang esai GM — meminjam Heidegger (dalam The Thinker as Poet) — bergerak dan bersenandung, “mengakar dari Ada dan mengarung ke lubuk kebenarannya.” Terasa bagai olah fikir dengan balutan renik peristiwa kehidupan yang ditulis secara puitik. Mengalun seperti lirik dan denting musik The Soft Parade (The Doors), atau Journey to Transylvania (film: Van Helsing), atau The Lonely Sheperd (film: Kill Bill). Saya cuplikkan paragraf pembuka dari esai GM berjudul U.K. (majalah Tempo, 24 Maret 2002) berikut: “Orang-orang bertanya, hari itu, di dekat makam Umar Kayam yang baru diuruk di pekuburan Karet, setelah kembang mawar ditaburkan, setelah doa selesai, setelah mereka yang datang berbela sungkawa satu demi satu pulang, setelah jenazah itu ditinggalkan dan berangsur-angsur digantikan dengan kenangan: apa yang ditinggalkan penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini? Saya tidak bisa segera menjawab, karena kalimat apa pun terlampau pendek. Sementara hari bertambah petang saya berjalan meninggalkan Tempat Pemakaman itu, dan yang saya ingat – dan yang kemudian ingin saya sebutkan – adalah sebuah deretan: Madame Slitz. Tatum. Cybill. Bawuk. Sri Sumarah. Marno. Mister Rigen. Nansiyem. Beni Prakoso. Dr. Legowo Prasojo. Lantip….”
Barangkali GM hanyalah contoh dari banyak esais Indonesia yang memilih laku “yogabasa” dengan menggunakan gaya “Tukang Cerita” Benjamin. Artinya, gaya kepenulisan esai dengan spirit bercerita dapat dilakukan oleh siapa pun. Terlebih bagi pengkaji sastra atau kritikus sastra. Bahwa kritik sastra sampai saat ini nyata-nyata tak berperan optimal sebab; pertama, banjirnya karya sastra yang berakibat telaah dan pemetaan perkembangan sastra dari waktu ke waktu menjadi mustahil dilakukan. Atau memang tak adanya karya sastra yang bermutu yang layak dikaji secara diskursif. Dan alibi yang terakhir ini kerap dijadikan kambing hitam. Susah sudah menemukan sosok HB Yassin dengan dedikasi pendokumentasian sastranya, meski di lingkup Jakarta. Atau dokumentasi sastra Ragil Suwarno Pragolapati pada tahun 70-an (zaman Persada Studi Klub) di Yogyakarta yang kini sudah sulit dilacak keberadaannya.
Kedua, gagasan Benjamin tersebut bisa dijadikan inspirasi bagi esais (dengan kreativitas masing-masing) untuk membangkitkan matinya kritik sastra selama ini. Jika Budi Darma menyebut kritik sastra sebagai seni. Maka literary criticism, serta deretan istilah lain yang mendampinginya: literary study, literary theory, critical theory (Kompas, Minggu 8 Juni 2003), bagi saya, akan mernyingkapkan sekian celah kemungkinan yang lebih luas terhadap kritikus sastra yang “berjiwa seni” agar dapat dengan bebas mengeksplorasi kemampuan menulis mereka tanpa harus terjerat dalam keketatan akademik literary criticism yang ada selama ini.
Ketika esai yang dibayangkan tersebut (seperti dilukiskan Benjamin dan Will Derk) menjadi bagian penting dari sastra kita (sebagaimana yang diharapkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Jurnal Cipta, 2007), tentu, dari sana diharapkan terlahir esais-esais — bukan epigon — yang dapat menyegarkan dan memberikan perubahan terhadap dinamika dunia kesusastraan kita kini dan mendatang.
http://sastra-indonesia.com/
Pada mulanya esai diikhtiarkan sebagai karangan tak begitu panjang, kadang bernuansa prosa, yang menyoal hal ihwal dari telusur pandang tertentu dan subyektivitas esais secara bebas (bandingkan: Ensiklopedia Britanika). Proposisi ini kemudian bergulir ke ranah estetik dunia kepenulisan lain bahwa esai “seolah” prosa, atau dimensi yogabasa (istilah Rendra dalam gagasan proses kreatif) sebagai “bagian” dari prosa. Atau penjabaran serebral pemikiran puitik dari puisi jika hal ini dianggap sebagai perjumpaan yang absah.
Apabila persepsi ini ditimbang-lanjutkan, esai dapatlah disejajarkan atau dikategorikan sebagai genre sastra tertentu; sebagaimana prosa, puisi, catatan harian, ataupun (oto)biografi. Kita pun dapat menemui dan mencermati pada sejumlah esais terkemuka kita seperti — sekedar contoh — pada esai-esai Soekarno, Hatta, Sjahrir, Goenawan Mohamad, Ahmad Wahib, Umar Kayam, Ong Hok Ham, Emha Ainun Nadjib, Sindhunata, sampai Nirwan Dewanto atau Nirwan Ahmad Arsuka.
Ulasan secara spesifik perihal esai dapat kita susuri, misalnya, lewat tulisan “Esai tentang Esai”-nya Arief Budiman (majalah Horison, 1/1, 1966); “Esai: Godaan Subyektivitas”-nya Ignas Kleden (dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan terbitan Grafiti: Jakarta, 2004), atau “Membaca Esai”-nya Sapardi Djoko Damono (Jurnal Cipta, 2007). Bahkan, lebih lawas lagi, kita dapat menelisik esai-esai Montaigne (1533-1592), atau Walter Benjamin (1892-1940). Penulis yang terakhir disebut ini pernah menulis esai bertajuk, “Tukang Cerita: Renungan tentang Karya-karya Nikolai Leskov”. Tulisan ini dipandang Frank Kermode sebagai The Great Essays on Leskov, dan Peter Brooks menilai esai tersebut setaraf dengan karya penulis lain seperti Sigmund Freud dan Roland Barthes. Esai-esai Benjamin ini terkumpul dalam Illumination, Essays and Reflections yang terbit 1969 di New York.
Benjamin membabarkan ihwal karya penulis Leskov dari Rusia tersebut. Esai ihwal Leskov ini mulai dikaji ulang dan diperhitungkan 30 tahun kemudian setelah Benjamin mati bunuh diri pada 1960 di Jerman. Keunikan esai “Tukang Cerita” terletak pada kepusparagaman metafora, kembangan gagasan yang jenius dan alami, serta mendedahkan kelokan “pemikiran puitis” — meminjam istilah Octavio Paz — yang mengharukan sekaligus merangsang gairah kreatif pembaca untuk bertadabur terhadap apa yang didiskusikannya.
Tercerabutnya hasrat menulis dengan gaya bercerita secara tulus tentang kehidupan bahkan keseharian (semisal dalam aras sosial, budaya, atau keagamaan), juga lunturnya kemampuan bertukar-tangkap dengan pengalaman secara murni mengisyaratkan pada kita, tegas Benjamin, bahwa seni bercerita dalam menulis esai sedang “mendekati ajalnya” (atau sudah mati?).
Sebab tulisan — yang lazimnya ilmiah akademik — yang melulu berbalur dan terkungkung oleh data-data referensial semata dalam kajian posmodernisme sudah dianggap usang, meski dari segi kemanfaatan tetap dihargai dan bermanfaat di segala bidang kajian. Karena itu kajian ilmiah akdemis hingga “cultural studies” yang bersifat etnografis nyata-nyata telah malih menjadi mazhab tersendiri. Semisal pada lelaku penelitian-penelitian Cliffordz Geertz, Malinowski, sampai tulisan “adventurous” V. Surajprasad Naipaul dalam Among the Believers: An Islamic Journey (Alfred A. Knopf: New York, 1981). Beranjak dari paparan ini, Will Derks menganggap esai yang baik — pun tidak sekadar pada tingkatan melampaui batas kesadaran referensial — sebagai genre sastra yang berada di antara ilmu pengetahuan dan puisi.
Karenanya, spirit ide di kedalaman esai merupakan wedaran diskursif dengan piranti ilmiah dan bahan dasar “daur ulang pengetahuan” dari warisan kebudayaan manusia sampai yang tersilam sekalipun. Klaim akan “something here and something there” sebagai “yang Lain” dan bersifat estetik yang ditabalkan berharga bagi manusia (dan seni itu sendiri) pada batas tertentu adalah secebis cetusan untuk merancang ulang “citra” baru dari budaya atau seni yang dibayangkan itu.
Dari sini tukang esai yang sekaligus memiliki kepiawaian sebagai tukang cerita: ia menulis dengan kesadaran intelektual-alaminya secara maksimal mengintrusi “tata kognisi yang logis” dalam menghayati dan melakoni suatu karya bahasa, bukan sekadar “kesempurnaan logis” seperti yang disorongkan Max Weber. Di dalamnya kesadaran murni mencerna realitas dengan sejernih mungkin, keteraturan harmoni-kosmos pikiran, baik yang luput maupun yang tertangkap darinya; pada akhirnya mampu menghasilkan esai yang bisa diresap-renungi bobot dan keindahannya.
Esai barangkali pula adalah remah terkecil tapi gamblang dari puisi yang memang diniatkan berlarat-larat dari segi bentuk, penjelasan, dan gaya berceritanya. Kendati esais lumrahnya tak menyimpulkan gagasan. Ia menulis dengan kecermatan juga penghayatan akan gerak-gerik juga keluwesan pengungkapan bahasanya, dan pemikiran puitik di kedalamannya menjadi spirit yang menggerakkannya.
Sebagai misal, kita bisa menengok esai-esai Goenawan Mohamad, terkhusus dalam Catatan Pinggir. Membaca Catatan Pinggir ibarat menonton ragam epos manusia yang maha panjang, katalogus bercecabang yang seolah menampung kronik manusia (meski tak seluruhnya) yang ditulis secara piawai, menghanyutkan, ambigu, terkadang nylekit tapi kontemplatif dari seabrek persoalan mulai dari yang remeh-temeh hingga yang kontroversial. Sejumlah pemikir semisal William R. Liddle, Ignas Kleden, atau Haidar Baqir (baca: Catatan Pinggir 6, terbitan Pusat Data Analisa Tempo: Jakarta, 2006) juga pernah turut mengapresiasi penulis yang juga wartawan dan penyair ini. Tentang esai-esai GM, Haidar Baqir menyebut, “Esai adalah puisi yang kurang surealis, lebih kompromis dengan keruntutan alur dan sistemik, lebih telaten berargumentasi, dan — sampai batas tertentu — lebih teleologis. Dengan kata lain, lebih konvensional. Selebihnya, esai adalah puisi.”
Memang esai GM — meminjam Heidegger (dalam The Thinker as Poet) — bergerak dan bersenandung, “mengakar dari Ada dan mengarung ke lubuk kebenarannya.” Terasa bagai olah fikir dengan balutan renik peristiwa kehidupan yang ditulis secara puitik. Mengalun seperti lirik dan denting musik The Soft Parade (The Doors), atau Journey to Transylvania (film: Van Helsing), atau The Lonely Sheperd (film: Kill Bill). Saya cuplikkan paragraf pembuka dari esai GM berjudul U.K. (majalah Tempo, 24 Maret 2002) berikut: “Orang-orang bertanya, hari itu, di dekat makam Umar Kayam yang baru diuruk di pekuburan Karet, setelah kembang mawar ditaburkan, setelah doa selesai, setelah mereka yang datang berbela sungkawa satu demi satu pulang, setelah jenazah itu ditinggalkan dan berangsur-angsur digantikan dengan kenangan: apa yang ditinggalkan penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini? Saya tidak bisa segera menjawab, karena kalimat apa pun terlampau pendek. Sementara hari bertambah petang saya berjalan meninggalkan Tempat Pemakaman itu, dan yang saya ingat – dan yang kemudian ingin saya sebutkan – adalah sebuah deretan: Madame Slitz. Tatum. Cybill. Bawuk. Sri Sumarah. Marno. Mister Rigen. Nansiyem. Beni Prakoso. Dr. Legowo Prasojo. Lantip….”
Barangkali GM hanyalah contoh dari banyak esais Indonesia yang memilih laku “yogabasa” dengan menggunakan gaya “Tukang Cerita” Benjamin. Artinya, gaya kepenulisan esai dengan spirit bercerita dapat dilakukan oleh siapa pun. Terlebih bagi pengkaji sastra atau kritikus sastra. Bahwa kritik sastra sampai saat ini nyata-nyata tak berperan optimal sebab; pertama, banjirnya karya sastra yang berakibat telaah dan pemetaan perkembangan sastra dari waktu ke waktu menjadi mustahil dilakukan. Atau memang tak adanya karya sastra yang bermutu yang layak dikaji secara diskursif. Dan alibi yang terakhir ini kerap dijadikan kambing hitam. Susah sudah menemukan sosok HB Yassin dengan dedikasi pendokumentasian sastranya, meski di lingkup Jakarta. Atau dokumentasi sastra Ragil Suwarno Pragolapati pada tahun 70-an (zaman Persada Studi Klub) di Yogyakarta yang kini sudah sulit dilacak keberadaannya.
Kedua, gagasan Benjamin tersebut bisa dijadikan inspirasi bagi esais (dengan kreativitas masing-masing) untuk membangkitkan matinya kritik sastra selama ini. Jika Budi Darma menyebut kritik sastra sebagai seni. Maka literary criticism, serta deretan istilah lain yang mendampinginya: literary study, literary theory, critical theory (Kompas, Minggu 8 Juni 2003), bagi saya, akan mernyingkapkan sekian celah kemungkinan yang lebih luas terhadap kritikus sastra yang “berjiwa seni” agar dapat dengan bebas mengeksplorasi kemampuan menulis mereka tanpa harus terjerat dalam keketatan akademik literary criticism yang ada selama ini.
Ketika esai yang dibayangkan tersebut (seperti dilukiskan Benjamin dan Will Derk) menjadi bagian penting dari sastra kita (sebagaimana yang diharapkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Jurnal Cipta, 2007), tentu, dari sana diharapkan terlahir esais-esais — bukan epigon — yang dapat menyegarkan dan memberikan perubahan terhadap dinamika dunia kesusastraan kita kini dan mendatang.
01/10/10
Dagelan Keindonesiaan Emha
Fahrudin Nasrulloh
http://www.jawapos.co.id/
JALAN menulis bagi siapa pun ibarat kelokan bercabang dari sehampar cerita manusia. Seakan di pedalamannya tersimpan setangkup ”kitab kehidupan” yang terus berpendaran dan menggelitik untuk diamati dan dilacak, meski tak bakal pernah selesai. Selalu ada sisa di balik yang tersembunyi. Oase hening, tapi sayup-sayup dari kejauhan masih nyaring. Seberkas kenangan, dari ratusan tulisannya, yang kini semangat menulisnya itu terus berdetak.
Dialah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Saya selalu geringgingan, ketawa-ketiwi, dan berdecak saat membaca karya-karyanya yang terbit sekitar ‘80-an dan ‘90-an. Hingga sekarang, dia masih tetap menulis, meski sudah tidak begitu intens.
Barangkali ”Kitab Garing” atau lebih spesifik dunia menulis, bagi Cak Nun sudah selesai dalam tataran jika untuk sekadar ”mati-matian” dipertahankan sebagai jalan hidup. Dia pernah menulis esai, Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank di majalah Tempo, 28 Agustus 1982. Di situ dia berkata: Sastra barangkali hanya semacam Sekolah Rakyat yang ikut berproses, diproses, dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ”kekaburan”-nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.
Cak Nun barangkali telah melampaui dunia ”Kitab Garing” ini, dunia yang tampak dari perspektif lahiriah. Dan kini pada tahap ”Kitab Teles”: menguliti, menelusuri, atau berlelaku secara Ilahi dalam segala aspek kehidupan nyata. Ya, seperti penggalan sajak W.S. Rendra: Rasanya setelah mati berulangkali, tak ada lagi yang mengagetkan di dalam hidup ini (Hai, Ma!). Tentu saja, bukan kematian berkali-kali pada diri Cak Nun. Namun, kesadarannya menyelami intisari keilahian hidup ini bagai berproses menjalani ‘’seribu kehidupan menuju Tuhan” sebagaimana nyanyian Simurgh dalam Mantiq al-Thair-nya Fariduddin Attar. Membagi kesadaran berislam dan berbangsa selama 13 tahun lalu bersama jamaah pengajian Padang Bulan di Menturo, Jombang. Pun jamaah Maiyyah di Kasihan, Bantul, Jogja.
Tak ada yang tidak fenomenal, bahkan subversif, dari cetusan pemikiran Cak Nun. Membaca ketidakpastian situasi Indonesia detik ini ibarat menonton dagelan yang bisa meledakkan tawa sekaligus kepahitan yang mendesak dada. Di sinilah Emha mengocok permenungan kita. Seperti getar air bah, lakonnya terus bergerak seiring perubahan waktu. Terbukti, penyair dan budayawan itu juga menyimpan empati yang tanpa henti terhadap nasib bangsanya yang remek dan mengalami kebangkrutan jati diri. Bak Kiai Slilit, Emha mengorek slilit sekisar keruwetan bangsa dengan analisis yang tajam, luwes, aktual-progresif, jernih, cemerlang, bebal, ngludruk, dan menohok, mulai soal kemiskinan sampai kebobrokan institusi-institusi pemerintah yang tak becus mengatur negara.
Kita bisa melongok buku Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Buku tersebut merupakan rekaman yang memuat 43 percikan permenungan Emha. Ada yang pendek, ada yang panjang. Dia mengulik problematik sosial dalam sejumlah esainya. Misalnya, Wong Cilik dan Dendam Rindu Jakarta; SDM Vs Manusia Indonesia Seutuhnya; Buruh Itu Kekasih; Kasih Sayang dan Reformasi Internal; Gunung Jangan Pula Meletus; dan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Tentu tak lepas dari karisma ketokohan Emha yang serba-empatik menyikapi problem umat dan kebangsaan, juga keterlibatannya dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban lumpur Lapindo.
Dari tulisan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki itulah, Emha terus berikhtiar mengungkai watak kotor kesombongan manusia bangsa ini. Terkait dengan ketakaburan orang berkuasa, kesombongan orang kaya, kesombongan orang pandai, dan kesombongan orang saleh. Proposisi ini diawali dari identifikasi sederhana bahwa semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa, yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Sebab itu, rakyat adalah yang miskin, yang bodoh, dan yang selalu belum saleh. Rakyat akhirnya hanya dipandang sebagai organisme rapuh-lemah yang mesti diberdayakan dari ketertinggalan ekonomi, diselamatkan dari kemiskinan, dan dientaskan dari keterpurukan.
Bagi Cak Nun, ”Pandangan ini sangat laknat terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap penguasa. Dan, setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan mengubah kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.” Karena itu, tegas Emha, siapa pun yang bertengger dalam struktur pemerintah negeri ini adalah Kiai Bejo, Kiai Untung atau Kiai Hoki. Mereka mendapatkan keuntungan meski tanpa bekerja. Salah satu pemeo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo. Setiap pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu. Sebab, mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya, dan bejo.
Maka, dampak secara keseluruhan atas kondisi culas itu terasa sungguh memedihkan bagi wong cilik. Sebab, ”kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, menikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri secara berjamaah dengan modus-modus yang makin kasat mata. Namun, ‘ubet’ ekonomi rakyat, budaya ‘kaki lima’ yang cair dan longgar menciptakan semacam ‘pernapasan dalam’ yang membuat rakyat terus survive, meskipun tak ada suplai udara dari negara.”
Kepusparagaman tema dari kumpulan tulisan itu cukup inspiratif. Misal, isu santri sebagai agen teroris, SDM bangsa, buruh, ekspor ibu-ibu asuh, poligami, fundamentalisme, kriteria kepemimpinan, narkotika kebudayaan.
Situasi bangsa yang karut-marut dan terempas seabrek bencana tak kunjung menyadarkan kita untuk berupaya memupuk tenggang rasa dan keprihatinan sosial. Generasi bangsa yang memimpin negara ini dilukiskan Emha seperti bocah ”Si Gundul Pacul” yang nakal pol, mblunat, mbetik, mbeling, cengengesan, sok benar, dan tak mau belajar. Kelakuannya seenak udelnya sendiri. Petentang-petenteng. Tak beres menjadi pemerintah. Risi berbuat kebajikan. Bisanya, membikin program kebaikan demi kesejahteraan perutnya sendiri. Ketika ribut memelototi bokong Inul yang ngebor pun goyangan Dewi Persik yang naudzubillah itu, juga riwayat santer si kanibal Sumanto, secara kualitatif, di situlah sebenarnya tampang asli rai-remek kita. Tapi, Sumanto hanyalah kanibal kelas teri. Dia cuma bernyali makan mayat. Itu pun mayat nenek-nenek yang dicolongnya dari kuburan. Sumanto tak berani makan rakyat sebagaimana yang dilakukan pengurus negara yang menguras dan nyesep habis kehidupan rakyatnya.
Apa yang terjadi dengan masyarakat kita yang sepintas terlihat teguh dan semarak beragama ini? Warga kita yang telanjur dikenal religius, juga aparatur pemimpinnya, kok bisa-bisanya ruwet mendefinisikan dan mensterilkan mental dan jati diri. Semuanya kok bertopeng. Memang dampak modernitas dan globalisasi berimbas pada cara berpikir kita yang cenderung berpola industrial alias instan. Kondisi masyarakat demikianlah yang diparabi Cak Nun sebagai ”Generasi Kempong”. Kita kelabakan digeruduk modernisme yang sejatinya ”hantu” sosial yang tersamar. Kebudayaan kita jadi instan. Minya instan. Lagunya juga instan. Sinetron dan filmnya instan. ”Kalau bisa,” gojek Emha, ”gak kerja tapi punya uang buanyak. Bahkan jika perlu, ndak usah ada Indonesia, ndak usah ada Nabi, ndak usah ada Tuhan juga ndak apa-apa, asal kurukan duit banyak.”
Daya gugah dan sentilan Cak Nun yang menerobos batas hingga ke wilayah persoalan-persoalan keseharian kita yang paling renik itulah yang jarang dibabah oleh kebanyakan tokoh kebudayaan kita. Dan, ini hanya soal ritme atau strategi budaya. Toh, dunia sastra, yang dilakoninya sejak awal, akan jadi biang narsis jika dijalani dengan methentheng di benteng ”menara gading”, mengumpulkan dan meracik ampas rohani yang tujuan akhirnya dapat menelurkan karya sastra yang adiluhung. Bagi Cak Nun, perkara berkarya mungkin tidak melulu melahirkan karya. Tapi, laku sosial dengan spirit punakawan ”Petruk si Kantong Bolong”: yang tak mengharap dapat apa dan menetaskan apa. Itulah yang lebih penting demi kemanfaatan manusia secara luas. Khairun nas anfauhum lin nas: sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling berguna bagi manusia lain. (*)
*) Fahrudin Nasrulloh bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
http://www.jawapos.co.id/
JALAN menulis bagi siapa pun ibarat kelokan bercabang dari sehampar cerita manusia. Seakan di pedalamannya tersimpan setangkup ”kitab kehidupan” yang terus berpendaran dan menggelitik untuk diamati dan dilacak, meski tak bakal pernah selesai. Selalu ada sisa di balik yang tersembunyi. Oase hening, tapi sayup-sayup dari kejauhan masih nyaring. Seberkas kenangan, dari ratusan tulisannya, yang kini semangat menulisnya itu terus berdetak.
Dialah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Saya selalu geringgingan, ketawa-ketiwi, dan berdecak saat membaca karya-karyanya yang terbit sekitar ‘80-an dan ‘90-an. Hingga sekarang, dia masih tetap menulis, meski sudah tidak begitu intens.
Barangkali ”Kitab Garing” atau lebih spesifik dunia menulis, bagi Cak Nun sudah selesai dalam tataran jika untuk sekadar ”mati-matian” dipertahankan sebagai jalan hidup. Dia pernah menulis esai, Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank di majalah Tempo, 28 Agustus 1982. Di situ dia berkata: Sastra barangkali hanya semacam Sekolah Rakyat yang ikut berproses, diproses, dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ”kekaburan”-nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.
Cak Nun barangkali telah melampaui dunia ”Kitab Garing” ini, dunia yang tampak dari perspektif lahiriah. Dan kini pada tahap ”Kitab Teles”: menguliti, menelusuri, atau berlelaku secara Ilahi dalam segala aspek kehidupan nyata. Ya, seperti penggalan sajak W.S. Rendra: Rasanya setelah mati berulangkali, tak ada lagi yang mengagetkan di dalam hidup ini (Hai, Ma!). Tentu saja, bukan kematian berkali-kali pada diri Cak Nun. Namun, kesadarannya menyelami intisari keilahian hidup ini bagai berproses menjalani ‘’seribu kehidupan menuju Tuhan” sebagaimana nyanyian Simurgh dalam Mantiq al-Thair-nya Fariduddin Attar. Membagi kesadaran berislam dan berbangsa selama 13 tahun lalu bersama jamaah pengajian Padang Bulan di Menturo, Jombang. Pun jamaah Maiyyah di Kasihan, Bantul, Jogja.
Tak ada yang tidak fenomenal, bahkan subversif, dari cetusan pemikiran Cak Nun. Membaca ketidakpastian situasi Indonesia detik ini ibarat menonton dagelan yang bisa meledakkan tawa sekaligus kepahitan yang mendesak dada. Di sinilah Emha mengocok permenungan kita. Seperti getar air bah, lakonnya terus bergerak seiring perubahan waktu. Terbukti, penyair dan budayawan itu juga menyimpan empati yang tanpa henti terhadap nasib bangsanya yang remek dan mengalami kebangkrutan jati diri. Bak Kiai Slilit, Emha mengorek slilit sekisar keruwetan bangsa dengan analisis yang tajam, luwes, aktual-progresif, jernih, cemerlang, bebal, ngludruk, dan menohok, mulai soal kemiskinan sampai kebobrokan institusi-institusi pemerintah yang tak becus mengatur negara.
Kita bisa melongok buku Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Buku tersebut merupakan rekaman yang memuat 43 percikan permenungan Emha. Ada yang pendek, ada yang panjang. Dia mengulik problematik sosial dalam sejumlah esainya. Misalnya, Wong Cilik dan Dendam Rindu Jakarta; SDM Vs Manusia Indonesia Seutuhnya; Buruh Itu Kekasih; Kasih Sayang dan Reformasi Internal; Gunung Jangan Pula Meletus; dan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Tentu tak lepas dari karisma ketokohan Emha yang serba-empatik menyikapi problem umat dan kebangsaan, juga keterlibatannya dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban lumpur Lapindo.
Dari tulisan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki itulah, Emha terus berikhtiar mengungkai watak kotor kesombongan manusia bangsa ini. Terkait dengan ketakaburan orang berkuasa, kesombongan orang kaya, kesombongan orang pandai, dan kesombongan orang saleh. Proposisi ini diawali dari identifikasi sederhana bahwa semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa, yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Sebab itu, rakyat adalah yang miskin, yang bodoh, dan yang selalu belum saleh. Rakyat akhirnya hanya dipandang sebagai organisme rapuh-lemah yang mesti diberdayakan dari ketertinggalan ekonomi, diselamatkan dari kemiskinan, dan dientaskan dari keterpurukan.
Bagi Cak Nun, ”Pandangan ini sangat laknat terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap penguasa. Dan, setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan mengubah kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.” Karena itu, tegas Emha, siapa pun yang bertengger dalam struktur pemerintah negeri ini adalah Kiai Bejo, Kiai Untung atau Kiai Hoki. Mereka mendapatkan keuntungan meski tanpa bekerja. Salah satu pemeo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo. Setiap pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu. Sebab, mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya, dan bejo.
Maka, dampak secara keseluruhan atas kondisi culas itu terasa sungguh memedihkan bagi wong cilik. Sebab, ”kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, menikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri secara berjamaah dengan modus-modus yang makin kasat mata. Namun, ‘ubet’ ekonomi rakyat, budaya ‘kaki lima’ yang cair dan longgar menciptakan semacam ‘pernapasan dalam’ yang membuat rakyat terus survive, meskipun tak ada suplai udara dari negara.”
Kepusparagaman tema dari kumpulan tulisan itu cukup inspiratif. Misal, isu santri sebagai agen teroris, SDM bangsa, buruh, ekspor ibu-ibu asuh, poligami, fundamentalisme, kriteria kepemimpinan, narkotika kebudayaan.
Situasi bangsa yang karut-marut dan terempas seabrek bencana tak kunjung menyadarkan kita untuk berupaya memupuk tenggang rasa dan keprihatinan sosial. Generasi bangsa yang memimpin negara ini dilukiskan Emha seperti bocah ”Si Gundul Pacul” yang nakal pol, mblunat, mbetik, mbeling, cengengesan, sok benar, dan tak mau belajar. Kelakuannya seenak udelnya sendiri. Petentang-petenteng. Tak beres menjadi pemerintah. Risi berbuat kebajikan. Bisanya, membikin program kebaikan demi kesejahteraan perutnya sendiri. Ketika ribut memelototi bokong Inul yang ngebor pun goyangan Dewi Persik yang naudzubillah itu, juga riwayat santer si kanibal Sumanto, secara kualitatif, di situlah sebenarnya tampang asli rai-remek kita. Tapi, Sumanto hanyalah kanibal kelas teri. Dia cuma bernyali makan mayat. Itu pun mayat nenek-nenek yang dicolongnya dari kuburan. Sumanto tak berani makan rakyat sebagaimana yang dilakukan pengurus negara yang menguras dan nyesep habis kehidupan rakyatnya.
Apa yang terjadi dengan masyarakat kita yang sepintas terlihat teguh dan semarak beragama ini? Warga kita yang telanjur dikenal religius, juga aparatur pemimpinnya, kok bisa-bisanya ruwet mendefinisikan dan mensterilkan mental dan jati diri. Semuanya kok bertopeng. Memang dampak modernitas dan globalisasi berimbas pada cara berpikir kita yang cenderung berpola industrial alias instan. Kondisi masyarakat demikianlah yang diparabi Cak Nun sebagai ”Generasi Kempong”. Kita kelabakan digeruduk modernisme yang sejatinya ”hantu” sosial yang tersamar. Kebudayaan kita jadi instan. Minya instan. Lagunya juga instan. Sinetron dan filmnya instan. ”Kalau bisa,” gojek Emha, ”gak kerja tapi punya uang buanyak. Bahkan jika perlu, ndak usah ada Indonesia, ndak usah ada Nabi, ndak usah ada Tuhan juga ndak apa-apa, asal kurukan duit banyak.”
Daya gugah dan sentilan Cak Nun yang menerobos batas hingga ke wilayah persoalan-persoalan keseharian kita yang paling renik itulah yang jarang dibabah oleh kebanyakan tokoh kebudayaan kita. Dan, ini hanya soal ritme atau strategi budaya. Toh, dunia sastra, yang dilakoninya sejak awal, akan jadi biang narsis jika dijalani dengan methentheng di benteng ”menara gading”, mengumpulkan dan meracik ampas rohani yang tujuan akhirnya dapat menelurkan karya sastra yang adiluhung. Bagi Cak Nun, perkara berkarya mungkin tidak melulu melahirkan karya. Tapi, laku sosial dengan spirit punakawan ”Petruk si Kantong Bolong”: yang tak mengharap dapat apa dan menetaskan apa. Itulah yang lebih penting demi kemanfaatan manusia secara luas. Khairun nas anfauhum lin nas: sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling berguna bagi manusia lain. (*)
*) Fahrudin Nasrulloh bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
11/09/10
Pengarang dan Proses Kreatif
Fahrudin Nasrulloh
Jawa Pos, 6 Agustus 2006
Suatu hari di pertengahan April 2006, ketika saya bertandang ke sebuah toko buku di Yogyakarta, secara kebetulan saya mendapati sebuah buku karya A.S. Laksana berjudul Creative Writing: Tips dan Strategi untuk Menulis Cerpen dan Novel. Satu hal yang menarik dari buku ini adalah si penulis menawarkan strategi baru (baca: tips dan kiat) dalam dunia karang-mengarang. Memang, sebelumnya, telah menjamur buku tentang kiat mengarang mulai dari Yuk Menulis Cerpen Yuk (Muhammad Diponegoro), Mengarang Itu Gampang (Arswendo Atmowiloto), Menulis Nggak Perlu Bakat (Ebo) dan lain-lain.
Secara umum, buku-buku serupa itu, jika kita baca tuntas, cukuplah membakar adrenalin kita untuk menulis, dengan tips-tips ringan dan menyehatkan, tanpa membayangkan alangkah dalam proses itu banyak hal yang patut diperhitungkan dengan matang dan sadar diri: suatu proses kreatif yang dilematis dan tak segampang yang dibayangkan. Namun, bagi A.S. Laksana, dalam pengantar buku tersebut, menyuguhkan semacam greget yang sederhana tapi penting bahwa menulis itu perlu demi menjaga kesadaran ingatan dan kesehatan tubuh jika kita ingin menjadi pengarang yang baik.
Pertanyaan yang muncul kemudian: apa makna dan mengapa proses kreatif jadi begitu sulit diwujudkan? Mengapa pula ia membutuhkan keberanian yang besar? Bukankah itu semata soal menjernihkan cerapan mata dan pikiran atas sekerumun ingatan, simbol dan mitos yang tak bernyawa? Betapa kita dihadapkan dengan gelimang teka-teki yang mustahil dapat dipecahkan.
Proses kreatif, bagi pengarang, seolah-olah lahir dari kuburan mimpi, semacam perjumpaan secara intensif antara manusia yang sadar dengan dunianya: antara yang nyata dan yang maya. Jika boleh dibilang bahwa hakikat proses kreatif berada dalam bebayang absurditas diri yang demikian personal dan nyaris tak tersadari, yang memantik kecemasan yang gulana, semacam kemuskilan sekaligus tertawan dalam ikhtiar mengenal dunia yang kita diami. Maka, dengan sendirinya, proses kreatif juga merupakan sebentuk upaya penanggulangan eksistensi diri.
Tampaknya inilah yang tiada henti menghantui sebagian pengarang, bahkan menjadi kutukan, untuk menulis hingga berdarah-darah sampai mati. Mencambuknya demi melahirkan karya yang tak lekang oleh waktu dan ruang. Jika demikian, kenikmatan apa yang menggerakkan pengarang untuk berkarya? Lanskap indrawi macam apa yang menyusup ke dalam jiwanya saat ia menikmati teks yang dihasilkannya? Sekadar jouissance (kenikmatan) atau ocehan yang tak rampung diomelkan? Memang, dalam ranah sastra, mengutip Foucault, teks tak lebih sekadar a point of rest, a halt, a blazon, a flat. Sehubungan dengan itu, novelis Karel Capek pernah ditanya tentang apa yang membuatnya ingin jadi penulis, ia menjawab, “Karena saya benci membicarakan tentang diri saya sendiri.” Barangkali Camus, Goethe, Chateaubriand, Proust, Calvino, Faulkner, Kafka, dan Joyce tak memberondongkan gagasan besar. Mereka sekadar melahirkan makna keberadaan yang asing. Mereka tak memekikkan sabda, tapi semata mencari bentuk dari bayangan mimpi-mimpi mereka. Mungkin menulis adalah tindakan gaib atas nama kata dengan segenap penghancuran dan kepalsuan, dan berakhir dengan karya.
Lantas bagaimana dengan bakat itu sendiri yang kerap dikaitkan dengan pengarang? Desiderius berdalih, “Bakat itu tidak ada. Yang ada hanyalah keinginan yang kuat untuk mewujudkan setiap impian. Tak seorang pun menghormati bakat, sejauh itu masih tersembunyi.” Mungkin bakat secara neurologis dapat dikatakan sebagai “berkah”. Tetapi justru kreatifitas yang terus dinyalakan harus menjadi tindakan yang nyata.
Apabila menilik proses kreatif para pujangga Jawa kuno, sebagaimana ungkapan Kuntara Wiryamartana bahwa, panca indra merupakan dimensi raga untuk memasuki jiwa. Pengendapan dimulai dengan semadi untuk menyesap pengalaman ragawi ke kedalaman jiwa. Di sinilah tahap penjinakan berbagai aktivitas untuk bisa masuk ke dunia sukma, dunia niskala: dunia tanpa ukuran, tanpa rasa, tanpa warna, semua serba kosong. Dalam dimensi inilah terjadi hubungan dengan Yang Maha Tunggal.
Pada titik pertemuan itu, imbuhnya, ilham tidak dapat digambarkan sebelum masuk ke dimensi jiwa. Jadi, ada penjernihan ilham dari ruang sukma ke ruang jiwa, yang kemudian diwujudkan dalam ruang raga. Proses itu, tuturnya, terus berlangsung dalam diri para kawi (pujangga) yang berkreasi untuk menempuh kesempurnaan. Pengalaman yang luas tentang kehidupan di dunia nyata menjadi syarat mutlak para kawi untuk memunculkan kreatifitas. Pengalaman yang bersifat naratif maupun dramatik dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diwujudkan dalam kakawin (karya sastra). Kakawin keluar dari puncak budi, kemudian menyurup ke diri pengarang, dan akhirnya, ia kuasa mewujudkan karyanya.
Proses kreatif, intinya, adalah pengenalan diri hingga bisa mengendalikan proses tersebut. Sebagaimana dalam cerita wayang Dewa Ruci. Pertemuan dua kesejatian antara Bima dengan Dewa Ruci yang melebur menjadi satu. Dewa Ruci adalah perwujudan jiwa Bima. Gambaran ini digambarkan dengan petuah Carilah kayu besar yang menjadi sarang angin. Makna kayu besar adalah wadag manusia yang hidup karena ada siklus udara saat bernapas. (baca Agung Setyahadi Merefleksi Proses Kreatif Leluhur, Kompas, Sabtu 25 Maret 2006).
Menurut W.S. Rendra, proses kreatif adalah manjing ing kahanan nggayuh ngarsaning Hyang Widi (melebur dalam dunia nyata dan merengkuh dunia keilahian). Pengarang harus memahami sekaligus menghayati proses kreatifnya sebagai bentuk yogabasa: sujud karya. Bahwa setiap karya harus menjadi roh ibadah; bahwa prinsip berkarya adalah untuk mewujudkan kebebasan, kejujuran dan keindahan.
Lantaran menulis merupakan peristiwa magis demi menghadirkan dunia baru, maka proses kreatif, menurut Archibald MacLeish dalam Poetry and Experience, tak lain setakik usaha guna mempertemukan dua kutub: antara yang Ada dan yang Maya. Terus berjuang mengetuk keheningan atas ke-Tidak Ada-an untuk menghasilkan Ada.
Sebab itu, segala hal yang bersentuhan dengan proses kreatif memang menjadi suatu keniscayaan yang musti dijalani oleh setiap pengarang. Melenyapkan bayangan kegagalan dan tak bersekutu dengan manusia berjiwa malang dan yang gentar menghadapi penderitaan. Di sinilah pengarang mempertaruhkan segenap hidupnya: hidup terkutuk sebagai pengarang atawa hidup dalam omong kosong yang menyedihkan. Sejalan dengan itu, Isaac Asimov juga bersemboyan, “Hidup adalah menulis sebagaimana hidup adalah bernapas.”
Stephen King dalam bukunya On Writing memancangkan anjuran senada dalam proses kreatif, “Ada dua hal yang harus kau lakukan: banyak membaca dan banyak menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua hal ini, dan tidak ada jalan pintas.”
Andaikata pengarang adalah sosok pencecap rahasia tabir semesta demi menggetarkan jiwa pembacanya, seperti angin yang mendesir pada permukaan air, maka benarkah anggapan bahwa pengarang mengarang karena tersiksa menanggung misteri keberadaannya? Lalu apa yang diburu pengarang sepanjang hayat? Mengukir nama di atas tinta emas dalam buku sejarah dan berharap dikenang sepanjang jaman? Ihwal ini, Lord Byron menyindir, “Apa arti ketenaran? Kecuali mengisi bagian kertas yang tak pasti, selain sesuatu yang bakal hilang dalam uap. Sekadar untuk itu: manusia menulis, bicara, berkhotbah, membunuh, dan membakar mimpi buruk mereka. Untuk merengkuh yang pada akhirnya hanyalah debu.”
Lantas bagaimana dengan pengarang yang gagal, setelah bernanah-nanah menguras daya kreatifnya namun hanya menghasilkan karya sampah (atau plagiat)? Mungkin, bagi pengarang yang berhasil ataupun yang gagal: itu adalah urusan batin mereka masing-masing. Setidaknya, mereka telah berusaha sekuat tenaga — dengan segenap kesia-siaan dan kepedihan — untuk memaknai hidup mereka.
Akhirnya, bagi siapa pun, yang menekuni dunia kepengarangan; menulis itu perlu, sebagaimana yang diimbau oleh A.S. Laksana di atas, dengan segala keluhuran hingga keremeh-temehannya. Maka dari itu saya hanya mengucapkan kepada semua pengarang: selamat berkarya dan teruslah berkarya!
Jawa Pos, 6 Agustus 2006
Suatu hari di pertengahan April 2006, ketika saya bertandang ke sebuah toko buku di Yogyakarta, secara kebetulan saya mendapati sebuah buku karya A.S. Laksana berjudul Creative Writing: Tips dan Strategi untuk Menulis Cerpen dan Novel. Satu hal yang menarik dari buku ini adalah si penulis menawarkan strategi baru (baca: tips dan kiat) dalam dunia karang-mengarang. Memang, sebelumnya, telah menjamur buku tentang kiat mengarang mulai dari Yuk Menulis Cerpen Yuk (Muhammad Diponegoro), Mengarang Itu Gampang (Arswendo Atmowiloto), Menulis Nggak Perlu Bakat (Ebo) dan lain-lain.
Secara umum, buku-buku serupa itu, jika kita baca tuntas, cukuplah membakar adrenalin kita untuk menulis, dengan tips-tips ringan dan menyehatkan, tanpa membayangkan alangkah dalam proses itu banyak hal yang patut diperhitungkan dengan matang dan sadar diri: suatu proses kreatif yang dilematis dan tak segampang yang dibayangkan. Namun, bagi A.S. Laksana, dalam pengantar buku tersebut, menyuguhkan semacam greget yang sederhana tapi penting bahwa menulis itu perlu demi menjaga kesadaran ingatan dan kesehatan tubuh jika kita ingin menjadi pengarang yang baik.
Pertanyaan yang muncul kemudian: apa makna dan mengapa proses kreatif jadi begitu sulit diwujudkan? Mengapa pula ia membutuhkan keberanian yang besar? Bukankah itu semata soal menjernihkan cerapan mata dan pikiran atas sekerumun ingatan, simbol dan mitos yang tak bernyawa? Betapa kita dihadapkan dengan gelimang teka-teki yang mustahil dapat dipecahkan.
Proses kreatif, bagi pengarang, seolah-olah lahir dari kuburan mimpi, semacam perjumpaan secara intensif antara manusia yang sadar dengan dunianya: antara yang nyata dan yang maya. Jika boleh dibilang bahwa hakikat proses kreatif berada dalam bebayang absurditas diri yang demikian personal dan nyaris tak tersadari, yang memantik kecemasan yang gulana, semacam kemuskilan sekaligus tertawan dalam ikhtiar mengenal dunia yang kita diami. Maka, dengan sendirinya, proses kreatif juga merupakan sebentuk upaya penanggulangan eksistensi diri.
Tampaknya inilah yang tiada henti menghantui sebagian pengarang, bahkan menjadi kutukan, untuk menulis hingga berdarah-darah sampai mati. Mencambuknya demi melahirkan karya yang tak lekang oleh waktu dan ruang. Jika demikian, kenikmatan apa yang menggerakkan pengarang untuk berkarya? Lanskap indrawi macam apa yang menyusup ke dalam jiwanya saat ia menikmati teks yang dihasilkannya? Sekadar jouissance (kenikmatan) atau ocehan yang tak rampung diomelkan? Memang, dalam ranah sastra, mengutip Foucault, teks tak lebih sekadar a point of rest, a halt, a blazon, a flat. Sehubungan dengan itu, novelis Karel Capek pernah ditanya tentang apa yang membuatnya ingin jadi penulis, ia menjawab, “Karena saya benci membicarakan tentang diri saya sendiri.” Barangkali Camus, Goethe, Chateaubriand, Proust, Calvino, Faulkner, Kafka, dan Joyce tak memberondongkan gagasan besar. Mereka sekadar melahirkan makna keberadaan yang asing. Mereka tak memekikkan sabda, tapi semata mencari bentuk dari bayangan mimpi-mimpi mereka. Mungkin menulis adalah tindakan gaib atas nama kata dengan segenap penghancuran dan kepalsuan, dan berakhir dengan karya.
Lantas bagaimana dengan bakat itu sendiri yang kerap dikaitkan dengan pengarang? Desiderius berdalih, “Bakat itu tidak ada. Yang ada hanyalah keinginan yang kuat untuk mewujudkan setiap impian. Tak seorang pun menghormati bakat, sejauh itu masih tersembunyi.” Mungkin bakat secara neurologis dapat dikatakan sebagai “berkah”. Tetapi justru kreatifitas yang terus dinyalakan harus menjadi tindakan yang nyata.
Apabila menilik proses kreatif para pujangga Jawa kuno, sebagaimana ungkapan Kuntara Wiryamartana bahwa, panca indra merupakan dimensi raga untuk memasuki jiwa. Pengendapan dimulai dengan semadi untuk menyesap pengalaman ragawi ke kedalaman jiwa. Di sinilah tahap penjinakan berbagai aktivitas untuk bisa masuk ke dunia sukma, dunia niskala: dunia tanpa ukuran, tanpa rasa, tanpa warna, semua serba kosong. Dalam dimensi inilah terjadi hubungan dengan Yang Maha Tunggal.
Pada titik pertemuan itu, imbuhnya, ilham tidak dapat digambarkan sebelum masuk ke dimensi jiwa. Jadi, ada penjernihan ilham dari ruang sukma ke ruang jiwa, yang kemudian diwujudkan dalam ruang raga. Proses itu, tuturnya, terus berlangsung dalam diri para kawi (pujangga) yang berkreasi untuk menempuh kesempurnaan. Pengalaman yang luas tentang kehidupan di dunia nyata menjadi syarat mutlak para kawi untuk memunculkan kreatifitas. Pengalaman yang bersifat naratif maupun dramatik dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diwujudkan dalam kakawin (karya sastra). Kakawin keluar dari puncak budi, kemudian menyurup ke diri pengarang, dan akhirnya, ia kuasa mewujudkan karyanya.
Proses kreatif, intinya, adalah pengenalan diri hingga bisa mengendalikan proses tersebut. Sebagaimana dalam cerita wayang Dewa Ruci. Pertemuan dua kesejatian antara Bima dengan Dewa Ruci yang melebur menjadi satu. Dewa Ruci adalah perwujudan jiwa Bima. Gambaran ini digambarkan dengan petuah Carilah kayu besar yang menjadi sarang angin. Makna kayu besar adalah wadag manusia yang hidup karena ada siklus udara saat bernapas. (baca Agung Setyahadi Merefleksi Proses Kreatif Leluhur, Kompas, Sabtu 25 Maret 2006).
Menurut W.S. Rendra, proses kreatif adalah manjing ing kahanan nggayuh ngarsaning Hyang Widi (melebur dalam dunia nyata dan merengkuh dunia keilahian). Pengarang harus memahami sekaligus menghayati proses kreatifnya sebagai bentuk yogabasa: sujud karya. Bahwa setiap karya harus menjadi roh ibadah; bahwa prinsip berkarya adalah untuk mewujudkan kebebasan, kejujuran dan keindahan.
Lantaran menulis merupakan peristiwa magis demi menghadirkan dunia baru, maka proses kreatif, menurut Archibald MacLeish dalam Poetry and Experience, tak lain setakik usaha guna mempertemukan dua kutub: antara yang Ada dan yang Maya. Terus berjuang mengetuk keheningan atas ke-Tidak Ada-an untuk menghasilkan Ada.
Sebab itu, segala hal yang bersentuhan dengan proses kreatif memang menjadi suatu keniscayaan yang musti dijalani oleh setiap pengarang. Melenyapkan bayangan kegagalan dan tak bersekutu dengan manusia berjiwa malang dan yang gentar menghadapi penderitaan. Di sinilah pengarang mempertaruhkan segenap hidupnya: hidup terkutuk sebagai pengarang atawa hidup dalam omong kosong yang menyedihkan. Sejalan dengan itu, Isaac Asimov juga bersemboyan, “Hidup adalah menulis sebagaimana hidup adalah bernapas.”
Stephen King dalam bukunya On Writing memancangkan anjuran senada dalam proses kreatif, “Ada dua hal yang harus kau lakukan: banyak membaca dan banyak menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua hal ini, dan tidak ada jalan pintas.”
Andaikata pengarang adalah sosok pencecap rahasia tabir semesta demi menggetarkan jiwa pembacanya, seperti angin yang mendesir pada permukaan air, maka benarkah anggapan bahwa pengarang mengarang karena tersiksa menanggung misteri keberadaannya? Lalu apa yang diburu pengarang sepanjang hayat? Mengukir nama di atas tinta emas dalam buku sejarah dan berharap dikenang sepanjang jaman? Ihwal ini, Lord Byron menyindir, “Apa arti ketenaran? Kecuali mengisi bagian kertas yang tak pasti, selain sesuatu yang bakal hilang dalam uap. Sekadar untuk itu: manusia menulis, bicara, berkhotbah, membunuh, dan membakar mimpi buruk mereka. Untuk merengkuh yang pada akhirnya hanyalah debu.”
Lantas bagaimana dengan pengarang yang gagal, setelah bernanah-nanah menguras daya kreatifnya namun hanya menghasilkan karya sampah (atau plagiat)? Mungkin, bagi pengarang yang berhasil ataupun yang gagal: itu adalah urusan batin mereka masing-masing. Setidaknya, mereka telah berusaha sekuat tenaga — dengan segenap kesia-siaan dan kepedihan — untuk memaknai hidup mereka.
Akhirnya, bagi siapa pun, yang menekuni dunia kepengarangan; menulis itu perlu, sebagaimana yang diimbau oleh A.S. Laksana di atas, dengan segala keluhuran hingga keremeh-temehannya. Maka dari itu saya hanya mengucapkan kepada semua pengarang: selamat berkarya dan teruslah berkarya!
19/07/10
Tulisan Terbuka Untuk Bupati Suyanto Soal Seni-Budaya Jombang
Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Dalam beberapa obrolan dan jagongan tentang seni-budaya Jombang, ada seorang pegiat seni yang dengan antusias tapi terkesan chauvinistik menyebut bahwa banyak ikon Jombang yang perlu dilestarikan keberadaannya. Misalnya ia menyebut sosok Besut, pengremo legendaris Mbah Bolet, warisan Topeng Jatiduwur, Watu Gilang di Ploso, situs Sendang Made, tradisi warga Sandur Mandura, dan lain-lain. Sejumlah pejabat pemerintah juga kerap mengkopi-ucap data inventaris kesenian itu kala memberi sambutan pada acara-acara resmi tertentu. Nimbrung nanya, seberapa akurat dan seperti apa jenis deretan kesenian itu telah ditelusuri dan selanjutnya diketahui sebagai sebuah pengetahuan yang menjadi kesadaran milik bersama warga Jombang? Boleh jadi saya keliru mengudar rasa bahwa topik macam demikian semata hanya bahan kelakaran sambil-lalu atau gosip di jedah istirahat makan siang di sebuah acara resmi pejabat atau seniman yang merasa ngurusi kesenian, misalnya.
Ambil contoh lanskap lain, katakanlah ludruk sebagai sebentuk kesenian yang muncul di Jombang, apa yang sudah dilakukan pemerhati ludruk Jombang untuk mengembangkannya? Haruskah kita berkali-kali mendaku tanpa gagasan riset baru bahwa ludruk adalah anak sejarah yang lahir di tlatah Jombang sejak 1907 dengan munculnya lerokan Pak Santik, Pak Amir, dan Pak Pono? Apakah Paguyuban Ludruk Arek Jombang (Palambang) yang konon dimunculkan dari rahim gagasan Bupati Suyanto telah benar-benar memberi kontribusi positif dan kondusif bagi mekarnya ludruk Jombang, ataukah malah sebaliknya? Jika Palambang yang lahir pada 2007 telah nyata-nyata memberikan sumbangsih bagi seluruh seniman ludruk dan warga Jombang, lagi-lagi saya bertanya, apa implementasi riil baik yang bersifat fisik maupun yang visioner?
Kita bisa mencatat peristiwa yang agak tragis dan miris bagi Palambang yang bertampil ludruk dengan lakon “Kebo Nyusu Gudel” saat pengukuhan Dewan Kesenian Jombang pada 25 Februari 2010 di mana salah satu pemeran perempuan, Darwati namanya, diganti begitu saja oleh “pihak dalam” Palambang dengan pemain lain. Padahal Darwati sudah didapuk pada gladi resik sebelumnya. Dan tanpa pemberitahuan, ia digajul begitu saja. Darwati pulang dengan sesak sesal dan tersepelekan harga dirinya. Ada yang bilang dan sempat terdengar, “Ngurus pentas ludruk saja nggak becus. Bagaimana pula memikirkan masa depannya?” Yang aneh dan lebih menggelikan lagi, pengukuhan itu sampai menghadirkan artis Ayu Azhari dengan pesangon 15 juta hanya untuk berjoget dengan lagu “Terajana”. Sungguh mewah acara resmi ini. Sementara kita lupa ada Wak Bari si seniman ludruk gaek asal Kabuh yang lama digelut stroke yang tak lagi bisa kita mendengar riwayat ludruk Jombang darinya sebagai data sejarah ludruk. Apa hubungan yang masuk akal si artis ini dengan pengukuhan DeKaJo? Yang saya tahu ia cuma teman baru nan akrab Bupati Suyanto saat keduanya jadi bintang tamu di Empat Mata-nya Tukul Arwana. Tak lebih dari itu. Dimensi kesadaran ruang sosial telah hilang di sana. Dunia intertainment, gosip, selebritisme, dicampur-baur dengan ruang apresiasi lembaga kesenian yang baru saja dibentuk itu yang sebenarnya harus disadari bersama.
Di tempat lain, dan lantaran peristiwa itu, sejumlah seniman ludruk yang tidak terlibat dalam pementasan Palambang malam itu merasa tersinggung dengan amat sangat atas perlakuan yang tidak etis terhadap Darwati itu sehingga mereka melayangkan surat protes dengan tembusan langsung kepada yang terhormat Bupati Suyanto. Ketidakberesan ini menguarkan citra buruk bahkan telah menyebar ke seabrek telinga di luar Jombang.
Tapi benarkah demikian kasus yang menimpa Darwati? Bila memang begitu ceritanya, jangan salah sangka jika ada kesan bahwa ludruk Jombang itu bermasalah dan oleh sebab itu imbasnya banyak pula grup ludruk Jombang kurang diminati masyarakat. Complicated problems. Kadang saya lebih suka diperhadapkan pada berbagai masalah pelik agar jiwa tercambuk dan tangguh karenanya, dengan catatan, segera selesaikan masalah yang bejibun itu. Tidak dibiarkan, nanti bisa membusuki diri sendiri. Belum lagi soal ludruk tobongan asal Jombang yang nyaris punah. Sebut saja Ludruk Mamik Jaya yang kini ketlarak di tegalan sawah pedalaman Madiun, sebelumnya mereka ngamen di daerah Tulungagung, Trenggalek, Ngawi, dan Magetan. Sudah 12 tahun mereka nobong. Banyak cap yang terlekat dalam grup ludruk ini di rantau, misalnya: “panorama kenelangsaan”, “drama kemelaratan”, “yang bersetia penuh nguri-nguri ludruk”, “berjaya hidup-mati di tobongan”, “kemalasan kreativitas”, “kaum seniman martir yang terbuang”, “sasaran empuk politisasi kesenian”, dan bla-bla-bla. Mustinya sejak dulu Bupati Suyanto memikirkan apa solusi terbaik atas kondisi mereka. Atau memang demikiankah garis nasib seni tradisi: ia kelak bakal lenyap sendiri, menguap dideru perubahan zaman, seperti takdir Ludruk Mandala yang tutup tobong tahun 2008, yang pimpinannya tak lain adalah Dayat dari Peterongan.
Baiklah, itu satu contoh kasus yang boleh bagi siapapun untuk mengklarifikasi dan urun rembug. Soal lain, tentang ikon yang, untuk sementara, dianggap milik Jombang, yakni Mbah Bolet. Ia memang tidak disangkal lagi bahkan di seantero Jawa Timur akan dedikasi dan kehebatannya dalam olah-karya tari remo. “Remo Boletan” adalah sebutan yang prestisius. Tokoh ini sampai melahirkan dan menginspirasi generasi seniman remo lain semisal Ali Markasa, Mujiono, Pak Gendut dari Kediri, dan Bu Sur dari Mojowarno. Sekedar nanya, siapakah yang mengenal lekat Mbah Bolet dan menangi masa hidupnya? Ini pertanyaan konyol pula, dan dapat dibalik-tanya: kalau memang ada lantas kenapa dan mau apa?
Hanya beberapa orang mungkin yang masih hidup saat ini yang kenal dan paham betul dan punya pengalaman yang mendalam dengannya. Pernah saya tanya pada sesepuh seniman atau pemerhati ludruk Jombang, apakah anda punya foto Mbah Bolet? Ini pertanyaan sepele, tapi tak gampang dijawab dengan data konkrit, sebab banyak pejabat atau seniman Jombang yang ingin mengabadikan sosok ini dalam bentuk lukisan, cinderamata, monumen patung, dan lain-lain dengan bayangan bahwa dari tokoh ini bisa dijadikan industri kreatif yang menjanjikan untuk penabalan sekaligus penguatan identitas dan potensi Jombang. Ataukah jika saja anda pernah menemukan sebuah tulisan atau riset kecil-kecilan yang cukup bisa dijadikan sumber awal untuk lebih mengenal sosoknya? Dari beberapa pertanyaan enteng itu, jawaban sementara yang saya pungut hanyalah seraut wajah: BENGONG.
Padahal, Pak Ali Markasa, pernah cerita pada saya, bahwa ia mengenal Mbah Bolet sejak tahun 1966. Ia tak tahu kapan Mbah Bolet lahir. Sumber cerita lain menyebut nama asli Mbah Mbolet adalah Sastro Bolet Amenan. Kiranya ada bau ningrat dari nama itu. Ia meninggal pada Selasa Pon, 17 Agustus 1987, di Jombang. Nama dia silakan saja dijadikan ikon seniman besar Jombang. Tapi sejauh mana kita mengenalnya dengan baik? Untuk mengenalnya pasti membutuhkan sejarah hidupnya, bukan? Jadi setali tiga uang, jika pembaca ada yang memiliki data tertulis atau apapun yang berkaitan dengan sosok ini, anda bisa membagi informasi tersebut kepada Bupati Suyanto yang telah menabalkan dirinya sebagai pengayom (dan pelestari?) ludruk dan seniman ludruk Jombang. Atau jika anda sungkan menginjakkan kaki di rumput indah kabupatenan, anda bisa berbagi cerita pada Komite Seni Tradisonal di Dewan Kesenian Jombang yang ketuanya kini adalah Pak Eko Wahyudi.
Soal terkait lain, tentang warisan Topeng Jatiduwur. Saya kira, menurut data rekaman saya dari cerita Pak Supriyo di Jatiduwur, seniman pengampu tradisi topeng di sana sudah susah diajak maju. Cara berpikir mereka yang menilai pihak pemerintah yang mengurusi kesenian hanya mengambil untungnya saja dan mereka merasa bahwa diri mereka dan keseniannya hanya diperhatikan saat dibutuhkan, seperti sewaktu ada undangan tampil di propinsi atau di TVRI dengan bajet sekian lalu mereka dapat jatah sekian. Ironisnya, mereka merasa dikibuli dengan dapat honorarium yang tak sebegitu yang seharusnya menurut sangkaan mereka harusnya dapat sebegini dan bla-bal-bla. Kini, mereka sudah susah diajak kerja sama lagi dengan pemerintah yang mengurusi kesenian itu. Peristiwa tersebut seolah menjelma “batu” di kepala masing-masing orang yang pernah terlibat langsung di dalamnya dan lama-kelamaan pasti mengeras jadi fosil rapuh yang gampang dikibas angin lalu. Apalagi bahwa Mbah Nasrim sebagai penari Topeng Jatiduwur yang sangat piawai telah lama meninggal. Dan anak turunnya tak ada yang mewarisi keahlian tersebut. Kalau pun ada, tak bisa diandalkan. Maka, apa yang tersisa dari warisan Topeng Jatiduwur? Mungkin masih ada jejak yang bisa terus digali dari sana. Tapi siapa yang mau bergerak intensif untuk itu?
Dari kondisi beberapa jenis kesenian dan sosok seniman yang karut-marut dan kabur demikian, masihkah ada yang ngimpi bahwa Jombang punya ikon kesenian yang dapat dibanggakan dan jadi maskot di tingkat nasional? Jika Bupati Suyanto, atau pemerhati kesenian Jombang, atau DeKaJo (Dewan Kesenian Jombang) menilai persoalan-persoalan ini tidak penting bagi identitas Jombang di kemudian waktu. Jangan semudah ngimpi dengan berkata: “Jombang kelak akan menjadi mercusuar kebudayaan Nusantara.” Guyonan saya, kalimat gagah bin keren ini sebagai “kata benda”, “kata kerja”, atau “impian kosong”?
Atau, jika suatu saat ada kunjungan kenegaraan dari Istana Kepresidenan, lalu ada yang bertanya karena tertarik pada tokoh-tokoh nasional yang lahir dari Jombang, kapankah Hari Jadi Kelahiran Kabupaten Jombang? Adakah semacam buku tentang “Sejarah Kabupaten Jombang”? Bupati Suyanto tentu berharap tidak ada pertanyaan yang seperti itu. Tapi, jika pertanyaan semacam itu muncul dari Pusat suatu saat, boleh saja Bupati Suyanto mengalihkan obrolan ke topik lain. Ini soal yang sebenarnya sederhana, namun sesungguhnya mendasar. Ya, soal identitas wilayah pemerintahan dan kesejarahannya. Memang upaya penelurusan Hari Jadi Jombang sudah pernah dilakukan pada 2007. Namun hingga kini tak terdengar kabarnya lagi.
Sekedar contoh, Kabupaten Nganjuk telah memiliki buku sejarah asal-usul Kabupatennya. Si penulisnya, Harimintadji dan timnya, bertahun-tahun menelusuri sejarah berdirinya Nganjuk, sampai pada 1994 terbitlah buku Nganjuk dan Sejarahnya. Dengan munculnya buku tersebut tidak sepenuhnya diterima warga Nganjuk. Perdebatan dalam sejumlah seminar dan bedah buku tersebut terus berkembang. Sebuah dilektika yang menarik sebenarnya, di mana warga, tokoh masyarakat, budayawan, merasa terlibat di dalamnya, hingga tahun 2004 Harimintadji secara khusus membuat buku dari dinamika itu dengan judul Kontroversi Sekitar Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Dan dalam bentuk pementasan drama kolosal sejarah Nganjuk ia menganggit naskah Pelangi di Anjuk Ladang (2005). Yang perlu diacungi salut dari dinamika kota ini adalah bahwa empat masa periode bupati Nganjuk dari yang sekarang dan sebelumnya sungguh mendukung penuh dan mendanai tim penulis yang dipimpin oleh Harimintadji yang mana dia bukanlah sejarawan kesohor. Ia hanya si tua pensiunan dari Dinas Tata Pemerintahan Pusat, tapi mau bergerak dan berkeringat. Untuk penulisan sejarah Jombang, kayaknya jika mau serius, Bupati Suyanto bisa saja “ngedok dengan SK Bupati” bahwa penelusuran sejarah Jombang perlu ditindaklanjuti dan diprioritaskan sebagai agenda mendesak. Dengan catatan beliau tepat dan benar menunjuk tim riset dan konsultan ahli dari beberapa sejarawan yang kredibel dan berintegritas tinggi. Ini akan menjadi catatan penting sebagai salahsatu tinggalan Bupati Suyanto yang paling berharga sampai akhir jabatannya pada 2013.
Pastinya, masih banyak persoalan seni-budaya yang berkerumuk di lorong terdalam kesejarahan Jombang. Kepada Bupati Suyanto, para seniman dan budayawan, pemerhati kesenian, guru-guru, pelajar, semua pihak yang bersepaham dengan soal ini, serta warga Jombang yang budiman, bahwa dalam paparan tulisan ini, boleh dibantah diuji dan ditanggapi. Paling tidak, dari dialektika ini ada yang bisa kita ambil manfaatnya di kemudian hari.
Jombang, 25 Maret 2010
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Dalam beberapa obrolan dan jagongan tentang seni-budaya Jombang, ada seorang pegiat seni yang dengan antusias tapi terkesan chauvinistik menyebut bahwa banyak ikon Jombang yang perlu dilestarikan keberadaannya. Misalnya ia menyebut sosok Besut, pengremo legendaris Mbah Bolet, warisan Topeng Jatiduwur, Watu Gilang di Ploso, situs Sendang Made, tradisi warga Sandur Mandura, dan lain-lain. Sejumlah pejabat pemerintah juga kerap mengkopi-ucap data inventaris kesenian itu kala memberi sambutan pada acara-acara resmi tertentu. Nimbrung nanya, seberapa akurat dan seperti apa jenis deretan kesenian itu telah ditelusuri dan selanjutnya diketahui sebagai sebuah pengetahuan yang menjadi kesadaran milik bersama warga Jombang? Boleh jadi saya keliru mengudar rasa bahwa topik macam demikian semata hanya bahan kelakaran sambil-lalu atau gosip di jedah istirahat makan siang di sebuah acara resmi pejabat atau seniman yang merasa ngurusi kesenian, misalnya.
Ambil contoh lanskap lain, katakanlah ludruk sebagai sebentuk kesenian yang muncul di Jombang, apa yang sudah dilakukan pemerhati ludruk Jombang untuk mengembangkannya? Haruskah kita berkali-kali mendaku tanpa gagasan riset baru bahwa ludruk adalah anak sejarah yang lahir di tlatah Jombang sejak 1907 dengan munculnya lerokan Pak Santik, Pak Amir, dan Pak Pono? Apakah Paguyuban Ludruk Arek Jombang (Palambang) yang konon dimunculkan dari rahim gagasan Bupati Suyanto telah benar-benar memberi kontribusi positif dan kondusif bagi mekarnya ludruk Jombang, ataukah malah sebaliknya? Jika Palambang yang lahir pada 2007 telah nyata-nyata memberikan sumbangsih bagi seluruh seniman ludruk dan warga Jombang, lagi-lagi saya bertanya, apa implementasi riil baik yang bersifat fisik maupun yang visioner?
Kita bisa mencatat peristiwa yang agak tragis dan miris bagi Palambang yang bertampil ludruk dengan lakon “Kebo Nyusu Gudel” saat pengukuhan Dewan Kesenian Jombang pada 25 Februari 2010 di mana salah satu pemeran perempuan, Darwati namanya, diganti begitu saja oleh “pihak dalam” Palambang dengan pemain lain. Padahal Darwati sudah didapuk pada gladi resik sebelumnya. Dan tanpa pemberitahuan, ia digajul begitu saja. Darwati pulang dengan sesak sesal dan tersepelekan harga dirinya. Ada yang bilang dan sempat terdengar, “Ngurus pentas ludruk saja nggak becus. Bagaimana pula memikirkan masa depannya?” Yang aneh dan lebih menggelikan lagi, pengukuhan itu sampai menghadirkan artis Ayu Azhari dengan pesangon 15 juta hanya untuk berjoget dengan lagu “Terajana”. Sungguh mewah acara resmi ini. Sementara kita lupa ada Wak Bari si seniman ludruk gaek asal Kabuh yang lama digelut stroke yang tak lagi bisa kita mendengar riwayat ludruk Jombang darinya sebagai data sejarah ludruk. Apa hubungan yang masuk akal si artis ini dengan pengukuhan DeKaJo? Yang saya tahu ia cuma teman baru nan akrab Bupati Suyanto saat keduanya jadi bintang tamu di Empat Mata-nya Tukul Arwana. Tak lebih dari itu. Dimensi kesadaran ruang sosial telah hilang di sana. Dunia intertainment, gosip, selebritisme, dicampur-baur dengan ruang apresiasi lembaga kesenian yang baru saja dibentuk itu yang sebenarnya harus disadari bersama.
Di tempat lain, dan lantaran peristiwa itu, sejumlah seniman ludruk yang tidak terlibat dalam pementasan Palambang malam itu merasa tersinggung dengan amat sangat atas perlakuan yang tidak etis terhadap Darwati itu sehingga mereka melayangkan surat protes dengan tembusan langsung kepada yang terhormat Bupati Suyanto. Ketidakberesan ini menguarkan citra buruk bahkan telah menyebar ke seabrek telinga di luar Jombang.
Tapi benarkah demikian kasus yang menimpa Darwati? Bila memang begitu ceritanya, jangan salah sangka jika ada kesan bahwa ludruk Jombang itu bermasalah dan oleh sebab itu imbasnya banyak pula grup ludruk Jombang kurang diminati masyarakat. Complicated problems. Kadang saya lebih suka diperhadapkan pada berbagai masalah pelik agar jiwa tercambuk dan tangguh karenanya, dengan catatan, segera selesaikan masalah yang bejibun itu. Tidak dibiarkan, nanti bisa membusuki diri sendiri. Belum lagi soal ludruk tobongan asal Jombang yang nyaris punah. Sebut saja Ludruk Mamik Jaya yang kini ketlarak di tegalan sawah pedalaman Madiun, sebelumnya mereka ngamen di daerah Tulungagung, Trenggalek, Ngawi, dan Magetan. Sudah 12 tahun mereka nobong. Banyak cap yang terlekat dalam grup ludruk ini di rantau, misalnya: “panorama kenelangsaan”, “drama kemelaratan”, “yang bersetia penuh nguri-nguri ludruk”, “berjaya hidup-mati di tobongan”, “kemalasan kreativitas”, “kaum seniman martir yang terbuang”, “sasaran empuk politisasi kesenian”, dan bla-bla-bla. Mustinya sejak dulu Bupati Suyanto memikirkan apa solusi terbaik atas kondisi mereka. Atau memang demikiankah garis nasib seni tradisi: ia kelak bakal lenyap sendiri, menguap dideru perubahan zaman, seperti takdir Ludruk Mandala yang tutup tobong tahun 2008, yang pimpinannya tak lain adalah Dayat dari Peterongan.
Baiklah, itu satu contoh kasus yang boleh bagi siapapun untuk mengklarifikasi dan urun rembug. Soal lain, tentang ikon yang, untuk sementara, dianggap milik Jombang, yakni Mbah Bolet. Ia memang tidak disangkal lagi bahkan di seantero Jawa Timur akan dedikasi dan kehebatannya dalam olah-karya tari remo. “Remo Boletan” adalah sebutan yang prestisius. Tokoh ini sampai melahirkan dan menginspirasi generasi seniman remo lain semisal Ali Markasa, Mujiono, Pak Gendut dari Kediri, dan Bu Sur dari Mojowarno. Sekedar nanya, siapakah yang mengenal lekat Mbah Bolet dan menangi masa hidupnya? Ini pertanyaan konyol pula, dan dapat dibalik-tanya: kalau memang ada lantas kenapa dan mau apa?
Hanya beberapa orang mungkin yang masih hidup saat ini yang kenal dan paham betul dan punya pengalaman yang mendalam dengannya. Pernah saya tanya pada sesepuh seniman atau pemerhati ludruk Jombang, apakah anda punya foto Mbah Bolet? Ini pertanyaan sepele, tapi tak gampang dijawab dengan data konkrit, sebab banyak pejabat atau seniman Jombang yang ingin mengabadikan sosok ini dalam bentuk lukisan, cinderamata, monumen patung, dan lain-lain dengan bayangan bahwa dari tokoh ini bisa dijadikan industri kreatif yang menjanjikan untuk penabalan sekaligus penguatan identitas dan potensi Jombang. Ataukah jika saja anda pernah menemukan sebuah tulisan atau riset kecil-kecilan yang cukup bisa dijadikan sumber awal untuk lebih mengenal sosoknya? Dari beberapa pertanyaan enteng itu, jawaban sementara yang saya pungut hanyalah seraut wajah: BENGONG.
Padahal, Pak Ali Markasa, pernah cerita pada saya, bahwa ia mengenal Mbah Bolet sejak tahun 1966. Ia tak tahu kapan Mbah Bolet lahir. Sumber cerita lain menyebut nama asli Mbah Mbolet adalah Sastro Bolet Amenan. Kiranya ada bau ningrat dari nama itu. Ia meninggal pada Selasa Pon, 17 Agustus 1987, di Jombang. Nama dia silakan saja dijadikan ikon seniman besar Jombang. Tapi sejauh mana kita mengenalnya dengan baik? Untuk mengenalnya pasti membutuhkan sejarah hidupnya, bukan? Jadi setali tiga uang, jika pembaca ada yang memiliki data tertulis atau apapun yang berkaitan dengan sosok ini, anda bisa membagi informasi tersebut kepada Bupati Suyanto yang telah menabalkan dirinya sebagai pengayom (dan pelestari?) ludruk dan seniman ludruk Jombang. Atau jika anda sungkan menginjakkan kaki di rumput indah kabupatenan, anda bisa berbagi cerita pada Komite Seni Tradisonal di Dewan Kesenian Jombang yang ketuanya kini adalah Pak Eko Wahyudi.
Soal terkait lain, tentang warisan Topeng Jatiduwur. Saya kira, menurut data rekaman saya dari cerita Pak Supriyo di Jatiduwur, seniman pengampu tradisi topeng di sana sudah susah diajak maju. Cara berpikir mereka yang menilai pihak pemerintah yang mengurusi kesenian hanya mengambil untungnya saja dan mereka merasa bahwa diri mereka dan keseniannya hanya diperhatikan saat dibutuhkan, seperti sewaktu ada undangan tampil di propinsi atau di TVRI dengan bajet sekian lalu mereka dapat jatah sekian. Ironisnya, mereka merasa dikibuli dengan dapat honorarium yang tak sebegitu yang seharusnya menurut sangkaan mereka harusnya dapat sebegini dan bla-bal-bla. Kini, mereka sudah susah diajak kerja sama lagi dengan pemerintah yang mengurusi kesenian itu. Peristiwa tersebut seolah menjelma “batu” di kepala masing-masing orang yang pernah terlibat langsung di dalamnya dan lama-kelamaan pasti mengeras jadi fosil rapuh yang gampang dikibas angin lalu. Apalagi bahwa Mbah Nasrim sebagai penari Topeng Jatiduwur yang sangat piawai telah lama meninggal. Dan anak turunnya tak ada yang mewarisi keahlian tersebut. Kalau pun ada, tak bisa diandalkan. Maka, apa yang tersisa dari warisan Topeng Jatiduwur? Mungkin masih ada jejak yang bisa terus digali dari sana. Tapi siapa yang mau bergerak intensif untuk itu?
Dari kondisi beberapa jenis kesenian dan sosok seniman yang karut-marut dan kabur demikian, masihkah ada yang ngimpi bahwa Jombang punya ikon kesenian yang dapat dibanggakan dan jadi maskot di tingkat nasional? Jika Bupati Suyanto, atau pemerhati kesenian Jombang, atau DeKaJo (Dewan Kesenian Jombang) menilai persoalan-persoalan ini tidak penting bagi identitas Jombang di kemudian waktu. Jangan semudah ngimpi dengan berkata: “Jombang kelak akan menjadi mercusuar kebudayaan Nusantara.” Guyonan saya, kalimat gagah bin keren ini sebagai “kata benda”, “kata kerja”, atau “impian kosong”?
Atau, jika suatu saat ada kunjungan kenegaraan dari Istana Kepresidenan, lalu ada yang bertanya karena tertarik pada tokoh-tokoh nasional yang lahir dari Jombang, kapankah Hari Jadi Kelahiran Kabupaten Jombang? Adakah semacam buku tentang “Sejarah Kabupaten Jombang”? Bupati Suyanto tentu berharap tidak ada pertanyaan yang seperti itu. Tapi, jika pertanyaan semacam itu muncul dari Pusat suatu saat, boleh saja Bupati Suyanto mengalihkan obrolan ke topik lain. Ini soal yang sebenarnya sederhana, namun sesungguhnya mendasar. Ya, soal identitas wilayah pemerintahan dan kesejarahannya. Memang upaya penelurusan Hari Jadi Jombang sudah pernah dilakukan pada 2007. Namun hingga kini tak terdengar kabarnya lagi.
Sekedar contoh, Kabupaten Nganjuk telah memiliki buku sejarah asal-usul Kabupatennya. Si penulisnya, Harimintadji dan timnya, bertahun-tahun menelusuri sejarah berdirinya Nganjuk, sampai pada 1994 terbitlah buku Nganjuk dan Sejarahnya. Dengan munculnya buku tersebut tidak sepenuhnya diterima warga Nganjuk. Perdebatan dalam sejumlah seminar dan bedah buku tersebut terus berkembang. Sebuah dilektika yang menarik sebenarnya, di mana warga, tokoh masyarakat, budayawan, merasa terlibat di dalamnya, hingga tahun 2004 Harimintadji secara khusus membuat buku dari dinamika itu dengan judul Kontroversi Sekitar Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Dan dalam bentuk pementasan drama kolosal sejarah Nganjuk ia menganggit naskah Pelangi di Anjuk Ladang (2005). Yang perlu diacungi salut dari dinamika kota ini adalah bahwa empat masa periode bupati Nganjuk dari yang sekarang dan sebelumnya sungguh mendukung penuh dan mendanai tim penulis yang dipimpin oleh Harimintadji yang mana dia bukanlah sejarawan kesohor. Ia hanya si tua pensiunan dari Dinas Tata Pemerintahan Pusat, tapi mau bergerak dan berkeringat. Untuk penulisan sejarah Jombang, kayaknya jika mau serius, Bupati Suyanto bisa saja “ngedok dengan SK Bupati” bahwa penelusuran sejarah Jombang perlu ditindaklanjuti dan diprioritaskan sebagai agenda mendesak. Dengan catatan beliau tepat dan benar menunjuk tim riset dan konsultan ahli dari beberapa sejarawan yang kredibel dan berintegritas tinggi. Ini akan menjadi catatan penting sebagai salahsatu tinggalan Bupati Suyanto yang paling berharga sampai akhir jabatannya pada 2013.
Pastinya, masih banyak persoalan seni-budaya yang berkerumuk di lorong terdalam kesejarahan Jombang. Kepada Bupati Suyanto, para seniman dan budayawan, pemerhati kesenian, guru-guru, pelajar, semua pihak yang bersepaham dengan soal ini, serta warga Jombang yang budiman, bahwa dalam paparan tulisan ini, boleh dibantah diuji dan ditanggapi. Paling tidak, dari dialektika ini ada yang bisa kita ambil manfaatnya di kemudian hari.
Jombang, 25 Maret 2010
09/08/08
“Poem of Blood”: Tragika Kuda ala Ugo Untoro
Fahrudin Nasrulloh
Memasuki pameran Ugo, seketika tatapan mata tiba-tiba disergap dan dilemparkan ke padang penuh kebiadaban. Nyata benar di sana, panorama dunia kuda yang tragis; mata bolong, bangkai tersungkur, jejeran kulit terpajang bak mantel atau handuk, potongan kaki berupa sepatu kuda, tato api bertatah kata dislomotkan di kulit, goa bersuara ringkik kuda. Bagi penonton, yang tak akrab menyaksikan kekejian; inilah suguhan ganas tapi komtemplatif yang menyayat kesadaran.
Di sanalah legenda kuda terpampang dalam sejarah peradaban manusia. Bagai sosokan puisi enigmatik tiada henti menggedor batin. Lantas meringkus kita. Litle by litle word will finish you, ujar Edmond Jabès. Ledakan kata lewat waktu dan labirin peristiwa, yang menyusuri jejak-jejak sejarah, menyimpannya dalam ingatan yang fana, sebelum kita menyerah pada kejahatan hasrat tersembunyi. Inilah kiranya yang meledak di benak Ugo Untoro, yang dituangkannya dalam pameran -- bermedia instalasi, kulit kuda dan kanvas -- bertajuk Poem of Blood, pada 9-17 Maret 2007, di Taman Budaya Yogyakarta.
Beranjak dari “moment of art” itu, pameran Ugo ini seperti permainan tafsir yang menukik pada mistik kesehariannya yang akrab dengan dunia kuda sejak kanak. Dari pergulatan yang sublim itu, dan karenanya, dia berupaya mewedarkan hikayat kuda dalam peradaban manusia yang konon telah berlangsung sejak 40 juta tahun silam. Betapa riwayat kuda telah mengisi mitos, dongeng, atau legenda di mana pun. Kita mengenal, Centaurs, Pegasus, Sleinir, Unicorn, Buchepalus, Morengo, Ibnu Ranger, atau Gagak Rimang. Kuda, sebagai produk karya cipta manusia yang flamboyan ini, seperti ciptaan manusia yang lainnya, segera tersingkirkan, terbuang tatkala ciptaan baru muncul. Kuda bukan lagi produksi tetapi produksi itu sendiri! Serampung mengantarkan manusia menuju peradaban, kuda mati di jalanan aspal berasap dan rumah penjagalan.
Dunia kuda, menurut Ugo, merupakan cikal bakal kendaraan tempur yang efektif, menjadi saksi bisu dari perang-perang besar di abad silam. Melewati tombak, pedang, panah dan peluru, mereka binasa tanpa nisan dan nama. Debu yang terderap sepatu besinya menguburkan keringat dan darahnya. Pendek kata, kesaksian kuda sebagai penyaksi utama tingkah manusia yang ganas nan brutal terabaikan. Kuda menyimpan sisi kelabu kejahatan manusia. Selanjutnya, dari imajinasi kuda menyeruaklah gagasan teknologi berupa mesin-mesin perang semisal, panser, pesawat tempur, tanker, dan tank.
Inilah biang yang melahirkan abad penaklukan menyebar, dahsyat dan menakutkan. Kuda, pada puncak gunanya, menjelma menjadi paradoks yang tragis dari budaya modern di mana manusia terus berupaya mengongkosi sisi absurd “homo ludens”-nya. Kejahatan manusia ini juga disinggung dalam Al-Qur’an, Q.S. Al’Aadiyaat: Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah (ayat: 1), Dan menyerbu ke tengah-tengah kawanan musuh (ayat: 5). Memang terbukti benar, bahwa dari punggung kuda, peradaban manusia merebak ke Asia, Afrika dan Eropa. Dari lari trengginas kuda, wejangan dan sabda para nabi, Zarathustra, Buddha, Lao Tse, mistikus, wali, dan cenayang menyebar hingga ke benua-benua terpencil. Segalanya, bisa dibilang, adalah andil jasa dan pengabdian sang kuda, kendati terlupakan.
Tampaknya karya-karya Ugo kali ini memang benar-benar provokatif, mengguncang, memancing kegusaran, aib, amarah dan kecaman. Menyaksikannya, kita seolah didesak semacam pekik berkabut diam; “Ugo, sadis,” seperti ucap Jim Supangkat dalam ulasannya di katalog berjudul “Death Row di Dunia Kuda”. Selain eksplorasi Ugo yang menyingkap dan membangkitkan perenungan kita, tambah Jim, inilah ekspresi yang memperlihatkan proses sofistikasi citra keindahan kuda. Ugo melihat ini sebagai puisi tentang darah.
Puisi ber”aroma” darah itu bisa disuntuki pada sejumlah karyanya, terutama Poem of Blood yang memajang sepuluh kulit kuda; masing-masing dengan tato bercap-tulis: sword, soul, fear, fire, myth, tears, dust, poem, of, dan blood. Di samping sejumlah karyanya yang lain semisal, The Last Race, Dari Padang Liar Terkapar di Aspal, Menjemur Sejarah, Identity Is Yours, I’m Ready, The End of Badai, Disposible Hero (1,2, dan 3), Melipat Sejarah, Drawing History, Menggantung Sejarah, It’s a History, Artificial Identity, Blue Civilization, The Journey was Lost, dan Make Me Ready, Please!
Dari sederet judul itu, yang paling menyedot gentar dan menggedor telinga adalah It’s a History. Di situ Ugo menggunakan blabak kayu yang dibentuk menyerupai goa purba persegi panjang berukuran 600 cm x 220 cm x 90 cm. Berpintu dua, dengan suara derap kuda, ringkik-lengking panjang, kadang terdengar sayup-sayup patah, menerobos masa dan renik bayangan peristiwa, saling sahut menyahut. Bisa dipastikan, siapa pun yang tergoda memasukinya, bakal terasa dilemparkan ke jurang waktu yang panjang bersama hikayat kuda dan solilokui-tragikanya.
Menyimak pameran ini, barangkali akan terbetik selarik tanya, adakah pesona pengalaman estetik, apa pun bentuk ekspresinya, selalu mentok pada sejauh mana keindahan juga tragedi diwujudkan dalam karya seni? Sedang di sisi lain, hasil dari seni, boleh jadi hanya semacam rumah istirah, halte, tilas, mimesis, atau “artefak gairah” yang seakan sia-sia tapi dibikin abadi. Lepas dari itu, greget dan kecamuk gagasan Ugo, setidaknya, telah menghadirkan semacam “biografi visual” dari sandiwara “senjakala kuda”, seperti yang diungkapkan Suwarno Wisetrotomo.
Walhasil, Poem of Blood berikhtiar mengekplorasi kuda sebagai penyaksi sejarah peradaban berdarah manusia yang sunyi sekaligus menyedihkan. Seakan terbayang si kuda meradang memekik aku ini binatang jalang/dari kumpulannya yang terbuang (Chairil Anwar, “Aku”), dan dengan segala petaka dan penderitaannya yang dinistakan, dieksploitasi, si kuda, jika dapat bicara, ia akan merintih nestapa kulihat Tubuh mengucur darah/aku berkaca dalam darah (Chairil Anwar, “Isa”). Maka, rasa empati dan simpati pada kuda yang kerap jadi korban dan dikorbankan, seperti tulisan “Ugo dan Kuda, Saksi dan Korban” Enin Supriyanto, telah menunjukkan keseriusan Ugo menggeluti wilayah bawah sadar dunia binatang perkasa ini, kendati bernasib malang. Ya, kuda, dalam sisi gelap-terangnya, menyimpan misteri pengkhianatan manusia atas sahabat silamnya itu.
Jawa Pos, 1 April 2007.
Memasuki pameran Ugo, seketika tatapan mata tiba-tiba disergap dan dilemparkan ke padang penuh kebiadaban. Nyata benar di sana, panorama dunia kuda yang tragis; mata bolong, bangkai tersungkur, jejeran kulit terpajang bak mantel atau handuk, potongan kaki berupa sepatu kuda, tato api bertatah kata dislomotkan di kulit, goa bersuara ringkik kuda. Bagi penonton, yang tak akrab menyaksikan kekejian; inilah suguhan ganas tapi komtemplatif yang menyayat kesadaran.
Di sanalah legenda kuda terpampang dalam sejarah peradaban manusia. Bagai sosokan puisi enigmatik tiada henti menggedor batin. Lantas meringkus kita. Litle by litle word will finish you, ujar Edmond Jabès. Ledakan kata lewat waktu dan labirin peristiwa, yang menyusuri jejak-jejak sejarah, menyimpannya dalam ingatan yang fana, sebelum kita menyerah pada kejahatan hasrat tersembunyi. Inilah kiranya yang meledak di benak Ugo Untoro, yang dituangkannya dalam pameran -- bermedia instalasi, kulit kuda dan kanvas -- bertajuk Poem of Blood, pada 9-17 Maret 2007, di Taman Budaya Yogyakarta.
Beranjak dari “moment of art” itu, pameran Ugo ini seperti permainan tafsir yang menukik pada mistik kesehariannya yang akrab dengan dunia kuda sejak kanak. Dari pergulatan yang sublim itu, dan karenanya, dia berupaya mewedarkan hikayat kuda dalam peradaban manusia yang konon telah berlangsung sejak 40 juta tahun silam. Betapa riwayat kuda telah mengisi mitos, dongeng, atau legenda di mana pun. Kita mengenal, Centaurs, Pegasus, Sleinir, Unicorn, Buchepalus, Morengo, Ibnu Ranger, atau Gagak Rimang. Kuda, sebagai produk karya cipta manusia yang flamboyan ini, seperti ciptaan manusia yang lainnya, segera tersingkirkan, terbuang tatkala ciptaan baru muncul. Kuda bukan lagi produksi tetapi produksi itu sendiri! Serampung mengantarkan manusia menuju peradaban, kuda mati di jalanan aspal berasap dan rumah penjagalan.
Dunia kuda, menurut Ugo, merupakan cikal bakal kendaraan tempur yang efektif, menjadi saksi bisu dari perang-perang besar di abad silam. Melewati tombak, pedang, panah dan peluru, mereka binasa tanpa nisan dan nama. Debu yang terderap sepatu besinya menguburkan keringat dan darahnya. Pendek kata, kesaksian kuda sebagai penyaksi utama tingkah manusia yang ganas nan brutal terabaikan. Kuda menyimpan sisi kelabu kejahatan manusia. Selanjutnya, dari imajinasi kuda menyeruaklah gagasan teknologi berupa mesin-mesin perang semisal, panser, pesawat tempur, tanker, dan tank.
Inilah biang yang melahirkan abad penaklukan menyebar, dahsyat dan menakutkan. Kuda, pada puncak gunanya, menjelma menjadi paradoks yang tragis dari budaya modern di mana manusia terus berupaya mengongkosi sisi absurd “homo ludens”-nya. Kejahatan manusia ini juga disinggung dalam Al-Qur’an, Q.S. Al’Aadiyaat: Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah (ayat: 1), Dan menyerbu ke tengah-tengah kawanan musuh (ayat: 5). Memang terbukti benar, bahwa dari punggung kuda, peradaban manusia merebak ke Asia, Afrika dan Eropa. Dari lari trengginas kuda, wejangan dan sabda para nabi, Zarathustra, Buddha, Lao Tse, mistikus, wali, dan cenayang menyebar hingga ke benua-benua terpencil. Segalanya, bisa dibilang, adalah andil jasa dan pengabdian sang kuda, kendati terlupakan.
Tampaknya karya-karya Ugo kali ini memang benar-benar provokatif, mengguncang, memancing kegusaran, aib, amarah dan kecaman. Menyaksikannya, kita seolah didesak semacam pekik berkabut diam; “Ugo, sadis,” seperti ucap Jim Supangkat dalam ulasannya di katalog berjudul “Death Row di Dunia Kuda”. Selain eksplorasi Ugo yang menyingkap dan membangkitkan perenungan kita, tambah Jim, inilah ekspresi yang memperlihatkan proses sofistikasi citra keindahan kuda. Ugo melihat ini sebagai puisi tentang darah.
Puisi ber”aroma” darah itu bisa disuntuki pada sejumlah karyanya, terutama Poem of Blood yang memajang sepuluh kulit kuda; masing-masing dengan tato bercap-tulis: sword, soul, fear, fire, myth, tears, dust, poem, of, dan blood. Di samping sejumlah karyanya yang lain semisal, The Last Race, Dari Padang Liar Terkapar di Aspal, Menjemur Sejarah, Identity Is Yours, I’m Ready, The End of Badai, Disposible Hero (1,2, dan 3), Melipat Sejarah, Drawing History, Menggantung Sejarah, It’s a History, Artificial Identity, Blue Civilization, The Journey was Lost, dan Make Me Ready, Please!
Dari sederet judul itu, yang paling menyedot gentar dan menggedor telinga adalah It’s a History. Di situ Ugo menggunakan blabak kayu yang dibentuk menyerupai goa purba persegi panjang berukuran 600 cm x 220 cm x 90 cm. Berpintu dua, dengan suara derap kuda, ringkik-lengking panjang, kadang terdengar sayup-sayup patah, menerobos masa dan renik bayangan peristiwa, saling sahut menyahut. Bisa dipastikan, siapa pun yang tergoda memasukinya, bakal terasa dilemparkan ke jurang waktu yang panjang bersama hikayat kuda dan solilokui-tragikanya.
Menyimak pameran ini, barangkali akan terbetik selarik tanya, adakah pesona pengalaman estetik, apa pun bentuk ekspresinya, selalu mentok pada sejauh mana keindahan juga tragedi diwujudkan dalam karya seni? Sedang di sisi lain, hasil dari seni, boleh jadi hanya semacam rumah istirah, halte, tilas, mimesis, atau “artefak gairah” yang seakan sia-sia tapi dibikin abadi. Lepas dari itu, greget dan kecamuk gagasan Ugo, setidaknya, telah menghadirkan semacam “biografi visual” dari sandiwara “senjakala kuda”, seperti yang diungkapkan Suwarno Wisetrotomo.
Walhasil, Poem of Blood berikhtiar mengekplorasi kuda sebagai penyaksi sejarah peradaban berdarah manusia yang sunyi sekaligus menyedihkan. Seakan terbayang si kuda meradang memekik aku ini binatang jalang/dari kumpulannya yang terbuang (Chairil Anwar, “Aku”), dan dengan segala petaka dan penderitaannya yang dinistakan, dieksploitasi, si kuda, jika dapat bicara, ia akan merintih nestapa kulihat Tubuh mengucur darah/aku berkaca dalam darah (Chairil Anwar, “Isa”). Maka, rasa empati dan simpati pada kuda yang kerap jadi korban dan dikorbankan, seperti tulisan “Ugo dan Kuda, Saksi dan Korban” Enin Supriyanto, telah menunjukkan keseriusan Ugo menggeluti wilayah bawah sadar dunia binatang perkasa ini, kendati bernasib malang. Ya, kuda, dalam sisi gelap-terangnya, menyimpan misteri pengkhianatan manusia atas sahabat silamnya itu.
Jawa Pos, 1 April 2007.
Fakta dan Fiksi dalam Babad Khadiri
Fahrudin Nasrulloh
Apakah Babad Khadiri dapat dipandang sebagai laporan ilmiah ataukah sebuah karya sastra? Menurut H.B. Jassin karya sastra musti memiliki gagasan, perasaan, kenangan-pengalaman, kegiatan jiwa, dan proses tertentu. Kendati karya ini secara umum dipandang sebagai laporan sejarah yang, sekali lagi, ganjilnya, berdasarkan laporan dari jin Buta Locaya.
Karena itu bagaimana cara kita, dengan berusaha sebaik mungkin, mencerna apa sebenarnya fakta dan fiksi yang menubuh dalam suatu karya. Yang pasti, fakta adalah hasil dari tindakan manusia. Karl Popper memandang bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang berasal dari otoritas yang berada di luar manusia. Pengetahuan adalah produk rekayasa manusia. Kendati pengetahuan tidak semata laporan ihwal kebenaran yang bisa dipertanggung-jawabkan, namun juga sekerumun kekeliruan dan kesimpang-siuran. Sementara fiksi adalah sesuatu yang dikonstruksikan dan dibikin menjadi ada. Meski di dalamnya terserak anasir khayalan. Maka khayalan di situ tidak menekankan segi ke-tak hadiran-nya, namun segi rancang-bangun, inventif, dan kreatif.
Di sinilah sebendel buku yang ditulis melalui tuturan sesosok jin yang berjudul Serat Babad Kadhiri: Kisah berdirinya Sebuah Kejayaan. Buku ini -- semula beraksara Jawa kuno -- ditulis oleh Mas Ngabehi Purbawidjaja (Jaksa Ageng di Kediri saat itu) dan disempurnakan oleh Mas Ngabehi Mangunwidjaja. Naskah tersebut merupakan cetakan kedua (2006) di mana sebelumnya pernah diterbitkan oleh penerbit Boekhandel Tan Khoen Swie, tahun 1932, Kediri.
Dikisahkan di sana, bertitimangsa 1832, tatkala Mas Ngabehi Purbawidjaja didesak oleh kolonial Belanda untuk melacak riwayat lahirnya kota Kediri. Dengan bantuan Ki Dermakandha dari dusun Kandairen, Mas Ngabehi Purbawidjaja berhasil merekam wawancara antara Ki Dermakandha dengan jin yang berparab Ki Buta Locaya (atau Kyai Daha) dengan cara meminjam raga Ki Sondong (dalang wayang klitik dan penabuh gamelan). Dari situlah tanya-jawab berlangsung lantas dicatat oleh Mas Ngabehi Purbawidjaja bersama Mas Ngabehi Mangunwidjaja. Akhirnya tersusunlah Serat Babad Khadiri.
Bertolak dari cerita tersebut. Jika unsur karya sastra yang utama adalah imajinasi, maka kita sering terjebak tatkala memisahkan antara imajinasi (angan) dari fantasi (khayalan). Mungkin Subagio Sastrowardoyo benar ketika mengatakan bahwa “Sastra dibangkitkan dari daya imajinasi. Yaitu daya tangkap batin yang secara intuitif memperoleh visi yang benar tentang pengalaman dan kenyataan. Sementara fantasi adalah hasil lamunan tentang alam yang berada di luar kehidupan nyata.” Namun perkaranya tidak sesederhana itu. Boleh jadi, fantasi hanyalah baju kepatutan, semata pernak-pernik belaka. Sementara imajinasi adalah nyawa yang bergentayangan di mana-mana, yang meresapi karya dan segala yang bertaut dengannya. Demikian bagi Coleridge.
Bagaimanapun juga, antara fakta dan fiksi tetaplah menjadi suatu misteri tersendiri, setidaknya bagi Ignas Kleden, bahwa ilmu sosial (yang berdasar data dari fakta) maupun karya sastra dengan caranya masing-masing kemudian menyampaikan kepada kita jauh lebih banyak kenyataan daripada sekadar kenyataan yang dilukiskan. Sewaktu Clifford Geertz meriwayatkan perdagangan kopra di tabanan, Bali, dia sebetulnya bercerita tentang seluruh masyarakat Bali, atau pada waktu melukiskan cara orang Jawa mengadakan selamatan, dia sebetulnya menggambarkan seluruh alam pikiran dan struktur sosial orang Jawa.
Inilah yang oleh Geertz kemudian disebut dengan logika analitik a There presence in a Here text: teks yang dihadapi “di sini” sesungguhnya menayangkan kehadiran yang “di sana”. Bahwa Babad Khadiri yang terhadir saat ini merupakan bayangan atau kemungkinan -- jika itu benar -- dari kenyataan sejarah silam kota Kediri. Lepas dari kebenaran ilmiah yang masih diragukan (apakah itu fakta atau fiksi?). Atau sebaliknya a There shadow of a Here reality: menghadirkan suatu bayangan “di sana” dari kenyataan “di sini”. Di sini peran si pengabar atau penulis (tapi dalam cerita ini yang tersisa hanyalah naskah babad itu sebab pengarangnya sudah mati) menghadir sebagai semacam artefak skriptural atau fosil teks dari bentuk kesaksian atas kenyataan sebagaimana yang dikisahkan dalam naskah tersebut.
Menurut Prof DR Edi Sedyawati, dalam kata pengantarnya, bahwa teks pada Babad Khadiri ini dapat dipandang sebagai karya sejarah (karena berlabel babad), meski pada dasarnya harus digolongkan sebagai karya fiksi. Karena cerita ini bersumber dari kisah seorang dalang (Ki Sondong), dapatlah dipastikan yang tertulis di sana hanyalah rekaan belaka. Hal ini dikuatkan dengan bukti dalam teks tersebut yang menyertakan foto Raden Mas Ngabehi Mangunwidjaja di mana ia disebut sebagai pengarangnja kitab ini dan seorang yang alim dan loeas pengetahoeannja dalam hal ilmoe rasa. Bukan sebagai penyusun sejarah. Tapi lebih tepatnya sebagai ahli kebatinan Jawa. Jelaslah pernyataan ini mengarah pada kualifikasi sastrawan dan bukan sejarawan.
Nyatalah bahwa Babad Khadiri dapat dipahami sebagai teks yang bersumber dari tradisi tutur, namun dalam periwayatannya, ungkap Edi Sedyawati, terdapat indikasi kisah ini juga berkorelasi secara interteks dengan naskah lain, semisal; Serat Aji Pamasa, Serat Jangka Jayabaya, Babad Tanah Jawi, dan Serat Jaya Kusuma. Meski teks yang terakhir disebut disangkal isinya. Ada pula teks Sastramiruda yang dalam Babad Khadiri ini juga menyebutkan tokoh bernama Panji. Karya ini pun berkait lekat dengan apa yang termaktub dalam teks-teks baku seperti Pustaka Raja, Babad Tanah Jawi, dan Babad Demak.
Maka dari itu, ketika kita membaca Babad Khadiri sebenarnya tidaklah untuk mencari kebenaran sejarah dalam konteks ilmu sejarah. Semisal, nilai politis apa yang melatar-belakangi kolonial Belanda untuk mengorek data tentang cikal-bakal kota Kediri (karena motif ini tidak tersurat dalam babad tersebut). Tentu saja, prasangka lain dapat berupa indikasi adanya upaya kaum imperialis itu untuk mengetahui watak dan spirit perjuangan manusia Kediri sebagaimana sepak-terjang C.S. Hurgonje membongkar seluk-beluk perlawanan dan tradisi orang-orang Aceh. Teks ini pun dapat dikaji dalam kaitan dengan persoalan konstruksi budaya, atau dalam rangka analisa dari pelbagai tinjauan dan disiplin ilmu. Karena itu, jika yang fakta di masa lampau tak seluruhnya dapat dibabarkan, maka yang fiksi hadir sebagai bualan cerdas dari segala lupa dan kejahatan lain yang tersamar.
Jawa Pos, 11 November 2007.
Apakah Babad Khadiri dapat dipandang sebagai laporan ilmiah ataukah sebuah karya sastra? Menurut H.B. Jassin karya sastra musti memiliki gagasan, perasaan, kenangan-pengalaman, kegiatan jiwa, dan proses tertentu. Kendati karya ini secara umum dipandang sebagai laporan sejarah yang, sekali lagi, ganjilnya, berdasarkan laporan dari jin Buta Locaya.
Karena itu bagaimana cara kita, dengan berusaha sebaik mungkin, mencerna apa sebenarnya fakta dan fiksi yang menubuh dalam suatu karya. Yang pasti, fakta adalah hasil dari tindakan manusia. Karl Popper memandang bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang berasal dari otoritas yang berada di luar manusia. Pengetahuan adalah produk rekayasa manusia. Kendati pengetahuan tidak semata laporan ihwal kebenaran yang bisa dipertanggung-jawabkan, namun juga sekerumun kekeliruan dan kesimpang-siuran. Sementara fiksi adalah sesuatu yang dikonstruksikan dan dibikin menjadi ada. Meski di dalamnya terserak anasir khayalan. Maka khayalan di situ tidak menekankan segi ke-tak hadiran-nya, namun segi rancang-bangun, inventif, dan kreatif.
Di sinilah sebendel buku yang ditulis melalui tuturan sesosok jin yang berjudul Serat Babad Kadhiri: Kisah berdirinya Sebuah Kejayaan. Buku ini -- semula beraksara Jawa kuno -- ditulis oleh Mas Ngabehi Purbawidjaja (Jaksa Ageng di Kediri saat itu) dan disempurnakan oleh Mas Ngabehi Mangunwidjaja. Naskah tersebut merupakan cetakan kedua (2006) di mana sebelumnya pernah diterbitkan oleh penerbit Boekhandel Tan Khoen Swie, tahun 1932, Kediri.
Dikisahkan di sana, bertitimangsa 1832, tatkala Mas Ngabehi Purbawidjaja didesak oleh kolonial Belanda untuk melacak riwayat lahirnya kota Kediri. Dengan bantuan Ki Dermakandha dari dusun Kandairen, Mas Ngabehi Purbawidjaja berhasil merekam wawancara antara Ki Dermakandha dengan jin yang berparab Ki Buta Locaya (atau Kyai Daha) dengan cara meminjam raga Ki Sondong (dalang wayang klitik dan penabuh gamelan). Dari situlah tanya-jawab berlangsung lantas dicatat oleh Mas Ngabehi Purbawidjaja bersama Mas Ngabehi Mangunwidjaja. Akhirnya tersusunlah Serat Babad Khadiri.
Bertolak dari cerita tersebut. Jika unsur karya sastra yang utama adalah imajinasi, maka kita sering terjebak tatkala memisahkan antara imajinasi (angan) dari fantasi (khayalan). Mungkin Subagio Sastrowardoyo benar ketika mengatakan bahwa “Sastra dibangkitkan dari daya imajinasi. Yaitu daya tangkap batin yang secara intuitif memperoleh visi yang benar tentang pengalaman dan kenyataan. Sementara fantasi adalah hasil lamunan tentang alam yang berada di luar kehidupan nyata.” Namun perkaranya tidak sesederhana itu. Boleh jadi, fantasi hanyalah baju kepatutan, semata pernak-pernik belaka. Sementara imajinasi adalah nyawa yang bergentayangan di mana-mana, yang meresapi karya dan segala yang bertaut dengannya. Demikian bagi Coleridge.
Bagaimanapun juga, antara fakta dan fiksi tetaplah menjadi suatu misteri tersendiri, setidaknya bagi Ignas Kleden, bahwa ilmu sosial (yang berdasar data dari fakta) maupun karya sastra dengan caranya masing-masing kemudian menyampaikan kepada kita jauh lebih banyak kenyataan daripada sekadar kenyataan yang dilukiskan. Sewaktu Clifford Geertz meriwayatkan perdagangan kopra di tabanan, Bali, dia sebetulnya bercerita tentang seluruh masyarakat Bali, atau pada waktu melukiskan cara orang Jawa mengadakan selamatan, dia sebetulnya menggambarkan seluruh alam pikiran dan struktur sosial orang Jawa.
Inilah yang oleh Geertz kemudian disebut dengan logika analitik a There presence in a Here text: teks yang dihadapi “di sini” sesungguhnya menayangkan kehadiran yang “di sana”. Bahwa Babad Khadiri yang terhadir saat ini merupakan bayangan atau kemungkinan -- jika itu benar -- dari kenyataan sejarah silam kota Kediri. Lepas dari kebenaran ilmiah yang masih diragukan (apakah itu fakta atau fiksi?). Atau sebaliknya a There shadow of a Here reality: menghadirkan suatu bayangan “di sana” dari kenyataan “di sini”. Di sini peran si pengabar atau penulis (tapi dalam cerita ini yang tersisa hanyalah naskah babad itu sebab pengarangnya sudah mati) menghadir sebagai semacam artefak skriptural atau fosil teks dari bentuk kesaksian atas kenyataan sebagaimana yang dikisahkan dalam naskah tersebut.
Menurut Prof DR Edi Sedyawati, dalam kata pengantarnya, bahwa teks pada Babad Khadiri ini dapat dipandang sebagai karya sejarah (karena berlabel babad), meski pada dasarnya harus digolongkan sebagai karya fiksi. Karena cerita ini bersumber dari kisah seorang dalang (Ki Sondong), dapatlah dipastikan yang tertulis di sana hanyalah rekaan belaka. Hal ini dikuatkan dengan bukti dalam teks tersebut yang menyertakan foto Raden Mas Ngabehi Mangunwidjaja di mana ia disebut sebagai pengarangnja kitab ini dan seorang yang alim dan loeas pengetahoeannja dalam hal ilmoe rasa. Bukan sebagai penyusun sejarah. Tapi lebih tepatnya sebagai ahli kebatinan Jawa. Jelaslah pernyataan ini mengarah pada kualifikasi sastrawan dan bukan sejarawan.
Nyatalah bahwa Babad Khadiri dapat dipahami sebagai teks yang bersumber dari tradisi tutur, namun dalam periwayatannya, ungkap Edi Sedyawati, terdapat indikasi kisah ini juga berkorelasi secara interteks dengan naskah lain, semisal; Serat Aji Pamasa, Serat Jangka Jayabaya, Babad Tanah Jawi, dan Serat Jaya Kusuma. Meski teks yang terakhir disebut disangkal isinya. Ada pula teks Sastramiruda yang dalam Babad Khadiri ini juga menyebutkan tokoh bernama Panji. Karya ini pun berkait lekat dengan apa yang termaktub dalam teks-teks baku seperti Pustaka Raja, Babad Tanah Jawi, dan Babad Demak.
Maka dari itu, ketika kita membaca Babad Khadiri sebenarnya tidaklah untuk mencari kebenaran sejarah dalam konteks ilmu sejarah. Semisal, nilai politis apa yang melatar-belakangi kolonial Belanda untuk mengorek data tentang cikal-bakal kota Kediri (karena motif ini tidak tersurat dalam babad tersebut). Tentu saja, prasangka lain dapat berupa indikasi adanya upaya kaum imperialis itu untuk mengetahui watak dan spirit perjuangan manusia Kediri sebagaimana sepak-terjang C.S. Hurgonje membongkar seluk-beluk perlawanan dan tradisi orang-orang Aceh. Teks ini pun dapat dikaji dalam kaitan dengan persoalan konstruksi budaya, atau dalam rangka analisa dari pelbagai tinjauan dan disiplin ilmu. Karena itu, jika yang fakta di masa lampau tak seluruhnya dapat dibabarkan, maka yang fiksi hadir sebagai bualan cerdas dari segala lupa dan kejahatan lain yang tersamar.
Jawa Pos, 11 November 2007.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita