Binhad Nurrohmat*
Padang Ekspres, 15 Feb 2009
KAMUS, tata bahasa, mesin cetak, telepon, dan internet memperpesat pergaulan dan perkembangan kebudayaan modern. Pada masa lampau, jarak geografis dan perbedaan bahasa menjadi kendala interaksi antarmanusia dan kebudayaannya, tapi kemajuan peradaban membuat bentangan jarak geografis bisa disambungkan oleh teknologi komunikasi dan hambatan perbedaan bahasa dapat dijembatani oleh penerjemahan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Binhad Nurrohmat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Binhad Nurrohmat. Tampilkan semua postingan
09/02/12
11/10/11
Kura-Kura Kritikus dalam Perahu?
Binhad Nurrohmat*
Media Indonesia, 12 Agu 2007
SAYA dan Taufiq Ismail adalah dua penyair yang memiliki pandangan dan sikap yang berbeda mengenai tubuh dan seksualitas dalam karya-karya sastra pengarang mutakhir kita. Taufiq gencar menistanya dan saya menolak penistaannya dan menghendaki apresiasi yang proporsional-signifikan.
Saya memandang tubuh dan seksualitas dalam kesusastraan kita sebagai kewajaran dan malah memperkaya jamahan tema kesusastraan kita. Dalam kesusastraan, urusan tubuh dan seksualitas bisa sejajar dengan urusan Tuhan, trem yang berklenengan, politik, binatang, agama, maupun gairah asmara. Rendra, Motinggo Busye, Dorothea Rosa Herliany, Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, Ahmad Tohari, Goenawan Mohamad, Acep Zamzam Noor, Linus Suryadi AG, dan Wing Kardjo juga menggarap urusan tubuh dan seksualitas dalam karya sastra mereka.
Demikian juga dalam karya sastra tradisional, Babad Tanah Jawa misalnya, ada cerita mengenai Syaikh Maulana Maghribi yang bertafakur di atas pohon rimbun. Karena tak tahu ada sang Syaikh, Dewi Rasawulan melepas semua pakaiannya dan mandi di telaga di bawah pohon itu. Sang Syaikh tergiur melihat sang Dewi dan ingin menidurinya. Seusai mandi, sang Dewi melihat bayangan sang Syaikh tampan itu di permukaan telaga dan sang Dewi juga merasa menidurinya. Sepulang dari telaga sang Dewi bunting. Karena merasa dipermalukan, ia mendatangi sang Syaikh. Sang Syaikh turun dari atas pohon dan mencabut kemaluannya dan menjelma tombak sakti braja sangkuh.
Namun, bila urusan tubuh dan seksualitas dalam karya-karya sastra mutakhir kita maupun masa sebelumnya, menurut Taufiq, ‘bermasalah’, sebaiknya Taufiq menempuh cara yang senonoh dan bukan menistanya dengan jargon-jargon yang dipropagandakan ke publik dengan memanfaatkan pengaruhnya sebagai tokoh papan atas. Memang ironis, petinggi majalah sastra Horison itu tak melakukan apresiasi yang proporsional-signifikan dan selalu semena-mena menghakimi serta memerangi karya-karya sastra mutakhir kita yang menyoal urusan tubuh dan seksualitas.
Taufiq mengobarkan propaganda ke publik luas tentang adanya karya-karya sastra mutakhir kita yang didakwanya sebagai komponen Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), Sastra Mahzab Selangkang (SMS), dan Fiksi Alat Kelamin (FAK). Saya menampik propaganda Taufiq itu melalui pendapat saya yang juga saya siarkan ke publik. Saya menyatakan GSM, SMS, dan FAK itu sebenarnya tak ada dan jargon-jargon itu adalah karangan orisinal Taufiq belaka. Saya menyikapi ‘apa’ yang dipropagandakan Taufiq dan bukan ‘siapa’ yang mempropagandakannya. Bila jargon-jargon itu dipropagandakan Madonna, saya pun bakal menolaknya.
Namun, Maman S Mahayana di Media Indonesia (5/8) gegabah menganggapi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu menggiring perkara seks sebagai wilayah publik menjadi urusan individu. Maman (yang kerap dijuluki kritikus itu) memang bisa bicara apa saja. Tapi ketahuilah, anggapan itu murni anggapan subjektif Maman belaka untuk mereduksi substansi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu. Sadarilah, substansi pendapat saya adalah menolak ‘propaganda’ Taufiq yang menista karya sastra dan melabelinya dengan julukan GSM, SMS, dan FAK. Hanya dasar objektiflah yang saya pakai untuk menghadapi propaganda Taufiq itu dan membuang semua alasan individual-subjektif ke laut.
***
Mestinya karya dijawab dengan karya, bukan dengan penampakan perangai eksibionis-narsistis. Maman pun menyatakan demikian dalam tulisannya itu. Selain itu, menurut saya, mengapresiasi karya tak perlu dengan menggalang massa, menebarkan jargon nista, atau menghunuskan tuduhan subjektif.
Namun saya terpaksa menahan rasa prihatin teramat dalam karena dalam apresiasi maupun polemik masih saja terselenggara kekhilafan yang tak senonoh lantaran turut pula memerkarakan sebuah pendapat dalam polemik berdasarkan usia si penyampai pendapat maupun menghunuskan tuduhan apriori yang individual-subjektif terhadap si penyampai pendapat, contohnya tulisan Maman itu. Bahkan, Maman juga membawa asumsi urusan perut dan popularitas untuk menanggapi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu.
Betapa rasa prihatin saya kian dalam terasa lantaran tulisan Maman itu penuh simpati mengapresiasi propaganda Taufiq dan mereduksi pendapat saya karena saya dianggapnya mualaf dan belia. Apakah karena Taufiq sudah tua membuat Maman gentar menghadapinya dan memilih ? Atau cari aman dengan mengapresiasi propaganda Taufiq itu penuh simpati? Ah, kura-kura kritikus dalam perahu.
Fakta membuktikan karya sastra mutakhir begitu banyak di depan mata dan menunggu apresiasi yang proporsional-signifikan dan mestinya kritikus menyambutnya tanpa cara pandang ruwet maupun tuduhan individual-subjektif. Fakta pun memberitahukannya melalui koran, sarasehan, dan forum pidato (kebudayaan) Akademi Jakarta, Taufiq mempropagandakan slogan GSM, SMS, dan FAK untuk menista karya dan mengubur apresiasi yang proporsional-signifikan.
Teranglah sudah, propaganda Taufiq (yang menurut Maman sebagai bentuk kepedulian atas nasib bangsa itu) telah mengajarkan teladan sempurna cara membumihanguskan apresiasi dan Maman begitu bagus meneladani melalui tulisannya itu.
* Binhad Nurrohmat, penyair.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/kura-kura-kritikus-dalam-perahu.html
Media Indonesia, 12 Agu 2007
SAYA dan Taufiq Ismail adalah dua penyair yang memiliki pandangan dan sikap yang berbeda mengenai tubuh dan seksualitas dalam karya-karya sastra pengarang mutakhir kita. Taufiq gencar menistanya dan saya menolak penistaannya dan menghendaki apresiasi yang proporsional-signifikan.
Saya memandang tubuh dan seksualitas dalam kesusastraan kita sebagai kewajaran dan malah memperkaya jamahan tema kesusastraan kita. Dalam kesusastraan, urusan tubuh dan seksualitas bisa sejajar dengan urusan Tuhan, trem yang berklenengan, politik, binatang, agama, maupun gairah asmara. Rendra, Motinggo Busye, Dorothea Rosa Herliany, Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, Ahmad Tohari, Goenawan Mohamad, Acep Zamzam Noor, Linus Suryadi AG, dan Wing Kardjo juga menggarap urusan tubuh dan seksualitas dalam karya sastra mereka.
Demikian juga dalam karya sastra tradisional, Babad Tanah Jawa misalnya, ada cerita mengenai Syaikh Maulana Maghribi yang bertafakur di atas pohon rimbun. Karena tak tahu ada sang Syaikh, Dewi Rasawulan melepas semua pakaiannya dan mandi di telaga di bawah pohon itu. Sang Syaikh tergiur melihat sang Dewi dan ingin menidurinya. Seusai mandi, sang Dewi melihat bayangan sang Syaikh tampan itu di permukaan telaga dan sang Dewi juga merasa menidurinya. Sepulang dari telaga sang Dewi bunting. Karena merasa dipermalukan, ia mendatangi sang Syaikh. Sang Syaikh turun dari atas pohon dan mencabut kemaluannya dan menjelma tombak sakti braja sangkuh.
Namun, bila urusan tubuh dan seksualitas dalam karya-karya sastra mutakhir kita maupun masa sebelumnya, menurut Taufiq, ‘bermasalah’, sebaiknya Taufiq menempuh cara yang senonoh dan bukan menistanya dengan jargon-jargon yang dipropagandakan ke publik dengan memanfaatkan pengaruhnya sebagai tokoh papan atas. Memang ironis, petinggi majalah sastra Horison itu tak melakukan apresiasi yang proporsional-signifikan dan selalu semena-mena menghakimi serta memerangi karya-karya sastra mutakhir kita yang menyoal urusan tubuh dan seksualitas.
Taufiq mengobarkan propaganda ke publik luas tentang adanya karya-karya sastra mutakhir kita yang didakwanya sebagai komponen Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), Sastra Mahzab Selangkang (SMS), dan Fiksi Alat Kelamin (FAK). Saya menampik propaganda Taufiq itu melalui pendapat saya yang juga saya siarkan ke publik. Saya menyatakan GSM, SMS, dan FAK itu sebenarnya tak ada dan jargon-jargon itu adalah karangan orisinal Taufiq belaka. Saya menyikapi ‘apa’ yang dipropagandakan Taufiq dan bukan ‘siapa’ yang mempropagandakannya. Bila jargon-jargon itu dipropagandakan Madonna, saya pun bakal menolaknya.
Namun, Maman S Mahayana di Media Indonesia (5/8) gegabah menganggapi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu menggiring perkara seks sebagai wilayah publik menjadi urusan individu. Maman (yang kerap dijuluki kritikus itu) memang bisa bicara apa saja. Tapi ketahuilah, anggapan itu murni anggapan subjektif Maman belaka untuk mereduksi substansi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu. Sadarilah, substansi pendapat saya adalah menolak ‘propaganda’ Taufiq yang menista karya sastra dan melabelinya dengan julukan GSM, SMS, dan FAK. Hanya dasar objektiflah yang saya pakai untuk menghadapi propaganda Taufiq itu dan membuang semua alasan individual-subjektif ke laut.
***
Mestinya karya dijawab dengan karya, bukan dengan penampakan perangai eksibionis-narsistis. Maman pun menyatakan demikian dalam tulisannya itu. Selain itu, menurut saya, mengapresiasi karya tak perlu dengan menggalang massa, menebarkan jargon nista, atau menghunuskan tuduhan subjektif.
Namun saya terpaksa menahan rasa prihatin teramat dalam karena dalam apresiasi maupun polemik masih saja terselenggara kekhilafan yang tak senonoh lantaran turut pula memerkarakan sebuah pendapat dalam polemik berdasarkan usia si penyampai pendapat maupun menghunuskan tuduhan apriori yang individual-subjektif terhadap si penyampai pendapat, contohnya tulisan Maman itu. Bahkan, Maman juga membawa asumsi urusan perut dan popularitas untuk menanggapi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu.
Betapa rasa prihatin saya kian dalam terasa lantaran tulisan Maman itu penuh simpati mengapresiasi propaganda Taufiq dan mereduksi pendapat saya karena saya dianggapnya mualaf dan belia. Apakah karena Taufiq sudah tua membuat Maman gentar menghadapinya dan memilih ? Atau cari aman dengan mengapresiasi propaganda Taufiq itu penuh simpati? Ah, kura-kura kritikus dalam perahu.
Fakta membuktikan karya sastra mutakhir begitu banyak di depan mata dan menunggu apresiasi yang proporsional-signifikan dan mestinya kritikus menyambutnya tanpa cara pandang ruwet maupun tuduhan individual-subjektif. Fakta pun memberitahukannya melalui koran, sarasehan, dan forum pidato (kebudayaan) Akademi Jakarta, Taufiq mempropagandakan slogan GSM, SMS, dan FAK untuk menista karya dan mengubur apresiasi yang proporsional-signifikan.
Teranglah sudah, propaganda Taufiq (yang menurut Maman sebagai bentuk kepedulian atas nasib bangsa itu) telah mengajarkan teladan sempurna cara membumihanguskan apresiasi dan Maman begitu bagus meneladani melalui tulisannya itu.
* Binhad Nurrohmat, penyair.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/kura-kura-kritikus-dalam-perahu.html
11/08/11
Perempuan Menggoda Seni
Binhad Nurrohmat
http://www.sinarharapan.co.id/
Misalkan tak ada tubuh perempuan di dunia ini, nasib seni pasti tak seperti saat ini keadaannya. Citra molek dan sensualitas tubuh perempuan telah menyulut api ilham dan merangsang gagasan penciptaan karya seni di berbagai titik ruang dan masa. Banyak karya agung berupa patung dan lukisan berobjek tubuh perempuan sintal dan seksi, film dan musik legendaris menampilkan sosok cantik-menawan dan desahan lembut perempuan, dan sastra pun tak tahan menolak godaan citra dan tubuh perempuan yang kerap terasa begitu luhur dan magis itu.
Apa boleh buat, dalam budaya masyarakat yang laki-laki ini, aroma dan jejak sensualitas sudah kadung melekat dan dihegemoni oleh citra dan tubuh perempuan sejak berabad-abad silam. Perempuan telah menjadi mitos dan legenda hidup yang merajai imajinasi umat manusia sampai hari ini.
Figur perempuan semakin menyesaki layar televisi dan majalah. Tubuh, senyum, geraian rambut, dan raut wajah perempuan yang menggairahkan mejeng bertahun-tahun di papan-papan iklan seluas lapangan badminton yang berjajar di pinggir jalan-jalan besar. Boleh dipastikan, semua itu dilakukan juga demi alasan seni. Seni membuat kita dipaksa mengerti dan mafhum terhadap tindakan dan upaya reka-bentuk itu yang sebelumnya sulit diterima nalar maupun pandangan moral umum.
Seni semestinya berterima kasih kepada perempuan karena telah banyak berhutang kepada citra dan tubuh perempuan sebagaimana orok yang menetek kepadanya. Jika boleh mengiaskan dengan psikoanalisis Sigmund Freud, citra dan tubuh perempuan itu semacam libido yang banyak menentukan bentuk, pikiran, maupun tindakan seni. Atau, barangkali pandangan sosiologis, biologis, filosofis, maupun mitologis tentang perempuan sebagai sosok ibu yang terus-menerus menjaga kelestarian silsilah spesies manusia di muka bumi ini juga telah menjadi atau setidaknya memengaruhi alam pikiran bawah sadar kolektif dan mendasari dorongan penciptaan seni selama ini.
Barangkali juga latar penciptaan cerpen-cerpen Teguh Winarsho AS dalam kumpulan Tato Naga (2005) tak terhindarkan dari pengaruh citra dan tubuh perempuan itu. Teguh berjenis kelamin lelaki, maka biarkanlah jika dia berhasrat kepada perempuan, toh itu perbuatan normal belaka. Tapi jika memang ada kesejajaran atau kesamaan modus antara godaan biologis lelaki kepada tubuh perempuan dengan godaan artistik lelaki kepada tubuh perempuan, bagaimanakah cara mengukurnya?
Secara tekstual, dunia cerpen Teguh menghadirkan, memosisikan, dan menasibkan tubuh perempuan sedemikian rupa sehingga setidaknya dapat diukur secara biologis maupun sosiologis. Dunia cerpen Teguh tak menempatkan tubuh perempuan secara filosofis maupun mitologis. Tubuh perempuan hadir secara biologis dalam hubungan-hubungan sosial sehari-hari yang konkret, sederhana, maupun ruwet.
Tak ada pencanggihan untuk membangun karakter tertentu. Teramat realis dalam segenap kelembutan dan keseronokannya. Dunia cerpen Teguh mengumbar realisme-aksional dalam hubungan lelaki-perempuan maupun alam pikiran tokoh perempuan, yang masih bisa terasa lazim maupun malah sudah menyimpang secara seksual maupun sosial. Dunia cerpen Teguh berlatar lingkungan masyarakat udik yang terpinggirkan.
Cerpen “Menari Srinti” (2002) menggambarkan sikap lugu seorang perempuan yang menjadi langganan kencan gelap lurah di kampungnya sendiri. Ada ironi dalam urusan tata krama hubungan maupun sikap sosial masyarakat udik terpampang gamblang di sini. Gadis Srinti yang kedapatan bunting tiga bulan dan dia kikuk untuk mengabarkan kenyataan itu kepada lurah yang telah membuahinya supaya menanggung hasil perbuatannya itu.
Setelah tahu, lurah malah memaksa Srinti aborsi. Bukankah tugas adminitratif lurah mengayomi warganya, termasuk kesucian warga gadisnya? Inilah contoh watak dan nafsu kekuasaan yang mampu membungkam atau setidaknya menunda naluri keterusterangan dan keterbukaan objek yang berada di bawah kekuasaannya.
Dalam cerpen itu, perempuan merasa menjadi korban lelaki dan kekuasaan. Sebaliknya, dalam cerpen “Perempuan Suci” (2003), ada Maisesa, seorang pelacur yang bunting di luar nikah dan memiliki anak tanpa suami. Maisesa, yang merasa sebagai perempuan suci itu, tak merasa hancur harga dirinya. Dia malah bangga meski orang-orang di kampungnya habis-habisan menghina dia. Pelacur itu melahirkan anak haram bernama Gandring. Dia menolak tawaran orang yang mau membeli Gandring. Setelah Gandring bertumbuh menjadi lelaki tampan yang memikat banyak perempuan, Maisesa tak rela ada orang lain merebut tubuh maupun cinta Gandring. Dia bernafsu kepada anaknya itu. Maisesa ingin memiliki Gandring seutuhnya, dan bahkan menidurinya.
Maisesa merupakan simbol perempuan yang menanggalkan dan bahkan melawan penilaian dan label sosial yang konservatif terhadap perempuan. Dia subjek yang kuat dan menang, tak seperti Srinti. Paradoks tubuh perempuan tampil mencolok lewat dua tokoh perempuan itu.
Keduanya sama-sama dijadikan objek pemuas nafsu kaum lelaki. Srinti merasa dirugikan dan bahkan terancam eksistensinya sebagai perempuan dan manusia, tapi Maisesa justru sebaliknya. Maisesa berhasil menolak penilaian sosial terhadap tindakan dan tubuhnya baik secara sosial maupun moral konservatif yang konon dibentuk olah cara pandang lelaki itu.
Perempuan mampu menebarkan sikap dan tindakan yang meneror tata sosial udik dalam dunia cerpen Teguh. Perempuan bisa tampil macho dan bahkan urakan sebagaimana tindakan sewenang-wenang kaum lelaki terhadap perempuan. Tokoh Maisesa adalah sejenis subversi yang melakukan penyerangan dan bahkan penghancuran terang-terangan terhadap label-label sosial yang buruk dan sepihak yang kerap mendera dan ditempelkan kepada para perempuan semacam Maisesa. Maisesa adalah korban yang gagah dan sekaligus hero yang mengagumkan.
Dunia cerpen Teguh juga menggambarkan kecemasan perempuan yang juga merupakan kecemasan sebuah etnik asing di Indonesia, misal dalam cerpen “Tato Naga dan Inisial ‘SL’ ”. Kecemasan etnik itu dibangun secara sistematis dan politis oleh skandal kebijakan politik kekuasaan yang jahat dalam skala besar di negeri ini. Kecemasan itu bahkan menjadi sebuah mitos atau hantu sosial-politik yang mendarah-daging dan memiliki konsekuensi yang nyata dan fatal secara sosial maupun politik.
Tokoh perempuan dalam cerpen itu bernama Shin Ling. Dia menjalin hubungan cinta dengan seorang preman bernama Mudrika. Salah satu pekerjaan rutin Mudrika adalah memalak toko-toko Cina. Ini sebuah hubungan yang memiliki potensi skandal juga.
Maka keduanya sepakat menjalin hubungan cinta diam-diam. Sungguh runyam, urusan hubungan asmara juga bisa dihantui dan terancam oleh variabel politik sehingga hubungan itu harus dirahasiakan dari mata publik. Bahkan dalam surat Mudrika maupun tato di tubuhnya, nama Shin Ling ditulis dengan inisial “SL”.
Citra dan tubuh perempuan menjadi pusat cerita dalam dunia cerpen Teguh beserta segenap kompleksitasnya dan tampil dalam gambaran yang adil maupun timpang: perempuan bisa menentukan nasibnya sendiri sebagai objek atau subjek, sebagai pecundang atau pemenang, tak lebih dan tak kurang sebagaimana kemungkinan-kemungkinan nasib yang dimiliki lelaki juga.
Lelaki-perempuan memiliki potensi yang sama: sama-sama pintar saling menggoda demi tercapai tujuan masing-masing. Meski ada juga perempuan yang tak kuasa keluar dari kubang lumpur kekalahan sebagaimana nasib Srinti yang dikencani, dihamili, dan dipaksa aborsi oleh lurah.
Dan jika benar ada yang disebut politik rayuan (seduction), maka bisa jadi perempuan dalam dunia cerpen Teguh ada yang telah memiliki kesadaran untuk memberdayakan kekuatan kemolekan tubuhnya sendiri untuk merebut kembali kehadirannya, eksistensinya di hadapan kekuasaan lelaki. Dengan kemolekan tubuhnya, perempuan menebarkan strategi penaklukan dan merayu titik-titik lemah lelaki dan menaklukannya tanpa kekerasan.
Tubuh perempuan bukan lagi sebagaimana anggapan umum yang cenderung menempatkannya sebagai objek yang ditaklukkan dalam hubungan seks, yang digagahi dan bukan yang menggagahi. Politik rayuan itu akan memungkinkan untuk menempatkan eksistensi perempuan sebagai subjek, bukan tubuh yang dinikmati lelaki melainkan yang menikmati tubuh lelaki juga. Dunia cerpen Teguh seakan ingin membisikkan ucapan: Duhai lelaki, selamat tergoda perempuan, selamat berbahagia untuk kalian semua, dan waspadalah…!
*) Penulis adalah seorang penyair.
http://www.sinarharapan.co.id/
Misalkan tak ada tubuh perempuan di dunia ini, nasib seni pasti tak seperti saat ini keadaannya. Citra molek dan sensualitas tubuh perempuan telah menyulut api ilham dan merangsang gagasan penciptaan karya seni di berbagai titik ruang dan masa. Banyak karya agung berupa patung dan lukisan berobjek tubuh perempuan sintal dan seksi, film dan musik legendaris menampilkan sosok cantik-menawan dan desahan lembut perempuan, dan sastra pun tak tahan menolak godaan citra dan tubuh perempuan yang kerap terasa begitu luhur dan magis itu.
Apa boleh buat, dalam budaya masyarakat yang laki-laki ini, aroma dan jejak sensualitas sudah kadung melekat dan dihegemoni oleh citra dan tubuh perempuan sejak berabad-abad silam. Perempuan telah menjadi mitos dan legenda hidup yang merajai imajinasi umat manusia sampai hari ini.
Figur perempuan semakin menyesaki layar televisi dan majalah. Tubuh, senyum, geraian rambut, dan raut wajah perempuan yang menggairahkan mejeng bertahun-tahun di papan-papan iklan seluas lapangan badminton yang berjajar di pinggir jalan-jalan besar. Boleh dipastikan, semua itu dilakukan juga demi alasan seni. Seni membuat kita dipaksa mengerti dan mafhum terhadap tindakan dan upaya reka-bentuk itu yang sebelumnya sulit diterima nalar maupun pandangan moral umum.
Seni semestinya berterima kasih kepada perempuan karena telah banyak berhutang kepada citra dan tubuh perempuan sebagaimana orok yang menetek kepadanya. Jika boleh mengiaskan dengan psikoanalisis Sigmund Freud, citra dan tubuh perempuan itu semacam libido yang banyak menentukan bentuk, pikiran, maupun tindakan seni. Atau, barangkali pandangan sosiologis, biologis, filosofis, maupun mitologis tentang perempuan sebagai sosok ibu yang terus-menerus menjaga kelestarian silsilah spesies manusia di muka bumi ini juga telah menjadi atau setidaknya memengaruhi alam pikiran bawah sadar kolektif dan mendasari dorongan penciptaan seni selama ini.
Barangkali juga latar penciptaan cerpen-cerpen Teguh Winarsho AS dalam kumpulan Tato Naga (2005) tak terhindarkan dari pengaruh citra dan tubuh perempuan itu. Teguh berjenis kelamin lelaki, maka biarkanlah jika dia berhasrat kepada perempuan, toh itu perbuatan normal belaka. Tapi jika memang ada kesejajaran atau kesamaan modus antara godaan biologis lelaki kepada tubuh perempuan dengan godaan artistik lelaki kepada tubuh perempuan, bagaimanakah cara mengukurnya?
Secara tekstual, dunia cerpen Teguh menghadirkan, memosisikan, dan menasibkan tubuh perempuan sedemikian rupa sehingga setidaknya dapat diukur secara biologis maupun sosiologis. Dunia cerpen Teguh tak menempatkan tubuh perempuan secara filosofis maupun mitologis. Tubuh perempuan hadir secara biologis dalam hubungan-hubungan sosial sehari-hari yang konkret, sederhana, maupun ruwet.
Tak ada pencanggihan untuk membangun karakter tertentu. Teramat realis dalam segenap kelembutan dan keseronokannya. Dunia cerpen Teguh mengumbar realisme-aksional dalam hubungan lelaki-perempuan maupun alam pikiran tokoh perempuan, yang masih bisa terasa lazim maupun malah sudah menyimpang secara seksual maupun sosial. Dunia cerpen Teguh berlatar lingkungan masyarakat udik yang terpinggirkan.
Cerpen “Menari Srinti” (2002) menggambarkan sikap lugu seorang perempuan yang menjadi langganan kencan gelap lurah di kampungnya sendiri. Ada ironi dalam urusan tata krama hubungan maupun sikap sosial masyarakat udik terpampang gamblang di sini. Gadis Srinti yang kedapatan bunting tiga bulan dan dia kikuk untuk mengabarkan kenyataan itu kepada lurah yang telah membuahinya supaya menanggung hasil perbuatannya itu.
Setelah tahu, lurah malah memaksa Srinti aborsi. Bukankah tugas adminitratif lurah mengayomi warganya, termasuk kesucian warga gadisnya? Inilah contoh watak dan nafsu kekuasaan yang mampu membungkam atau setidaknya menunda naluri keterusterangan dan keterbukaan objek yang berada di bawah kekuasaannya.
Dalam cerpen itu, perempuan merasa menjadi korban lelaki dan kekuasaan. Sebaliknya, dalam cerpen “Perempuan Suci” (2003), ada Maisesa, seorang pelacur yang bunting di luar nikah dan memiliki anak tanpa suami. Maisesa, yang merasa sebagai perempuan suci itu, tak merasa hancur harga dirinya. Dia malah bangga meski orang-orang di kampungnya habis-habisan menghina dia. Pelacur itu melahirkan anak haram bernama Gandring. Dia menolak tawaran orang yang mau membeli Gandring. Setelah Gandring bertumbuh menjadi lelaki tampan yang memikat banyak perempuan, Maisesa tak rela ada orang lain merebut tubuh maupun cinta Gandring. Dia bernafsu kepada anaknya itu. Maisesa ingin memiliki Gandring seutuhnya, dan bahkan menidurinya.
Maisesa merupakan simbol perempuan yang menanggalkan dan bahkan melawan penilaian dan label sosial yang konservatif terhadap perempuan. Dia subjek yang kuat dan menang, tak seperti Srinti. Paradoks tubuh perempuan tampil mencolok lewat dua tokoh perempuan itu.
Keduanya sama-sama dijadikan objek pemuas nafsu kaum lelaki. Srinti merasa dirugikan dan bahkan terancam eksistensinya sebagai perempuan dan manusia, tapi Maisesa justru sebaliknya. Maisesa berhasil menolak penilaian sosial terhadap tindakan dan tubuhnya baik secara sosial maupun moral konservatif yang konon dibentuk olah cara pandang lelaki itu.
Perempuan mampu menebarkan sikap dan tindakan yang meneror tata sosial udik dalam dunia cerpen Teguh. Perempuan bisa tampil macho dan bahkan urakan sebagaimana tindakan sewenang-wenang kaum lelaki terhadap perempuan. Tokoh Maisesa adalah sejenis subversi yang melakukan penyerangan dan bahkan penghancuran terang-terangan terhadap label-label sosial yang buruk dan sepihak yang kerap mendera dan ditempelkan kepada para perempuan semacam Maisesa. Maisesa adalah korban yang gagah dan sekaligus hero yang mengagumkan.
Dunia cerpen Teguh juga menggambarkan kecemasan perempuan yang juga merupakan kecemasan sebuah etnik asing di Indonesia, misal dalam cerpen “Tato Naga dan Inisial ‘SL’ ”. Kecemasan etnik itu dibangun secara sistematis dan politis oleh skandal kebijakan politik kekuasaan yang jahat dalam skala besar di negeri ini. Kecemasan itu bahkan menjadi sebuah mitos atau hantu sosial-politik yang mendarah-daging dan memiliki konsekuensi yang nyata dan fatal secara sosial maupun politik.
Tokoh perempuan dalam cerpen itu bernama Shin Ling. Dia menjalin hubungan cinta dengan seorang preman bernama Mudrika. Salah satu pekerjaan rutin Mudrika adalah memalak toko-toko Cina. Ini sebuah hubungan yang memiliki potensi skandal juga.
Maka keduanya sepakat menjalin hubungan cinta diam-diam. Sungguh runyam, urusan hubungan asmara juga bisa dihantui dan terancam oleh variabel politik sehingga hubungan itu harus dirahasiakan dari mata publik. Bahkan dalam surat Mudrika maupun tato di tubuhnya, nama Shin Ling ditulis dengan inisial “SL”.
Citra dan tubuh perempuan menjadi pusat cerita dalam dunia cerpen Teguh beserta segenap kompleksitasnya dan tampil dalam gambaran yang adil maupun timpang: perempuan bisa menentukan nasibnya sendiri sebagai objek atau subjek, sebagai pecundang atau pemenang, tak lebih dan tak kurang sebagaimana kemungkinan-kemungkinan nasib yang dimiliki lelaki juga.
Lelaki-perempuan memiliki potensi yang sama: sama-sama pintar saling menggoda demi tercapai tujuan masing-masing. Meski ada juga perempuan yang tak kuasa keluar dari kubang lumpur kekalahan sebagaimana nasib Srinti yang dikencani, dihamili, dan dipaksa aborsi oleh lurah.
Dan jika benar ada yang disebut politik rayuan (seduction), maka bisa jadi perempuan dalam dunia cerpen Teguh ada yang telah memiliki kesadaran untuk memberdayakan kekuatan kemolekan tubuhnya sendiri untuk merebut kembali kehadirannya, eksistensinya di hadapan kekuasaan lelaki. Dengan kemolekan tubuhnya, perempuan menebarkan strategi penaklukan dan merayu titik-titik lemah lelaki dan menaklukannya tanpa kekerasan.
Tubuh perempuan bukan lagi sebagaimana anggapan umum yang cenderung menempatkannya sebagai objek yang ditaklukkan dalam hubungan seks, yang digagahi dan bukan yang menggagahi. Politik rayuan itu akan memungkinkan untuk menempatkan eksistensi perempuan sebagai subjek, bukan tubuh yang dinikmati lelaki melainkan yang menikmati tubuh lelaki juga. Dunia cerpen Teguh seakan ingin membisikkan ucapan: Duhai lelaki, selamat tergoda perempuan, selamat berbahagia untuk kalian semua, dan waspadalah…!
*) Penulis adalah seorang penyair.
16/09/10
Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang?
Binhad Nurrohmat
http://cetak.kompas.com/
Ada ungkapan dalam khazanah tradisi Jawa: sugih tanpa banda (kaya tanpa harta). Rasa ungkapan itu ”non-materialistik” dan kontradiktif sebab makna umum ”kaya” identik dengan ”harta”. Ungkapan bervisi etika itu bagi common-sense modern bisa dianggap cuma pelipur kemelaratan atau dalih ”romantisme kemiskinan”. Dalam konteks sejenis, ada ungkapan lain dalam khazanah tradisi kita yang dianggap ”realistik” bagi nalar modern lantaran bervisi pragmatis: kalau ada uang di pinggang, dunia sempit menjadi lapang.
Aristoteles dalam La Politica menilai, sejak ditemukan uang, manusia mengenal perniagaan eceran (ritel). Sebelumnya manusia memenuhi kebutuhan hidup melalui tukar-menukar barang (barter).
Ihwal uang semula sederhana dan menjadi rumit setelah manusia belajar kapan dan dengan apa pertukaran dengan uang dilakukan bisa meraup laba. Akibatnya, uang dianggap paling penting untuk meraih kekayaan. Sejak itu pula bersemi ”nafsu” mengakumulasi. Dalam pandangan etika Aristoteles: mencari kekayaan tak terbatas, tetapi punya batas.
Karl Marx dan Georg Simmel (keduanya hidup jauh setelah masa Aristoteles) merenungi ihwal uang juga. ”Uang adalah dewa,” kata Marx. Lewat uang, spiritualitas dan kultur digusur materialistik ekonomi dan politik. Bagi Simmel, uang adalah biang penyebar kuasa-modernitas.
Kesusastraan Indonesia juga sudah mengendus efek ”kuasa-uang”, contohnya petikan novel Telegram (1972) Putu Wijaya ini: ”Terhadap hal-hal yang pernah mereka terima sebagai sesuatu yang tidak perlu diperbincangkan, kini diusahakan agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ekonomi” (…) ”Satu hari penuh aku membungkuk di belakang mesin ketik. Masih ada sisa sore sedikit tatkala aku menancapkan kalimat-kalimat terakhir. Sementara itu, tengah hari, waktu makan aku telah membicarakan pada Direksi soal libur dan pinjaman uang. Untung saja ia seorang yang bisa memaklumi. Inilah yang membuat tanganku cepat sekali menyelesaikan karangan itu.”
Contoh lain, nukilan novel Pasar (1995) Kuntowijoyo ini:
”Wah, sekarang lain,” tegur penjual nasi gulai.
Paijo mengamati bajunya. ”Apa yang lain?”
”Bajunya baru. Dan tak mau jajan lagi.”
Ya. Paijo pernah bertengkar dengan penjual itu. Mereka mau rujuk kembali nampaknya.
”Wah, punya pasar luas, tetapi tak ada uang,” katanya.
”Karcis sudah lama tak ditarik?”
”Habis!”
”Salahmu sendiri? Malas!”
”Sekarang mana uang karcis!”
Paijo main-main saja, tetapi penjual nasi itu mengeluarkan uang. Paijo menerima uang itu. Dan buru-buru pergi ke kantor pasar.
Masih ada contoh lain efek ”kuasa-uang” dalam kesusastraan Indonesia, sebut saja novel Belenggu (1940) Armijn Pane dan novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) Ahmad Tohari. Keduanya ikut merefleksikan manusia modern yang terkena efek ”kuasa-uang” melalui tokoh Yah yang menjadi perempuan panggilan dalam Belenggu dan tokoh Srintil yang menjadi ronggeng dalam Ronggeng Dukuh Paruk.
Resepsi
Gundah gulana Bandung Mawardi dalam tulisannya di koran ini, ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Minggu, 7 Maret 2010) merangsang pemaparan-pemaparan saya di atas. Ia menilai penting tema uang dalam kesusastraan.
Harapan Bandung: ”Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra” dan ”penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern”.
Rada prihatin pula Bandung menuliskan: ”Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia” dan ia mencontohkan novel-novel non-Indonesia bertema uang seperti The House of Mirth (1905) Edith Wharton dan The Great Gatsby karya F Scott Fitzgerald.
”Kuasa-uang” tak bisa dielak meski filsuf dan ilmuwan mewanti-wanti dan mengkritik habis-habisan. Di zaman ini, tanpa uang potensial menerima risiko isi pepatah ini: ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang.
Maka ”moralitas uang” menjadi penting. Keserakahan modernitas menjadikan uang sebagai senjata dan tujuan. Ini berarti kesusastraan yang merefleksikan moralitas uang merupakan kritik telak ke jantung modernitas.
Tak mempankah money politics, money laundering, korupsi, dan suap diteriaki oleh media massa, pamflet, jargon, slogan, poster, dan aksi massa? Belum kuatkah suara ilmu dan filsafat mendengungkan ancaman ”kuasa-uang” bagi kemanusiaan modern sehingga kesusastraan mesti turun tangan? Ilmu dan filsafat menyalakan ”kesadaran pikiran” dalam mengungkai perkara dan kesusastraan punya cara sendiri untuk menggaungkannya, misal lewat strategi literer yang menyentuh ”kesadaran batin”.
Ihwal ”kuasa-uang”, pada 1842 terbit cerpen panjang Nikolai Gogol, Shinel. Alkisah, Akaki Akakiewitsch pegawai kecil yang miskin. Ia kerap dihina karena mantelnya rombeng. Ia tak bisa segera membeli mantel baru. Setelah lama menabung, ia bisa membeli mantel baru tetapi dirampas bandit jalanan saat musim dingin. Aparat malas mengurus kasusnya. Ia mati terserang demam sebab kedinginan. Hantu Akakiewitsch gentayangan merampasi mantel (shinel) para pegawai dan siapa saja.
Shinel memendarkan kompleksitas dan absurditas efek ”kuasa-uang” dengan mengaduk rasionalitas dan irasionalitas. Akakiewitsch berjuang menabung receh demi receh untuk sehelai mantel yang lantas dirampas bandit dan setelah mati ia membalas dendam.
Apakah Gogol menakuti modernitas atau meneror ”kuasa uang” lewat hantu Akakiewitsch? Ia mahir mendeskripsikan efek ”kuasa-uang” melalui dialog, pengisahan, dan penokohan. Tanpa propaganda. Ia bercerita secara bagus dan mencerminkan pemahaman mendalam pada manusia modern dan masalah hidupnya.
Gogol tak memperalat Akakiewitsch. Akakiewitsch adalah contoh korban modernitas yang menjadikan uang sebagai ukuran dan tujuan tertinggi sehingga mengikis nilai kemanusiaan. Banyak ”Akakiewitsch lain” atau hantu-hantunya yang mengantre disastrakan, bukan?
Binhad Nurrohmat Penyair dan Sivitas Akademika Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
http://cetak.kompas.com/
Ada ungkapan dalam khazanah tradisi Jawa: sugih tanpa banda (kaya tanpa harta). Rasa ungkapan itu ”non-materialistik” dan kontradiktif sebab makna umum ”kaya” identik dengan ”harta”. Ungkapan bervisi etika itu bagi common-sense modern bisa dianggap cuma pelipur kemelaratan atau dalih ”romantisme kemiskinan”. Dalam konteks sejenis, ada ungkapan lain dalam khazanah tradisi kita yang dianggap ”realistik” bagi nalar modern lantaran bervisi pragmatis: kalau ada uang di pinggang, dunia sempit menjadi lapang.
Aristoteles dalam La Politica menilai, sejak ditemukan uang, manusia mengenal perniagaan eceran (ritel). Sebelumnya manusia memenuhi kebutuhan hidup melalui tukar-menukar barang (barter).
Ihwal uang semula sederhana dan menjadi rumit setelah manusia belajar kapan dan dengan apa pertukaran dengan uang dilakukan bisa meraup laba. Akibatnya, uang dianggap paling penting untuk meraih kekayaan. Sejak itu pula bersemi ”nafsu” mengakumulasi. Dalam pandangan etika Aristoteles: mencari kekayaan tak terbatas, tetapi punya batas.
Karl Marx dan Georg Simmel (keduanya hidup jauh setelah masa Aristoteles) merenungi ihwal uang juga. ”Uang adalah dewa,” kata Marx. Lewat uang, spiritualitas dan kultur digusur materialistik ekonomi dan politik. Bagi Simmel, uang adalah biang penyebar kuasa-modernitas.
Kesusastraan Indonesia juga sudah mengendus efek ”kuasa-uang”, contohnya petikan novel Telegram (1972) Putu Wijaya ini: ”Terhadap hal-hal yang pernah mereka terima sebagai sesuatu yang tidak perlu diperbincangkan, kini diusahakan agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ekonomi” (…) ”Satu hari penuh aku membungkuk di belakang mesin ketik. Masih ada sisa sore sedikit tatkala aku menancapkan kalimat-kalimat terakhir. Sementara itu, tengah hari, waktu makan aku telah membicarakan pada Direksi soal libur dan pinjaman uang. Untung saja ia seorang yang bisa memaklumi. Inilah yang membuat tanganku cepat sekali menyelesaikan karangan itu.”
Contoh lain, nukilan novel Pasar (1995) Kuntowijoyo ini:
”Wah, sekarang lain,” tegur penjual nasi gulai.
Paijo mengamati bajunya. ”Apa yang lain?”
”Bajunya baru. Dan tak mau jajan lagi.”
Ya. Paijo pernah bertengkar dengan penjual itu. Mereka mau rujuk kembali nampaknya.
”Wah, punya pasar luas, tetapi tak ada uang,” katanya.
”Karcis sudah lama tak ditarik?”
”Habis!”
”Salahmu sendiri? Malas!”
”Sekarang mana uang karcis!”
Paijo main-main saja, tetapi penjual nasi itu mengeluarkan uang. Paijo menerima uang itu. Dan buru-buru pergi ke kantor pasar.
Masih ada contoh lain efek ”kuasa-uang” dalam kesusastraan Indonesia, sebut saja novel Belenggu (1940) Armijn Pane dan novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) Ahmad Tohari. Keduanya ikut merefleksikan manusia modern yang terkena efek ”kuasa-uang” melalui tokoh Yah yang menjadi perempuan panggilan dalam Belenggu dan tokoh Srintil yang menjadi ronggeng dalam Ronggeng Dukuh Paruk.
Resepsi
Gundah gulana Bandung Mawardi dalam tulisannya di koran ini, ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Minggu, 7 Maret 2010) merangsang pemaparan-pemaparan saya di atas. Ia menilai penting tema uang dalam kesusastraan.
Harapan Bandung: ”Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra” dan ”penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern”.
Rada prihatin pula Bandung menuliskan: ”Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia” dan ia mencontohkan novel-novel non-Indonesia bertema uang seperti The House of Mirth (1905) Edith Wharton dan The Great Gatsby karya F Scott Fitzgerald.
”Kuasa-uang” tak bisa dielak meski filsuf dan ilmuwan mewanti-wanti dan mengkritik habis-habisan. Di zaman ini, tanpa uang potensial menerima risiko isi pepatah ini: ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang.
Maka ”moralitas uang” menjadi penting. Keserakahan modernitas menjadikan uang sebagai senjata dan tujuan. Ini berarti kesusastraan yang merefleksikan moralitas uang merupakan kritik telak ke jantung modernitas.
Tak mempankah money politics, money laundering, korupsi, dan suap diteriaki oleh media massa, pamflet, jargon, slogan, poster, dan aksi massa? Belum kuatkah suara ilmu dan filsafat mendengungkan ancaman ”kuasa-uang” bagi kemanusiaan modern sehingga kesusastraan mesti turun tangan? Ilmu dan filsafat menyalakan ”kesadaran pikiran” dalam mengungkai perkara dan kesusastraan punya cara sendiri untuk menggaungkannya, misal lewat strategi literer yang menyentuh ”kesadaran batin”.
Ihwal ”kuasa-uang”, pada 1842 terbit cerpen panjang Nikolai Gogol, Shinel. Alkisah, Akaki Akakiewitsch pegawai kecil yang miskin. Ia kerap dihina karena mantelnya rombeng. Ia tak bisa segera membeli mantel baru. Setelah lama menabung, ia bisa membeli mantel baru tetapi dirampas bandit jalanan saat musim dingin. Aparat malas mengurus kasusnya. Ia mati terserang demam sebab kedinginan. Hantu Akakiewitsch gentayangan merampasi mantel (shinel) para pegawai dan siapa saja.
Shinel memendarkan kompleksitas dan absurditas efek ”kuasa-uang” dengan mengaduk rasionalitas dan irasionalitas. Akakiewitsch berjuang menabung receh demi receh untuk sehelai mantel yang lantas dirampas bandit dan setelah mati ia membalas dendam.
Apakah Gogol menakuti modernitas atau meneror ”kuasa uang” lewat hantu Akakiewitsch? Ia mahir mendeskripsikan efek ”kuasa-uang” melalui dialog, pengisahan, dan penokohan. Tanpa propaganda. Ia bercerita secara bagus dan mencerminkan pemahaman mendalam pada manusia modern dan masalah hidupnya.
Gogol tak memperalat Akakiewitsch. Akakiewitsch adalah contoh korban modernitas yang menjadikan uang sebagai ukuran dan tujuan tertinggi sehingga mengikis nilai kemanusiaan. Banyak ”Akakiewitsch lain” atau hantu-hantunya yang mengantre disastrakan, bukan?
Binhad Nurrohmat Penyair dan Sivitas Akademika Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
09/02/09
Mengaranglah Sampai ke Amerika
Binhad Nurrohmat
http://www.pikiran-rakyat.com/
Pada sejumlah pengarang kita mengarang karya ketika berada di negeri lain serta terilhami kenyataan manusia dan kebudayaannya, misalnya Rendra (Blues untuk Bonnie, 1971), Umar Kayam (Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, 1972), dan Budi Darma (Olenka, 1983).
Para pengarang dan karyanya yang berjelajah lintas-budaya ini merupakan sebagian jejak prestasi "kosmopolitan" kesusastraan kita. Para pengarang ini mengarang karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaan di negeri sendiri maupun negeri lain, yaitu Amerika, dengan mutu literer dan kadar kepekaan persoalan yang mengagumkan.
Pengarang yang mengarang karya di negeri lain serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya agaknya masih menjadi sejenis romantisme dan dianggap bakat istimewa yang tak dipunyai oleh semua pengarang. Puisi Rendra, cerpen Umar Kayam, dan novel Budi Darma itu menangkap, menyelami, dan menyerap kenyataan manusia dan kebudayaan di negeri yang "baru" mereka kenal. Banyak pengarang kita kerap mondar-mandir ke berbagai negeri, tapi masih amat langka karya sastra kita yang menjadikan kenyataan kebudayaan dan manusia di negeri lain itu sebagai sumber penciptaannya.
Tempat baru, apalagi di negeri asing, bisa memberi pengalaman baru yang ekstrem, mengesankan, atau memukau. Alasannya, musim, tradisi, cuaca, watak manusia, peristiwa, dan pernik-pernik kebudayaan di Amerika atau Eropa, misalnya, berbeda dengan musim, tradisi, cuaca, watak manusia, peristiwa, dan pernik kebudayaan di Indonesia. Perbedaan-perbedaan ini bukan tak memengaruhi kecenderungan bentuk maupun batin karya sastra. Pengalaman, sebagaimana juga pengetahuan, punya peran besar dan penting dalam membentuk kecenderungan atau memberi corak mental maupun cara pandang pengarang.
Pengalaman merupakan pengetahuan dan kekayaan rohani yang bisa menjadi sumber penciptaan, tapi tak semua pengarang mampu menjadikannya sebagai sumber penciptaan. Ada sejumlah pengarang kita yang tinggal atau berkelintaran di negeri lain melulu mengarang karya tentang negerinya sendiri, misalnya pengarang eksil kita di negeri-negeri Eropa Barat, Tiongkok, dan Uni Sovyet. Akan tetapi, ada juga pengarang kita yang bertualang ke berbagai negeri mampu mengarang karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya maupun tentang kenyataan manusia dan kebudayaan di kampung halamannya sendiri, misalnya Sitor Situmorang.
Sudah lazim, pengarang menggarap karya tentang urusan yang dekat dan diakrabinya. Kedekatan dan keakrabanlah yang potensial memantik naluri kepengarangan; dan pengalaman di negeri lain cenderung menjadi urusan yang asing dan tak menggerakkan naluri atau daya kepengarangan, seperti yang digambarkan puisi Sitor Situmorang, "Dua kota satu kekosongan/Dua alamat satu kehilangan/Antara nyiur dan salju/ Merentang ketakpedulian tuju".
Barangkali, tingkat kepekaan dan wawasan kebudayaan dunia yang membuat pengarang mampu atau gagap mengarang karya di negeri asing serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya.
Dunia ulang-alik
Linus Suryadi A.G. mengarang Pengakuan Pariyem (1981) di kampung halamannya (Yogyakarta) dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya, Ahmad Tohari mengarang Ronggeng Dukuh Paruk (1982) di kampung halamannya (Cilacap) dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya, dan D. Zawawi Imron mengarang Madura Akulah Darahmu (1999) di kampung halamannya (Madura) serta diilhami oleh suasana alam dan manusianya. Para pengarang ini kerasan di kampung halamannya dan mengeksplorasi kebudayaan lokalnya. Demikian pun Sandiwara Hang Tuah (1996) karya Taufik Ikram Jamil (Riau), Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini (Bali), Perempuan Pala (2004) karya Azhari (Aceh), dan Perantau (2007) karya Gus tf Sakai (Payakumbuh).
Sementara Rendra (lahir di Solo), Umar Kayam (lahir di Ngawi), dan Budi Darma (lahir di Rembang) mengarang karya sastra di Amerika dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya; Sitor Situmorang (lahir di Harianboho, Sumatra Utara) mengarang puisi di Prancis serta tentang pengalamannya di negeri itu, dan Acep Zamzam Noor (lahir di Tasikmalaya) mengarang puisi di Italia serta tentang pengalamannya di negeri itu (puisi "periode Italia" penyair ini dianggap sebagai karya terkuatnya).
Semua itu merupakan bukti kepekaan karya pengarang kita dalam jelajah lintas-budaya dan mengeksplorasi kebudayaan lokal--tanpa pemujaan atau glorifikasi pada kebudayaan di negeri lain maupun kebudayaan di kampung halaman sendiri. Mereka membumi karena mengarang karya berdasarkan sumber penciptaan yang mereka alami, kuasai, atau miliki. "Membumi" tak mesti berarti terikat hanya dengan kenyataan manusia dan kebudayaan di kampung halaman sendiri, melainkan sejenis "daya" membangun keakraban dan kepekaan pada kenyataan manusia dan kebudayaan di mana pun.
Pengelanaan pengarang kita ke negeri lain itu telah menghasilkan karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya yang memperkaya jelajah lintas budaya khazanah kesusastraan kita; dan eksplorasi kebudayaan lokal pengarang kita itu menyumbangkan karya "kampung halaman" yang berharga bagi khazanah kesusastraan kita. Pengelanaan dan eksplorasi semacam ini berpengaruh secara signifikan terhadap kekayaan pengalaman kebudayaan maupun kebahasaan pengarang dan karyanya.
Namun, pengarang yang mengarang karya di negeri lain serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya tak niscaya membuat karyanya "mendunia"; dan pengarang yang mengarang di kampung halaman sendiri serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya tak mustahil menghasilkan karya berharga bagi dunia.
Selain faktor estetikanya, karya sastra menjadi berharga karena mampu menawarkan kedalaman atau keunikan perspektif terhadap manusia dan kebudayaannya.
Keluasan jelajah dan kedalaman eksplorasi sumber penciptaan karya makin tak terelak menuntut pengarang mana pun, termasuk kejembaran wawasan dan inovasi estetikanya. Jelajah di sini tak sebatas keluasjauhan rambahan fisikal belaka, tapi juga kedalaman batiniahnya. Begitulah, kesusastraan makin menuntut kematangan pribadi pengarang, kedalaman dan kejembaran pengetahuan, dan pengalamannya terhadap beragam kenyataan manusia dan kebudayaannya.
Dunia tak bisa mengelak dari perubahan "konsep" ruang-waktu lantaran perkembangan sains dan teknologi abad mutakhir yang "melipat" ruang-waktu dan perubahan ini memengaruhi kecenderungan kesusastraan di belahan bumi mana pun karena dunialah sumber penciptaan karya sastra. Dalam dunia semacam ini, akar budaya pengarang mesti bisa rileks, luwes, dan melar ke sana-sini menghadapi beragam manusia dan kebudayaan.
Akar atau identitas kebudayaan serupa "terminal" yang menjadi titik awal berangkat menuju dan mengenal beragam manusia dan kebudayaannya serta sekaligus menjadi tempat pengarang pulang. Inilah dunia ulang-alik (commute) manusia dan kebudayaan yang terselenggara lantaran teknologi transportasi dan komunikasi yang mampu membuat "migrasi" atau pertukaran informasi dan kebudayaan berlangsung tanpa batas dan setiap saat. Bukankah dunia ulang-alik sudah menjadi klise abad mutakhir? Pagi menyantap nasi gudeg dan siangnya mengunyah pizza tanpa rasa gegar budaya, hari ini berada di Salatiga dan besok hari duduk-duduk di sebuah taman di New York sesantai berganti telefon genggam atau kaus kaki.
Sama sekali bukanlah kemulukan atau kutukan bahwa tempurung dunia yang sudah terbuka membuat tata dunia menyejagat dan kompleks sehingga menuntut manusia menyelenggarakan pola pergaulan dan cara pandang serta membentuk visi tentang diri dan dunianya yang berbeda dengan masa sebelumnya, dan menepis kenyataan ini serupa menampik musim atau deru angin....***
http://www.pikiran-rakyat.com/
Pada sejumlah pengarang kita mengarang karya ketika berada di negeri lain serta terilhami kenyataan manusia dan kebudayaannya, misalnya Rendra (Blues untuk Bonnie, 1971), Umar Kayam (Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, 1972), dan Budi Darma (Olenka, 1983).
Para pengarang dan karyanya yang berjelajah lintas-budaya ini merupakan sebagian jejak prestasi "kosmopolitan" kesusastraan kita. Para pengarang ini mengarang karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaan di negeri sendiri maupun negeri lain, yaitu Amerika, dengan mutu literer dan kadar kepekaan persoalan yang mengagumkan.
Pengarang yang mengarang karya di negeri lain serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya agaknya masih menjadi sejenis romantisme dan dianggap bakat istimewa yang tak dipunyai oleh semua pengarang. Puisi Rendra, cerpen Umar Kayam, dan novel Budi Darma itu menangkap, menyelami, dan menyerap kenyataan manusia dan kebudayaan di negeri yang "baru" mereka kenal. Banyak pengarang kita kerap mondar-mandir ke berbagai negeri, tapi masih amat langka karya sastra kita yang menjadikan kenyataan kebudayaan dan manusia di negeri lain itu sebagai sumber penciptaannya.
Tempat baru, apalagi di negeri asing, bisa memberi pengalaman baru yang ekstrem, mengesankan, atau memukau. Alasannya, musim, tradisi, cuaca, watak manusia, peristiwa, dan pernik-pernik kebudayaan di Amerika atau Eropa, misalnya, berbeda dengan musim, tradisi, cuaca, watak manusia, peristiwa, dan pernik kebudayaan di Indonesia. Perbedaan-perbedaan ini bukan tak memengaruhi kecenderungan bentuk maupun batin karya sastra. Pengalaman, sebagaimana juga pengetahuan, punya peran besar dan penting dalam membentuk kecenderungan atau memberi corak mental maupun cara pandang pengarang.
Pengalaman merupakan pengetahuan dan kekayaan rohani yang bisa menjadi sumber penciptaan, tapi tak semua pengarang mampu menjadikannya sebagai sumber penciptaan. Ada sejumlah pengarang kita yang tinggal atau berkelintaran di negeri lain melulu mengarang karya tentang negerinya sendiri, misalnya pengarang eksil kita di negeri-negeri Eropa Barat, Tiongkok, dan Uni Sovyet. Akan tetapi, ada juga pengarang kita yang bertualang ke berbagai negeri mampu mengarang karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya maupun tentang kenyataan manusia dan kebudayaan di kampung halamannya sendiri, misalnya Sitor Situmorang.
Sudah lazim, pengarang menggarap karya tentang urusan yang dekat dan diakrabinya. Kedekatan dan keakrabanlah yang potensial memantik naluri kepengarangan; dan pengalaman di negeri lain cenderung menjadi urusan yang asing dan tak menggerakkan naluri atau daya kepengarangan, seperti yang digambarkan puisi Sitor Situmorang, "Dua kota satu kekosongan/Dua alamat satu kehilangan/Antara nyiur dan salju/ Merentang ketakpedulian tuju".
Barangkali, tingkat kepekaan dan wawasan kebudayaan dunia yang membuat pengarang mampu atau gagap mengarang karya di negeri asing serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya.
Dunia ulang-alik
Linus Suryadi A.G. mengarang Pengakuan Pariyem (1981) di kampung halamannya (Yogyakarta) dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya, Ahmad Tohari mengarang Ronggeng Dukuh Paruk (1982) di kampung halamannya (Cilacap) dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya, dan D. Zawawi Imron mengarang Madura Akulah Darahmu (1999) di kampung halamannya (Madura) serta diilhami oleh suasana alam dan manusianya. Para pengarang ini kerasan di kampung halamannya dan mengeksplorasi kebudayaan lokalnya. Demikian pun Sandiwara Hang Tuah (1996) karya Taufik Ikram Jamil (Riau), Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini (Bali), Perempuan Pala (2004) karya Azhari (Aceh), dan Perantau (2007) karya Gus tf Sakai (Payakumbuh).
Sementara Rendra (lahir di Solo), Umar Kayam (lahir di Ngawi), dan Budi Darma (lahir di Rembang) mengarang karya sastra di Amerika dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya; Sitor Situmorang (lahir di Harianboho, Sumatra Utara) mengarang puisi di Prancis serta tentang pengalamannya di negeri itu, dan Acep Zamzam Noor (lahir di Tasikmalaya) mengarang puisi di Italia serta tentang pengalamannya di negeri itu (puisi "periode Italia" penyair ini dianggap sebagai karya terkuatnya).
Semua itu merupakan bukti kepekaan karya pengarang kita dalam jelajah lintas-budaya dan mengeksplorasi kebudayaan lokal--tanpa pemujaan atau glorifikasi pada kebudayaan di negeri lain maupun kebudayaan di kampung halaman sendiri. Mereka membumi karena mengarang karya berdasarkan sumber penciptaan yang mereka alami, kuasai, atau miliki. "Membumi" tak mesti berarti terikat hanya dengan kenyataan manusia dan kebudayaan di kampung halaman sendiri, melainkan sejenis "daya" membangun keakraban dan kepekaan pada kenyataan manusia dan kebudayaan di mana pun.
Pengelanaan pengarang kita ke negeri lain itu telah menghasilkan karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya yang memperkaya jelajah lintas budaya khazanah kesusastraan kita; dan eksplorasi kebudayaan lokal pengarang kita itu menyumbangkan karya "kampung halaman" yang berharga bagi khazanah kesusastraan kita. Pengelanaan dan eksplorasi semacam ini berpengaruh secara signifikan terhadap kekayaan pengalaman kebudayaan maupun kebahasaan pengarang dan karyanya.
Namun, pengarang yang mengarang karya di negeri lain serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya tak niscaya membuat karyanya "mendunia"; dan pengarang yang mengarang di kampung halaman sendiri serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya tak mustahil menghasilkan karya berharga bagi dunia.
Selain faktor estetikanya, karya sastra menjadi berharga karena mampu menawarkan kedalaman atau keunikan perspektif terhadap manusia dan kebudayaannya.
Keluasan jelajah dan kedalaman eksplorasi sumber penciptaan karya makin tak terelak menuntut pengarang mana pun, termasuk kejembaran wawasan dan inovasi estetikanya. Jelajah di sini tak sebatas keluasjauhan rambahan fisikal belaka, tapi juga kedalaman batiniahnya. Begitulah, kesusastraan makin menuntut kematangan pribadi pengarang, kedalaman dan kejembaran pengetahuan, dan pengalamannya terhadap beragam kenyataan manusia dan kebudayaannya.
Dunia tak bisa mengelak dari perubahan "konsep" ruang-waktu lantaran perkembangan sains dan teknologi abad mutakhir yang "melipat" ruang-waktu dan perubahan ini memengaruhi kecenderungan kesusastraan di belahan bumi mana pun karena dunialah sumber penciptaan karya sastra. Dalam dunia semacam ini, akar budaya pengarang mesti bisa rileks, luwes, dan melar ke sana-sini menghadapi beragam manusia dan kebudayaan.
Akar atau identitas kebudayaan serupa "terminal" yang menjadi titik awal berangkat menuju dan mengenal beragam manusia dan kebudayaannya serta sekaligus menjadi tempat pengarang pulang. Inilah dunia ulang-alik (commute) manusia dan kebudayaan yang terselenggara lantaran teknologi transportasi dan komunikasi yang mampu membuat "migrasi" atau pertukaran informasi dan kebudayaan berlangsung tanpa batas dan setiap saat. Bukankah dunia ulang-alik sudah menjadi klise abad mutakhir? Pagi menyantap nasi gudeg dan siangnya mengunyah pizza tanpa rasa gegar budaya, hari ini berada di Salatiga dan besok hari duduk-duduk di sebuah taman di New York sesantai berganti telefon genggam atau kaus kaki.
Sama sekali bukanlah kemulukan atau kutukan bahwa tempurung dunia yang sudah terbuka membuat tata dunia menyejagat dan kompleks sehingga menuntut manusia menyelenggarakan pola pergaulan dan cara pandang serta membentuk visi tentang diri dan dunianya yang berbeda dengan masa sebelumnya, dan menepis kenyataan ini serupa menampik musim atau deru angin....***
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita