Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Sihar Ramses Simatupang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sihar Ramses Simatupang. Tampilkan semua postingan
01/04/18
13/03/18
Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin
Nurel Javissyarqi *
Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya
‘Paus Sastra Indonesia’ yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi,”
Grafiti 1995, tentunya lagi berseberangan.
01/04/12
Fenomena Komunitas Sastra: Dari Pengunjung Stasiun Senen sampai “Warung” Bulungan
Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan, 28 Feb 2009
Di areal lapangan yang menghubungkan antara Stasiun Senen dan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, di tengah penumpang kereta api yang ingin pulang dan pergi, di antara pedagang kaki lima, pengamen dan pengemis kota Jakarta, diskusi bertajuk “Sepilihan Puisi Penyair” karya Giyanto Subagio-Kongkow Sastra Planet Senen-Labo Sastra” ini pun digelar. Tepatnya di Plaza Depan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, Jalan Stasiun Senen Nomor 1, Senin (23/2). Pembicaranya penyair Dharmadi dan sastrawan juga pengamat budaya Mustafa Ismail.
Sinar Harapan, 28 Feb 2009
Di areal lapangan yang menghubungkan antara Stasiun Senen dan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, di tengah penumpang kereta api yang ingin pulang dan pergi, di antara pedagang kaki lima, pengamen dan pengemis kota Jakarta, diskusi bertajuk “Sepilihan Puisi Penyair” karya Giyanto Subagio-Kongkow Sastra Planet Senen-Labo Sastra” ini pun digelar. Tepatnya di Plaza Depan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, Jalan Stasiun Senen Nomor 1, Senin (23/2). Pembicaranya penyair Dharmadi dan sastrawan juga pengamat budaya Mustafa Ismail.
20/08/11
Menuju Malin Kundang Teater?
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Membicarakan teks naskah teater Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan (Komodo Books, 2011), kumpulan dua berkas teks dramatik Harris Priadie Bah tak bisa dilepaskan dengan konsep seorang Harris sebagai penulis naskah, sutradara sekaligus aktor teaternya bersama kawan aktor yang lain.
Dalam kerangka teater modern, sebuah teks, di atas kertas naskah ataupun dalam pemanggungan diliputi semangat eksplorasi teknis ataupun tematis. Semangat realisme teater di Rusia atau kebangkitan teater buruh di Amerika adalah siasat eksplorasi tema terepresentasi dari ledakan komunal dan sosial peradaban dan habitat masing-masing.
Sementara itu, unsur teknis dengan kadar yang berbeda akan mengeksplorasi pencarian dari tataran sederhana hingga yang teramat canggih. Seorang aktor termasuk di pemanggungan teater tradisi yang menghafal naskah lisan akan menyuarakan tema dan teknis itu dengan sebaik-baiknya.
Perkembangan dunia pemikiran ikut merayakan dua elemen utama itu dengan klaim konsep mereka sebagai konsep yang baru, konsep yang cerdas dan brilian. Eksplorasi teknik berteater jauh melambung tinggi melebihi teater tradisi. Eksplorasi yang bisa meliputi unsur filosofis, surealistik, hingga struktur yang serupa potongan mozaik.
Teater Kami tak bisa lepas dari wacana Harris Priadie Bah. Mulanya, penonton bisa saja mengira teater ini mengambil napas pemikiran sejarah teater dunia. Namun, ternyata, Harris membuat tesis-antitesis lalu membuat sintesis baru atas jelajah teks-panggung teaternya.
Syahdan, malam 3 Juli 2006, saya menonton pertunjukan Teater Kami dengan lakon Perjamuan Kata dan Tubuh-tubuh yang Membaca adaptasi bebas terhadap karya Hirata Oriza, penulis naskah teater yang terkemuka di Jepang. Lima aktor Teater Kami menampilkan adegan kesibukan: seseorang salat subuh diriingi azan, orang main gaple, orang gosok gigi, pelacur berceloteh, lakon suami ngamuk, dan seterusnya. Fragmen, mozaik, back-tracking, filmis.
Gila, pikir saya. Jakarta dan Tokyo ternyata tak berbeda di kepala kita. Ramai, sumpek, cepat, ngebut, hantam. Hancur! Ternyata, dengan pengalaman pertunjukan Kwartet Kematian dan Berkas-berkas Ingatan Sang Perawan (Death And The Maiden), The Key (2005), Perjamuan Kata dan Tubuh-tubuh yang Membaca (2006), MenOs (2008), Gegerungan (2009), tibalah saya pada pembacaan kredo di pengantar buku Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan yang punya sikap, tegas, dan lugas.
Kami, lewat salah satu kaki tangan-nya, Harris Priadie Bah, menjadi seorang Malin Kundang. Ia berkhianat pada wacana setelah terlebih dulu mengimaninya. Seorang pendurhaka! Si Malin Kundang, yang memiliki dua kesadaran. Seperti yang diulas di atas, Malin Kundang teknik dan Malin Kundang tematik.
Malin Kundang setidaknya mereka mencoba mendobrak tatatan atas teks penokohan sekaligus perwatakan yang mapan. Tokoh tak lagi berfokus pada karakter individual yang wajib diselami sebagaimana teks sastra ataupun teks naskah drama, namun lebih pada “ungkapan bersama” terhadap sebuah kondisi yang sama-sama dirasakan para aktornya.
Tokoh yang tak setia pada narasi dan bangunan tokoh yang utuh. Setting waktu tidak dihadirkan dalam bentuk siang atau malam begitu saja, dalam bentuk jam atau lonceng weker saja, melainkan dibiarkan melompat ke sana-kemari. Ini kemungkinan, atau betulkah mereka Malin Kundang? Atau, jangan-jangan mereka malah jadi anak emas teater modern? Bukankah “Malin Kundang” justru adalah konsep teater modern, semakin subversif justru semakin disukai.
Makna “Kami”
Istilah “kami” dalam Teater Kami sendiri kemudian dijadikan sebagai istilah yang mengacu pada sebuah konsep. Menurut Prof Dr H Mudjia Rahardjo, M.Si (2010), dalam bahasa Inggris, kedua kata “kami” dan “kita” hanya diwakili oleh kata “we”, dalam bahasa Arab “nahnu”, dalam bahasa Jerman “wir“, dalam bahasa Belanda “wij“, dalam bahasa Perancis “nous”, sedangkan dalam bahasa Rusia “Mbl”. Dengan kata lain, untuk mengungkapkan konsep “kita” dan “kami”, dalam bahasa Inggris, Arab, Jerman, Belanda, Prancis, dan Rusia hanya ada satu kata.
Ketika teater ini mengklaim sebagai “kami” dan bukan “kita”, maka akan memisahkannya dengan istilah “mereka”. Kami, bisa pernyataan kelompok, yang merasa-rasa sebagai orang teater, seniman, orang Indonesia, pribumi dan banyak bentuk blokade lain untuk memisahkannya dengan kelompok “mereka”.
Ke-kami-an juga menjadi pintu untuk menuju pembelokan dua lorong. “Kami”, mempengaruhi cara berpikir tematis atas teater yang mereka garap. Kami, menjadi liyan, kami menjadi negeri yang punya perbedaan, kami menjadi komunal yang lain, “kami” bukan “aku”, “mereka” atau “kalian” atau “kita” karena lebih mewakili sebuah kelompok dapat dibaca sebagai kesadaran lokal dan komunal di tengah nafsu global dan universal.
Selain lokal dan komunal, kami, di dalam kesadaran tematis, membangkitkan kesadaran personal. Trans- individual terantar pada kebangkitan bersama kami. Kami yang orang Indonesia, negara dunia ketiga, kelompok yang tak sejahtera, gerakan kelompok yang berwacana sekaligus menderita.
Keluhan kami di naskah teater ini sangat berat, tapi semua berasal dari masalah sepele, perut lapar, ingin merokok, kemiskinan, banyak utang, dibohongi kegiatan teater yang tak berguna dan tak sejahtera, seniman yang membubung idealisme tapi ditohok kesejahteraan ekonomi dan masa depan, seniman yang terpuruk dan memburam.
Keluhan kami dapat menjadi kejujuran, apalagi bila diyakini bahwa persoalan utang-piutang mereka akan diperihkan dan dialami juga oleh para penontonnya.
Kami bisa dimaknai sebagai tema, dapat berkembang menjadi sebuah pembaruan teknik. Bila para kalangan teater realisme sosialis dan komunis mengangkat persoalan kelompok dengan ideologi dan partai, Teater Kami tak terlalu “repot”, cukup dengan mengatakan semua penderitaan itu adalah milik “kami”.
Sebaliknya, mereka tentu akan menolak ketika dituding bagian dari individualisme sekaligus pragmatisme. Suaranya komunal, tetapi penghayatannya individual. Hanya, sejauh manakah masalah individual atau masalah keluarga dihayati dengan makna kami? Bagaimana “kita”, “dunia”, bahkan dunia “saya” penonton dapat berempati terhadap kejadian yang dialami oleh “kami”?
Inilah yang diungkap Mas Nano: “... Diperlukan kerja ekstra keras agar yang personal itu jadi milik orang lain pula... Teater baru terasa kehadirannya, ketika ada orang lain yang kemudian merasa, bahwa, permasalahan yang diungkap di pentas bukan permasalahan yang asing, melainkan permasalahan milik mereka juga...”
Naskah teater ini dicurigai hasil stek sambung dari persoalan kehidupan aktor-aktornya. Namun, segala curhat dari pribadi-pribadi para aktor ini kemudian secara cerdas dijadikan dialog yang kata-katanya dibalik, ditesis-antitesiskan, menjadi sekumpulan dialog yang bernas.
Di pihak lain, persoalan itu, karena menjadi persoalan para teaterawan yang miskin, rakyat yang miskin, negara dunia ketiga yang miskin, seolah ini merupakan sebuah sikap, konsep bahkan pemberontakan. Teater, telah menyatukan benak di dalam kepala teaterawan, rakyat, warga negara miskin, menjadi sebuah manifesto “kami” di atas panggung.
Judul Buku : Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan
Penulis : Harris Priadie Bah
Penerbit : Komodo Books, 2011
Tebal : 72 halaman
http://www.sinarharapan.co.id/
Membicarakan teks naskah teater Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan (Komodo Books, 2011), kumpulan dua berkas teks dramatik Harris Priadie Bah tak bisa dilepaskan dengan konsep seorang Harris sebagai penulis naskah, sutradara sekaligus aktor teaternya bersama kawan aktor yang lain.
Dalam kerangka teater modern, sebuah teks, di atas kertas naskah ataupun dalam pemanggungan diliputi semangat eksplorasi teknis ataupun tematis. Semangat realisme teater di Rusia atau kebangkitan teater buruh di Amerika adalah siasat eksplorasi tema terepresentasi dari ledakan komunal dan sosial peradaban dan habitat masing-masing.
Sementara itu, unsur teknis dengan kadar yang berbeda akan mengeksplorasi pencarian dari tataran sederhana hingga yang teramat canggih. Seorang aktor termasuk di pemanggungan teater tradisi yang menghafal naskah lisan akan menyuarakan tema dan teknis itu dengan sebaik-baiknya.
Perkembangan dunia pemikiran ikut merayakan dua elemen utama itu dengan klaim konsep mereka sebagai konsep yang baru, konsep yang cerdas dan brilian. Eksplorasi teknik berteater jauh melambung tinggi melebihi teater tradisi. Eksplorasi yang bisa meliputi unsur filosofis, surealistik, hingga struktur yang serupa potongan mozaik.
Teater Kami tak bisa lepas dari wacana Harris Priadie Bah. Mulanya, penonton bisa saja mengira teater ini mengambil napas pemikiran sejarah teater dunia. Namun, ternyata, Harris membuat tesis-antitesis lalu membuat sintesis baru atas jelajah teks-panggung teaternya.
Syahdan, malam 3 Juli 2006, saya menonton pertunjukan Teater Kami dengan lakon Perjamuan Kata dan Tubuh-tubuh yang Membaca adaptasi bebas terhadap karya Hirata Oriza, penulis naskah teater yang terkemuka di Jepang. Lima aktor Teater Kami menampilkan adegan kesibukan: seseorang salat subuh diriingi azan, orang main gaple, orang gosok gigi, pelacur berceloteh, lakon suami ngamuk, dan seterusnya. Fragmen, mozaik, back-tracking, filmis.
Gila, pikir saya. Jakarta dan Tokyo ternyata tak berbeda di kepala kita. Ramai, sumpek, cepat, ngebut, hantam. Hancur! Ternyata, dengan pengalaman pertunjukan Kwartet Kematian dan Berkas-berkas Ingatan Sang Perawan (Death And The Maiden), The Key (2005), Perjamuan Kata dan Tubuh-tubuh yang Membaca (2006), MenOs (2008), Gegerungan (2009), tibalah saya pada pembacaan kredo di pengantar buku Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan yang punya sikap, tegas, dan lugas.
Kami, lewat salah satu kaki tangan-nya, Harris Priadie Bah, menjadi seorang Malin Kundang. Ia berkhianat pada wacana setelah terlebih dulu mengimaninya. Seorang pendurhaka! Si Malin Kundang, yang memiliki dua kesadaran. Seperti yang diulas di atas, Malin Kundang teknik dan Malin Kundang tematik.
Malin Kundang setidaknya mereka mencoba mendobrak tatatan atas teks penokohan sekaligus perwatakan yang mapan. Tokoh tak lagi berfokus pada karakter individual yang wajib diselami sebagaimana teks sastra ataupun teks naskah drama, namun lebih pada “ungkapan bersama” terhadap sebuah kondisi yang sama-sama dirasakan para aktornya.
Tokoh yang tak setia pada narasi dan bangunan tokoh yang utuh. Setting waktu tidak dihadirkan dalam bentuk siang atau malam begitu saja, dalam bentuk jam atau lonceng weker saja, melainkan dibiarkan melompat ke sana-kemari. Ini kemungkinan, atau betulkah mereka Malin Kundang? Atau, jangan-jangan mereka malah jadi anak emas teater modern? Bukankah “Malin Kundang” justru adalah konsep teater modern, semakin subversif justru semakin disukai.
Makna “Kami”
Istilah “kami” dalam Teater Kami sendiri kemudian dijadikan sebagai istilah yang mengacu pada sebuah konsep. Menurut Prof Dr H Mudjia Rahardjo, M.Si (2010), dalam bahasa Inggris, kedua kata “kami” dan “kita” hanya diwakili oleh kata “we”, dalam bahasa Arab “nahnu”, dalam bahasa Jerman “wir“, dalam bahasa Belanda “wij“, dalam bahasa Perancis “nous”, sedangkan dalam bahasa Rusia “Mbl”. Dengan kata lain, untuk mengungkapkan konsep “kita” dan “kami”, dalam bahasa Inggris, Arab, Jerman, Belanda, Prancis, dan Rusia hanya ada satu kata.
Ketika teater ini mengklaim sebagai “kami” dan bukan “kita”, maka akan memisahkannya dengan istilah “mereka”. Kami, bisa pernyataan kelompok, yang merasa-rasa sebagai orang teater, seniman, orang Indonesia, pribumi dan banyak bentuk blokade lain untuk memisahkannya dengan kelompok “mereka”.
Ke-kami-an juga menjadi pintu untuk menuju pembelokan dua lorong. “Kami”, mempengaruhi cara berpikir tematis atas teater yang mereka garap. Kami, menjadi liyan, kami menjadi negeri yang punya perbedaan, kami menjadi komunal yang lain, “kami” bukan “aku”, “mereka” atau “kalian” atau “kita” karena lebih mewakili sebuah kelompok dapat dibaca sebagai kesadaran lokal dan komunal di tengah nafsu global dan universal.
Selain lokal dan komunal, kami, di dalam kesadaran tematis, membangkitkan kesadaran personal. Trans- individual terantar pada kebangkitan bersama kami. Kami yang orang Indonesia, negara dunia ketiga, kelompok yang tak sejahtera, gerakan kelompok yang berwacana sekaligus menderita.
Keluhan kami di naskah teater ini sangat berat, tapi semua berasal dari masalah sepele, perut lapar, ingin merokok, kemiskinan, banyak utang, dibohongi kegiatan teater yang tak berguna dan tak sejahtera, seniman yang membubung idealisme tapi ditohok kesejahteraan ekonomi dan masa depan, seniman yang terpuruk dan memburam.
Keluhan kami dapat menjadi kejujuran, apalagi bila diyakini bahwa persoalan utang-piutang mereka akan diperihkan dan dialami juga oleh para penontonnya.
Kami bisa dimaknai sebagai tema, dapat berkembang menjadi sebuah pembaruan teknik. Bila para kalangan teater realisme sosialis dan komunis mengangkat persoalan kelompok dengan ideologi dan partai, Teater Kami tak terlalu “repot”, cukup dengan mengatakan semua penderitaan itu adalah milik “kami”.
Sebaliknya, mereka tentu akan menolak ketika dituding bagian dari individualisme sekaligus pragmatisme. Suaranya komunal, tetapi penghayatannya individual. Hanya, sejauh manakah masalah individual atau masalah keluarga dihayati dengan makna kami? Bagaimana “kita”, “dunia”, bahkan dunia “saya” penonton dapat berempati terhadap kejadian yang dialami oleh “kami”?
Inilah yang diungkap Mas Nano: “... Diperlukan kerja ekstra keras agar yang personal itu jadi milik orang lain pula... Teater baru terasa kehadirannya, ketika ada orang lain yang kemudian merasa, bahwa, permasalahan yang diungkap di pentas bukan permasalahan yang asing, melainkan permasalahan milik mereka juga...”
Naskah teater ini dicurigai hasil stek sambung dari persoalan kehidupan aktor-aktornya. Namun, segala curhat dari pribadi-pribadi para aktor ini kemudian secara cerdas dijadikan dialog yang kata-katanya dibalik, ditesis-antitesiskan, menjadi sekumpulan dialog yang bernas.
Di pihak lain, persoalan itu, karena menjadi persoalan para teaterawan yang miskin, rakyat yang miskin, negara dunia ketiga yang miskin, seolah ini merupakan sebuah sikap, konsep bahkan pemberontakan. Teater, telah menyatukan benak di dalam kepala teaterawan, rakyat, warga negara miskin, menjadi sebuah manifesto “kami” di atas panggung.
Judul Buku : Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan
Penulis : Harris Priadie Bah
Penerbit : Komodo Books, 2011
Tebal : 72 halaman
29/11/10
Menyikapi Internet Sebagai Media Bersastra
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Pembacaan cerita pendek oleh Danarto di QB Book Store saat peluncuran Graffiti Imaji oleh Yayasan Multimedia Sastra pekan lalu adalah sebuah momen menarik buat para penulis yang selama ini cukup produktif di dalam situs internet. Terbitnya kumpulan cerita pendek—memuat 83 karya yang dipilih oleh Sapardi Djoko Damono, Yanusa Nugroho, dan Anna Siti Herdiyanti—ini menguatkan posisi karya sastra dalam dunia internet.
Seiring perkembangan teknologi, internet menjadi alternatif media bagi seniman untuk berkarya. Tak heran, banyak situs yang kemudian bermunculan untuk mewadahi kreativitas para sastrawan. Salah satunya adalah www.cybersastra.net. Situs yang dibentuk oleh Yayasan Multimedia Sastra ini nyatanya mampu menjadi wadah yang memadai. Buktinya, telah dua buku diterbitkan oleh Yayasan Multimedia Sastra yang materinya diambil dari karya-karya yang disumbangkan seniman pada situs tersebut, baik berupa cerita pendek, puisi, maupun esei.
Situs lain yang juga bergerak di bidang sastra bernama www.bumimanusia.or.id. Dari situs ini, telah dihasilkan beberapa karya tercetak antara lain antologi cerpen Puthut E.A yang berjudul Sebuah Kitab yang Tak Suci, dan Beatniks, puisi-puisi Nuruddin Asyhadie, dan Bumi Manusia 1: Ini … Sirkus Senyum. Ini belum dihitung dengan terbitnya beberapa jurnal yang sebelumnya telah melewati sistem penyeleksian melalui editorial situs tersebut.
Para sastrawan yang cukup dikenal dan setia di dalam berproses pun, banyak yang sudah pernah terlibat di dalam pengukuhan karya-karya para sastrawan di dunia internet. Tak kurang beberapa nama seniman yang cukup lama dikenal, ikut mendukung fenomena sastra internet di media massa. Para penulis itu antara lain Eka Darma Putera, F. Rahardi, Meidy Lukito hingga Sobron Aidit.
Kontroversi
Walau sastra internet tak bisa dipandang sebagai genre karena tidak menghasilkan sebuah tradisi baru, tanpa perjuangan estetik (istilah yang digunakan penyair Ahmadun Yosi Herfanda), dan juga masih mengangkat nama-nama penyair lama di media cetak, antara lain Dorothea Rosa Herliany, Viddy AD, Aslan Abidin, Endang Supriadi, Gus tf Sakai, dan Cecep Syamsul Hari, tak dapat disangkal pula keberadaannya memunculkan pula nama-nama baru yang tengah berproses dan mulai menguat di dunia sastra maya itu.
Sementara itu, Ribut Wiyoto (penulis esei sastra) menanggapi dengan tajam. Menurutnya, sasatra internet adalah media yang terlalu mudah menerima naskah, tanpa memiliki kriteria yang jelas. Redaksi juga dipandangnya terlalu berkompromi dengan naskah-naskah yang masuk di dalamnya. Akibatnya, para penulis yang ada pun agak diragukan kualitasnya. Walau pemerhati sastra, Yaqin Saja, juga mengingatkan tentang situs lain yang tidak dicermati oleh Ribut–misalnya yang mengangkat karya Sitor Situmorang–tetapi kualitas karya memang harus jadi perhatian tersendiri bagi redaksi.
Jagat sastra Indonesia tampaknya membutuhkan sebuah isu kontroversial selain isu kelahiran para senimannya. Bila dulu muncul perdebatan tentang sastra Balai Pustaka atau bukan, Lekra atau Manifest, sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, genre prosa liris, sastra kontekstual lewat Arief Budiman dan Ariel Haryanto, mungkinkah isu ”kacangan” tentang sastra internet menjadi sebuah topik dan fenomena menarik?
Di sisi lain, selain kekurangan yang ada, media internet memang meruapkan sebuah alternatif terhadap tersumbatnya kebebasan kreatif mengenai kriteria sastra di dalam media massa. Di dalam pembicaraan SH dengan Nanang Suryadi dan Sutan Iwan Soekri Munaf, dipaparkan juga tentang kelebihan sastra internet yang antara lain ikut memberikan ruang baru terhadap definisi cerpen. Cerpen yang bisa hadir dalam bentuk ”sangat mini” atau ”sangat panjang”, itu berbeda dengan media massa yang punya syarat tegas tentang halaman cerpen yang memenuhi kriteria.
Intensitas yang jauh lebih dinamis dibanding media cetak merupakan kelebihan media internet. Media ini bisa menampung lebih banyak karya dibanding majalan, jurnal, atau koran yang hanya memuat beberapa karya saja dalam satu minggu.
Sastra internet adalah sebuah tradisi yang muncul di tengah perkembangan teknologi. Di Indonesia, atau di dunia, sastra internet bisa jadi merupakan sebuah tesis dan antitesis terhadap dinamisasi sastra. Tersumbatnya saluran eksistensi bagi generasi muda—yang terlihat dari minimnya kelahiran komunitas baca sastra, kantong kesenian, peluncuran antologi atau event lomba—membuat sastra internet adalah sebuah tawaran yang kemudian digandrungi. Apakah internet hanya melahirkan seniman yang instan, tak percaya diri dan tak teruji dalam persaingan? Perjalanan waktulah yang akan membuktikannya.
http://www.sinarharapan.co.id/
Pembacaan cerita pendek oleh Danarto di QB Book Store saat peluncuran Graffiti Imaji oleh Yayasan Multimedia Sastra pekan lalu adalah sebuah momen menarik buat para penulis yang selama ini cukup produktif di dalam situs internet. Terbitnya kumpulan cerita pendek—memuat 83 karya yang dipilih oleh Sapardi Djoko Damono, Yanusa Nugroho, dan Anna Siti Herdiyanti—ini menguatkan posisi karya sastra dalam dunia internet.
Seiring perkembangan teknologi, internet menjadi alternatif media bagi seniman untuk berkarya. Tak heran, banyak situs yang kemudian bermunculan untuk mewadahi kreativitas para sastrawan. Salah satunya adalah www.cybersastra.net. Situs yang dibentuk oleh Yayasan Multimedia Sastra ini nyatanya mampu menjadi wadah yang memadai. Buktinya, telah dua buku diterbitkan oleh Yayasan Multimedia Sastra yang materinya diambil dari karya-karya yang disumbangkan seniman pada situs tersebut, baik berupa cerita pendek, puisi, maupun esei.
Situs lain yang juga bergerak di bidang sastra bernama www.bumimanusia.or.id. Dari situs ini, telah dihasilkan beberapa karya tercetak antara lain antologi cerpen Puthut E.A yang berjudul Sebuah Kitab yang Tak Suci, dan Beatniks, puisi-puisi Nuruddin Asyhadie, dan Bumi Manusia 1: Ini … Sirkus Senyum. Ini belum dihitung dengan terbitnya beberapa jurnal yang sebelumnya telah melewati sistem penyeleksian melalui editorial situs tersebut.
Para sastrawan yang cukup dikenal dan setia di dalam berproses pun, banyak yang sudah pernah terlibat di dalam pengukuhan karya-karya para sastrawan di dunia internet. Tak kurang beberapa nama seniman yang cukup lama dikenal, ikut mendukung fenomena sastra internet di media massa. Para penulis itu antara lain Eka Darma Putera, F. Rahardi, Meidy Lukito hingga Sobron Aidit.
Kontroversi
Walau sastra internet tak bisa dipandang sebagai genre karena tidak menghasilkan sebuah tradisi baru, tanpa perjuangan estetik (istilah yang digunakan penyair Ahmadun Yosi Herfanda), dan juga masih mengangkat nama-nama penyair lama di media cetak, antara lain Dorothea Rosa Herliany, Viddy AD, Aslan Abidin, Endang Supriadi, Gus tf Sakai, dan Cecep Syamsul Hari, tak dapat disangkal pula keberadaannya memunculkan pula nama-nama baru yang tengah berproses dan mulai menguat di dunia sastra maya itu.
Sementara itu, Ribut Wiyoto (penulis esei sastra) menanggapi dengan tajam. Menurutnya, sasatra internet adalah media yang terlalu mudah menerima naskah, tanpa memiliki kriteria yang jelas. Redaksi juga dipandangnya terlalu berkompromi dengan naskah-naskah yang masuk di dalamnya. Akibatnya, para penulis yang ada pun agak diragukan kualitasnya. Walau pemerhati sastra, Yaqin Saja, juga mengingatkan tentang situs lain yang tidak dicermati oleh Ribut–misalnya yang mengangkat karya Sitor Situmorang–tetapi kualitas karya memang harus jadi perhatian tersendiri bagi redaksi.
Jagat sastra Indonesia tampaknya membutuhkan sebuah isu kontroversial selain isu kelahiran para senimannya. Bila dulu muncul perdebatan tentang sastra Balai Pustaka atau bukan, Lekra atau Manifest, sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, genre prosa liris, sastra kontekstual lewat Arief Budiman dan Ariel Haryanto, mungkinkah isu ”kacangan” tentang sastra internet menjadi sebuah topik dan fenomena menarik?
Di sisi lain, selain kekurangan yang ada, media internet memang meruapkan sebuah alternatif terhadap tersumbatnya kebebasan kreatif mengenai kriteria sastra di dalam media massa. Di dalam pembicaraan SH dengan Nanang Suryadi dan Sutan Iwan Soekri Munaf, dipaparkan juga tentang kelebihan sastra internet yang antara lain ikut memberikan ruang baru terhadap definisi cerpen. Cerpen yang bisa hadir dalam bentuk ”sangat mini” atau ”sangat panjang”, itu berbeda dengan media massa yang punya syarat tegas tentang halaman cerpen yang memenuhi kriteria.
Intensitas yang jauh lebih dinamis dibanding media cetak merupakan kelebihan media internet. Media ini bisa menampung lebih banyak karya dibanding majalan, jurnal, atau koran yang hanya memuat beberapa karya saja dalam satu minggu.
Sastra internet adalah sebuah tradisi yang muncul di tengah perkembangan teknologi. Di Indonesia, atau di dunia, sastra internet bisa jadi merupakan sebuah tesis dan antitesis terhadap dinamisasi sastra. Tersumbatnya saluran eksistensi bagi generasi muda—yang terlihat dari minimnya kelahiran komunitas baca sastra, kantong kesenian, peluncuran antologi atau event lomba—membuat sastra internet adalah sebuah tawaran yang kemudian digandrungi. Apakah internet hanya melahirkan seniman yang instan, tak percaya diri dan tak teruji dalam persaingan? Perjalanan waktulah yang akan membuktikannya.
17/10/10
“Sebuah Pertemuan Puisi Indonesia-Prancis”
Membaca Puisi dan Budaya Tradisi Lisan
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
“Puisi-puisi di Prancis saat ini juga kontemporer,” ujar Isabelle Pincon, penyair Prancis kepada SH di acara “Sebuah Pertemuan Puisi Indonesia-Prancis”. Acara itu digelar di Galeri Cemara 6 Jl. HOS Cokroaminoto No. 9-11 Menteng, Selasa (9/3) malam.
Itulah yang diungkapkan oleh Pincon terhadap karya-karya penyair Prancis. Ia juga menuturkan tentang ledakan masa surealisme dalam karya sastrawan Prancis sejak tahun 1940-an.
Karya para penyair Indonesia yang dimunculkan malam itu juga tak jauh berbeda, kata Pincon. Dengan kata lain, dia merasakan juga varian puisi di Indonesia yang kompleks. Dia mengatakan bahwa sebelumnya dia tak pernah berinteraksi dengan puisi-puisi para penyair Indonesia, namun telah membaca dan mendengarkannya dalam forum pembacaan malam ini. Hasilnya? “Saya suka, misalnya saja, puisi karya Goenawan Mohamad saya lebih sukai,” ujar Isabelle.
Begitulah, karya-karya para penyair Prancis dan penyair Indonesia itu sama-sama mengalir. Dua-tiga sajak mereka dibukukan, lalu diurutkan dan dibacakan.
Para penyair Indonesia yang dihadirkan termasuk Gunawan Mohamad, Sitor Situmorang, Toeti Heraty Noerhadi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Eka Budianta, Ayatrohaedi, Ajip Rosidi, Ayatro Haedi, Putu Oka Sukanta, dan Rieke Dyah Pitaloka telah duduk di muka penonton yang hadir di galeri itu. Mereka siap membacakan bersama para penyair Prancis yang dihadirkan juga di malam itu: Oscar Riou dan Christian Dumet.
Pincon menyebutkan ciri dan karakter puisi para penyair Indonesia juga modern, terlihat dari penekanan pada kebaharuan dan juga pemilihan agar bahasa-bahasa itu tak biasa sehingga menjadi tawaran segar saat diciptakan dalam bentuk puisi.
Malam itu, para penyair, selain membaca puisinya sendiri, juga membacakan karya-karya penyair yang lain, termasuk yang kini sudah almarhum tetapi tetap merupakan tonggak sejarah dari bentuk dan karakter puisi. Toeti membaca karya Soebagio Sastrowardoyo, Dorothea membacakan karya puisi Chairil, Sitor Situmorang membaca puisi Toto Sudarto Bachtiar. Atau untuk para penyair dari Prancis Isabelle Pincon, setelah membaca puisi sendiri juga membaca karya penyair Arthur Rimbaude dan Verlaine. Atau Roland Reutenauer, yang membacakan sajak Charles Baudelaire.
Pembacaan yang dilakukan lebih pada mengeja secara khidmat teks itu, menurut Pincon tak berbeda jauh dengan pembacaan puisi di Prancis. Di forum yang terjadi atas kerja sama dengan Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta ini, memang pembacaannya teramat variatif, termasuk vokal, inner dan ekspresinya itu.
Pincon berkomentar bahwa di dalam teks, karya penyair Indonesia sangat kuat. Sama halnya seperti ia membuat sebuah puisi. Pincon mengatakan saat mencipta teks ia sudah membayangkan bagaimana teknik ngomong dan berbicaranya saat puisi itu harus juga dibacakan.
Interaksi dan Intensitas
Hal itu juga dilontarkan Toeti Heraty dalam kata pengantar buku yang sekaligus berfungsi sebagai “semikatalog” acara pembacaan puisi itu: Oleh karena itu, peristiwa “Poesie Musim Semi 2003” yang diulang tahun 2004 menjadi penting. Selain workshop antarpenyair yang bukanlah hal ikhwal terjemahan sajak dan sajaknya didiskusikan, tetapi hal-hal yang lebih umum seperti publikasi karya poesie, penyebaran poesie dan kedudukan poesie di dalam masyarakat.
Selain itu, momen ini dikemas lewat pertunjukan dengan patokan katalog dwibahasa: Indonesia dan Prancis, hingga memudahkan para penonton yang berbeda latar bahasa memahami karya yang dibacakan.
Pendapat Pascal Riou bahwa di Prancis tak ada lagi tradisi sastra lisan. Sementara itu, Sitor Situmorang berpendapat penyair yang baik bukan hanya pembaca yang baik dan akrab dengan tradisi lisan, dengan upacara ritual dan syair hapalan karena di Indonesia tradisi sangat kaya dan beragam begitu pula dengan puisi.
Hal ini menjawab tentang pembacaan Pincon dan Reutenauer yang lebih pada pembacaan biasa dan berbeda dengan Dorothea yang membacakan puisi dengan nada yang terkadang ekspresif dan nada lagu yang terkadang kental, atau bahkan pembacaan puisi Rieke yang sempat disajikan dalam bentuk lagu.
Wajar saja, para penyair itu ada juga yang berinteraksi dengan dunia luar negara Indonesia, termasuk bahasa Prancis.
Ada juga penyair Indonesia yang memperlihatkan dialog dengan negara Prancis lewat tema karyanya. Hal itu terlihat dari salah satu pembaca karya yaitu Ayatrohaedi yang berjudul Di Katedral Saint Andre, Bordeaux: Di Katedral Saint Andre//seorang pendeta tua//dengan khidmat bersimpuh//di depan patung Maryam.// Berdoa…
Selain itu, Isabelle mengungkapkan bahwa momen ini punya dampak di sisi lain yang sangat positif, diharapkan momen pembacaan juga dapat berguna untuk membuka jalinan interaksi di antara penyair kedua negara tersebut.
Acara ini, tambah Toeti, memberikan pemahaman tentang kata ke kata atau dari makna ke makna, penghayatan di luar cakrawala sehari-hari. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai penyelaman dan mereguk intensitas penghayatan yang berbeda, intensif tetapi tanpa risiko, sebagai pengalaman yang luar biasa.
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
“Puisi-puisi di Prancis saat ini juga kontemporer,” ujar Isabelle Pincon, penyair Prancis kepada SH di acara “Sebuah Pertemuan Puisi Indonesia-Prancis”. Acara itu digelar di Galeri Cemara 6 Jl. HOS Cokroaminoto No. 9-11 Menteng, Selasa (9/3) malam.
Itulah yang diungkapkan oleh Pincon terhadap karya-karya penyair Prancis. Ia juga menuturkan tentang ledakan masa surealisme dalam karya sastrawan Prancis sejak tahun 1940-an.
Karya para penyair Indonesia yang dimunculkan malam itu juga tak jauh berbeda, kata Pincon. Dengan kata lain, dia merasakan juga varian puisi di Indonesia yang kompleks. Dia mengatakan bahwa sebelumnya dia tak pernah berinteraksi dengan puisi-puisi para penyair Indonesia, namun telah membaca dan mendengarkannya dalam forum pembacaan malam ini. Hasilnya? “Saya suka, misalnya saja, puisi karya Goenawan Mohamad saya lebih sukai,” ujar Isabelle.
Begitulah, karya-karya para penyair Prancis dan penyair Indonesia itu sama-sama mengalir. Dua-tiga sajak mereka dibukukan, lalu diurutkan dan dibacakan.
Para penyair Indonesia yang dihadirkan termasuk Gunawan Mohamad, Sitor Situmorang, Toeti Heraty Noerhadi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Eka Budianta, Ayatrohaedi, Ajip Rosidi, Ayatro Haedi, Putu Oka Sukanta, dan Rieke Dyah Pitaloka telah duduk di muka penonton yang hadir di galeri itu. Mereka siap membacakan bersama para penyair Prancis yang dihadirkan juga di malam itu: Oscar Riou dan Christian Dumet.
Pincon menyebutkan ciri dan karakter puisi para penyair Indonesia juga modern, terlihat dari penekanan pada kebaharuan dan juga pemilihan agar bahasa-bahasa itu tak biasa sehingga menjadi tawaran segar saat diciptakan dalam bentuk puisi.
Malam itu, para penyair, selain membaca puisinya sendiri, juga membacakan karya-karya penyair yang lain, termasuk yang kini sudah almarhum tetapi tetap merupakan tonggak sejarah dari bentuk dan karakter puisi. Toeti membaca karya Soebagio Sastrowardoyo, Dorothea membacakan karya puisi Chairil, Sitor Situmorang membaca puisi Toto Sudarto Bachtiar. Atau untuk para penyair dari Prancis Isabelle Pincon, setelah membaca puisi sendiri juga membaca karya penyair Arthur Rimbaude dan Verlaine. Atau Roland Reutenauer, yang membacakan sajak Charles Baudelaire.
Pembacaan yang dilakukan lebih pada mengeja secara khidmat teks itu, menurut Pincon tak berbeda jauh dengan pembacaan puisi di Prancis. Di forum yang terjadi atas kerja sama dengan Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta ini, memang pembacaannya teramat variatif, termasuk vokal, inner dan ekspresinya itu.
Pincon berkomentar bahwa di dalam teks, karya penyair Indonesia sangat kuat. Sama halnya seperti ia membuat sebuah puisi. Pincon mengatakan saat mencipta teks ia sudah membayangkan bagaimana teknik ngomong dan berbicaranya saat puisi itu harus juga dibacakan.
Interaksi dan Intensitas
Hal itu juga dilontarkan Toeti Heraty dalam kata pengantar buku yang sekaligus berfungsi sebagai “semikatalog” acara pembacaan puisi itu: Oleh karena itu, peristiwa “Poesie Musim Semi 2003” yang diulang tahun 2004 menjadi penting. Selain workshop antarpenyair yang bukanlah hal ikhwal terjemahan sajak dan sajaknya didiskusikan, tetapi hal-hal yang lebih umum seperti publikasi karya poesie, penyebaran poesie dan kedudukan poesie di dalam masyarakat.
Selain itu, momen ini dikemas lewat pertunjukan dengan patokan katalog dwibahasa: Indonesia dan Prancis, hingga memudahkan para penonton yang berbeda latar bahasa memahami karya yang dibacakan.
Pendapat Pascal Riou bahwa di Prancis tak ada lagi tradisi sastra lisan. Sementara itu, Sitor Situmorang berpendapat penyair yang baik bukan hanya pembaca yang baik dan akrab dengan tradisi lisan, dengan upacara ritual dan syair hapalan karena di Indonesia tradisi sangat kaya dan beragam begitu pula dengan puisi.
Hal ini menjawab tentang pembacaan Pincon dan Reutenauer yang lebih pada pembacaan biasa dan berbeda dengan Dorothea yang membacakan puisi dengan nada yang terkadang ekspresif dan nada lagu yang terkadang kental, atau bahkan pembacaan puisi Rieke yang sempat disajikan dalam bentuk lagu.
Wajar saja, para penyair itu ada juga yang berinteraksi dengan dunia luar negara Indonesia, termasuk bahasa Prancis.
Ada juga penyair Indonesia yang memperlihatkan dialog dengan negara Prancis lewat tema karyanya. Hal itu terlihat dari salah satu pembaca karya yaitu Ayatrohaedi yang berjudul Di Katedral Saint Andre, Bordeaux: Di Katedral Saint Andre//seorang pendeta tua//dengan khidmat bersimpuh//di depan patung Maryam.// Berdoa…
Selain itu, Isabelle mengungkapkan bahwa momen ini punya dampak di sisi lain yang sangat positif, diharapkan momen pembacaan juga dapat berguna untuk membuka jalinan interaksi di antara penyair kedua negara tersebut.
Acara ini, tambah Toeti, memberikan pemahaman tentang kata ke kata atau dari makna ke makna, penghayatan di luar cakrawala sehari-hari. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai penyelaman dan mereguk intensitas penghayatan yang berbeda, intensif tetapi tanpa risiko, sebagai pengalaman yang luar biasa.
11/07/10
Perjuangan Rakyat, Berpameran, dan ”Tak Termuat di Antologi”
HUT Ke-80 Sitor Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Rekonsiliasi itu perlu. Namun penegakan kebenaran juga tetap harus dilakukan sejalan dengan rekonsiliasi itu. Kalimat ini mengalir dari pendapat seorang Sitor Situmorang, penyair, prosais, yang terlibat dalam aktivitas dan sejarah kebangsaan, di momen pembacaan puisi dan cerpen bersama generasi terbaru.
Dengan tajuk ”Menengok ke Belakang, Mengintip ke Depan: 1965 sampai 2004” yang diadakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin (5/10), Sitor Situmorang, tampil bersama nama lain yang tak jauh dari generasinya, Putu Oka Sukanta dan Martin Aleida. Di momen yang diadakan oleh milis Sastra Pembebasan itu, Sitor mengatakan bahwa hal terpenting adalah memperjuangkan suara rakyat dan kebenaran.
Sitor, penyair kelahiran 2 Oktober 1924 di Harianboho, Sumatera Utara ini sehari sebelumnya juga baru merayakan hari ulang tahunnya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Hadir di acara itu generasi muda, dengan disiplin yang berbeda, akademisi, aktivis mahasiswa, hingga penikmat sastra.
Nama Sitor memang bukan hanya dikenal di kalangan budayawan tapi juga pergerakan Indonesia. Kehadiran rekannya di acara itu, Pramoedya Ananta Toer, menguatkan kesan, bahwa hingga kini, perjuangan tetap setia dan konsisten mereka jalani.
Inilah, salah satu sikap di antara untaian ceramah sang penyair di momen HUT-nya di Galeri Cipta II, saat berbicara tentang puisi: Akal dan bathin, pikiran dan perasaan ingin dipadukan dalam puisi, kesadaran manusiawi yang utuh, dan yang tidak dapat diuraikan, dianalisa memuaskan dengan akal semata.
Di momen ulang tahun ini, menarik juga melongok pameran yang digelar, mengetengahkan ”figur dan karya” Sitor Situmorang di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin.
Pameran seputar Sitor Situmorang yang dimulai sejak 1 Oktober itu, menggelar seputar biografi Sitor dan karyanya. Ada fotonya semasa perjuangan pergerakan nasional, masa kecil Sitor di Tanah Batak, Sitor muda dan keluarga, berita surat kabar seputar aktivitas politik dan budaya, surat-menyurat dia bersama sastrawan lain termasuk HB Yassin, tarombo (silsilah keturunan marga Situmorang-nya Sitor), juga buku-buku karya pengarang ini, yang tampak sudah usang namun bertahan oleh usia.
Yang menarik, keseluruhan karya-karya Sitor ini diletakkan di medium ”estetik” khas seorang Afrizal Malna. Afrizal jugalah yang mengusung foto-foto dan menempelkannya di kulkas tua, menempelkan foto lainnya di mesin cuci tua, menyandarkan bambu tepat di foto Sitor sehingga seolah tangan di foto itu menyentuh bambu. Ada juga karya pelukis Pande Ketut Taman, berupa pulasan hitam membentuk mawar ”tampak dari atas”, karya yang menerjemahkan puisi Sitor berjudul Mawar, yang hanya terdiri dari delapan kata: //Mawar jingga/ Mawar semesta/ Mawar nestapa/ Ciuman buta//
Sentuhan Afrizal di pameran ini, mau tak mau mengingatkan pada puisi Afrizal yang ”hiper-realis” dengan ”benda-benda yang berseliweran”, ”fantasmagoria”, ”lipatan waktu”, terasa berbenturan dengan figur dan karya seorang sastrawan pada masa ”Angkatan 1945”, yang lebih mengarah pada ”kebijakan alam dan romantisme” termasuk ”nuansa perjuangan dan kebangsaan”. Namun justru itulah, membuatnya tema paradoksal di antara keduanya itu jadi terkesan unik.
Sitor: Antologi, Teks, dan Apresian
Di Pusat Dokumentasi HB Yassin, beberapa hari setelahnya (6/10), diadakan acara bertajuk ”Dialog dengan Sitor Situmorang”. Sitor mengatakan di acara itu bahwa politik sudah lama dia jalani. Begitu pun tentang politik di dalam kesenian yang banyak macamnya. ”Termasuk ada generasi baru yang ingin dapat pengakuan pada generasi yang lebih tua,” ujarnya, sambil tersenyum.
Tapi bagi Sitor, justru sikap berpolitik itu lebih baik daripada ”berpura-pura tak berpolitik padahal berpolitik”. Ungkapan yang perlu dimengerti – bisa saja mengarah pada perbedaan yang pernah terjadi puluhan tahun silam. ”Itu sikap saya, termasuk ketika saya berhadapan dengan Soeharto dan rezim Orde Barunya,” ujarnya.
Sitor bahkan mengatakan di dalam politik kesenian, antologinya sempat tak diikutsertakan pada generasi yang sama dengan dirinya, tanpa pemberitahuan, tanpa mengajak debat dulu tentang kualitas karyanya atau memilih beberapa karya yang terbaik saja dari dirinya. Sama sekali pengujian itu tak dilakukan. ”Jadi bukan karena nilai karya, maka itu semua jadi (membuat saya punya) persangkaan-persangkaan. Tahunya ada (seniman di baliknya) masih layani keinginan ‘orang Orba’ tertentu,” ujar Sitor, seperti ingin membeberkan kembali kejadian masa lalunya itu.
Itu hal yang bagi Sitor, sesuatu yang rendah dan kekanak-kanakan, berupa kecemburuan. Memang, saat itu tak bisa diingkari bahwa karya Sitor sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa internasional, selain juga dia masuk dalam sejarah sastra periode 1945 dan 1966, suatu pembicaraan yang sempat terangkat dalam tulisan Ajip Rosidi (lewat bukunya Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir). ”Memang perilaku itu bahkan tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia,” ujar Sitor, membubuhkan.
Menurut Sitor lagi, secara pribadi, dia tak pernah ada ketakutan tidak diakui atau ikhlas mengakui kelebihan orang lain. Dia terus berkarya 1.000 sajak pun, belum tentu semua sama butuhnya (tergantung minat dan selera pembaca, red). Menurutnya, dia bahkan bisa membingungkan orang-orang yang ”tanggung-tanggung” referensi sastranya, sehingga ”sajak politik” saya lantas dibilang ”bukan puisi”. Bahkan, ada yang mengatakan, bahwa setelah Sitor berpolitik, dia jadi malu membaca karya Sitor yang berpolitik itu. Saat Sitor menulis tentang Marsinah (buruh yang terbunuh, red), lantas dibilang memalukan karena Sitor membuat sajak politik tentang Marsinah. ”Saya bahkan dibilang melacur kalau bikin sajak semacam itu. Bagi saya, orang semacam itu ”beda” budaya dan beda dunianya dengan saya. Untuk itu, saya tak perlu masuk antologi untuk orang yang kayak begitu!” ujarnya, berapi-api.
Dia kemudian memaparkan bahwa sekalipun tak masuk antologi, nyatanya pada generasi setelahnya, orang masih mengingat dirinya. Dia mencontohkan saat dirinya datang ke acara Cakrawala Sastra Indonesia (14-17 September 2004 yang lalu), sebagai undangan dan bukan sebagai peserta. Dia akan menyaksikan mereka baca. ”Saya yakin saya belum kenal mereka dan mereka belum kenal saya. Tapi ternyata malah tegur saya, ‘Wah Pak Sitor…’ lalu tet..tett..tett… dia ngomong banyak sambil mengutip kalimat yang dikutip dari sajak saya. Tidak ada yang lebih memuaskan dan membahagiakan saya daripada suasana pertemuan semacam itu,” ujarnya. Bagi Sitor itu lebih daripada sekedar antologi, karena sifat pertemuan kali ini tak formal dan spontan, dan lebih tulus.
Dengan kisah pertemuan dengan generasi ”penyair generasi sekarang” itu, dia kemudian menghubungkannya dengan pendapat seorang Fuad Hassan yang pernah melontarkan bahwa hubungan antargenerasi sastra di Indonesia sudah terputus. ”Sebenarnya tidak Itu tak mungkin, buktinya, seniman dari Bali dan Bugis yang belum pernah bergaul dengan saya bisa tahu bahkan hafal sajak saya,” ujar penyair dan esais ini. Selamat ulang tahun, Bung Sitor.
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Rekonsiliasi itu perlu. Namun penegakan kebenaran juga tetap harus dilakukan sejalan dengan rekonsiliasi itu. Kalimat ini mengalir dari pendapat seorang Sitor Situmorang, penyair, prosais, yang terlibat dalam aktivitas dan sejarah kebangsaan, di momen pembacaan puisi dan cerpen bersama generasi terbaru.
Dengan tajuk ”Menengok ke Belakang, Mengintip ke Depan: 1965 sampai 2004” yang diadakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin (5/10), Sitor Situmorang, tampil bersama nama lain yang tak jauh dari generasinya, Putu Oka Sukanta dan Martin Aleida. Di momen yang diadakan oleh milis Sastra Pembebasan itu, Sitor mengatakan bahwa hal terpenting adalah memperjuangkan suara rakyat dan kebenaran.
Sitor, penyair kelahiran 2 Oktober 1924 di Harianboho, Sumatera Utara ini sehari sebelumnya juga baru merayakan hari ulang tahunnya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Hadir di acara itu generasi muda, dengan disiplin yang berbeda, akademisi, aktivis mahasiswa, hingga penikmat sastra.
Nama Sitor memang bukan hanya dikenal di kalangan budayawan tapi juga pergerakan Indonesia. Kehadiran rekannya di acara itu, Pramoedya Ananta Toer, menguatkan kesan, bahwa hingga kini, perjuangan tetap setia dan konsisten mereka jalani.
Inilah, salah satu sikap di antara untaian ceramah sang penyair di momen HUT-nya di Galeri Cipta II, saat berbicara tentang puisi: Akal dan bathin, pikiran dan perasaan ingin dipadukan dalam puisi, kesadaran manusiawi yang utuh, dan yang tidak dapat diuraikan, dianalisa memuaskan dengan akal semata.
Di momen ulang tahun ini, menarik juga melongok pameran yang digelar, mengetengahkan ”figur dan karya” Sitor Situmorang di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin.
Pameran seputar Sitor Situmorang yang dimulai sejak 1 Oktober itu, menggelar seputar biografi Sitor dan karyanya. Ada fotonya semasa perjuangan pergerakan nasional, masa kecil Sitor di Tanah Batak, Sitor muda dan keluarga, berita surat kabar seputar aktivitas politik dan budaya, surat-menyurat dia bersama sastrawan lain termasuk HB Yassin, tarombo (silsilah keturunan marga Situmorang-nya Sitor), juga buku-buku karya pengarang ini, yang tampak sudah usang namun bertahan oleh usia.
Yang menarik, keseluruhan karya-karya Sitor ini diletakkan di medium ”estetik” khas seorang Afrizal Malna. Afrizal jugalah yang mengusung foto-foto dan menempelkannya di kulkas tua, menempelkan foto lainnya di mesin cuci tua, menyandarkan bambu tepat di foto Sitor sehingga seolah tangan di foto itu menyentuh bambu. Ada juga karya pelukis Pande Ketut Taman, berupa pulasan hitam membentuk mawar ”tampak dari atas”, karya yang menerjemahkan puisi Sitor berjudul Mawar, yang hanya terdiri dari delapan kata: //Mawar jingga/ Mawar semesta/ Mawar nestapa/ Ciuman buta//
Sentuhan Afrizal di pameran ini, mau tak mau mengingatkan pada puisi Afrizal yang ”hiper-realis” dengan ”benda-benda yang berseliweran”, ”fantasmagoria”, ”lipatan waktu”, terasa berbenturan dengan figur dan karya seorang sastrawan pada masa ”Angkatan 1945”, yang lebih mengarah pada ”kebijakan alam dan romantisme” termasuk ”nuansa perjuangan dan kebangsaan”. Namun justru itulah, membuatnya tema paradoksal di antara keduanya itu jadi terkesan unik.
Sitor: Antologi, Teks, dan Apresian
Di Pusat Dokumentasi HB Yassin, beberapa hari setelahnya (6/10), diadakan acara bertajuk ”Dialog dengan Sitor Situmorang”. Sitor mengatakan di acara itu bahwa politik sudah lama dia jalani. Begitu pun tentang politik di dalam kesenian yang banyak macamnya. ”Termasuk ada generasi baru yang ingin dapat pengakuan pada generasi yang lebih tua,” ujarnya, sambil tersenyum.
Tapi bagi Sitor, justru sikap berpolitik itu lebih baik daripada ”berpura-pura tak berpolitik padahal berpolitik”. Ungkapan yang perlu dimengerti – bisa saja mengarah pada perbedaan yang pernah terjadi puluhan tahun silam. ”Itu sikap saya, termasuk ketika saya berhadapan dengan Soeharto dan rezim Orde Barunya,” ujarnya.
Sitor bahkan mengatakan di dalam politik kesenian, antologinya sempat tak diikutsertakan pada generasi yang sama dengan dirinya, tanpa pemberitahuan, tanpa mengajak debat dulu tentang kualitas karyanya atau memilih beberapa karya yang terbaik saja dari dirinya. Sama sekali pengujian itu tak dilakukan. ”Jadi bukan karena nilai karya, maka itu semua jadi (membuat saya punya) persangkaan-persangkaan. Tahunya ada (seniman di baliknya) masih layani keinginan ‘orang Orba’ tertentu,” ujar Sitor, seperti ingin membeberkan kembali kejadian masa lalunya itu.
Itu hal yang bagi Sitor, sesuatu yang rendah dan kekanak-kanakan, berupa kecemburuan. Memang, saat itu tak bisa diingkari bahwa karya Sitor sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa internasional, selain juga dia masuk dalam sejarah sastra periode 1945 dan 1966, suatu pembicaraan yang sempat terangkat dalam tulisan Ajip Rosidi (lewat bukunya Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir). ”Memang perilaku itu bahkan tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia,” ujar Sitor, membubuhkan.
Menurut Sitor lagi, secara pribadi, dia tak pernah ada ketakutan tidak diakui atau ikhlas mengakui kelebihan orang lain. Dia terus berkarya 1.000 sajak pun, belum tentu semua sama butuhnya (tergantung minat dan selera pembaca, red). Menurutnya, dia bahkan bisa membingungkan orang-orang yang ”tanggung-tanggung” referensi sastranya, sehingga ”sajak politik” saya lantas dibilang ”bukan puisi”. Bahkan, ada yang mengatakan, bahwa setelah Sitor berpolitik, dia jadi malu membaca karya Sitor yang berpolitik itu. Saat Sitor menulis tentang Marsinah (buruh yang terbunuh, red), lantas dibilang memalukan karena Sitor membuat sajak politik tentang Marsinah. ”Saya bahkan dibilang melacur kalau bikin sajak semacam itu. Bagi saya, orang semacam itu ”beda” budaya dan beda dunianya dengan saya. Untuk itu, saya tak perlu masuk antologi untuk orang yang kayak begitu!” ujarnya, berapi-api.
Dia kemudian memaparkan bahwa sekalipun tak masuk antologi, nyatanya pada generasi setelahnya, orang masih mengingat dirinya. Dia mencontohkan saat dirinya datang ke acara Cakrawala Sastra Indonesia (14-17 September 2004 yang lalu), sebagai undangan dan bukan sebagai peserta. Dia akan menyaksikan mereka baca. ”Saya yakin saya belum kenal mereka dan mereka belum kenal saya. Tapi ternyata malah tegur saya, ‘Wah Pak Sitor…’ lalu tet..tett..tett… dia ngomong banyak sambil mengutip kalimat yang dikutip dari sajak saya. Tidak ada yang lebih memuaskan dan membahagiakan saya daripada suasana pertemuan semacam itu,” ujarnya. Bagi Sitor itu lebih daripada sekedar antologi, karena sifat pertemuan kali ini tak formal dan spontan, dan lebih tulus.
Dengan kisah pertemuan dengan generasi ”penyair generasi sekarang” itu, dia kemudian menghubungkannya dengan pendapat seorang Fuad Hassan yang pernah melontarkan bahwa hubungan antargenerasi sastra di Indonesia sudah terputus. ”Sebenarnya tidak Itu tak mungkin, buktinya, seniman dari Bali dan Bugis yang belum pernah bergaul dengan saya bisa tahu bahkan hafal sajak saya,” ujar penyair dan esais ini. Selamat ulang tahun, Bung Sitor.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita