Tampilkan postingan dengan label Sihar Ramses Simatupang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sihar Ramses Simatupang. Tampilkan semua postingan

13/03/18

Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin

Nurel Javissyarqi *

Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya ‘Paus Sastra Indonesia’ yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi,” Grafiti 1995, tentunya lagi berseberangan.

01/04/12

Fenomena Komunitas Sastra: Dari Pengunjung Stasiun Senen sampai “Warung” Bulungan

Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan, 28 Feb 2009

Di areal lapangan yang menghubungkan antara Stasiun Senen dan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, di tengah penumpang kereta api yang ingin pulang dan pergi, di antara pedagang kaki lima, pengamen dan pengemis kota Jakarta, diskusi bertajuk “Sepilihan Puisi Penyair” karya Giyanto Subagio-Kongkow Sastra Planet Senen-Labo Sastra” ini pun digelar. Tepatnya di Plaza Depan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, Jalan Stasiun Senen Nomor 1, Senin (23/2). Pembicaranya penyair Dharmadi dan sastrawan juga pengamat budaya Mustafa Ismail.

20/08/11

Menuju Malin Kundang Teater?

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Membicarakan teks naskah teater Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan (Komodo Books, 2011), kumpulan dua berkas teks dramatik Harris Priadie Bah tak bisa dilepaskan dengan konsep seorang Harris sebagai penulis naskah, sutradara sekaligus aktor teaternya bersama kawan aktor yang lain.

Dalam kerangka teater modern, sebuah teks, di atas kertas naskah ataupun dalam pemanggungan diliputi semangat eksplorasi teknis ataupun tematis. Semangat realisme teater di Rusia atau kebangkitan teater buruh di Amerika adalah siasat eksplorasi tema terepresentasi dari ledakan komunal dan sosial peradaban dan habitat masing-masing.

Sementara itu, unsur teknis dengan kadar yang berbeda akan mengeksplorasi pencarian dari tataran sederhana hingga yang teramat canggih. Seorang aktor termasuk di pemanggungan teater tradisi yang menghafal naskah lisan akan menyuarakan tema dan teknis itu dengan sebaik-baiknya.

Perkembangan dunia pemikiran ikut merayakan dua elemen utama itu dengan klaim konsep mereka sebagai konsep yang baru, konsep yang cerdas dan brilian. Eksplorasi teknik berteater jauh melambung tinggi melebihi teater tradisi. Eksplorasi yang bisa meliputi unsur filosofis, surealistik, hingga struktur yang serupa potongan mozaik.

Teater Kami tak bisa lepas dari wacana Harris Priadie Bah. Mulanya, penonton bisa saja mengira teater ini mengambil napas pemikiran sejarah teater dunia. Namun, ternyata, Harris membuat tesis-antitesis lalu membuat sintesis baru atas jelajah teks-panggung teaternya.

Syahdan, malam 3 Juli 2006, saya menonton pertunjukan Teater Kami dengan lakon Perjamuan Kata dan Tubuh-tubuh yang Membaca adaptasi bebas terhadap karya Hirata Oriza, penulis naskah teater yang terkemuka di Jepang. Lima aktor Teater Kami menampilkan adegan kesibukan: seseorang salat subuh diriingi azan, orang main gaple, orang gosok gigi, pelacur berceloteh, lakon suami ngamuk, dan seterusnya. Fragmen, mozaik, back-tracking, filmis.

Gila, pikir saya. Jakarta dan Tokyo ternyata tak berbeda di kepala kita. Ramai, sumpek, cepat, ngebut, hantam. Hancur! Ternyata, dengan pengalaman pertunjukan Kwartet Kematian dan Berkas-berkas Ingatan Sang Perawan (Death And The Maiden), The Key (2005), Perjamuan Kata dan Tubuh-tubuh yang Membaca (2006), MenOs (2008), Gegerungan (2009), tibalah saya pada pembacaan kredo di pengantar buku Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan yang punya sikap, tegas, dan lugas.

Kami, lewat salah satu kaki tangan-nya, Harris Priadie Bah, menjadi seorang Malin Kundang. Ia berkhianat pada wacana setelah terlebih dulu mengimaninya. Seorang pendurhaka! Si Malin Kundang, yang memiliki dua kesadaran. Seperti yang diulas di atas, Malin Kundang teknik dan Malin Kundang tematik.

Malin Kundang setidaknya mereka mencoba mendobrak tatatan atas teks penokohan sekaligus perwatakan yang mapan. Tokoh tak lagi berfokus pada karakter individual yang wajib diselami sebagaimana teks sastra ataupun teks naskah drama, namun lebih pada “ungkapan bersama” terhadap sebuah kondisi yang sama-sama dirasakan para aktornya.

Tokoh yang tak setia pada narasi dan bangunan tokoh yang utuh. Setting waktu tidak dihadirkan dalam bentuk siang atau malam begitu saja, dalam bentuk jam atau lonceng weker saja, melainkan dibiarkan melompat ke sana-kemari. Ini kemungkinan, atau betulkah mereka Malin Kundang? Atau, jangan-jangan mereka malah jadi anak emas teater modern? Bukankah “Malin Kundang” justru adalah konsep teater modern, semakin subversif justru semakin disukai.

Makna “Kami”

Istilah “kami” dalam Teater Kami sendiri kemudian dijadikan sebagai istilah yang mengacu pada sebuah konsep. Menurut Prof Dr H Mudjia Rahardjo, M.Si (2010), dalam bahasa Inggris, kedua kata “kami” dan “kita” hanya diwakili oleh kata “we”, dalam bahasa Arab “nahnu”, dalam bahasa Jerman “wir“, dalam bahasa Belanda “wij“, dalam bahasa Perancis “nous”, sedangkan dalam bahasa Rusia “Mbl”. Dengan kata lain, untuk mengungkapkan konsep “kita” dan “kami”, dalam bahasa Inggris, Arab, Jerman, Belanda, Prancis, dan Rusia hanya ada satu kata.

Ketika teater ini mengklaim sebagai “kami” dan bukan “kita”, maka akan memisahkannya dengan istilah “mereka”. Kami, bisa pernyataan kelompok, yang merasa-rasa sebagai orang teater, seniman, orang Indonesia, pribumi dan banyak bentuk blokade lain untuk memisahkannya dengan kelompok “mereka”.

Ke-kami-an juga menjadi pintu untuk menuju pembelokan dua lorong. “Kami”, mempengaruhi cara berpikir tematis atas teater yang mereka garap. Kami, menjadi liyan, kami menjadi negeri yang punya perbedaan, kami menjadi komunal yang lain, “kami” bukan “aku”, “mereka” atau “kalian” atau “kita” karena lebih mewakili sebuah kelompok dapat dibaca sebagai kesadaran lokal dan komunal di tengah nafsu global dan universal.

Selain lokal dan komunal, kami, di dalam kesadaran tematis, membangkitkan kesadaran personal. Trans- individual terantar pada kebangkitan bersama kami. Kami yang orang Indonesia, negara dunia ketiga, kelompok yang tak sejahtera, gerakan kelompok yang berwacana sekaligus menderita.

Keluhan kami di naskah teater ini sangat berat, tapi semua berasal dari masalah sepele, perut lapar, ingin merokok, kemiskinan, banyak utang, dibohongi kegiatan teater yang tak berguna dan tak sejahtera, seniman yang membubung idealisme tapi ditohok kesejahteraan ekonomi dan masa depan, seniman yang terpuruk dan memburam.

Keluhan kami dapat menjadi kejujuran, apalagi bila diyakini bahwa persoalan utang-piutang mereka akan diperihkan dan dialami juga oleh para penontonnya.

Kami bisa dimaknai sebagai tema, dapat berkembang menjadi sebuah pembaruan teknik. Bila para kalangan teater realisme sosialis dan komunis mengangkat persoalan kelompok dengan ideologi dan partai, Teater Kami tak terlalu “repot”, cukup dengan mengatakan semua penderitaan itu adalah milik “kami”.

Sebaliknya, mereka tentu akan menolak ketika dituding bagian dari individualisme sekaligus pragmatisme. Suaranya komunal, tetapi penghayatannya individual. Hanya, sejauh manakah masalah individual atau masalah keluarga dihayati dengan makna kami? Bagaimana “kita”, “dunia”, bahkan dunia “saya” penonton dapat berempati terhadap kejadian yang dialami oleh “kami”?

Inilah yang diungkap Mas Nano: “... Diperlukan kerja ekstra keras agar yang personal itu jadi milik orang lain pula... Teater baru terasa kehadirannya, ketika ada orang lain yang kemudian merasa, bahwa, permasalahan yang diungkap di pentas bukan permasalahan yang asing, melainkan permasalahan milik mereka juga...”

Naskah teater ini dicurigai hasil stek sambung dari persoalan kehidupan aktor-aktornya. Namun, segala curhat dari pribadi-pribadi para aktor ini kemudian secara cerdas dijadikan dialog yang kata-katanya dibalik, ditesis-antitesiskan, menjadi sekumpulan dialog yang bernas.

Di pihak lain, persoalan itu, karena menjadi persoalan para teaterawan yang miskin, rakyat yang miskin, negara dunia ketiga yang miskin, seolah ini merupakan sebuah sikap, konsep bahkan pemberontakan. Teater, telah menyatukan benak di dalam kepala teaterawan, rakyat, warga negara miskin, menjadi sebuah manifesto “kami” di atas panggung.

Judul Buku : Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang Menafsirkan–Gegerungan Gegirangan
Penulis : Harris Priadie Bah
Penerbit : Komodo Books, 2011
Tebal : 72 halaman

29/11/10

Menyikapi Internet Sebagai Media Bersastra

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Pembacaan cerita pendek oleh Danarto di QB Book Store saat peluncuran Graffiti Imaji oleh Yayasan Multimedia Sastra pekan lalu adalah sebuah momen menarik buat para penulis yang selama ini cukup produktif di dalam situs internet. Terbitnya kumpulan cerita pendek—memuat 83 karya yang dipilih oleh Sapardi Djoko Damono, Yanusa Nugroho, dan Anna Siti Herdiyanti—ini menguatkan posisi karya sastra dalam dunia internet.

Seiring perkembangan teknologi, internet menjadi alternatif media bagi seniman untuk berkarya. Tak heran, banyak situs yang kemudian bermunculan untuk mewadahi kreativitas para sastrawan. Salah satunya adalah www.cybersastra.net. Situs yang dibentuk oleh Yayasan Multimedia Sastra ini nyatanya mampu menjadi wadah yang memadai. Buktinya, telah dua buku diterbitkan oleh Yayasan Multimedia Sastra yang materinya diambil dari karya-karya yang disumbangkan seniman pada situs tersebut, baik berupa cerita pendek, puisi, maupun esei.

Situs lain yang juga bergerak di bidang sastra bernama www.bumimanusia.or.id. Dari situs ini, telah dihasilkan beberapa karya tercetak antara lain antologi cerpen Puthut E.A yang berjudul Sebuah Kitab yang Tak Suci, dan Beatniks, puisi-puisi Nuruddin Asyhadie, dan Bumi Manusia 1: Ini … Sirkus Senyum. Ini belum dihitung dengan terbitnya beberapa jurnal yang sebelumnya telah melewati sistem penyeleksian melalui editorial situs tersebut.

Para sastrawan yang cukup dikenal dan setia di dalam berproses pun, banyak yang sudah pernah terlibat di dalam pengukuhan karya-karya para sastrawan di dunia internet. Tak kurang beberapa nama seniman yang cukup lama dikenal, ikut mendukung fenomena sastra internet di media massa. Para penulis itu antara lain Eka Darma Putera, F. Rahardi, Meidy Lukito hingga Sobron Aidit.

Kontroversi

Walau sastra internet tak bisa dipandang sebagai genre karena tidak menghasilkan sebuah tradisi baru, tanpa perjuangan estetik (istilah yang digunakan penyair Ahmadun Yosi Herfanda), dan juga masih mengangkat nama-nama penyair lama di media cetak, antara lain Dorothea Rosa Herliany, Viddy AD, Aslan Abidin, Endang Supriadi, Gus tf Sakai, dan Cecep Syamsul Hari, tak dapat disangkal pula keberadaannya memunculkan pula nama-nama baru yang tengah berproses dan mulai menguat di dunia sastra maya itu.

Sementara itu, Ribut Wiyoto (penulis esei sastra) menanggapi dengan tajam. Menurutnya, sasatra internet adalah media yang terlalu mudah menerima naskah, tanpa memiliki kriteria yang jelas. Redaksi juga dipandangnya terlalu berkompromi dengan naskah-naskah yang masuk di dalamnya. Akibatnya, para penulis yang ada pun agak diragukan kualitasnya. Walau pemerhati sastra, Yaqin Saja, juga mengingatkan tentang situs lain yang tidak dicermati oleh Ribut–misalnya yang mengangkat karya Sitor Situmorang–tetapi kualitas karya memang harus jadi perhatian tersendiri bagi redaksi.

Jagat sastra Indonesia tampaknya membutuhkan sebuah isu kontroversial selain isu kelahiran para senimannya. Bila dulu muncul perdebatan tentang sastra Balai Pustaka atau bukan, Lekra atau Manifest, sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, genre prosa liris, sastra kontekstual lewat Arief Budiman dan Ariel Haryanto, mungkinkah isu ”kacangan” tentang sastra internet menjadi sebuah topik dan fenomena menarik?

Di sisi lain, selain kekurangan yang ada, media internet memang meruapkan sebuah alternatif terhadap tersumbatnya kebebasan kreatif mengenai kriteria sastra di dalam media massa. Di dalam pembicaraan SH dengan Nanang Suryadi dan Sutan Iwan Soekri Munaf, dipaparkan juga tentang kelebihan sastra internet yang antara lain ikut memberikan ruang baru terhadap definisi cerpen. Cerpen yang bisa hadir dalam bentuk ”sangat mini” atau ”sangat panjang”, itu berbeda dengan media massa yang punya syarat tegas tentang halaman cerpen yang memenuhi kriteria.

Intensitas yang jauh lebih dinamis dibanding media cetak merupakan kelebihan media internet. Media ini bisa menampung lebih banyak karya dibanding majalan, jurnal, atau koran yang hanya memuat beberapa karya saja dalam satu minggu.

Sastra internet adalah sebuah tradisi yang muncul di tengah perkembangan teknologi. Di Indonesia, atau di dunia, sastra internet bisa jadi merupakan sebuah tesis dan antitesis terhadap dinamisasi sastra. Tersumbatnya saluran eksistensi bagi generasi muda—yang terlihat dari minimnya kelahiran komunitas baca sastra, kantong kesenian, peluncuran antologi atau event lomba—membuat sastra internet adalah sebuah tawaran yang kemudian digandrungi. Apakah internet hanya melahirkan seniman yang instan, tak percaya diri dan tak teruji dalam persaingan? Perjalanan waktulah yang akan membuktikannya.

17/10/10

“Sebuah Pertemuan Puisi Indonesia-Prancis”

Membaca Puisi dan Budaya Tradisi Lisan
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

“Puisi-puisi di Prancis saat ini juga kontemporer,” ujar Isabelle Pincon, penyair Prancis kepada SH di acara “Sebuah Pertemuan Puisi Indonesia-Prancis”. Acara itu digelar di Galeri Cemara 6 Jl. HOS Cokroaminoto No. 9-11 Menteng, Selasa (9/3) malam.

Itulah yang diungkapkan oleh Pincon terhadap karya-karya penyair Prancis. Ia juga menuturkan tentang ledakan masa surealisme dalam karya sastrawan Prancis sejak tahun 1940-an.

Karya para penyair Indonesia yang dimunculkan malam itu juga tak jauh berbeda, kata Pincon. Dengan kata lain, dia merasakan juga varian puisi di Indonesia yang kompleks. Dia mengatakan bahwa sebelumnya dia tak pernah berinteraksi dengan puisi-puisi para penyair Indonesia, namun telah membaca dan mendengarkannya dalam forum pembacaan malam ini. Hasilnya? “Saya suka, misalnya saja, puisi karya Goenawan Mohamad saya lebih sukai,” ujar Isabelle.

Begitulah, karya-karya para penyair Prancis dan penyair Indonesia itu sama-sama mengalir. Dua-tiga sajak mereka dibukukan, lalu diurutkan dan dibacakan.

Para penyair Indonesia yang dihadirkan termasuk Gunawan Mohamad, Sitor Situmorang, Toeti Heraty Noerhadi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Eka Budianta, Ayatrohaedi, Ajip Rosidi, Ayatro Haedi, Putu Oka Sukanta, dan Rieke Dyah Pitaloka telah duduk di muka penonton yang hadir di galeri itu. Mereka siap membacakan bersama para penyair Prancis yang dihadirkan juga di malam itu: Oscar Riou dan Christian Dumet.

Pincon menyebutkan ciri dan karakter puisi para penyair Indonesia juga modern, terlihat dari penekanan pada kebaharuan dan juga pemilihan agar bahasa-bahasa itu tak biasa sehingga menjadi tawaran segar saat diciptakan dalam bentuk puisi.

Malam itu, para penyair, selain membaca puisinya sendiri, juga membacakan karya-karya penyair yang lain, termasuk yang kini sudah almarhum tetapi tetap merupakan tonggak sejarah dari bentuk dan karakter puisi. Toeti membaca karya Soebagio Sastrowardoyo, Dorothea membacakan karya puisi Chairil, Sitor Situmorang membaca puisi Toto Sudarto Bachtiar. Atau untuk para penyair dari Prancis Isabelle Pincon, setelah membaca puisi sendiri juga membaca karya penyair Arthur Rimbaude dan Verlaine. Atau Roland Reutenauer, yang membacakan sajak Charles Baudelaire.

Pembacaan yang dilakukan lebih pada mengeja secara khidmat teks itu, menurut Pincon tak berbeda jauh dengan pembacaan puisi di Prancis. Di forum yang terjadi atas kerja sama dengan Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta ini, memang pembacaannya teramat variatif, termasuk vokal, inner dan ekspresinya itu.

Pincon berkomentar bahwa di dalam teks, karya penyair Indonesia sangat kuat. Sama halnya seperti ia membuat sebuah puisi. Pincon mengatakan saat mencipta teks ia sudah membayangkan bagaimana teknik ngomong dan berbicaranya saat puisi itu harus juga dibacakan.

Interaksi dan Intensitas

Hal itu juga dilontarkan Toeti Heraty dalam kata pengantar buku yang sekaligus berfungsi sebagai “semikatalog” acara pembacaan puisi itu: Oleh karena itu, peristiwa “Poesie Musim Semi 2003” yang diulang tahun 2004 menjadi penting. Selain workshop antarpenyair yang bukanlah hal ikhwal terjemahan sajak dan sajaknya didiskusikan, tetapi hal-hal yang lebih umum seperti publikasi karya poesie, penyebaran poesie dan kedudukan poesie di dalam masyarakat.

Selain itu, momen ini dikemas lewat pertunjukan dengan patokan katalog dwibahasa: Indonesia dan Prancis, hingga memudahkan para penonton yang berbeda latar bahasa memahami karya yang dibacakan.

Pendapat Pascal Riou bahwa di Prancis tak ada lagi tradisi sastra lisan. Sementara itu, Sitor Situmorang berpendapat penyair yang baik bukan hanya pembaca yang baik dan akrab dengan tradisi lisan, dengan upacara ritual dan syair hapalan karena di Indonesia tradisi sangat kaya dan beragam begitu pula dengan puisi.

Hal ini menjawab tentang pembacaan Pincon dan Reutenauer yang lebih pada pembacaan biasa dan berbeda dengan Dorothea yang membacakan puisi dengan nada yang terkadang ekspresif dan nada lagu yang terkadang kental, atau bahkan pembacaan puisi Rieke yang sempat disajikan dalam bentuk lagu.

Wajar saja, para penyair itu ada juga yang berinteraksi dengan dunia luar negara Indonesia, termasuk bahasa Prancis.

Ada juga penyair Indonesia yang memperlihatkan dialog dengan negara Prancis lewat tema karyanya. Hal itu terlihat dari salah satu pembaca karya yaitu Ayatrohaedi yang berjudul Di Katedral Saint Andre, Bordeaux: Di Katedral Saint Andre//seorang pendeta tua//dengan khidmat bersimpuh//di depan patung Maryam.// Berdoa…

Selain itu, Isabelle mengungkapkan bahwa momen ini punya dampak di sisi lain yang sangat positif, diharapkan momen pembacaan juga dapat berguna untuk membuka jalinan interaksi di antara penyair kedua negara tersebut.

Acara ini, tambah Toeti, memberikan pemahaman tentang kata ke kata atau dari makna ke makna, penghayatan di luar cakrawala sehari-hari. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai penyelaman dan mereguk intensitas penghayatan yang berbeda, intensif tetapi tanpa risiko, sebagai pengalaman yang luar biasa.

11/07/10

Perjuangan Rakyat, Berpameran, dan ”Tak Termuat di Antologi”

HUT Ke-80 Sitor Situmorang

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Rekonsiliasi itu perlu. Namun penegakan kebenaran juga tetap harus dilakukan sejalan dengan rekonsiliasi itu. Kalimat ini mengalir dari pendapat seorang Sitor Situmorang, penyair, prosais, yang terlibat dalam aktivitas dan sejarah kebangsaan, di momen pembacaan puisi dan cerpen bersama generasi terbaru.

Dengan tajuk ”Menengok ke Belakang, Mengintip ke Depan: 1965 sampai 2004” yang diadakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin (5/10), Sitor Situmorang, tampil bersama nama lain yang tak jauh dari generasinya, Putu Oka Sukanta dan Martin Aleida. Di momen yang diadakan oleh milis Sastra Pembebasan itu, Sitor mengatakan bahwa hal terpenting adalah memperjuangkan suara rakyat dan kebenaran.

Sitor, penyair kelahiran 2 Oktober 1924 di Harianboho, Sumatera Utara ini sehari sebelumnya juga baru merayakan hari ulang tahunnya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Hadir di acara itu generasi muda, dengan disiplin yang berbeda, akademisi, aktivis mahasiswa, hingga penikmat sastra.
Nama Sitor memang bukan hanya dikenal di kalangan budayawan tapi juga pergerakan Indonesia. Kehadiran rekannya di acara itu, Pramoedya Ananta Toer, menguatkan kesan, bahwa hingga kini, perjuangan tetap setia dan konsisten mereka jalani.

Inilah, salah satu sikap di antara untaian ceramah sang penyair di momen HUT-nya di Galeri Cipta II, saat berbicara tentang puisi: Akal dan bathin, pikiran dan perasaan ingin dipadukan dalam puisi, kesadaran manusiawi yang utuh, dan yang tidak dapat diuraikan, dianalisa memuaskan dengan akal semata.

Di momen ulang tahun ini, menarik juga melongok pameran yang digelar, mengetengahkan ”figur dan karya” Sitor Situmorang di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin.

Pameran seputar Sitor Situmorang yang dimulai sejak 1 Oktober itu, menggelar seputar biografi Sitor dan karyanya. Ada fotonya semasa perjuangan pergerakan nasional, masa kecil Sitor di Tanah Batak, Sitor muda dan keluarga, berita surat kabar seputar aktivitas politik dan budaya, surat-menyurat dia bersama sastrawan lain termasuk HB Yassin, tarombo (silsilah keturunan marga Situmorang-nya Sitor), juga buku-buku karya pengarang ini, yang tampak sudah usang namun bertahan oleh usia.

Yang menarik, keseluruhan karya-karya Sitor ini diletakkan di medium ”estetik” khas seorang Afrizal Malna. Afrizal jugalah yang mengusung foto-foto dan menempelkannya di kulkas tua, menempelkan foto lainnya di mesin cuci tua, menyandarkan bambu tepat di foto Sitor sehingga seolah tangan di foto itu menyentuh bambu. Ada juga karya pelukis Pande Ketut Taman, berupa pulasan hitam membentuk mawar ”tampak dari atas”, karya yang menerjemahkan puisi Sitor berjudul Mawar, yang hanya terdiri dari delapan kata: //Mawar jingga/ Mawar semesta/ Mawar nestapa/ Ciuman buta//
Sentuhan Afrizal di pameran ini, mau tak mau mengingatkan pada puisi Afrizal yang ”hiper-realis” dengan ”benda-benda yang berseliweran”, ”fantasmagoria”, ”lipatan waktu”, terasa berbenturan dengan figur dan karya seorang sastrawan pada masa ”Angkatan 1945”, yang lebih mengarah pada ”kebijakan alam dan romantisme” termasuk ”nuansa perjuangan dan kebangsaan”. Namun justru itulah, membuatnya tema paradoksal di antara keduanya itu jadi terkesan unik.

Sitor: Antologi, Teks, dan Apresian

Di Pusat Dokumentasi HB Yassin, beberapa hari setelahnya (6/10), diadakan acara bertajuk ”Dialog dengan Sitor Situmorang”. Sitor mengatakan di acara itu bahwa politik sudah lama dia jalani. Begitu pun tentang politik di dalam kesenian yang banyak macamnya. ”Termasuk ada generasi baru yang ingin dapat pengakuan pada generasi yang lebih tua,” ujarnya, sambil tersenyum.

Tapi bagi Sitor, justru sikap berpolitik itu lebih baik daripada ”berpura-pura tak berpolitik padahal berpolitik”. Ungkapan yang perlu dimengerti – bisa saja mengarah pada perbedaan yang pernah terjadi puluhan tahun silam. ”Itu sikap saya, termasuk ketika saya berhadapan dengan Soeharto dan rezim Orde Barunya,” ujarnya.

Sitor bahkan mengatakan di dalam politik kesenian, antologinya sempat tak diikutsertakan pada generasi yang sama dengan dirinya, tanpa pemberitahuan, tanpa mengajak debat dulu tentang kualitas karyanya atau memilih beberapa karya yang terbaik saja dari dirinya. Sama sekali pengujian itu tak dilakukan. ”Jadi bukan karena nilai karya, maka itu semua jadi (membuat saya punya) persangkaan-persangkaan. Tahunya ada (seniman di baliknya) masih layani keinginan ‘orang Orba’ tertentu,” ujar Sitor, seperti ingin membeberkan kembali kejadian masa lalunya itu.

Itu hal yang bagi Sitor, sesuatu yang rendah dan kekanak-kanakan, berupa kecemburuan. Memang, saat itu tak bisa diingkari bahwa karya Sitor sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa internasional, selain juga dia masuk dalam sejarah sastra periode 1945 dan 1966, suatu pembicaraan yang sempat terangkat dalam tulisan Ajip Rosidi (lewat bukunya Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir). ”Memang perilaku itu bahkan tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia,” ujar Sitor, membubuhkan.

Menurut Sitor lagi, secara pribadi, dia tak pernah ada ketakutan tidak diakui atau ikhlas mengakui kelebihan orang lain. Dia terus berkarya 1.000 sajak pun, belum tentu semua sama butuhnya (tergantung minat dan selera pembaca, red). Menurutnya, dia bahkan bisa membingungkan orang-orang yang ”tanggung-tanggung” referensi sastranya, sehingga ”sajak politik” saya lantas dibilang ”bukan puisi”. Bahkan, ada yang mengatakan, bahwa setelah Sitor berpolitik, dia jadi malu membaca karya Sitor yang berpolitik itu. Saat Sitor menulis tentang Marsinah (buruh yang terbunuh, red), lantas dibilang memalukan karena Sitor membuat sajak politik tentang Marsinah. ”Saya bahkan dibilang melacur kalau bikin sajak semacam itu. Bagi saya, orang semacam itu ”beda” budaya dan beda dunianya dengan saya. Untuk itu, saya tak perlu masuk antologi untuk orang yang kayak begitu!” ujarnya, berapi-api.

Dia kemudian memaparkan bahwa sekalipun tak masuk antologi, nyatanya pada generasi setelahnya, orang masih mengingat dirinya. Dia mencontohkan saat dirinya datang ke acara Cakrawala Sastra Indonesia (14-17 September 2004 yang lalu), sebagai undangan dan bukan sebagai peserta. Dia akan menyaksikan mereka baca. ”Saya yakin saya belum kenal mereka dan mereka belum kenal saya. Tapi ternyata malah tegur saya, ‘Wah Pak Sitor…’ lalu tet..tett..tett… dia ngomong banyak sambil mengutip kalimat yang dikutip dari sajak saya. Tidak ada yang lebih memuaskan dan membahagiakan saya daripada suasana pertemuan semacam itu,” ujarnya. Bagi Sitor itu lebih daripada sekedar antologi, karena sifat pertemuan kali ini tak formal dan spontan, dan lebih tulus.

Dengan kisah pertemuan dengan generasi ”penyair generasi sekarang” itu, dia kemudian menghubungkannya dengan pendapat seorang Fuad Hassan yang pernah melontarkan bahwa hubungan antargenerasi sastra di Indonesia sudah terputus. ”Sebenarnya tidak Itu tak mungkin, buktinya, seniman dari Bali dan Bugis yang belum pernah bergaul dengan saya bisa tahu bahkan hafal sajak saya,” ujar penyair dan esais ini. Selamat ulang tahun, Bung Sitor.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita