Janual Aidi
http://sastra-indonesia.com/
Modernisasi menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Hal ini berhubungan dengan perubahan orientasi. Yang dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jati diri sebagai bangsa yang bermartabat.
Namun, proses modernisasi tampaknya masih dimonopoli oleh masyarakat perkotaan sampai sekarang, terutama di kota-kota negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kota-kota tersebut dikonsentrasikan sebagai pusat pembangunan, baik itu aspek material, mental-spiritual, dan sosio-kultural. Dengan kemudahan akses informasi, masyarakat desa melihat tersebut sebagai sesuatu yang menarik dan layak ditiru, sehingga sering kita dengar istilah “kebarat-baratan”, “anak gaul”, atau “kekota-kotaan”. Selanjutnya, mereka berusaha merubah citranya yang berakibat juga dengan perubahan citra daerah yang ditinggalinya.
Dalam situs www.wawasandigital.com , dengan tema “Membongkar Idiologi Pembangunan” disebutkan bahwa sebenarnya, pembangunan memiliki kekuatan patologis bagi Negara-Negara Dunia Ketiga. Pembangunan terlanjur menjadi slogan kekuasaan dan kebenaran tunggal bagi kelompok negara berkembang dan miskin ini. Indonesia bahkan harus menjadi hambanya.
Bersikap kritis kepada pembangunan dapat memicu penilaian sebagai pihak antipembangunan dan tidak mendukung “proyek besar modernisasi”. Menggugat pembangunan dianggap sebagai menentang kemajuan dan tidak peduli pada rakyat kecil. Ironisnya, jika disingkap lebih mendalam, pembangunan justru bisa memerosokkan nasib negara-negara yang menjalankan pembangunan itu sendiri.
Pembangunan sebagai proyek monumental dikembangkan para ideolognya yang memiliki keyakinan bahwa otonomi nasional Negara-Negara Dunia Ketiga dapat dicapai dan dipertahankan melalui penggunaan sumberdaya-sumberdaya eksternal dalam sebuah sistem yang kapitalistik. Kriteria keberhasilan yang digunakan adalah Barat. Pembangunan identik dengan kemajuan, dari masyarakat tradisional (primitif) menuju masyarakat modern (industri). Itulah yang disebut sebagai pembangunanism (developmentalism). Doktrin ini adalah reaksi Amerika Serikat terhadap komunisme dan gerakan-gerakan pembebasan di Asia dan Afrika. Corak pembangunan ini dimulai pada dekade 1950- an dan 1960-an.
Menurut nalar kritis saya, pembangunan yang menjadi doktrin ideologis itu merupakan pelaksanaan dari “penjajahan bercorak baru” (neokolonialisme). Para ideolognya menerapkan perspektif berwatak “Eropa-sentris” yang mengandaikan negara-negara non-Eropa tidak maju. Melalui konsep pembangunan, dominasi negara-negara Barat ditancapkan. Bentuknya yang paling kontemporer, sebagaimana diulas Naomi Klein (The Shock Doctrine, 2007), dijalankan sistematis ketika negara-negara berkembang terkena bencana alam. Tsunami, misalnya, yang menghancurkan kawasan di negara-negara miskin adalah peluang bagi Barat untuk memaksakan sistem pasar bebas. Dalih yang dipakai yaitu mendapatkan lagi stabilitas ekonomi. Itulah realisasi “kapitalisme bencana” yang saat ini dan selamanya terus diartikulasikan dengan paradigma moderen (modernisasi).
Wajah pembangunan mengalami transformasi pada 1970-an. Jika pada tahap sebelumnya, isu-isu yang ditebarkan adalah stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pendapatan, maka pada dekade ini, isu yang bergulir ialah lingkungan hidup. Maka, muncul konsep “pembangunan berkelanjutan” (sustainable development). Pemenuhan kebutuhan manusia jangan sampai merusak lingkungan hingga masa depan yang tak terbatas. Tiga isu didengungkan pada periode ini, yakni keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan sosial-politik.
Ada agenda tersembunyi pada model pembangunan ini. Lingkungan hidup yang mengalami kerusakan karena pelaksanaan pembangunan memang wajib dicegah. Tapi, doktrin ini membatasi pelaksanaan pembangunan negara-negara berkembang. Saat Negara-Negara Dunia Pertama, seperti Eropa dan Amerika Serikat, menciptakan polusi secara signifikan selama mereka melakukan pembangunan, negara-negara ini mengajari (malah memaksa) Negara-Negara Dunia Ketiga mengurangi polusi yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Jadi, pembangunan berkelanjutan bisa diartikan sebagai penerapan kembali gaya hidup pra-modern bagi negara- negara berkembang.
Tiga puluhan tahun kemudian, doktrin pembangunan mengalami perubahan lagi. Selama tahun 2000-2015, Tujuan-Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) diperkenalkan dan diterapkan. Akhirnya, kita hanya geleng-geleng kepala dan hanya bisa berujar dalam hati, “sungguh tragis adanya pembangunan yang dipahami dengan proses modernisasi ini!”.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Janual Aidi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Janual Aidi. Tampilkan semua postingan
18/08/11
08/01/11
MENGGUGAT PENDIDIKAN GAYA “BANK”
Janual Aidi
http://janualaidi01.blogspot.com/
…..”masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan
karena salah ajar (dysteachic communit) ”…..
(Thomas Armstrong, 2002)
Freire mengurai secara gamblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya.
Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di sinilah terselip ideologi penindasan.
Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.
Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang. Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner.
Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru. Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas seperti telah sebagian dikemukakan di muka– maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan.
Paulo Freire, seorang pemikir, konseptor pendidikan dan organisatoris politik berkebangsaan Brazil, menyadari betapa pentingnya “Kesadaran Manusia” terhadap suatu perubahan dalam masyarakat, sehingga Paulo Freire mencetuskan teori Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki masyarakat agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki masyarakat, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang ada di masyarakat. Kesadaran akan dapat terwujud melalui “Proses Pendidikan Sosial”, yang menempatkan pelajar sebagai subyek bukan obyek dan menjadikan realitas sosial sebagai materi pembelajaran serta bersifat dialogis yang berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dalam diri individu masyarakat. Freire juga mencetuskan idenya tentang proses penyadaran melalui pendidikan sosial serta memberikan gambaran tentang proses perubahan diri sesorang dari satu kesadaran menuju ke kesadaran lain. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas pemikiran Paulo Freire tentang Kesadaran serta merevansikannya terhadap proses Pengembangan Masyarakat sebagai salah satu cara untuk merubah masyarakat menjadi berdaya. Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga golongan, yakni: Kesadaran Magis (magical consciousness), Kesadaran Naif (naival consciousness) dan Kesadaran Kritis (critical consciousness).
1. Kesadaran Naif: keadaan yang dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for achievement dalam kesadaran ini di anggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya.
2. Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan system politik dan kebudayaan. Kesadaran Magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab ketidakberdayaan.
3. Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan analisis kritis untuk menyadari struktur dan system sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.
Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paolu Freire menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah adalah pendidikan “gaya bank”, menganggap murid sebagai obyek, tidak memiliki potensi dan murid tersebut harus diberikan (ditransfer) dengan ilmu/ teori-teori. Pendidikan seperti ini tidak dapat menimbulkan atau menumbuhkan kesadaran kritis bagi murid-muridnya dan hanya menjadikan murid sebagai robot-robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dengan pertimbangan bahwa konsep kesadaran (melalui pendidikan kritis) yang dicetuskan oleh Paulo Freire memiliki relevansi yang sangat signifikan dengan proses pengembangan masyarakat, maka menarik untuk mengkaji pemikiran (ide) Paulo Freire tentang kesadaran (kritis) dan merelevansikannya terhadap proses pengembangan masyarakat.
http://janualaidi01.blogspot.com/
…..”masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan
karena salah ajar (dysteachic communit) ”…..
(Thomas Armstrong, 2002)
Freire mengurai secara gamblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya.
Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di sinilah terselip ideologi penindasan.
Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.
Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang. Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner.
Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru. Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas seperti telah sebagian dikemukakan di muka– maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan.
Paulo Freire, seorang pemikir, konseptor pendidikan dan organisatoris politik berkebangsaan Brazil, menyadari betapa pentingnya “Kesadaran Manusia” terhadap suatu perubahan dalam masyarakat, sehingga Paulo Freire mencetuskan teori Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki masyarakat agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki masyarakat, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang ada di masyarakat. Kesadaran akan dapat terwujud melalui “Proses Pendidikan Sosial”, yang menempatkan pelajar sebagai subyek bukan obyek dan menjadikan realitas sosial sebagai materi pembelajaran serta bersifat dialogis yang berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dalam diri individu masyarakat. Freire juga mencetuskan idenya tentang proses penyadaran melalui pendidikan sosial serta memberikan gambaran tentang proses perubahan diri sesorang dari satu kesadaran menuju ke kesadaran lain. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas pemikiran Paulo Freire tentang Kesadaran serta merevansikannya terhadap proses Pengembangan Masyarakat sebagai salah satu cara untuk merubah masyarakat menjadi berdaya. Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga golongan, yakni: Kesadaran Magis (magical consciousness), Kesadaran Naif (naival consciousness) dan Kesadaran Kritis (critical consciousness).
1. Kesadaran Naif: keadaan yang dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for achievement dalam kesadaran ini di anggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya.
2. Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan system politik dan kebudayaan. Kesadaran Magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab ketidakberdayaan.
3. Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan analisis kritis untuk menyadari struktur dan system sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.
Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paolu Freire menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah adalah pendidikan “gaya bank”, menganggap murid sebagai obyek, tidak memiliki potensi dan murid tersebut harus diberikan (ditransfer) dengan ilmu/ teori-teori. Pendidikan seperti ini tidak dapat menimbulkan atau menumbuhkan kesadaran kritis bagi murid-muridnya dan hanya menjadikan murid sebagai robot-robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dengan pertimbangan bahwa konsep kesadaran (melalui pendidikan kritis) yang dicetuskan oleh Paulo Freire memiliki relevansi yang sangat signifikan dengan proses pengembangan masyarakat, maka menarik untuk mengkaji pemikiran (ide) Paulo Freire tentang kesadaran (kritis) dan merelevansikannya terhadap proses pengembangan masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita