Tampilkan postingan dengan label Janual Aidi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Janual Aidi. Tampilkan semua postingan

18/08/11

Komunikasi dan Pembangunan dalam Perspektif Modernisasi

Janual Aidi
http://sastra-indonesia.com/

Modernisasi menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Hal ini berhubungan dengan perubahan orientasi. Yang dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jati diri sebagai bangsa yang bermartabat.

Namun, proses modernisasi tampaknya masih dimonopoli oleh masyarakat perkotaan sampai sekarang, terutama di kota-kota negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kota-kota tersebut dikonsentrasikan sebagai pusat pembangunan, baik itu aspek material, mental-spiritual, dan sosio-kultural. Dengan kemudahan akses informasi, masyarakat desa melihat tersebut sebagai sesuatu yang menarik dan layak ditiru, sehingga sering kita dengar istilah “kebarat-baratan”, “anak gaul”, atau “kekota-kotaan”. Selanjutnya, mereka berusaha merubah citranya yang berakibat juga dengan perubahan citra daerah yang ditinggalinya.

Dalam situs www.wawasandigital.com , dengan tema “Membongkar Idiologi Pembangunan” disebutkan bahwa sebenarnya, pembangunan memiliki kekuatan patologis bagi Negara-Negara Dunia Ketiga. Pembangunan terlanjur menjadi slogan kekuasaan dan kebenaran tunggal bagi kelompok negara berkembang dan miskin ini. Indonesia bahkan harus menjadi hambanya.

Bersikap kritis kepada pembangunan dapat memicu penilaian sebagai pihak antipembangunan dan tidak mendukung “proyek besar modernisasi”. Menggugat pembangunan dianggap sebagai menentang kemajuan dan tidak peduli pada rakyat kecil. Ironisnya, jika disingkap lebih mendalam, pembangunan justru bisa memerosokkan nasib negara-negara yang menjalankan pembangunan itu sendiri.

Pembangunan sebagai proyek monumental dikembangkan para ideolognya yang memiliki keyakinan bahwa otonomi nasional Negara-Negara Dunia Ketiga dapat dicapai dan dipertahankan melalui penggunaan sumberdaya-sumberdaya eksternal dalam sebuah sistem yang kapitalistik. Kriteria keberhasilan yang digunakan adalah Barat. Pembangunan identik dengan kemajuan, dari masyarakat tradisional (primitif) menuju masyarakat modern (industri). Itulah yang disebut sebagai pembangunanism (developmentalism). Doktrin ini adalah reaksi Amerika Serikat terhadap komunisme dan gerakan-gerakan pembebasan di Asia dan Afrika. Corak pembangunan ini dimulai pada dekade 1950- an dan 1960-an.

Menurut nalar kritis saya, pembangunan yang menjadi doktrin ideologis itu merupakan pelaksanaan dari “penjajahan bercorak baru” (neokolonialisme). Para ideolognya menerapkan perspektif berwatak “Eropa-sentris” yang mengandaikan negara-negara non-Eropa tidak maju. Melalui konsep pembangunan, dominasi negara-negara Barat ditancapkan. Bentuknya yang paling kontemporer, sebagaimana diulas Naomi Klein (The Shock Doctrine, 2007), dijalankan sistematis ketika negara-negara berkembang terkena bencana alam. Tsunami, misalnya, yang menghancurkan kawasan di negara-negara miskin adalah peluang bagi Barat untuk memaksakan sistem pasar bebas. Dalih yang dipakai yaitu mendapatkan lagi stabilitas ekonomi. Itulah realisasi “kapitalisme bencana” yang saat ini dan selamanya terus diartikulasikan dengan paradigma moderen (modernisasi).

Wajah pembangunan mengalami transformasi pada 1970-an. Jika pada tahap sebelumnya, isu-isu yang ditebarkan adalah stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pendapatan, maka pada dekade ini, isu yang bergulir ialah lingkungan hidup. Maka, muncul konsep “pembangunan berkelanjutan” (sustainable development). Pemenuhan kebutuhan manusia jangan sampai merusak lingkungan hingga masa depan yang tak terbatas. Tiga isu didengungkan pada periode ini, yakni keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan sosial-politik.

Ada agenda tersembunyi pada model pembangunan ini. Lingkungan hidup yang mengalami kerusakan karena pelaksanaan pembangunan memang wajib dicegah. Tapi, doktrin ini membatasi pelaksanaan pembangunan negara-negara berkembang. Saat Negara-Negara Dunia Pertama, seperti Eropa dan Amerika Serikat, menciptakan polusi secara signifikan selama mereka melakukan pembangunan, negara-negara ini mengajari (malah memaksa) Negara-Negara Dunia Ketiga mengurangi polusi yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Jadi, pembangunan berkelanjutan bisa diartikan sebagai penerapan kembali gaya hidup pra-modern bagi negara- negara berkembang.

Tiga puluhan tahun kemudian, doktrin pembangunan mengalami perubahan lagi. Selama tahun 2000-2015, Tujuan-Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) diperkenalkan dan diterapkan. Akhirnya, kita hanya geleng-geleng kepala dan hanya bisa berujar dalam hati, “sungguh tragis adanya pembangunan yang dipahami dengan proses modernisasi ini!”.

08/01/11

MENGGUGAT PENDIDIKAN GAYA “BANK”

Janual Aidi
http://janualaidi01.blogspot.com/

…..”masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan
karena salah ajar (dysteachic communit) ”…..
(Thomas Armstrong, 2002)

Freire mengurai secara gamblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya.

Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di sinilah terselip ideologi penindasan.

Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.

Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang. Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner.

Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru. Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas seperti telah sebagian dikemukakan di muka– maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan.

Paulo Freire, seorang pemikir, konseptor pendidikan dan organisatoris politik berkebangsaan Brazil, menyadari betapa pentingnya “Kesadaran Manusia” terhadap suatu perubahan dalam masyarakat, sehingga Paulo Freire mencetuskan teori Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki masyarakat agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki masyarakat, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang ada di masyarakat. Kesadaran akan dapat terwujud melalui “Proses Pendidikan Sosial”, yang menempatkan pelajar sebagai subyek bukan obyek dan menjadikan realitas sosial sebagai materi pembelajaran serta bersifat dialogis yang berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dalam diri individu masyarakat. Freire juga mencetuskan idenya tentang proses penyadaran melalui pendidikan sosial serta memberikan gambaran tentang proses perubahan diri sesorang dari satu kesadaran menuju ke kesadaran lain. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas pemikiran Paulo Freire tentang Kesadaran serta merevansikannya terhadap proses Pengembangan Masyarakat sebagai salah satu cara untuk merubah masyarakat menjadi berdaya. Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga golongan, yakni: Kesadaran Magis (magical consciousness), Kesadaran Naif (naival consciousness) dan Kesadaran Kritis (critical consciousness).

1. Kesadaran Naif: keadaan yang dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for achievement dalam kesadaran ini di anggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya.

2. Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan system politik dan kebudayaan. Kesadaran Magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab ketidakberdayaan.

3. Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan analisis kritis untuk menyadari struktur dan system sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.

Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paolu Freire menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah adalah pendidikan “gaya bank”, menganggap murid sebagai obyek, tidak memiliki potensi dan murid tersebut harus diberikan (ditransfer) dengan ilmu/ teori-teori. Pendidikan seperti ini tidak dapat menimbulkan atau menumbuhkan kesadaran kritis bagi murid-muridnya dan hanya menjadikan murid sebagai robot-robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.

Dengan pertimbangan bahwa konsep kesadaran (melalui pendidikan kritis) yang dicetuskan oleh Paulo Freire memiliki relevansi yang sangat signifikan dengan proses pengembangan masyarakat, maka menarik untuk mengkaji pemikiran (ide) Paulo Freire tentang kesadaran (kritis) dan merelevansikannya terhadap proses pengembangan masyarakat.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita