Tampilkan postingan dengan label Martin Aleida. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Martin Aleida. Tampilkan semua postingan

15/09/11

Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh

Martin Aleida
http://cerpenkompas.wordpress.com/

Mangku tak sudi mati di tanah tumpah darahnya, Bali. Tidak! Hidup terlalu menyesakkan, hingga dia bersumpah lebih baik mati di daratan yang jauh. Tak pernah dia bayangkan jasadnya akan diantar ke kayangan bersama api ngaben yang meliuk. Suatu kematian terhormat yang buatnya adalah angan-angan yang jauh. Tetapi, dia yakin, mati sekadar diantar selantun doa tentulah mungkin. Dan, itu sudah jauh lebih mulia daripada kematian ayahnya.

Orang tua itu dibunuh karena menerima tanah cuma-cuma dari organisasi tani yang dituduh merampas tanah tuan tanah dan membagikannya kepada petani tak bertanah seperti dia. Huru-hara politik pun menggelegar. Bali berdarah. Hukum rimba direbut orang-orang yang dirasuki roh leak. Tuan tanah, yang menjadi korban landreform, melihat matahari baru menyingsing untuk merebut kembali tanah mereka.

Begitulah, suatu pagi, ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni, tanpa doa, konon pula air mata.

Di tempat lain, dalam huru-hara paling bengis itu, anak-anak menyertai ayah mereka ke dalam lubang. Mangku mujur. Air mata kanak-kanaknya jadi juru selamat. Pemilik tanah membiarkannya menempati gubuk orangtuanya. Dia jadi pembantu di rumah tuan tanah itu.

Siang seterik ini, duduk beristirahat di lindung bayang sulur-sulur daun, Mangku menebar pandang ke daratan menghampar. Dia melihat bayang-bayang masa kecilnya, bermain di tegalan, sementara Ayah dan Ibunya menggarap lahan dengan gairah seorang petani sejati. Bayang-bayang itu kemudian mengabur jadi kenangan hitam yang ingin dia tanam dalam-dalam. Dia mimpi tentang hari tuanya di daratan yang jauh dan pulang ke kayangan dengan sebuah doa.

Meski tak selesai sekolah dasar, dia tahu ada daratan bernama Lampung, di mana orang Bali membangun hidup baru tanpa meninggalkan adat dan kebiasaan. Dia ingin mati di sana diiringi doa sederhana oleh orang Bali sejati.

Sejak lama dia kumpulkan keterangan tentang Sumatera, yang menjadi kembang impiannya, termasuk peta jalan raya yang lumayan lengkap. Peta itu dia peroleh dari seorang kernet bus jarak jauh. Dia juga menyimpan kliping berita dari koran bekas yang dia pulung di pasar. Tetapi, peta itulah yang menyita minatnya. Saban malam, menjelang tidur, dia membentangkannya di lantai, selebar-lebarnya. Seperti seekor semut dia menyusuri jalan darat yang menghubungkan tempat tinggalnya dengan Lampung. Menggunakan mistar, entah berapa kali sudah dia menarik garis lurus dari desanya ke Pelabuhan Bakauheuni. Seribu dua ratus kilometer! Ah…! Biasanya, dia lantas ditenggelamkan angan-angan penuh tanya, berapa lama jarak itu akan dia tempuh dengan merayap dari satu titik perhentian ke titik yang lain. Angan-angan yang biasanya berkesudahan dengan tidur yang lelap.

Sering pula dia bayangkan betapa gentar hatinya nanti di atas feri yang akan membawanya menyeberangi Selat Bali. Kemudian, seribu kilometer sesudah itu, dia akan menjelajah hamparan air yang memisahkan Sumatera dan Jawa. Dia gentar karena yang akan dia arungi anak samudra, bukan secercah air seluas kali di belakang rumah tuannya.

Tetapi, sebuah doa lebih dahsyat dari gelombang. Jarak daratan dan laut apalah artinya untuk tekad siap mati. Mangku berbulat hati berangkat berbekal tabungan bertahun-tahun: seekor anjing Kintamani jantan dan seekor kera. Jantan pula. Uang kontan ala kadarnya. Tas kulit imitasi berisi pakaian dan sarung. Dua caping kepala. Dua pasang sandal jepit.

Sebesar apa, setinggi mana pun menyundul langit, dalam kegelapan malam begini, Gunung Agung bukan apa-apa. Lereng, apa lagi puncaknya, tak tampak. Selepas berdoa bagi keselamatan dirinya dan kedua sahabatnya, perlahan Mangku menguakkan pintu. Dia persilakan anjing Kintamani melangkahi bendul lebih dulu. Sesudah itu, dia keluar menggendong kera, dengan tas jinjing di tangannya. Angin menyapu punggung mereka.

Begitulah pengembaraan itu dimulai, tanpa pamit kepada siapa pun. Ini bukan pelampiasan dendam terhadap tuan tanah yang telah merebut kembali tanah yang beberapa tahun dikuasai ayahnya. Buat Mangku, yang ingin mati terhormat, risi rasanya tinggal di rumah tuan tanah itu. Terasa seperti beribu mata yang terus mengawasi kalau-kalau dia membalas dendam atas kematian ayahnya. Badai perasaan itu lebih baik diakhiri dengan diam-diam, tanpa basa-basi, pikirnya.

Malam pekat dan dingin mengarak Mangku, anjing, dan keranya mengendap-endap meninggalkan desa.

Manakala kunang-kunang terakhir membungkamkan pancaran fosfor dari tubuhnya untuk menyambut terang tanah, Mangku dan teman sepengembaraan tiba di tepi jalan beraspal. Kilau lampu mobil membuat jantungnya berdentam. Itulah bus yang dia tunggu. Sedikit gugup, dia mengacungkan tangan. Bus mendekat, berhenti beberapa depa dari tempatnya berdiri.

Bali tempat dewa bersemayam. Apa pun yang keluar dari sini, berhak atas kayangan. Anjing Kintamani dan kera jantan itu melenggang saja masuk ke feri di Gilimanuk. Tak perlu dikarantina. Mereka suci seperti Hindu. Penyakit hewan hanya berjangkit di luar pulau. Juga penyakit manusia yang bernama kekejian!

Mangku pernah membaca laporan, hanya setelah masuknya tentara dari luar Bali, menjelang penutupan 1965, berjangkitlah pembantaian terhadap mereka yang begitu saja dituduh makar dan cuma pantas untuk dibunuh seketika, bagai binatang penyakitan, termasuk ayahnya.

Tiba di Banyuwangi, Mangku mencari pangkalan bahan bangunan. Dia beli sebatang dolken. Sulit mencari ember kaleng. Tetapi, akhirnya dia temukan kaleng bekas pada seorang pedagang loak. Kaleng itu dia lilit karet dan jadilah tambur. Sementara batang dolken dia takik tiap jarak sejengkal.

Dengan alat itu, bersama anjing dan kera, Mangku membentuk “topeng monyet”. Tapi, ini bukan rombongan sembarangan. Ini seniman dari kayangan. Maka rantai tak diperlukan. Kedua hewan itu dibiarkan menikmati kebebasan untuk bermain, melompat, menari, jumpalitan, menggonggong, dan mengaing. Si kera bergerak dan menari karena dia suka, bukan karena dipaksa. Juga anjing Kintamani itu, yang berlari-lari dengan anggun mengibas-ngibaskan bulu ekornya yang halus, berjingkat sambil melompat-lompat memanjat dolken. Gerakan itu semata ungkapan cinta mereka kepada tuannya. Selain menabuh tambur, Mangku ikut menari, mulutnya berdecak-decak, tangannya berkibar-kibar, bagai penari kecak.

Kalau rombongan ini tampil di alun-alun kota yang mereka lalui, penonton berjejal seperti kerupuk.

Pengembaraan Mangku bersama kedua hewan itu tak selalu menyenangkan. Menjelang Semarang, beberapa kali dia ditahan aparat. Mereka meminta surat jalan. Mangku tak punya. Dari perjalanan panjangnya inilah dia tahu bahwa kesalahan–yang dibuat-buat penguasa, termasuk polisi, banpol, babinsa, hansip, dan tentara–bisa ditebus dengan uang.

Di Pemalang, dekat pantai Widuri, dia merinding, juga tersenyum kecut. Ceritanya, ketika dia akan menggelar pertunjukan, adalah kru film Austria yang sedang mengambil gambar di semak-semak, tak jauh dari bibir pantai. Diyakini, di situ dikuburkan sejumlah guru, lurah, dan pamong lain yang dituduh komunis. Mangku tergoda bergabung dengan kerumunan manusia di semak-semak itu.

Di depan kamera, seorang saksi mata menceritakan bahwa suatu malam, akhir Oktober 1965, ketika dia berusia 13, dia dengar rentetan tembakan dari arah laut. Esok paginya, dia pergi ke pantai menemui teman-temannya. Kaget, di situ dia jumpai sekelompok orang dewasa sedang menyeret-nyeret mayat yang tergeletak dingin di pantai. Anak-anak tanggung yang mengerubung disuruh ikut menyeret mayat yang sudah tak berdarah, dan melemparkannya ke lubang.

Mangku merunduk, hatinya meraung.

Tampil pula saksi lain. Orang ini, berusia di atas 60, mengaku disekap di Nusakambangan, sebelum dipencilkan ke Pulau Buru.

“Mereka yang terbaring di sini,” kata orang itu, “adalah orang-orang yang sangat disegani, dihormati. Mereka guru, pamong terbaik di daerah ini.”

Saksi itu berkisah, sepulang dari Buru dia menganggur. Pekerjaan satu-satunya adalah togel. Untuk mendapat nomor jitu, berbagai cara ditempuh para penjudi. Meminta nomor di kuburan, mereka lakoni. Dia sendiri pernah meminta nomor di kuburan massal itu.

“Malam-malam, saya letakkan kertas polio putih bersih. Di atasnya saya baringkan pensil,” katanya bersungguh-sungguh. “Besok paginya, saya datang. Dua kali saya dapat nomor. Dua kali bandar jebol,” dia tersenyum simpul, kerumunan orang bergoyang. Sambungnya: “Saya yakin, roh Pak Machdum, guru paling jempolan, yang menuliskan nomor itu. Orang lain juga pernah mencoba, tapi tak dapat apa-apa, kecuali kertas putih tok. Sebab, roh Pak Machdum cuma mau kasi nomor kepada mereka yang seideologi…,” tukasnya.

Perasaan Mangku diaduk-aduk. Hatinya diiris-iris, juga terasa dikilik-kilik. Dia tunduk, menyembunyikan senyum getir. Ketika kata-kata saksi mata itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kru film terpingkal-pingkal.

Tegal dia temui baik-baik saja. Juga Indramayu, Krawang, dan Cikampek. Mangku tak mengira, Jakarta cuma sebuah bencana. Siang itu, ketika dia melintasi daerah Menteng, terdengar sirene meraung. Dari mobil kap, orang berpakaian seragam berlompatan mengejarnya. Seseorang, yang membawa tangguk, menyauk anjingnya, dan melemparkan hewan itu ke mobil.

“Anjing rabies, jangan macam-macam, lu, ya…!” terdengar teriakan dari dalam mobil yang meluncur kencang. Mangku termangu. Keranya menjerit-jerit, tak rela kawannya diperkosa. Hanya itu yang bisa diperbuat kera itu. Kota sebesar ini cuma berisi penjahat, pikir Mangku.

Beberapa hari kemudian, setelah lelah berlari-lari kecil, melompat, menari-nari dalam satu penampilan bersama keranya di satu persimpangan, Mangku ingin melihat-lihat rumah yang besar-besar dan mentereng di selatan kota. Kera yang melenggang di sampingnya mendadak menyentak-nyentak tangannya. Terdengar gonggongan anjing dari pekarangan rumah. Mangku kenal betul gonggongan itu. Dia menghampiri pagar.

“Kaukah itu Jonggi…!?” teriak Mangku. Dia lihat anjing Kintamaninya dituntun seseorang dengan rantai metal yang melilit lehernya. Anjing itu mendekati pagar, ingin mencium lutut Mangku. Yang memegang rantai menyentakkannya. Penjepit di rantai itu mencubit leher anjing itu. Jonggi terkaing.

“Mau apa kamu, ha…?!”

“Itu anjing saya.”

“Bohong! Mau maling lu! Awas ya, saya lapor…” orang itu ngacir.

Ditunggu berjam-jam, orang itu tak keluar juga. Dari arah dalam, Jonggi terus menggonggong. Mangku tahu betapa gelisahnya anjingnya itu. Lama-kelamaan gonggongan semakin menghilang, diredam rantai pencekik. Satpam datang mengusir Mangku. Anak Bali dan sahabatnya menyingkir. Hati mereka laksana dua serangkai, sama-sama terluka.

Jakarta cuma memberi bekal kekecewaan tak terbayar. Menumpang truk, Mangku menuju Merak. Dia ingat, dari kota pelabuhan ini, sekali lompat dia sudah akan menginjak daratan idaman. Tempat di mana dia ingin mati secara wajar, diiringi doa, tentu. Tidak seperti Ayahnya.

Di Merak, matahari menggigit melumatkan kulit. Mangku memutuskan istirahat di emper gudang. Duduk mencangkung, dia belai teman semata wayang. Luka hatinya, karena anjingnya yang dirampok dan diperkosa di Jakarta, belum sembuh. Namun, udara lembab bergaram dan deburan ombak agak menawarkan perasaannya.

Selagi dia menerawang, tiba-tiba seekor anjing menerjang dari bawah truk yang sedang parkir dan menyerang kera di sebelah Mangku. Kera itu menjerit, melompat, dan secepat kilat bergantung di kaso emper. Darah menetes dari pahanya. Selang beberapa detik, diiringi raung pertanda siap membunuh, segerombolan anjing menyerbu dan berkerumun sambil menggonggong kera terluka yang bertengger. Mangku lari ke lapangan, menggenggam pasir, dan melemparkannya ke gerombolan anjing tadi. Mereka berlarian menyingkir.

Malamnya, Mangku meratap tertahan-tahan isak tangis. Di hadapannya, sahabatnya terkapar di tikar. Kera itu kejang. Mulutnya berbuih.

Paginya, para pemancing menemukan bangkai anjing mengapung. Rupanya, anjing pembawa rabies, yang menyerang kera Mangku, mati, dan orang membuangnya ke laut.

Mangku takkan memperlakukan sahabatnya seperti itu. Dia membungkus jasad sahabatnya dengan hormat, membawanya menyeberangi selat. Sesampai di daratan Sumatera, Mangku membopong tubuh kaku kera itu menuju daratan yang agak tinggi, menatap selat.

Mangku tegak di atas lutut menghadap lubang. Berdoa beberapa saat, lantas dia menimbuni kuburan itu dengan tanah. Juga air mata. “Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa….”

Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2008/05/04/mangku-mencari-doa-di-daratan-jauh/

01/05/10

Sitor Situmorang: Tak Ada Dendam, Tak Ada Yang Disesalkan

Martin Aleida
http://www.sastra-indonesia.com/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=199407399697

Genealogis, siapa sebenarnya Sitor Situmorang itu? ”Saya adalah keturunan Si Marsaitan generasi ke-12,” kata sang penyair dengan lantang. Si Marsaitan? Kalau begitu kakek-moyang Sitor adalah anak yang tidak diinginkan oleh ibunya, yang lahir dari cinta palsu, karena perempuan yang hebat itu berpura-pura cinta dan menjadi istri karena ingin membalas dendam atas kematian suami yang sungguh dia cintai. Dalam biografi yang ditulisnya, ”Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba,” dia mengisahkan serentetan kejadian dramatis, begini rupa: Di Negeri Urat, Pulau Samosir, berbahagialah Tuan Sipallat dengan istri junjungan jiwanya, Si Boru Sangkar Sodalahi, asal klan Manurung, penguasa Pegunungan Sibisa di kaki Gunung Simanuk-manuk. Tuan Sipallat dan istrinya bermukim di Suhut ni Huta.

Namanya hidup di dunia, bukan di surga, maka suatu ketika pecahlah perang dengan tetangga. Tuan Sipallat mengajak enam saudaranya untuk bangkit menghadapi musuh. Tapi, tak seorang pun yang tergerak hatinya. Tuan Sipallat maju menggempur lawan sendirian. Ia kalah, ditawan, kepalanya dipancung, dan oleh panglima dari suku pemenang, sebagai penghinaan tiada tara, kepalanya ditanam, dijadikan alas tangga batu menuju rumahnya.

Dan, martabat klan yang kalah perang itu benar-benar terinjak-injak lagi ketika Si Boru Sangkar Sodalahi membuat geger marga membikin malu negeri. Bayankanlah, dia main mata, bercumbu-rayu, dan kawin pula dengan kepala suku yang memenggal kepala suami pujaannya. Sehari-hari pekerjaannya menenun. Dalam belaian suaminya yang baru, Si Boru Sangkar Sodalahi menenun ulos lebih rajin lagi, dan hasilnya lebih indah pula. Disuruhnyalah suami barunya itu membuatkan bahan pewarna yang lebih bermutu, yang dibuat dari ramuan alam, sehingga suaminya itu sibuk sampai malam, tanda kasihnya pada istrinya yang cantik, istri lawan yang telah dia taklukkan dengan darah. Apabila malam sudah melingkup seluruh gunung, berbaringlah sang suami di pangkuan istrinya itu, hanyut dalam elusan tangan dan bujuk-rayu Si Boru Sangkar Sodalahi.

Suatu malam, malam penghabisan, dalam belaian dan kata-kata yang menenteramkan hati, yang dibisikkan Si Boru Sangkar Sodalahi kepada sang suami, yang dengan manjanya merebahkan kepala di pangkuan si istri, maka sang suami, karena lelahnya bekerja seharian, langsung tertidur lelap dan mendengkur. Tangan Si Boru Sangkar Sodalahi membelai jakun di leher suaminya. Namun, sekali ini, bukan asmaranya yang menggelora, tapi keinginannya menuntaskan obsesi untuk melampiaskan dendam atas kematian suami pertamanya, Tuan Sipallat. Terkesiap darahnya, dia menoleh ke kiri dan ke kanan seraya diam-diam menyisipkan tangan ke bawah tikar. Dari situ dihunusnya sebilah pedang. Cahaya samar pelita terpantul di mata senjata itu. Dia menatap leher suaminya, dengan dendam yang ingin dituntaskan tentu, dan secepat kilat ditebaskannya pedang itu. Dan kepala laki-laki itu terpelating, menggelinding, dan darah bersimbah di peraduan di mana cinta kepura-puraan baru saja berlalu. Lantas dia berdiri, mengambil kain ulos ragihidup dari peti pusaka. Bergegas dia turun ke bawah. Sambil menangis tanpa suara, dia gali tengkorak suaminya dari dasar tangga batu itu. Dibungkusnya tengkorak itu dengan ulos pusaka. Dia naik lagi ke rumah, diambilnya tikar bernoda, dengan perasaan jijik dibalutnya kepala dari musuh suaminya, dan dia berangkat menuju Suhut ni Huta, pusat marga suaminya yang pertama.

Sampai di huta itu, Si Boru Sangkar Sodalahi mengetuk gerbang huta yang tegak bagaikan benteng. Kepada penjaga dia mengatakan dia datang untuk menyerahkan sesuatu. Kedua penjaga, yang mengenalnya, kontan meninggi suaranya, mengusirnya. ”Kami tak perlu apa-apa dari kamu. Tunggu kami pada waktunya ke tempatmu, mengambil apa yang kami perlukan, kepalamu dan kepala suamimu itu!”

Si Boru Sangkar Sodalahi tidak menyerah karena ucapan yang menyakitkan itu. Niatnya tak tergoyahkan. Lalu, kepada penjaga di mengatakan dia harus bertemu dengan kepala marga dan percayalah bahwa dia tidak akan pergi sebelum diizinkan masuk. Wali adat pun dibangunkan, perundingan digelar di antara mereka. Hasilnya: Si Boru Sangkar Sodalahi diperkenankan masuk menghadap.

”Malam ini saya membawa kembali leluhurmu, kembali pulang ke rumah ini, melunasi utang batin yang tertimpa di atas kepalamu semua!” ucap Si Boru Sangkar Sodalahi mantap seraya melepas gendongan dan dengan takzim menggelar tengkorak suaminya yang pertama. ”Inilah junjungan kita, yang saya tebus kehormatannya.” Dengan syahdu katanya pula: ”Kamu jadi saksi sekarang, apakah saya pengkhianat ataukah istri yang setia sampai mati.” Pemimpin rapat adat diam bagai paku. Yang hadir hanya bisa menangis memandangi tengkorak yang tergeletak dalam kebesaran ulos.

Selang beberapa lama, dilaksanakanlah upacara adat untuk membersihkan nama perempuan yang gagah berani menerjang langit itu. Kedudukannya di dalam marga dipulihkan, dan anak yang dikandungnya dianggap sebagai ”darah daging kami sendiri, oleh karena ia adalah buah bisikan roh leluhur.” Maka, lahirlah seorang anak laki-laki, dan diberi nama Si Marsaitan, kakek-moyang Sitor Situmorang.

Unik, kuat berakar pada tradisi Batak nan purba, heroik, namun tak bebas dari godaan zaman, itulah Sitor. Ayahnya berumur 74 tahun ketika dia dilahirklan oleh istri kedua ayahnya. Sang ayah meninggal dalam usia 103 tahun. Tanggal 2 Oktober 2009 Sitor merayakan ulangtahunnya yang ke-85. Tapi, siapa tahu, mungkin dia sebenarnya sudah berusia 86. Dia memang yakin lahir 2 Oktober, tapi tahunnya meragukan, apakah 1923 atau 1924. Karena catatan yang kurang jelas di dalam buku gereja, katanya.

Sitor adalah penyair Indonesia paling produktif dibandingkan dengan sastrawan seangkatannya atau para pendahulunya. Dia telah menulis 103 puisi yang terkumpul dalam tiga antologi yang mengekalkan namanya dalam perpuisian modern Indonesia: Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama. Dia melampaui ”si binatang jalang” yang dia kagumi, Chairil Anwar, yang hanya membukukan 69 puisi, Sanusi Pane 48, dan Amir Hamzah 52. Tak ada penyair yang mengembara sejauh yang telah diseret kakinya. Dari Harianboho, di lembah Pusuk Buhit, di mana manusia Batak yang pertama, menurut mitologi, diturunkan oleh Dewata, dia menginjakkan kaki di Batavia, lantas bertualang di Belanda, Perancis, Italia, Spanyol, dan bertahun-tahun kemudian menjadi ”warga dunia,” bolak-balik Jakarta-Paris-Amsterdam. Tak ada yang cukup berani membawa sikap bohemian ke dalam kehidupan keluarga sebagaimana yang telah dia tunjukkan dalam hidupnya. Berpisah dengan istri pertamanya, Tiominar Gultom, untuk kemudian merebahkan kepalanya yang sarat puisi nan romantis ke pangkuan seorang perempuan Belanda yang telah membawa aura baru ke dalam gaya hidupnya yang berbunga-bunga: Barbara Brouwer. Hubungan asmara yang sempat dilukiskan V.S. Naipaul, pemenang Nobel Sastra 2001, di dalam salah satu bukunya, hasil kunjungannya ke Indonesia, ”Among the Believers.” Keterlibatan Sitor dalam politik menyebabkannya harus mengenakan baju tahanan Orde Baru bernomor 5051. Sebagai sahabat dan pengikut Sukarno, dia mendekam dalam penjara kekuasaan Suharto yang fasistis selama delapan tahun tanpa proses pengadilan. Masih mujur, dia tak sempat dibuang ke Buru, sebagaimana temam-teman seperjuangannya yang dituduh komunis dan dicap jadi dalang pembunuhan jenderal-jenderal, hidup melata selama sepuluh tahun di pulau buangan itu. Bagaimanapun, dia sudah merasakan tepi neraka, ketika selama tiga bulan dikurung di Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Selama seratus hari dia tak pernah melihat matahari. ”Tiga bulan terasa seperti tiga abad,” katanya lirih kepada penulis risalah ini yang bersama Dolorosa Sinaga, Chris Poerba, dan Hotman J. Lumban Gaol dari majalah TAPIAN datang bertandang ke lantai 10 Bellagio, apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat, di mana dia dan Barbara menghabiskan waktu selama mereka berada di Indonesia.
…..

Tiba juga
saatnya aku melangkahkan
langkah pertama
(sesudah 8 tahun menunggu)
saat gerbang ke-7
dibuka
ke dunia luar
yang baru dan menyilaukan

……

Begitu dia mendendangkan perasaannya saat melangkah keluar dari bendul penjara Salemba, di mana ratusan tahanan telah menemukan ajal karena kekurangan makanan dan diserang penyakit — untuk menerima pembebasan atas kesalahannya yang tak pernah dijelaskan, pada tahun 1976.

”Saya bukan orang mistik, namun dibesarkan dalam alam yang dirasuki mistik pada masa kanak-kanak, di mana mitos dan silsilah, silsilah dan mitos adalah anak kembar impian manusia, yang sekaligus jadi pegangannya. Dunia ini adalah kata kias untuk penjara, secara kebatinan tentunya, untuk orang yang percaya akan yang gaib seperti Ayah, seperti Kakekku,” katanya.

Namun, Sitor dipenjarakan bukan karena yang gaib, tapi oleh yang nyata, tersebab pilihannya untuk bersahabat dan memperjuangkan pandangan politik seorang nasionalis besar yang bernama Sukarno. Karena gagasan Soekarno mengenai keniscayaan bersatunya kaum nasionalis, agama, dan sosialis-komunis untuk kejayaan Indonesia, Sitor, sebagai ketua Lembaga Kebudayaan Nasional awal tahun 1960-an bekerjasama erat dengan para tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebagai penyair, dia bersama Rivai Apin berkunjung ke Tiongkok pada masa itu, pulang-pulang dia menulis sejumlah puisi perjalanan yang kemudian diterbitkan dengan judul ”Zaman Baru” — mengambil nama majalah terbitan Lekra yang dipimpin oleh Rivai Apin. Antologi itu berukuran sebesar buku tulis dengan kulit berwarna kuning cemerlang. Kalau dikaitkan dengan tema yang tampil dalam puisi-puisi di dalamnya, judul itu bisa pula dibaca sebagai sebuah metafora untuk melukiskan pembangunan dunia baru di Tiongkok di bawah kepemimpinan Ketua Mao. Dalam perjalanan ke Tiongkok itu Sitor tidak hanya ditemani oleh Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani, tetapi juga para pengarang dari Asia-Afrika. Dalam sebuah pembicaraan di Teater Utan Kayu, Sitor menceritakan, dalam perjalanan tersebut, dia tak banyak berbicara dengan Rivai Apin, orang dianggap telah ”membinanya.”

Rivai, salah seorang pelopor Angkatan 45, adalah seorang pembaca yang tekun, dengan rokok yang sambung-menyambung di jarinya, namun dia bukanlah seorang yang gemar berbicara apalagi berdiskusi mengerenyitkan jidat. Dia murah senyum, dengan lirikan matanya yang khas, sambil membuat komentar-komentar kecil yang menggelitik. Ketika penulis duduk sebagai salah seorang anggota redaksi bulanan Zaman Baru itu bersama S. Anantaguna pada tahun 1964, Pai (dia acap disapa dengan Bung Pai) mengingatkan saya, ”Kalau kurang naskah, pegang saja leher baju Sabar,” maksudnya S. Anataguna, salah seorang anggota pimpinan pusat Lekra. ”Kalau kehabisan stok vignette untuk mengisi halaman, tutup botol kecap boleh kau pakai…,” dan dia terkekeh-kekeh dengan giginya yang kuning kecoklatan disamak candu rokok.

Tentang antologi puisi perjalanan ”Zaman Baru” itu, para pengamat sastra ketika itu memberikan tinjauan dan komentar, baik yang memuji maupun mencerca serta menuduh Sitor telah terlalu jauh mencemari sastra dengan politik. Tetapi, tak sedikit yang mengenang puisinya yang berjudul ”Makan Roti Komune” sebagai puisi perjalanan berbobot politik yang hangat mempesona. Puisi itu dianggap sebagai perpaduan yang serasi antara sikap politiknya sebagai seorang nasionalis berpadu dengan pencapaian artistik dalam dua puisi paling awalnya yang monumental, ”Lagu Gadis Itali” dan ”Jalan Batu ke Danau.”

Delapan tahun dikerangkeng Orde Baru, sikap Sitor tidak berubah sebagai seorang pengikut dan pengagum Sukarno. Dalam sebuah pertemuan belum lama ini, di rumah salah seorang anaknya, dari istri pertama, di wilayah Sawangan, Jawa Barat, sedang hangat-hangatnya Sitor berbicara, salah seorang tamu yang masih muda menimpali, ”Bukankah Sukarno tidak bebas dari kesalahan?” Gesit bagaikan seorang pesilat, Sitor cepat bangkit dari tepat duduk dan meninju meja: ”Bah, kau pikir Sukarno itu malaikat?!” Bibirnya bergetar dan menatap dengan tajam anak muda yang berada di depannya seperti mau menelannya.

Sitor berdiri begitu kokoh, dan tampak lebih sehat dari lima tamu yang sedang mengeruminya. Layaknya dia belum pernah menjalani operasi jantung bypass (di Paris), di mana lima pembuluh darah jantungnya dipotong disambung-sambungkan. Hanya garis-garis yang menoreh di pojok matanya yang menunjukkan dia sudah berusia mendekati 85 tahun. Juga mata kirinya yang menjadi agak sipit dibandingkan dengan yang kanan.

”Kalau ada bukti bahwa Sukarno itu menangkap Syahrir, barulah akan saya katakan, ’Sekarang di tahun 2009 ini, Sitor Situmorang, pengikut Sukarno, akan menyerukan hapus jasa-jasa Sukarno,’” dia meletup kembali. Dengan tetap tegak, tantangnya pula: ”Apa salah Sukarno? Katakan…! Syahrir berlindung di belakang Sukarno sehingga bebas dapat berkumpul dan bertemu dengan kelompok radikal. Jepang takut menjamah Syahrir karena ada Sukarno yang melindunginya.” Sitor mentah-mentah menolak sang pemimpin pujaannya, Putra Sang Fajar, sebagai seorang kolaborator Jepang.

Ketika salah seorang tamunya berusaha untuk menenangkan suasana percakapan yang memanas ketika itu, dan bertanya apakah dia, dalam usia selanjut seperti sekarang, masih menenggak bir kesukaannya, dengan ligat sambil senyum malu-malu dia menjawab: ”Ah, itu harus…” dan dia tertawa terkekeh. ”Ai berapa botol kau punya?” tantangnya pula. Giginya masih kuat menyantap makanan yang dinikmati anak-anak muda yang menjadi tamunya. Bedanya, dia harus menelan pil penjaga kestabilan kadar gula di dalam darahnya sebelum duduk di kursi meja makan.

Ketika ditanya, apa rahasianya bisa bertahan hidup dengan usia yang panjang dan relatif sehat, dia menjawab: ”DNA menentukan.” Sitor bersaudara sembilan orang. Ayahnya, yang berjuang melawan Belanda bersama Raja Sisingamangaraja XII, adalah manusia fenomenal. Seperti manusia yang tidak bisa-bisa mati-mati. Setiap kali merasa ajal sudah mendekat, sang ayah memanggil putra-putranya. Sitor dan saudara-saudaranya secara bersama-sama datang menyampaikan persembahan dan sungkem di hadapan sang ayah. Upacara seperti itu sudah lima kali dilakukan sebelumnya, sejak 1950-1962, ”… Ayah setiap kali merasa sudah dekat ajalnya. Tapi ternyata ia hidup terus.”

Menurut Sitor dalam biografinya, tahun 1963, ketika ayahnya sudah bertahun-tahun sakit, sang ayah menyimpulkan ”Tak akan mati sebelum putra kelimanya, yaitu saya (Sitor) ikut hadir. Saya disuruh jemput dari Jakarta oleh utusan dan dengan titipan ongkos untuk pesawat terbang. Beberapa bulan kemudian, setelah upacara itu, ia pun meninggal, tanpa saya hadir.”

Sitor Situmorang juga menulis cerita pendek, walau tak sampai sepuluh. Dia tak pernah memberi isyarat bahwa dia pernah bercerita secara khusus tentang ayahnya itu. Kecuali ketika dia berkisah dengan syahdu tentang kematian ibunya dalam cerita pendek ”Ibu Pergi ke Sorga.” Di situ, sang ayah muncul sebagai pemeran pembantu. Setelah sang ibu dimakamkan dalam sebuah upacara, begitulah Sitor becerita, ”Ia (ayah) berdiri di pekarangan luas dan memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya ke sudut pekarangan. Tak tahu aku maksudnya. Setelah aku dekat ia berkata: ’Kau ada uang?’

Aku terkejut, karena tak tahu maksud apa yang terkandung dalam pertanyaannya, tapi akhirnya kubilang: ’Berapa Pak perlu?’

”Seribu, dua ribu sudah cukup,” katanya.

”Buat apa?” tanyaku sambil mengikuti dia, dan pada ketika itu kami sampai di sudut pekarangan. Ia memegang bahuku dan sambil memandang ke danau di bawah ia berkata: ’Di sini aku ingin dikubur. Kau harus membuat kuburan semen yang indah buat aku, kalau aku sudah mati, ibumu kau pindahkan ke mari.’

Aku hanya bertanya: ’Mengapa mesti di sini?’

Bapak melepas tangan kirinya dari bahuku. Ia berpaling memandang ke puncak gunung dan berkata: ’Dari tempat ini aku dapat memandang lepas ke daratan tinggi dan ke danau.’

Aku diam…”

Sitor diam terpesona dibuai ayahnya, sementara imajinasi pembaca dibuatnya sesak dengan seribu fantasi tentang kematian yang tak pernah datang ketika memandang indahnya Danau Toba di bawah sana.

Ketika ditanya apakah pernah menyesal dalam hidup, mungkin karena ada yang belum bisa diselesaikan, atau ada yang tak pantas dikerjakan, Sitor menjawab: ”Soal apa yang saya kerjakan tidak ada, baik sebagai pengarang, baik sebagai manusia biasa, baik sebagai kepala keluarga. Tak ada yang perlu saya sesalkan. Pilihan politik saya pun tidak ada yang saya sesalkan.”

Bagaimana Bung ingin dikenang dalam sejarah?

”Saya tidak melihat seperti itu. Kalau saya bekerja, bukan ingin dikenang. Apa yang saya kerjakan itu yang harus dikenang orang. Bukan Sitor. Saya bisa dijelaskan dari karya-karaya saya, bukan dari dongeng-dongeng atas nama Sitor Situmorang. Pandanglah saya dari karya, apa yang telah saya sumbangkan.”

Apakah puncak yang telah Bung capai?

“Tak ada. Belum ada. Mudah-mudahan masih ada. Tapi, kalau pun tidak ada, tidak apa-apa.”

Di antara sekian banyak puisi yang telah ditulis, yang mana yang Bung anggap paling berhasil?
”Tidak ada. Sebab tema puisi saya berbagai macam. Yang satu dengan yang lainnya berbeda.”

Pertengahan Agustus 2009, menjelang tengah hari, saya datang menjemputnya di apartemennya untuk kemudian menemaninya ke Buddhabar, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, di mana akan berlangsung bedah buku ”Pesta Obama di Bali,” novel Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dan Sitor jadi pembicara di samping Profesor Jakob Sumardjo, sementara saya sebagai moderator. Mantan Presiden Megawati Sukarnoputri yang akan membuka diskusi tersebut. Seraya menunggunya mandi, saya melihat-lihat lukisan dan ornamen-ornamen yang dipajang di dinding. Sekelebat, tak sempat mengeluarkan kamera dari tas, Sitor menyeberang dalam keadaan telanjang bulat dari kamarmandi ke kamartidurnya. Telanjang bulat!! Cepat bagai kilat, saya teringat gosip yang beredar, termasuk dari Pramoedya, bahwa ketika di dalam penjara, kalau mandi, Sitor duduk menjongkok dalam keadaan telanjang bersama tahanan lain, dan yang jijak di lantai tidak hanya kedua kakinya, tetapi juga sejemput daging yang teramat peka juga ikut membelai lantai. Keluar dari kamar, dia menemui saya dengan dada terbuka, cuma pakai celana pendek: ”Tunggu, aku mau bersolek dulu.”

Saya mencari taxi, dia saya suruh menunggu di depan lobby apartemen. Sementara mencari-cari taxi, saya menoleh ke belakang. Sitor berdiri dengan gayanya, seperti bertumpu pada tongkatnya. Dia mengenakan batik yang redup, tas kecil tergantung di sisinya. Sepatunya Lacoste. Di atas kepalanya membentang gagah nama apartemen: Bellagio. Pemandangan yang unik. Aku seperti melihat Sitor turun dari bukit yang sepi menuju lembah dan tiba-tiba berdiri di depan bangunan yang tak seribu tahun lagi akan dibangun di Pusuk Buhit. Jauh lebih unik dari selembar foto yang pernah ditunjukkannya kepada saya, di mana Sitor muda, dengan janggut tipis, sedang berdiri di persimpangan jalan menuju Granada, Spanyol.

Dalam pidato menandai dibukanya diskusi buku tersebut, Mega memuja Sitor Situmorang sebagai sastrawan besar, dan bahwa dia adalah teman Bapaknya. Dan dia menyatakan keinginan agar suatu ketika, kalau sudah terkumpul, agar karya Sitor juga dibicarakan di gelanggang yang cukup mewah itu. Lantas Mega meninggalkan ruangan. Selepas Jakob Sumardjo, saya persilahkan Sitor untuk memberikan pemaparaannya. Mikropon saya dekatkan ke dagunya. Ketika baru mau memulai, sekitar dua meter di depan, di antara hadirin, pengarang K. Usman berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Sitor rupanya merasa tidak dihormati dengan tingkah-laku seperti itu. ”Saya tidak suka begini, yang bicara tidak didengar. Kalau tidak mau dengar keluar saja. Atau saya saja yang keluar,” katanya sambil berdiri dan menyambar tongkatnya hendak pergi. Hadirin tegang. Cepat saya memeluk pinggangnya, memohon, ”Husomba, Amang [Kusembah Bapak], jangan pergi, malu kita…” Dia menghentak: ”Tidak, tidak…” tapi pelukan saya tetap di pinggangnya sampai dia duduk kembali. K. Usman yang rupanya merasa bersalah, maju ke depan, meminta maaf, tapi ditolak Sitor. ”Apa? Tidak!” sergahnya.

Kulirik dengan pojok mata, amuk hati Sitor sudah reda kembali, walau amarah masih membayang di pelupuk matanya. Dia menyampaikan pandangannya yang agak kritis terhadap novel tersebut, dan bahwa ”Apa yang saya harapkan, tidak muncul di sini.” Kemudian, saya mempersilakan hadirin memberikan tanggapan. Satu-dua orang maju. Mengutarakan pendapat. Diskusi lumayan hidup. Tiba-tiba seseorang meletakkan secarik kertas di depan saya, isinya agar acara dihentikan sejenak, ”Ada yang ingin disampaikan.” Salah seorang dari panitia membacakan surat masuk yang isinya Megawati ingin menyampaikan sumbangan untuk dana pengumpulan karya Sitor Situmorang. Sang penyair diminta maju ke depan untuk menerima amplop dari panitia. Kulihat dengan cukup bergairah amplop itu. Cukup tebal, saya kira lembaran seratus ribu rupiah sebanyak 200 lembar. Di bawah derai tepuktangan hadirin, sang penyair menerima amplop Mega yang diserahkan salah seorang sponsor pertemuan.

Ketika Sitor sudah duduk kembali di sampingku, cepat saya renggut mike dan saya katakan: ”Untung Bung tak jadi pergi. Kalau tadi Bung pergi, ke mana uang sebanyak itu kita cari…” Hadirin gerrr… Sitor terkekeh dan memukul-mukulkan amplop tebal itu ke bahu saya, menahan geli.

Tak sekali dua-kali dia memukul bahu saya kalau sedang hangat-hangatnya pembicaraan. Terkadang dia melompat dari kursi memegangi bahu, dan membacakan sebaris-dua-baris dari sajaknya. Suatu hari, Dolo, Chris, Hotman, dan saya datang mewawancarainya. Karena sofanya tak memadai, kami pun duduk di lantai. Sitor duduk di sofa bagaikan baginda raja. Pantas dia duduk di situ, karena dia memang raja klan Situmorang yang terakhir dan penyair dunia pula. Saya tanyakan, apakah dia tak punya dendam terhadap Suharto yang telah menistakan hidupnya selama delapan tahun?

Dia diam, berdiri dengan mulut terkatup rapat, gigi digigit-gigit, tulang pelipis menjentang, dipungutnya tumpukan buku di atas meja tamu persis di depannya, dan … dibantingkannya kembali tepat di depan hidungku. Karena sudah mengenalnya, dan sudah terbiasa dengan temperamen Batak, saya membalas dengan sesungging senyum. ”Saya tak punya dendam. Dia itu kecil.” Maksudnya, Suharto tiada bandingannya dengan penghormatan yang telah dia terima dari masyarakat semarganya di Tanah Batak. Dan berderailah cerita dari bibirnya bagaimana dia telah menjadi orang paling terhormat di kampungnya, tak lama setelah dia keluar dari penjara, dihormati dalam sebuah acara yang disebut mangongkal holi [memindahkan tulang-belulang nenek-moyang]. Yang terakhir mendapat penghormatan seperti itu adalah keturunan kedelapan sebelum Sitor.

Mitologi Batak merasuk ke dalam hati Sitor sebagai peristiwa sastra, acara-acara adat yang sarat dengan arti dan penuh irama memperkaya bakat alamnya. Suatu ketika, dia pernah bilang, kalau berada jauh di daratan Eropa, supaya jiwa tetap berada dalam pelukan tanah kelahiran maupun dalam kata-kata dan irama bahasa, dia tak lupa membawa kumpulan sajak Hamzah Fansyuri ”untuk dibaca-baca.”

Sitor sempat beberapa tahun mengajar Bahasa Indonesia di Belanda. Agaknya, Sitor bukanlah Batak komplit, yang haus akan hamoraon, kekayaan benda sebagai salah satu tujuan hidup. Dia cuma kaya dalam kata-kata, makmur dengan puisi-puisinya. Kekayaan yang tak mati-mati, tentu. Dia mengaku “tak bisa mencari uang” di luar menulis, mengajar, dan berbicara mengenai kebudayaan dalam berbagai pertemuan. Di Belanda, Perancis, dan Jerman dia kerap diundang sebagai “duta besar Tanah Batak,” dan diminta ceramah mengenai tanah tumpah darahnya sebagai orang dalam. Sebagaimana yang tercermin dalam bukunya, “Toba Na Sae,” sikapnya selalu beranjak dari pandangan dan pengamatannya sendiri. Dia tidak terpengaruh, malah mengkritik para peneliti Barat. Contohnya, kesimpulan Barat yang mengatakan orang Batak suka berperang hanya setelah mengamati huta di Tanah Batak yang selalu dikelilingi batu-bartu besar serupa benteng penghadang musuh. “Kalau berperang dan berkelahi setiap hari bagaimana orang Batak bisa hidup sampai sekarang!” sanggahnya enteng.

Dia menjelaskan batu yang mengelilingi setiap huta, yang kelihatan mirip benteng itu, muncul karena upaya untuk memperluas areal tanah persawahan. Batu-batu itu disingkirkan dan ditumpuk agar bisa dikerjakan lahannya. Proses penyingkiran bebatuan itu berjalan sejak peradaban Batak berkembang.

Sitor berniat untuk berada di Indonesia sampai Oktober tahun ini, untuk merayakan ulangtahunnya yang ke-85 di sini. Niat itu kesampaian juga. Karena istrinya, boru Belanda, Barbara Brouwer, yang telah menyandang boru Purba, bekerja selama setengah tahun mengelola Erasmus Huis, sayap kebudayaan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belana untuk Indonesia. Barbara menjadi koordinator kegiatan seni dan budaya di situ.

Dalam usia tuanya, dia selalu membawa tongkat. Tetapi, tongkat itu kelihatan lebih banyak berperan sebagai ornamen belaka, karena kalau akan menaiki atau menuruni tangga, dia dengan tangkas menepis tangan siapa pun yang ingin memapahnya. Dia selalu ingin berdiri tegak di atas kakinya. Melihat dia berdiri, dengan mata menatap ke depan, maka saya seperti membaca sebuah buku besar yang ditulis dengan kata-kata sederhana tapi dengan simpul yang terang. Bahwa yang menulis sejarah bangsa saya adalah para korban kebengisan rezim bangsanya sendiri. Seperti si tua yang berdiri depan saya ini. Beratus ribu mereka, mungkin berbilang juta, dan saya lihat mereka di mata Sitor, juga di lututnya ketika dia kelur dari kamarnya menyambut saya. Dia, sebagaimana kata temannya, Pramoedya, toh ”tidak gepeng” dihantam palu godam dan popor Orde Baru. Merekalah yang menulis sejarah sejati bukan para penindasnya… ***

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita