Martin Aleida
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Mangku tak sudi mati di tanah tumpah darahnya, Bali. Tidak! Hidup terlalu menyesakkan, hingga dia bersumpah lebih baik mati di daratan yang jauh. Tak pernah dia bayangkan jasadnya akan diantar ke kayangan bersama api ngaben yang meliuk. Suatu kematian terhormat yang buatnya adalah angan-angan yang jauh. Tetapi, dia yakin, mati sekadar diantar selantun doa tentulah mungkin. Dan, itu sudah jauh lebih mulia daripada kematian ayahnya.
Orang tua itu dibunuh karena menerima tanah cuma-cuma dari organisasi tani yang dituduh merampas tanah tuan tanah dan membagikannya kepada petani tak bertanah seperti dia. Huru-hara politik pun menggelegar. Bali berdarah. Hukum rimba direbut orang-orang yang dirasuki roh leak. Tuan tanah, yang menjadi korban landreform, melihat matahari baru menyingsing untuk merebut kembali tanah mereka.
Begitulah, suatu pagi, ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni, tanpa doa, konon pula air mata.
Di tempat lain, dalam huru-hara paling bengis itu, anak-anak menyertai ayah mereka ke dalam lubang. Mangku mujur. Air mata kanak-kanaknya jadi juru selamat. Pemilik tanah membiarkannya menempati gubuk orangtuanya. Dia jadi pembantu di rumah tuan tanah itu.
Siang seterik ini, duduk beristirahat di lindung bayang sulur-sulur daun, Mangku menebar pandang ke daratan menghampar. Dia melihat bayang-bayang masa kecilnya, bermain di tegalan, sementara Ayah dan Ibunya menggarap lahan dengan gairah seorang petani sejati. Bayang-bayang itu kemudian mengabur jadi kenangan hitam yang ingin dia tanam dalam-dalam. Dia mimpi tentang hari tuanya di daratan yang jauh dan pulang ke kayangan dengan sebuah doa.
Meski tak selesai sekolah dasar, dia tahu ada daratan bernama Lampung, di mana orang Bali membangun hidup baru tanpa meninggalkan adat dan kebiasaan. Dia ingin mati di sana diiringi doa sederhana oleh orang Bali sejati.
Sejak lama dia kumpulkan keterangan tentang Sumatera, yang menjadi kembang impiannya, termasuk peta jalan raya yang lumayan lengkap. Peta itu dia peroleh dari seorang kernet bus jarak jauh. Dia juga menyimpan kliping berita dari koran bekas yang dia pulung di pasar. Tetapi, peta itulah yang menyita minatnya. Saban malam, menjelang tidur, dia membentangkannya di lantai, selebar-lebarnya. Seperti seekor semut dia menyusuri jalan darat yang menghubungkan tempat tinggalnya dengan Lampung. Menggunakan mistar, entah berapa kali sudah dia menarik garis lurus dari desanya ke Pelabuhan Bakauheuni. Seribu dua ratus kilometer! Ah…! Biasanya, dia lantas ditenggelamkan angan-angan penuh tanya, berapa lama jarak itu akan dia tempuh dengan merayap dari satu titik perhentian ke titik yang lain. Angan-angan yang biasanya berkesudahan dengan tidur yang lelap.
Sering pula dia bayangkan betapa gentar hatinya nanti di atas feri yang akan membawanya menyeberangi Selat Bali. Kemudian, seribu kilometer sesudah itu, dia akan menjelajah hamparan air yang memisahkan Sumatera dan Jawa. Dia gentar karena yang akan dia arungi anak samudra, bukan secercah air seluas kali di belakang rumah tuannya.
Tetapi, sebuah doa lebih dahsyat dari gelombang. Jarak daratan dan laut apalah artinya untuk tekad siap mati. Mangku berbulat hati berangkat berbekal tabungan bertahun-tahun: seekor anjing Kintamani jantan dan seekor kera. Jantan pula. Uang kontan ala kadarnya. Tas kulit imitasi berisi pakaian dan sarung. Dua caping kepala. Dua pasang sandal jepit.
Sebesar apa, setinggi mana pun menyundul langit, dalam kegelapan malam begini, Gunung Agung bukan apa-apa. Lereng, apa lagi puncaknya, tak tampak. Selepas berdoa bagi keselamatan dirinya dan kedua sahabatnya, perlahan Mangku menguakkan pintu. Dia persilakan anjing Kintamani melangkahi bendul lebih dulu. Sesudah itu, dia keluar menggendong kera, dengan tas jinjing di tangannya. Angin menyapu punggung mereka.
Begitulah pengembaraan itu dimulai, tanpa pamit kepada siapa pun. Ini bukan pelampiasan dendam terhadap tuan tanah yang telah merebut kembali tanah yang beberapa tahun dikuasai ayahnya. Buat Mangku, yang ingin mati terhormat, risi rasanya tinggal di rumah tuan tanah itu. Terasa seperti beribu mata yang terus mengawasi kalau-kalau dia membalas dendam atas kematian ayahnya. Badai perasaan itu lebih baik diakhiri dengan diam-diam, tanpa basa-basi, pikirnya.
Malam pekat dan dingin mengarak Mangku, anjing, dan keranya mengendap-endap meninggalkan desa.
Manakala kunang-kunang terakhir membungkamkan pancaran fosfor dari tubuhnya untuk menyambut terang tanah, Mangku dan teman sepengembaraan tiba di tepi jalan beraspal. Kilau lampu mobil membuat jantungnya berdentam. Itulah bus yang dia tunggu. Sedikit gugup, dia mengacungkan tangan. Bus mendekat, berhenti beberapa depa dari tempatnya berdiri.
Bali tempat dewa bersemayam. Apa pun yang keluar dari sini, berhak atas kayangan. Anjing Kintamani dan kera jantan itu melenggang saja masuk ke feri di Gilimanuk. Tak perlu dikarantina. Mereka suci seperti Hindu. Penyakit hewan hanya berjangkit di luar pulau. Juga penyakit manusia yang bernama kekejian!
Mangku pernah membaca laporan, hanya setelah masuknya tentara dari luar Bali, menjelang penutupan 1965, berjangkitlah pembantaian terhadap mereka yang begitu saja dituduh makar dan cuma pantas untuk dibunuh seketika, bagai binatang penyakitan, termasuk ayahnya.
Tiba di Banyuwangi, Mangku mencari pangkalan bahan bangunan. Dia beli sebatang dolken. Sulit mencari ember kaleng. Tetapi, akhirnya dia temukan kaleng bekas pada seorang pedagang loak. Kaleng itu dia lilit karet dan jadilah tambur. Sementara batang dolken dia takik tiap jarak sejengkal.
Dengan alat itu, bersama anjing dan kera, Mangku membentuk “topeng monyet”. Tapi, ini bukan rombongan sembarangan. Ini seniman dari kayangan. Maka rantai tak diperlukan. Kedua hewan itu dibiarkan menikmati kebebasan untuk bermain, melompat, menari, jumpalitan, menggonggong, dan mengaing. Si kera bergerak dan menari karena dia suka, bukan karena dipaksa. Juga anjing Kintamani itu, yang berlari-lari dengan anggun mengibas-ngibaskan bulu ekornya yang halus, berjingkat sambil melompat-lompat memanjat dolken. Gerakan itu semata ungkapan cinta mereka kepada tuannya. Selain menabuh tambur, Mangku ikut menari, mulutnya berdecak-decak, tangannya berkibar-kibar, bagai penari kecak.
Kalau rombongan ini tampil di alun-alun kota yang mereka lalui, penonton berjejal seperti kerupuk.
Pengembaraan Mangku bersama kedua hewan itu tak selalu menyenangkan. Menjelang Semarang, beberapa kali dia ditahan aparat. Mereka meminta surat jalan. Mangku tak punya. Dari perjalanan panjangnya inilah dia tahu bahwa kesalahan–yang dibuat-buat penguasa, termasuk polisi, banpol, babinsa, hansip, dan tentara–bisa ditebus dengan uang.
Di Pemalang, dekat pantai Widuri, dia merinding, juga tersenyum kecut. Ceritanya, ketika dia akan menggelar pertunjukan, adalah kru film Austria yang sedang mengambil gambar di semak-semak, tak jauh dari bibir pantai. Diyakini, di situ dikuburkan sejumlah guru, lurah, dan pamong lain yang dituduh komunis. Mangku tergoda bergabung dengan kerumunan manusia di semak-semak itu.
Di depan kamera, seorang saksi mata menceritakan bahwa suatu malam, akhir Oktober 1965, ketika dia berusia 13, dia dengar rentetan tembakan dari arah laut. Esok paginya, dia pergi ke pantai menemui teman-temannya. Kaget, di situ dia jumpai sekelompok orang dewasa sedang menyeret-nyeret mayat yang tergeletak dingin di pantai. Anak-anak tanggung yang mengerubung disuruh ikut menyeret mayat yang sudah tak berdarah, dan melemparkannya ke lubang.
Mangku merunduk, hatinya meraung.
Tampil pula saksi lain. Orang ini, berusia di atas 60, mengaku disekap di Nusakambangan, sebelum dipencilkan ke Pulau Buru.
“Mereka yang terbaring di sini,” kata orang itu, “adalah orang-orang yang sangat disegani, dihormati. Mereka guru, pamong terbaik di daerah ini.”
Saksi itu berkisah, sepulang dari Buru dia menganggur. Pekerjaan satu-satunya adalah togel. Untuk mendapat nomor jitu, berbagai cara ditempuh para penjudi. Meminta nomor di kuburan, mereka lakoni. Dia sendiri pernah meminta nomor di kuburan massal itu.
“Malam-malam, saya letakkan kertas polio putih bersih. Di atasnya saya baringkan pensil,” katanya bersungguh-sungguh. “Besok paginya, saya datang. Dua kali saya dapat nomor. Dua kali bandar jebol,” dia tersenyum simpul, kerumunan orang bergoyang. Sambungnya: “Saya yakin, roh Pak Machdum, guru paling jempolan, yang menuliskan nomor itu. Orang lain juga pernah mencoba, tapi tak dapat apa-apa, kecuali kertas putih tok. Sebab, roh Pak Machdum cuma mau kasi nomor kepada mereka yang seideologi…,” tukasnya.
Perasaan Mangku diaduk-aduk. Hatinya diiris-iris, juga terasa dikilik-kilik. Dia tunduk, menyembunyikan senyum getir. Ketika kata-kata saksi mata itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kru film terpingkal-pingkal.
Tegal dia temui baik-baik saja. Juga Indramayu, Krawang, dan Cikampek. Mangku tak mengira, Jakarta cuma sebuah bencana. Siang itu, ketika dia melintasi daerah Menteng, terdengar sirene meraung. Dari mobil kap, orang berpakaian seragam berlompatan mengejarnya. Seseorang, yang membawa tangguk, menyauk anjingnya, dan melemparkan hewan itu ke mobil.
“Anjing rabies, jangan macam-macam, lu, ya…!” terdengar teriakan dari dalam mobil yang meluncur kencang. Mangku termangu. Keranya menjerit-jerit, tak rela kawannya diperkosa. Hanya itu yang bisa diperbuat kera itu. Kota sebesar ini cuma berisi penjahat, pikir Mangku.
Beberapa hari kemudian, setelah lelah berlari-lari kecil, melompat, menari-nari dalam satu penampilan bersama keranya di satu persimpangan, Mangku ingin melihat-lihat rumah yang besar-besar dan mentereng di selatan kota. Kera yang melenggang di sampingnya mendadak menyentak-nyentak tangannya. Terdengar gonggongan anjing dari pekarangan rumah. Mangku kenal betul gonggongan itu. Dia menghampiri pagar.
“Kaukah itu Jonggi…!?” teriak Mangku. Dia lihat anjing Kintamaninya dituntun seseorang dengan rantai metal yang melilit lehernya. Anjing itu mendekati pagar, ingin mencium lutut Mangku. Yang memegang rantai menyentakkannya. Penjepit di rantai itu mencubit leher anjing itu. Jonggi terkaing.
“Mau apa kamu, ha…?!”
“Itu anjing saya.”
“Bohong! Mau maling lu! Awas ya, saya lapor…” orang itu ngacir.
Ditunggu berjam-jam, orang itu tak keluar juga. Dari arah dalam, Jonggi terus menggonggong. Mangku tahu betapa gelisahnya anjingnya itu. Lama-kelamaan gonggongan semakin menghilang, diredam rantai pencekik. Satpam datang mengusir Mangku. Anak Bali dan sahabatnya menyingkir. Hati mereka laksana dua serangkai, sama-sama terluka.
Jakarta cuma memberi bekal kekecewaan tak terbayar. Menumpang truk, Mangku menuju Merak. Dia ingat, dari kota pelabuhan ini, sekali lompat dia sudah akan menginjak daratan idaman. Tempat di mana dia ingin mati secara wajar, diiringi doa, tentu. Tidak seperti Ayahnya.
Di Merak, matahari menggigit melumatkan kulit. Mangku memutuskan istirahat di emper gudang. Duduk mencangkung, dia belai teman semata wayang. Luka hatinya, karena anjingnya yang dirampok dan diperkosa di Jakarta, belum sembuh. Namun, udara lembab bergaram dan deburan ombak agak menawarkan perasaannya.
Selagi dia menerawang, tiba-tiba seekor anjing menerjang dari bawah truk yang sedang parkir dan menyerang kera di sebelah Mangku. Kera itu menjerit, melompat, dan secepat kilat bergantung di kaso emper. Darah menetes dari pahanya. Selang beberapa detik, diiringi raung pertanda siap membunuh, segerombolan anjing menyerbu dan berkerumun sambil menggonggong kera terluka yang bertengger. Mangku lari ke lapangan, menggenggam pasir, dan melemparkannya ke gerombolan anjing tadi. Mereka berlarian menyingkir.
Malamnya, Mangku meratap tertahan-tahan isak tangis. Di hadapannya, sahabatnya terkapar di tikar. Kera itu kejang. Mulutnya berbuih.
Paginya, para pemancing menemukan bangkai anjing mengapung. Rupanya, anjing pembawa rabies, yang menyerang kera Mangku, mati, dan orang membuangnya ke laut.
Mangku takkan memperlakukan sahabatnya seperti itu. Dia membungkus jasad sahabatnya dengan hormat, membawanya menyeberangi selat. Sesampai di daratan Sumatera, Mangku membopong tubuh kaku kera itu menuju daratan yang agak tinggi, menatap selat.
Mangku tegak di atas lutut menghadap lubang. Berdoa beberapa saat, lantas dia menimbuni kuburan itu dengan tanah. Juga air mata. “Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa….”
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2008/05/04/mangku-mencari-doa-di-daratan-jauh/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar