Tampilkan postingan dengan label Liza Wahyuninto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Liza Wahyuninto. Tampilkan semua postingan

19/08/10

INDONESIA, ITU SAJA!

Liza Wahyuninto
http://celaledinwahyu.blogspot.com/

Sejarah adalah kumpulan banyak hal yang bisa kita hindari (Konrad Adenauer)

Membincang keindonesiaan adalah seperti bercerita tentang diri kita kepada seorang teman. Keindonesiaan adalah kehidupan kita sehari-hari dalam memaknai diri sebagai warga Negara Indonesia. Tentu saja, keindonesiaan kemudian menjadi harga mati bagi setiap warga Negara yang dilahirkan di negeri surgawi ini. Cara memaknainya juga beragam, dan tidak harus diseragamkan.

Kita dilahirkan dan dibesarkan di negeri ini dengan suku, agama, ras, dan etnis yang berbeda. Budaya sampai bahasa kita juga berbeda. Profesi, status social, tingkat pendidikan juga tidak sama. Ini merupakan kekayaan terbesar yang dimiliki Indonesia, dan belum tentu dimiliki pula oleh bangsa lain. Dalam perbedaan dan keanekaragaman tersebut, kita disatukan di bawah sayap burung Garuda. Yang kemduian kita kenal dengan sebutan pancasila.

Di dalam lima (5) sila inilah, Indonesia dirangkum. Keindonesiaan disusun berdasarkan visi, misi dan cita-cita terbesarnya. Pancasila dengan dilengkapi butir-butirnya sudah parpipurna disebut sebagai sumber hukum Negara. Tidak ada pemimpin Negara, mulai dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), presiden, sampai pada pemerintahan terkecil yaitu Rukun Tetangga (RT) yang boleh menyalahi aturan hokum yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945.

Selama kurun waktu 65 tahun sejak 1945, Indonesia sudah mengalami pergantian Presiden sebanyak 6 kali. Mulai dari Ir. Soekarno, Soeharto, B. J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan saat ini Soesilo Bambang Yudhoyono. Enam presiden yang telah mengepalai Negara Indonesia ini juga berusaha untuk memaknai pancasila. Tentu saja dengan tafsir mereka masing-masing. Sehingga, kita tidak perlu kaget atau terperanjat dengan pola kepemimpinan dari salah satu presiden yang terkadang membuat rakyatnya bingung atau bertanya-tanya.

Ir. Soekarno misalnya, menafsirkan pancasila dengan menjalankan sila yang ketiga dan kelima, yaitu persatuan Indonesia dan keadilan social bagi masyarakat Indonesia. Sehingga ketika ia berada di tampuk kepemimpinan, focus kinerjanya diarahkan pada dua sila ini. Abdurrahman Wahid yang lebih kental dengan panggilan Gus Dur, lebih menekankan pada sila kedua; yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga perjuangannya adalah perjuangan mengangkat hak dan martabat manusia Indonesia. Siapapun dia, bila ia adalah orang Indonesia maka harus diakui dan dinaikkan derajatnya. Salah satu contoh perjuangannya yaitu mengakui Konghucu sebagai agama dan mengganti mengangkat derajat etnis Tionghoa.

Apa salah menafsirkan pancasila seperti itu? Tentu saja tidak. Karena, kitapun harus maklum bahwa tidak semua dari pancasila dapat dilaksakan, jadi dipilihlah yang sesuai dengan standar kemampuan dan juga melihat kondisi social yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.

Republik Malas

Pada zaman sebelum dan di awal kemerdekaan, Indonesia begitu banyak memiliki pemuda-pemuda yang pandai dan tekun dalam belajar serta bekerja. Kita masih mengenal Tan Malaka, Bung Hatta, Habibie, Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara dan lain sebagainya. Mereka adalah beberapa gelintir saja di antara yang lain sebagai tonggak the founding father di negeri ini. Semuanya mengakui bahwa yang harus dilakukan adalah berusaha, belajar, bekerja, untuk kemajuan bangsa.

Berbeda dengan zaman saat ini. Di mana pemuda negeri lebih mengedepankan menjadi konsumen daripada produsen. Kita lebih dikenal sebagai bangsa pemakai bukan pembuat. Lebih senang dengan hal-hal yang sifatnya instan, langsung dapat digunakan tanpa harus susah payah untuk memikirkan bagaimana cara untuk membuatnya atau malah menghasilakan yang lebih bagus dari itu. Tidak salah, jika kemudian bangsa kita disebut sebagai republik malas.

Tapi, tidak bijak juga hanya menyalahkan pemuda. Pemuda adalah tiang Negara, sang pelanjut masa depan arah Negara ini. Pemerintah, yang dalam hal ini kebijakannya terhadap pendidikan terutama, sangat mempengaruhi akan bagaimana dan menjadi apa pemuda bangsa ini nantinya. Banyaknya pengangguran terutama di kalangan pemuda bukan murni kesalahan pemuda, tapi tidak efektif dan berhasilnya pemerintah di negeri ini dalam memberikan lapangan pekerjaan.

Wajib belajar (WAJAR) 9 tahun yang diterapkan pemerintah tentu tidak cukup untuk membekali seseorang untuk fighting di zaman yang serba susah ini. Butuh inovasi baru untuk memikirkan bagaimana masalah tingginya angka pengangguran dan setiap tahunnya terus menanjak sebagai bencana besar yang harus menjadi focus utama untuk ditanggulangi. Pemerintah tidak harus mendatangkan atau terus-terusan mengundang investor asing untuk menanam modal di Indonesia, tapi mengutamakan bagaimana menjadikan setiap lahan yang masih dapat untuk dibuat lapangan kerja, sebagai tempat dan mimpi baru bagi pemuda Indonesia.

Melahirkan Kembali Gus Dur

Kita harus mampu untuk menanamkan sikap seperti sikapnya Gus Dur. Keterbatasan yang kita miliki bukanlah penghalang untuk menuju kesuksesan di masa depan. Kita harus yakin, di balik keterbatasan pada diri kita ada potensi besar yang kita miliki. Percaya atau tidak, biang keladi dari kemalasan dan semua penyakit yang menimpa pemuda di negeri ini berasal dari tidak memiliki rasa percaya diri terhadap diri sendiri. Kita bangsa yang minder, dan selalu tunduk di hadapan orang asing.

Kita harus melahirkan Gus Dur dalam diri kita. Sosok pejuang yang tidak pernah mengenal kata menyerah, putus asa, dan mengeluh sampai apa yang diperjuangkan dapat terwujud. Gus dur tidak dikenal karena ayah atau kakeknya, tapi memang murni dari apa yang ia perjuangkan dan ia lakukan untuk masyarakat Indonesia yang ia temui. Perjuangannya mempertahankan pluralisme sebagai harga mati dalam kerukunan beragama di Indonesia merupakan perjuangan ang harus terus dilanjutkan dikawal oleh kita para penerusnya.

Memaknai keindonesiaan adalah memaknai mimpi-mimpi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Mengisi kemerdekaan dengan apa yang dapat kita lakukan saat ini adalah kunci utama. Momen kebangkitan nasional pada 20 mei lalu, seharusnya menjadi cambuk untuk melecut kembali semangat kita yang tertidur. Kita butuh lagi rasa kebersamaan dalam membangun bangsa. Tanpa membedakan suku, agama, ras, dan adat istiadat yang kita miliki. Perbedaan adalah kekayaan bukan pemicu pertikaian.

Ke depan, Indonesia yang memiliki Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indoneisa, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta keadilan social bagi rakyat Indonesia, akan terwujud dan tidak menjadi mimpi-mimpi belaka. Sudah saatnya kekayaan yang kita miliki kita sendiri yang menikmati, bukan dieksploitasi oleh bangsa asing.

Jas Merah, begitu kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi, bukan berarti kita harus terus berbangga dengan sejarah emas yang kita miliki. Masih banyak masa keemasan yang akan kita raih. Hingga usia Indonesia 1 abad nanti, Indonesia harus tetap ada di muka bumi. Caranya, bagaimana dan kemana kita akan melangkahkan kaki pagi ini. Indonesiaku, memang bukan Indonesia-indonesiaan. Indonesiaku adalah Indonesia, itu saja!

18/08/10

Haruskah Menjadi Kartini (untuk) Memperjuangkan Emansipasi?

Liza Wahyuninto
http://celaledinwahyu.blogspot.com/

Bulan April sudah menjadi agenda tahunan bagi wanita Indonesia untuk mengenang dan bersama merefleksikan perjuangan Raden Ajeng Kartini. Sejak ditetapkan oleh pemerintahan Orde Baru sebagai Hari Kartini, maka mulai saat itu pula, 21 April menjadi hari baru bagi wanita Indonesia untuk mengekspresikan. Semua wanita, mulai dari yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sampai yang sudah duduk di kursi pemerintahan ikut merayakan hari bersejarah tersebut.

Kegiatan yang diadakan pun beragam, sesuai dengan tingkatan kelas dan di mana mereka berada. Mulai dari kegiatan membagikan bunga mawar dan ucapan Selamat Hari Kartini, aksi damai di jantung-jantung kota, berpakaian ala Kartini, hingga sampai pada mengadakan forum dan seminar-seminar yang mengusung semangat untuk melanjutkan perjuangan Kartini mewujudkan emansipasi bagi kaumnya. Dan uniknya, setiap tahun kegiatan tersebut selalu diupayakan untuk lebih meriah daripada tahun-tahun sebelumnya.

Sayangnya, momen seperti ini hanya dilakukan sehari saja di bulan April, pun satu kali dalam satu tahun. Dapat dikatakan puncaknya dapat dirasakan dan ditemui hanya pada tanggal 21 saja. Sebelumnya memang terlihat kesibukan-kesibukan mempersiapkan acara agar terlihat sempurna. Namun, pasca tanggal 21 kembali kepada kehidupan sebelumnya. Kartini, seolah dilupakan kembali siapa dia dan apa yang telah ia perjuangkan.

Memaknai Hari Kartini

Kita semua mengakui apa yang diperjuangkan oleh Kartini merupakan perjuangan yang tidak mudah. Pada zamannya, di mana wanita dianggap sebagai kelas kedua setelah laki-laki, Kartini berani menyuarakan kegelisahannya. Kartini berani meminta untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki. Suatu pemikiran futuristik tentunya, berpandangan jauh ke depan. Pemikiran yang selama beberapa abad dipendam dan tidak ada satu wanita pun yang berani untuk menyuarakannya.

Lalu, pertanyaan pembukanya adalah bagaimana seharusnya memaknai hari Kartini? Kartini adalah fenomena. Zamannya menghendaki untuk melahirkan sosok wanita seperti Kartini. Sebagai pendulum (pendahulu) pastinya. Cara memaknai hari Kartini tentunya tidak sekedar ceremonial belaka. Bila Kartini masih hidup hari ini, tentu ia tidak menghendaki hari kelahirannya terlalu diagungkan, sementara perjuangannya dilupakan.

Yang penting bukan bagaimana cara merayakan hari kartini, tapi bagaimana cara melanjutkan perjuangan Kartini. Menyambung lidah Kartini. Melanjutkan catatan-catatan Kartini yang kesemuanya berisikan mimpi dan ide-ide besar bagi kemajuan kaumnya, yaitu wanita. Perayaan, dinilai penting iya, sebagai upaya untuk mengajak dan menyadarkan wanita Indonesia saat ini yang terkadang kehilangan kepercayaan diri. Namun, di balik itu, harus ada upaya yang lebih realistis untuk mewujudkan cita-cita Kartini.

Cita-cita Kartini sebenarnya hanya satu, terwujudnya emansipasi bagi wanita Indonesia. Namun, di balik emansipasi tersebut masih ada pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan. Artinya, emansipasi bukanlah tujuan akhir. Tidak cukup wanita dan laki-laki disetarakan saja, tapi harus ada pembuktian berupa tidak lagi ditemuinya diskriminasi terhadap wanita dengan mengatasnamakan apapun.

Wanita saat ini tidak seperti dahulu. Sudah tampak dan dirasa jauh lebih maju. Sangat maju dibanding era Kartini. Wanita sudah dapat mengenyam pendidikan setinggi apapun ia mau. Wanita sudah dapat duduk pada jabatan apapun sesuai dengan kemampuan dan kapabilitasnya dalam bidang tersebut. Bahkan saat ini, wanita sudah tidak tabu lagi untuk menentukan arah tujuan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan dari kanan-kirinya.

Lantas, sudah cukupkah sampai di situ? Terwujudkah cita-cita Kartini? Jawabannya memang subyektif. Tapi, penulis berani menyatakan “belum!”. Cita-cita Kartini lebih tinggi dari itu. Saat ini masih ditemukan kesenjangan antara wanita dan laki-laki yang entah budaya atau sudah terstruktur dari awalnya, dan membutuhkan pejuang-pejuang wanita baru untuk mengawal hal tersebut. Dan namanya, tentu tidak harus Kartini.

Kartini Abad Modern

Setiap zaman memiliki ceritanya sendiri-sendiri, demikianlah peribahasanya. Semakin maju zamannya, maka akan semakin rumit permasalahannya. Tentu saja permasalahan yang baru, yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya. Sejarah memang selalu mengulang, tapi tokoh-tokoh yang ada sebelumnya tidak akan terlahir kembali. Harus ada tokoh baru yang terlahir dan muncul untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.

Nah, Kartini abad modern lah yang dibutuhkan. Kartini yang paham apa yang saat ini menjadi kegelisahan kaumnya. Kartini yang tanggap terhadap apa yang terjadi dengan kaumnya. Dan yang paling penting, adalah Kartini yang mengerti apa keinginan hati kaumnya. Siapa saja dapat menjadi Kartini abad modern ini, asalkan ia memiliki ketiga jiwa tersebut.

Kesenjangan, diksriminasi, pelecehan terhadap wanita, trafficking, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kesehatan reproduksi perempuan, meningkatnya angka kematian ibu, tingginya pemerkosaan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, ini semua merupakan Pekerjaan Rumah (PR) yang harus segera dituntaskan oleh Kartini abad modern. Ia bisa saja dari kalangan Pejabat Negara, Artis (selebritis), Budayawan, Guru, Aktivis Perempuan, Mahasiswi, atau hanya sekedar Ibu Rumah Tangga.

Yang penting bukan siapa dia dan jabatannya apa, tapi kemauannya untuk berjuang merubah dan mengatasi semua masalah yang muncul terhadap wanita Indonesia. Itulah yang utama. Tapi, ini tentunya juga akan utopis belaka, jika kemudian ia menjadi single fighter serupa Kartini lagi pada masanya. Untuk mewujudkan hal tersebut, harus ada kerja sama yang solid dari semua kalangan. Tidak harus wanita saja, keterwakilan laki-laki dapat pula menjadi peran pendukung untuk mewujudkan mimpi besar ini.

Kartini abad modern tidak harus sendirian. Ia tidak harus meretas jalan ulang kembali, karena jalan yang semula gelap telah diterangi oleh Kartini sebelumnya. Kartini abad modern adalah pelanjut yang cerdas, yang dapat membaca semua keadaan, membaca posisi, dan waktu yang tepat untuk bertindak. Selamat Hari Kartini, Majulah wanita Indonesia!

09/08/08

Nyanyian Persembahan Malaikat Ruhaniyyun

Judul : Kitab Para Malaikat
Penulis : Nurel javissyarqi
Penerbit : PUstaka puJAngga Lamongan
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : ix + 130 halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*)

Malaikat Jibril as. mempunyai seribu enam ratus sayap, mulai dari kepala sampai kedua telapak kakinya terbalut bulu-bulu zafaron. Matahari seolah berada di antara kedua matanya. Di atas setiap bulu-bulunya seperti rembulan dan gumintang. Setiap hari ia masuk ke dalam lautan cahaya tiga ratus tujuh puluh kali, tatkala keluar dari lautan tersebut, meneteslah dari setiap sayap sejuta tetes cahaya, dan Allah menjadikan dari setiap tetes cahaya tersebut ujud Jibril as, mereka semua bertasbih kepada-Nya sampai hari kiamat, nama mereka malaikat ruhaniyyun. (Daqoiqul Akbar, Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi).

Makna yang tertuang dalam kitab Daqoiqul Akbar inilah yang ditelanjangi oleh Nurel Javissyarqi melalui antologi puisinya Kitab Para Malaikat. Nurel seolah ingin menunjukkan bagaimana para malaikat yang dalam bahasanya di beri nama malaikat ruhaniyyun, melakukan ritual penyembahan kepada tuhannya. Peristiwa inilah yang dikagumi oleh Nurel, dan memaksa dirinya - sebagai seorang sastrawan – untuk melukiskan peristiwa tersebut. Hal semacam ini pulalah yang memaksa Maulana Jalaluddin Rumi untuk mulai menulis masterpiece nya, Matsnawi fi Ma'nawi.

Perbedaan mendasar antara Nurel dan Rumi terletak pada penggalian ide. Nurel lebih mengedepankan imaji dan pikiran liarnya, sehingga tidak jarang kata-katanya melampaui alam bawah sadarnya. Bahkan Maman S. Mahayana dalam pengantarnya menggambarkan syair-syair Nurel sebagai perpaduan antara hamparan semangat yang menggelegak dan imajinasi tanpa batas. Sedangkan Rumi, ia berpuisi dengan jiwanya. Sehingga tidak jarang dalam sejumlah ghazal nya ditemukan larik-larik yang menyentuh hati pembacanya, karena dari setiap ghazal yang ditulis oleh Rumi adalah hasil perpaduan antara kenyataan dan harapan.

Akan tetapi dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat ini Nurel sepertinya ingin merayakan kebebasan berpikir. Sebagaimana yang telah dimulai oleh tokoh-tokoh besar yang hidup jauh sebelumnya. Tokoh-tokoh yang mengusung kebebasan berpikir tersebut di antaranya, Socrates, Rene Descartes, Derrida, Ibn Sina, Muhammad Iqbal, Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri dan lain-lain. Merekalah pula lah yang dicirikan Nurel sebagai pedoman dalam merayakan kebebasan berpikirnya. Ini dapat dilihat dari salah satu larik puisinya, Marilah hadir bersama keindahan, membimbing kesadaran alam terdalam/ sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).

Dalam pengantarnya Maman S. Mahayanan juga menyatakan bahwa perbedaan antara Nurel dan Sutardji Calzoum Bachri yaitu, Sutardji mengusung penghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra. Dan dengan Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi. Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk".

Kitab Para Malaikat pun demikian, penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan masih kental terasa. seperti tertuang dalam satu larik, Kelopak melati menebarkan untaian makna memecah ketinggian hening/menuruni nasib, burung-burung ngelayap sayapnya disedot rebana cinta (XVI:XCI, hal. 97). Jika melihat dari sini, Nurel tak ubahnya sebagaimana Kahlil Gibran. Kahlil Gibran pun dikenal sebagai tokoh pengusung kebebasan berpikir, hingga tidak jarang dalam karya-karya terbaiknya pun ditemui pemorakporandaan imaji-imaji.

Akan tetapi, baik Nurel maupun Kahlil Gibran, keduanya melakukan hal tersebut semata-mata untuk menemukan keindahan bunyi dan pencitraan yang tinggi. Tidak salah pada zamannya hingga hari inipun Kahlil Gibran masih banyak pemuja syair-syair liarnya. Hal ini dikarenakan yang pertama kali diresapi oleh pembaca bukan makna, akan tetapi keindahan bunyi lirik. Dan Nurel sangat paham akan hal ini dan memanfaatkan kelebihannya dalam permainan diksi. Sangat wajar jika antologi ini dikarang dalam kurun waktu 9 tahun, yaitu dari rentang tahun 1998-1999 sampai tahun 2007, karena Nurel ingin antologinya ini sempurna baik dari sisi keindahan bunyi maupun makna yang terkandung.

Kurun waktu 9 tahun merupakan waktu yang lama untuk penulisan sebuah antologi puisi. Sangat dimungkinkan jika nantinya Kitab Para Malaikat ini akan menjadi sebuah kitab suci para penyair pada zaman sekarang. Tapi, untuk menuju ke sana, antologi puisi ini perlu diuji ketahanannya lewat para kritikus sastra lainnya. Uji ketahanan memang belum semarak dilakukan dalam sastra Indonesia, wajar jika minim ditemukan kritikus sastra di Indonesia. Melalui Kitab Para Malaikat ini, sangat diharapkan akan bermunculan kritikus sastra yang berada pada posisi yang semestinya yaitu mengawal lajunya pertumbuhan sastra di Indonesia.

Sisi lain yang terasa janggal dalam antologi puisi ini yaitu adanya kesan memanjang-manjangkan kalimat. Ini juga diungkapkan oleh Heri Lamongan dalam epilognya dalam antologi ini. Menurutnya, ada kesan Nurel memanjang-manjangkan kalimat padahal hal itu justru mengaburkan makna larik. Dan hal itu hampir ditemukan pada hampir keseluruhan lirik dalam antologi puisi ini. Heri Lamongan menyitir salah satu lirik tersebut adalah, Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu bunga wijayakusumah merekah bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII, hal. 126). Jelas ini agak janggal dan mengurangi nilai keindahan bunyi maupun lirik dalam lirik tersebut. Padahal menurut Emha Ainun Nadjib, puisi tertinggi adalah yang kata-katanya sudah tak mampu mewakili inti nilainya.

Namun, terlepas dari semua itu, Kitab Para Malaikat ini sebenarnya telah mampu memuntahkan apa yang hendak diamanatkan Nurel Javissyarqi. tugas pembacalah membedah makna yang tersirat dari apa yang tersurat. Buah 9 tahun melakukan pertapaan, meskipun masih terkesan terburu-buru perlu untuk diapresiasi bahwa antologi puisi ini merupakan masterpiece Nurel sejauh ini. Sebagaimana tersohornya Mantiq at-Thayr buah karya Fariduddin Atthar ataupun Matsnawi fi Ma'nawi buah karya Rumi, Kitab Para Malaikat pun dapat bersaing dengan keduanya. Tinggal bagaimana cara Nurel menyikapi pembaca dan para kritkikus sastra yang memberikan kritik dan saran dalam karyanya.

*) Liza Wahyuninto, Kritikus Sastra dan Direktur Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita