Tampilkan postingan dengan label Hasnan Bachtiar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hasnan Bachtiar. Tampilkan semua postingan

04/05/12

Syair-Syair Pembebasan

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

GONJANG-GAJING kenaikan BBM menggelisahkan seluruh rakyat kecil. Kelas terpinggirkan khawatir, kemanusiaannya semakin menjerit di tengah gelombang derita kemelaratan. Dalam ketidakberdayaan, sesungguhnya selemah-lemah suara hati, ingin didengar oleh orang lain. Di titik inilah, kadang kemanusiaan tertuang dalam artikulasi estetis. Anak rohani terlahir sebagai sajak perlawanan.

24/12/11

Syahadat Sosial: Rekomendasi Revitalisasi Pemikiran Keagamaan

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

SYAHADAT sosial adalah hal yang baru, kendati tidak benar-benar baru di hadapan pengetahuan. Teori baru, selalu bersifat historis, memiliki konteks yang spesial dengan semangat zaman yang menerangi. Entah berwarna cerah maupun redup dalam perwujudannya sebagai wacana ataupun pengetahuan praktis.

Wacana ini, terutama di dalam Islam, pernah menjadi teori-teori mutakhir. Sebenarnya sebagai wacana liar, tidak perlu susah payah mendeklarasikan sebagai teori dalam satu rangkaian epistemologis yang otentik. Kiranya lebih adil, kalau menyebut pemikiran-pemikiran pendahulu sebagai inspirasi kelahiran ke-baru-an.

Dari beberapa pemikiran, sebut saja tauhid sosial, teologi transformatif, ilmu sosial profetik, pribumisasi Islam dan lain sebagainya, telah menjadi arus lain, di samping pemikiran lama yang telah mapan.

Teori-teori ini bukan a historis. Sekali lagi, sinaran zaman yang paling nyata, menghendaki adanya pemikiran yang lebih baru dari sebelumnya. Dalam sejarah Indonesia misalnya, kolonialisme berabad-abad lamanya, penderitaan, kemiskinan, kemunduran ilmu pengetahuan dan problem-problem kebudayaan yang kompleks memberikan corak pada ide-ide yang terbit.

***

Sebenarnya sahadat sosial (the social creed) tidak hanya ada di dalam Islam (Christian Iosso dan Elizabeth Hinson-Hasty, 2008). Tradisi agama-agama seperti Kristianitas, Yudaisme dan Budhisme dan beberapa pemikiran fisika-holistik yang sangat terpengaruh oleh filsafat kesejatian timur (Ken Wilber, 2006), turut meramaikan khazanah pemikiran agama dan pembebasan sosial ini. Bahkan, pemikiran Hegel kiri (David James, 2009: 55-60), maupun materialisme Marx (Karl Marx, 2001: 21-23), bermula dari sebuah refleksi keagamaan. Jadi, tipologi pemikiran yang bercorak keagamaan pembebasan ini, sejak lama mewarnai pelbagai belahan dunia.

***

Dalam tradisi Kristen, ada sejarah gugatan-gugatan yang bertubi dan mampu mengguncang dogmatisme gereja. Konteks afiliasi gereja dan kekaisaran saat itu, menimbulkan banyak prasangka oleh rakyat yang tidak terduga sebelumnya, sampai akhirnya meletus protes dan revolusi kristianitas melalui gerakan sosial yang masif.

Despotisme, korupsi, penyelewengan kekuasaan, pemalsuan berkas-berkas administrasi kerajaan, seringkali mendapatkan legitimasi oleh tafsiran kitab suci. Tafsir keagamaan yang jahat ini, memang bukan secara terang-terangan mendukung tirani. Tetapi karena celah-celah politis dalam pemikiran keagamaan, telah dibelokkan menjadi alat kekuasaan yang pragmatis dan merugikan pihak oposisi. Modus operasi hermeneutik atas Bible yang gelap dan memuakkan.

Kristen pinggiran, adalah pihak Protestan yang mewakili golongan non-pemerintah dan borjuasi para pendeta, yang banyak bergerak dengan semangat tafsir keagamaan yang sudah diperbaharui (Max Weber, 2003: 79-94). Muncullah spirit keagamaan yang lebih humanis, yaitu pencapaian pahala dengan kerja keras, kehendak untuk memiliki kapital yang besar dan gairah penguasaan pasar untuk golongan miskin, serta keadilan ekonomi oleh seluruh rakyat.

Semangat ini terus berkembang, dalam kerangka dan spirit pembebasan yang mengemuka di Amerika Latin. Dominasi dan hegemoni oleh negara, menginspirasi gereja-gereja lokal untuk melakukan gerakan massa yang menuntut keadilan ekonomi dan egalitarianisme. Lahirlah teori yang kita sebut belakangan sebagai teologi pembebasan (Gustavo Gutierrez, 1988).

Di Skandinavia juga lahir pikiran-pikiran kristianitas sosial yang orisinil, melalui nasionalisme, sekolah rakyat, kebudayaan dan sastra oleh N.V.S. Gruntvig. Sebab-sebab ide pembebasan kultural ini lahir, karena pemikiran keagamaan saat itu yang stagnan, bahkan terjebak dalam hal yang melulu spritualisme. Selain itu, masyarakat bawah semakin terpuruk dengan ketidakmampuan sistem pendidikan dan kondisi menjadi semakin sulit karena gempuran kebudayaan yang mengancam nasionalisme bangsa. Di sinilah kemanusiaan di ajarkan dari jarak yang terdekat. Nasehat yang sangat terkenal dari Gruntvig adalah, “Yang pertama adalah kemanusiaan, barulah Kristianitas.” (E.E. Fain, 1971: 70).

***

Tidak jauh berbeda dengan agama Yahudi. Pelbagai buku-buku kuno (perjanjian lama) menceritakan adanya perlawanan yang justru dilakukan oleh hamba-hamba Allah (bani Israel), terhadap penguasa setempat yang melakukan eksploitasi kemanusiaan besar-besaran, perbudakan dan penimbunan makanan.

Agama berbelok arah menjadi tiran, karena para agamawan juga mendukung penuh kekaisaran Pharaoh, dengan harapan mendapatkan perlindungan dan persediaan makanan yang cukup.

Gerakan massa oleh Musa yang menantang langsung kaisar Firaun yang agung, adalah fakta sejarah yang paling nyata di mana agama termanifestasi secara sosial dalam kehidupan. Tidak ada sama sekali penafsiran agama disertai kejahatan yang akan bertahan lama.

Di masa kini, kaum Yahudi yang hidup sebagai bangsa terasing, mendapat tantangan rasial oleh banyak bangsa. Salah satu sebabnya karena kebebalan berberapa golongan dan dogmatisme oleh kaumnya sendiri. Lambat laun, hal ini menjelma menjadi gerakan sosial yang pesat di seantero dunia, khususnya di Eropa.

Zionisme muncul dan mengemuka sebagai pemikiran dan gerakan keagamaan yang mendominasi banyak bidang peradaban. Termasuk sebagai penguasa dunia pengetahuan, sains dan teknologi, terlebih karena didukung perekonomian yang sangat kuat. Jelas, pencahayaan historis tidak hanya melahirkan gerakan dengan semangat iman yang mencerahkan, namun juga kelam, berbau anyir, trauma-trauma dan anti kemanusiaan. (Walter Laqueur, 2003).

Perebutan tanah warisan di al-Maqdis, perdebatan di dunia internasional, perang untuk kedaulatan dan negosiasi yang tak kunjung usai di sebagian wilayah Palestina, menjadi contoh yang aktual bagi kontekstualisasi iman suatu agama tertentu.

Namun, ada pula gerakan iman lainnya, di luar fanatisme sempit dari agama Yahudi yang rasis. Mereka pada umumnya mendukung kemanusiaan, menuntut penghentian perang dan menolak segala pemikiran ekstrim dalam agama bani Israel. Mereka berkehendak agar pemikiran agama ini, dikembalikan pada paham asalnya, menjadi agama pembebasan. (Naeim Giladi, 2006).

***

Budhisme menjadi contoh yang baik, untuk diambil pelajaran dalam persoalan iman dan kontekstualisasi ajaran di tengah masyarakat. Di India, tempat kelahiran Sidharta Gautama, ajaran tentang manusia yang suci dan keutuhan kemanusiaan, mencoba menata ulang iman yang mencoba membeda-bedakan status sosial pemeluk agama.

Kendatipun sebenarnya kastaisasi Hinduisme bermaksud baik, dalam rangka menata pemerintahan dalam hidup bernegara (warnasramadharma), namun tidak jarang penyelewengan dan tindakan yang arogan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Hindi.

Faktor lain yang mendukung dakwah Budhisme adalah ekspansi militer dan penguasaan wilayah oleh Persia yang dipimpin oleh Darius I. Pada hakikatnya, krisis kemanusiaanlah yang menyebabkan Sang Budha menaruh tahta, lagu pergi mengembara untuk melatih diri menjernihkan kemanusiaannya. Ia mengolah rasa, kepekaan sosial, menghendaki derajat yang sama, menghindari membunuh, tidak memakan daging dan berhubungan seksual atau hidup selibat dalam kerahiban, serta mengajar kebijaksanaan kemanusiaan.

Demikianlah, pada mulanya kelahiran agama ini, adalah respon yang konstruktif terhadap agama lainnya. Agama Weda yang diselewengkan oleh kehendak brutal kekuasaan, mencoba dikontrol oleh kebajikan-kebajikan jiwa yang menjaga diri dari segala bentuk nafsu dan angkara murka.

Ajaran ini terus bertahan begitu lama hingga sekarang. Bahkan tatkala kekuasaan dan militer di Thailand sedang tidak bersahabat dengan mayoritas rakyat, korupsi, tindak laku yang anti manusiawi mengemuka, maka para biksu justru memimpin protes dan demontrasi bersama-sama umat di hadapan kekuasaan yang mengekang.

***

Kontekstualisasi ajaran agama di dalam Islam, lahir atas rahim revolusi sosial dan gerakan massa yang dimulai oleh Muhammad. Menurut sejarah sosial dan politik, putra Abdillah ini begitu dibenci oleh kaum kafir Quraisy, bukan sekedar karena membawa agama baru. Latar belakang pembebasan sosial adalah hal yang paling membakar amarah kelompok oposisi, di mana struktur borjuasi Mekkah menjadi goyang dan terancam.

Zakat atau pajak yang padamulanya dikumpulkan oleh seluruh rakyat – termasuk golongan miskin – kepada para penguasa, pemuka agama dan pemilik modal penyokong kuil-kuil keagamaan, diruntuhkan oleh suara jerit sosial yang mengemuka begitu hebatnya. Zakat dengan takaran dua setengah persen dari kekayaan dan makanan pokok, bukan sekedar memberikan jaminan bagi keadilan ekonomi, namun juga memberikan kepercayaan baru bagi suksesi kepemimpinan bagi Muhammad.

Nilai pemerdekaan ini lambat laun mempengaruhi banyak negara untuk mulai merombak kekuasaan lama, kebudayaan, bahkan pandangan hidup agar menjadi pemikiran yang mencerahkan dan membebaskan. Misalnya saja Imam Khomeini dan Ali Shariati menjadi penyulut api kemerdekaan dan revolusi Iran dari rezim Shah yang mengekang di Iran.

Dalam pergumulan pemikiran Islam di Mesir juga mengemuka cendekiawan yang mengusung ide-ide pembebasan sosial, seperti Hassan Hanafi dalam bidang agama-politik, al-Jabiri dalam kajian pemikiran Islam dan epistemologi, Nasr Hamid Abu Zayd dalam sastra, tafsir dan studi al-Quran, Mohammed Arkoun dalam pemikiran dan filsafat Islam, Naquib Mahfouzh dalam sastra dan kemanusiaan, dan banyak lagi yang lainnya.

***

Ide-ide pemikiran Islam dan pemerdekaan di Indonesia, bisa kita pelajari dari Haji KH. Abdurrahman Wahid (Pribumisasi Islam), Nur Khalik Ridwan (Agama Rakyat), Syafi’i Ma’arif (Revitalisasi Islam Pancasila), Amien Rais (Tauhid Sosial), Moeslim Abdurrahman (Islam Transformatif), Kuntowijoyo (Ilmu Sosial Profetik) dan lain sebagainya.

Ide ini lahir dari rahim kekuasaan yang bermasalah dan penderitaan rakyat yang sangat riil dalam kehidupan. Indonesia yang sejatinya adalah kaya raya gemah ripah loh jinawi, tertata sebagai negara miskin dengan arsitektur kemelaratan, kelaparan dan jerit tangis rakyat sepanjang tahun.

Islam yang sekian lama dianut sebagai agama, seolah tak kuasa menjawab tantangan zaman yang tribal dan memprihatinkan. Kolonialisme, orientalisme, fatalisme ekstrim dan pemikiran mistik yang terlampau abstrak mengukuhkan kebebalan bagi keberagamaan rakyat.

Di sinilah upaya pembaruan melalui pemikiran, pertarungan wacana dan perwujudannya sebagai gerakan sosial serta perlawanan menjadi sangat mendesak. Agama, hendaknya kembali pada maknanya yang paling kuno, yaitu membimbing manusia agar menemukan jati dirinya sendiri. Memanusiakan manusia.

Semakin orang larut dalam angkara murka, maka agama berwujud sebagai nasehat, tatkala masyarakat brutal, radikal, kerap berkecimpung dalam kerusuhan, agama berlaku sebagai diktum perdamaian, dan tatkala manusia bingung, seluruh hidupnya yang fenomenal adalah kegelisahan, agama adalah obat bagi jiwa yang resah. Demikianlah agama, sebagai keseluruhan nilai dan prinsip moral kemanusiaan.

Namun, hal ini bukan sekedar spirit untuk menuju hakikat yang Absolut, memenuhi kepuasan spiritual dan meraup kepenuhan batin. Yang paling utama adalah, spirit ini harus nyata, terjadi, bisa dirasakan secara langsung, dan karena Tuhan adalah Dzat yang tak terbatas dan tak terbelenggu apa pun, maka sejatinya segala nilai ketuhanan adalah membebaskan. Sekali lagi, inilah makna dan praksis memanusiakan manusia.

Kalau problem utamanya adalah kemiskinan, maka harus dientaskan. Begitu juga dengan sederet problem lainnya, kekuasaan korup, penindasan, penghisapan, dominasi dan hegemoni ekonomi, maka harus diselesaikan dengan cara seadil mungkin dengan niat beribadah atau mengabdi atas nama agama. Di sinilah esensi agama dan pembebasan sosial.

Dengan demikian, menyebut syahadat sosial sebagai hal yang baru dan tidak sekaligus, karena praktik sejarah telah mencatatnya dengan baik. Yang perlu dilakukan adalah membicarakannya terus-menerus dalam pasar raya tafsir dan menghendaki kemenangan perebutan makna agama yang memihak orang-orang miskin.

Wacana, praksis sosial, tradisi dan kebudayaan adalah wilayah dan cara sekaligus yang paling memungkinkan, untuk diapresiasi secara optimis bahwa memperjuangkan agama pembebasan adalah trend baru. Jelas, hal ini bernilai jauh lebih utama dari pada sekedar menganut spiritualisme atau memperbincangkan agama “elit” di hadapan kasta sosial yang tinggi pula, karena didukung oleh kepemilikan kapital dan kekuasaan politik-ekonomi.

Di samping itu, kebutuhan mendesak akan syahadat sosial, bukan hanya soal praksis agama dan pembebasan, namun juga mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan dalam ranah akademis. Pelbagai universitas cukup terpengaruh dan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap wacana kerakyatan tersebut.

Di samping pengetahuan yang telah mapan, rupanya geliat persentuhan aliran pemikiran, menciptakan arus baru pemikiran dan teori-teori pengetahuan yang lebih berani, ekstrim, terus-terang dalam pemihakan tertentu, melawan, menari dalam kegilaan, menjunjung lokalitas, menaruh perhatian kunci pada subalternitas, pembongkaran dan pembangunan kembali, spiritualisme baru, serta banyak lagi gejala dan proses yang asing bagi pengetahuan klasik (modern) dengan cita dan kategori yang sempit.

Pada wilayah keilmuan mana, teori-teori, filsafat dan kemanusiaan, serta orto-praksis keagamaan (kita sebut saja sebagai teori syahadat sosial) berkembang pesat pada ranahnya yang paling cair, menjadi suatu rumah baru yang sangat menarik minat para pengkajinya. Tetapi yang paling kentara untuk dirasakan bersama adalah subyektivitas-religius bagi para penganutnya, cendekiawan, akademisi, agamawan, ilmuwan dan lain sebagainya.

Syahadat Sosial: Filsafat Memihak Si Miskin

Memanusiakan manusia, itulah ungkapan kuncinya. Sejak Feurbach menerbitkan kritisismenya akan fenomena spirit Hegelian yang terlampau abstrak dalam Phänomenologie des Geistes, ide tentang teologi yang direduksi menjadi antropologi, menjadi penafsiran gaya baru yang diakui keberadaannya.

Terlebih saat Marx berkampanye secara akademis bahwa hendaknya spirit yang dimaksud Hegel, menjadi hal yang riil di tengah masyarakat yang sedang kesusahan. Entäusserung atau pembebasan secara radikal digubah maknanya dari “pembebasan terhadap asingnya manusia dari Tuhan Yang Ideal (spiritualisme),” menuju “pembebasan asingnya para buruh (entfremdung) dari kemanusiaan manusia pada umumnya (egalitarianisme).”

Di tengah gelombang hebat spiritualisme Hegelian, yang mengumandangkan spirit yang mengalienasi diri (der sich entfremdete geist) dari ragawi menuju ruhani, Marx membalik logika ini agar puncak religiusitas adalah menuju dunia nyata.

Marx memandang bahwa spirit adalah hasrat. Hasrat bukan secara dogmatis harus memenuhi kepentingan teologis. Sebaliknya, akan sangat bermanfaat jika ada semacam sikap untuk mematerialisasi gagasan yang metafisis.

Tapi poin penting yang paling utama dari ide materialisme Marx muda, bukan sekedar soal-soal dialektika filsafat yang abstrak dan teoritis, justru pembebasan yang paling nyata itulah yang dikedepankan.

Ide dari sebagian pemikir praksis agama dan pembebasan sosial saat ini memang tidak secara langsung mendapatkan pengaruh dari filsafat modern di Eropa, namun pengalaman studi akademis dan penelitian panjang, telah memberikan jalan bagi persentuhan intelektualitas yang melampaui ruang dan waktu.

Hal lain yang diperhitungkan membentuk corak baru teori keagamaan ini adalah posmodernitas. Kematian mazhab pemikiran Barat Modern oleh pembunuhnya, – Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Marx – telah menggeser paradigma khazanah filsafat dari yang obyektif total dan bebas nilai, menjadi subyektif dan meninggikan kehendak kemanusiaan.

Kondisi alam dan situasi dunia yang sama sekali berbeda, pada umumnya ditandai dengan adanya akses informasi lintas batas yang tak terbatas, lahirnya dunia cyberspace, globalisasi, interaksi sosial dan budaya yang mendunia dan lain sebagainya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi umat manusia (Amin Abdullah, 1995).

Postmodernisme di satu sisi barangkali memberikan skeptisisme ekstrim terhadap agama atau pemikiran keagamaan yang tidak berdaya dihadapan kegilaan dunia. Relativisme pemikiran kemanusiaan menjadi titik tolak bagi iman nihilisme yang menggoncang pemikiran keagamaan yang terlembagakan.

Di sisi lain, beberapa pemuka agama dengan kejernihan pikir telah menduga akan terjadi hal ini di kemudian hari. Kesalahpahaman, terhadap agama dan seluruh pengetahuan agama adalah masalah utamanya. Jürgen Habermas yang memandang cita cinta agama secara optimis, mengindikasikan adanya kesalahan komunikasi dan transformasi ide di tengah masyarakat. Karena itu, agama mesti dikomunikasikan dengan baik.

Beberapa agamawan, filsuf dan ilmuan sosial berkehendak untuk mengembalikan ide agama pada maknanya yang paling otentik dan cair, yaitu memanusiakan manusia. Kendati demikian, soal-soal kemanusiaan, bahasa dan kekuasaan, menjadi wacana yang tidak sederhana. Pelbagai ujian bertubi, secara liar, tajam dan membabi-buta mampu mengacaukan segala dasar pijak agung dan tak terbantahkan (logos).

Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, Michel Foucault menyebutkan bahwa keseluruhan keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, adalah upaya untuk mengetahui ide-ide memanusiakan manusia (Michel Foucault, 1964: 183-184). Tentu saja, ini sangat berhubungan dengan ide agama sebagai tujuan ruhaniah yang paling asasi dan sekali lagi, “otentik”.

Lebih jauh menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Keseluruhan daya dan upaya untuk memahami manusia, salah satunya yang paling mutahir dalam tradisi posmodern adalah dengan psikoanalisis. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda, karena itu mutlak pembaca adalah penafsir. Setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri. Logos itu sistem dan hukum pengetahuan, selayaknya tuhan yang tidak bisa digantikan atau digugat eksistensinya (Michel Foucault dan Alain Badiou, 1965: 65-71).

Semua orang beragama, atau yang tidak beragama sekalipun, berpikir dan membincang tentang agama, selalu memiliki logosnya tersendiri sebagai ruh yang paling esensial. Tatkala logos ini dikehendaki untuk berkuasa dan mendapat pengakuan di hadapan yang lainnya, maka perilaku resentimen atau penguasaan, dominatif, hegemonik dan segala manifestasi kepentingan menjadi tak terelakkan. Di sinilah, setiap pemikiran berpeluang terjebak dalam hukum pengetahuannya sendiri. Jacques Derrida menyebut gangguan yang menyebabkan dogmatisme pengetahuan ini sebagai logosentrisme (Jacques Derrida, 1967).

Orang beragama bisa saja berlaku konservatif dan radikal karena pemberhalaan terhadap teks secara membabi-buta, sebab utamanya adalah logosentrisme. Di lain pihak skeptisisme, keberatan, keraguan dengan motif tertentu juga membuat orang menangguhkan kepercayaan terhadap dunia yang metafisis, termasuk tidak menghendaki kelembagaan suatu agama atau ateis. Dalam situasi ini, mereka juga terjebak dalam logosnya yang dogmatis.

Di tengah perebutan makna “logos” dalam ranah perlombaan kehendak pewacanaan, terlalu lama manusia melupakan dunia yang senyatanya, yang paling sederhana, yang paling material dan misalnya fenomena tentang kelaparan dan penderitaan manusia, bukanlah hal yang abstrak.

Inilah titik tolak yang paling pasti, di mana bukan sekedar gagasan atau pemikiran, muncul di hadapan publik untuk mengkampanyekan dengan segera perilaku kebajikan di tengah masyarakat miskin. Lebih pantas hal ini disebut sebagai suara-suara lantang manusia-manusia para pembebas. Tugas suci ini tidak jarang diakomodir sebagai pemikiran atau filsafat setelah postmodernisme yang dungu menghadapi kebebasan tiada batas. Inilah filsafat keagamaan dan praksis pembebasan sosial, sebagai filsafat yang mengatasi postmodernisme.

Ada satu hal yang ingin ditekankan bahwa, berfilsafat bukanlah netralitas atau bahkan netralisme, tetapi pemihakan. Netralisme bukan sekedar merujuk pada maknanya yang paling sempit, obyektivisme. Keterjebakan manusia terhadap iman netral ini sudah barang tentu juga diwakili oleh kebangkitan subyek dan kehendak postmodern.

Pemihakan adalah hal yang paling penting. Entah apa yang dibela, tetapi memihak kemanusiaan adalah hal yang utama. Karena itu sekali lagi, berfilsafat tidak pernah netral. Karl Mannheim mencatat bahwa, “hanya filsafat yang mampu memberikan jawaban konkrit untuk pertanyaan ‘apa yang harus kita lakukan?’ hal ini dapat diajukan sebagai seruan untuk mengatasi relativisme” (Karl Mannheim, 1952: 128-9).

Kita bisa saja memanfaatkan postmodernisme untuk menjawab tantangan postmodernisme. Argumentasi filosofis untuk melawan logosentrisme dunia postmodern nihilis, salah satunya dengan nihilisme itu sendiri. Filsuf peletak dasar postmodernitas, Nietzsche, membuat lelucon bahwa, segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran yang tengah berteriak menantangnya (Gilles Deleuze, 2002: 4). Demikianlah, kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung.

Menghadapi itu semua, penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, untuk membongkar kedok suatu ideologi, – termasuk filsafat – adalah dengan membongkar apa kepentingan mereka, tujuan-tujuan dan melayani seseorang atau menghendaki sesuatu tertentu (Karl Mannheim, 1952: 141). WS Rendra pernah menantang kita, “Niat baik saudara memihak siapa?” Inilah perenungan bahwa sebenarnya filsafat yang kita anut, semestinya memihak para kaum mustadl’afun.

Pembaca yang budiman, melalui rekomendasi ini, selamat berenang, menari, larut dan lenyap bersama teori syahadat sosial sebagai ilmu baru yang awas terhadap logosentrisme. Selamat berevitalisasi.

17 November 2011

09/10/11

Demitologisasi Sastra Mantra Sutardji

Hasnan Bachtiar
http://kataitukata.wordpress.com/

Dewasa ini telah mengemuka suatu mitos sastra (Barthes). Para kritikus, seolah bahu-membahu dalam konsensus imajiner, mengimani suatu mazhab yang mutakhir. Sastrawan “mantra” menjadi imam bagi mayoritas umat: Sutardji Calzoum Bachri (SCB).

Bukan hal yang mengherankan, penisbatan ini tertuju kepada penyair masyhur itu. Pujangga yang hebat, memiliki puisi-puisi yang sangat baik dan sungguh sulit mencari cela pada anak-anak rohani yang telah tercipta dengan kualitas berkelas, kecuali oleh ketajaman kritikus tulen yang bernyali. Dengan menaruh segala rasa hormat, bahwa tulisan-tulisannya yang hadir dalam kesusastraan Indonesia, barangkali setara dengan pelbagai khazanah tafsir kitab suci yang diagungkan.

Kehebatan SCB terdengar menyeruak di tengah pujangga, kritikus, akademisi, hingga penikmat sastra. Bahkan sangat familier, sehingga begitu dekat dengan pembacanya.

Di tengah gegap gempita bersinarnya sosok SCB, tidak jarang beberapa kalangan merelakan jiwanya, untuk menganut segala alur pikir dan gaya sastra yang digemarinya. Ada beberapa yang berlebihan. Tanpa sengaja, SCB menempati posisi yang tinggi dalam wacana sastra, bukan sekedar presiden penyair, tapi sebagai nabi baru sastra.

Jelas tidak salah mengangkatnya menjadi nabi. Nabi tempat berkeluh kesah, pengayom dan tauladan bagi umat sastra, serta merangkul seluruh golongan. Yang paling kentara di permukaan dan nampak mengandung unsur kenabian adalah “mantra”.

Mantra adalah kata yang hanya kata. Mampu mempesona para pembaca, meski tanpa harus memiliki makna. Tatkala kata terlantun, banyak orang merasakan bahwa hal itulah tempat untuk berserah diri, bernuansa sakral nan agung. Dalam bahasa psikologi, boleh juga disebut sebagai tempat bersandar di tengah ketidakmampuan, untuk menghindari istilah neurosis.

Kendati demikian, perlu juga dikoreksi di sini bahwa, di antara umat ada yang memberi jabatan lebih tinggi dari sekedar nabi. Mungkin terlalu tinggi. Karena itu, pengkultusan menjadi hal yang tak terhindarkan. Nasi sudah menjadi bubur, inilah bid’ah yang menggejala dan beberapa menampakkan diri dalam kehidupan susastra.

Mantra terlantun, kebebasan terhempaskan. Kemerdekaan sebagai manusia liar mendapat jaminan yang aman. Inilah puisi, kenikmatan, estetika dan kematian manusia. Segala kuasa adalah kata. Benarkah demikian? Inilah yang akan diuji.

***

Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, Michel Foucault menyebutkan adanya “kata yang bukan bahasa”. (Michel Foucault, “Nietzsche, Freud, Marx,” Nietzsche, Cahiers du Royaumont. Paris: Les Editions du Minuit, 1964: 183-4).

Menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda (pula kata), karena itu mutlak pembaca adalah hermeneut. Di samping itu, karena yang ditafsir adalah tanda, semiologi menjadi penting turut serta menyelami kedalaman kerumitan pembacaan alam bawah sadar ini. Betapapun hermeneut mencoba mengerti akan tanda-tanda, – baik itu yang bisa ditafsir, atau bahasa yang tidak mengatakan maksud yang sesungguhnya, ada pula tanda yang bukan bahasa – setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri (wawancara Michel Foucault dengan Alain Badiou, “Philosophie et psychologie,” Dossiers pédagogiques de la radio-télévision scolaire, 27 Februari 1965: 65-71).

Menunjuk kepada mantra, kata yang bukan bahasa ini, mutlak diciptakan dengan ketidaksadaran. Bagi penulisnya, tentu terstruktur logos – di alam ketidaksadaran – sebagai suatu konstruksi kemanusiaan. Namun bagi pembaca-pelantun, menjadi pengandaian sebagai kata ajaib, yang barangkali memang bebas akan beban-beban komunikatif. Dalam kondisi ekstase, sangat sulit untuk memutuskan bahwa pembaca terikat dengan logosnya. Sebaliknya, saat kondisi ketubuhan-kesadaran terjaga, logos menjadi struktur alamiah yang senantiasa digunakan, – sekali lagi – dalam ketidaksadaran. Orang bisa mengatakan bahwa, “ini benar-benar mantra” atau “tiada makna bagi mantra” atau “terserah kehendak pembaca bagi makna mantra”.

Pertama, secara terang, mantra yang ditulis seolah benar “mantra” terikat hukum pengetahuannya tersendiri (logos). Pengakuan dan pembenaran keajaiban mantra oleh pelantun atau pembaca juga terikat logos. Kedua, mantra adalah mantra seperti kata yang hanya kata dan bukan bahasa, terikat atas struktur logosnya. Ketiga, juga demikian dengan kebebasan berkehendak untuk memberi makna pada mantra, tentu saja harus dimaklumi ketergantungannya terhadap logos, disadari atau tidak.

Logos yang dimaksud di sini, tentu saja melampaui strukturalisme semiologis. Barangkali gejala ideologisasi terhadap alur pikir tertentu, diwakili oleh gagasan Derrida tentang logosentrisme (Jacques Derrida, De la gramatologie. Paris: Editions de Minuit, 1967). Logos bukanlah pengetahuan semesta yang obyektif, karena berlaku sebagai kehendak kuasa. Penulis jelas menunjuk pada logosentrisme aliran mantra SCB.

Seorang SCB dalam “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” (Republika, 9 September 2007) menuturkan bahwa, “Peran penyair menjadi unik, karena – sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya – secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dari sini, SCB secara pribadi hendak memberi makna pada mantra sebagai kata yang hanya sebagai kata, bukan bahasa, karena tercipta bak sabda. Dengan demikian, jelas dalam maksud tersebut bahwa, atas kata yang bukan bahasa, atau mantra, hendak memberi kemerdekaan penuh kepada pembaca untuk melampaui struktur semiologi.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) mengukuhkan pendapat ini, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

Tidak ada masalah sebenarnya. Baik soal kematian manusia (pengarang, pembaca) tatkala mencandra teks-teks sastra (mantra), maupun pembebasan maknanya, – lebih jauh lagi – juga termasuk pembebasan logosnya (struktur epistemologis). Namun, benarkah “kata” benar-benar berkuasa? Ataukah manusia yang hidup (beserta logos), seolah mematikan “kemanusiaan” dan menggantinya sekedar kata? Atau mereka mempertahankan wacana “kata” sejatinya (otonom) dengan kehendaknya secara membabi buta (logosentrisme)?

Lebih mendalam tentang hal ini, yang memungkinkan dipersoalkan adalah soal wacana yang seolah tanpa tanding, sedang menguasai belantika sastra Indonesia. Inilah yang akan ditantang dan diuji secara filosofis.

***

Logos-logos yang menjelma mantra, lambat laun hidup dan seperti makhluk bernyawa, menundukkan dan membunuh manusia-manusia. Nurel Javissyarqi dalam esainya “Membaca Kedangkalan Logika Dr. Ignas Kleden?” benar-benar menyadari pentingnya manusia kuat dan pemberani untuk menantang mantra yang “mewabah” dan “menjangkiti” yang dianut selayaknya agama. Ia mengungkapkan, “Dikala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini di Indonesia ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi… Ini jauh panggang dari arang, membaca kilau hasil tanpa menyelidiki proses kreatifnya…” (Bagian XIII, 2011).*

Secara lebih jauh, Javissyarqi mengungkap kuasa wacana mantra dengan pisau bedah yang paling vulgar, yaitu “mitos” Barthesian. Mitos di sini berarti kreativitas imaji yang menari bersama harapan (Roland Barthes, Mithologies. Paris: Seuil, 1957). Istilah yang sangat ilmiah dan paling cocok untuk memahami rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme terhadap pemikiran sastra SCB. SCB berwacana (penanda 1) dan mengkonsep mantra (petanda 1/penanda 2), lalu pembaca memaknai (termasuk tafsir bahwa tiada makna untuk kata) mantra (petanda 2) dan begitu seterusnya. Dalam struktur penanda-petanda-tanda, SCB adalah tanda, atau mantra adalah tanda.

Begitulah, semua orang menikmati mitos SCB mantra. Dengan mitos yang didengungkan setiap saat, nasib baik selalu menghampiri SCB-mantra. Selain berkuasa dalam singgasana wacana, didukung pula oleh segala puji dan decak kagum yang lena. Dalam ritus-ritus pengetahuan, sekaligus mitos bukan sekedar mitos, tetapi menjadi mitologi, berbau mitis, sakralitas dan pengkultusan. Dalam bahasa yang sebelumnya disebutkan, menjadi bid’ah atau ketumpulan kritisisme.

Banyak kerugian tatkala konservatisme atau wacana dogmatik menjangkiti penulis dan pembaca sastra. Perilaku resentimen barangkali dapat disaksikan sebagai akibat-akibat keimanan yang membabi-buta. Tidak jarang pula, sakralisasi teks yang berlebihan membuat orang mabuk kepayang, kehilangan orientasi hidup yang utama sebagai manusia. Tampil para pejuang mantra yang mengukuhkan rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme. Ujung perkaranya, stagnasi yang sempurna.

Inilah kiranya mulai mengapresiasi para kritikus sastra yang murni. Nietzsche memberi kritik bagi mereka para kritikus yang tidak bersungguh, mestinya mereka benar-benar menjadi kritikus sejati dan jauh dari selubung atau topeng kepalsuan. Tidak harus menjadi tuhan, bahkan membunuh manusia-kemanusiaan untuk bersastra. Tidak sepatutnya me-nabi-kan yang tidak layak menjadi nabi, meski hanya menyebutnya sebagai presiden.

Mengapa demikian, Nietzsche membuat lelucon bahwa, “The Gods are dead but they have died from laughing, on hearing one God claim to be the only one, ‘Is not precisely this godliness, that there are gods but no God?’” (Z III ‘Of the Apostates”, p. 201. Nietzsche and philosophy, Gilles Deleuze, Columbia University Press, 2002: 4). Segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran tengah berteriak menantangnya. Demikianlah demitologisasi terhadap topeng kesejatian SCB-mantra. Kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung. Membunuh dengan tega.

Penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, “In unmasking ideologies, we seek to bring to light an unconscious process, not in order to annihilate the moral existence of persons making certain statements, but in order to destroy the social efficacy of certain ideas by unmasking the function they serve.” (Karl Mannheim, “Historicism,” Essays on the Sociology of Knowledge, Essays on the Sociology of Knowledge. London: Routledge & K. Paul, 1952: 141).

Catatan:
*kutipan tersebut dari esai (rencana kerja) Nurel Javissyarqi, yang kehendaknya terbit di akhir tahun 2012 mendatang.

Dijumput dari: http://kataitukata.wordpress.com/2011/09/30/demitologisasi-sastra-mantra-sutardji/

Khazanah HAM Cak Nur

Judul Buku : Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid
Penulis : Mohammad Monib dan Islah Bahrawi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun : 2011
Tebal : cover + xxvii + 354 hlm.
Peresensi : Hasnan Bachtiar*
http://sastra-indonesia.com/

TIDAK BISA dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang guru. Ia bukan hanya profesor dan intelektual yang menguasai tradisi akademik Barat, tetapi juga ulama’, mufassir dan mujtahid yang mendalami keluasan khazanah Timur. Ia mengajarkan contoh-contoh dan perilaku nabi, pula dengan tuturan yang sederhana, bahasa yang dimengerti seluruh golongan. Gagasannya melampaui Timur dan Barat dengan segala kearifan qurani.

Cak Nur, begitulah akrab dikenal, adalah rujukan yang paling cocok untuk membaca nilai suatu agama, tanpa tendensi apapun, tanpa memaksakan kehendak untuk menganut suatu simbol-ideologi, bahkan Islam sekalipun sebagai agama yang dijunjung. Baginya yang terpenting bahwa, pesan mawas diri (taqwa) bisa merasuk ke dalam sanubari seluruh ummat.

Pesan takwa yang pernah disampaikannya adalah bahwa, “Manusia tidak boleh saling menindas, tidak boleh terjadi exploitation de’ l’homme par l’homme. Nabi menandaskan bahwa semua bentuk penindasan dan kezaliman di masa jahiliyah dinyatakan batal.” (Nurcholish Madjid, Memahami Kembali Makna Pidato Perpisahan Nabi, 1997).

Sebenarnya, pesan-pesan kenabian Cak Nur itu merupakan fundamen ajaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat berkesan. Di tengah silang sengkarut problem kemanusiaan yang menimpa negeri ini, menimba pesan agama (teologi) sangat relevan dilakukan untuk mempertajam kesadaran kemanusiaan kita.

Dalam bulan Ramadhan yang diberkati, membaca buku-buku, literatur, esai dan gagasan teologi Cak Nur, kiranya termasuk tadarus dalam artian yang sebenarnya(tadarus intelektual). Belajar untuk berubah menjadi manusia yang lebih manusiawi.

Ijtihad HAM Cak Nur

Dalam kancah akademis, ada literatur penting yang ditulis oleh Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, bertajuk “Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid”. Sepenuhnya buku ini menyari, membincang dan menafsirkan ide-ide tentang HAM Cak Nur.

Dalam bukuya, Monib-Bahrawi menulis, “Sebagai sarjana Muslim yang berlatar belakang keilmuan klasik Islam, formulasi pemikiran HAM-nya khas kaum teolog. Teks-teks suci Islam (al-Quran dan al-Hadits) menjadi rujukan.” (Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, 2011: 298). Dengan demikian, tidak heran jika Cak Nur tengah berupaya untuk melakukan kontekstualisasi dan reaktualisasi ajaran Islam.

Cak Nur sendiri menyampaikan bahwa, “Jelas sekali bahwa konsep modern tentang HAM dapat dipandang sebagai tidak lain dari pada penjabaran lebih lanjut nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama seperti Pidato Perpisahan Nabi.” (Ibid., 2011: 99).

Monib-Bahrawi mencatat bahwa HAM yang dipahami Cak Nur adalah manifestasi tauhid (akidah) dalam kehidupan seorang Muslim sehari-hari. Merujuk sejarah, memang benar jika nabi menitipkan nilai tauhid yang mulia pada umat penerusnya. Seluruh dimensi humanisme ada pada nilai tauhid tersebut. Pada haji terakhir (wada’), nabi berpesan bahwa hendaknya manusia memegang teguh misi kenabian, tegaknya tauhid. Dalam bahasa yang lebih mudah, tauhid sebenarnya adalah kemanusiaan yang manusiawi.

Kendati demikian, tak ada gading yang tak retak. Hanya saja tulisan Monib-Bahrawi terlampau fokus dan spesial ini belum membidik persoalan klasifikasi atau tipologi pemikiran Islam dan HAM. Kedua pemikir ini menguraikan Islam dan HAM secara mendalam, tetapi tidak menampilkan pula secara jelas peta pemikiran lainnya. Karena itu, sulit untuk mengidentifikasi gejolak dan dialektika pemikiran yang ada. Padahal intelektual Muslim yang memiliki spesialisasi di bidang Islam dan HAM cukup banyak.

Merujuk pada pemikir Islam dan HAM terkemuka, Fouad Zakaria (1985), pentingnya memilah pelbagai corak pemikiran ini adalah untuk revitalisasi nilai-nilai klasik yang masih baik dan transformasi nilai-nilai kontemporer (al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-ahdzu bi al-jadid al-ashlah).

Membincang tipologi secara lebih lanjut, model Islam-HAM menurut Niaz A. Shah memiliki kecenderungan pada empat model (Pradana Boy ZTF, 2010). Keempat model itu adalah: sekular, non-kompatibel, rekonsiliasi dan interpretif (model HAM Cak Nur).

Ide sekular yang digawangi oleh Reza Afshari menghendaki adanya adopsi nilai-nilai HAM sebagaimana termaktub dalam deklarasi HAM bagi umat Islam (Reza Afshari, 1996). Namun jika kita cermati, ada sejumlah perbedaan yang mendasar antara Islam dengan HAM.

Maka mengharap air dan minyak koeksis adalah mustahil. Tidak mungkin menyatukan hal yang tidak seimbang itu, lagipula hal ini akan menyulut api konservatisme sebagian umat dengan adanya tafsir al-Quran yang ekstrim.

Model yang kedua, non-kompatibel, umumnya diwakili oleh para penguasa negara-negara Islam. Mahatir Mohammad misalnya, berargumen bahwa HAM Barat kurang cocok dengan kultur masyarakat Islam-Timur, karena itu Deklarasi Universal HAM perlu dimodifikasi agar sesuai dengan “cita rasa Asia”. (Mohammed Barwin, 2002).

Dasar gagasan ini mengakomodir pemikiran benturan peradaban (Huntington) dan relativisme kultural. Di Dalam Islam, hak dan kewajiban tidak diciptakan manusia, tetapi bersumber pada Yang Ilahi. Pandangan terhadap HAM jelas bukan antroposentris, tetapi teosentris, karena itu bersifat abadi. Jadi, menyangkut hal yang paling asali, tidak ada yang mesti dimodifikasi.

Model yang ketiga adalah rekonsiliasi. Gagasan rekonsiliasi lebih kepada mencari-cari kesamaan atau paralelisme antara HAM-Islam dengan HAM-Barat. Sederet pemikir yang bergelut dengan ide ini adalah Bassam Tibi, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Mahmood Monshipouri dan Mashood Baderin.

An-Na’im sendiri tatkala menegosiasikan Islam-Barat adalah dengan menampilkan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak konsisten dengan HAM Universal, lalu menafsirkan kembali dengan pelbagai dalil yang mendukung pelaksanaan HAM (Abdullahi Ahmed An-Na’im, 2007).

Cara yang cenderung memaksa ini, jelas sulit mendapatkan simpati dan dukungan dari kalangang Muslim sendiri. Dalam kerangka mental masyarakat Islam, masih terdapat ambivalensi menyangkut perasaan mereka terhadap modernitas Barat. Mungkin sebagian masyarakat tidak terlalu mempersoalkan penggunaan teknologi, tetapi pada saat yang sama mereka menolak untuk mengadopsi kebudayaan Barat.

Model yang terakhir adalah interpretif. Formulasi gagasan ini sangat menarik, dibanding dengan banyak pandangan yang cenderung antagonistik. Hal ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat modern, yang tidak sama dengan konteks tatkala al-Quran di turunkan.

Model interpretif ini sama sekali bukan bermaksud untuk mencari titik temu atau negosiasi, atau bahkan upaya untuk saling mengakali antara konsep qurani dengan HAM-Barat. Dalam kaitannya dengan HAM, interpretasi yang dimaksudkan adalah lebih kepada penjelasan bahwa al-Quran adalah teks yang terbuka tatkala hendak menghadapi tantangan zaman.

Interpretasi model ini, merupakan tafsir yang transformatif (al-tafsir al-‘ilmi). Jelas sekali pandangan demikian memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam, karena itu sangat baik untuk dipromosikan di tengah khalayak umum.

Gagasan Islam-HAM Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina ini kiranya temasuk dalam model pemikiran interpretif. Model ini adalah model yang paling baik di antara para cendekiawan Muslim lainnya. Dalam benak Cak Nur, segala teks al-Quran adalah korpus terbuka yang siap untuk mereproduksi makna-makna nilai untuk melayani umat. HAM adalah persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah di seluruh aspek kehidupan.

Singkat kata, HAM adalah praktik kehidupan Muslim yang saleh, menyongsong dan menelusuri jalan keselamatan, serta menyandang tantangan-tantangan kenabian. HAM secara nyata adalah wujud dari aplikasi teologi positif (amar ma’ruf), sekaligus kehendak untuk melawan dan menafikan segala bentuk teologi negatif (nahi munkar). Dengan kata lain, HAM adalah gairah juang pemihakan terhadap para marginal dan melawan seluruh gelombang eksploitasi, penguasaan, hegemoni dan dominasi sekelompok tertentu.

Di penghujung goresan pena, ada satu kutipan dari Cak Nur yang hendaknya kita renungkan, “Nabi menegaskan prinsip persamaan seluruh umat manusia, karena Tuhan seluruh umat manusia adalah satu (sama) dan ayah atau moyang seluruh manusia adalah satu (sama) yaitu adam.” (Ibid. Monib-Bahrawi, 2011: 90). Berdasarkan prinsip itu, semua manusia adalah sama, punya HAM yang sama, dan tanggungjawab kemanusiaan yang sama pula. Selamat Membaca!
_________
*Penulis adalah Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM.
**Mengenang almarhum Hari Widjaja yang kerap kali menyebut Nurcholish Madjid di sela-sela diskusinya.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita