Catatan kecil buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”
Taufiq Wr. Hidayat *
Orang-orang memberikan gelar dan penghargaan pada kenangan tua dari sosok
yang tua dan uzur. Rasanya tak ada lagi orang lain yang sanggup membuat
pencapaian baru. Tapi baiklah. Negeri membutuhkan pahlawan atau sosok teladan
untuk diteladani, katanya. Itu boleh saja guru teladan, penyair teladan, atau
ulama teladan. Agaknya hidup masih membutuhkan legenda hidup. Legenda itu tak
harus fosil. Dan orang-orang menyediakan meja makan guna menyambut sang
pahlawan, seorang teladan itu.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Sutardji Calzoum Bachri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sutardji Calzoum Bachri. Tampilkan semua postingan
21/08/18
13/03/18
Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin
Nurel Javissyarqi *
Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya
‘Paus Sastra Indonesia’ yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi,”
Grafiti 1995, tentunya lagi berseberangan.
12/09/17
Dan Fenomena Presiden Penyair Daerah sebagai Dagelan Populer?
Nurel
Javissyarqi
Tentu kita tahu sebutan presiden penyair Indonesia tersemat dari-padanya Sutardji Calzoum Bachri. Kredonya yang fenomenal
itu meluas mempengaruhi banyak penyair serta kritikus (… dengan kredonya yang terkenal itu, Sutardji
memberikan suatu aksentuasi baru kepada daya cipta atau kreativitas, Ignas
Kleden endosemen di buku Isyarat,
lalu lihat buku Raja Mantra Presiden
Penyair, 2007). Sehingga
di puncak ketenarannya, SCB tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat suci; Qs.
Asy-Syu’ara, 224-227 (baca buku saya MTJK SCB, 2011).
06/01/12
Medèn-medèni Sapardi Djoko Damono
Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian VII kupasan keenam dari paragraf awalnya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Ini menuntasi tulisan-tulisan sebelumnya mengenai paragraf awal IK, sebalutan muakhir demi pijakan lanjut. Saya mulai sedikitnya merevisi pandangan kritikus Maman S Mahayana di bukunya “9 Jawaban Sastra Indonesia” sebuah orientasi kritis, diterbitkan Bening Publishing, cetakan 2005, Bagian IV: Sarana Pendekatan Sastra, dahan ke 8 berjudul ‘Sastra dan Filsafat’ halaman 343. Di bawah ini terambil dua paragraf pembukanya bagi pondasi langkah ke muka. Nan disesuaikan keimanan sorot mata saya berproses kreatif, yang berangkat dari buah keyakinan setelah baca ke belakang, demi peroleh kepurnaan sepaduan kehidupan.
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Ini menuntasi tulisan-tulisan sebelumnya mengenai paragraf awal IK, sebalutan muakhir demi pijakan lanjut. Saya mulai sedikitnya merevisi pandangan kritikus Maman S Mahayana di bukunya “9 Jawaban Sastra Indonesia” sebuah orientasi kritis, diterbitkan Bening Publishing, cetakan 2005, Bagian IV: Sarana Pendekatan Sastra, dahan ke 8 berjudul ‘Sastra dan Filsafat’ halaman 343. Di bawah ini terambil dua paragraf pembukanya bagi pondasi langkah ke muka. Nan disesuaikan keimanan sorot mata saya berproses kreatif, yang berangkat dari buah keyakinan setelah baca ke belakang, demi peroleh kepurnaan sepaduan kehidupan.
07/11/11
Magi dari Timur
Sutardji Calzoum Bachri
Riau Pos, 08/09/2003
Jika para wali di langit tinggi
Jika para wali berarak di awan
Jika para wali menapak langit tinggi
Mari ikut bersama-sama.
(disarankan dinyanyikan seperti When the Saints Go Marching In)
Riau Pos, 08/09/2003
Jika para wali di langit tinggi
Jika para wali berarak di awan
Jika para wali menapak langit tinggi
Mari ikut bersama-sama.
(disarankan dinyanyikan seperti When the Saints Go Marching In)
09/10/11
Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri*
Ignas Kleden**
Kompas, 04 Agu 2007
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata”. Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.
Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.
Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.
Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad.
Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.
Mantra
Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.
Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai “Pantun” yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).
Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.
Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.
Pulau pandan jauh di tengah
di balik pulau angsa dua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang juga
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:
Cacau landan taktak zizangah
tuta kadu pagara mua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang jua
Atau sebuah pantun lainnya:
Kalau ada sumur di ladang
bolehlah saya menumpang mandi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa makna sebagai berikut:
Zuku zangga tukali tangtang
zegeze geze papali podi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu, keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.
Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan substansial antara keduanya.
Menerobos batas bahasa
Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran, justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian, pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi antara makna dan tanpa-makna.
Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan tidak tampak di bawah sinar matahari.
Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah dibakukan.
Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.
Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini.
hai Kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itazatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
ku zangga zegezegeze aahh….!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
Dalam sajak ini dua kalimat pertama “Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu” adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.
Kode leksikal
Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan mungkin dengan putus harapan: “nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu”.
Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal ke dalam tanda-tanda non-leksikal.
Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.
Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas. Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.
Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong antara ada dan tiada.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa ketegangan itu.
Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan berbunyi:
Ada di atas tiada
tiada di atas ada
ada ada bilang tiada
tiada tiada bilang ada
mau tiada? bilang ada
mau mau bilang tiada
mau ada? bilang tiada
mau mau bilang ada
ya tiada ya ada
ya ada ya tiada
Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati larik-larik berikut:
Rindu di atas benci
benci di atas rindu
rindu rindu bilang benci
benci benci bilang rindu
mau benci? bilang rindu
mau mau bilang benci
mau rindu? bilang benci
mau mau bilang rindu
ya benci ya rindu
ya rindu ya benci
Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis energi yang diberi nama “ping” dan “pong”.
Makna baru
Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan, sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu jarakMu merancap nyaring. Anda tahu “merancap” adalah bunyi senjata tajam yang sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.
Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita kepada rekonstruksi makna.
Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan pertanyaan:
Siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
Dan ditutup dengan pertanyaan:
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah dalam sajaknya PadaMu jua”, yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai perbandingan:
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Di mana Engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:
Kuharap isiNya kudapat remahNya
kulahap hariNya kurasa resahNya
kusangat inginNya kujumpa ogahNya
kumau Dianya kutemu jejakNya.
Daya pukau
Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama, Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.
Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam pembukaan sajak Doa berkata:
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu>kern 200m<>h 8333m,0<>w 8333m<
yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath Tagore:
I will utter your name, sitting alone among
the shadows of my silent thoughts
I will utter it without words, I will utter it without purpose
Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut:
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris, William Blake, ketika berkata dalam sajaknya:
Hold infinity in the palm of your hand
and eternity in an hour
Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini:
Siapa dapat meneduh rusuh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membalut luluh
yang padamu yang padaku
siapa dapat turunkan sauh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membasuh lusuh
apa kautahu apa kautahu?
Pelanggaran kategori
Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat.
Yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan “yang paling mawar” dan bukan “yang paling harum”, “yang paling duri” dan bukannya “yang paling tajam”, atau “yang paling sayap” dan bukannya “yang paling bebas”?
Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi dan kepenuhan makna yang dituju.
Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik berikut ini dapat memberi ilustrasi:
Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit
siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa
burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal
siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau
tak aku yang paling rindu?
Atau larik-larik lainnya:
Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung
yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang
mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu
Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat, pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan, aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk superlatif dengan bantuan kata keterangan “paling”, sementara menurut tata bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat.
Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung adalah simetris karena keduanya kata kerja.
Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata kerja.
Dekonstruksi bahasa
Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai makna lagi. Frase seperti “sepisau luka sepisau duri” dapat kita pahami melalui kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan “sepisau” dipelesetkan menjadi “sepisaupa sepisaupi” yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan kamus.
Sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal.
Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.
Untuk mengambil sebuah contoh saja:
Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala
nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri
dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau
kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala
guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala
Anu puteri pesonaku!
datang Kau padaku!
Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis “kakekkakek”, “bocahbocah”, atau “terkekehkekeh”. Atau “minumminum”, “senyumsenyum”, “jingkrakjingkrak” dan “nyanyinyanyi”.
Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.
Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.
Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat “senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi” tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah ibarat “cuka dalam nadi luka dalam diri”.
* Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan kaki dihilangkan.
** Ignas Kleden, Sosiolog, Penulis Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Grafiti, Jakarta, 2004
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/puisi-dan-dekonstruksi-perihal-sutardji.html
Atau lihat ini: http://ignaskleden.blogdrive.com/archive/10.html
Kompas, 04 Agu 2007
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata”. Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.
Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.
Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.
Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad.
Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.
Mantra
Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.
Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai “Pantun” yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).
Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.
Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.
Pulau pandan jauh di tengah
di balik pulau angsa dua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang juga
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:
Cacau landan taktak zizangah
tuta kadu pagara mua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang jua
Atau sebuah pantun lainnya:
Kalau ada sumur di ladang
bolehlah saya menumpang mandi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa makna sebagai berikut:
Zuku zangga tukali tangtang
zegeze geze papali podi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu, keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.
Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan substansial antara keduanya.
Menerobos batas bahasa
Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran, justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian, pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi antara makna dan tanpa-makna.
Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan tidak tampak di bawah sinar matahari.
Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah dibakukan.
Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.
Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini.
hai Kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itazatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
ku zangga zegezegeze aahh….!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
Dalam sajak ini dua kalimat pertama “Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu” adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.
Kode leksikal
Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan mungkin dengan putus harapan: “nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu”.
Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal ke dalam tanda-tanda non-leksikal.
Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.
Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas. Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.
Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong antara ada dan tiada.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa ketegangan itu.
Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan berbunyi:
Ada di atas tiada
tiada di atas ada
ada ada bilang tiada
tiada tiada bilang ada
mau tiada? bilang ada
mau mau bilang tiada
mau ada? bilang tiada
mau mau bilang ada
ya tiada ya ada
ya ada ya tiada
Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati larik-larik berikut:
Rindu di atas benci
benci di atas rindu
rindu rindu bilang benci
benci benci bilang rindu
mau benci? bilang rindu
mau mau bilang benci
mau rindu? bilang benci
mau mau bilang rindu
ya benci ya rindu
ya rindu ya benci
Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis energi yang diberi nama “ping” dan “pong”.
Makna baru
Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan, sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu jarakMu merancap nyaring. Anda tahu “merancap” adalah bunyi senjata tajam yang sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.
Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita kepada rekonstruksi makna.
Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan pertanyaan:
Siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
Dan ditutup dengan pertanyaan:
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah dalam sajaknya PadaMu jua”, yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai perbandingan:
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Di mana Engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:
Kuharap isiNya kudapat remahNya
kulahap hariNya kurasa resahNya
kusangat inginNya kujumpa ogahNya
kumau Dianya kutemu jejakNya.
Daya pukau
Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama, Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.
Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam pembukaan sajak Doa berkata:
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu>kern 200m<>h 8333m,0<>w 8333m<
yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath Tagore:
I will utter your name, sitting alone among
the shadows of my silent thoughts
I will utter it without words, I will utter it without purpose
Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut:
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris, William Blake, ketika berkata dalam sajaknya:
Hold infinity in the palm of your hand
and eternity in an hour
Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini:
Siapa dapat meneduh rusuh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membalut luluh
yang padamu yang padaku
siapa dapat turunkan sauh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membasuh lusuh
apa kautahu apa kautahu?
Pelanggaran kategori
Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat.
Yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan “yang paling mawar” dan bukan “yang paling harum”, “yang paling duri” dan bukannya “yang paling tajam”, atau “yang paling sayap” dan bukannya “yang paling bebas”?
Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi dan kepenuhan makna yang dituju.
Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik berikut ini dapat memberi ilustrasi:
Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit
siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa
burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal
siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau
tak aku yang paling rindu?
Atau larik-larik lainnya:
Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung
yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang
mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu
Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat, pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan, aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk superlatif dengan bantuan kata keterangan “paling”, sementara menurut tata bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat.
Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung adalah simetris karena keduanya kata kerja.
Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata kerja.
Dekonstruksi bahasa
Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai makna lagi. Frase seperti “sepisau luka sepisau duri” dapat kita pahami melalui kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan “sepisau” dipelesetkan menjadi “sepisaupa sepisaupi” yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan kamus.
Sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal.
Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.
Untuk mengambil sebuah contoh saja:
Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala
nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri
dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau
kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala
guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala
Anu puteri pesonaku!
datang Kau padaku!
Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis “kakekkakek”, “bocahbocah”, atau “terkekehkekeh”. Atau “minumminum”, “senyumsenyum”, “jingkrakjingkrak” dan “nyanyinyanyi”.
Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.
Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.
Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat “senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi” tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah ibarat “cuka dalam nadi luka dalam diri”.
* Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan kaki dihilangkan.
** Ignas Kleden, Sosiolog, Penulis Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Grafiti, Jakarta, 2004
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/puisi-dan-dekonstruksi-perihal-sutardji.html
Atau lihat ini: http://ignaskleden.blogdrive.com/archive/10.html
29/11/10
Sang ‘Mata Kiri’ yang Mengembara
Sutardji Calzoum Bachri / Wawancara
Republika, 19 Agustus 2007
Untuk membuat janji wawancara dengan Sutardji Calzoum Bachri, ternyata tak mudah. Saat pembicaraan awal Senin (13/8) lalu untuk minta kesediaannya, dia menyediakan waktu Rabu (15/8) malam, dua hari berselang. Tapi sebelum pembicaraan melalui telepon genggam itu terputus, ia mengingatkan agar menelepon kembali sebelum waktu yang sudah ditetapkan.
Rabu itu, sebagaimana kesepakatan awal, telepon genggamnya yang berulang kali dihubungi tak pernah tersambung. Dari seberang memang terdengar nada sambung, tapi tak ada sahutan.
Namun, Asrizal Nur, rekan dekatnya, meyakinkan pada komitmen Sutardji, meski tidak seperti pada pembicaraan sebelumnya untuk menelepon lebih dulu. ”Datang saja. Dia pasti ke TIM (Taman Ismail Marzuki),” kata Asrizal Nur, ketua Yayasan Panggung Melayu, lembaga yang baru saja sukses menggelar Pekan Presiden Penyair, sebuah hajatan menghormati 66 tahun perjalanan hidup Sutardji.
Asrizal, yang saat itu berada di Pekanbaru meyakinkan, janji yang sudah disepakati dengan Sutardji tidak akan bergeser. Asrizal membuktikan ‘kedekatannya’ dengan Presiden Penyair Indonesia itu. Rabu malam di TIM –sebagaimana waktu yang disebutkan sebelumnya– telepon genggam Sutardji sudah on. Saat kembali dihubungi, terdengar suara, seakan meyakinkan bahwa ia memang memahami telah membuat janji untuk wawancara. ”Ya, tapi saya mau shalat dulu,” ucapnya.
Pria kelahiran Rengat, Riau Daratan, 24 Juni 1941 itu tampak berjalan menyusuri lorong kecil menuju masjid yang berada di bagian belakang pusat kesenian itu, beberapa saat setelah pembicaraan terakhir terputus. Dengan tas ransel yang menggantung di bahu kanan, Sutardji berjalan menunduk, menyeruak di balik cahaya lampu yang temaram.
Usai shalat Maghrib, penyair yang tidak merampungkan kuliahnya di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, ini kembali dengan langkah yang sama. Ketika jalan beriringan, Sutardji mengajak masuk ke sebuah warung di dalam kompleks kesenian tersebut. ”Kau bikin kopi yang enak,” pintanya kepada penjaga warung, sembari menanggalkan jaket dan topinya, dua benda yang akrab membalut tubuh lelaki berusia 66 tahun itu. Ia duduk di sebuah kursi, tas ranselnya diletakkan di kursi yang lain. Kopi pesanannya yang datang beberapa saat berselang segera ia aduk dengan sendok. Dia seolah ingin memastikan minuman itu pas sesuai kehendaknya. Lalu ia membuka pembicaraan dengan sebuah kalimat mengingatkan, ”Saya tidak mau bicarakan soal yang ramai dibicarakan.”
Sutardji, agaknya, tak ingin terlibat dalam perdebatan yang berkembang di kalangan seniman dan budayawan belakangan ini. Ia juga minta agar tidak ditanya soal-soal yang dianggapnya tidak ‘penting’ seperti sumber penghasilan sebagai seorang seniman dan penyair. ”Tidak usahlah yang gitu-gitu,” katanya kepada Burhanuddin Bella bersama fotografer Amin Madani. Maka, setelah kalimat-kalimat itu, wawancara yang berlangsung di sebuah rumah makan dimulai.
Acara Pekan Presiden Penyair yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun Anda ke-66 cukup meriah dan terbilang sukses. Tapi Anda sendiri, kabarnya, jarang merayakan ulang tahun. Bagaimana ceritanya hajatan besar itu bisa terselenggara?
Saya diberi tahu tiga bulan sebelum penyelenggaraan. Ternyata dia (Asrizal Nur) sudah punya rencana sejak lama.
Apa pertimbangan Anda sehingga mau menerima tawaran itu?
Saya lihat track record-nya, bagus. Dia orangnya mampu (bekerja), jadi saya mau. Dia sudah membuat acara-acara besar dan bukan (tipe) yang mencari uang. Tentu saya tanya kawan-kawan tentang dia.
Acara itu sukses, dihadiri banyak penyair dalam dan luar negeri. Bagaimana perasaan Anda atas kesuksesan itu?
Senanglah. Itu suatu acara yang menurut hemat saya bukan hanya penghargaan terhadap kepenyairan saya tetapi terutama sebagai suatu upaya untuk memberikan penghormatan terhadap perpuisian Indonesia pada umumnya.
Anda tampaknya kian religius. Sejak kapan?
Puisi-puisi saya sejak dulu sudah religius. Puisi-puisi saya dalam O, Amuk, Kapak (buku-buku buku kumpulan puisinya), itu religius. (Dia lalu membaca ulang beberapa bait-bait dalam puisi tersebut).
Anda akrab dengan julukan Presiden Penyair Indonesia. Bagaimana ceritanya sampai muncul julukan itu?
Itu awalnya waktu saya mau baca puisi. Dengan ‘pede’ (percaya diri) aku menyebut diri Presiden Penyair Indonesia. Jadi, itu karena percaya diri saja. Tapi, tentu saja orang melihat sendiri (karya-karya saya).
Apakah Anda tidak risih disebut begitu?
Ndaklah.
Di berbagai media massa, Anda menyebut diri mau menjadi Tuhan. Bisa dijelaskan maksudnya?
Kita mau mendekati sifat-sifat Tuhan, seperti sifat-sifat Tuhan yang Maha Penyayang, Maha Pemurah. Kita hanya mungkin bisa satu persen, tapi kita kan berusaha mendekati sifat-sifat itu.
Masa kepenyairan yang melebihi separuh dari usianya itu melahirkan pandangan sarat makna terhadap penyair dan karyanya. Puisi, bagi Sutardji, penting dilihat dari sisi manusia sebagi individu. Puisi bisa meninggikan dan meluhurkan martabat manusia. Yang penting dari sisi sosial, puisi bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah. ”Dilihat dari sisi kenyataan maupun secara teoretis puisi bisa menjadi unsur yang menciptakan sejarah, sebagaimana firman Tuhan menciptakan sejarah jagat raya,” ucapnya.
Dia lalu menjelaskan pemahaman itu dengan mengutip teks Sumpah Pemuda, sebagai teks puisi. Selama ini, urai Sutardji, teks Sumpah Pemuda selalu dilihat sebagai teks atau dokumen sosial politik. Tapi kalau kita ingin mencermati dari sudut puisi maka segera terlihat, ia juga bisa dianggap sebuah teks puisi yang utuh. Syarat yang diharuskan pada puisi ada terkandung penuh padanya.
Sebagaimana halnya puisi, seluruh isi teks Sumpah Pemuda itu adalah imajinasi atau mimpi, sesuatu yang tidak ada atau belum ada dalam kenyataan. ”Kami putera-puteri Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Waktu itu, 1928, belum ada dalam kenyataan putera-puteri Indonesia. Yang ada pemuda Jawa, pemuda Sumatera, pemuda Sulawesi, dan seterusnya. Juga belum ada Indonesia, yang ada dalam kenyataan Hindia Belanda,” ujarnya.
Demikian pula dengan ‘Kami putera-puteri Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia’. Waktu itu belum ada bahasa Indonesia. Yang ada dalam kenyataan adalah bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua-franca.
Teks Sumpah Pemuda itu, kata dia, menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata bagaikan mantera. ”Mantera Sumpah Pemuda inilah yang memukau para pembaca atau pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam Sumpah Pemuda menjadi kenyataan,” ujarnya.
Sutardji juga mengaku terkagum-kagum dengan Alquran terutama dalam surat Al Shu’ara. Bagi dia, surat itu secara tepat mendefinisikan profesi penyair: ”Mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.” Memang, ulas Sutardji, pada kenyataannya penyair yang serius selalu mengembarakan perasaannya dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu –puisinya– agar menjadi kenyataan.
Profesi penyair, lanjut dia, adalah menciptakan sajak dan bukan mengerjakan sajak atau merealisasikan sendiri puisinya menjadi kenyataan. Tugas terakhir ini dibebankan pada pembacanya. Pada para pembacalah terjadi realisasi dari puisi itu berupa perasaan, empati, simpati, dan sebagainya. Berikutnya realisasi psikologis ini mungkin berkembang menjadi realisasi konkret di dunia nyata berupa tindakan-tindakan yang terinspirasi dari sajak tersebut.
Di usia Anda seperti ini yang kini sudah 66 tahun, apakah ada keinginan kembali ke daerah asal?
Maulah. Tapi, saya bisa bikin apa, ya. Di sini kan banyak teman, banyak yang bisa diperbuat.
Kabarnya, –bila Tuhan memanggil– Anda ingin dimakamkan di Riau, daerah asal Anda?
Saya ingin dimakamkan di Riau Kepulauan, tempat saya besar.
Kenapa bukan Riau Daratan, tempat kelahiran Anda?
Di sana (Riau Kepulauan) ada makam orangtua saya.
Anda tidak ingin pensiun sebagai penyair?
Sejak memutuskan jadi penyair, orang sudah pensiun.
Anda kok masih merokok. Tidak ada masalah dengan kesehatan?
Adalah (Ia terdiam sejenak).
Membebaskan Kata dari Makna
Predikat maestro perpuisian Indonesia tampaknya telah pantas disematkan padanya. Membandingkan dengan Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono menempatkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘mata kiri’ dan Chairil Anwar sebagai ‘mata kanan’ kesusastraan Indonesia. Namun, dalam dialog sastra di Kafe Penus, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), beberapa waktu lalu, kritikus sastra Maman S Mahayana menilai Sutardji lebih besar dibandingkan dengan Chairil Anwar.
Sutardji mengawali karier kepenyairannya di Bandung. Ketika itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa FISIP Universitas Padjadjaran, pertengahan 1960-an. Bersama mahasiswa lain, ia aktif sebagai redaktur di Indonesia Express dan Duta Masyarakat, koran yang masa itu dikenal sering membuat tulisan-tulisan kreatif dan kritis menentang pemerintah.
Sajak-sajaknya juga banyak dimuat di Majalah Horison dan Harian Sinar Harapan Jakarta. Karya-karyanya sempat mengejutkan dunia sastra Indonesia di era tahun 1970-an karena ia menyodorkan puisi-puisi yang lain, berbeda dengan karya-karya sejenis masa itu. Bila penyair lain mengungkapkan kata-kata dalam karya, Sutardji oleh banyak kalangan dianggap membebaskan kata dari makna. Bait-bait puisinya bak mantera. Belakangan ini ia kemujdian dikenal sebagai penyair mantera. Itu tecermin dalam antalogi O, Amuk, dan Kapak yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, 1981.
Tidak heran bila pada 1975, Harry Aveling menerjemahkan dan menerbitkan sajak-sajaknya dalam kumpulan berjudul Arjuna ini Meditation. Judul kumpulan puisi terjemahan Harry, boleh jadi, tidak keliru. Pada seminar internasional yang diselenggarakan dalam Pekan Presiden Penyair, Juli lalu, karya-karya Sutardji dibedah dan dikaji oleh sejumlah sastrawan, dalam dan luar negeri. Sebutlah misalnya, Prof Dr Koh Young-Hun (Korea), Dr Maria Emelia Irmler (Portugal), Dr Muhammad Zafar Iqbal (Iran), Dr Harry Aveling (Australia), Dr Haji Hasyim bin Haji Abdul Hamid (Brunei), Suratman Markasan (Singapura), Dr Asmiaty Amat dan Dr Dato Kemala (Malaysia), serta Prof Dr Suminto A Sayuti (UNY) dan Dr Abdul Hadi WM (UI).
Salah satu kesimpulan dalam seminar itu menempatkan sajak-sajak berestetika mantera Sutardji umumnya sangat religius dan bahkan sangat sufistik.
Abdul Hadi WM bahkan menganggap nilai-nilai religiusitas sajak-sajak penyair ini sangat penting untuk diaktualisasikan guna mengimbangi kecenderungan budaya yang sangat sekuler dewasa ini.
Jejak langkah kepenyairan lelaki yang menikahi Mariam Linda, tepat di Hari Pahlawan 10 November 1982 ini, tak sebatas di dalam negeri yang ditandai dengan raihan berbagai penghargaan. Misalnya, hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1997-1998) dan Anugerah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998).
Kiprah penyair ini juga bergema di luar negeri. Ia adalah peraih South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand (1979); pernah memperoleh kesempatan membacakan puisi-puisinya di Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda; mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika, 1975, dan menerima Anugerah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 2006.
Maka, tak salah bila Maman S Mahayana menyebutkan, ”Sutardji dapat dianggap sebagai salah satu tonggak terpenting perjalanan sejarah sastra Indonesia,” ujar Maman. Dia memang maestro.
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VQVXUAJQVVdS
Republika, 19 Agustus 2007
Untuk membuat janji wawancara dengan Sutardji Calzoum Bachri, ternyata tak mudah. Saat pembicaraan awal Senin (13/8) lalu untuk minta kesediaannya, dia menyediakan waktu Rabu (15/8) malam, dua hari berselang. Tapi sebelum pembicaraan melalui telepon genggam itu terputus, ia mengingatkan agar menelepon kembali sebelum waktu yang sudah ditetapkan.
Rabu itu, sebagaimana kesepakatan awal, telepon genggamnya yang berulang kali dihubungi tak pernah tersambung. Dari seberang memang terdengar nada sambung, tapi tak ada sahutan.
Namun, Asrizal Nur, rekan dekatnya, meyakinkan pada komitmen Sutardji, meski tidak seperti pada pembicaraan sebelumnya untuk menelepon lebih dulu. ”Datang saja. Dia pasti ke TIM (Taman Ismail Marzuki),” kata Asrizal Nur, ketua Yayasan Panggung Melayu, lembaga yang baru saja sukses menggelar Pekan Presiden Penyair, sebuah hajatan menghormati 66 tahun perjalanan hidup Sutardji.
Asrizal, yang saat itu berada di Pekanbaru meyakinkan, janji yang sudah disepakati dengan Sutardji tidak akan bergeser. Asrizal membuktikan ‘kedekatannya’ dengan Presiden Penyair Indonesia itu. Rabu malam di TIM –sebagaimana waktu yang disebutkan sebelumnya– telepon genggam Sutardji sudah on. Saat kembali dihubungi, terdengar suara, seakan meyakinkan bahwa ia memang memahami telah membuat janji untuk wawancara. ”Ya, tapi saya mau shalat dulu,” ucapnya.
Pria kelahiran Rengat, Riau Daratan, 24 Juni 1941 itu tampak berjalan menyusuri lorong kecil menuju masjid yang berada di bagian belakang pusat kesenian itu, beberapa saat setelah pembicaraan terakhir terputus. Dengan tas ransel yang menggantung di bahu kanan, Sutardji berjalan menunduk, menyeruak di balik cahaya lampu yang temaram.
Usai shalat Maghrib, penyair yang tidak merampungkan kuliahnya di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, ini kembali dengan langkah yang sama. Ketika jalan beriringan, Sutardji mengajak masuk ke sebuah warung di dalam kompleks kesenian tersebut. ”Kau bikin kopi yang enak,” pintanya kepada penjaga warung, sembari menanggalkan jaket dan topinya, dua benda yang akrab membalut tubuh lelaki berusia 66 tahun itu. Ia duduk di sebuah kursi, tas ranselnya diletakkan di kursi yang lain. Kopi pesanannya yang datang beberapa saat berselang segera ia aduk dengan sendok. Dia seolah ingin memastikan minuman itu pas sesuai kehendaknya. Lalu ia membuka pembicaraan dengan sebuah kalimat mengingatkan, ”Saya tidak mau bicarakan soal yang ramai dibicarakan.”
Sutardji, agaknya, tak ingin terlibat dalam perdebatan yang berkembang di kalangan seniman dan budayawan belakangan ini. Ia juga minta agar tidak ditanya soal-soal yang dianggapnya tidak ‘penting’ seperti sumber penghasilan sebagai seorang seniman dan penyair. ”Tidak usahlah yang gitu-gitu,” katanya kepada Burhanuddin Bella bersama fotografer Amin Madani. Maka, setelah kalimat-kalimat itu, wawancara yang berlangsung di sebuah rumah makan dimulai.
Acara Pekan Presiden Penyair yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun Anda ke-66 cukup meriah dan terbilang sukses. Tapi Anda sendiri, kabarnya, jarang merayakan ulang tahun. Bagaimana ceritanya hajatan besar itu bisa terselenggara?
Saya diberi tahu tiga bulan sebelum penyelenggaraan. Ternyata dia (Asrizal Nur) sudah punya rencana sejak lama.
Apa pertimbangan Anda sehingga mau menerima tawaran itu?
Saya lihat track record-nya, bagus. Dia orangnya mampu (bekerja), jadi saya mau. Dia sudah membuat acara-acara besar dan bukan (tipe) yang mencari uang. Tentu saya tanya kawan-kawan tentang dia.
Acara itu sukses, dihadiri banyak penyair dalam dan luar negeri. Bagaimana perasaan Anda atas kesuksesan itu?
Senanglah. Itu suatu acara yang menurut hemat saya bukan hanya penghargaan terhadap kepenyairan saya tetapi terutama sebagai suatu upaya untuk memberikan penghormatan terhadap perpuisian Indonesia pada umumnya.
Anda tampaknya kian religius. Sejak kapan?
Puisi-puisi saya sejak dulu sudah religius. Puisi-puisi saya dalam O, Amuk, Kapak (buku-buku buku kumpulan puisinya), itu religius. (Dia lalu membaca ulang beberapa bait-bait dalam puisi tersebut).
Anda akrab dengan julukan Presiden Penyair Indonesia. Bagaimana ceritanya sampai muncul julukan itu?
Itu awalnya waktu saya mau baca puisi. Dengan ‘pede’ (percaya diri) aku menyebut diri Presiden Penyair Indonesia. Jadi, itu karena percaya diri saja. Tapi, tentu saja orang melihat sendiri (karya-karya saya).
Apakah Anda tidak risih disebut begitu?
Ndaklah.
Di berbagai media massa, Anda menyebut diri mau menjadi Tuhan. Bisa dijelaskan maksudnya?
Kita mau mendekati sifat-sifat Tuhan, seperti sifat-sifat Tuhan yang Maha Penyayang, Maha Pemurah. Kita hanya mungkin bisa satu persen, tapi kita kan berusaha mendekati sifat-sifat itu.
Masa kepenyairan yang melebihi separuh dari usianya itu melahirkan pandangan sarat makna terhadap penyair dan karyanya. Puisi, bagi Sutardji, penting dilihat dari sisi manusia sebagi individu. Puisi bisa meninggikan dan meluhurkan martabat manusia. Yang penting dari sisi sosial, puisi bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah. ”Dilihat dari sisi kenyataan maupun secara teoretis puisi bisa menjadi unsur yang menciptakan sejarah, sebagaimana firman Tuhan menciptakan sejarah jagat raya,” ucapnya.
Dia lalu menjelaskan pemahaman itu dengan mengutip teks Sumpah Pemuda, sebagai teks puisi. Selama ini, urai Sutardji, teks Sumpah Pemuda selalu dilihat sebagai teks atau dokumen sosial politik. Tapi kalau kita ingin mencermati dari sudut puisi maka segera terlihat, ia juga bisa dianggap sebuah teks puisi yang utuh. Syarat yang diharuskan pada puisi ada terkandung penuh padanya.
Sebagaimana halnya puisi, seluruh isi teks Sumpah Pemuda itu adalah imajinasi atau mimpi, sesuatu yang tidak ada atau belum ada dalam kenyataan. ”Kami putera-puteri Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Waktu itu, 1928, belum ada dalam kenyataan putera-puteri Indonesia. Yang ada pemuda Jawa, pemuda Sumatera, pemuda Sulawesi, dan seterusnya. Juga belum ada Indonesia, yang ada dalam kenyataan Hindia Belanda,” ujarnya.
Demikian pula dengan ‘Kami putera-puteri Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia’. Waktu itu belum ada bahasa Indonesia. Yang ada dalam kenyataan adalah bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua-franca.
Teks Sumpah Pemuda itu, kata dia, menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata bagaikan mantera. ”Mantera Sumpah Pemuda inilah yang memukau para pembaca atau pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam Sumpah Pemuda menjadi kenyataan,” ujarnya.
Sutardji juga mengaku terkagum-kagum dengan Alquran terutama dalam surat Al Shu’ara. Bagi dia, surat itu secara tepat mendefinisikan profesi penyair: ”Mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.” Memang, ulas Sutardji, pada kenyataannya penyair yang serius selalu mengembarakan perasaannya dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu –puisinya– agar menjadi kenyataan.
Profesi penyair, lanjut dia, adalah menciptakan sajak dan bukan mengerjakan sajak atau merealisasikan sendiri puisinya menjadi kenyataan. Tugas terakhir ini dibebankan pada pembacanya. Pada para pembacalah terjadi realisasi dari puisi itu berupa perasaan, empati, simpati, dan sebagainya. Berikutnya realisasi psikologis ini mungkin berkembang menjadi realisasi konkret di dunia nyata berupa tindakan-tindakan yang terinspirasi dari sajak tersebut.
Di usia Anda seperti ini yang kini sudah 66 tahun, apakah ada keinginan kembali ke daerah asal?
Maulah. Tapi, saya bisa bikin apa, ya. Di sini kan banyak teman, banyak yang bisa diperbuat.
Kabarnya, –bila Tuhan memanggil– Anda ingin dimakamkan di Riau, daerah asal Anda?
Saya ingin dimakamkan di Riau Kepulauan, tempat saya besar.
Kenapa bukan Riau Daratan, tempat kelahiran Anda?
Di sana (Riau Kepulauan) ada makam orangtua saya.
Anda tidak ingin pensiun sebagai penyair?
Sejak memutuskan jadi penyair, orang sudah pensiun.
Anda kok masih merokok. Tidak ada masalah dengan kesehatan?
Adalah (Ia terdiam sejenak).
Membebaskan Kata dari Makna
Predikat maestro perpuisian Indonesia tampaknya telah pantas disematkan padanya. Membandingkan dengan Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono menempatkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘mata kiri’ dan Chairil Anwar sebagai ‘mata kanan’ kesusastraan Indonesia. Namun, dalam dialog sastra di Kafe Penus, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), beberapa waktu lalu, kritikus sastra Maman S Mahayana menilai Sutardji lebih besar dibandingkan dengan Chairil Anwar.
Sutardji mengawali karier kepenyairannya di Bandung. Ketika itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa FISIP Universitas Padjadjaran, pertengahan 1960-an. Bersama mahasiswa lain, ia aktif sebagai redaktur di Indonesia Express dan Duta Masyarakat, koran yang masa itu dikenal sering membuat tulisan-tulisan kreatif dan kritis menentang pemerintah.
Sajak-sajaknya juga banyak dimuat di Majalah Horison dan Harian Sinar Harapan Jakarta. Karya-karyanya sempat mengejutkan dunia sastra Indonesia di era tahun 1970-an karena ia menyodorkan puisi-puisi yang lain, berbeda dengan karya-karya sejenis masa itu. Bila penyair lain mengungkapkan kata-kata dalam karya, Sutardji oleh banyak kalangan dianggap membebaskan kata dari makna. Bait-bait puisinya bak mantera. Belakangan ini ia kemujdian dikenal sebagai penyair mantera. Itu tecermin dalam antalogi O, Amuk, dan Kapak yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, 1981.
Tidak heran bila pada 1975, Harry Aveling menerjemahkan dan menerbitkan sajak-sajaknya dalam kumpulan berjudul Arjuna ini Meditation. Judul kumpulan puisi terjemahan Harry, boleh jadi, tidak keliru. Pada seminar internasional yang diselenggarakan dalam Pekan Presiden Penyair, Juli lalu, karya-karya Sutardji dibedah dan dikaji oleh sejumlah sastrawan, dalam dan luar negeri. Sebutlah misalnya, Prof Dr Koh Young-Hun (Korea), Dr Maria Emelia Irmler (Portugal), Dr Muhammad Zafar Iqbal (Iran), Dr Harry Aveling (Australia), Dr Haji Hasyim bin Haji Abdul Hamid (Brunei), Suratman Markasan (Singapura), Dr Asmiaty Amat dan Dr Dato Kemala (Malaysia), serta Prof Dr Suminto A Sayuti (UNY) dan Dr Abdul Hadi WM (UI).
Salah satu kesimpulan dalam seminar itu menempatkan sajak-sajak berestetika mantera Sutardji umumnya sangat religius dan bahkan sangat sufistik.
Abdul Hadi WM bahkan menganggap nilai-nilai religiusitas sajak-sajak penyair ini sangat penting untuk diaktualisasikan guna mengimbangi kecenderungan budaya yang sangat sekuler dewasa ini.
Jejak langkah kepenyairan lelaki yang menikahi Mariam Linda, tepat di Hari Pahlawan 10 November 1982 ini, tak sebatas di dalam negeri yang ditandai dengan raihan berbagai penghargaan. Misalnya, hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1997-1998) dan Anugerah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998).
Kiprah penyair ini juga bergema di luar negeri. Ia adalah peraih South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand (1979); pernah memperoleh kesempatan membacakan puisi-puisinya di Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda; mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika, 1975, dan menerima Anugerah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 2006.
Maka, tak salah bila Maman S Mahayana menyebutkan, ”Sutardji dapat dianggap sebagai salah satu tonggak terpenting perjalanan sejarah sastra Indonesia,” ujar Maman. Dia memang maestro.
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VQVXUAJQVVdS
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita