Sutardji Calzoum Bachri / Wawancara
Republika, 19 Agustus 2007
Untuk membuat janji wawancara dengan Sutardji Calzoum Bachri, ternyata tak mudah. Saat pembicaraan awal Senin (13/8) lalu untuk minta kesediaannya, dia menyediakan waktu Rabu (15/8) malam, dua hari berselang. Tapi sebelum pembicaraan melalui telepon genggam itu terputus, ia mengingatkan agar menelepon kembali sebelum waktu yang sudah ditetapkan.
Rabu itu, sebagaimana kesepakatan awal, telepon genggamnya yang berulang kali dihubungi tak pernah tersambung. Dari seberang memang terdengar nada sambung, tapi tak ada sahutan.
Namun, Asrizal Nur, rekan dekatnya, meyakinkan pada komitmen Sutardji, meski tidak seperti pada pembicaraan sebelumnya untuk menelepon lebih dulu. ”Datang saja. Dia pasti ke TIM (Taman Ismail Marzuki),” kata Asrizal Nur, ketua Yayasan Panggung Melayu, lembaga yang baru saja sukses menggelar Pekan Presiden Penyair, sebuah hajatan menghormati 66 tahun perjalanan hidup Sutardji.
Asrizal, yang saat itu berada di Pekanbaru meyakinkan, janji yang sudah disepakati dengan Sutardji tidak akan bergeser. Asrizal membuktikan ‘kedekatannya’ dengan Presiden Penyair Indonesia itu. Rabu malam di TIM –sebagaimana waktu yang disebutkan sebelumnya– telepon genggam Sutardji sudah on. Saat kembali dihubungi, terdengar suara, seakan meyakinkan bahwa ia memang memahami telah membuat janji untuk wawancara. ”Ya, tapi saya mau shalat dulu,” ucapnya.
Pria kelahiran Rengat, Riau Daratan, 24 Juni 1941 itu tampak berjalan menyusuri lorong kecil menuju masjid yang berada di bagian belakang pusat kesenian itu, beberapa saat setelah pembicaraan terakhir terputus. Dengan tas ransel yang menggantung di bahu kanan, Sutardji berjalan menunduk, menyeruak di balik cahaya lampu yang temaram.
Usai shalat Maghrib, penyair yang tidak merampungkan kuliahnya di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, ini kembali dengan langkah yang sama. Ketika jalan beriringan, Sutardji mengajak masuk ke sebuah warung di dalam kompleks kesenian tersebut. ”Kau bikin kopi yang enak,” pintanya kepada penjaga warung, sembari menanggalkan jaket dan topinya, dua benda yang akrab membalut tubuh lelaki berusia 66 tahun itu. Ia duduk di sebuah kursi, tas ranselnya diletakkan di kursi yang lain. Kopi pesanannya yang datang beberapa saat berselang segera ia aduk dengan sendok. Dia seolah ingin memastikan minuman itu pas sesuai kehendaknya. Lalu ia membuka pembicaraan dengan sebuah kalimat mengingatkan, ”Saya tidak mau bicarakan soal yang ramai dibicarakan.”
Sutardji, agaknya, tak ingin terlibat dalam perdebatan yang berkembang di kalangan seniman dan budayawan belakangan ini. Ia juga minta agar tidak ditanya soal-soal yang dianggapnya tidak ‘penting’ seperti sumber penghasilan sebagai seorang seniman dan penyair. ”Tidak usahlah yang gitu-gitu,” katanya kepada Burhanuddin Bella bersama fotografer Amin Madani. Maka, setelah kalimat-kalimat itu, wawancara yang berlangsung di sebuah rumah makan dimulai.
Acara Pekan Presiden Penyair yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun Anda ke-66 cukup meriah dan terbilang sukses. Tapi Anda sendiri, kabarnya, jarang merayakan ulang tahun. Bagaimana ceritanya hajatan besar itu bisa terselenggara?
Saya diberi tahu tiga bulan sebelum penyelenggaraan. Ternyata dia (Asrizal Nur) sudah punya rencana sejak lama.
Apa pertimbangan Anda sehingga mau menerima tawaran itu?
Saya lihat track record-nya, bagus. Dia orangnya mampu (bekerja), jadi saya mau. Dia sudah membuat acara-acara besar dan bukan (tipe) yang mencari uang. Tentu saya tanya kawan-kawan tentang dia.
Acara itu sukses, dihadiri banyak penyair dalam dan luar negeri. Bagaimana perasaan Anda atas kesuksesan itu?
Senanglah. Itu suatu acara yang menurut hemat saya bukan hanya penghargaan terhadap kepenyairan saya tetapi terutama sebagai suatu upaya untuk memberikan penghormatan terhadap perpuisian Indonesia pada umumnya.
Anda tampaknya kian religius. Sejak kapan?
Puisi-puisi saya sejak dulu sudah religius. Puisi-puisi saya dalam O, Amuk, Kapak (buku-buku buku kumpulan puisinya), itu religius. (Dia lalu membaca ulang beberapa bait-bait dalam puisi tersebut).
Anda akrab dengan julukan Presiden Penyair Indonesia. Bagaimana ceritanya sampai muncul julukan itu?
Itu awalnya waktu saya mau baca puisi. Dengan ‘pede’ (percaya diri) aku menyebut diri Presiden Penyair Indonesia. Jadi, itu karena percaya diri saja. Tapi, tentu saja orang melihat sendiri (karya-karya saya).
Apakah Anda tidak risih disebut begitu?
Ndaklah.
Di berbagai media massa, Anda menyebut diri mau menjadi Tuhan. Bisa dijelaskan maksudnya?
Kita mau mendekati sifat-sifat Tuhan, seperti sifat-sifat Tuhan yang Maha Penyayang, Maha Pemurah. Kita hanya mungkin bisa satu persen, tapi kita kan berusaha mendekati sifat-sifat itu.
Masa kepenyairan yang melebihi separuh dari usianya itu melahirkan pandangan sarat makna terhadap penyair dan karyanya. Puisi, bagi Sutardji, penting dilihat dari sisi manusia sebagi individu. Puisi bisa meninggikan dan meluhurkan martabat manusia. Yang penting dari sisi sosial, puisi bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah. ”Dilihat dari sisi kenyataan maupun secara teoretis puisi bisa menjadi unsur yang menciptakan sejarah, sebagaimana firman Tuhan menciptakan sejarah jagat raya,” ucapnya.
Dia lalu menjelaskan pemahaman itu dengan mengutip teks Sumpah Pemuda, sebagai teks puisi. Selama ini, urai Sutardji, teks Sumpah Pemuda selalu dilihat sebagai teks atau dokumen sosial politik. Tapi kalau kita ingin mencermati dari sudut puisi maka segera terlihat, ia juga bisa dianggap sebuah teks puisi yang utuh. Syarat yang diharuskan pada puisi ada terkandung penuh padanya.
Sebagaimana halnya puisi, seluruh isi teks Sumpah Pemuda itu adalah imajinasi atau mimpi, sesuatu yang tidak ada atau belum ada dalam kenyataan. ”Kami putera-puteri Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Waktu itu, 1928, belum ada dalam kenyataan putera-puteri Indonesia. Yang ada pemuda Jawa, pemuda Sumatera, pemuda Sulawesi, dan seterusnya. Juga belum ada Indonesia, yang ada dalam kenyataan Hindia Belanda,” ujarnya.
Demikian pula dengan ‘Kami putera-puteri Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia’. Waktu itu belum ada bahasa Indonesia. Yang ada dalam kenyataan adalah bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua-franca.
Teks Sumpah Pemuda itu, kata dia, menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata bagaikan mantera. ”Mantera Sumpah Pemuda inilah yang memukau para pembaca atau pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam Sumpah Pemuda menjadi kenyataan,” ujarnya.
Sutardji juga mengaku terkagum-kagum dengan Alquran terutama dalam surat Al Shu’ara. Bagi dia, surat itu secara tepat mendefinisikan profesi penyair: ”Mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.” Memang, ulas Sutardji, pada kenyataannya penyair yang serius selalu mengembarakan perasaannya dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu –puisinya– agar menjadi kenyataan.
Profesi penyair, lanjut dia, adalah menciptakan sajak dan bukan mengerjakan sajak atau merealisasikan sendiri puisinya menjadi kenyataan. Tugas terakhir ini dibebankan pada pembacanya. Pada para pembacalah terjadi realisasi dari puisi itu berupa perasaan, empati, simpati, dan sebagainya. Berikutnya realisasi psikologis ini mungkin berkembang menjadi realisasi konkret di dunia nyata berupa tindakan-tindakan yang terinspirasi dari sajak tersebut.
Di usia Anda seperti ini yang kini sudah 66 tahun, apakah ada keinginan kembali ke daerah asal?
Maulah. Tapi, saya bisa bikin apa, ya. Di sini kan banyak teman, banyak yang bisa diperbuat.
Kabarnya, –bila Tuhan memanggil– Anda ingin dimakamkan di Riau, daerah asal Anda?
Saya ingin dimakamkan di Riau Kepulauan, tempat saya besar.
Kenapa bukan Riau Daratan, tempat kelahiran Anda?
Di sana (Riau Kepulauan) ada makam orangtua saya.
Anda tidak ingin pensiun sebagai penyair?
Sejak memutuskan jadi penyair, orang sudah pensiun.
Anda kok masih merokok. Tidak ada masalah dengan kesehatan?
Adalah (Ia terdiam sejenak).
Membebaskan Kata dari Makna
Predikat maestro perpuisian Indonesia tampaknya telah pantas disematkan padanya. Membandingkan dengan Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono menempatkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘mata kiri’ dan Chairil Anwar sebagai ‘mata kanan’ kesusastraan Indonesia. Namun, dalam dialog sastra di Kafe Penus, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), beberapa waktu lalu, kritikus sastra Maman S Mahayana menilai Sutardji lebih besar dibandingkan dengan Chairil Anwar.
Sutardji mengawali karier kepenyairannya di Bandung. Ketika itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa FISIP Universitas Padjadjaran, pertengahan 1960-an. Bersama mahasiswa lain, ia aktif sebagai redaktur di Indonesia Express dan Duta Masyarakat, koran yang masa itu dikenal sering membuat tulisan-tulisan kreatif dan kritis menentang pemerintah.
Sajak-sajaknya juga banyak dimuat di Majalah Horison dan Harian Sinar Harapan Jakarta. Karya-karyanya sempat mengejutkan dunia sastra Indonesia di era tahun 1970-an karena ia menyodorkan puisi-puisi yang lain, berbeda dengan karya-karya sejenis masa itu. Bila penyair lain mengungkapkan kata-kata dalam karya, Sutardji oleh banyak kalangan dianggap membebaskan kata dari makna. Bait-bait puisinya bak mantera. Belakangan ini ia kemujdian dikenal sebagai penyair mantera. Itu tecermin dalam antalogi O, Amuk, dan Kapak yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, 1981.
Tidak heran bila pada 1975, Harry Aveling menerjemahkan dan menerbitkan sajak-sajaknya dalam kumpulan berjudul Arjuna ini Meditation. Judul kumpulan puisi terjemahan Harry, boleh jadi, tidak keliru. Pada seminar internasional yang diselenggarakan dalam Pekan Presiden Penyair, Juli lalu, karya-karya Sutardji dibedah dan dikaji oleh sejumlah sastrawan, dalam dan luar negeri. Sebutlah misalnya, Prof Dr Koh Young-Hun (Korea), Dr Maria Emelia Irmler (Portugal), Dr Muhammad Zafar Iqbal (Iran), Dr Harry Aveling (Australia), Dr Haji Hasyim bin Haji Abdul Hamid (Brunei), Suratman Markasan (Singapura), Dr Asmiaty Amat dan Dr Dato Kemala (Malaysia), serta Prof Dr Suminto A Sayuti (UNY) dan Dr Abdul Hadi WM (UI).
Salah satu kesimpulan dalam seminar itu menempatkan sajak-sajak berestetika mantera Sutardji umumnya sangat religius dan bahkan sangat sufistik.
Abdul Hadi WM bahkan menganggap nilai-nilai religiusitas sajak-sajak penyair ini sangat penting untuk diaktualisasikan guna mengimbangi kecenderungan budaya yang sangat sekuler dewasa ini.
Jejak langkah kepenyairan lelaki yang menikahi Mariam Linda, tepat di Hari Pahlawan 10 November 1982 ini, tak sebatas di dalam negeri yang ditandai dengan raihan berbagai penghargaan. Misalnya, hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1997-1998) dan Anugerah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998).
Kiprah penyair ini juga bergema di luar negeri. Ia adalah peraih South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand (1979); pernah memperoleh kesempatan membacakan puisi-puisinya di Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda; mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika, 1975, dan menerima Anugerah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 2006.
Maka, tak salah bila Maman S Mahayana menyebutkan, ”Sutardji dapat dianggap sebagai salah satu tonggak terpenting perjalanan sejarah sastra Indonesia,” ujar Maman. Dia memang maestro.
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VQVXUAJQVVdS
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar