29/11/10

Era Gagap Sastra bagi Akademisi

TANGGAPAN TULISAN ABDUL WACHID BS
Anton Suparyanto
http://www.kr.co.id/

DERASNYA Industri penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini menimbulkan satu gejala pemikiran negatif. Berhura-hura untuk menghantam pengarang melaju tanpa kritik dengan dalih kritikus sastra kita sudah mati (?) justru telah berupaya membunuh iklim keutuhan berkesusastraan secara sehat. Ini menjadi pikiran kerdil, gagap untuk menyimak wawasan bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Inikah gejala ewuh-aya bagi pengarang (sastra), pemerhati, ataupun pengamat sastra Indonesia yang paling mutakhir?

Entahlah. Yang pasti umpan Binhad Nurrohmat yang ditelan Satmoko Budi Santosa dan Budi Darma, justru “dicengengesi” Binhad lagi dengan tali ruwet “siapa suruh jadi kritikus (sastra)” di Kompas Minggu bulan lalu. Argumen yang bernada main-main ini seakan menekuk sinyal baik Abdul Wachid BS yang masih melambungkan kampus sebagai basis bersastra, meskipun hanya menetaskan satu-dua sosok yang meleksastra (baca Minggu Pagi, Minggu ketiga Juni 2003). Sedangkan matinya kritik sastra (?) yang cuma disebabkan ketiadaan karya sastra yang layak menjadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini (baca Minggu Pagi, Minggu pertama Juli 2003), justru menjadi titik balik telah terjadi era gagap sastra bagi kaum akademik.

Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi toh kritik kita memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistrik, Jakarta oriented. Bukankah publikasi dan penerbitan pers yang memiliki gurta industri hingga kini masih dihegemoni oleh Jakarta minded? Bukankah tahun 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusat metropol tersebut? Nah, kalau kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh pada kubangan “universalitas yang sempit”. Kenapa begitu?

Alasan kuno-nya, justru timbul kecenderungan-mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus bergaya intelektual. Untuk itulah kita tak bisa ingkar terhadap dominasi persebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Horison ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”. Lalu arifkah kini ketika majalah-majalah tersebut telah kehilangan nafas, justru kita menghantam dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga dengan mudah menuduh “kritikus sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa melap-lap “zaman keemasan” bersastra seperti tersebut di atas, tentulah bahaya dahsyat akan digerogotinya dengan istilah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesusastraan?

Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah almarhum, penyerbuan sastra kini eksis di koran-koran (baik media nasional maupun daerah). Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik yang sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif untuk publikasi karya kritikan sastra.

“Kegagalan” penikmat sastra terkini adalah taqlid terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiadanya kontinyuitas kritik-(us) sastra akhir-akhir ini.

Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakarta pula. Lalu berkat peledakan industri pers, koran pun telah menyebar terbit ke daerah-daerah. Anehnya, karena sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini banyak yang dipinggirkan oleh kebijakan redaksi. Menyikapi penyempitan kapling inilah, muncul media alternatif untuk mempublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam wujud majalah, jurnal pun buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi.

Cobalah kita arif terhadap media alternatif yang terbit berkala seperti berikut: Widya Parwa (Balai Bahasa Yogya): Humaniora (Fak. Ilmu Budaya UGM); Widya Dharma (Universitas Sanata Dharma Yogya); Diksi (Universitas Negeri Yogya); Semiotika (Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa Yogya); Seni (ISI Yogya); Citra Yogya (Dewan Kesenian Yogya); Haluan Sastra Budaya (Fak. Sastra UNS Solo); Kajian Bahasa dan Sastra (Univ. Muh. Surakarta); Kajian Sastra (Fak. Sastra UNDIP Semarang); Widya Pustaka (Fak. Sastra Univ. Udayana Bali); Lontara (Univ. Hasannudin Ujung Pandang); Puitika (Fak. Sastra Univ. Andalas Padang); Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta); Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (Fak. Sastra UI Jakarta); pun Fenolingua dan Magistra (Univ. Widya Dharma Klaten). Sejumlah media berkala ini ternyata secara rutin eksis menawarkan kritik sastra yang cenderung ilmiah ataupun ilmiah populer. Bukankah data majalah dkk kampus ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia?

Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan publikasi karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti almarhum HB Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritikus atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman yang komprehensif, serta mampu menggali nilai utuh dari karya tersebut.

Kritikus sastra Indonesia pada umumnya merupakan deretan penulis kreatif yang serba bisa (ada yang menulis puisi, cerpen, novel, drama, skenario,…) dan sangat terpengaruh pada aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai suatu karya sastra yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritikus menjadi kurang objektif, dan cenderung menjadi subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas kritikan toh tak membuat pengkaburan karya, asalkan titik berangkat subjektif ini menjadi lambaran untuk mencapai nilai penuh objektif. Contoh yang berhasil yakni: Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (Arief Budiman), Tergantung Pada Kata (A. Teeuw), dan Sosok Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardoyo). Tapi apakah subjektivitasnya tak ditunggangi aliran yang dianutnya? Dan murni objektif? Nonsense!

Kritikus sastra senior yang hingga kini masih rajin nyastra yakni Korrie Layun Rampan. Korrie menegaskan bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Namun penilaian yang sepenuhnya mengandalkan rasa subjektif akanlah mengurangi nilai kritik, apalagi bila kritikus telah terjebak pada monolitik aliran yang dikuasainya.

Subjektivitas untuk mencapai objektivitas dan ditopang visi, keseriusan, telaten sangat dituntut pada diri seorang kritikus, di samping menguasai perangkat teori tentunya. Sehingga tuntutan sosok kritikus terkini adalah totalitas yang multi-faset, pengalaman literer yang ultima. Ajip Rosidi, Jacob Sumardjo, pun Sapardi Djoko Damono adalah figur anutan. Tetapi jika setiap kata dimaknai secara intelektual, toh, sebuah karya sastra menjadi bangkai semata. Akibatnya?

Ajip, Jacob, Pradopo, pun Sapardi yang berusaha maksimal dalam penulisan kritik akhirnya “menyerah”, karena profesi sebagai kritikus lebih berupa “romantisme’ yang tidak mungkin menopang kebutuhan hidup yang layak. Ini menjadi pialang, mengapa kritik sastra Indonesia tidak berkembang secara wajar. Industri makna karya sastra yang tampak hingga kini tidak jauh dari kritik sastra sambil lalu, kritik sastra menjadi sambilan kerja.

Jacob Sumardjo yang getol dengan penulisan kritik bergaya sejarah sastra, sosiologi sastra, toh, mandeg juga. Keluhan serupa muncul dari Budi Darma, bahwa sastra kita adalah sastra sambil lalu. Kebutuhan hidup sastrawan yang labil akanlah menggoyahkan proses kreasi kesastraannya. Menulis sastra dalam kondisi amatiran ini pun berimbas pada penulisan kritik, mau tidak mau, kerja amatiran juga; karena mereka pun harus menggantungkan hidup dari pekerjaan lain di luar mainstream dunia sastra. Nama-nama seperti Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Junus Amir Hamzah yang diikuti Dami N. Toda, Umar Junus, Jiwa Atmaja, Mursal Esten, Nyoman Tusthi Eddy, Putu Arya Tirtawirya,… tidak lagi menggigit dan kreatif di bidang kritik satra.

Camkan juga nama-nama seperti Yudiono Ks., Kusman K. Mahmud, Made Sukada, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Sugihastuti, Subijantoro Atmosuwito, Harta Pinem tak lagi menunjukkan kerja intensif yang kontinyu, Barangkali sosok Afrizal Malna, Kurnia J.R., Agus R. Sarjono, ataupun Faruk H.T. dan Th. Sri Prihatmi masih punya “gigi sastra” untuk mengupas bidang kritik sastra walau akhirnya hanya kerja sambilan semata.

Kendala utama terkini yang membelenggu para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, seperti media alternatif yang terpapar pada awal tulisan ini, tapi risiko yang mencolok yakni benturan honorarium. Akan tetapi, bagi penulis di luar akademisi, media massa umum (koran, khususnya) tidak mungkin memuat analisis tentang karya sastra secara mendetail dan tajam. Gejolak yang terasa menghimpit yakni karya-karya Emha Ainun Nadjib, Danarto, Kuntowijoyo, Afrizal Malna, Zawawi Imron, Mustofa Bisri, F. Rahardi, Abdul Wachid B.S., Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Agus R. Sarjono, Ahmadun Yossie Herfanda, Dorothea Rosa Herliany, Abidah El Khalieqy, Wiji Thukul, Agus Noor, Joni Ariadinata, Indra Tranggono dan sederet penulis muda lainnya hanya disebut-sebut sebatas paparan judul-judul karya.

Mulai geliat paruh kedua 90-an sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novel, drama, antologi esai sastra, tetapi penanggapnya begitu miskin. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap “diskomunikasi” dengan masyarakat pembacanya? “Kerakusan” ala Seno Gumira Ajidarma dan novelis wanita “dongeng” ala Titis Basino PI tak mendapat perhatian serius. Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) “bisu” bersastra? Begitukah? ***

*) Staf pengajar PBSID Universitas Widya Dharma Klaten

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita