TANGGAPAN TULISAN ABDUL WACHID BS
Anton Suparyanto
http://www.kr.co.id/
DERASNYA Industri penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini menimbulkan satu gejala pemikiran negatif. Berhura-hura untuk menghantam pengarang melaju tanpa kritik dengan dalih kritikus sastra kita sudah mati (?) justru telah berupaya membunuh iklim keutuhan berkesusastraan secara sehat. Ini menjadi pikiran kerdil, gagap untuk menyimak wawasan bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Inikah gejala ewuh-aya bagi pengarang (sastra), pemerhati, ataupun pengamat sastra Indonesia yang paling mutakhir?
Entahlah. Yang pasti umpan Binhad Nurrohmat yang ditelan Satmoko Budi Santosa dan Budi Darma, justru “dicengengesi” Binhad lagi dengan tali ruwet “siapa suruh jadi kritikus (sastra)” di Kompas Minggu bulan lalu. Argumen yang bernada main-main ini seakan menekuk sinyal baik Abdul Wachid BS yang masih melambungkan kampus sebagai basis bersastra, meskipun hanya menetaskan satu-dua sosok yang meleksastra (baca Minggu Pagi, Minggu ketiga Juni 2003). Sedangkan matinya kritik sastra (?) yang cuma disebabkan ketiadaan karya sastra yang layak menjadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini (baca Minggu Pagi, Minggu pertama Juli 2003), justru menjadi titik balik telah terjadi era gagap sastra bagi kaum akademik.
Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi toh kritik kita memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistrik, Jakarta oriented. Bukankah publikasi dan penerbitan pers yang memiliki gurta industri hingga kini masih dihegemoni oleh Jakarta minded? Bukankah tahun 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusat metropol tersebut? Nah, kalau kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh pada kubangan “universalitas yang sempit”. Kenapa begitu?
Alasan kuno-nya, justru timbul kecenderungan-mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus bergaya intelektual. Untuk itulah kita tak bisa ingkar terhadap dominasi persebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Horison ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”. Lalu arifkah kini ketika majalah-majalah tersebut telah kehilangan nafas, justru kita menghantam dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga dengan mudah menuduh “kritikus sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa melap-lap “zaman keemasan” bersastra seperti tersebut di atas, tentulah bahaya dahsyat akan digerogotinya dengan istilah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesusastraan?
Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah almarhum, penyerbuan sastra kini eksis di koran-koran (baik media nasional maupun daerah). Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik yang sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif untuk publikasi karya kritikan sastra.
“Kegagalan” penikmat sastra terkini adalah taqlid terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiadanya kontinyuitas kritik-(us) sastra akhir-akhir ini.
Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakarta pula. Lalu berkat peledakan industri pers, koran pun telah menyebar terbit ke daerah-daerah. Anehnya, karena sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini banyak yang dipinggirkan oleh kebijakan redaksi. Menyikapi penyempitan kapling inilah, muncul media alternatif untuk mempublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam wujud majalah, jurnal pun buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi.
Cobalah kita arif terhadap media alternatif yang terbit berkala seperti berikut: Widya Parwa (Balai Bahasa Yogya): Humaniora (Fak. Ilmu Budaya UGM); Widya Dharma (Universitas Sanata Dharma Yogya); Diksi (Universitas Negeri Yogya); Semiotika (Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa Yogya); Seni (ISI Yogya); Citra Yogya (Dewan Kesenian Yogya); Haluan Sastra Budaya (Fak. Sastra UNS Solo); Kajian Bahasa dan Sastra (Univ. Muh. Surakarta); Kajian Sastra (Fak. Sastra UNDIP Semarang); Widya Pustaka (Fak. Sastra Univ. Udayana Bali); Lontara (Univ. Hasannudin Ujung Pandang); Puitika (Fak. Sastra Univ. Andalas Padang); Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta); Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (Fak. Sastra UI Jakarta); pun Fenolingua dan Magistra (Univ. Widya Dharma Klaten). Sejumlah media berkala ini ternyata secara rutin eksis menawarkan kritik sastra yang cenderung ilmiah ataupun ilmiah populer. Bukankah data majalah dkk kampus ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia?
Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan publikasi karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti almarhum HB Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritikus atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman yang komprehensif, serta mampu menggali nilai utuh dari karya tersebut.
Kritikus sastra Indonesia pada umumnya merupakan deretan penulis kreatif yang serba bisa (ada yang menulis puisi, cerpen, novel, drama, skenario,…) dan sangat terpengaruh pada aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai suatu karya sastra yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritikus menjadi kurang objektif, dan cenderung menjadi subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas kritikan toh tak membuat pengkaburan karya, asalkan titik berangkat subjektif ini menjadi lambaran untuk mencapai nilai penuh objektif. Contoh yang berhasil yakni: Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (Arief Budiman), Tergantung Pada Kata (A. Teeuw), dan Sosok Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardoyo). Tapi apakah subjektivitasnya tak ditunggangi aliran yang dianutnya? Dan murni objektif? Nonsense!
Kritikus sastra senior yang hingga kini masih rajin nyastra yakni Korrie Layun Rampan. Korrie menegaskan bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Namun penilaian yang sepenuhnya mengandalkan rasa subjektif akanlah mengurangi nilai kritik, apalagi bila kritikus telah terjebak pada monolitik aliran yang dikuasainya.
Subjektivitas untuk mencapai objektivitas dan ditopang visi, keseriusan, telaten sangat dituntut pada diri seorang kritikus, di samping menguasai perangkat teori tentunya. Sehingga tuntutan sosok kritikus terkini adalah totalitas yang multi-faset, pengalaman literer yang ultima. Ajip Rosidi, Jacob Sumardjo, pun Sapardi Djoko Damono adalah figur anutan. Tetapi jika setiap kata dimaknai secara intelektual, toh, sebuah karya sastra menjadi bangkai semata. Akibatnya?
Ajip, Jacob, Pradopo, pun Sapardi yang berusaha maksimal dalam penulisan kritik akhirnya “menyerah”, karena profesi sebagai kritikus lebih berupa “romantisme’ yang tidak mungkin menopang kebutuhan hidup yang layak. Ini menjadi pialang, mengapa kritik sastra Indonesia tidak berkembang secara wajar. Industri makna karya sastra yang tampak hingga kini tidak jauh dari kritik sastra sambil lalu, kritik sastra menjadi sambilan kerja.
Jacob Sumardjo yang getol dengan penulisan kritik bergaya sejarah sastra, sosiologi sastra, toh, mandeg juga. Keluhan serupa muncul dari Budi Darma, bahwa sastra kita adalah sastra sambil lalu. Kebutuhan hidup sastrawan yang labil akanlah menggoyahkan proses kreasi kesastraannya. Menulis sastra dalam kondisi amatiran ini pun berimbas pada penulisan kritik, mau tidak mau, kerja amatiran juga; karena mereka pun harus menggantungkan hidup dari pekerjaan lain di luar mainstream dunia sastra. Nama-nama seperti Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Junus Amir Hamzah yang diikuti Dami N. Toda, Umar Junus, Jiwa Atmaja, Mursal Esten, Nyoman Tusthi Eddy, Putu Arya Tirtawirya,… tidak lagi menggigit dan kreatif di bidang kritik satra.
Camkan juga nama-nama seperti Yudiono Ks., Kusman K. Mahmud, Made Sukada, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Sugihastuti, Subijantoro Atmosuwito, Harta Pinem tak lagi menunjukkan kerja intensif yang kontinyu, Barangkali sosok Afrizal Malna, Kurnia J.R., Agus R. Sarjono, ataupun Faruk H.T. dan Th. Sri Prihatmi masih punya “gigi sastra” untuk mengupas bidang kritik sastra walau akhirnya hanya kerja sambilan semata.
Kendala utama terkini yang membelenggu para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, seperti media alternatif yang terpapar pada awal tulisan ini, tapi risiko yang mencolok yakni benturan honorarium. Akan tetapi, bagi penulis di luar akademisi, media massa umum (koran, khususnya) tidak mungkin memuat analisis tentang karya sastra secara mendetail dan tajam. Gejolak yang terasa menghimpit yakni karya-karya Emha Ainun Nadjib, Danarto, Kuntowijoyo, Afrizal Malna, Zawawi Imron, Mustofa Bisri, F. Rahardi, Abdul Wachid B.S., Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Agus R. Sarjono, Ahmadun Yossie Herfanda, Dorothea Rosa Herliany, Abidah El Khalieqy, Wiji Thukul, Agus Noor, Joni Ariadinata, Indra Tranggono dan sederet penulis muda lainnya hanya disebut-sebut sebatas paparan judul-judul karya.
Mulai geliat paruh kedua 90-an sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novel, drama, antologi esai sastra, tetapi penanggapnya begitu miskin. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap “diskomunikasi” dengan masyarakat pembacanya? “Kerakusan” ala Seno Gumira Ajidarma dan novelis wanita “dongeng” ala Titis Basino PI tak mendapat perhatian serius. Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) “bisu” bersastra? Begitukah? ***
*) Staf pengajar PBSID Universitas Widya Dharma Klaten
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar