Muhammad Zuriat Fadil
http://sastra-indonesia.com/
And I have to be sure
When I walk out the door
O ,How I wont to break free…
(I Want to Break Free, Queen)
Hari itu Izroil sedang mendapat tugas berat, yakni mencabut nyawa seorang ibu yang dulu pernah mengutuk anaknya menjadi batu. Setelah menyelesaikan tugasnya di beberapa tempat dan waktu yang berbeda, Izroil pun kembali melesat dengan kecepatan cahaya membelah ruang menembus zaman, menuju kediaman Bunda Malin. Ibu itu rupanya sedang termenung dalam lamunan ketika Izroil sampai di depan pintu kamarnya.
Lima tahun telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang menggemparkan para malaikat ruhaniyyun di atas sana dan para manusia setempat. Seorang ibu yang mengutuk anaknya menjadi batu, tentulah sorang ibu mulia yang diberi karomah oleh sang pemilik segala kesaktian. Inilah yang membuat Izroil sedikit nervous menjalankan perintah itu. Kalau hanya sekedar jendral, presiden, raja, kiai, ulama, pendeta, para pejabat, pengusaha, rektor, preman pasar, dekan, dukun dan lain-lain sih bukan masalah bagi Izroil, toh mereka cuma terhormat di kalangan para manusia. Tapi ibu ini….tentulah dia berlimpah kasih dari Sang Maha Kasih. Huff… tapi bagaimanapun beratnya Izroil mesti menjalankan amanah ini, sebab inilah tugasnya. Mencabut nyawa. Dan dengan inilah kehidupan seseorang akan lengkap, kematian. Lalu pada gilirannya, keseimbangan dan keselarasan kehidupan akan berjalan harmonis.
”Selamat malam ibu yang mulia,” Izroil mulai menyapa.
”Apakah kau malaikat pencabut nyawa itu, hai orang asing yang sedari tadi berdiri di depan kamarku?”. Di luar dugaan rupanya Bunda Malin sudah mengetahui kehadiran Izroil sebelumnya. “Ya, ini hamba, hendak menjalankan tugas membimbing nyawa ibu mulia menuju kehidupan nyata.”
“ Halah! Kau mau mencabut nyawaku. Bilang saja begitu, tak usah bertele-tele!”. Mata Bunda Malin masih menerawang jauh, tampak tak fokus. Heran juga Izroil dibuatnya sebab biasanya para kekasih Tuhan selalu berwajah tenang dan tanpa beban, terutama saat menjelang ajal. Tapi memandang wajah Bunda Malin, Izroil seolah sedang menangkap adanya beban berat dalam diri sang Ibu.
Apakah Ibu mulia takut menghadapi ajal?
“Tenang saja Ibu mulia, hamba akan melakukan tugas ini dengan perlahan dan sehalus mungkin. Dirimu adalah orang yang dikasihi, tentu tidak akan….”
“APA KATAMU??!!!! DIKASIHI??!!!!” suara Bunda Malin menggelegar bahana memotong kalimat Izroil. Memecah keheningan alam malam, merobek kesunyian, disertai tatapan mata tajam menatap Izroil seakan menembus makhluk nur itu. Kalaulah Izroil punya jantung, tentulah sudah melompat dari tempatnya semula. Bagaimana tidak? Melihat prestasi Bunda Malin dalam hal laknat-melaknat, bukan tidak mungkin Izroil berpikir akan dilaknat juga. Seorang anak manusia dikutuk menjadi batu oleh ibunya karena durhaka, bolehlah bisa diterima oleh catatan sejarah panjang umat manusia. Tapi sesosok malaikat pencabut nyawa dikutuk menjadi batu? Wah….bisa- bisa malah jadi bahan tertawaan ummat akhir zaman nanti.
”Oh, rupanya malaikat sepertimu pun tidak mengerti perasaanku yang sebenarnya?”
Jelas sekali Ibu Mulia, hamba tidak dibekali pengertian tentang perasaan Bani Adam agar bisa melaksanakan tugas ini seefekitif dan seefisien mungkin.
”Semua orang menganggapku sebagai ibu yang mulia sampai bisa melaknat anaknya menjadi batu. Apa yang bisa kulakukan dengan anggapan konyol itu? Tidakkah mereka melihat penderitaan ku setelah kejadian itu? Hari-hari yang kulalui dengan beban berat derita. Setiap kali aku ke pantai, aku melihat patung anakku dengan wajah memohon ampun. Penderitaan apa yang bisa lebih berat dari seorang ibu yang mesti melihat anaknya menderita tiap kali? Sesungguhnya, saat itu bukanlah Malin yang dikutuk. Akulah yang sejatinya dilaknat Sang Maha Pemaaf.”
Izroil tak mengerti, memang bukan tugasnya untuk mengerti segala sesuatu, tapi rasa penasaan itu nakal juga hinggap begitu saja. “Ibu Mulia, bukankah doamu yang mustajab itu adalah bukti bahwa dirimu adalah manusia pilihan? Bukankah itu adalah karomah yang diberikan oleh Sang Maha Mulia sebagai balasan atas kesabaranmu?”
”Sabar? Yaa… semestinya aku bersabar. Sebab kesabaran tidak mengenal batas, wahai malaikat. Kemarahanlah yang sesungguhnya berbatas. Bagai tebing jurang curam, sekali kau terperosok maka tak ada jalan keluar darinya…. Uhuk…Uhuk…!” Bunda Malin sudah kembali tenang, mungkin juga karena paru-parunya yang sudah sedemikian lemah. Perasaan bersalah yang sedemikian berkecamuk dalam dirinya membuatnya susah tidur beberapa tahun belakangan. Udara dingin malam beserta angin dari pantai rupanya ampuh mengerjai paru-parunya. Tapi sebenarnya penyakit paru-paru itu hanya salah satu agen bawahan Izroil, untuk merasionalisasikan kematian sang Ibu.
”Maafkan, tapi hamba yang berasal dari alam malakut ini belum mengerti Ibu Mulia. Kau sudah menunggu anakmu yang merantau bertahun-tahun lamanya. Sekembalinya dia dari perantauan, dia malah tidak mau mengakuimu sebagai ibunya. Jelas sekali bahwa Malin adalah anak durhaka dan patut dihukum atas kesombongan dan kedurhakaannya. Apa yang membuatmua berpikir bahwa engkaulah yang dilaknat dalam perkara ini?”
Terbatuk beberapa kali. Sambil meminum air dari gelas yang memang dipersiapkannya, Bunda Malin melanjutkan penjelasan. ”Bahwa malin berdosa atas diriku tentu saja ya, tapi menganggap akulah pihak paling benar tanpa satu kesalahan dalam permasalahan ini, tentu tak bisa dibenarkan juga. Aku bersabar menunggunya, tiap hari aku menantinya, jelaslah saat itu kesabaranku diuji oleng Sang Maha Penyabar dan Maha Pemaaf. Ketika kedatangan Malin, aku sungguh bersuka cita. Apa yang kunantikan, kupikir akhirnya tiba juga. Tapi aku melupakan satu hal wahai malaikat, bahwa ujian dari-Nya sebenarnya berlapis, tak berkesudahan. Saat itulah puncak dari ujian kesabaranku. Apa yang kau sebut sebagai karomah atau kelebihan yang diberikan kepadaku, tidak lain sekedar buah dari kemarahan sesaat yang sedang bersimaharaja di hatiku. Dan itu adalah kesalahaan fatal. Sisa hidupku harus dihabiskan dengan menerima penderitaan ini serta rasa bersalah tak berujung. Maka betapa aku menantikan hari ini wahai malaikat, hari ketika semua penderitaan ini berakhir. Jadi cepatlah, cabut nyawaku, akhiri semua penderitaan ini, biarlah manusia-manusia sesudahku belajar dari kesalahan yang kubuat.”
Belajar?
”Oh ya, sepertinya memang seperti itu Ibu mulia. Hamba baru saja dari masa depan untuk mencabut nyawa beberapa manusia di sana. Di masa depan nanti kisahmu menjadi dongeng pelajaran untuk anak yang durhaka.”
Di luar dugaan, ketika mendengar kabar dari masa depan itu, batuk Bunda Malin makin keras dan parah, bahkan sudah sampai mengeluarkan darah. Tubuh rentanya bergetar akibat menahan kemarahan. Matanya memerah menatap Izroil dengan tatapan setajam Golok Pembunuh Naga milik Tiau Bu Ki dalam serial To Liong To.
Aduh Gusit diri sejati, aku salah apa lagi….kumohon….jangan kutuk aku jadi batu. Ibu Mulia…..
”Oh tidak mungkin, sesederhana itukah tafsir mereka atas kisah ku?”
”Seperti yang kau tahu Ibu Mulia, kemampuan intelektual manusia semakin menurun dari zaman ke zaman. Tapi di mana letak salahnya pengartian itu? Bukankah benar kisah ini adalah tentang anak durhaka?”
“Ya, ini adalah kisah tentang anak durhaka… Uhuk…” batuk lagi, kemudian melanjutkan, “tapi manusia tidak boleh lupa bahwa selain itu, ini juga adalah kisah tentang ibu yang durhaka.”
”Ibu durhaka?”
”Ya, durhaka terhadap kesabarannya. Kemarahan seorang ibu adalah kemarahan Penciptanya, laknat Ibu adalah laknat-Nya. Inilah yang mesti mereka pelajari. Hal ini bukan fasilitas, tapi ujian bagi setiap ibu untuk menjadi sesabar yang Maha Sabar. Mereka mesti menyiapkan dirinya untuk terserap pada sifat-sifat Ilahi itu, sebab kasih ibu adalah penggambaran sempurna kasih Tuhan yang kudus di atas dunia dan semesta.”
Ibu Mulia, andainya kau tahu bahwa pemikiran semacam itu nantinya akan mengguncang dunia lewat karya-karya Hegel dan Ibn Arabi. Sayang bukan dalam wilayah dan kuasaku untuk memberi informasi tentang tabir misteri zaman
”Apa yang mereka anggap benar belum tentu benar, manusia masa depan mesti belajar melihat dari sudut pandang yang lebih luas… Uhuk… Uhuk…”
Sedang para pewarta di masa depan nanti akan mempelajari itu sebagai hal yang wajib mereka lakukan, mereka menyebutnya dengan istilah cover both side, tapi ibu mulia ternyata telah lama menyadari pentingnya melihat dengan sudut pandang yang lebih universal.
”Kesalahan terbesarku adalah mengharap timbal balik dari kasih sayang yang telah kuberikan selama ini. Kesalahanku jua adalah mengharapkan anakku Malin tumbuh seperti yang kuinginkan, aku terlalu menginginkan dia tumbuh persis seperti harapanku,” sembari terbatuk ia melanjutkan kalimatnya, ”sedangkan seorang pujangga pernah berkata, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putera-puteri kehidupan”
Pada suatu masa yang pernah kukunjungi syair ini begitu populer……..
“Mereka datang melalui kalian tapi bukan berasal dari dirimu dan walaupun mereka bersamamu tapi mereka bukan milikmu”
Ya ya….tidak salah lagi aku pernah dengar syair ini di suatu tempat…..hmmmm……
Sedang Bunda Malin masih melanjutkan berpujangga ria, Izroil masih sibuk mengingat-ingat dimana mendengar syair ini dahuluuu….di masa depan.
“Kau boleh memberi mereka cintamu, tapi bukan pikiranmu karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri, kau boleh merumahkan tubuh mereka tapi bukan jiwa mereka uhhuukkk……”
Batuk Bunda Malin semakin keras dan berdarah-darah…….
Astaga! Ini kan karya Kahlil Gibran! Pujangga yang dijuluki Sang Nabi dari Lebanon…. syair ini disuarakan melalui tokoh rekaannya Al Musthafa. Ibu Mulia, mungkin tabir fisikmu sudah terbuka sedemikian lebar sehingga memorimu sudah rancu bercampur dengan memori semesta, kau bahkan membaca syair yang penulisnya saja belum lahir.
Konon bila seluruh air laut ditumpahkan ke wajah Izroil, maka seluruh air itu bahkan tidak akan sampai menetes dari wajahnya saking besarnya dia, namun saat ini rasa Iba tumpah juga dari mimik wajahnya.
“Uhukk….karena jiwa mereka berkelana dalam rumah esok hari, yang tidak dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi”
Sayang sekali Ibu Mulia, pada masa datang, syair-syair Gibran dicetak hanya untuk kepentingan pasar untuk mereka yang mereguk keuntungan dari penjualan buku-buku nya, dan mereka sengaja membuat kesan bahwa orang yang membaca Gibran itu romantis atau spiritualis, oh! Manusia masa depan yang kering cahaya…Ibu Mulia, sudah sejauh manakah tabir itu terbuka untukmu?
Namun demi melihat tubuh Bunda Malin yang semakin melemah akhirnya berkata jugalah Izroil memotong pembicaraannya.
”Ibu Mulia, hamba rasa tenggang waktu telahpun tiba. Kalau mengulur waktu lagi kasihan tubuh rentamu itu sudah tidak sanggup menampung keliaran sukmamu yang semakin kangen pada asalnya. Maka izinkanlah hamba melaksanakan tugas ini.”
Izroil pun mulai menyiapkan prosesinya dan menunjukkan surat tugas dari Sang Maha Raja di atas Raja pada Bunda Malin. Bunda Malin toh sudah tidak peduli, dia sudah rindu betul pada kampung halamannya. Kampung halaman Malin juga, kampung halaman semua makhluk, kampung halaman semua semesta tempat segala berpulang.
Sembari sedikit demi sedikit nyawanya dicerabut dari fisik rentanya samar-samar terdengar suara Bunda Malin lirih melanjutkan syair…..
“Kau boleh berusaha seperti mereka tapi jangan membuat mereka menjadi sepertimu, karena hidup tidak berjalan mundur atau berkaitan dengan hari kemarin”
“Semoga Freud tak perlu mendengar bait yang terakhir kau bacakan itu Ibu Mulia, sebab dia sangat menghargai peran masa lalu dalam hidup manusia.”
Bunda Malin hanya tersenyum, dia toh tidak tahu siapa itu Sigmun Freud sebab mungkin dan sedang membicarakan seseorang yang belum lahir pada zaman itu, tapi tak apalah sebentar lagi dia juga akan melewati batas ruang waktu yang njelimet ini.
”Dan katakanlah padaku malaikat, seperti apakah tempat yang kutuju setelah aku tanggalkan semua bentuk wadag padat ini?”
”Ibu Mulia, yang kuhormati dan kusegani….terus terang hamba sendiri tidak bisa menjelaskannya, sebab ketika hamba berinteraksi denganmu hamba masih mesti terikat dengan bahasa sedangkan engkau memintaku menjelaskan suatu tempat yang tidak ber ruang, ketika hukum waktu runtuh, dan segala kata bahasa tak mampu menjelaskannya”
”Ya…..baiklah-baiklah, sebentar lagi juga aku akan mengerti”
Sedangkan Izroil sambil melaksanakan tugas rutinnya itu masih tersenyum geli membayangkan jalannya legenda Malin Kundang ini, sembari membatin, “Gusti, Dikau kekasih yang bersaksi melalui diri hamba, bahkan aku yang tercipta dari cahaya pun tiada sanggup mengetahui misteri-misteri penciptaanMu, seberapa besarkah sebenarnya pengetahuanmu itu? Adakah kau tertawa mengetahui ketidak tahuan kami, makhlukMu?”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Prosa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prosa. Tampilkan semua postingan
25/12/10
08/10/10
LELATU DALAM TUNGKU
KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/
Andaikata bapak benar, siapakah yang rela disekap di balik jeruji, karena membisikkan hasil-lamunan yang seronok? Oh, aku banyak sekali menyandang kemualan, kendatipun yang kukejar adalah kemuliaan. Aku banyak sekali tertikam runtuk-lantak, walaupun sedari muda, selalu berkeinginan untuk merangkum pesan nan khusus.
http://www.sastra-indonesia.com/
Andaikata bapak benar, siapakah yang rela disekap di balik jeruji, karena membisikkan hasil-lamunan yang seronok? Oh, aku banyak sekali menyandang kemualan, kendatipun yang kukejar adalah kemuliaan. Aku banyak sekali tertikam runtuk-lantak, walaupun sedari muda, selalu berkeinginan untuk merangkum pesan nan khusus.
30/05/10
TAMBUR TAFFAKUR
KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/
Demikianlah pada mulanya, bahwa tatapan mata yang mengurai kesemestaan adalah telah lebih jauh melewati rimba larangan, dan selanjutnya tanpa dihantui siapapun, meneruskan perlintasan ke arah barat. Kita mengunci bisik-dingin sang bayu, di kala ketukan-ketukan yang menghampir sudah teramat berderap dan kemudian menderu, semirip dengan taufan pada kemarau garang.
http://www.sastra-indonesia.com/
Demikianlah pada mulanya, bahwa tatapan mata yang mengurai kesemestaan adalah telah lebih jauh melewati rimba larangan, dan selanjutnya tanpa dihantui siapapun, meneruskan perlintasan ke arah barat. Kita mengunci bisik-dingin sang bayu, di kala ketukan-ketukan yang menghampir sudah teramat berderap dan kemudian menderu, semirip dengan taufan pada kemarau garang.
22/10/08
AKU TANGGALKAN MESIN (III)
Budhi Setyawan
http://budhisetyawan.wordpress.com/
(lanjutan dari AKU MENUJU MESIN & KETIKA AKU MESIN)
Telah kukayuh sekuat tenaga mesin namun seperti ada yang menarikku jadi berat, hingga putaran dan pusaran bayang roda dunia melambat. Kudengar majikanku melototiku, menatap tajam seperti mau membakar. Dia memukulku, menamparku, menendangku, membantingku, lalu melemparkanku: dasar mesin tua, uzur, renta; tak mampu ikuti pergolakan kuasa! Sungguh kau hanyalah onggokan kumal bau, rusak, remuk, sampah tak berguna! Begitu umpat majikanku yang masih tersisa di radang dengarku di antara gamang rupa dan pendar tanya.
Di bentang jarak jeda perih dan luka, sedemikian lambat, lirih, lembut ada yang terbangun, terbuka. Kebangkitan, penyadaran. Pembuluh, otak, tubuh, tangan, kaki, jantung, perut, kelamin, dan segala yang selama ini mesin, menggelembung terbitkan letup, berubah warna, dengan ruam-ruam belajar lagi alur sejarah kitab manusia: lepaskan segala yang mesin, mengemuka segala yang rasa cipta karsa.
Aku mulai bisa lagi mendengarkan sekumpulan irama yang terbang mencari nada yang sembunyi entah di langit mana buat menggenapkan alur lagu cinta yang telah tak sabar untuk mekar. Juga sepoi senja dalam lubang bambu seruling gembala, gemersik dedaun yang berciuman dengan angin, untai renyai gerimis yang menelusup di tepi kuduk dan beranda dada, gemericik pancuran di sisi kemarau yang menebarkan segar di samping kelok arus sungai yang menawarkan kecipak kata dan lumut sapa bermuara di wajah-wajah sederhana penghuni desa penjaga sahaja. Geriap mutiara sukma silam mengalir tak henti-henti di bibir ranjang.
Aku mulai bisa lagi meraba relief dinding dunia yang riuh oleh keterasingan, kedekatan angan dan raih telah menjauhkan mata musim yang harusnya mengingatkan dengan berkata: bacalah. Mencoba mencari kokoh bangunan yang bertulang cinta dengan rangka kasih dan mewujud tembok sayang di seluruh berkas simpul jiwa. Ada berapa potret corat-coret, ada berapa fragmen tentang pelarian bias cuaca, di punggung-punggung sejarah yang tumpah.
Aku mulai bisa lagi mencium aroma mimpi yang kuyup oleh hasrat, tanah yang basah karena kehadiran hujan yang tiba-tiba, huma dan kebun yang selalu rebah dalam rindu doa. Tinta dan cat membaur dalam rengkuh peluk menunggang pada sirip-sirip pencarian mengejar kemana jalur sapuan kanvas melenggang rantau dengan hela pantau. Tubuh-tubuh yang pengap dikerubut harap, sosok-sosok yang terseok dalam setapak berita, adalah buku-buku terbuka yang siap membagikan pengalaman kepada paragraf-paragraf yang memulai langkah. Udara merindu pengembaraan melulur tarian nafas putih.
Aku mulai bisa lagi melihat lazuardi jingga di lengkung kidung yang sajikan jejak panorama di kening kenang, intip tulisan-tulisan kecil yang menggenang pada kelopak rasa puisi yang mengambang di teratai berbalut ganggang, di telaga purnama dengan riak-riak yang ruang. Jelujur embun yang menekuni ritual puasa pada wajah dini hari yang panjang adalah perangkap bagi titik pandang menaksir anyaman dialog zaman yang renggang. Mengalirkan perdu kedalaman lubuk di pelupuk. Bumi mengumpulkan gelisah sembari sendu tengadah pada relung langit yang mendung, jua pada wajah langit yang rekah. Ada berjilid-jilid hikayat cahaya yang tersimpan dalam lorong-lorong yang lolong.
Aku mulai bisa lagi merasakan lembut tangan sepi merangkulku bertubi-tubi di padang pengembaraan yang begitu terbuka, sawah ladangku kerontang paceklik lama tak bersua dekap kisah-kisah bijak, kamarku yang ceruk memar menceritakan masa lalu tampar yang akhirnya tumbuh menjadi belai, di rentang tawa dirintang tangis. Elegi-elegi roman temaram bergantian dengan riwayat pijar berlarian di jalanan pembuluh yang menawarkan geronggang purba yang nganga, memanggil jelajah gapai masuki lingkar lajunya. Aku begitu piatu di hadapan malam yang renjana.
Dalam desak dan dorong gelombang waktu yang mengangkut semburat senyap aku kian menuju pantai dan dermaga gema sunyi untuk melabuhkan nyeri. Ada sekumpulan mantra belantara yang mesti segera kupelajari untuk menundukkan keganasan yang lama bertahta di jagad kecil ini. Masih kukenali lantang merdu suara cinta pertama: aku lahir satu dengan nyawa seribu. Ada kemeriahan kecil yang menggelitik warna untuk terus melangkahkan karya. Ya kini aku bukan mesin, karena telah kutinggalkan, sudah kutanggalkan. Kini aku manusia. Ya manusia! Dan telah tiba waktunya buat ku semesta membaca silsilah debu yang kupetik dari sembilan episode dzikir sebagai bekal dan kekuatan dalam menuliskan sajak-sajak misteri indah kehidupan oleh kepak sayap jiwa.
Kamar Baca Aksara dan Suara; Bekasi, 18 Agustus 2008
http://budhisetyawan.wordpress.com/
(lanjutan dari AKU MENUJU MESIN & KETIKA AKU MESIN)
Telah kukayuh sekuat tenaga mesin namun seperti ada yang menarikku jadi berat, hingga putaran dan pusaran bayang roda dunia melambat. Kudengar majikanku melototiku, menatap tajam seperti mau membakar. Dia memukulku, menamparku, menendangku, membantingku, lalu melemparkanku: dasar mesin tua, uzur, renta; tak mampu ikuti pergolakan kuasa! Sungguh kau hanyalah onggokan kumal bau, rusak, remuk, sampah tak berguna! Begitu umpat majikanku yang masih tersisa di radang dengarku di antara gamang rupa dan pendar tanya.
Di bentang jarak jeda perih dan luka, sedemikian lambat, lirih, lembut ada yang terbangun, terbuka. Kebangkitan, penyadaran. Pembuluh, otak, tubuh, tangan, kaki, jantung, perut, kelamin, dan segala yang selama ini mesin, menggelembung terbitkan letup, berubah warna, dengan ruam-ruam belajar lagi alur sejarah kitab manusia: lepaskan segala yang mesin, mengemuka segala yang rasa cipta karsa.
Aku mulai bisa lagi mendengarkan sekumpulan irama yang terbang mencari nada yang sembunyi entah di langit mana buat menggenapkan alur lagu cinta yang telah tak sabar untuk mekar. Juga sepoi senja dalam lubang bambu seruling gembala, gemersik dedaun yang berciuman dengan angin, untai renyai gerimis yang menelusup di tepi kuduk dan beranda dada, gemericik pancuran di sisi kemarau yang menebarkan segar di samping kelok arus sungai yang menawarkan kecipak kata dan lumut sapa bermuara di wajah-wajah sederhana penghuni desa penjaga sahaja. Geriap mutiara sukma silam mengalir tak henti-henti di bibir ranjang.
Aku mulai bisa lagi meraba relief dinding dunia yang riuh oleh keterasingan, kedekatan angan dan raih telah menjauhkan mata musim yang harusnya mengingatkan dengan berkata: bacalah. Mencoba mencari kokoh bangunan yang bertulang cinta dengan rangka kasih dan mewujud tembok sayang di seluruh berkas simpul jiwa. Ada berapa potret corat-coret, ada berapa fragmen tentang pelarian bias cuaca, di punggung-punggung sejarah yang tumpah.
Aku mulai bisa lagi mencium aroma mimpi yang kuyup oleh hasrat, tanah yang basah karena kehadiran hujan yang tiba-tiba, huma dan kebun yang selalu rebah dalam rindu doa. Tinta dan cat membaur dalam rengkuh peluk menunggang pada sirip-sirip pencarian mengejar kemana jalur sapuan kanvas melenggang rantau dengan hela pantau. Tubuh-tubuh yang pengap dikerubut harap, sosok-sosok yang terseok dalam setapak berita, adalah buku-buku terbuka yang siap membagikan pengalaman kepada paragraf-paragraf yang memulai langkah. Udara merindu pengembaraan melulur tarian nafas putih.
Aku mulai bisa lagi melihat lazuardi jingga di lengkung kidung yang sajikan jejak panorama di kening kenang, intip tulisan-tulisan kecil yang menggenang pada kelopak rasa puisi yang mengambang di teratai berbalut ganggang, di telaga purnama dengan riak-riak yang ruang. Jelujur embun yang menekuni ritual puasa pada wajah dini hari yang panjang adalah perangkap bagi titik pandang menaksir anyaman dialog zaman yang renggang. Mengalirkan perdu kedalaman lubuk di pelupuk. Bumi mengumpulkan gelisah sembari sendu tengadah pada relung langit yang mendung, jua pada wajah langit yang rekah. Ada berjilid-jilid hikayat cahaya yang tersimpan dalam lorong-lorong yang lolong.
Aku mulai bisa lagi merasakan lembut tangan sepi merangkulku bertubi-tubi di padang pengembaraan yang begitu terbuka, sawah ladangku kerontang paceklik lama tak bersua dekap kisah-kisah bijak, kamarku yang ceruk memar menceritakan masa lalu tampar yang akhirnya tumbuh menjadi belai, di rentang tawa dirintang tangis. Elegi-elegi roman temaram bergantian dengan riwayat pijar berlarian di jalanan pembuluh yang menawarkan geronggang purba yang nganga, memanggil jelajah gapai masuki lingkar lajunya. Aku begitu piatu di hadapan malam yang renjana.
Dalam desak dan dorong gelombang waktu yang mengangkut semburat senyap aku kian menuju pantai dan dermaga gema sunyi untuk melabuhkan nyeri. Ada sekumpulan mantra belantara yang mesti segera kupelajari untuk menundukkan keganasan yang lama bertahta di jagad kecil ini. Masih kukenali lantang merdu suara cinta pertama: aku lahir satu dengan nyawa seribu. Ada kemeriahan kecil yang menggelitik warna untuk terus melangkahkan karya. Ya kini aku bukan mesin, karena telah kutinggalkan, sudah kutanggalkan. Kini aku manusia. Ya manusia! Dan telah tiba waktunya buat ku semesta membaca silsilah debu yang kupetik dari sembilan episode dzikir sebagai bekal dan kekuatan dalam menuliskan sajak-sajak misteri indah kehidupan oleh kepak sayap jiwa.
Kamar Baca Aksara dan Suara; Bekasi, 18 Agustus 2008
KETIKA AKU MESIN (II)
Budhi Setyawan
http://budhisetyawan.wordpress.com/
(lanjutan dr tulisan AKU MENUJU MESIN)
Kini aku telah mesin. Semakin banyak yang meluaskan decak melimpahkan kagum. Asa baru yang terus membukit menggunung akan sebuah mitos kemajuan. Segala mewujud dalam benda yang tampak, bisa diraba mata dunia. Gedung, jalanan, industri, pagar, rumah, danau, laut, sungai, tempat ibadah, sekolah, pakaian, dan rupa-rupa bentuk penampakan lainnya, mesti bagus menuju bias, cantik menuju carut, anggun menuju angkuh!
Apakah ini pagi? Apakah ini siang? Apakah ini sore? Apakah ini malam? Ruas-ruas waktu itu tak ada artinya bagiku. Yang paling penting aku terus mengepul menderu, berputar menerobos maju, menuju ambisi yang kian batu. Pulau-pulau tujuan telah ditetapkan, daerah-daerah buruan telah ditentukan, dan nasib-nasib telah digariskan. Ya… aku hanya menjalankan gerak yang telah diprogram, menjalani langkah yang telah dipola. Berjalan dan terus berjalan, berlari dan terus berlari, berputar dan terus berputar, mengejar, melingkar-lingkar….
Tak ada kata henti dari keinginan sendiri. Karena semua menuju yang menghasilkan penampakan nyata, sekali tersendat apalagi melambat, maka bayangan rugi menghantui, dan aku pasti akan dimaki-maki. Tetapi aku lebih sering dielus, disayang, dioperasi, agar selalu cantik, selalu gagah, selalu awet muda, dan bisa terus bekerja, diperas untuk memproduksi dari segala sendiku. Jangan tanya aku tentang mengingat waktu, apalagi kenangan. Semua itu tak ada pada diriku sekarang. Menguap bersama debu musim yang kerontang, sedang di sini aku selalu meniti pematang lurus dengan pemanas memanggang.
Ahai…peranku kian ditunggu, membelukar kemana-mana, tak hanya kota-kota yang kurambah dengan riang gemuruh. Namun juga ceruk kampung sudut dusun pelosok desa hingga belantara adalah peluasan wilayah sentuhanku, belaianku, mainanku, juga jajahannku… Posisiku kian tinggi dielukan sebagai pemuas birahi tinggi ekonomi, yang sinyalnya terus menyentuh ubun-ubun hasrat yang mesti ditumpahkan, dimuncratkan, digelontorkan, ke dalam kanal-kanal buatan sambil mengajukan sosok berdasi dengan lembar-lembar kertas penuh dengan gambar dan grafik, dihias sirip-sirip pelangi. Tuan-tuanku, para mesin kepala, sibuk hilir mudik bercakap membombastis meraksasa rekayasa setiap lekuk komoditas, gelinjang saham, motivasi basi, analisis narsis, dan menawarkan film panorama kemiskinan ke bursa saham atau taruhan mesin jabatan, dan banyak lagi, terus bertumbuh kemilau perjudian. Seperti sibuk, seolah khusyuk, ah mungkin saja alih-alih menebar gelora dalam lintasan menuju busuk.
Jalanku senantiasa sama, itu-itu saja, dengan jejak tapak keras dan kepul depu yang banyak wajah-wajah pasrah memunguti, menciumi, menjilati, menghisap, memakan; sambil menjelujurkan nanar gersang dan rapuh raih. Ya… mereka yang tertinggal dari lari zaman, terdepak dari panggung masa yang bergerak menunggang kilat, dan mereka yang tak siap akan terpental dengan tersengal, terkoyak melubang desis rintih, di pinggir ledakan halilintar kebudayaan.
Sedangkan aku terus melaju, aku terus dipacu, tak lelah tiada keringat dari pelana sofa sembari terus merajut rencana agar kerajaan kian menggelar kuasa. Mesin-mesin harus terus bekerja, kalau kurang rajin, tambahkan bahan bakar rakus dendam dengan pelumas tamak dengan operator yang juga mesin atau robot, dan tempelkan budaya semangat dengan semboyan “memakan atau dimakan”. Perluas kampanye tentang mesin, semua koran, radio, televisi, dan alat komunikasi media massa lainny adalah mesin dan pastikan penggunanya mesin. Kabarkan ke seluruh langit dan kolong-kolongnya bahwa sekarang adalah zaman mesin. Yang tak mesin, yang bukan mesin akan terhenti, tak sanggup memasuki pintu kemajuan, terjatuh terbalik terbentur runcingnya tusuk kaku peradaban.
Mesin….mesin…ya mesin. Mari ikutlah semua seperti aku. Aku berputar, aku bergerak, aku melaju….. ayo bergabunglah, mengumpullah, menyatulah ke dalam kerajaan mesin, republik mesin, masyarakat mesin, ummat mesin, semboyan mesin, nasehat mesin, doa mesin, cinta mesin..
Aku mesin… aku mesin… AKU MESIN!
BKF Jakarta, 08 Juli 2008
http://budhisetyawan.wordpress.com/
(lanjutan dr tulisan AKU MENUJU MESIN)
Kini aku telah mesin. Semakin banyak yang meluaskan decak melimpahkan kagum. Asa baru yang terus membukit menggunung akan sebuah mitos kemajuan. Segala mewujud dalam benda yang tampak, bisa diraba mata dunia. Gedung, jalanan, industri, pagar, rumah, danau, laut, sungai, tempat ibadah, sekolah, pakaian, dan rupa-rupa bentuk penampakan lainnya, mesti bagus menuju bias, cantik menuju carut, anggun menuju angkuh!
Apakah ini pagi? Apakah ini siang? Apakah ini sore? Apakah ini malam? Ruas-ruas waktu itu tak ada artinya bagiku. Yang paling penting aku terus mengepul menderu, berputar menerobos maju, menuju ambisi yang kian batu. Pulau-pulau tujuan telah ditetapkan, daerah-daerah buruan telah ditentukan, dan nasib-nasib telah digariskan. Ya… aku hanya menjalankan gerak yang telah diprogram, menjalani langkah yang telah dipola. Berjalan dan terus berjalan, berlari dan terus berlari, berputar dan terus berputar, mengejar, melingkar-lingkar….
Tak ada kata henti dari keinginan sendiri. Karena semua menuju yang menghasilkan penampakan nyata, sekali tersendat apalagi melambat, maka bayangan rugi menghantui, dan aku pasti akan dimaki-maki. Tetapi aku lebih sering dielus, disayang, dioperasi, agar selalu cantik, selalu gagah, selalu awet muda, dan bisa terus bekerja, diperas untuk memproduksi dari segala sendiku. Jangan tanya aku tentang mengingat waktu, apalagi kenangan. Semua itu tak ada pada diriku sekarang. Menguap bersama debu musim yang kerontang, sedang di sini aku selalu meniti pematang lurus dengan pemanas memanggang.
Ahai…peranku kian ditunggu, membelukar kemana-mana, tak hanya kota-kota yang kurambah dengan riang gemuruh. Namun juga ceruk kampung sudut dusun pelosok desa hingga belantara adalah peluasan wilayah sentuhanku, belaianku, mainanku, juga jajahannku… Posisiku kian tinggi dielukan sebagai pemuas birahi tinggi ekonomi, yang sinyalnya terus menyentuh ubun-ubun hasrat yang mesti ditumpahkan, dimuncratkan, digelontorkan, ke dalam kanal-kanal buatan sambil mengajukan sosok berdasi dengan lembar-lembar kertas penuh dengan gambar dan grafik, dihias sirip-sirip pelangi. Tuan-tuanku, para mesin kepala, sibuk hilir mudik bercakap membombastis meraksasa rekayasa setiap lekuk komoditas, gelinjang saham, motivasi basi, analisis narsis, dan menawarkan film panorama kemiskinan ke bursa saham atau taruhan mesin jabatan, dan banyak lagi, terus bertumbuh kemilau perjudian. Seperti sibuk, seolah khusyuk, ah mungkin saja alih-alih menebar gelora dalam lintasan menuju busuk.
Jalanku senantiasa sama, itu-itu saja, dengan jejak tapak keras dan kepul depu yang banyak wajah-wajah pasrah memunguti, menciumi, menjilati, menghisap, memakan; sambil menjelujurkan nanar gersang dan rapuh raih. Ya… mereka yang tertinggal dari lari zaman, terdepak dari panggung masa yang bergerak menunggang kilat, dan mereka yang tak siap akan terpental dengan tersengal, terkoyak melubang desis rintih, di pinggir ledakan halilintar kebudayaan.
Sedangkan aku terus melaju, aku terus dipacu, tak lelah tiada keringat dari pelana sofa sembari terus merajut rencana agar kerajaan kian menggelar kuasa. Mesin-mesin harus terus bekerja, kalau kurang rajin, tambahkan bahan bakar rakus dendam dengan pelumas tamak dengan operator yang juga mesin atau robot, dan tempelkan budaya semangat dengan semboyan “memakan atau dimakan”. Perluas kampanye tentang mesin, semua koran, radio, televisi, dan alat komunikasi media massa lainny adalah mesin dan pastikan penggunanya mesin. Kabarkan ke seluruh langit dan kolong-kolongnya bahwa sekarang adalah zaman mesin. Yang tak mesin, yang bukan mesin akan terhenti, tak sanggup memasuki pintu kemajuan, terjatuh terbalik terbentur runcingnya tusuk kaku peradaban.
Mesin….mesin…ya mesin. Mari ikutlah semua seperti aku. Aku berputar, aku bergerak, aku melaju….. ayo bergabunglah, mengumpullah, menyatulah ke dalam kerajaan mesin, republik mesin, masyarakat mesin, ummat mesin, semboyan mesin, nasehat mesin, doa mesin, cinta mesin..
Aku mesin… aku mesin… AKU MESIN!
BKF Jakarta, 08 Juli 2008
AKU MENUJU MESIN (I)
Budhi Setyawan
http://budhisetyawan.wordpress.com/
Pada sekeping pagi yang keras, aku masih malas beranjak dari ranjang yang terbuat dari berontak kata. Kuhampiri sebutir mimpi yang kurus kedinginan, aku elus dan usap. Dia yang menyimpan segala suara-suara dalam pelepah dan ranting silam. Cicit anak ayam kicau burung kokok ayam jantan embik kambing serta interlude nada dari jengkerik dan belalang yang membalut orkestra sunyi. Aku ciumi, aku peluk, dekap dan kududukkan di kursi lampau, sambil kutitipkan sejengkal jangkau.
Matahari tlah mengirimkan bias cahaya menembus kerlip embun menelusup dinding kamar yang panik berdiri, begitu cepat terang menindih kelam malam. Pagiku belum siap benar, masih gamang mengingat pagi kemarin, ingin sekedar bersalaman sambil berucap: “istirahatlah engkau, kini aku yang berjalan menyusur detik dengan segala detak”. Mengapa tak kauceritakan dulu padaku, kemarin engkau bertemu siapa, kau dapatkan apa? Ah usah lah cerita, nanti juga engkau akan temui sendiri, dengan rintik rumbai yang menyentuh jalanmu.
Ah… terengah-engah siang mengejar pagi, ketinggalan kereta yang begitu perkasa mengoyak derap. Dan selalu ada kata-kata yang jumawa sambil lurus tegak: “salahmu sendiri, kau selalu mencari romantis sunyi. Sia-sialah yang kau damba, putuslah yang kau rangkai. Di sini kau harus tetapkan kepastian batas, tinggal kau lihat jadwal di kamar kota, lalu ikuti langkahnya. Tak usahlah engkau mencoba menampakkan pikir, mengungkap nada-rasa. Tak ada gunanya. Kalau kau masih bertahan dalam alammu sendiri, bersiaplah kau akan menemu rongga sepi yang berduri, akan menancapmu, dan meretakpatahremukkan rangkamu, dan kau akan menempuh kulai layu, mati menuju debu.”
Hi.. aku belum mau mati. aku tetap harus hidup menempuh sejarah yang sarat cerita kotbah, yang gemar meracik jerit luka lolong tangis, mencipta amis darah dan nanah. Sejarah yang hobinya berlari, berkelebat meninggalkan dunia batin yang terduduk di pinggir jalan sambil minum teh, terkadang diserempetnya dan jatuh meringkuk. Aku harus ikut berlari, di pinggir-pinggir jalan sejarah, meski kadang ku dikibasnya, dan dengan kakiku yang kian merapuh mengeropos di terjang gersang kemarau rasa.
Ku masih ingat katamu di malam itu, di pematang sepi tepi sawah sahaja. “Ayo ikut aku, kau tak akan jadi apa-apa kalau masih di sini. Di kotaku, kau akan mampu mewujudkan mimpi yang lebih riuh dan berwarna yang sering menohokmu dalam risau harimu”. Dan sekian waktu merayap hingga bisa berlari, kau lalu lari meninggalkan gagap merenggut tanya. Sekarang aku di kotamu, dalam keramaian aku sendirian, tak banyak ucap, tak ramai tanya, apalagi usap, tlah melayang entah kemana. Aku baru mengerti, jangan mencari kasih sayang dan cinta. karena di sini semua ukuran telah dibakukan, semua aturan telah dikaburkan, demi sebuah pencapaian yang berwujud, semua harus kasat mata. Materi adalah kenyataan, kehidupan. Gila. Kota ini tlah gila, atau aku yang gila. aku tak pernah diberi jatah meski sekejap untuk sekedar bertanya, bersapa dengan teman, saudara, bahkan ku tak mampu bertanya dan bercakap dengan diriku sendiri, di kamar batinku, di gua jiwaku. Ini galau terus menumpuk, gundah kian tereguk. Edan!
Ya.. namun aku harus tetap hidup, meski aku menempuh warna pura-pura, rute-rute yang semu. Lalu aku mulai belajar ilmu mengubah wujud. Kuubah otakku menjadi mesin, tangan menjadi mesin, kaki menjadi mesin, tubuhku mesin, degupku mesin, pikirku mesin, rasaku mesin, kelaminku juga mesin…… wah enak juga ternyata menjadi mesin, semua telah diprogram, tinggal jalan saja. Ya… aku tlah mencapai keberhasilan, aku telah memintal sukses, merajut kebesaran sejarah. Akulah mesin paling sukses. Akulah mesin paling berharga. Dan kau semua, tak usah lah banyak bicara, atau akan kulindas segera, kugiling saat ini juga.
Aku kian cepat berputar, kian keras suara terdengar, kian menggelegar, siap-siaplah engkau semua, akan kusambar, hingga kau menemu gelepar dan terkapar.
http://budhisetyawan.wordpress.com/
Pada sekeping pagi yang keras, aku masih malas beranjak dari ranjang yang terbuat dari berontak kata. Kuhampiri sebutir mimpi yang kurus kedinginan, aku elus dan usap. Dia yang menyimpan segala suara-suara dalam pelepah dan ranting silam. Cicit anak ayam kicau burung kokok ayam jantan embik kambing serta interlude nada dari jengkerik dan belalang yang membalut orkestra sunyi. Aku ciumi, aku peluk, dekap dan kududukkan di kursi lampau, sambil kutitipkan sejengkal jangkau.
Matahari tlah mengirimkan bias cahaya menembus kerlip embun menelusup dinding kamar yang panik berdiri, begitu cepat terang menindih kelam malam. Pagiku belum siap benar, masih gamang mengingat pagi kemarin, ingin sekedar bersalaman sambil berucap: “istirahatlah engkau, kini aku yang berjalan menyusur detik dengan segala detak”. Mengapa tak kauceritakan dulu padaku, kemarin engkau bertemu siapa, kau dapatkan apa? Ah usah lah cerita, nanti juga engkau akan temui sendiri, dengan rintik rumbai yang menyentuh jalanmu.
Ah… terengah-engah siang mengejar pagi, ketinggalan kereta yang begitu perkasa mengoyak derap. Dan selalu ada kata-kata yang jumawa sambil lurus tegak: “salahmu sendiri, kau selalu mencari romantis sunyi. Sia-sialah yang kau damba, putuslah yang kau rangkai. Di sini kau harus tetapkan kepastian batas, tinggal kau lihat jadwal di kamar kota, lalu ikuti langkahnya. Tak usahlah engkau mencoba menampakkan pikir, mengungkap nada-rasa. Tak ada gunanya. Kalau kau masih bertahan dalam alammu sendiri, bersiaplah kau akan menemu rongga sepi yang berduri, akan menancapmu, dan meretakpatahremukkan rangkamu, dan kau akan menempuh kulai layu, mati menuju debu.”
Hi.. aku belum mau mati. aku tetap harus hidup menempuh sejarah yang sarat cerita kotbah, yang gemar meracik jerit luka lolong tangis, mencipta amis darah dan nanah. Sejarah yang hobinya berlari, berkelebat meninggalkan dunia batin yang terduduk di pinggir jalan sambil minum teh, terkadang diserempetnya dan jatuh meringkuk. Aku harus ikut berlari, di pinggir-pinggir jalan sejarah, meski kadang ku dikibasnya, dan dengan kakiku yang kian merapuh mengeropos di terjang gersang kemarau rasa.
Ku masih ingat katamu di malam itu, di pematang sepi tepi sawah sahaja. “Ayo ikut aku, kau tak akan jadi apa-apa kalau masih di sini. Di kotaku, kau akan mampu mewujudkan mimpi yang lebih riuh dan berwarna yang sering menohokmu dalam risau harimu”. Dan sekian waktu merayap hingga bisa berlari, kau lalu lari meninggalkan gagap merenggut tanya. Sekarang aku di kotamu, dalam keramaian aku sendirian, tak banyak ucap, tak ramai tanya, apalagi usap, tlah melayang entah kemana. Aku baru mengerti, jangan mencari kasih sayang dan cinta. karena di sini semua ukuran telah dibakukan, semua aturan telah dikaburkan, demi sebuah pencapaian yang berwujud, semua harus kasat mata. Materi adalah kenyataan, kehidupan. Gila. Kota ini tlah gila, atau aku yang gila. aku tak pernah diberi jatah meski sekejap untuk sekedar bertanya, bersapa dengan teman, saudara, bahkan ku tak mampu bertanya dan bercakap dengan diriku sendiri, di kamar batinku, di gua jiwaku. Ini galau terus menumpuk, gundah kian tereguk. Edan!
Ya.. namun aku harus tetap hidup, meski aku menempuh warna pura-pura, rute-rute yang semu. Lalu aku mulai belajar ilmu mengubah wujud. Kuubah otakku menjadi mesin, tangan menjadi mesin, kaki menjadi mesin, tubuhku mesin, degupku mesin, pikirku mesin, rasaku mesin, kelaminku juga mesin…… wah enak juga ternyata menjadi mesin, semua telah diprogram, tinggal jalan saja. Ya… aku tlah mencapai keberhasilan, aku telah memintal sukses, merajut kebesaran sejarah. Akulah mesin paling sukses. Akulah mesin paling berharga. Dan kau semua, tak usah lah banyak bicara, atau akan kulindas segera, kugiling saat ini juga.
Aku kian cepat berputar, kian keras suara terdengar, kian menggelegar, siap-siaplah engkau semua, akan kusambar, hingga kau menemu gelepar dan terkapar.
04/09/08
DARI UJUNG KE UJUNG
KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/
Tak bisa diduga, berapa lama dia berada di ujung jalan. Andaikata terdapat seseorang yang menyapa, apa yang harus dikatakannya? Andaikata terdapat seseorang yang menduga, haruskah dia selonjorkan menit-menit yang berharga, buat secuap jawab tanpa makna? Namun demikian, pada hari yang penuh berlumur gula, sepatutnya dia kembali meraih penunjuk jalan yang mengarahkan orang pada jalur yang tepat – di kala segalanya masih remang dalam rabaan.
http://sastra-indonesia.com/
Tak bisa diduga, berapa lama dia berada di ujung jalan. Andaikata terdapat seseorang yang menyapa, apa yang harus dikatakannya? Andaikata terdapat seseorang yang menduga, haruskah dia selonjorkan menit-menit yang berharga, buat secuap jawab tanpa makna? Namun demikian, pada hari yang penuh berlumur gula, sepatutnya dia kembali meraih penunjuk jalan yang mengarahkan orang pada jalur yang tepat – di kala segalanya masih remang dalam rabaan.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita