Tampilkan postingan dengan label Rakhmat Giryadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rakhmat Giryadi. Tampilkan semua postingan

15/07/21

Memimpikan Gedung Kesenian di Surabaya

Rakhmat Giryadi
 
Sungguh luar biasa, kota sebesar Surabaya tidak punya gedung kesenian (gedung pertunjukan dan ruang pamer)? Sebagai pusat pemerintahan provinsi sungguh aneh kalau Surabaya tidak punya gedung kesenian. Lalu di mana tempat ekspresi masyarakat dan seniman digelar? Kemana kita akan menggelar konser musik dengan akustik gedung yang memadai? Kemana kita menemukan tempat pertunjukan ludruk modern? Kemana kita bisa menggelar pameran seni rupa? Tidak ada?

24/12/12

Problematik Teater Remaja (SMA)

(Dialog Jambore Teater Remaja 2008) Pendopo TBJT, 2 Agustus 2008
Pemateri : Eko ‘Ompong’ Santoso (Yogjakarta) AGS Arya Dwipayana (Jakarta).
Pemandu : R Giryadi (Surabaya)
http://teaterapakah.blogspot.com/

Kendala Aktualisasi

Kendala utama yang banyak ditanyakan dalam forum dialog oleh para peserta Jambore Teater Remaja 2008, adalah sulitnya mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri ini disebabkan kesalahan persepsi orang tua terhadap kegiatan teater. Rata-rata orang tua menganggap kegiatan teater tidak bermanfaat.

11/09/10

Politik Citraan

Rakhmat Giryadi
http://kamarbudaya.wordpress.com/

Siapa yang tidak kagum dengan artis cantik nan anggun, Zaskia Adya Mecca? Kecantikannya bertambah lengkap dengan jilbab yang dikenakannya. Dia salah satunya bintang sinetron yang masih remaja membaiat dirinya untuk berbusana muslim. Maka dalam waktu singkat citra yang diinginkan Zaskia disambut positif oleh pemirsa TV.

Namun akhir-akhir ini public terhenyak, ketika di internet beredar foto-foto Zaskia yang dikenal santun itu, sedang merokok dengan kaki medingkrang di kursi. Sungguh gambaran yang tak terkirakan di benak penggemar yang sudah terkadung mengagumi Zaskia terutama lewat perannya di sinetron religius Kiamat Sudah Dekat. Ini bukan adegan dalam sinetron, tapi justru dilakukan di sela-sela syuting sinetron Munajat Cinta.

Berkat perannya di sejumlah tayangan bernuansa religi itu, para pemirsa dan pengagum mengenal Zaskia sebagai sosok perempuan salehah. Penilaian itu wajar ketika kita menghubungkan dengan perannya di “Kiamat Sudah Dekat” sebagai “Sarah” yang pandai mengaji. Para fans pun tentunya menduga dan berharap bahwa apa yang diperankan idolanya dalam sinetron sejalan dengan perilaku kesehariannya.

Kabar miring Zaskia itu akan mengejutkan siapa saja yang selama ini mengenalnya lewat layar kaca. Anda barangkali akan bilang, Zaskia ternyata tak ubahnya sejumlah selebritis lain yang manis di depan kamera tapi perilakunya liar ketika di luar tuntutan perannya. Lepas dari kesahihan gosip infotainment dan gambar yang beredar di internet, masyarakat tak perlu memberikan reaksi yang berlebihan.

Dalam dunia peran, siapapun bisa menjadi apa yang diinginkan oleh sang sutradara. Dan kebetulan saja Zaskia dianggap lebih pas, atau dalam istilah pasar lebih marketable, untuk memerankan sosok muslimah yang salehah. Di luar itu, Zaskia punya otoritas penuh untuk menjalani kehidupannya sendiri.

Ini kehebatan media yang mampu membangun citra seorang menjadi citra yang lain. Karena itu, media (TV) menjadi alat yang paling efektif untuk menyebarkanvirus citra. Lihat saja, para politikus kita tiba-tiba bak bintang iklan. Hal itu dilakukan demi membangun citra. Sebusuk apapun kepribadian politikus, di televisi, citra seseorang bisa dikemas menjadi manis, semanis janji-janji yang dikampanyekan.

Politik pencitraan ini sejalan dengan masyarakat yang sangat gandrung dengan citra. Padahal citra itu bukan esensi, meski citra itu kata kaum eksistensialis mendahului esensi, namun citra bukanlan sesuatu yang ‘nyata.’ Dia hanya kulit. Bagi mereka yang mempercayaai citraan, maka sebenarnya mereka hanya mendapatkan kulitnya. Sementara isinya dibuang.

Kehebatan para selebriti kita, para politikus kita, para pejabat kita, para calon gubernur kita, menggunakan politik citraan ini untuk mengelabuhi masyarakat. Masyarakat yang tidak mengenal beda isi dan kulit. Ini persis ketika orang Barat (atau bahkan kita sendiri) memahami Islam. Bahwa orang yang bersorban putih, membawa tasbih, membawa bendera dengan tulisan Arab, adalah orang Islam.

Sikap kita yang mencurigai setiap orang yang berjubah, dan juga negara barat yang demam terhadap Islam, sebagai akibat cara pandang yang menempatkan simbol dan atribut di atas perilaku orang perorangnya. Yang kita pandang adalah jubahnya, yang membuat demam adalah orang islam yang melakukan kekerasan. Padahal jubah itu putih, belum tentu Islam. dan Islam tidak identik dengan jubah putih apalagi kekerasan.

Penyakit pencintraan telah menghinggapi seluruh segi kehidupan. Agama dicitrakan. Politik dicitrakan. Ekonomi dicitrakan. Hukum dicitrakan. Seks dicitrakan. Kita hidup di negeri citra. Hidup yang hanya seolah-olah.

Pembangunan citra bagi seorang aktris atau siapa saja itu penting. Ia menjadi semacam bumbu penglaris untuk menguatkan image yang diperankan. Sebagian masyarakat kita tampaknya tak menyadari hal itu. Mereka berharap banyak bahwa sang idola yang mereka kenal lewat layar kaca demikian adanya dalam dunia keseharian.

Ekspektasi para fans terhadap idolanya akhirnya berujung dengan kekecewaan ketika mereka mengetahui jika sang idola cuma tampil manis di layar kaca, tapi tidak demikian halnya dalam dunia nyata.

Hal itu tidak berbeda jauh dengan calon gubernur kita. Jangan jangan hanya manis dimuka, dibelakang kita digerogoti. Karena itu berhati-hatilah dengan politik pencitraan. ‘Hidup Adalah Pencitraan?’ Prek!

September 9, 2008

05/07/10

Nyonya Gondo Mayit

Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/

Ketika dinyatakan tidak jadi mati, Nyonya Sugondo seperti manusia setengah mayat. Orang-orang kampung sering memelesetkan dengan Nyonya Gondo Mayit, artinya bau mayat. Namanya sendiri sebenarnya Satemi. Sugondo adalah nama suaminya yang telah meninggal dunia.

Setiap hari pekerjaannya hanya duduk di kursi sampai senja menjemput. Ketika langit tampak merona merah, Nyonya –dimikian ia terbiasa dipanggil dalam keluarga besar Sugondo- telah siap dengan dandanannya. Ketika Lastri pembantunya yang telah bertahun-tahun merawatnya, mengajak ke kamar, Nyonya melambaikan tangan pada senja yang meredup.

Nyonya Sugondo, atau tepatnya Nyonya Satemi Sugondo, sejak empat tahun yang lalu sebenarnya sudah mati. Ia sudah mati ketika suaminya, Sugondo, meninggal bersama selesainya karir politik yang disandangnya selama berkuasa, karena serangan bertubi-tubi dari lawan-lawannya. Nyonya Sugondo sebenarnya sudah mati, ketika jasad sang suami dikubur di pemakaman tempat kelahirannya. Sementara anak-anaknya hanya mengirim ucapan bela sungkawa, hanya lewat telepon. Kemudian dengan suara sedih, mereka menyatakan tidak bisa menghadiri pemakaman bapaknya, karena sedang ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Hanya itu.

Sejak saat itu, ketika terompah penjaga kubur berderapan, sebenarnya Nyonya Sugondo sudah benar-benar mati. Tetapi entah mengapa, Tuhan masih menginjinkannya untuk hidup, meski separuh tubuhnya sudah membusuk. Dokter yang telah merawatnya satu bulan lebih, sudah angkat tangan. Tetapi kemudian, seperti mendapat bisikan Tuhan, dokter yang berkulit putih itu, menyatakan, Nyonya sembuh dari segala penyakit yang dideritanya.

“Saya akan dibawa kemana? Saya bosan tinggal di rumah seperti kuburan ini!” seru Nyonya. Lastri tidak menjawab. Ia segera menyiapkan makanan untuk Nyonya.

“Lastri kamu tahu tidak, ini bukan rumah kita. Besok pagi-pagi antarkan aku ke Jl. Musirin! Aku tidak mau makan, kalau tidak kamu antarkan!”

“Lo, ini jalan Musirin, Nyah…!”
“Bukan begitu, lo. Jalan Musirin itu, rumahnya besar, ramai dengan anak-anak. Ini sepi begitu. Yang ada cuman setan!” sahut Nyonya.

“Setan-setan gundhul….” ledek Lastri.
“Gundhulmu atos itu. Setannya kamu itu!” Lastri berlalu sambil membawa sisa makanan, sekeranjang obat dan beberapa butir obat penenang..

Suami Nyonya empat tahun lalu meninggal dunia mendadak. Tanpa diduga ia terlibat korupsi secara ‘berjamaah’. Begitulah kata orang-orang. Konon, Sugondo tidak tahu menahu, karena dia hanya terima uang saja. Namun ternyata uang yang dikira bonus dari rekanan itu, ternyata hasil penggelapan dana pembangunan dan pajak. Sugondo tidak bisa mengelak.

Waktu itu, usai menonton Berita Malam, Sugondo tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat di dada kirinya. Nyonya tidak menyadari, kalau malaikat maut sedang menjemput suaminya. Meski suaminya sekarat, Nyonya asik memindah cenel televisi. Ketika Nyonya mendapatkan acara kesukaannya, tiba-tiba suaminya mengerang kesakitan. Sepontan Nyonya berteriak memanggil Lastri.

Sugondo dilarikan ke dokter terdekat. Sayang rumah dokter itu gelap gulita. Lastri menggedor-gedor pintu, ketika napas tuanya semakin megap-megap. Sedetik atau dua detik tak ada jawaban. Namun, tiba-tiba jendela sebesar kepala terbuka. Dari dalam terlihat wajah tanpa dosa dengan rambut tak teratur. “Sudah malam, besok saja!” dokter berkacamata tebal itu menutup jendela.

Lastri pantang menyerah. Ia menggedor pintu lebih keras, dan bicara amat cepat. Dokter baru membukakan pintu ketika Sugondo terkulai tak berdaya dan hampir jatuh ke tanah. Lastri menyeretnya begitu saja. Begitu dibaringkan Nyonya berteriak histeris, karena ia tahu, suaminya telah tiada.

Dokter yang hanya memakai celana kolor itu, berusaha membuat napas buatan. Sayang tangan malaikat maut begitu terampil. Tanpa menunggu waktu karir politik Sugondo yang semakin gemilang itu berhenti seketika. Begitu juga harapan-harapan Nyonya Sugondo untuk bisa berumah seperti Nyonya Suprapto yang kini suaminya berhasil menjadi wakil bupati, terjungkal ke lubang gelap tak berdasar. Sejak saat itu Nyonya memang seperti kehilangan kendali. Hidupnya hanya tinggal menunggu mati.

“Kopi Bapakmu mana?” tanya Nyonya.
“Tidak punya kopi, Nyah.”
“Kalau habis ya beli. Masak, tidak tahu kalau kesukaan Bapak kopi?” sahut Nyonya.
“Tapi..Bap…”
“Tidak usah tapi-tapian. Pergi sana dan buatkan kopi segera. Ia nanti marah!” sergah Nyonya.

Lastri segera beranjak. Nyonya diam dengan napas tersengal-sengal. Dari mulutnya keluar kata-kata yang tak sedap didengar. Ia memang suka sekali marah. Kalau marah perangainya jelek sekali. Meski tampak lemah, kalau berteriak seperti harimau kelaparan. Ia sering marah dengan kemarahan yang meledak-ledak. Bila tak segera dituruti maka ledakan itu berubah menjadi kemarahan yang merusakan.

Sejak kelakuan berubah seperti itu, anak-anaknya tak pernah menjenguk. Tidak tahu mengapa mereka tidak mau menjenguk? Apa karena kemarahan yang membikin telinga merah? Atau kerena kesibukan? Memang sejak penyakit itu berubah menjadi kemarahan, anak-anaknya memilih merantau. Maka perempuan yang malang itu, sendirian menungu sepi.

Kalau ingin bertemu Nyonya, anak-anaknya hanya telpon. Atau kalau Nyonya kangen, mereka hanya mengirim poto-poto terbaru mereka. Meskipun mereka sering telpon, sebenarnya Nyonya tak pernah menerimanya. Lastri lebih sering menerima, dan menggantikan peran Nyonya. Dari dialah semua keadaan Nyonya disampaikan. Jarang sekali, Nyonya berbicara di telpon dengan anak-anaknya. Begitu juga ketika kiriman foto-foto lucu, cucu-cucunya mata tuanya sudah tak bisa lagi mengenali siapa yang dilihatnya, Lastrilah yang menerangkan. Bahwa ini Mas Tono yang kerja di Medan, ini Mbak Rika yang kerja di Brunei, ini Dik Dina yang kerja di Arab, dan Ini Dik Urip yang kerja di Hongkong. Semua diterangkan dengan detail.

Semua yang dilakukan anak-anaknya bagai orang mengirim bunga setaman di pekuburan. Itu dilakukan hampir setiap bulan sekali. Atau bahkan terkadang tidak sama sekali. Setelah empat tahun itu, mereka hanya lebih suka mengirim surat lewat wesel. Di dalam wesel itu terdapat kata-kata yang tak bisa dibacanya sendiri. Meski kata-kata itu jelas terucap, ‘Anak-anak dirantau sehat. Semoga ibu sehat juga.’ Kata-kata itu tak pernah lupa dan sepertinya kata-kata itulah yang pantas diucapkan bagi anak di perantauan.

Dulu anak-anak Nyonya Sugondo adalah anak-anak yang sangat patuh. Karena bapaknya sendiri adalah orang yang terhormat dilingkungannya. Di rumahnya berlaku hukum ketertiban. Semua anak-anaknya tak ada yang boleh membandel. Sebagai anak pejabat, mereka harus bisa menjadi contoh. Contoh apa saja. Nyonya memang beruntung, keempat anaknya tak ada yang membandel. Bahkan mereka juga sangat menjaga nama baik keluarga.

Tetapi bagi keluarga besar Sugondo itu belum cukup. Untuk menjadi keluarga terhormat harus cukup secara ekonomi. Maka tak ayal lagi, anak-anaknya adalah para pekerja keras yang tak pernah mengenal lelah. Sepanjang siang dan malam mereka bekerja. Setiap hari, Tono yang sekarang bekerja di Medan itu, tak pernah pulang sore. Tono yang bekerja sebagai kontraktor itu, setiap hari kerja lembur. Baru menjelang pagi dia pulang, dan ketika matahari belum separuh jalan, ia terbangun kemudian bergegas pergi.

Begitu juga Mbak Rika, setiap hari pulang usai magrib. Kalau lembur bisa jadi pulang jam sebelas malam. Tak kalah hebat lagi adiknya si Dina, dua hari sekali ia pulang. Perempuan sekretaris sebuah perusahaan besar ini memang sering keluar kota. Lebih gila lagi Urip, setiap minggu ia pulang. Pekerjaannya menuntut demikian. Hampir setiap minggu ia harus pergi ke luar pulau untuk mengantar barang-barang. Ketika mereka sukses dan telah menikah, satu persatu meninggalkan rumah yang dirasakan seperti neraka.

Bahkan setelah berpisah rumah, mereka jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. Ketika bapaknya meninggal, hanya Lastri yang berada di rumah, mengurus ini itu, bahkan sampai menyambut para pejabat yang datang berta’jiah. Sementara anak-anaknya hanya mengucapkan bela sungkawa dari balik gagang telpon, kemudian berjanji akan mengirim bantuan dana untuk selamatan sampai seribu hari.

Melihat kehidupan seperti itu, sebenarnya Nyonya pantas disebut mayat hidup. Betapa tidak, selama ini Nyonya Sugondo memang tak lebih fotokopian suaminya. Ketika suaminya disebut-sebut sebagai pejabat ini-itu, ia tak lupa disebut-sebut sebagai orang yang menyebabkan suaminya menjadi ini-itu. Ketika suaminya berpidato tak pernah lupa menyebut peran istrinya itu. Semua yang dilakukan suaminya pasti pantas dan baik untuk istrinya. Dan hukum itu seperti menemukan kebenarannya. Pernah suatu kali, suaminya tersangkut penggelapan uang negara, dengan sabar dan penuh cinta kasih, Nyonya mendorong mental suaminya, sampai ia dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan.

Itulah peristiwa yang membuat keluarga Sugondo terguncang. Hampir semua publik tidak percaya, orang yang diyakini jujur itu melakukan kejahatan korupsi. Sementara lawan-lawan politiknya terus memojokannya, sampai ke liang lahat.

Perisitiwa itu juga menjadi titik balik karir politik Sugondo. Meski hakim memutuskan Sugondo tidak bersalah, serangan demi serangan tak pernah berhenti. Bahkan sampai dirinya meninggal dunia, khasus itu belum juga tuntas, karena putusan hakim masih perlu ditinjau kembali. Bahkan baru-baru ini, rumah Sugondo dan beberapa kekayaan yang lain ditengarai hasil kejahatan selama menjadi pejabat. Maka rumah itu, perlu disita.

“Kalau misalnya Bapak masih di rumah, pasti saya tidak kesepian seperti ini.” kata Nyonya sambil membaringkan tubuhnya pelan-pelan ke tempat tidur dekat televisi. “Besok kita pulang ya, Las? Ibu kangen betul dengan Bapakmu,” lanjutnya dengan memejamkan mata.

“Iya, Nyah,” jawab Lastri.
***

“Pos! Pos!”
“Kok tumben bukan wesel, Pak?” tanya Lastri.
“Bukan itu surat dari kantor Keadilan,” kata pegawai Pos.
“Apa isinya?”

“Baca sendiri.” Kemudian pegawai Pos yang setiap kali mengantar wesel itu berlalu.
Lastri hendak membacanya, tetapi Nyonya keburu memanggilnya.
“Itu pasti wesel dari anaku?”

Lastri tak bisa menjawab. Ia membuka surat dari kantor Keadilan.
“Apa isinya? Pasti mereka kirim uang banyak. Kalau kirim uang kita bikin nyusul Bapak saja, Las,” kata Nyonya.

Lastri tidak memperhatikan kata-kata Nyonya. Ia mengeja, bunyi surat itu.
“Cepat Lastri katakan apa kata mereka? Berapa yang dikirimkan. Saya sudah kangen betul dengan, Bapak,” kata Nyonya lagi. Lastri tidak mengatakan apa-apa. Ia menyerahkan surat itu kepada Nyonyanya.

“Disita?” kata Nyonya yang kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Lastri berteriak histeris. Kali ini mengundang para tetangga berbondong-bondong datang. Nyonya benar-benar menyusul suaminya. Orang-orang mengantarkannya ke pekuburan dengan gremeng-gremeng, bukan doa, tetapi suara-suara sumbang. “Ia mati karena banyak makan uang rakyat dari suaminya!”

Besoknya, pegawai Pos datang lagi. Kali ini ia tidak berteriak. Ia hanya meletakan ucapan bela sungkawa dari anak Nyonya Sugondo yang dikirim dari seberang. Ia menyandarkan karangan bunga kecil dekat pengumuman yang dipasang oleh petugas kantor Keadilan : ‘Rumah ini disita negara.’

Surabaya, 2006.

05/04/09

Tubuh yang Berkata-kata

Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/

Judul Buku: Antonin Artaud Ledakan dan Bom
Judul Asli: Blows and Bombs
Penulis: Stephen Barber
Penerjemah: Max Arifin
Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Terbit I, Agustus 2006
Tebal, 200 + xxiv halaman

Antonin Artaud lahir dengan nama Antoine Marie Joseph Artaud, pada 4 September 1896, di dekakat kebun binatang Marseilles, Perancis. Artaud sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengganti dan merusak namanya. Ia pernah mengganti namanya menjadi Eno Dailor untuk beberapa naskah awal Surrealisnya. Bahkan dalam satu periode ia mengumumkan ‘My name must disappear’ (namaku harus lenyap). Bahkan ia tak bernama sama sekali awal penahanannya di azilum. Usai pembebasannya di azilum ia memakai nama samaran ‘le Momo’ (bahasa slang Marseilles yang berarti si idiot, bodoh, atau ndeso).

Kehidupan Artaud merupakan tragedy besar, kegagalan dahsat datang silih berganti, dan tekanan demi tekanan. Tetapi ia memiliki semacam kekuatan magis dan kemapuan monumental untuk bangkit aktif dan merekontruksi kembali kegelisahannya. Karya Surrealisnya pada tahun 1920-an mencoba bereksperimen tentang kesadaran lewat atau melalui karya sinematik dan puitik. Setelah projek-projek Surrealismenya berantakan pekerjaannya terlibat dalam ruang teatrikal.

Bahasa yang dipaki Artaud dalam tulisa-tulisannya bercampur aduk bagai terikan atau jeritan-jeritan yang menuju ke kecabulan yang ekstrim dan murni. Menulis bagi Artaud adalah suatu penumpahan atau pengeluaran semua substansi yang berisfat fisikal, baik yang berdampak liar maupun yang bersifat interogratif. Tulisannya merupakan luapan ekspresi yang kasar dan berterus terang dari reflek-reflek yang bersifat indrawi, menentang control social.
***

Buku Blows and Bombs karya Stephen Barber ( Faber and Faber Limited London 1994) yang diterjemahkan oleh oleh Max Arifin menjadi Ledakan dan Bom (DKJ Agustus 2006 ) ini banyak mengisahkan proses perjalanan Antonin Artaud. Buku ini membeberkan kisah Artaud mulai dari gerakannya di seni sastra Surrealisnya sampai pada konsepsi teater kejamnya (The Theatre of Cruelty).

Artaud dikenal sebagai seorang penulis yang karya-karyanya sangat provokatif dan mendatangkan banyak malapetaka. Gerakannya yang provokatif dan bahkan ekstrim itu membuatnya ditolak dalam lingkungannya sendiri terutama oleh teman-temannya sendiri para Surrealis, di Paris. Penolakannya itu bahkan justru membuahkan hasil yang sangat produktif setelah ia juga mengalami serententan perjalanan dan perawatannya di rumah sakit jiwa.

Karya-karyanya menggali isu-isu tentang kebebasan, pengurungan, dan kreatifitas, dengan menghasilkan imaji-imaji yang begitu krusial tentang penyadaran bahasa dan kehidupan. Dalam jejak-jejak karyanya, kita akan menemukan serpihan-serpihan kemauan yang keras kepala dan garang.

Ia meninggalkan Prancis –ia mengembara ke Mexico dan Irlandia- setelah mengalami kegagalan besar dalam meluncurkan mimpinya tentang Theatre of Cruelty, suatu proyek artistic yang didesain untuk menumbangkan kebudayaan dan membakarnya untuk dikembalikan pada kehidupan ini, sebagai suatu laku yang langsung menentang masyarakat.

Theatre of Cruelty, menawarkan tiga konsepsi dasar teater, tari, rupa, dan film. Theatre of Cruelty merupakan pertemuan dari setumpuk kegelisahan dan penderitaannya dengan pertunjukan teater tari Bali tahun 1931. Bagi Artaud teater Bali berisi semua unsur yang telah ia masukan pada Alfred Jarry Theatre, sebagai satu strategi perlawanan terhadap tekstual yang begitu berkuasa dan teater psikologikal Eropa. Titik pusat utamanya adalah gesture dan tekstual merupakan suatu yang berbeda di bahwahnya; teaternya memiliki disiplin dan magis.

Peristiwa kedua yang memberikan inspirasi dan memberikan kontribusi pada theatre of cruelty terjadi pada bulan September 1931, ketika Artaud menyaksikan lukisan Leyden dari abad 15 berjudul The Daughters of Lot di museum Louvre. Artaud merasakan adanya kesamaan antara lukisan itu -yang menggambarkan bencana dan seksualitas- dengan teater Bali. Artaud mempergunakan arsitektur keruangan yang menyimpang dari lukisan tersebut dan perhatiannya terhadap incest dan bencana sebagai pusat perhatiaannya dalam bentuk dan material yang ia inginkan dalam teater barunya.

Artaud memandang lukisan tersebut sebagai hasil dari arah kreatif yang diuraikan secara indah, seperti layaknya penguasaan atas suatu tontonan yang teatrikal yang digubah, disusun di atas pentas, diwujudkan di atas pentas, tanpa dialog atau teks. Artaud juga melihat lukisan itu sebagai suatu paduan, assembling dan penyampaian eksplosi-eksplosi (ledakan-ledakan) suara untuk memperjelas pengaruh visualnya (its visual impact).

Artaud juga memasukan tanggapannya terhadap film Marx Brothers yang berjudul Monkey Business dalam teks ‘Direction an Methaphysics.’ Dari film itu Artaud menambahan pemahaman tentang humor yang sebenarnya dan tentang kekuatan yang bersifat fisikal dan dissosiasi yang anarkis dalam gelak tawa. Film itu menurut Artaud memiliki pembebasan yang lengkap dan perobekan (penghancuran) terhadap realitas. Peristyiwa itu menurut Artaud memiliki potensi untuk menimbulkan ledakan yang merusak. Artaud memandang dengan kagum terhadap kekuatan gelak tawa (the power of laughter) yang bisa menimbulkan transformasi secara tiba-tiba. Ia menekankan kualitas pemberontak yang terdapat pada ledakan, keributan, dan gerakan (movement) dalam film-film Marx Brothers.

Respon Artaud terhadap film tersebut memang menambahkan suatu unsur pembertontakan yang vital terhadap kemunculan kegelisahan-kegelisahan teatrikal. Dan keberhasilan dari semua itu terletak pada apa yang disebut kegembiraan yang meluap-luap, yang visual dan nyaring (merdu secara serempak).

Theatre of Cruelty melalui perjalanan yang sangat panjang. Selama 30 tahun, teater ini dianggap mustahil untuk diwujudkan. Bahkan teatrawan Polandia Jerzy Grotowski menganggapnya, tanpa memahami konsepsi Artaud secara baik dan benar, hanya akan menurunkan derajat teaternya dan tidak punya arti apa-apa selain hanya gaya (action) belaka. Dan memang, selama itu pula Artaud (sendiri) menemui kegagalan demi kegagalan, sampai menjelang akhir hayatnya (4 Maret 1948) sebagai seniman yang keras kepala dan miskin.

Periode akhir kemunculan Artaud merupakan intensifikasi sekaligus kristalisasi terhadap karya-karya sebelumnya. Karya-karya terakhirnya memiliki kejelasan yang final, yaitu terkontrol dan liar atau brutal. Inilah projek teater kejamnya (Theatre of Cruelty) Artaud. Gema atau gaung pengaruh Artaud terhadap seni inovatif dan eksperimental berkembang ke berbagai arah dan luas. Pengaruh itu membentang dari seni visual sampai ke seni vocal dan yang bersifat teoritik.
***

Hadirnya buku Artaud ini menambah perbendaharaan buku-buku terjemahan yang membahas tentang konsepsi-konsepsi besar teater dunia yang selama ini terasa amat kurang, meski Max Arifin sendiri telah menerbitkan (menerjemahkan) karya-karya Bertolh Breach, Konstantin Stanislavsky, dan Jerzy Grotowsky. Seandainya buku Artaud ini terbit akhir tahun 1980-an, maka akan menemukan konteksnya dengan perkembangan teater kontemporer di Indonesia.

Seperti kita ketahui konsep Artaud telah menjadi pemicu dalam pertunjukan-pertunjukan teater di Indonesia menjelang akhir tahun 1980-an. Teatrawan yang biasa disebut memiliki kegelisahan sama dengan Artaud adalah Budi S Otong dengan teater SAE, kemudian juga teater Kubur, Dindon WS. Pada pertengahan tahun 1990-an teater ini ‘mewabah’ sampai Jawa Timur, Bali, dan Makasar. Tetapi meski begitu buku ini tetap menarik disimak sebagai bahan telaah teoritik maupun kesejarahan, bagi para peminat teater. ***

*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.

09/01/09

Akal Abu Nawas

Rakhmat Giryadi
http://kamarbudaya.wordpress.com/

Pada suatu hari, kawan-kawannya Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa memenatkan dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas untuk mengajaknya ikut serta. Namun saat akan masuk hutan, mereka dibingungkan jalan persimpangan.

Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang dihuni binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mereka.

Salah seorang menawarkan untuk bertanya pada sahabatnya yang tinggal tidak jauh dari tepi hutan itu. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang membedakan mereka, yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja.

Abu Nawas menyetujui. Mereka menghadap dua saudara kembar itu. Dan benar pula, salah satu pemuda kembar itu hanya mau menjawab satu pertanyaan.

Kemudian Abu Nawas menghampiri pemuda itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.

Sesampai di persimpangan hutan tadi Abu Nawas memilih jalan di sebelah kanan. “Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan.” kata Abu Nawas mantap kepada kawankawannya.

“Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?” tanya salah seorang dari mereka.

“Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri,” kata Abu Nawas. Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan.

“Tadi aku bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?”

Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab: Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan sebelah kiri, karena Ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kanan sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.
***

Kasus jalan persimpangan itu seperti kasusnya Asrori yang menghebohkan itu. Kasus Asrori, seperti menemui jalan persimpangan. Siapa yang benar dan siapa yang berbohong, memang harus segera dibuktikan. Yang menjadi sulit itu, semua mengaku benar. Kejaksaan agung mengaku tidak merasa salah memutuskan hukuman. Sementara para pembunuh Asrori versi kebun tebu, mengaku tidak tahu menahu pembunuhan itu. Mereka terpaksa mengakui pembunuhan itu karena tidak tahan siksaan polisi.

Sementara dipihak lain, Ryan mengaku dirinyalah yang membunuh Asrori. Tetapi pihak keluarga Asrori tidak mau mengakui kalau Asrori kurban Ryan. Keluarga Asrori tetap percaya dengan mayat Asrori yang di temukan di kebun tebu, meski tes DNA mayat Asrori di belakang rumah rian, memiliki kemiripan dengan DNA keluarga Asrori. Bingung bukan?
***

Biar tidak tambah bingung, Abu Nawas punya cara lain untuk menangkap ‘pembunuh’. Ceritanya, pada suatu hari, seorang kehilangan anak. Ternyata anak itu tewas terbunuh. Tetapi tidak tahu siapa yang membunuh. Misteri pembunuhan itu juga membingungkan polisi.

Abu Nawas ternyata punya cara sendiri menangkap sang pembunuh. Orang-orang yang dicurigai membunuh dan tidak mengakui perbuatannya, oleh Abu Nawas diberi tongkat sepanjang 50 cm. Kemudaia ia berpesan, agar tongkat itu disimpan dan esok harinya tongkat itu dikembalikan padanya. “Bagi yang membunuh, tongkat itu dalam satu hari akan memanjang 10 Cm, karena sudah saya rasuki mantra,” pesan Abu Nawas.

Mereka yang tidak membunuh, tidak takut. Tetapi yang membunuh dengan akal bulusnya segera memotong tongkat Abu Nawas itu 10 cm, agar esok harinya tetap berukuran 50 cm.

Ketika esok harinya saat mengumpulkan tongkat, pembunuh itu dicokok, karena terbukti membunuh. Buktinya, tongkatnya yang disimpanya malah lebih pendek 10 cm. Sayang Polisi kita bukan Abu Nawas. Kita tunggu saja!

September 9, 2008.

06/01/09

Cerita Indah Tentang Pohon

Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/

Maruto mencelat dari tempat tidur. Tubuhnya menggeliat-geliat, seperti bohon digasak angin. Ia mengerang-ngerang. Maruto berteriak sekuat tenaga. Tetapi teriakannya seperti disekap gelap. Maruto bertambah kalap. Burung gagak berkaok-kaok. Suara tangis menyayat-nyayat. Tembang megatruh terdengar lamat-lamat.

“Bangun, wong lanang, tidak tahu malu!” seru Murtini. Maruto tergagap dari tidurnya. Napasnya satu-satu. Wajahnya basah kuyup oleh air. Mulutnya hendak membuka. Tetapi Murtini segera menyahut.

“Apa, mimpi lagi? Pohon lagi?” kata Murtini sengak.

“Jancuk !! Kamu itu bagaimana to, wong suaminya…”
“Suami apa? Kerjaannya ngumbar mimpi. Prek…!” sahut Murtini sengit.

“Mimpi itu datang lagi. Ia menyiksaku, Mur!”
“Alah, menyiksa apa? Wong kalau tidur mesti ngorok begitu.”

Murtini tidak tahu, Maruto sebenarnya sudah berusaha melupakan mimpi yang setiap malam datang padanya. Tetapi seolah-olah mimpi itu telah menjadi bagian dari tidurnya. Sedetikpun ia tertidur, maka mimpi itu datang juga. Maruto sendiri tidak pernah mengerti sejak kapan mimpi pohon datang. Tiba-tiba mimpi itu datang begitu saja.

Tiba-tiba? Ya, tiba-tiba. Karena memang Maruto tidak pernah nggubris dengan mimpi yang datang padanya. Tetapi ketika mimpi pohon itu berulang kali datang, ia sadar akan gangguan yang tiba-tiba itu. Kalau sekarang ia banyak mengeluh, karena memang dipaksa keadaan. Mimpi itu memang benar-benar menyiksa. Bayangkan saja, sedetik ia terlelap, tiba-tiba mimpi itu datang.

“Ya, menakutkan sekali! Tapi kok aneh sekali. Masak ada pohon tumbuh dalam otak? Pohon apa itu?” kata mbah Karto Dengkek, pada suatu hari, mengomentari ceritanya Maruto.

“Pohonya tinggi dan berdaun lebat, Mbah.”

“Wo, kalau tidak pohon gayam, mahoni, trembesi, pasti beringin?”
“Saya tidak tahu, Mbah.”

“Wah, yaitu. Kamu harus tahu. Kalau tidak tahu lupakan saja,” kata Mbah Karto Dengkek.

“Jadi sampeyan juga tidak mengerti arti mimpi saya itu, Mbah?”
“Kembangnya tidur,” jawab Mbah Karto Dengkek, singkat.

Habis sudah! Orang satu-satunya yang dianggap mau menerima pengaduannya juga tidak mempercayainya. Malah menertawakan. Padahal, Maruto dulu corongnya Mbah Karto Dengkek, untuk menjadi lurah. Tetapi kini ia seakan telah melupakan jerih payah Maruto.

Tragisnya, kini mimpinya itu menjadi bahan tertawaan bagi siapa saja yang diceritai.Tetapi, tertawanya orang lain itu justru membuatnya semakin ingin tahu jawaban mimpinya yang semakin hari, semakin meneror hidupnya.

Tak seorangpun terlewatkan untuk diceritai. Saban hari ia keliling kampung menceritakan mimpinya. Pekerjaannya terbengkelai. Rumahtangganya tak terurus. Tetangganya menganggap ia tidak waras.

“Ya, biar saja. Mau ngomong apa mereka itu. Mereka toh tidak nambeli. Mereka tidak merasakan penderitaan saya. Bisanya hanya menertawakan penderitaan orang lain,” gerutu Maruto getir.

“Kalau begitu, jangan ngomel-ngomel lagi soal mimpi itu,” sergah Murtini kesal.
“Mereka keterlaluan. Apa jeleknya saya mengeluh?”
“Itu kan hanya mimpi to, Kang.”

“Tidak! Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Dan mungkin juga dalam otakmu!” sahut Maruto.

“Kayal! Wis embuh Kang, saya tidak tahu. Pusing!”
* * *

Suatu malam, di tengah makam. Maruto duduk termenung di dekat pusara bapak dan ibunya. Ia berharap malam itu bisa bertemu dengannya. Ia ingin mengadu tentang mimpinya itu. Maruto mendekap pusara bapaknya. Tangannya memukul-mukul tanah. Tangisnya tersedu-sedu seperti ketika masih kecil. Wajahnya dibenamkan ke tanah, seperti nasibnya yang terpuruk.

Tetapi, sampai jauh malam bapaknya tak menampakan diri. Ia beralih mendekap pusara ibunya, kemudian memukul-mukulnya. Diam. Hanya suara gelepar kelelawar dan gemersik daun kamboja yang mengusik keheningan. Maruto sesengukan. Sedih.

“Siapa itu!” hardik seseorang dari kegelapan. Cahaya senter menancap di wajah Maruto. “Mau mencuri mayat, ya?” lanjut seseorang dari kegelapan.

“Ini kuburan Bapak, Ibuku.”
“Mau apa?” Maruto tidak menjawab. Ia ragu-ragu. Apakah seseorang tanpa wajah itu percaya dengan omongannya?

“Saya ingin mengadu,” kata Maruto tersendat-sendat.
“Kamu itu sudah gila, ya!” Maruto terperanjat. Makian terburuk kembali menghantam dadanya. “Orang sudah mati kok dijadikan tempat mengadu. Ayo pulang! Dasar sinting!” hardik seseorang tanpa wajah itu.

Bulan sabit, mengiris-iris hati Maruto. Kunang-kunang menghantarkannya menelusuri gelap. Burung hantu mengikuti dengan tatapan mata kosong. Maruto teringat akan petuah bapaknya, “Hidup itu seperti berjalan dalam gelap. Dan dalam gelap itu ada jalan yang terang benderang yaitu kepasrahan.” Maruto tidak mengerti apakah ia telah menemukan jalan terang itu? Yang jelas ia kini terus menyusuri jalan yang benar-benar gelap. Ia berjalan tanpa arah, seperti pikirannya yang tidak karuan jluntrungnya. Ia tidak ingin kembali kerumahnya. Ia terus mencari orang yang mau menerima pengaduannya.
***

“Hanya orang gila yang meninggalkan istrinya, berminggu-minggu tanpa pamit,” omel Murtini, suatu siang. “Terus maunya itu, apa? Apa kalau mimpinya sudah terjawab, akan berubah hidupnya. Malah tambah kere begini. Mimpi kok aneh-aneh. Setiap malam berteriak-teriak. Setiap hari yang diceritakan hanya mimpinya. Pohon keramat, minta korban, tumbuh dalam otak. Khayal! Begitu kok tidak mau dikatakan gila. To, Maruto. Hidup kok sibuk ngurusi mimpi!” keluh Murtini, sampai napasnya tersengal-sengal menahan marah.

Akhirnya Murtini diam sendiri. Percuma, toh suaminya tak mendengarnya. Tetapi nyatanya umpatan itu telah mendarah daging. Saban hari, tanpa ia sadari, ia ngomel sendiri tidak karuan di depan rumahnya. Kalau sudah begitu, tetangganya pada bergerombol, sambil berbisik-bisik, “Murtini, gila.” Dan bisikan itu menyebar bagai angin. Semua orang akhirnya tahu Murtini memang benar-benar gila.

“To, To…apa kamu sudah modar! Nyangar istri berbulan-bulan tidak pernah memberi nafkah, membiarkan aku hidup menderita begitu. Suami gila, gendheng, edan! Awas kalau ketemu, akan aku bunuh kamu.” Dengan menghunus parang Murtini meninggalkan rumahnya. Matanya nyalang, menelusuri sudut-sudut kota, mencari suaminya.
***

Di sudut lorong kota, di bawah bangunan bobrok, Maruto berjalan tertatih-tatih. Wajahnya layu, mulutnya penuh busa, badanya lungrah, tak berdaya menahan kantuk. Setiap malam Maruto mengunjungi teman-temannya di seluruh pelosok kota. Ia menceritakan semua mimpi-mimpinya. Bahkan ia juga masuk ke panti-panti werda, rumah sakit, pos ronda, discotik, rumah bordil, kos mahasiswa, kasino, rumah pelukis, penyair, semua tak ketinggalan. Ia berharap, semua akan meringankan beban penderitaannya itu. Tetapi, yang didapat, makian, dampratan, usiran, dan senyum sinis dari mereka.

“Bajingan semua manusia itu,“ keluhnya. Kemudian ia pun kembali ngomel lagi, seperti orang kesurupan.

“Kenapa lihat-lihat?” hardik Maruto, pada seorang perempuan yang memandanginya. Perempuan itu membawa parang. “Ada yang lucu, ya?” kata Maruto lagi.

“Mukamu masam seperti kentut!” seru perempuan pembawa parang itu, sambil tertawa cekikikan. Maruto, hampir meradang. Tetapi kemudian ia juga tertawa.

“Ya, ya, sekarang aku tahu jawabannya, kenapa mereka tak mau menerimaku. Ternyata mukaku kayak kentut!” kata Maruto sambil terkekeh-kekeh.

“Tetapi, kamu tahu kenapa mukaku kayak kentut?” tanya Maruto, sesaat setelah mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kota. Tak ada jawaban. “Karena selama bertahun-tahun aku tak bisa berak dan kentut. Semua orang yang tak kentuti pada lari, karena kentutku memang mematikan,” kata Maruto sambil cengar-cengir.

“Ngomong-ngomong kenapa kamu membawa parang kemana-mana?” tanya Maruto tiba-tiba. Perempuan itu tiba-tiba berhenti. Ia bersandar ketembok yang penuh lumut. “Aku ingin membabat pohon!” jawabnya geram.

“Pohon?” tanya Maruto, seperti orang linglung. “Tetapi parangmu tak cukup tajam untuk membabatnya.”
“Pohonya, tidak terlalu besar kok. Ia kecil seperti kamu,” jawab perempuan.
“Seperti aku?”
“Ia, lelaki yang tidak bertanggung jawab!” keluh perempuan.

Mereka terus berjalan, menelusuri kota yang mendekati senja. Kota yang hiruk pikuk itu, tak mengerti keluh kesah mereka. Mereka berjalan seperti di lembah sunyi. Sunyi sekali.

“Hai, maukah kamu mendengarkan sesuatu dariku?”
“Apa itu?” tanya perempuan pembawa parang.
“Cerita indah tentang pohon. Ya, mungkin pohon yang ingin kamu tebang itu. Tapi sebenarnya bila saya mampu saya hendak menebangnya sendiri. Tetapi tak kuasa.”
“Ceritakanlah.”

Lelaki itu kemudian bercerita. Ia bercerita tentang pohon. Ceritanya panjang sekali. Walaupun aneh dan tidak bisa dinalar, perempuan pembawa parang itu mendengarkannya dengan tulus. Ia mendengarkan dengan sorot mata yang tak pernah berkedip. Maruto bercerita dengan emosi yang meluap-luap. Segala keluh kesahnya tumpah ruah. Cerita itu seperti tidak akan ada habisnya.

Maruto bercerita dari senja ke senja. Cerita itu bagaikan berbingkai-bingkai. Ini hukuman terberat yang harus diembannya. Sementara istrinya tak pernah mengerti bahwa dibalik mimpi-mimpinya itu adalah keniscayaan hidup yang terus dikuntit ketakutan-ketakutan. Sementara orang-orang yang dulu disubya-subya untuk menjadi wakilnya, kini malah menyingkangnya, bahkan terkadang juga mengancamnya. Kesetian tak berharaga sama sekali. Kerendahan hati dan ketulusan Maruto untuk menjadi simpatisan partai Beringin yang menyebabkan mbah Karto Dengkek menjadi lurah hampir seumur hidup, hanya dihargai puluhan ribu dan dua kaos atau terkadang supermi.

Sayang istrinya tak mengerti, di balik gerumbul pohon-pohon itu ada ratusan pencoleng yang siap menerkam gubuk-gubuk yang tak bernomer rumah itu. Kalau saja istrinya mau mendengar, ia tidak akan melakoni hidup pontang-panting. Namun Maruto sadar, jangankan istrinya, semua orang yang dikeluh kesahi pun tak akan percaya. Meski demikian, Maruto tetap tak ingin hidupnya terus dikuntit oleh maut.

“Kamu satu-satunya orang terakhir yang mau mendengar keluh kesahku tentang pohon-pohon bermayat yang terus meneror hidupku, “ kata lelaki itu. “Cerita itu tidak pernah bisa berakhir. Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Tampaknya kamulah orang yang bisa mengakhirinya,” lanjut lelaki itu.

Perempuan pembawa parang hanya diam. Kesunyian menyisakan degup jantung yang semakin keras. Sementara dikejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu lampion dari sebuah gedung negara. Perempuan itu bertanya-tanya, mengapa semua orang memasang lampu begitu terang benderang, sementara hidupnya sediri muram, bagai lampu kehabisan minyak? Perempuan itu juga bertanya-tanya, siapa lelaki di sampingnya yang telah tulus, telah menceritakan panjang lebar seluruh kemuramannya sehingga hatinya menjadi lega, berpancaran, bagai lampu-lampu neon jauh di seberang sana. Mengapa cerita itu persis dengan yang ia alami?

Perempuan itu hanya tersenyum kecut. Ia tidak menyadari telah melakukan perjalanan jauh menelusuri jalan-jalan terjal dalam hidupnya. Ia sadar cerita yang panjang itu, cerita yang menakutakan itu adalah cerita tentang hidupnya sendiri. Perempuan itu tak bisa memejamkan mata. Ia tak ingin ketakuatanya berkepanjangan. Ia ingin mengakhiri cerita itu.

“Tahukah kamu akhir dari cerita ini?” tanya Maruto seteleh keheningan memuncak di ubun-ubun.
“Menebang pohon itu,” jawab perempuan pembawa parang itu tegas.

“Tepat sekali. Kamu telah menemukan pohon yang akan kamu tebang. Lakukanlah!” Tanpa disadarinya perempuan pembawa parang itu telah menghunuskan parangnya. Ia bersiap membabat pohon dalam kepala Maruto. Desah napasnya begitu memburu. Ia melihat Maruto begitu pasrah. Ia mengacungkan parang sambil memejamkan mata. Ia teringat lelaki yang tak pernah berhenti mengeluh tentang pohon-pohon bermayat. Tetapi keputusannya harus segera mengakhiri penderitaannya. “Creeees!”

Malam gelap sekali. Dalam gelap itu terbentang jalan terang. Disana bapak dan ibu Maruto melambai-lambaikan tangannya. Maruto segera berlari dan memeluk erat orang tuanya. Sedetik kemudian, ia melihat sekelingnya gelap. Gelap sekali. Tidak ada cahaya. **

Surabaya, 2001

31/12/08

Masa Depan Teater Jawa Timur

Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/

Bicara problematik teater di Jawa Timur atau bahkan di Indonesia, kalau mau kita sederhanakan, sejak jaman Usmar Ismail dengan Sandirwara Mayanya, adalah hampir memiliki kesemaan. Sejak jaman Usmar Ismail sampai generasi teater Indonesia terkini teater masih bernasib sama, diperjuangkan sampai tetes darah terakhir.

Cerita tentang jual-menjual harta benda untuk sebuah pementasan terjadi sejak jaman itu, hingga sekarang. Ekonomi dan infrastruktur yang minim juga masih berlangsung hingga saat ini. Teater dijauhi penonton juga terjadi turun temurun. Teater termarjinalkan juga seperti kutukan, hinggap dalam tubuh teater hingga saat ini pula.

Memang berbicara teater selalu menyulut kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan. Tetapi di balik kemuraman itu juga tersimpan harapan dan impian yang coba terus disusun meski kemudian runtuh lagi, persis seperti Sisipus. Teater masih tumbuh pada wilayah-wilayah lokal yang sempit di antara para individu yang saling kenal, meski kalau diibaratkan patah tumbuh hilang berganti.

Selama rentang 365 hari ini, apa yangg terjadi dengan teater di Jawa Timur? Kalau kita jujur, selama setahun ini tidak ada yang patut kita catat, meski ada letupan-letupan kecil, tapi itu hanya peristiwa yang muncul sesaat dalam lingkaran area kecil.

Letupan-letupan kecil itu seperti, beberapa performing art Ilham J Badai di berbagai forum, Pesta Pencuri garapan Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya, Percakapan Dari Dalam Kulkas sanggar Lentera STKIP Sumenep, Nyai Ontosoroh teater Institut Unesa, Satu Malam 3 Cerita Teater Nol Surabaya, Monumen-Monumen komunitas Jadul Surabaya, dan beberapa letupan lainnya. Namun letupan itu hanya berlalu begitu saja, kemudian sunyi.

Selebihnya kita kemudian berganti menyaksikan segala peristiwa keseharian yang ternyata lebih mengoyak kesadaran dan emosi kita. Kisah tentang lumpur Lapindo, pabrik narkotika, bencana alam, kriminalitas, korupsi, carut marut politik, lebih memiliki kekuatan dramaturgi dengan adegan-adegan yang lebih teatrikal.

Disaat seperti itu, teater (kita) hanya mampu berdiri di pojok panggung besar kehidupan ini sembari merasa sedih karena hampir potensi dalam dirinya ‘dimanfaatkan’ pihak lain. Lahan teater semakin menyempit, karena telah kehilangan momentum. Teater menjadi gagap menilai tanda bahkan gagap mengidentifikasi dirinya. Akibatnya ia merasa menjadi makluk yang terasing dalam pranata sosial dan budaya. Padahal sejak jaman bahula, teater hidup dalam pranata itu.

Karena itu (mungkin benar) tengara Radhar Paca Dahana bahwa dalam dekade terakhir teater mengalami stagnasi. Artinya, selama dekade terakhir ini pekerja teater tidak mampu memperlihatkan diri sebagai entitas yang kukuh. Sebenarnya, seratus tahun perjalanan teater (modern) adalah modal sejarah dan modal budaya yang pantas dimanfaatkan untuk menempatkan teater dalam posisi kultural yang lebih baik
Tanpa menafikan beberapa pencapaian sporadis, dalam dekade belakangan ini, pada umumnya teater maupun teaterawan, terasa inferior ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga lain di luar dirinya. Teater menjadi lembaga yang klepto. Teater perlu seni rupa. Teater perlu tari. Teater perlu film. Teater perlu musik. Teater perlu pencanggihan estetika pertunjukan yang sekaligus merayakan pembunuhan aktor-aktornya.

Teater menjadi semacam subordinasi. Padahal sejak jaman bahula, teater merupakan entitas budaya yang melebur dalam kehidupan masyarakat. Karenanya teater tidak saja sebuah pertunjukan, tetapi bagian dari ritual, bahkan baian dari pandangan hidup tersendiri. Namun di tengah kebudayaan modern (baca : barat), teater menjadi subordinasi kebudayaan, bahkan semakin menyempit menjadi subordinasi seni.

Padahal seperti diungkapkan Jakob Sumardjo bahwa teater Indonesia telah ada ribuan tahun yang lalu. Dengan berbagai upacara yang menjadi ikon masyarakat, secara tidak langsung, teater telah menjadi bagian dari proses kehidupan masyarakat kita. Upacara-upacara yang digelar masyarakat kita, percakapan-percakapan soal hidup, soal cinta, telah masuk menjadi bagian dari ritus teater kita.

Memahami problim saat ini sebenarnya kita tengah membaca masa depan teater kita. Nasib teater di Jawa Timur ke depan, tergantung dari cara kita mengolah persoalan yang terjadi saat ini.

Letupan-letupan kecil yang terjadi dalam komunitas-komunitas mungkin akan menjadi amunisi yang dahsyat ledakannya, jika mampu kita kelola secara bersama-sama. Sementara ini, masing-masing masih terksesan berjalan sendiri-sendiri, sehingga upaya- menjadikan teater sebagai proses budaya secara utuh sulit tercapai.

Berteater memang berbeda dengan berseni rupa atau bersastra. Teater membutuhkan ikatan komunal. Berteater tidak bisa bekerja sendiri, meski harus diakui di dalam ikatan komunal itu ada stake holder yang menonjol, sebagai penggerak.

Karena itu, saya sepakat pada Goenawan Mohamad, saat deklarasi Federasi Teater Indonesia di Jakarta tahun 2004 lalu, agar aktivis teater membentuk semacam ‘gilda’ atau kelompok kerja menurut bidang masing-masing. Pembentukan gilda ini, sebagai tempat tukar pikiran para pekerja teater. Gilda-gilda juga berfungsi untuk tukar pengalaman dan memberikan masukan ke beberapa lembaga teater.

Pembentukan kelompok kerja ini, agar semua aktivis teater bisa tertampung. Karena tidak semua orang punya bakat main teater, tetapi mungkin ia punya bakat di organisasi. Inilah perlunya menampung semua orang yang punya minat di dunia teater.

Namun apakah ide itu efektif atau tidak, sebernanya bergantung dari upaya pekerja teater untuk melakukan perubahan. Sejauh ini saya melihat kelemahan teater (di Jawa Timur) terletak pada kerja kolektifnya yang sering saya sebut ‘civitas akademika teater’ yang terdiri dari pekerja teater, kritikus teater, dramaturg, media massa, dan penonton.

*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita