Rakhmat Giryadi
Sungguh luar biasa, kota sebesar Surabaya tidak punya gedung kesenian
(gedung pertunjukan dan ruang pamer)? Sebagai pusat pemerintahan provinsi
sungguh aneh kalau Surabaya tidak punya gedung kesenian. Lalu di mana tempat
ekspresi masyarakat dan seniman digelar? Kemana kita akan menggelar konser
musik dengan akustik gedung yang memadai? Kemana kita menemukan tempat
pertunjukan ludruk modern? Kemana kita bisa menggelar pameran seni rupa? Tidak
ada?
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Rakhmat Giryadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rakhmat Giryadi. Tampilkan semua postingan
15/07/21
24/12/12
Problematik Teater Remaja (SMA)
(Dialog Jambore Teater Remaja 2008) Pendopo TBJT, 2 Agustus 2008
Pemateri : Eko ‘Ompong’ Santoso (Yogjakarta) AGS Arya Dwipayana (Jakarta).
Pemandu : R Giryadi (Surabaya)
http://teaterapakah.blogspot.com/
Kendala Aktualisasi
Kendala utama yang banyak ditanyakan dalam forum dialog oleh para peserta Jambore Teater Remaja 2008, adalah sulitnya mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri ini disebabkan kesalahan persepsi orang tua terhadap kegiatan teater. Rata-rata orang tua menganggap kegiatan teater tidak bermanfaat.
Pemateri : Eko ‘Ompong’ Santoso (Yogjakarta) AGS Arya Dwipayana (Jakarta).
Pemandu : R Giryadi (Surabaya)
http://teaterapakah.blogspot.com/
Kendala Aktualisasi
Kendala utama yang banyak ditanyakan dalam forum dialog oleh para peserta Jambore Teater Remaja 2008, adalah sulitnya mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri ini disebabkan kesalahan persepsi orang tua terhadap kegiatan teater. Rata-rata orang tua menganggap kegiatan teater tidak bermanfaat.
11/09/10
Politik Citraan
Rakhmat Giryadi
http://kamarbudaya.wordpress.com/
Siapa yang tidak kagum dengan artis cantik nan anggun, Zaskia Adya Mecca? Kecantikannya bertambah lengkap dengan jilbab yang dikenakannya. Dia salah satunya bintang sinetron yang masih remaja membaiat dirinya untuk berbusana muslim. Maka dalam waktu singkat citra yang diinginkan Zaskia disambut positif oleh pemirsa TV.
Namun akhir-akhir ini public terhenyak, ketika di internet beredar foto-foto Zaskia yang dikenal santun itu, sedang merokok dengan kaki medingkrang di kursi. Sungguh gambaran yang tak terkirakan di benak penggemar yang sudah terkadung mengagumi Zaskia terutama lewat perannya di sinetron religius Kiamat Sudah Dekat. Ini bukan adegan dalam sinetron, tapi justru dilakukan di sela-sela syuting sinetron Munajat Cinta.
Berkat perannya di sejumlah tayangan bernuansa religi itu, para pemirsa dan pengagum mengenal Zaskia sebagai sosok perempuan salehah. Penilaian itu wajar ketika kita menghubungkan dengan perannya di “Kiamat Sudah Dekat” sebagai “Sarah” yang pandai mengaji. Para fans pun tentunya menduga dan berharap bahwa apa yang diperankan idolanya dalam sinetron sejalan dengan perilaku kesehariannya.
Kabar miring Zaskia itu akan mengejutkan siapa saja yang selama ini mengenalnya lewat layar kaca. Anda barangkali akan bilang, Zaskia ternyata tak ubahnya sejumlah selebritis lain yang manis di depan kamera tapi perilakunya liar ketika di luar tuntutan perannya. Lepas dari kesahihan gosip infotainment dan gambar yang beredar di internet, masyarakat tak perlu memberikan reaksi yang berlebihan.
Dalam dunia peran, siapapun bisa menjadi apa yang diinginkan oleh sang sutradara. Dan kebetulan saja Zaskia dianggap lebih pas, atau dalam istilah pasar lebih marketable, untuk memerankan sosok muslimah yang salehah. Di luar itu, Zaskia punya otoritas penuh untuk menjalani kehidupannya sendiri.
Ini kehebatan media yang mampu membangun citra seorang menjadi citra yang lain. Karena itu, media (TV) menjadi alat yang paling efektif untuk menyebarkanvirus citra. Lihat saja, para politikus kita tiba-tiba bak bintang iklan. Hal itu dilakukan demi membangun citra. Sebusuk apapun kepribadian politikus, di televisi, citra seseorang bisa dikemas menjadi manis, semanis janji-janji yang dikampanyekan.
Politik pencitraan ini sejalan dengan masyarakat yang sangat gandrung dengan citra. Padahal citra itu bukan esensi, meski citra itu kata kaum eksistensialis mendahului esensi, namun citra bukanlan sesuatu yang ‘nyata.’ Dia hanya kulit. Bagi mereka yang mempercayaai citraan, maka sebenarnya mereka hanya mendapatkan kulitnya. Sementara isinya dibuang.
Kehebatan para selebriti kita, para politikus kita, para pejabat kita, para calon gubernur kita, menggunakan politik citraan ini untuk mengelabuhi masyarakat. Masyarakat yang tidak mengenal beda isi dan kulit. Ini persis ketika orang Barat (atau bahkan kita sendiri) memahami Islam. Bahwa orang yang bersorban putih, membawa tasbih, membawa bendera dengan tulisan Arab, adalah orang Islam.
Sikap kita yang mencurigai setiap orang yang berjubah, dan juga negara barat yang demam terhadap Islam, sebagai akibat cara pandang yang menempatkan simbol dan atribut di atas perilaku orang perorangnya. Yang kita pandang adalah jubahnya, yang membuat demam adalah orang islam yang melakukan kekerasan. Padahal jubah itu putih, belum tentu Islam. dan Islam tidak identik dengan jubah putih apalagi kekerasan.
Penyakit pencintraan telah menghinggapi seluruh segi kehidupan. Agama dicitrakan. Politik dicitrakan. Ekonomi dicitrakan. Hukum dicitrakan. Seks dicitrakan. Kita hidup di negeri citra. Hidup yang hanya seolah-olah.
Pembangunan citra bagi seorang aktris atau siapa saja itu penting. Ia menjadi semacam bumbu penglaris untuk menguatkan image yang diperankan. Sebagian masyarakat kita tampaknya tak menyadari hal itu. Mereka berharap banyak bahwa sang idola yang mereka kenal lewat layar kaca demikian adanya dalam dunia keseharian.
Ekspektasi para fans terhadap idolanya akhirnya berujung dengan kekecewaan ketika mereka mengetahui jika sang idola cuma tampil manis di layar kaca, tapi tidak demikian halnya dalam dunia nyata.
Hal itu tidak berbeda jauh dengan calon gubernur kita. Jangan jangan hanya manis dimuka, dibelakang kita digerogoti. Karena itu berhati-hatilah dengan politik pencitraan. ‘Hidup Adalah Pencitraan?’ Prek!
September 9, 2008
http://kamarbudaya.wordpress.com/
Siapa yang tidak kagum dengan artis cantik nan anggun, Zaskia Adya Mecca? Kecantikannya bertambah lengkap dengan jilbab yang dikenakannya. Dia salah satunya bintang sinetron yang masih remaja membaiat dirinya untuk berbusana muslim. Maka dalam waktu singkat citra yang diinginkan Zaskia disambut positif oleh pemirsa TV.
Namun akhir-akhir ini public terhenyak, ketika di internet beredar foto-foto Zaskia yang dikenal santun itu, sedang merokok dengan kaki medingkrang di kursi. Sungguh gambaran yang tak terkirakan di benak penggemar yang sudah terkadung mengagumi Zaskia terutama lewat perannya di sinetron religius Kiamat Sudah Dekat. Ini bukan adegan dalam sinetron, tapi justru dilakukan di sela-sela syuting sinetron Munajat Cinta.
Berkat perannya di sejumlah tayangan bernuansa religi itu, para pemirsa dan pengagum mengenal Zaskia sebagai sosok perempuan salehah. Penilaian itu wajar ketika kita menghubungkan dengan perannya di “Kiamat Sudah Dekat” sebagai “Sarah” yang pandai mengaji. Para fans pun tentunya menduga dan berharap bahwa apa yang diperankan idolanya dalam sinetron sejalan dengan perilaku kesehariannya.
Kabar miring Zaskia itu akan mengejutkan siapa saja yang selama ini mengenalnya lewat layar kaca. Anda barangkali akan bilang, Zaskia ternyata tak ubahnya sejumlah selebritis lain yang manis di depan kamera tapi perilakunya liar ketika di luar tuntutan perannya. Lepas dari kesahihan gosip infotainment dan gambar yang beredar di internet, masyarakat tak perlu memberikan reaksi yang berlebihan.
Dalam dunia peran, siapapun bisa menjadi apa yang diinginkan oleh sang sutradara. Dan kebetulan saja Zaskia dianggap lebih pas, atau dalam istilah pasar lebih marketable, untuk memerankan sosok muslimah yang salehah. Di luar itu, Zaskia punya otoritas penuh untuk menjalani kehidupannya sendiri.
Ini kehebatan media yang mampu membangun citra seorang menjadi citra yang lain. Karena itu, media (TV) menjadi alat yang paling efektif untuk menyebarkanvirus citra. Lihat saja, para politikus kita tiba-tiba bak bintang iklan. Hal itu dilakukan demi membangun citra. Sebusuk apapun kepribadian politikus, di televisi, citra seseorang bisa dikemas menjadi manis, semanis janji-janji yang dikampanyekan.
Politik pencitraan ini sejalan dengan masyarakat yang sangat gandrung dengan citra. Padahal citra itu bukan esensi, meski citra itu kata kaum eksistensialis mendahului esensi, namun citra bukanlan sesuatu yang ‘nyata.’ Dia hanya kulit. Bagi mereka yang mempercayaai citraan, maka sebenarnya mereka hanya mendapatkan kulitnya. Sementara isinya dibuang.
Kehebatan para selebriti kita, para politikus kita, para pejabat kita, para calon gubernur kita, menggunakan politik citraan ini untuk mengelabuhi masyarakat. Masyarakat yang tidak mengenal beda isi dan kulit. Ini persis ketika orang Barat (atau bahkan kita sendiri) memahami Islam. Bahwa orang yang bersorban putih, membawa tasbih, membawa bendera dengan tulisan Arab, adalah orang Islam.
Sikap kita yang mencurigai setiap orang yang berjubah, dan juga negara barat yang demam terhadap Islam, sebagai akibat cara pandang yang menempatkan simbol dan atribut di atas perilaku orang perorangnya. Yang kita pandang adalah jubahnya, yang membuat demam adalah orang islam yang melakukan kekerasan. Padahal jubah itu putih, belum tentu Islam. dan Islam tidak identik dengan jubah putih apalagi kekerasan.
Penyakit pencintraan telah menghinggapi seluruh segi kehidupan. Agama dicitrakan. Politik dicitrakan. Ekonomi dicitrakan. Hukum dicitrakan. Seks dicitrakan. Kita hidup di negeri citra. Hidup yang hanya seolah-olah.
Pembangunan citra bagi seorang aktris atau siapa saja itu penting. Ia menjadi semacam bumbu penglaris untuk menguatkan image yang diperankan. Sebagian masyarakat kita tampaknya tak menyadari hal itu. Mereka berharap banyak bahwa sang idola yang mereka kenal lewat layar kaca demikian adanya dalam dunia keseharian.
Ekspektasi para fans terhadap idolanya akhirnya berujung dengan kekecewaan ketika mereka mengetahui jika sang idola cuma tampil manis di layar kaca, tapi tidak demikian halnya dalam dunia nyata.
Hal itu tidak berbeda jauh dengan calon gubernur kita. Jangan jangan hanya manis dimuka, dibelakang kita digerogoti. Karena itu berhati-hatilah dengan politik pencitraan. ‘Hidup Adalah Pencitraan?’ Prek!
September 9, 2008
05/07/10
Nyonya Gondo Mayit
Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Ketika dinyatakan tidak jadi mati, Nyonya Sugondo seperti manusia setengah mayat. Orang-orang kampung sering memelesetkan dengan Nyonya Gondo Mayit, artinya bau mayat. Namanya sendiri sebenarnya Satemi. Sugondo adalah nama suaminya yang telah meninggal dunia.
Setiap hari pekerjaannya hanya duduk di kursi sampai senja menjemput. Ketika langit tampak merona merah, Nyonya –dimikian ia terbiasa dipanggil dalam keluarga besar Sugondo- telah siap dengan dandanannya. Ketika Lastri pembantunya yang telah bertahun-tahun merawatnya, mengajak ke kamar, Nyonya melambaikan tangan pada senja yang meredup.
Nyonya Sugondo, atau tepatnya Nyonya Satemi Sugondo, sejak empat tahun yang lalu sebenarnya sudah mati. Ia sudah mati ketika suaminya, Sugondo, meninggal bersama selesainya karir politik yang disandangnya selama berkuasa, karena serangan bertubi-tubi dari lawan-lawannya. Nyonya Sugondo sebenarnya sudah mati, ketika jasad sang suami dikubur di pemakaman tempat kelahirannya. Sementara anak-anaknya hanya mengirim ucapan bela sungkawa, hanya lewat telepon. Kemudian dengan suara sedih, mereka menyatakan tidak bisa menghadiri pemakaman bapaknya, karena sedang ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Hanya itu.
Sejak saat itu, ketika terompah penjaga kubur berderapan, sebenarnya Nyonya Sugondo sudah benar-benar mati. Tetapi entah mengapa, Tuhan masih menginjinkannya untuk hidup, meski separuh tubuhnya sudah membusuk. Dokter yang telah merawatnya satu bulan lebih, sudah angkat tangan. Tetapi kemudian, seperti mendapat bisikan Tuhan, dokter yang berkulit putih itu, menyatakan, Nyonya sembuh dari segala penyakit yang dideritanya.
“Saya akan dibawa kemana? Saya bosan tinggal di rumah seperti kuburan ini!” seru Nyonya. Lastri tidak menjawab. Ia segera menyiapkan makanan untuk Nyonya.
“Lastri kamu tahu tidak, ini bukan rumah kita. Besok pagi-pagi antarkan aku ke Jl. Musirin! Aku tidak mau makan, kalau tidak kamu antarkan!”
“Lo, ini jalan Musirin, Nyah…!”
“Bukan begitu, lo. Jalan Musirin itu, rumahnya besar, ramai dengan anak-anak. Ini sepi begitu. Yang ada cuman setan!” sahut Nyonya.
“Setan-setan gundhul….” ledek Lastri.
“Gundhulmu atos itu. Setannya kamu itu!” Lastri berlalu sambil membawa sisa makanan, sekeranjang obat dan beberapa butir obat penenang..
Suami Nyonya empat tahun lalu meninggal dunia mendadak. Tanpa diduga ia terlibat korupsi secara ‘berjamaah’. Begitulah kata orang-orang. Konon, Sugondo tidak tahu menahu, karena dia hanya terima uang saja. Namun ternyata uang yang dikira bonus dari rekanan itu, ternyata hasil penggelapan dana pembangunan dan pajak. Sugondo tidak bisa mengelak.
Waktu itu, usai menonton Berita Malam, Sugondo tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat di dada kirinya. Nyonya tidak menyadari, kalau malaikat maut sedang menjemput suaminya. Meski suaminya sekarat, Nyonya asik memindah cenel televisi. Ketika Nyonya mendapatkan acara kesukaannya, tiba-tiba suaminya mengerang kesakitan. Sepontan Nyonya berteriak memanggil Lastri.
Sugondo dilarikan ke dokter terdekat. Sayang rumah dokter itu gelap gulita. Lastri menggedor-gedor pintu, ketika napas tuanya semakin megap-megap. Sedetik atau dua detik tak ada jawaban. Namun, tiba-tiba jendela sebesar kepala terbuka. Dari dalam terlihat wajah tanpa dosa dengan rambut tak teratur. “Sudah malam, besok saja!” dokter berkacamata tebal itu menutup jendela.
Lastri pantang menyerah. Ia menggedor pintu lebih keras, dan bicara amat cepat. Dokter baru membukakan pintu ketika Sugondo terkulai tak berdaya dan hampir jatuh ke tanah. Lastri menyeretnya begitu saja. Begitu dibaringkan Nyonya berteriak histeris, karena ia tahu, suaminya telah tiada.
Dokter yang hanya memakai celana kolor itu, berusaha membuat napas buatan. Sayang tangan malaikat maut begitu terampil. Tanpa menunggu waktu karir politik Sugondo yang semakin gemilang itu berhenti seketika. Begitu juga harapan-harapan Nyonya Sugondo untuk bisa berumah seperti Nyonya Suprapto yang kini suaminya berhasil menjadi wakil bupati, terjungkal ke lubang gelap tak berdasar. Sejak saat itu Nyonya memang seperti kehilangan kendali. Hidupnya hanya tinggal menunggu mati.
“Kopi Bapakmu mana?” tanya Nyonya.
“Tidak punya kopi, Nyah.”
“Kalau habis ya beli. Masak, tidak tahu kalau kesukaan Bapak kopi?” sahut Nyonya.
“Tapi..Bap…”
“Tidak usah tapi-tapian. Pergi sana dan buatkan kopi segera. Ia nanti marah!” sergah Nyonya.
Lastri segera beranjak. Nyonya diam dengan napas tersengal-sengal. Dari mulutnya keluar kata-kata yang tak sedap didengar. Ia memang suka sekali marah. Kalau marah perangainya jelek sekali. Meski tampak lemah, kalau berteriak seperti harimau kelaparan. Ia sering marah dengan kemarahan yang meledak-ledak. Bila tak segera dituruti maka ledakan itu berubah menjadi kemarahan yang merusakan.
Sejak kelakuan berubah seperti itu, anak-anaknya tak pernah menjenguk. Tidak tahu mengapa mereka tidak mau menjenguk? Apa karena kemarahan yang membikin telinga merah? Atau kerena kesibukan? Memang sejak penyakit itu berubah menjadi kemarahan, anak-anaknya memilih merantau. Maka perempuan yang malang itu, sendirian menungu sepi.
Kalau ingin bertemu Nyonya, anak-anaknya hanya telpon. Atau kalau Nyonya kangen, mereka hanya mengirim poto-poto terbaru mereka. Meskipun mereka sering telpon, sebenarnya Nyonya tak pernah menerimanya. Lastri lebih sering menerima, dan menggantikan peran Nyonya. Dari dialah semua keadaan Nyonya disampaikan. Jarang sekali, Nyonya berbicara di telpon dengan anak-anaknya. Begitu juga ketika kiriman foto-foto lucu, cucu-cucunya mata tuanya sudah tak bisa lagi mengenali siapa yang dilihatnya, Lastrilah yang menerangkan. Bahwa ini Mas Tono yang kerja di Medan, ini Mbak Rika yang kerja di Brunei, ini Dik Dina yang kerja di Arab, dan Ini Dik Urip yang kerja di Hongkong. Semua diterangkan dengan detail.
Semua yang dilakukan anak-anaknya bagai orang mengirim bunga setaman di pekuburan. Itu dilakukan hampir setiap bulan sekali. Atau bahkan terkadang tidak sama sekali. Setelah empat tahun itu, mereka hanya lebih suka mengirim surat lewat wesel. Di dalam wesel itu terdapat kata-kata yang tak bisa dibacanya sendiri. Meski kata-kata itu jelas terucap, ‘Anak-anak dirantau sehat. Semoga ibu sehat juga.’ Kata-kata itu tak pernah lupa dan sepertinya kata-kata itulah yang pantas diucapkan bagi anak di perantauan.
Dulu anak-anak Nyonya Sugondo adalah anak-anak yang sangat patuh. Karena bapaknya sendiri adalah orang yang terhormat dilingkungannya. Di rumahnya berlaku hukum ketertiban. Semua anak-anaknya tak ada yang boleh membandel. Sebagai anak pejabat, mereka harus bisa menjadi contoh. Contoh apa saja. Nyonya memang beruntung, keempat anaknya tak ada yang membandel. Bahkan mereka juga sangat menjaga nama baik keluarga.
Tetapi bagi keluarga besar Sugondo itu belum cukup. Untuk menjadi keluarga terhormat harus cukup secara ekonomi. Maka tak ayal lagi, anak-anaknya adalah para pekerja keras yang tak pernah mengenal lelah. Sepanjang siang dan malam mereka bekerja. Setiap hari, Tono yang sekarang bekerja di Medan itu, tak pernah pulang sore. Tono yang bekerja sebagai kontraktor itu, setiap hari kerja lembur. Baru menjelang pagi dia pulang, dan ketika matahari belum separuh jalan, ia terbangun kemudian bergegas pergi.
Begitu juga Mbak Rika, setiap hari pulang usai magrib. Kalau lembur bisa jadi pulang jam sebelas malam. Tak kalah hebat lagi adiknya si Dina, dua hari sekali ia pulang. Perempuan sekretaris sebuah perusahaan besar ini memang sering keluar kota. Lebih gila lagi Urip, setiap minggu ia pulang. Pekerjaannya menuntut demikian. Hampir setiap minggu ia harus pergi ke luar pulau untuk mengantar barang-barang. Ketika mereka sukses dan telah menikah, satu persatu meninggalkan rumah yang dirasakan seperti neraka.
Bahkan setelah berpisah rumah, mereka jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. Ketika bapaknya meninggal, hanya Lastri yang berada di rumah, mengurus ini itu, bahkan sampai menyambut para pejabat yang datang berta’jiah. Sementara anak-anaknya hanya mengucapkan bela sungkawa dari balik gagang telpon, kemudian berjanji akan mengirim bantuan dana untuk selamatan sampai seribu hari.
Melihat kehidupan seperti itu, sebenarnya Nyonya pantas disebut mayat hidup. Betapa tidak, selama ini Nyonya Sugondo memang tak lebih fotokopian suaminya. Ketika suaminya disebut-sebut sebagai pejabat ini-itu, ia tak lupa disebut-sebut sebagai orang yang menyebabkan suaminya menjadi ini-itu. Ketika suaminya berpidato tak pernah lupa menyebut peran istrinya itu. Semua yang dilakukan suaminya pasti pantas dan baik untuk istrinya. Dan hukum itu seperti menemukan kebenarannya. Pernah suatu kali, suaminya tersangkut penggelapan uang negara, dengan sabar dan penuh cinta kasih, Nyonya mendorong mental suaminya, sampai ia dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan.
Itulah peristiwa yang membuat keluarga Sugondo terguncang. Hampir semua publik tidak percaya, orang yang diyakini jujur itu melakukan kejahatan korupsi. Sementara lawan-lawan politiknya terus memojokannya, sampai ke liang lahat.
Perisitiwa itu juga menjadi titik balik karir politik Sugondo. Meski hakim memutuskan Sugondo tidak bersalah, serangan demi serangan tak pernah berhenti. Bahkan sampai dirinya meninggal dunia, khasus itu belum juga tuntas, karena putusan hakim masih perlu ditinjau kembali. Bahkan baru-baru ini, rumah Sugondo dan beberapa kekayaan yang lain ditengarai hasil kejahatan selama menjadi pejabat. Maka rumah itu, perlu disita.
“Kalau misalnya Bapak masih di rumah, pasti saya tidak kesepian seperti ini.” kata Nyonya sambil membaringkan tubuhnya pelan-pelan ke tempat tidur dekat televisi. “Besok kita pulang ya, Las? Ibu kangen betul dengan Bapakmu,” lanjutnya dengan memejamkan mata.
“Iya, Nyah,” jawab Lastri.
***
“Pos! Pos!”
“Kok tumben bukan wesel, Pak?” tanya Lastri.
“Bukan itu surat dari kantor Keadilan,” kata pegawai Pos.
“Apa isinya?”
“Baca sendiri.” Kemudian pegawai Pos yang setiap kali mengantar wesel itu berlalu.
Lastri hendak membacanya, tetapi Nyonya keburu memanggilnya.
“Itu pasti wesel dari anaku?”
Lastri tak bisa menjawab. Ia membuka surat dari kantor Keadilan.
“Apa isinya? Pasti mereka kirim uang banyak. Kalau kirim uang kita bikin nyusul Bapak saja, Las,” kata Nyonya.
Lastri tidak memperhatikan kata-kata Nyonya. Ia mengeja, bunyi surat itu.
“Cepat Lastri katakan apa kata mereka? Berapa yang dikirimkan. Saya sudah kangen betul dengan, Bapak,” kata Nyonya lagi. Lastri tidak mengatakan apa-apa. Ia menyerahkan surat itu kepada Nyonyanya.
“Disita?” kata Nyonya yang kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Lastri berteriak histeris. Kali ini mengundang para tetangga berbondong-bondong datang. Nyonya benar-benar menyusul suaminya. Orang-orang mengantarkannya ke pekuburan dengan gremeng-gremeng, bukan doa, tetapi suara-suara sumbang. “Ia mati karena banyak makan uang rakyat dari suaminya!”
Besoknya, pegawai Pos datang lagi. Kali ini ia tidak berteriak. Ia hanya meletakan ucapan bela sungkawa dari anak Nyonya Sugondo yang dikirim dari seberang. Ia menyandarkan karangan bunga kecil dekat pengumuman yang dipasang oleh petugas kantor Keadilan : ‘Rumah ini disita negara.’
Surabaya, 2006.
http://sastraapakah.blogspot.com/
Ketika dinyatakan tidak jadi mati, Nyonya Sugondo seperti manusia setengah mayat. Orang-orang kampung sering memelesetkan dengan Nyonya Gondo Mayit, artinya bau mayat. Namanya sendiri sebenarnya Satemi. Sugondo adalah nama suaminya yang telah meninggal dunia.
Setiap hari pekerjaannya hanya duduk di kursi sampai senja menjemput. Ketika langit tampak merona merah, Nyonya –dimikian ia terbiasa dipanggil dalam keluarga besar Sugondo- telah siap dengan dandanannya. Ketika Lastri pembantunya yang telah bertahun-tahun merawatnya, mengajak ke kamar, Nyonya melambaikan tangan pada senja yang meredup.
Nyonya Sugondo, atau tepatnya Nyonya Satemi Sugondo, sejak empat tahun yang lalu sebenarnya sudah mati. Ia sudah mati ketika suaminya, Sugondo, meninggal bersama selesainya karir politik yang disandangnya selama berkuasa, karena serangan bertubi-tubi dari lawan-lawannya. Nyonya Sugondo sebenarnya sudah mati, ketika jasad sang suami dikubur di pemakaman tempat kelahirannya. Sementara anak-anaknya hanya mengirim ucapan bela sungkawa, hanya lewat telepon. Kemudian dengan suara sedih, mereka menyatakan tidak bisa menghadiri pemakaman bapaknya, karena sedang ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Hanya itu.
Sejak saat itu, ketika terompah penjaga kubur berderapan, sebenarnya Nyonya Sugondo sudah benar-benar mati. Tetapi entah mengapa, Tuhan masih menginjinkannya untuk hidup, meski separuh tubuhnya sudah membusuk. Dokter yang telah merawatnya satu bulan lebih, sudah angkat tangan. Tetapi kemudian, seperti mendapat bisikan Tuhan, dokter yang berkulit putih itu, menyatakan, Nyonya sembuh dari segala penyakit yang dideritanya.
“Saya akan dibawa kemana? Saya bosan tinggal di rumah seperti kuburan ini!” seru Nyonya. Lastri tidak menjawab. Ia segera menyiapkan makanan untuk Nyonya.
“Lastri kamu tahu tidak, ini bukan rumah kita. Besok pagi-pagi antarkan aku ke Jl. Musirin! Aku tidak mau makan, kalau tidak kamu antarkan!”
“Lo, ini jalan Musirin, Nyah…!”
“Bukan begitu, lo. Jalan Musirin itu, rumahnya besar, ramai dengan anak-anak. Ini sepi begitu. Yang ada cuman setan!” sahut Nyonya.
“Setan-setan gundhul….” ledek Lastri.
“Gundhulmu atos itu. Setannya kamu itu!” Lastri berlalu sambil membawa sisa makanan, sekeranjang obat dan beberapa butir obat penenang..
Suami Nyonya empat tahun lalu meninggal dunia mendadak. Tanpa diduga ia terlibat korupsi secara ‘berjamaah’. Begitulah kata orang-orang. Konon, Sugondo tidak tahu menahu, karena dia hanya terima uang saja. Namun ternyata uang yang dikira bonus dari rekanan itu, ternyata hasil penggelapan dana pembangunan dan pajak. Sugondo tidak bisa mengelak.
Waktu itu, usai menonton Berita Malam, Sugondo tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat di dada kirinya. Nyonya tidak menyadari, kalau malaikat maut sedang menjemput suaminya. Meski suaminya sekarat, Nyonya asik memindah cenel televisi. Ketika Nyonya mendapatkan acara kesukaannya, tiba-tiba suaminya mengerang kesakitan. Sepontan Nyonya berteriak memanggil Lastri.
Sugondo dilarikan ke dokter terdekat. Sayang rumah dokter itu gelap gulita. Lastri menggedor-gedor pintu, ketika napas tuanya semakin megap-megap. Sedetik atau dua detik tak ada jawaban. Namun, tiba-tiba jendela sebesar kepala terbuka. Dari dalam terlihat wajah tanpa dosa dengan rambut tak teratur. “Sudah malam, besok saja!” dokter berkacamata tebal itu menutup jendela.
Lastri pantang menyerah. Ia menggedor pintu lebih keras, dan bicara amat cepat. Dokter baru membukakan pintu ketika Sugondo terkulai tak berdaya dan hampir jatuh ke tanah. Lastri menyeretnya begitu saja. Begitu dibaringkan Nyonya berteriak histeris, karena ia tahu, suaminya telah tiada.
Dokter yang hanya memakai celana kolor itu, berusaha membuat napas buatan. Sayang tangan malaikat maut begitu terampil. Tanpa menunggu waktu karir politik Sugondo yang semakin gemilang itu berhenti seketika. Begitu juga harapan-harapan Nyonya Sugondo untuk bisa berumah seperti Nyonya Suprapto yang kini suaminya berhasil menjadi wakil bupati, terjungkal ke lubang gelap tak berdasar. Sejak saat itu Nyonya memang seperti kehilangan kendali. Hidupnya hanya tinggal menunggu mati.
“Kopi Bapakmu mana?” tanya Nyonya.
“Tidak punya kopi, Nyah.”
“Kalau habis ya beli. Masak, tidak tahu kalau kesukaan Bapak kopi?” sahut Nyonya.
“Tapi..Bap…”
“Tidak usah tapi-tapian. Pergi sana dan buatkan kopi segera. Ia nanti marah!” sergah Nyonya.
Lastri segera beranjak. Nyonya diam dengan napas tersengal-sengal. Dari mulutnya keluar kata-kata yang tak sedap didengar. Ia memang suka sekali marah. Kalau marah perangainya jelek sekali. Meski tampak lemah, kalau berteriak seperti harimau kelaparan. Ia sering marah dengan kemarahan yang meledak-ledak. Bila tak segera dituruti maka ledakan itu berubah menjadi kemarahan yang merusakan.
Sejak kelakuan berubah seperti itu, anak-anaknya tak pernah menjenguk. Tidak tahu mengapa mereka tidak mau menjenguk? Apa karena kemarahan yang membikin telinga merah? Atau kerena kesibukan? Memang sejak penyakit itu berubah menjadi kemarahan, anak-anaknya memilih merantau. Maka perempuan yang malang itu, sendirian menungu sepi.
Kalau ingin bertemu Nyonya, anak-anaknya hanya telpon. Atau kalau Nyonya kangen, mereka hanya mengirim poto-poto terbaru mereka. Meskipun mereka sering telpon, sebenarnya Nyonya tak pernah menerimanya. Lastri lebih sering menerima, dan menggantikan peran Nyonya. Dari dialah semua keadaan Nyonya disampaikan. Jarang sekali, Nyonya berbicara di telpon dengan anak-anaknya. Begitu juga ketika kiriman foto-foto lucu, cucu-cucunya mata tuanya sudah tak bisa lagi mengenali siapa yang dilihatnya, Lastrilah yang menerangkan. Bahwa ini Mas Tono yang kerja di Medan, ini Mbak Rika yang kerja di Brunei, ini Dik Dina yang kerja di Arab, dan Ini Dik Urip yang kerja di Hongkong. Semua diterangkan dengan detail.
Semua yang dilakukan anak-anaknya bagai orang mengirim bunga setaman di pekuburan. Itu dilakukan hampir setiap bulan sekali. Atau bahkan terkadang tidak sama sekali. Setelah empat tahun itu, mereka hanya lebih suka mengirim surat lewat wesel. Di dalam wesel itu terdapat kata-kata yang tak bisa dibacanya sendiri. Meski kata-kata itu jelas terucap, ‘Anak-anak dirantau sehat. Semoga ibu sehat juga.’ Kata-kata itu tak pernah lupa dan sepertinya kata-kata itulah yang pantas diucapkan bagi anak di perantauan.
Dulu anak-anak Nyonya Sugondo adalah anak-anak yang sangat patuh. Karena bapaknya sendiri adalah orang yang terhormat dilingkungannya. Di rumahnya berlaku hukum ketertiban. Semua anak-anaknya tak ada yang boleh membandel. Sebagai anak pejabat, mereka harus bisa menjadi contoh. Contoh apa saja. Nyonya memang beruntung, keempat anaknya tak ada yang membandel. Bahkan mereka juga sangat menjaga nama baik keluarga.
Tetapi bagi keluarga besar Sugondo itu belum cukup. Untuk menjadi keluarga terhormat harus cukup secara ekonomi. Maka tak ayal lagi, anak-anaknya adalah para pekerja keras yang tak pernah mengenal lelah. Sepanjang siang dan malam mereka bekerja. Setiap hari, Tono yang sekarang bekerja di Medan itu, tak pernah pulang sore. Tono yang bekerja sebagai kontraktor itu, setiap hari kerja lembur. Baru menjelang pagi dia pulang, dan ketika matahari belum separuh jalan, ia terbangun kemudian bergegas pergi.
Begitu juga Mbak Rika, setiap hari pulang usai magrib. Kalau lembur bisa jadi pulang jam sebelas malam. Tak kalah hebat lagi adiknya si Dina, dua hari sekali ia pulang. Perempuan sekretaris sebuah perusahaan besar ini memang sering keluar kota. Lebih gila lagi Urip, setiap minggu ia pulang. Pekerjaannya menuntut demikian. Hampir setiap minggu ia harus pergi ke luar pulau untuk mengantar barang-barang. Ketika mereka sukses dan telah menikah, satu persatu meninggalkan rumah yang dirasakan seperti neraka.
Bahkan setelah berpisah rumah, mereka jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. Ketika bapaknya meninggal, hanya Lastri yang berada di rumah, mengurus ini itu, bahkan sampai menyambut para pejabat yang datang berta’jiah. Sementara anak-anaknya hanya mengucapkan bela sungkawa dari balik gagang telpon, kemudian berjanji akan mengirim bantuan dana untuk selamatan sampai seribu hari.
Melihat kehidupan seperti itu, sebenarnya Nyonya pantas disebut mayat hidup. Betapa tidak, selama ini Nyonya Sugondo memang tak lebih fotokopian suaminya. Ketika suaminya disebut-sebut sebagai pejabat ini-itu, ia tak lupa disebut-sebut sebagai orang yang menyebabkan suaminya menjadi ini-itu. Ketika suaminya berpidato tak pernah lupa menyebut peran istrinya itu. Semua yang dilakukan suaminya pasti pantas dan baik untuk istrinya. Dan hukum itu seperti menemukan kebenarannya. Pernah suatu kali, suaminya tersangkut penggelapan uang negara, dengan sabar dan penuh cinta kasih, Nyonya mendorong mental suaminya, sampai ia dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan.
Itulah peristiwa yang membuat keluarga Sugondo terguncang. Hampir semua publik tidak percaya, orang yang diyakini jujur itu melakukan kejahatan korupsi. Sementara lawan-lawan politiknya terus memojokannya, sampai ke liang lahat.
Perisitiwa itu juga menjadi titik balik karir politik Sugondo. Meski hakim memutuskan Sugondo tidak bersalah, serangan demi serangan tak pernah berhenti. Bahkan sampai dirinya meninggal dunia, khasus itu belum juga tuntas, karena putusan hakim masih perlu ditinjau kembali. Bahkan baru-baru ini, rumah Sugondo dan beberapa kekayaan yang lain ditengarai hasil kejahatan selama menjadi pejabat. Maka rumah itu, perlu disita.
“Kalau misalnya Bapak masih di rumah, pasti saya tidak kesepian seperti ini.” kata Nyonya sambil membaringkan tubuhnya pelan-pelan ke tempat tidur dekat televisi. “Besok kita pulang ya, Las? Ibu kangen betul dengan Bapakmu,” lanjutnya dengan memejamkan mata.
“Iya, Nyah,” jawab Lastri.
***
“Pos! Pos!”
“Kok tumben bukan wesel, Pak?” tanya Lastri.
“Bukan itu surat dari kantor Keadilan,” kata pegawai Pos.
“Apa isinya?”
“Baca sendiri.” Kemudian pegawai Pos yang setiap kali mengantar wesel itu berlalu.
Lastri hendak membacanya, tetapi Nyonya keburu memanggilnya.
“Itu pasti wesel dari anaku?”
Lastri tak bisa menjawab. Ia membuka surat dari kantor Keadilan.
“Apa isinya? Pasti mereka kirim uang banyak. Kalau kirim uang kita bikin nyusul Bapak saja, Las,” kata Nyonya.
Lastri tidak memperhatikan kata-kata Nyonya. Ia mengeja, bunyi surat itu.
“Cepat Lastri katakan apa kata mereka? Berapa yang dikirimkan. Saya sudah kangen betul dengan, Bapak,” kata Nyonya lagi. Lastri tidak mengatakan apa-apa. Ia menyerahkan surat itu kepada Nyonyanya.
“Disita?” kata Nyonya yang kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Lastri berteriak histeris. Kali ini mengundang para tetangga berbondong-bondong datang. Nyonya benar-benar menyusul suaminya. Orang-orang mengantarkannya ke pekuburan dengan gremeng-gremeng, bukan doa, tetapi suara-suara sumbang. “Ia mati karena banyak makan uang rakyat dari suaminya!”
Besoknya, pegawai Pos datang lagi. Kali ini ia tidak berteriak. Ia hanya meletakan ucapan bela sungkawa dari anak Nyonya Sugondo yang dikirim dari seberang. Ia menyandarkan karangan bunga kecil dekat pengumuman yang dipasang oleh petugas kantor Keadilan : ‘Rumah ini disita negara.’
Surabaya, 2006.
05/04/09
Tubuh yang Berkata-kata
Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/
Judul Buku: Antonin Artaud Ledakan dan Bom
Judul Asli: Blows and Bombs
Penulis: Stephen Barber
Penerjemah: Max Arifin
Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Terbit I, Agustus 2006
Tebal, 200 + xxiv halaman
Antonin Artaud lahir dengan nama Antoine Marie Joseph Artaud, pada 4 September 1896, di dekakat kebun binatang Marseilles, Perancis. Artaud sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengganti dan merusak namanya. Ia pernah mengganti namanya menjadi Eno Dailor untuk beberapa naskah awal Surrealisnya. Bahkan dalam satu periode ia mengumumkan ‘My name must disappear’ (namaku harus lenyap). Bahkan ia tak bernama sama sekali awal penahanannya di azilum. Usai pembebasannya di azilum ia memakai nama samaran ‘le Momo’ (bahasa slang Marseilles yang berarti si idiot, bodoh, atau ndeso).
Kehidupan Artaud merupakan tragedy besar, kegagalan dahsat datang silih berganti, dan tekanan demi tekanan. Tetapi ia memiliki semacam kekuatan magis dan kemapuan monumental untuk bangkit aktif dan merekontruksi kembali kegelisahannya. Karya Surrealisnya pada tahun 1920-an mencoba bereksperimen tentang kesadaran lewat atau melalui karya sinematik dan puitik. Setelah projek-projek Surrealismenya berantakan pekerjaannya terlibat dalam ruang teatrikal.
Bahasa yang dipaki Artaud dalam tulisa-tulisannya bercampur aduk bagai terikan atau jeritan-jeritan yang menuju ke kecabulan yang ekstrim dan murni. Menulis bagi Artaud adalah suatu penumpahan atau pengeluaran semua substansi yang berisfat fisikal, baik yang berdampak liar maupun yang bersifat interogratif. Tulisannya merupakan luapan ekspresi yang kasar dan berterus terang dari reflek-reflek yang bersifat indrawi, menentang control social.
***
Buku Blows and Bombs karya Stephen Barber ( Faber and Faber Limited London 1994) yang diterjemahkan oleh oleh Max Arifin menjadi Ledakan dan Bom (DKJ Agustus 2006 ) ini banyak mengisahkan proses perjalanan Antonin Artaud. Buku ini membeberkan kisah Artaud mulai dari gerakannya di seni sastra Surrealisnya sampai pada konsepsi teater kejamnya (The Theatre of Cruelty).
Artaud dikenal sebagai seorang penulis yang karya-karyanya sangat provokatif dan mendatangkan banyak malapetaka. Gerakannya yang provokatif dan bahkan ekstrim itu membuatnya ditolak dalam lingkungannya sendiri terutama oleh teman-temannya sendiri para Surrealis, di Paris. Penolakannya itu bahkan justru membuahkan hasil yang sangat produktif setelah ia juga mengalami serententan perjalanan dan perawatannya di rumah sakit jiwa.
Karya-karyanya menggali isu-isu tentang kebebasan, pengurungan, dan kreatifitas, dengan menghasilkan imaji-imaji yang begitu krusial tentang penyadaran bahasa dan kehidupan. Dalam jejak-jejak karyanya, kita akan menemukan serpihan-serpihan kemauan yang keras kepala dan garang.
Ia meninggalkan Prancis –ia mengembara ke Mexico dan Irlandia- setelah mengalami kegagalan besar dalam meluncurkan mimpinya tentang Theatre of Cruelty, suatu proyek artistic yang didesain untuk menumbangkan kebudayaan dan membakarnya untuk dikembalikan pada kehidupan ini, sebagai suatu laku yang langsung menentang masyarakat.
Theatre of Cruelty, menawarkan tiga konsepsi dasar teater, tari, rupa, dan film. Theatre of Cruelty merupakan pertemuan dari setumpuk kegelisahan dan penderitaannya dengan pertunjukan teater tari Bali tahun 1931. Bagi Artaud teater Bali berisi semua unsur yang telah ia masukan pada Alfred Jarry Theatre, sebagai satu strategi perlawanan terhadap tekstual yang begitu berkuasa dan teater psikologikal Eropa. Titik pusat utamanya adalah gesture dan tekstual merupakan suatu yang berbeda di bahwahnya; teaternya memiliki disiplin dan magis.
Peristiwa kedua yang memberikan inspirasi dan memberikan kontribusi pada theatre of cruelty terjadi pada bulan September 1931, ketika Artaud menyaksikan lukisan Leyden dari abad 15 berjudul The Daughters of Lot di museum Louvre. Artaud merasakan adanya kesamaan antara lukisan itu -yang menggambarkan bencana dan seksualitas- dengan teater Bali. Artaud mempergunakan arsitektur keruangan yang menyimpang dari lukisan tersebut dan perhatiannya terhadap incest dan bencana sebagai pusat perhatiaannya dalam bentuk dan material yang ia inginkan dalam teater barunya.
Artaud memandang lukisan tersebut sebagai hasil dari arah kreatif yang diuraikan secara indah, seperti layaknya penguasaan atas suatu tontonan yang teatrikal yang digubah, disusun di atas pentas, diwujudkan di atas pentas, tanpa dialog atau teks. Artaud juga melihat lukisan itu sebagai suatu paduan, assembling dan penyampaian eksplosi-eksplosi (ledakan-ledakan) suara untuk memperjelas pengaruh visualnya (its visual impact).
Artaud juga memasukan tanggapannya terhadap film Marx Brothers yang berjudul Monkey Business dalam teks ‘Direction an Methaphysics.’ Dari film itu Artaud menambahan pemahaman tentang humor yang sebenarnya dan tentang kekuatan yang bersifat fisikal dan dissosiasi yang anarkis dalam gelak tawa. Film itu menurut Artaud memiliki pembebasan yang lengkap dan perobekan (penghancuran) terhadap realitas. Peristyiwa itu menurut Artaud memiliki potensi untuk menimbulkan ledakan yang merusak. Artaud memandang dengan kagum terhadap kekuatan gelak tawa (the power of laughter) yang bisa menimbulkan transformasi secara tiba-tiba. Ia menekankan kualitas pemberontak yang terdapat pada ledakan, keributan, dan gerakan (movement) dalam film-film Marx Brothers.
Respon Artaud terhadap film tersebut memang menambahkan suatu unsur pembertontakan yang vital terhadap kemunculan kegelisahan-kegelisahan teatrikal. Dan keberhasilan dari semua itu terletak pada apa yang disebut kegembiraan yang meluap-luap, yang visual dan nyaring (merdu secara serempak).
Theatre of Cruelty melalui perjalanan yang sangat panjang. Selama 30 tahun, teater ini dianggap mustahil untuk diwujudkan. Bahkan teatrawan Polandia Jerzy Grotowski menganggapnya, tanpa memahami konsepsi Artaud secara baik dan benar, hanya akan menurunkan derajat teaternya dan tidak punya arti apa-apa selain hanya gaya (action) belaka. Dan memang, selama itu pula Artaud (sendiri) menemui kegagalan demi kegagalan, sampai menjelang akhir hayatnya (4 Maret 1948) sebagai seniman yang keras kepala dan miskin.
Periode akhir kemunculan Artaud merupakan intensifikasi sekaligus kristalisasi terhadap karya-karya sebelumnya. Karya-karya terakhirnya memiliki kejelasan yang final, yaitu terkontrol dan liar atau brutal. Inilah projek teater kejamnya (Theatre of Cruelty) Artaud. Gema atau gaung pengaruh Artaud terhadap seni inovatif dan eksperimental berkembang ke berbagai arah dan luas. Pengaruh itu membentang dari seni visual sampai ke seni vocal dan yang bersifat teoritik.
***
Hadirnya buku Artaud ini menambah perbendaharaan buku-buku terjemahan yang membahas tentang konsepsi-konsepsi besar teater dunia yang selama ini terasa amat kurang, meski Max Arifin sendiri telah menerbitkan (menerjemahkan) karya-karya Bertolh Breach, Konstantin Stanislavsky, dan Jerzy Grotowsky. Seandainya buku Artaud ini terbit akhir tahun 1980-an, maka akan menemukan konteksnya dengan perkembangan teater kontemporer di Indonesia.
Seperti kita ketahui konsep Artaud telah menjadi pemicu dalam pertunjukan-pertunjukan teater di Indonesia menjelang akhir tahun 1980-an. Teatrawan yang biasa disebut memiliki kegelisahan sama dengan Artaud adalah Budi S Otong dengan teater SAE, kemudian juga teater Kubur, Dindon WS. Pada pertengahan tahun 1990-an teater ini ‘mewabah’ sampai Jawa Timur, Bali, dan Makasar. Tetapi meski begitu buku ini tetap menarik disimak sebagai bahan telaah teoritik maupun kesejarahan, bagi para peminat teater. ***
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.
http://teaterapakah.blogspot.com/
Judul Buku: Antonin Artaud Ledakan dan Bom
Judul Asli: Blows and Bombs
Penulis: Stephen Barber
Penerjemah: Max Arifin
Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Terbit I, Agustus 2006
Tebal, 200 + xxiv halaman
Antonin Artaud lahir dengan nama Antoine Marie Joseph Artaud, pada 4 September 1896, di dekakat kebun binatang Marseilles, Perancis. Artaud sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengganti dan merusak namanya. Ia pernah mengganti namanya menjadi Eno Dailor untuk beberapa naskah awal Surrealisnya. Bahkan dalam satu periode ia mengumumkan ‘My name must disappear’ (namaku harus lenyap). Bahkan ia tak bernama sama sekali awal penahanannya di azilum. Usai pembebasannya di azilum ia memakai nama samaran ‘le Momo’ (bahasa slang Marseilles yang berarti si idiot, bodoh, atau ndeso).
Kehidupan Artaud merupakan tragedy besar, kegagalan dahsat datang silih berganti, dan tekanan demi tekanan. Tetapi ia memiliki semacam kekuatan magis dan kemapuan monumental untuk bangkit aktif dan merekontruksi kembali kegelisahannya. Karya Surrealisnya pada tahun 1920-an mencoba bereksperimen tentang kesadaran lewat atau melalui karya sinematik dan puitik. Setelah projek-projek Surrealismenya berantakan pekerjaannya terlibat dalam ruang teatrikal.
Bahasa yang dipaki Artaud dalam tulisa-tulisannya bercampur aduk bagai terikan atau jeritan-jeritan yang menuju ke kecabulan yang ekstrim dan murni. Menulis bagi Artaud adalah suatu penumpahan atau pengeluaran semua substansi yang berisfat fisikal, baik yang berdampak liar maupun yang bersifat interogratif. Tulisannya merupakan luapan ekspresi yang kasar dan berterus terang dari reflek-reflek yang bersifat indrawi, menentang control social.
***
Buku Blows and Bombs karya Stephen Barber ( Faber and Faber Limited London 1994) yang diterjemahkan oleh oleh Max Arifin menjadi Ledakan dan Bom (DKJ Agustus 2006 ) ini banyak mengisahkan proses perjalanan Antonin Artaud. Buku ini membeberkan kisah Artaud mulai dari gerakannya di seni sastra Surrealisnya sampai pada konsepsi teater kejamnya (The Theatre of Cruelty).
Artaud dikenal sebagai seorang penulis yang karya-karyanya sangat provokatif dan mendatangkan banyak malapetaka. Gerakannya yang provokatif dan bahkan ekstrim itu membuatnya ditolak dalam lingkungannya sendiri terutama oleh teman-temannya sendiri para Surrealis, di Paris. Penolakannya itu bahkan justru membuahkan hasil yang sangat produktif setelah ia juga mengalami serententan perjalanan dan perawatannya di rumah sakit jiwa.
Karya-karyanya menggali isu-isu tentang kebebasan, pengurungan, dan kreatifitas, dengan menghasilkan imaji-imaji yang begitu krusial tentang penyadaran bahasa dan kehidupan. Dalam jejak-jejak karyanya, kita akan menemukan serpihan-serpihan kemauan yang keras kepala dan garang.
Ia meninggalkan Prancis –ia mengembara ke Mexico dan Irlandia- setelah mengalami kegagalan besar dalam meluncurkan mimpinya tentang Theatre of Cruelty, suatu proyek artistic yang didesain untuk menumbangkan kebudayaan dan membakarnya untuk dikembalikan pada kehidupan ini, sebagai suatu laku yang langsung menentang masyarakat.
Theatre of Cruelty, menawarkan tiga konsepsi dasar teater, tari, rupa, dan film. Theatre of Cruelty merupakan pertemuan dari setumpuk kegelisahan dan penderitaannya dengan pertunjukan teater tari Bali tahun 1931. Bagi Artaud teater Bali berisi semua unsur yang telah ia masukan pada Alfred Jarry Theatre, sebagai satu strategi perlawanan terhadap tekstual yang begitu berkuasa dan teater psikologikal Eropa. Titik pusat utamanya adalah gesture dan tekstual merupakan suatu yang berbeda di bahwahnya; teaternya memiliki disiplin dan magis.
Peristiwa kedua yang memberikan inspirasi dan memberikan kontribusi pada theatre of cruelty terjadi pada bulan September 1931, ketika Artaud menyaksikan lukisan Leyden dari abad 15 berjudul The Daughters of Lot di museum Louvre. Artaud merasakan adanya kesamaan antara lukisan itu -yang menggambarkan bencana dan seksualitas- dengan teater Bali. Artaud mempergunakan arsitektur keruangan yang menyimpang dari lukisan tersebut dan perhatiannya terhadap incest dan bencana sebagai pusat perhatiaannya dalam bentuk dan material yang ia inginkan dalam teater barunya.
Artaud memandang lukisan tersebut sebagai hasil dari arah kreatif yang diuraikan secara indah, seperti layaknya penguasaan atas suatu tontonan yang teatrikal yang digubah, disusun di atas pentas, diwujudkan di atas pentas, tanpa dialog atau teks. Artaud juga melihat lukisan itu sebagai suatu paduan, assembling dan penyampaian eksplosi-eksplosi (ledakan-ledakan) suara untuk memperjelas pengaruh visualnya (its visual impact).
Artaud juga memasukan tanggapannya terhadap film Marx Brothers yang berjudul Monkey Business dalam teks ‘Direction an Methaphysics.’ Dari film itu Artaud menambahan pemahaman tentang humor yang sebenarnya dan tentang kekuatan yang bersifat fisikal dan dissosiasi yang anarkis dalam gelak tawa. Film itu menurut Artaud memiliki pembebasan yang lengkap dan perobekan (penghancuran) terhadap realitas. Peristyiwa itu menurut Artaud memiliki potensi untuk menimbulkan ledakan yang merusak. Artaud memandang dengan kagum terhadap kekuatan gelak tawa (the power of laughter) yang bisa menimbulkan transformasi secara tiba-tiba. Ia menekankan kualitas pemberontak yang terdapat pada ledakan, keributan, dan gerakan (movement) dalam film-film Marx Brothers.
Respon Artaud terhadap film tersebut memang menambahkan suatu unsur pembertontakan yang vital terhadap kemunculan kegelisahan-kegelisahan teatrikal. Dan keberhasilan dari semua itu terletak pada apa yang disebut kegembiraan yang meluap-luap, yang visual dan nyaring (merdu secara serempak).
Theatre of Cruelty melalui perjalanan yang sangat panjang. Selama 30 tahun, teater ini dianggap mustahil untuk diwujudkan. Bahkan teatrawan Polandia Jerzy Grotowski menganggapnya, tanpa memahami konsepsi Artaud secara baik dan benar, hanya akan menurunkan derajat teaternya dan tidak punya arti apa-apa selain hanya gaya (action) belaka. Dan memang, selama itu pula Artaud (sendiri) menemui kegagalan demi kegagalan, sampai menjelang akhir hayatnya (4 Maret 1948) sebagai seniman yang keras kepala dan miskin.
Periode akhir kemunculan Artaud merupakan intensifikasi sekaligus kristalisasi terhadap karya-karya sebelumnya. Karya-karya terakhirnya memiliki kejelasan yang final, yaitu terkontrol dan liar atau brutal. Inilah projek teater kejamnya (Theatre of Cruelty) Artaud. Gema atau gaung pengaruh Artaud terhadap seni inovatif dan eksperimental berkembang ke berbagai arah dan luas. Pengaruh itu membentang dari seni visual sampai ke seni vocal dan yang bersifat teoritik.
***
Hadirnya buku Artaud ini menambah perbendaharaan buku-buku terjemahan yang membahas tentang konsepsi-konsepsi besar teater dunia yang selama ini terasa amat kurang, meski Max Arifin sendiri telah menerbitkan (menerjemahkan) karya-karya Bertolh Breach, Konstantin Stanislavsky, dan Jerzy Grotowsky. Seandainya buku Artaud ini terbit akhir tahun 1980-an, maka akan menemukan konteksnya dengan perkembangan teater kontemporer di Indonesia.
Seperti kita ketahui konsep Artaud telah menjadi pemicu dalam pertunjukan-pertunjukan teater di Indonesia menjelang akhir tahun 1980-an. Teatrawan yang biasa disebut memiliki kegelisahan sama dengan Artaud adalah Budi S Otong dengan teater SAE, kemudian juga teater Kubur, Dindon WS. Pada pertengahan tahun 1990-an teater ini ‘mewabah’ sampai Jawa Timur, Bali, dan Makasar. Tetapi meski begitu buku ini tetap menarik disimak sebagai bahan telaah teoritik maupun kesejarahan, bagi para peminat teater. ***
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.
09/01/09
Akal Abu Nawas
Rakhmat Giryadi
http://kamarbudaya.wordpress.com/
Pada suatu hari, kawan-kawannya Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa memenatkan dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas untuk mengajaknya ikut serta. Namun saat akan masuk hutan, mereka dibingungkan jalan persimpangan.
Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang dihuni binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mereka.
Salah seorang menawarkan untuk bertanya pada sahabatnya yang tinggal tidak jauh dari tepi hutan itu. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang membedakan mereka, yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja.
Abu Nawas menyetujui. Mereka menghadap dua saudara kembar itu. Dan benar pula, salah satu pemuda kembar itu hanya mau menjawab satu pertanyaan.
Kemudian Abu Nawas menghampiri pemuda itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.
Sesampai di persimpangan hutan tadi Abu Nawas memilih jalan di sebelah kanan. “Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan.” kata Abu Nawas mantap kepada kawankawannya.
“Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?” tanya salah seorang dari mereka.
“Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri,” kata Abu Nawas. Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan.
“Tadi aku bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?”
Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab: Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan sebelah kiri, karena Ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kanan sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.
***
Kasus jalan persimpangan itu seperti kasusnya Asrori yang menghebohkan itu. Kasus Asrori, seperti menemui jalan persimpangan. Siapa yang benar dan siapa yang berbohong, memang harus segera dibuktikan. Yang menjadi sulit itu, semua mengaku benar. Kejaksaan agung mengaku tidak merasa salah memutuskan hukuman. Sementara para pembunuh Asrori versi kebun tebu, mengaku tidak tahu menahu pembunuhan itu. Mereka terpaksa mengakui pembunuhan itu karena tidak tahan siksaan polisi.
Sementara dipihak lain, Ryan mengaku dirinyalah yang membunuh Asrori. Tetapi pihak keluarga Asrori tidak mau mengakui kalau Asrori kurban Ryan. Keluarga Asrori tetap percaya dengan mayat Asrori yang di temukan di kebun tebu, meski tes DNA mayat Asrori di belakang rumah rian, memiliki kemiripan dengan DNA keluarga Asrori. Bingung bukan?
***
Biar tidak tambah bingung, Abu Nawas punya cara lain untuk menangkap ‘pembunuh’. Ceritanya, pada suatu hari, seorang kehilangan anak. Ternyata anak itu tewas terbunuh. Tetapi tidak tahu siapa yang membunuh. Misteri pembunuhan itu juga membingungkan polisi.
Abu Nawas ternyata punya cara sendiri menangkap sang pembunuh. Orang-orang yang dicurigai membunuh dan tidak mengakui perbuatannya, oleh Abu Nawas diberi tongkat sepanjang 50 cm. Kemudaia ia berpesan, agar tongkat itu disimpan dan esok harinya tongkat itu dikembalikan padanya. “Bagi yang membunuh, tongkat itu dalam satu hari akan memanjang 10 Cm, karena sudah saya rasuki mantra,” pesan Abu Nawas.
Mereka yang tidak membunuh, tidak takut. Tetapi yang membunuh dengan akal bulusnya segera memotong tongkat Abu Nawas itu 10 cm, agar esok harinya tetap berukuran 50 cm.
Ketika esok harinya saat mengumpulkan tongkat, pembunuh itu dicokok, karena terbukti membunuh. Buktinya, tongkatnya yang disimpanya malah lebih pendek 10 cm. Sayang Polisi kita bukan Abu Nawas. Kita tunggu saja!
September 9, 2008.
http://kamarbudaya.wordpress.com/
Pada suatu hari, kawan-kawannya Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa memenatkan dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas untuk mengajaknya ikut serta. Namun saat akan masuk hutan, mereka dibingungkan jalan persimpangan.
Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang dihuni binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mereka.
Salah seorang menawarkan untuk bertanya pada sahabatnya yang tinggal tidak jauh dari tepi hutan itu. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang membedakan mereka, yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja.
Abu Nawas menyetujui. Mereka menghadap dua saudara kembar itu. Dan benar pula, salah satu pemuda kembar itu hanya mau menjawab satu pertanyaan.
Kemudian Abu Nawas menghampiri pemuda itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.
Sesampai di persimpangan hutan tadi Abu Nawas memilih jalan di sebelah kanan. “Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan.” kata Abu Nawas mantap kepada kawankawannya.
“Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?” tanya salah seorang dari mereka.
“Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri,” kata Abu Nawas. Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan.
“Tadi aku bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?”
Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab: Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan sebelah kiri, karena Ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kanan sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.
***
Kasus jalan persimpangan itu seperti kasusnya Asrori yang menghebohkan itu. Kasus Asrori, seperti menemui jalan persimpangan. Siapa yang benar dan siapa yang berbohong, memang harus segera dibuktikan. Yang menjadi sulit itu, semua mengaku benar. Kejaksaan agung mengaku tidak merasa salah memutuskan hukuman. Sementara para pembunuh Asrori versi kebun tebu, mengaku tidak tahu menahu pembunuhan itu. Mereka terpaksa mengakui pembunuhan itu karena tidak tahan siksaan polisi.
Sementara dipihak lain, Ryan mengaku dirinyalah yang membunuh Asrori. Tetapi pihak keluarga Asrori tidak mau mengakui kalau Asrori kurban Ryan. Keluarga Asrori tetap percaya dengan mayat Asrori yang di temukan di kebun tebu, meski tes DNA mayat Asrori di belakang rumah rian, memiliki kemiripan dengan DNA keluarga Asrori. Bingung bukan?
***
Biar tidak tambah bingung, Abu Nawas punya cara lain untuk menangkap ‘pembunuh’. Ceritanya, pada suatu hari, seorang kehilangan anak. Ternyata anak itu tewas terbunuh. Tetapi tidak tahu siapa yang membunuh. Misteri pembunuhan itu juga membingungkan polisi.
Abu Nawas ternyata punya cara sendiri menangkap sang pembunuh. Orang-orang yang dicurigai membunuh dan tidak mengakui perbuatannya, oleh Abu Nawas diberi tongkat sepanjang 50 cm. Kemudaia ia berpesan, agar tongkat itu disimpan dan esok harinya tongkat itu dikembalikan padanya. “Bagi yang membunuh, tongkat itu dalam satu hari akan memanjang 10 Cm, karena sudah saya rasuki mantra,” pesan Abu Nawas.
Mereka yang tidak membunuh, tidak takut. Tetapi yang membunuh dengan akal bulusnya segera memotong tongkat Abu Nawas itu 10 cm, agar esok harinya tetap berukuran 50 cm.
Ketika esok harinya saat mengumpulkan tongkat, pembunuh itu dicokok, karena terbukti membunuh. Buktinya, tongkatnya yang disimpanya malah lebih pendek 10 cm. Sayang Polisi kita bukan Abu Nawas. Kita tunggu saja!
September 9, 2008.
06/01/09
Cerita Indah Tentang Pohon
Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Maruto mencelat dari tempat tidur. Tubuhnya menggeliat-geliat, seperti bohon digasak angin. Ia mengerang-ngerang. Maruto berteriak sekuat tenaga. Tetapi teriakannya seperti disekap gelap. Maruto bertambah kalap. Burung gagak berkaok-kaok. Suara tangis menyayat-nyayat. Tembang megatruh terdengar lamat-lamat.
“Bangun, wong lanang, tidak tahu malu!” seru Murtini. Maruto tergagap dari tidurnya. Napasnya satu-satu. Wajahnya basah kuyup oleh air. Mulutnya hendak membuka. Tetapi Murtini segera menyahut.
“Apa, mimpi lagi? Pohon lagi?” kata Murtini sengak.
“Jancuk !! Kamu itu bagaimana to, wong suaminya…”
“Suami apa? Kerjaannya ngumbar mimpi. Prek…!” sahut Murtini sengit.
“Mimpi itu datang lagi. Ia menyiksaku, Mur!”
“Alah, menyiksa apa? Wong kalau tidur mesti ngorok begitu.”
Murtini tidak tahu, Maruto sebenarnya sudah berusaha melupakan mimpi yang setiap malam datang padanya. Tetapi seolah-olah mimpi itu telah menjadi bagian dari tidurnya. Sedetikpun ia tertidur, maka mimpi itu datang juga. Maruto sendiri tidak pernah mengerti sejak kapan mimpi pohon datang. Tiba-tiba mimpi itu datang begitu saja.
Tiba-tiba? Ya, tiba-tiba. Karena memang Maruto tidak pernah nggubris dengan mimpi yang datang padanya. Tetapi ketika mimpi pohon itu berulang kali datang, ia sadar akan gangguan yang tiba-tiba itu. Kalau sekarang ia banyak mengeluh, karena memang dipaksa keadaan. Mimpi itu memang benar-benar menyiksa. Bayangkan saja, sedetik ia terlelap, tiba-tiba mimpi itu datang.
“Ya, menakutkan sekali! Tapi kok aneh sekali. Masak ada pohon tumbuh dalam otak? Pohon apa itu?” kata mbah Karto Dengkek, pada suatu hari, mengomentari ceritanya Maruto.
“Pohonya tinggi dan berdaun lebat, Mbah.”
“Wo, kalau tidak pohon gayam, mahoni, trembesi, pasti beringin?”
“Saya tidak tahu, Mbah.”
“Wah, yaitu. Kamu harus tahu. Kalau tidak tahu lupakan saja,” kata Mbah Karto Dengkek.
“Jadi sampeyan juga tidak mengerti arti mimpi saya itu, Mbah?”
“Kembangnya tidur,” jawab Mbah Karto Dengkek, singkat.
Habis sudah! Orang satu-satunya yang dianggap mau menerima pengaduannya juga tidak mempercayainya. Malah menertawakan. Padahal, Maruto dulu corongnya Mbah Karto Dengkek, untuk menjadi lurah. Tetapi kini ia seakan telah melupakan jerih payah Maruto.
Tragisnya, kini mimpinya itu menjadi bahan tertawaan bagi siapa saja yang diceritai.Tetapi, tertawanya orang lain itu justru membuatnya semakin ingin tahu jawaban mimpinya yang semakin hari, semakin meneror hidupnya.
Tak seorangpun terlewatkan untuk diceritai. Saban hari ia keliling kampung menceritakan mimpinya. Pekerjaannya terbengkelai. Rumahtangganya tak terurus. Tetangganya menganggap ia tidak waras.
“Ya, biar saja. Mau ngomong apa mereka itu. Mereka toh tidak nambeli. Mereka tidak merasakan penderitaan saya. Bisanya hanya menertawakan penderitaan orang lain,” gerutu Maruto getir.
“Kalau begitu, jangan ngomel-ngomel lagi soal mimpi itu,” sergah Murtini kesal.
“Mereka keterlaluan. Apa jeleknya saya mengeluh?”
“Itu kan hanya mimpi to, Kang.”
“Tidak! Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Dan mungkin juga dalam otakmu!” sahut Maruto.
“Kayal! Wis embuh Kang, saya tidak tahu. Pusing!”
* * *
Suatu malam, di tengah makam. Maruto duduk termenung di dekat pusara bapak dan ibunya. Ia berharap malam itu bisa bertemu dengannya. Ia ingin mengadu tentang mimpinya itu. Maruto mendekap pusara bapaknya. Tangannya memukul-mukul tanah. Tangisnya tersedu-sedu seperti ketika masih kecil. Wajahnya dibenamkan ke tanah, seperti nasibnya yang terpuruk.
Tetapi, sampai jauh malam bapaknya tak menampakan diri. Ia beralih mendekap pusara ibunya, kemudian memukul-mukulnya. Diam. Hanya suara gelepar kelelawar dan gemersik daun kamboja yang mengusik keheningan. Maruto sesengukan. Sedih.
“Siapa itu!” hardik seseorang dari kegelapan. Cahaya senter menancap di wajah Maruto. “Mau mencuri mayat, ya?” lanjut seseorang dari kegelapan.
“Ini kuburan Bapak, Ibuku.”
“Mau apa?” Maruto tidak menjawab. Ia ragu-ragu. Apakah seseorang tanpa wajah itu percaya dengan omongannya?
“Saya ingin mengadu,” kata Maruto tersendat-sendat.
“Kamu itu sudah gila, ya!” Maruto terperanjat. Makian terburuk kembali menghantam dadanya. “Orang sudah mati kok dijadikan tempat mengadu. Ayo pulang! Dasar sinting!” hardik seseorang tanpa wajah itu.
Bulan sabit, mengiris-iris hati Maruto. Kunang-kunang menghantarkannya menelusuri gelap. Burung hantu mengikuti dengan tatapan mata kosong. Maruto teringat akan petuah bapaknya, “Hidup itu seperti berjalan dalam gelap. Dan dalam gelap itu ada jalan yang terang benderang yaitu kepasrahan.” Maruto tidak mengerti apakah ia telah menemukan jalan terang itu? Yang jelas ia kini terus menyusuri jalan yang benar-benar gelap. Ia berjalan tanpa arah, seperti pikirannya yang tidak karuan jluntrungnya. Ia tidak ingin kembali kerumahnya. Ia terus mencari orang yang mau menerima pengaduannya.
***
“Hanya orang gila yang meninggalkan istrinya, berminggu-minggu tanpa pamit,” omel Murtini, suatu siang. “Terus maunya itu, apa? Apa kalau mimpinya sudah terjawab, akan berubah hidupnya. Malah tambah kere begini. Mimpi kok aneh-aneh. Setiap malam berteriak-teriak. Setiap hari yang diceritakan hanya mimpinya. Pohon keramat, minta korban, tumbuh dalam otak. Khayal! Begitu kok tidak mau dikatakan gila. To, Maruto. Hidup kok sibuk ngurusi mimpi!” keluh Murtini, sampai napasnya tersengal-sengal menahan marah.
Akhirnya Murtini diam sendiri. Percuma, toh suaminya tak mendengarnya. Tetapi nyatanya umpatan itu telah mendarah daging. Saban hari, tanpa ia sadari, ia ngomel sendiri tidak karuan di depan rumahnya. Kalau sudah begitu, tetangganya pada bergerombol, sambil berbisik-bisik, “Murtini, gila.” Dan bisikan itu menyebar bagai angin. Semua orang akhirnya tahu Murtini memang benar-benar gila.
“To, To…apa kamu sudah modar! Nyangar istri berbulan-bulan tidak pernah memberi nafkah, membiarkan aku hidup menderita begitu. Suami gila, gendheng, edan! Awas kalau ketemu, akan aku bunuh kamu.” Dengan menghunus parang Murtini meninggalkan rumahnya. Matanya nyalang, menelusuri sudut-sudut kota, mencari suaminya.
***
Di sudut lorong kota, di bawah bangunan bobrok, Maruto berjalan tertatih-tatih. Wajahnya layu, mulutnya penuh busa, badanya lungrah, tak berdaya menahan kantuk. Setiap malam Maruto mengunjungi teman-temannya di seluruh pelosok kota. Ia menceritakan semua mimpi-mimpinya. Bahkan ia juga masuk ke panti-panti werda, rumah sakit, pos ronda, discotik, rumah bordil, kos mahasiswa, kasino, rumah pelukis, penyair, semua tak ketinggalan. Ia berharap, semua akan meringankan beban penderitaannya itu. Tetapi, yang didapat, makian, dampratan, usiran, dan senyum sinis dari mereka.
“Bajingan semua manusia itu,“ keluhnya. Kemudian ia pun kembali ngomel lagi, seperti orang kesurupan.
“Kenapa lihat-lihat?” hardik Maruto, pada seorang perempuan yang memandanginya. Perempuan itu membawa parang. “Ada yang lucu, ya?” kata Maruto lagi.
“Mukamu masam seperti kentut!” seru perempuan pembawa parang itu, sambil tertawa cekikikan. Maruto, hampir meradang. Tetapi kemudian ia juga tertawa.
“Ya, ya, sekarang aku tahu jawabannya, kenapa mereka tak mau menerimaku. Ternyata mukaku kayak kentut!” kata Maruto sambil terkekeh-kekeh.
“Tetapi, kamu tahu kenapa mukaku kayak kentut?” tanya Maruto, sesaat setelah mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kota. Tak ada jawaban. “Karena selama bertahun-tahun aku tak bisa berak dan kentut. Semua orang yang tak kentuti pada lari, karena kentutku memang mematikan,” kata Maruto sambil cengar-cengir.
“Ngomong-ngomong kenapa kamu membawa parang kemana-mana?” tanya Maruto tiba-tiba. Perempuan itu tiba-tiba berhenti. Ia bersandar ketembok yang penuh lumut. “Aku ingin membabat pohon!” jawabnya geram.
“Pohon?” tanya Maruto, seperti orang linglung. “Tetapi parangmu tak cukup tajam untuk membabatnya.”
“Pohonya, tidak terlalu besar kok. Ia kecil seperti kamu,” jawab perempuan.
“Seperti aku?”
“Ia, lelaki yang tidak bertanggung jawab!” keluh perempuan.
Mereka terus berjalan, menelusuri kota yang mendekati senja. Kota yang hiruk pikuk itu, tak mengerti keluh kesah mereka. Mereka berjalan seperti di lembah sunyi. Sunyi sekali.
“Hai, maukah kamu mendengarkan sesuatu dariku?”
“Apa itu?” tanya perempuan pembawa parang.
“Cerita indah tentang pohon. Ya, mungkin pohon yang ingin kamu tebang itu. Tapi sebenarnya bila saya mampu saya hendak menebangnya sendiri. Tetapi tak kuasa.”
“Ceritakanlah.”
Lelaki itu kemudian bercerita. Ia bercerita tentang pohon. Ceritanya panjang sekali. Walaupun aneh dan tidak bisa dinalar, perempuan pembawa parang itu mendengarkannya dengan tulus. Ia mendengarkan dengan sorot mata yang tak pernah berkedip. Maruto bercerita dengan emosi yang meluap-luap. Segala keluh kesahnya tumpah ruah. Cerita itu seperti tidak akan ada habisnya.
Maruto bercerita dari senja ke senja. Cerita itu bagaikan berbingkai-bingkai. Ini hukuman terberat yang harus diembannya. Sementara istrinya tak pernah mengerti bahwa dibalik mimpi-mimpinya itu adalah keniscayaan hidup yang terus dikuntit ketakutan-ketakutan. Sementara orang-orang yang dulu disubya-subya untuk menjadi wakilnya, kini malah menyingkangnya, bahkan terkadang juga mengancamnya. Kesetian tak berharaga sama sekali. Kerendahan hati dan ketulusan Maruto untuk menjadi simpatisan partai Beringin yang menyebabkan mbah Karto Dengkek menjadi lurah hampir seumur hidup, hanya dihargai puluhan ribu dan dua kaos atau terkadang supermi.
Sayang istrinya tak mengerti, di balik gerumbul pohon-pohon itu ada ratusan pencoleng yang siap menerkam gubuk-gubuk yang tak bernomer rumah itu. Kalau saja istrinya mau mendengar, ia tidak akan melakoni hidup pontang-panting. Namun Maruto sadar, jangankan istrinya, semua orang yang dikeluh kesahi pun tak akan percaya. Meski demikian, Maruto tetap tak ingin hidupnya terus dikuntit oleh maut.
“Kamu satu-satunya orang terakhir yang mau mendengar keluh kesahku tentang pohon-pohon bermayat yang terus meneror hidupku, “ kata lelaki itu. “Cerita itu tidak pernah bisa berakhir. Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Tampaknya kamulah orang yang bisa mengakhirinya,” lanjut lelaki itu.
Perempuan pembawa parang hanya diam. Kesunyian menyisakan degup jantung yang semakin keras. Sementara dikejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu lampion dari sebuah gedung negara. Perempuan itu bertanya-tanya, mengapa semua orang memasang lampu begitu terang benderang, sementara hidupnya sediri muram, bagai lampu kehabisan minyak? Perempuan itu juga bertanya-tanya, siapa lelaki di sampingnya yang telah tulus, telah menceritakan panjang lebar seluruh kemuramannya sehingga hatinya menjadi lega, berpancaran, bagai lampu-lampu neon jauh di seberang sana. Mengapa cerita itu persis dengan yang ia alami?
Perempuan itu hanya tersenyum kecut. Ia tidak menyadari telah melakukan perjalanan jauh menelusuri jalan-jalan terjal dalam hidupnya. Ia sadar cerita yang panjang itu, cerita yang menakutakan itu adalah cerita tentang hidupnya sendiri. Perempuan itu tak bisa memejamkan mata. Ia tak ingin ketakuatanya berkepanjangan. Ia ingin mengakhiri cerita itu.
“Tahukah kamu akhir dari cerita ini?” tanya Maruto seteleh keheningan memuncak di ubun-ubun.
“Menebang pohon itu,” jawab perempuan pembawa parang itu tegas.
“Tepat sekali. Kamu telah menemukan pohon yang akan kamu tebang. Lakukanlah!” Tanpa disadarinya perempuan pembawa parang itu telah menghunuskan parangnya. Ia bersiap membabat pohon dalam kepala Maruto. Desah napasnya begitu memburu. Ia melihat Maruto begitu pasrah. Ia mengacungkan parang sambil memejamkan mata. Ia teringat lelaki yang tak pernah berhenti mengeluh tentang pohon-pohon bermayat. Tetapi keputusannya harus segera mengakhiri penderitaannya. “Creeees!”
Malam gelap sekali. Dalam gelap itu terbentang jalan terang. Disana bapak dan ibu Maruto melambai-lambaikan tangannya. Maruto segera berlari dan memeluk erat orang tuanya. Sedetik kemudian, ia melihat sekelingnya gelap. Gelap sekali. Tidak ada cahaya. **
Surabaya, 2001
http://sastraapakah.blogspot.com/
Maruto mencelat dari tempat tidur. Tubuhnya menggeliat-geliat, seperti bohon digasak angin. Ia mengerang-ngerang. Maruto berteriak sekuat tenaga. Tetapi teriakannya seperti disekap gelap. Maruto bertambah kalap. Burung gagak berkaok-kaok. Suara tangis menyayat-nyayat. Tembang megatruh terdengar lamat-lamat.
“Bangun, wong lanang, tidak tahu malu!” seru Murtini. Maruto tergagap dari tidurnya. Napasnya satu-satu. Wajahnya basah kuyup oleh air. Mulutnya hendak membuka. Tetapi Murtini segera menyahut.
“Apa, mimpi lagi? Pohon lagi?” kata Murtini sengak.
“Jancuk !! Kamu itu bagaimana to, wong suaminya…”
“Suami apa? Kerjaannya ngumbar mimpi. Prek…!” sahut Murtini sengit.
“Mimpi itu datang lagi. Ia menyiksaku, Mur!”
“Alah, menyiksa apa? Wong kalau tidur mesti ngorok begitu.”
Murtini tidak tahu, Maruto sebenarnya sudah berusaha melupakan mimpi yang setiap malam datang padanya. Tetapi seolah-olah mimpi itu telah menjadi bagian dari tidurnya. Sedetikpun ia tertidur, maka mimpi itu datang juga. Maruto sendiri tidak pernah mengerti sejak kapan mimpi pohon datang. Tiba-tiba mimpi itu datang begitu saja.
Tiba-tiba? Ya, tiba-tiba. Karena memang Maruto tidak pernah nggubris dengan mimpi yang datang padanya. Tetapi ketika mimpi pohon itu berulang kali datang, ia sadar akan gangguan yang tiba-tiba itu. Kalau sekarang ia banyak mengeluh, karena memang dipaksa keadaan. Mimpi itu memang benar-benar menyiksa. Bayangkan saja, sedetik ia terlelap, tiba-tiba mimpi itu datang.
“Ya, menakutkan sekali! Tapi kok aneh sekali. Masak ada pohon tumbuh dalam otak? Pohon apa itu?” kata mbah Karto Dengkek, pada suatu hari, mengomentari ceritanya Maruto.
“Pohonya tinggi dan berdaun lebat, Mbah.”
“Wo, kalau tidak pohon gayam, mahoni, trembesi, pasti beringin?”
“Saya tidak tahu, Mbah.”
“Wah, yaitu. Kamu harus tahu. Kalau tidak tahu lupakan saja,” kata Mbah Karto Dengkek.
“Jadi sampeyan juga tidak mengerti arti mimpi saya itu, Mbah?”
“Kembangnya tidur,” jawab Mbah Karto Dengkek, singkat.
Habis sudah! Orang satu-satunya yang dianggap mau menerima pengaduannya juga tidak mempercayainya. Malah menertawakan. Padahal, Maruto dulu corongnya Mbah Karto Dengkek, untuk menjadi lurah. Tetapi kini ia seakan telah melupakan jerih payah Maruto.
Tragisnya, kini mimpinya itu menjadi bahan tertawaan bagi siapa saja yang diceritai.Tetapi, tertawanya orang lain itu justru membuatnya semakin ingin tahu jawaban mimpinya yang semakin hari, semakin meneror hidupnya.
Tak seorangpun terlewatkan untuk diceritai. Saban hari ia keliling kampung menceritakan mimpinya. Pekerjaannya terbengkelai. Rumahtangganya tak terurus. Tetangganya menganggap ia tidak waras.
“Ya, biar saja. Mau ngomong apa mereka itu. Mereka toh tidak nambeli. Mereka tidak merasakan penderitaan saya. Bisanya hanya menertawakan penderitaan orang lain,” gerutu Maruto getir.
“Kalau begitu, jangan ngomel-ngomel lagi soal mimpi itu,” sergah Murtini kesal.
“Mereka keterlaluan. Apa jeleknya saya mengeluh?”
“Itu kan hanya mimpi to, Kang.”
“Tidak! Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Dan mungkin juga dalam otakmu!” sahut Maruto.
“Kayal! Wis embuh Kang, saya tidak tahu. Pusing!”
* * *
Suatu malam, di tengah makam. Maruto duduk termenung di dekat pusara bapak dan ibunya. Ia berharap malam itu bisa bertemu dengannya. Ia ingin mengadu tentang mimpinya itu. Maruto mendekap pusara bapaknya. Tangannya memukul-mukul tanah. Tangisnya tersedu-sedu seperti ketika masih kecil. Wajahnya dibenamkan ke tanah, seperti nasibnya yang terpuruk.
Tetapi, sampai jauh malam bapaknya tak menampakan diri. Ia beralih mendekap pusara ibunya, kemudian memukul-mukulnya. Diam. Hanya suara gelepar kelelawar dan gemersik daun kamboja yang mengusik keheningan. Maruto sesengukan. Sedih.
“Siapa itu!” hardik seseorang dari kegelapan. Cahaya senter menancap di wajah Maruto. “Mau mencuri mayat, ya?” lanjut seseorang dari kegelapan.
“Ini kuburan Bapak, Ibuku.”
“Mau apa?” Maruto tidak menjawab. Ia ragu-ragu. Apakah seseorang tanpa wajah itu percaya dengan omongannya?
“Saya ingin mengadu,” kata Maruto tersendat-sendat.
“Kamu itu sudah gila, ya!” Maruto terperanjat. Makian terburuk kembali menghantam dadanya. “Orang sudah mati kok dijadikan tempat mengadu. Ayo pulang! Dasar sinting!” hardik seseorang tanpa wajah itu.
Bulan sabit, mengiris-iris hati Maruto. Kunang-kunang menghantarkannya menelusuri gelap. Burung hantu mengikuti dengan tatapan mata kosong. Maruto teringat akan petuah bapaknya, “Hidup itu seperti berjalan dalam gelap. Dan dalam gelap itu ada jalan yang terang benderang yaitu kepasrahan.” Maruto tidak mengerti apakah ia telah menemukan jalan terang itu? Yang jelas ia kini terus menyusuri jalan yang benar-benar gelap. Ia berjalan tanpa arah, seperti pikirannya yang tidak karuan jluntrungnya. Ia tidak ingin kembali kerumahnya. Ia terus mencari orang yang mau menerima pengaduannya.
***
“Hanya orang gila yang meninggalkan istrinya, berminggu-minggu tanpa pamit,” omel Murtini, suatu siang. “Terus maunya itu, apa? Apa kalau mimpinya sudah terjawab, akan berubah hidupnya. Malah tambah kere begini. Mimpi kok aneh-aneh. Setiap malam berteriak-teriak. Setiap hari yang diceritakan hanya mimpinya. Pohon keramat, minta korban, tumbuh dalam otak. Khayal! Begitu kok tidak mau dikatakan gila. To, Maruto. Hidup kok sibuk ngurusi mimpi!” keluh Murtini, sampai napasnya tersengal-sengal menahan marah.
Akhirnya Murtini diam sendiri. Percuma, toh suaminya tak mendengarnya. Tetapi nyatanya umpatan itu telah mendarah daging. Saban hari, tanpa ia sadari, ia ngomel sendiri tidak karuan di depan rumahnya. Kalau sudah begitu, tetangganya pada bergerombol, sambil berbisik-bisik, “Murtini, gila.” Dan bisikan itu menyebar bagai angin. Semua orang akhirnya tahu Murtini memang benar-benar gila.
“To, To…apa kamu sudah modar! Nyangar istri berbulan-bulan tidak pernah memberi nafkah, membiarkan aku hidup menderita begitu. Suami gila, gendheng, edan! Awas kalau ketemu, akan aku bunuh kamu.” Dengan menghunus parang Murtini meninggalkan rumahnya. Matanya nyalang, menelusuri sudut-sudut kota, mencari suaminya.
***
Di sudut lorong kota, di bawah bangunan bobrok, Maruto berjalan tertatih-tatih. Wajahnya layu, mulutnya penuh busa, badanya lungrah, tak berdaya menahan kantuk. Setiap malam Maruto mengunjungi teman-temannya di seluruh pelosok kota. Ia menceritakan semua mimpi-mimpinya. Bahkan ia juga masuk ke panti-panti werda, rumah sakit, pos ronda, discotik, rumah bordil, kos mahasiswa, kasino, rumah pelukis, penyair, semua tak ketinggalan. Ia berharap, semua akan meringankan beban penderitaannya itu. Tetapi, yang didapat, makian, dampratan, usiran, dan senyum sinis dari mereka.
“Bajingan semua manusia itu,“ keluhnya. Kemudian ia pun kembali ngomel lagi, seperti orang kesurupan.
“Kenapa lihat-lihat?” hardik Maruto, pada seorang perempuan yang memandanginya. Perempuan itu membawa parang. “Ada yang lucu, ya?” kata Maruto lagi.
“Mukamu masam seperti kentut!” seru perempuan pembawa parang itu, sambil tertawa cekikikan. Maruto, hampir meradang. Tetapi kemudian ia juga tertawa.
“Ya, ya, sekarang aku tahu jawabannya, kenapa mereka tak mau menerimaku. Ternyata mukaku kayak kentut!” kata Maruto sambil terkekeh-kekeh.
“Tetapi, kamu tahu kenapa mukaku kayak kentut?” tanya Maruto, sesaat setelah mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kota. Tak ada jawaban. “Karena selama bertahun-tahun aku tak bisa berak dan kentut. Semua orang yang tak kentuti pada lari, karena kentutku memang mematikan,” kata Maruto sambil cengar-cengir.
“Ngomong-ngomong kenapa kamu membawa parang kemana-mana?” tanya Maruto tiba-tiba. Perempuan itu tiba-tiba berhenti. Ia bersandar ketembok yang penuh lumut. “Aku ingin membabat pohon!” jawabnya geram.
“Pohon?” tanya Maruto, seperti orang linglung. “Tetapi parangmu tak cukup tajam untuk membabatnya.”
“Pohonya, tidak terlalu besar kok. Ia kecil seperti kamu,” jawab perempuan.
“Seperti aku?”
“Ia, lelaki yang tidak bertanggung jawab!” keluh perempuan.
Mereka terus berjalan, menelusuri kota yang mendekati senja. Kota yang hiruk pikuk itu, tak mengerti keluh kesah mereka. Mereka berjalan seperti di lembah sunyi. Sunyi sekali.
“Hai, maukah kamu mendengarkan sesuatu dariku?”
“Apa itu?” tanya perempuan pembawa parang.
“Cerita indah tentang pohon. Ya, mungkin pohon yang ingin kamu tebang itu. Tapi sebenarnya bila saya mampu saya hendak menebangnya sendiri. Tetapi tak kuasa.”
“Ceritakanlah.”
Lelaki itu kemudian bercerita. Ia bercerita tentang pohon. Ceritanya panjang sekali. Walaupun aneh dan tidak bisa dinalar, perempuan pembawa parang itu mendengarkannya dengan tulus. Ia mendengarkan dengan sorot mata yang tak pernah berkedip. Maruto bercerita dengan emosi yang meluap-luap. Segala keluh kesahnya tumpah ruah. Cerita itu seperti tidak akan ada habisnya.
Maruto bercerita dari senja ke senja. Cerita itu bagaikan berbingkai-bingkai. Ini hukuman terberat yang harus diembannya. Sementara istrinya tak pernah mengerti bahwa dibalik mimpi-mimpinya itu adalah keniscayaan hidup yang terus dikuntit ketakutan-ketakutan. Sementara orang-orang yang dulu disubya-subya untuk menjadi wakilnya, kini malah menyingkangnya, bahkan terkadang juga mengancamnya. Kesetian tak berharaga sama sekali. Kerendahan hati dan ketulusan Maruto untuk menjadi simpatisan partai Beringin yang menyebabkan mbah Karto Dengkek menjadi lurah hampir seumur hidup, hanya dihargai puluhan ribu dan dua kaos atau terkadang supermi.
Sayang istrinya tak mengerti, di balik gerumbul pohon-pohon itu ada ratusan pencoleng yang siap menerkam gubuk-gubuk yang tak bernomer rumah itu. Kalau saja istrinya mau mendengar, ia tidak akan melakoni hidup pontang-panting. Namun Maruto sadar, jangankan istrinya, semua orang yang dikeluh kesahi pun tak akan percaya. Meski demikian, Maruto tetap tak ingin hidupnya terus dikuntit oleh maut.
“Kamu satu-satunya orang terakhir yang mau mendengar keluh kesahku tentang pohon-pohon bermayat yang terus meneror hidupku, “ kata lelaki itu. “Cerita itu tidak pernah bisa berakhir. Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Tampaknya kamulah orang yang bisa mengakhirinya,” lanjut lelaki itu.
Perempuan pembawa parang hanya diam. Kesunyian menyisakan degup jantung yang semakin keras. Sementara dikejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu lampion dari sebuah gedung negara. Perempuan itu bertanya-tanya, mengapa semua orang memasang lampu begitu terang benderang, sementara hidupnya sediri muram, bagai lampu kehabisan minyak? Perempuan itu juga bertanya-tanya, siapa lelaki di sampingnya yang telah tulus, telah menceritakan panjang lebar seluruh kemuramannya sehingga hatinya menjadi lega, berpancaran, bagai lampu-lampu neon jauh di seberang sana. Mengapa cerita itu persis dengan yang ia alami?
Perempuan itu hanya tersenyum kecut. Ia tidak menyadari telah melakukan perjalanan jauh menelusuri jalan-jalan terjal dalam hidupnya. Ia sadar cerita yang panjang itu, cerita yang menakutakan itu adalah cerita tentang hidupnya sendiri. Perempuan itu tak bisa memejamkan mata. Ia tak ingin ketakuatanya berkepanjangan. Ia ingin mengakhiri cerita itu.
“Tahukah kamu akhir dari cerita ini?” tanya Maruto seteleh keheningan memuncak di ubun-ubun.
“Menebang pohon itu,” jawab perempuan pembawa parang itu tegas.
“Tepat sekali. Kamu telah menemukan pohon yang akan kamu tebang. Lakukanlah!” Tanpa disadarinya perempuan pembawa parang itu telah menghunuskan parangnya. Ia bersiap membabat pohon dalam kepala Maruto. Desah napasnya begitu memburu. Ia melihat Maruto begitu pasrah. Ia mengacungkan parang sambil memejamkan mata. Ia teringat lelaki yang tak pernah berhenti mengeluh tentang pohon-pohon bermayat. Tetapi keputusannya harus segera mengakhiri penderitaannya. “Creeees!”
Malam gelap sekali. Dalam gelap itu terbentang jalan terang. Disana bapak dan ibu Maruto melambai-lambaikan tangannya. Maruto segera berlari dan memeluk erat orang tuanya. Sedetik kemudian, ia melihat sekelingnya gelap. Gelap sekali. Tidak ada cahaya. **
Surabaya, 2001
31/12/08
Masa Depan Teater Jawa Timur
Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/
Bicara problematik teater di Jawa Timur atau bahkan di Indonesia, kalau mau kita sederhanakan, sejak jaman Usmar Ismail dengan Sandirwara Mayanya, adalah hampir memiliki kesemaan. Sejak jaman Usmar Ismail sampai generasi teater Indonesia terkini teater masih bernasib sama, diperjuangkan sampai tetes darah terakhir.
Cerita tentang jual-menjual harta benda untuk sebuah pementasan terjadi sejak jaman itu, hingga sekarang. Ekonomi dan infrastruktur yang minim juga masih berlangsung hingga saat ini. Teater dijauhi penonton juga terjadi turun temurun. Teater termarjinalkan juga seperti kutukan, hinggap dalam tubuh teater hingga saat ini pula.
Memang berbicara teater selalu menyulut kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan. Tetapi di balik kemuraman itu juga tersimpan harapan dan impian yang coba terus disusun meski kemudian runtuh lagi, persis seperti Sisipus. Teater masih tumbuh pada wilayah-wilayah lokal yang sempit di antara para individu yang saling kenal, meski kalau diibaratkan patah tumbuh hilang berganti.
Selama rentang 365 hari ini, apa yangg terjadi dengan teater di Jawa Timur? Kalau kita jujur, selama setahun ini tidak ada yang patut kita catat, meski ada letupan-letupan kecil, tapi itu hanya peristiwa yang muncul sesaat dalam lingkaran area kecil.
Letupan-letupan kecil itu seperti, beberapa performing art Ilham J Badai di berbagai forum, Pesta Pencuri garapan Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya, Percakapan Dari Dalam Kulkas sanggar Lentera STKIP Sumenep, Nyai Ontosoroh teater Institut Unesa, Satu Malam 3 Cerita Teater Nol Surabaya, Monumen-Monumen komunitas Jadul Surabaya, dan beberapa letupan lainnya. Namun letupan itu hanya berlalu begitu saja, kemudian sunyi.
Selebihnya kita kemudian berganti menyaksikan segala peristiwa keseharian yang ternyata lebih mengoyak kesadaran dan emosi kita. Kisah tentang lumpur Lapindo, pabrik narkotika, bencana alam, kriminalitas, korupsi, carut marut politik, lebih memiliki kekuatan dramaturgi dengan adegan-adegan yang lebih teatrikal.
Disaat seperti itu, teater (kita) hanya mampu berdiri di pojok panggung besar kehidupan ini sembari merasa sedih karena hampir potensi dalam dirinya ‘dimanfaatkan’ pihak lain. Lahan teater semakin menyempit, karena telah kehilangan momentum. Teater menjadi gagap menilai tanda bahkan gagap mengidentifikasi dirinya. Akibatnya ia merasa menjadi makluk yang terasing dalam pranata sosial dan budaya. Padahal sejak jaman bahula, teater hidup dalam pranata itu.
Karena itu (mungkin benar) tengara Radhar Paca Dahana bahwa dalam dekade terakhir teater mengalami stagnasi. Artinya, selama dekade terakhir ini pekerja teater tidak mampu memperlihatkan diri sebagai entitas yang kukuh. Sebenarnya, seratus tahun perjalanan teater (modern) adalah modal sejarah dan modal budaya yang pantas dimanfaatkan untuk menempatkan teater dalam posisi kultural yang lebih baik
Tanpa menafikan beberapa pencapaian sporadis, dalam dekade belakangan ini, pada umumnya teater maupun teaterawan, terasa inferior ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga lain di luar dirinya. Teater menjadi lembaga yang klepto. Teater perlu seni rupa. Teater perlu tari. Teater perlu film. Teater perlu musik. Teater perlu pencanggihan estetika pertunjukan yang sekaligus merayakan pembunuhan aktor-aktornya.
Teater menjadi semacam subordinasi. Padahal sejak jaman bahula, teater merupakan entitas budaya yang melebur dalam kehidupan masyarakat. Karenanya teater tidak saja sebuah pertunjukan, tetapi bagian dari ritual, bahkan baian dari pandangan hidup tersendiri. Namun di tengah kebudayaan modern (baca : barat), teater menjadi subordinasi kebudayaan, bahkan semakin menyempit menjadi subordinasi seni.
Padahal seperti diungkapkan Jakob Sumardjo bahwa teater Indonesia telah ada ribuan tahun yang lalu. Dengan berbagai upacara yang menjadi ikon masyarakat, secara tidak langsung, teater telah menjadi bagian dari proses kehidupan masyarakat kita. Upacara-upacara yang digelar masyarakat kita, percakapan-percakapan soal hidup, soal cinta, telah masuk menjadi bagian dari ritus teater kita.
Memahami problim saat ini sebenarnya kita tengah membaca masa depan teater kita. Nasib teater di Jawa Timur ke depan, tergantung dari cara kita mengolah persoalan yang terjadi saat ini.
Letupan-letupan kecil yang terjadi dalam komunitas-komunitas mungkin akan menjadi amunisi yang dahsyat ledakannya, jika mampu kita kelola secara bersama-sama. Sementara ini, masing-masing masih terksesan berjalan sendiri-sendiri, sehingga upaya- menjadikan teater sebagai proses budaya secara utuh sulit tercapai.
Berteater memang berbeda dengan berseni rupa atau bersastra. Teater membutuhkan ikatan komunal. Berteater tidak bisa bekerja sendiri, meski harus diakui di dalam ikatan komunal itu ada stake holder yang menonjol, sebagai penggerak.
Karena itu, saya sepakat pada Goenawan Mohamad, saat deklarasi Federasi Teater Indonesia di Jakarta tahun 2004 lalu, agar aktivis teater membentuk semacam ‘gilda’ atau kelompok kerja menurut bidang masing-masing. Pembentukan gilda ini, sebagai tempat tukar pikiran para pekerja teater. Gilda-gilda juga berfungsi untuk tukar pengalaman dan memberikan masukan ke beberapa lembaga teater.
Pembentukan kelompok kerja ini, agar semua aktivis teater bisa tertampung. Karena tidak semua orang punya bakat main teater, tetapi mungkin ia punya bakat di organisasi. Inilah perlunya menampung semua orang yang punya minat di dunia teater.
Namun apakah ide itu efektif atau tidak, sebernanya bergantung dari upaya pekerja teater untuk melakukan perubahan. Sejauh ini saya melihat kelemahan teater (di Jawa Timur) terletak pada kerja kolektifnya yang sering saya sebut ‘civitas akademika teater’ yang terdiri dari pekerja teater, kritikus teater, dramaturg, media massa, dan penonton.
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.
http://teaterapakah.blogspot.com/
Bicara problematik teater di Jawa Timur atau bahkan di Indonesia, kalau mau kita sederhanakan, sejak jaman Usmar Ismail dengan Sandirwara Mayanya, adalah hampir memiliki kesemaan. Sejak jaman Usmar Ismail sampai generasi teater Indonesia terkini teater masih bernasib sama, diperjuangkan sampai tetes darah terakhir.
Cerita tentang jual-menjual harta benda untuk sebuah pementasan terjadi sejak jaman itu, hingga sekarang. Ekonomi dan infrastruktur yang minim juga masih berlangsung hingga saat ini. Teater dijauhi penonton juga terjadi turun temurun. Teater termarjinalkan juga seperti kutukan, hinggap dalam tubuh teater hingga saat ini pula.
Memang berbicara teater selalu menyulut kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan. Tetapi di balik kemuraman itu juga tersimpan harapan dan impian yang coba terus disusun meski kemudian runtuh lagi, persis seperti Sisipus. Teater masih tumbuh pada wilayah-wilayah lokal yang sempit di antara para individu yang saling kenal, meski kalau diibaratkan patah tumbuh hilang berganti.
Selama rentang 365 hari ini, apa yangg terjadi dengan teater di Jawa Timur? Kalau kita jujur, selama setahun ini tidak ada yang patut kita catat, meski ada letupan-letupan kecil, tapi itu hanya peristiwa yang muncul sesaat dalam lingkaran area kecil.
Letupan-letupan kecil itu seperti, beberapa performing art Ilham J Badai di berbagai forum, Pesta Pencuri garapan Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya, Percakapan Dari Dalam Kulkas sanggar Lentera STKIP Sumenep, Nyai Ontosoroh teater Institut Unesa, Satu Malam 3 Cerita Teater Nol Surabaya, Monumen-Monumen komunitas Jadul Surabaya, dan beberapa letupan lainnya. Namun letupan itu hanya berlalu begitu saja, kemudian sunyi.
Selebihnya kita kemudian berganti menyaksikan segala peristiwa keseharian yang ternyata lebih mengoyak kesadaran dan emosi kita. Kisah tentang lumpur Lapindo, pabrik narkotika, bencana alam, kriminalitas, korupsi, carut marut politik, lebih memiliki kekuatan dramaturgi dengan adegan-adegan yang lebih teatrikal.
Disaat seperti itu, teater (kita) hanya mampu berdiri di pojok panggung besar kehidupan ini sembari merasa sedih karena hampir potensi dalam dirinya ‘dimanfaatkan’ pihak lain. Lahan teater semakin menyempit, karena telah kehilangan momentum. Teater menjadi gagap menilai tanda bahkan gagap mengidentifikasi dirinya. Akibatnya ia merasa menjadi makluk yang terasing dalam pranata sosial dan budaya. Padahal sejak jaman bahula, teater hidup dalam pranata itu.
Karena itu (mungkin benar) tengara Radhar Paca Dahana bahwa dalam dekade terakhir teater mengalami stagnasi. Artinya, selama dekade terakhir ini pekerja teater tidak mampu memperlihatkan diri sebagai entitas yang kukuh. Sebenarnya, seratus tahun perjalanan teater (modern) adalah modal sejarah dan modal budaya yang pantas dimanfaatkan untuk menempatkan teater dalam posisi kultural yang lebih baik
Tanpa menafikan beberapa pencapaian sporadis, dalam dekade belakangan ini, pada umumnya teater maupun teaterawan, terasa inferior ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga lain di luar dirinya. Teater menjadi lembaga yang klepto. Teater perlu seni rupa. Teater perlu tari. Teater perlu film. Teater perlu musik. Teater perlu pencanggihan estetika pertunjukan yang sekaligus merayakan pembunuhan aktor-aktornya.
Teater menjadi semacam subordinasi. Padahal sejak jaman bahula, teater merupakan entitas budaya yang melebur dalam kehidupan masyarakat. Karenanya teater tidak saja sebuah pertunjukan, tetapi bagian dari ritual, bahkan baian dari pandangan hidup tersendiri. Namun di tengah kebudayaan modern (baca : barat), teater menjadi subordinasi kebudayaan, bahkan semakin menyempit menjadi subordinasi seni.
Padahal seperti diungkapkan Jakob Sumardjo bahwa teater Indonesia telah ada ribuan tahun yang lalu. Dengan berbagai upacara yang menjadi ikon masyarakat, secara tidak langsung, teater telah menjadi bagian dari proses kehidupan masyarakat kita. Upacara-upacara yang digelar masyarakat kita, percakapan-percakapan soal hidup, soal cinta, telah masuk menjadi bagian dari ritus teater kita.
Memahami problim saat ini sebenarnya kita tengah membaca masa depan teater kita. Nasib teater di Jawa Timur ke depan, tergantung dari cara kita mengolah persoalan yang terjadi saat ini.
Letupan-letupan kecil yang terjadi dalam komunitas-komunitas mungkin akan menjadi amunisi yang dahsyat ledakannya, jika mampu kita kelola secara bersama-sama. Sementara ini, masing-masing masih terksesan berjalan sendiri-sendiri, sehingga upaya- menjadikan teater sebagai proses budaya secara utuh sulit tercapai.
Berteater memang berbeda dengan berseni rupa atau bersastra. Teater membutuhkan ikatan komunal. Berteater tidak bisa bekerja sendiri, meski harus diakui di dalam ikatan komunal itu ada stake holder yang menonjol, sebagai penggerak.
Karena itu, saya sepakat pada Goenawan Mohamad, saat deklarasi Federasi Teater Indonesia di Jakarta tahun 2004 lalu, agar aktivis teater membentuk semacam ‘gilda’ atau kelompok kerja menurut bidang masing-masing. Pembentukan gilda ini, sebagai tempat tukar pikiran para pekerja teater. Gilda-gilda juga berfungsi untuk tukar pengalaman dan memberikan masukan ke beberapa lembaga teater.
Pembentukan kelompok kerja ini, agar semua aktivis teater bisa tertampung. Karena tidak semua orang punya bakat main teater, tetapi mungkin ia punya bakat di organisasi. Inilah perlunya menampung semua orang yang punya minat di dunia teater.
Namun apakah ide itu efektif atau tidak, sebernanya bergantung dari upaya pekerja teater untuk melakukan perubahan. Sejauh ini saya melihat kelemahan teater (di Jawa Timur) terletak pada kerja kolektifnya yang sering saya sebut ‘civitas akademika teater’ yang terdiri dari pekerja teater, kritikus teater, dramaturg, media massa, dan penonton.
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita