06/01/09

Cerita Indah Tentang Pohon

Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/

Maruto mencelat dari tempat tidur. Tubuhnya menggeliat-geliat, seperti bohon digasak angin. Ia mengerang-ngerang. Maruto berteriak sekuat tenaga. Tetapi teriakannya seperti disekap gelap. Maruto bertambah kalap. Burung gagak berkaok-kaok. Suara tangis menyayat-nyayat. Tembang megatruh terdengar lamat-lamat.

“Bangun, wong lanang, tidak tahu malu!” seru Murtini. Maruto tergagap dari tidurnya. Napasnya satu-satu. Wajahnya basah kuyup oleh air. Mulutnya hendak membuka. Tetapi Murtini segera menyahut.

“Apa, mimpi lagi? Pohon lagi?” kata Murtini sengak.

“Jancuk !! Kamu itu bagaimana to, wong suaminya…”
“Suami apa? Kerjaannya ngumbar mimpi. Prek…!” sahut Murtini sengit.

“Mimpi itu datang lagi. Ia menyiksaku, Mur!”
“Alah, menyiksa apa? Wong kalau tidur mesti ngorok begitu.”

Murtini tidak tahu, Maruto sebenarnya sudah berusaha melupakan mimpi yang setiap malam datang padanya. Tetapi seolah-olah mimpi itu telah menjadi bagian dari tidurnya. Sedetikpun ia tertidur, maka mimpi itu datang juga. Maruto sendiri tidak pernah mengerti sejak kapan mimpi pohon datang. Tiba-tiba mimpi itu datang begitu saja.

Tiba-tiba? Ya, tiba-tiba. Karena memang Maruto tidak pernah nggubris dengan mimpi yang datang padanya. Tetapi ketika mimpi pohon itu berulang kali datang, ia sadar akan gangguan yang tiba-tiba itu. Kalau sekarang ia banyak mengeluh, karena memang dipaksa keadaan. Mimpi itu memang benar-benar menyiksa. Bayangkan saja, sedetik ia terlelap, tiba-tiba mimpi itu datang.

“Ya, menakutkan sekali! Tapi kok aneh sekali. Masak ada pohon tumbuh dalam otak? Pohon apa itu?” kata mbah Karto Dengkek, pada suatu hari, mengomentari ceritanya Maruto.

“Pohonya tinggi dan berdaun lebat, Mbah.”

“Wo, kalau tidak pohon gayam, mahoni, trembesi, pasti beringin?”
“Saya tidak tahu, Mbah.”

“Wah, yaitu. Kamu harus tahu. Kalau tidak tahu lupakan saja,” kata Mbah Karto Dengkek.

“Jadi sampeyan juga tidak mengerti arti mimpi saya itu, Mbah?”
“Kembangnya tidur,” jawab Mbah Karto Dengkek, singkat.

Habis sudah! Orang satu-satunya yang dianggap mau menerima pengaduannya juga tidak mempercayainya. Malah menertawakan. Padahal, Maruto dulu corongnya Mbah Karto Dengkek, untuk menjadi lurah. Tetapi kini ia seakan telah melupakan jerih payah Maruto.

Tragisnya, kini mimpinya itu menjadi bahan tertawaan bagi siapa saja yang diceritai.Tetapi, tertawanya orang lain itu justru membuatnya semakin ingin tahu jawaban mimpinya yang semakin hari, semakin meneror hidupnya.

Tak seorangpun terlewatkan untuk diceritai. Saban hari ia keliling kampung menceritakan mimpinya. Pekerjaannya terbengkelai. Rumahtangganya tak terurus. Tetangganya menganggap ia tidak waras.

“Ya, biar saja. Mau ngomong apa mereka itu. Mereka toh tidak nambeli. Mereka tidak merasakan penderitaan saya. Bisanya hanya menertawakan penderitaan orang lain,” gerutu Maruto getir.

“Kalau begitu, jangan ngomel-ngomel lagi soal mimpi itu,” sergah Murtini kesal.
“Mereka keterlaluan. Apa jeleknya saya mengeluh?”
“Itu kan hanya mimpi to, Kang.”

“Tidak! Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Dan mungkin juga dalam otakmu!” sahut Maruto.

“Kayal! Wis embuh Kang, saya tidak tahu. Pusing!”
* * *

Suatu malam, di tengah makam. Maruto duduk termenung di dekat pusara bapak dan ibunya. Ia berharap malam itu bisa bertemu dengannya. Ia ingin mengadu tentang mimpinya itu. Maruto mendekap pusara bapaknya. Tangannya memukul-mukul tanah. Tangisnya tersedu-sedu seperti ketika masih kecil. Wajahnya dibenamkan ke tanah, seperti nasibnya yang terpuruk.

Tetapi, sampai jauh malam bapaknya tak menampakan diri. Ia beralih mendekap pusara ibunya, kemudian memukul-mukulnya. Diam. Hanya suara gelepar kelelawar dan gemersik daun kamboja yang mengusik keheningan. Maruto sesengukan. Sedih.

“Siapa itu!” hardik seseorang dari kegelapan. Cahaya senter menancap di wajah Maruto. “Mau mencuri mayat, ya?” lanjut seseorang dari kegelapan.

“Ini kuburan Bapak, Ibuku.”
“Mau apa?” Maruto tidak menjawab. Ia ragu-ragu. Apakah seseorang tanpa wajah itu percaya dengan omongannya?

“Saya ingin mengadu,” kata Maruto tersendat-sendat.
“Kamu itu sudah gila, ya!” Maruto terperanjat. Makian terburuk kembali menghantam dadanya. “Orang sudah mati kok dijadikan tempat mengadu. Ayo pulang! Dasar sinting!” hardik seseorang tanpa wajah itu.

Bulan sabit, mengiris-iris hati Maruto. Kunang-kunang menghantarkannya menelusuri gelap. Burung hantu mengikuti dengan tatapan mata kosong. Maruto teringat akan petuah bapaknya, “Hidup itu seperti berjalan dalam gelap. Dan dalam gelap itu ada jalan yang terang benderang yaitu kepasrahan.” Maruto tidak mengerti apakah ia telah menemukan jalan terang itu? Yang jelas ia kini terus menyusuri jalan yang benar-benar gelap. Ia berjalan tanpa arah, seperti pikirannya yang tidak karuan jluntrungnya. Ia tidak ingin kembali kerumahnya. Ia terus mencari orang yang mau menerima pengaduannya.
***

“Hanya orang gila yang meninggalkan istrinya, berminggu-minggu tanpa pamit,” omel Murtini, suatu siang. “Terus maunya itu, apa? Apa kalau mimpinya sudah terjawab, akan berubah hidupnya. Malah tambah kere begini. Mimpi kok aneh-aneh. Setiap malam berteriak-teriak. Setiap hari yang diceritakan hanya mimpinya. Pohon keramat, minta korban, tumbuh dalam otak. Khayal! Begitu kok tidak mau dikatakan gila. To, Maruto. Hidup kok sibuk ngurusi mimpi!” keluh Murtini, sampai napasnya tersengal-sengal menahan marah.

Akhirnya Murtini diam sendiri. Percuma, toh suaminya tak mendengarnya. Tetapi nyatanya umpatan itu telah mendarah daging. Saban hari, tanpa ia sadari, ia ngomel sendiri tidak karuan di depan rumahnya. Kalau sudah begitu, tetangganya pada bergerombol, sambil berbisik-bisik, “Murtini, gila.” Dan bisikan itu menyebar bagai angin. Semua orang akhirnya tahu Murtini memang benar-benar gila.

“To, To…apa kamu sudah modar! Nyangar istri berbulan-bulan tidak pernah memberi nafkah, membiarkan aku hidup menderita begitu. Suami gila, gendheng, edan! Awas kalau ketemu, akan aku bunuh kamu.” Dengan menghunus parang Murtini meninggalkan rumahnya. Matanya nyalang, menelusuri sudut-sudut kota, mencari suaminya.
***

Di sudut lorong kota, di bawah bangunan bobrok, Maruto berjalan tertatih-tatih. Wajahnya layu, mulutnya penuh busa, badanya lungrah, tak berdaya menahan kantuk. Setiap malam Maruto mengunjungi teman-temannya di seluruh pelosok kota. Ia menceritakan semua mimpi-mimpinya. Bahkan ia juga masuk ke panti-panti werda, rumah sakit, pos ronda, discotik, rumah bordil, kos mahasiswa, kasino, rumah pelukis, penyair, semua tak ketinggalan. Ia berharap, semua akan meringankan beban penderitaannya itu. Tetapi, yang didapat, makian, dampratan, usiran, dan senyum sinis dari mereka.

“Bajingan semua manusia itu,“ keluhnya. Kemudian ia pun kembali ngomel lagi, seperti orang kesurupan.

“Kenapa lihat-lihat?” hardik Maruto, pada seorang perempuan yang memandanginya. Perempuan itu membawa parang. “Ada yang lucu, ya?” kata Maruto lagi.

“Mukamu masam seperti kentut!” seru perempuan pembawa parang itu, sambil tertawa cekikikan. Maruto, hampir meradang. Tetapi kemudian ia juga tertawa.

“Ya, ya, sekarang aku tahu jawabannya, kenapa mereka tak mau menerimaku. Ternyata mukaku kayak kentut!” kata Maruto sambil terkekeh-kekeh.

“Tetapi, kamu tahu kenapa mukaku kayak kentut?” tanya Maruto, sesaat setelah mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kota. Tak ada jawaban. “Karena selama bertahun-tahun aku tak bisa berak dan kentut. Semua orang yang tak kentuti pada lari, karena kentutku memang mematikan,” kata Maruto sambil cengar-cengir.

“Ngomong-ngomong kenapa kamu membawa parang kemana-mana?” tanya Maruto tiba-tiba. Perempuan itu tiba-tiba berhenti. Ia bersandar ketembok yang penuh lumut. “Aku ingin membabat pohon!” jawabnya geram.

“Pohon?” tanya Maruto, seperti orang linglung. “Tetapi parangmu tak cukup tajam untuk membabatnya.”
“Pohonya, tidak terlalu besar kok. Ia kecil seperti kamu,” jawab perempuan.
“Seperti aku?”
“Ia, lelaki yang tidak bertanggung jawab!” keluh perempuan.

Mereka terus berjalan, menelusuri kota yang mendekati senja. Kota yang hiruk pikuk itu, tak mengerti keluh kesah mereka. Mereka berjalan seperti di lembah sunyi. Sunyi sekali.

“Hai, maukah kamu mendengarkan sesuatu dariku?”
“Apa itu?” tanya perempuan pembawa parang.
“Cerita indah tentang pohon. Ya, mungkin pohon yang ingin kamu tebang itu. Tapi sebenarnya bila saya mampu saya hendak menebangnya sendiri. Tetapi tak kuasa.”
“Ceritakanlah.”

Lelaki itu kemudian bercerita. Ia bercerita tentang pohon. Ceritanya panjang sekali. Walaupun aneh dan tidak bisa dinalar, perempuan pembawa parang itu mendengarkannya dengan tulus. Ia mendengarkan dengan sorot mata yang tak pernah berkedip. Maruto bercerita dengan emosi yang meluap-luap. Segala keluh kesahnya tumpah ruah. Cerita itu seperti tidak akan ada habisnya.

Maruto bercerita dari senja ke senja. Cerita itu bagaikan berbingkai-bingkai. Ini hukuman terberat yang harus diembannya. Sementara istrinya tak pernah mengerti bahwa dibalik mimpi-mimpinya itu adalah keniscayaan hidup yang terus dikuntit ketakutan-ketakutan. Sementara orang-orang yang dulu disubya-subya untuk menjadi wakilnya, kini malah menyingkangnya, bahkan terkadang juga mengancamnya. Kesetian tak berharaga sama sekali. Kerendahan hati dan ketulusan Maruto untuk menjadi simpatisan partai Beringin yang menyebabkan mbah Karto Dengkek menjadi lurah hampir seumur hidup, hanya dihargai puluhan ribu dan dua kaos atau terkadang supermi.

Sayang istrinya tak mengerti, di balik gerumbul pohon-pohon itu ada ratusan pencoleng yang siap menerkam gubuk-gubuk yang tak bernomer rumah itu. Kalau saja istrinya mau mendengar, ia tidak akan melakoni hidup pontang-panting. Namun Maruto sadar, jangankan istrinya, semua orang yang dikeluh kesahi pun tak akan percaya. Meski demikian, Maruto tetap tak ingin hidupnya terus dikuntit oleh maut.

“Kamu satu-satunya orang terakhir yang mau mendengar keluh kesahku tentang pohon-pohon bermayat yang terus meneror hidupku, “ kata lelaki itu. “Cerita itu tidak pernah bisa berakhir. Pohon itu benar-benar tumbuh dalam otakku. Tampaknya kamulah orang yang bisa mengakhirinya,” lanjut lelaki itu.

Perempuan pembawa parang hanya diam. Kesunyian menyisakan degup jantung yang semakin keras. Sementara dikejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu lampion dari sebuah gedung negara. Perempuan itu bertanya-tanya, mengapa semua orang memasang lampu begitu terang benderang, sementara hidupnya sediri muram, bagai lampu kehabisan minyak? Perempuan itu juga bertanya-tanya, siapa lelaki di sampingnya yang telah tulus, telah menceritakan panjang lebar seluruh kemuramannya sehingga hatinya menjadi lega, berpancaran, bagai lampu-lampu neon jauh di seberang sana. Mengapa cerita itu persis dengan yang ia alami?

Perempuan itu hanya tersenyum kecut. Ia tidak menyadari telah melakukan perjalanan jauh menelusuri jalan-jalan terjal dalam hidupnya. Ia sadar cerita yang panjang itu, cerita yang menakutakan itu adalah cerita tentang hidupnya sendiri. Perempuan itu tak bisa memejamkan mata. Ia tak ingin ketakuatanya berkepanjangan. Ia ingin mengakhiri cerita itu.

“Tahukah kamu akhir dari cerita ini?” tanya Maruto seteleh keheningan memuncak di ubun-ubun.
“Menebang pohon itu,” jawab perempuan pembawa parang itu tegas.

“Tepat sekali. Kamu telah menemukan pohon yang akan kamu tebang. Lakukanlah!” Tanpa disadarinya perempuan pembawa parang itu telah menghunuskan parangnya. Ia bersiap membabat pohon dalam kepala Maruto. Desah napasnya begitu memburu. Ia melihat Maruto begitu pasrah. Ia mengacungkan parang sambil memejamkan mata. Ia teringat lelaki yang tak pernah berhenti mengeluh tentang pohon-pohon bermayat. Tetapi keputusannya harus segera mengakhiri penderitaannya. “Creeees!”

Malam gelap sekali. Dalam gelap itu terbentang jalan terang. Disana bapak dan ibu Maruto melambai-lambaikan tangannya. Maruto segera berlari dan memeluk erat orang tuanya. Sedetik kemudian, ia melihat sekelingnya gelap. Gelap sekali. Tidak ada cahaya. **

Surabaya, 2001

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita