M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Tentu sudah bukan menjadi pemikiran yang baru ketika saya di sini memulai mengungkapkan kembali mengenai nilai keuniversalan karya sastra dan skemanya sebagai suatu manifestasi dunia kehidupan. Pembacaan pada karya sastra akan membawa kita pada fenomena masyarakat atas dunia kehidupan yang dipahami seorang sastrawan sebagai salah satu agen edukasional. Saya mendasarkan ini pada pendapat Horatius yang menempatkan sastra sebagai media yang mengandungi dua nilai utama, yaitu mendidik dan menggerakkan. Berbekal nilai ini karya sastra, tidak menjadi hal yang muluk kalau, sastrawan sebagai agen edukasional bertanggung jawab sebagai “guru humanis”. Kedudukan ini merupakan suatu kehormatan bagi para sastrawan, di samping paradigma lain yang menempatkan karya sastra sebagai teks yang mensucikan jiwa manusia, khatarsis dalam bahasa Aristoteles. Mengantongi pendapat Aristoteles ini, karya sastra menempati posisi yang begitu tinggi. Tidak sekedar sebagai lembaga pengajaran bermediumkan bahasa, di dalamnya juga menanggung tanggung jawab berat. Bobot karya sastra, karena itu, dapat dilacak dari muatan edukasional yang terkandung, tentu saja edukasional yang mencerahkan. Tidak ada salahnya kalau kemudian kita mengatakan bahwa sastra memiliki kedekatan dengan agama.
Sastra dalam penyampaiannya memuat tiga faktor penting seperti yang sudah saya sebutkan di atas, yaitu mendidik, menggerakkan, dan selanjutnya mencerahkan. Tiga muatan ini akan mengarahkan kita pada sastra bertendens, mengantongi misi tertentu yang dimaksudkan oleh subjek kreator. Kita akan menemukan berbagai bentuk (sastra) propaganda, seperti yang diungkapkan Lu Hsun (1928) bahwa “semua sastra sebagai propaganda”.
Di tempat lain, Leon Trotsky mengungkapkan peran seni (dan sastra) sebagai perwujudan dari pelayanan sosial. Hal ini saya kira karena didasari oleh tiga muatan sastra tadi; melakukan pelayanan sosial dengan mendidik, berusaha menggerakkan, dan untuk mensucikan jiwa manusia.
Menjadi seorang sastrawan (pekerja sastra) bagi saya adalah sebagai suatu pilihan. Saya tidak tahu, apakan saya memiliki bakat alam atau karena faktor sosial lain. Karena menjadi pilihan itu, pekerja sastra menghadapi pilihan lain dalam menempatkan diri dan karya yang dihasilkan. Hal yang saya sadari betul sebagai tanggung jawab yang secara sadar telah saya ambil sebagai sastrawan (kalau “gelar” sastrawan itu pantas saya sandang, namun saya lebih senang disebut dengan propagandis).
KEMUNCULAN “PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA”
Ada Pembunuh di Istana Negara, hal ini yang coba saya angkat ke dalam sebuah tema cerita, sekaligus inti dari novel (baca saja: propaganda) yang saya kreasikan. Novel ini lahir di tengah maraknya eksotis dan ekstase cinta yang menebar di dalam nuansa kesusastraan Indonesia. Hadir dalam rangka mengangkat ruh perjuangan di masa lalu ketika sastrawan memiliki keberanian untuk memainkan peran sebagai pilar penopang demokrasi. Saya menyakini, kalau sastrawan harus berani mengabil sikap, memperjelas paradigma kenegaraan sebagai warga negara untuk beroposisi atau penyokong status quo pemerintah.
Menghadapi kenyataan yang teramat nyata, sungguh terlalu banyak di kalangan sastrawan yang melepaskan kebersinggungan dengan dunia politik. Bahkan para penulis yang telah dilabeli dengan bandrol penulis paling inspiratif, penulis best-seller dan seabrek istilah lainnya, menempatkan wilayah politik dalam nuansa yang abu-abu. Saya merasa kalau banyak sastrawan yang merasa tabu berhadapan dengan masalah politik sampai terkadang hanya tersentil sedikit sebagai bumbu yang entah itu sebagai pemanis atau sebagai percikan garam.
Dengan memperkenalkan PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA (PDIN) yang terbit tahun 2010, sebagai seorang propagandis saya merasakan kebermanfaatannya. Melalui novel itu saya berusaha menempatkan diri, memperlihatkan pada masyarakat sastra secara gamblang tentang bumi mana yang dipijak oleh M.D. Atmaja. Jelas, untuk menempatkan siapa lawan dan siapa kawan. Lawan dan kawan saya berada jauh dari peperangan dunia sastra, misalnya antara kawan Saut Situmorang (boemipoetra) VS Teater Utan Kayu (TUK). Musuh saya adalah setiap sendi kehidupan yang menjadi penghalang bagi terwujudnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (PDIN, 2010: 5).
Soekarno telah memesankan pada kita untuk tidak melupakan sejarah, paradigma M-D-H (Materialisme-Dialektika-Historis) mengarahkan penulis untuk memahami realitas historis, dan juga falsafah Pancasila mengajarkan untuk menjadi “manusia”, karena itu saya memperkenalkan PDIN sebagai novel pertama. Saya yakin, bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah perlawanan pada kesewenangan dan ketidak-adilan, sejarah perlawanan pada penindasan manusia atas manusia lain, dan saya secara sadar menempatkan PDIN sebagai mukadimah perang itu. Bahwa di tanah merah darah Indonesia, masih tersisa beberapa orang, salah satunya M.D. Atmaja sebagai propagandis, pun ada juga si Politikus Sastra (Saut Situmorang) yang belum berhasil dibinasakan. Sastra harus menempatkan dirinya, sebagai suara keadilan.
BERSAMA PDIN; PEREMPUAN, CINTA, DAN POLITIK
Penempatan novel PDIN sebagai sastra yang berada di garis politik tidak semerta-merta sebagai kedangkalan pola berpikir. Memang, tidak ada kritikus yang mengatakan kalau novel PDIN sebagai naskah penting yang memperjuangkan berbagai aspek sosial masyarakat. Tapi, apakah nilai sastra ditentukan oleh kritikus sastra yang terkadang tidak mau tahu, terkadang pula sarat dengan berbagai kepentingan? Saya rasa tidak, sastra memiliki ruhnya sendiri dan pergolakan pemikiran dan kesadaran yang akan menjawab bagaimana posisi karya di dalam kehidupan masyarakatnya.
Perempuan memiliki strukturnya yang tersendiri dalam novel ini. Tidak mencolokkan mengenai peran perjuangan dalam kebebasan seksualitas, karena saya tidak melakukan eksploitasi pada tubuh secara besar-besaran. Saya juga tidak memberikan space yang cukup besar (juga tersendiri) pada aspek seksualitas ini, namun saya tetap menyuarakan dan memposisikan perempuan dengan lebih baik.
Namun mungkin saja, ini tidak akan menjadi “perjuangan gender” seperti yang dilakukan Sastrawangi Ayu Utami melalui “Saman”nya. Tapi saya merenungi nasib, apakah harus dengan ekspolitasi tubuh dalam khasanah seksualitas sebagai gerakan pembebasan kaum perempuan?
PDIN menempatkan perempuan dalam posisi seperti ini:
Bagaimana jadinya kehidupan ini tanpa perempuan? Apakah dia [lelaki] masih mampu berdiri dan berteriak: Aku sang lelaki! (hlm. 7).
Perempuan tidak sekedar sebagai pelengkap akan hubungan seksualitas, namun dia menjadi ruh di dalam kehidupan bagi seorang lelaki. Kehadirannya bagi saya melalui PDIN adalah sebagai EMPU yang mana mengandungi kekuatan kosmis (makro dan mikro) yang kalau dalam permainan catur, perempuan adalah pemainnya sedangkan lelaki adalah bidak caturnya. Melalui pandangan ini, tidak lantas saya merendahkan lelaki, karena saya seorang lelaki, namun keberadaan perempuan jauh dari sekedar permainan seksualitas itu tadi.
Ia (perempuan) sebagai empu, yang mana memberikan pengaruh gerakan dari seorang petarung seperti Wiku Sapta Seloka. Dapat dikatakan, kalau perempuan yang bermanifestasi dalam diri Gadis Indriani membentuk dan sekaligus mengarahkan jiwa pemberontakan Wiku. Bisa kita melihat bagaimana Gadis mengembalikan semangat Wiku (yang juga suaminya). Peran tokoh Gadis membuat Wiku lebih matang dapat disaksikan dalam pandangan Wayang (hlm. 72) atau ketika Gadis menguatkan suaminya untuk tetap berani menghadapi masalah seperti dalam halaman 286:
“Ada harga yang harus kita bayar untuk sesuatu yang ada di dalam dada kita sebagai harapan”
Posisi perempuan dalam kehidupan lelaki yang saya wujudkan dalam tokoh Gadis (yang secara dominan) dan Rini merupakan suatu dialektika perjuangan tersendiri. Lelaki tidak akan menjadi lelaki tanpa keberadaan perempuan yang sebenarnya memiliki dua nilai yang sama-sama menentukan kehidupan. Kedudukan perempuan itu, misalnya:
“Tidak seperti itu!” sahut Oka sambil menggelengkan kepala. “Kehadiranmu yang selama ini menguatkanku. Membuatku mampu berdiri tegak selayaknya karang yang menerima debur ombak di setiap harinya.”
“Menjadi kuat dan rapuh secara bersamaan seperti karang, yang pelan-pelan dikikir untuk menjadi pasir.” Ucap Gadis dalam senyuman yang dilanjutkan dengan mencium kening Oka kembali. “Sebenarnya aku adalah beban yang kamu tanggung, Mas, kekuatan dan kelemahan yang datang bersama-sama.”
“Itulah titik kehidupan seorang pahlawan. Istri dan keluarga adalah nyawanya, sekaligus menjadi kematiannya.” (PDIN, hlm 303).
Perempuan saya anggap sebagai bangunan struktur estetik yang penuh dengan makna kehidupan. Perempuan hadir sebagai ruh bersama dalam cinta yang tidak dapat ditolak atau dimanipulasi. Kecenderungan dalam melakukan atau mengeksplorasi seksualitaslah yang bisa dimanipulasi untuk terlibat menjadi perek (perempuan eksperimen, jika meminjam istilah Ayu Utami), atau menuju pilihan lain untuk menjadi Empu seperti dalam sejarah bangsa Indonesia.
Gerakan yang dilakukan Kapten Agung Sutomo pun, didorong oleh rasa cinta pada perempuan. Yaitu, karena keluarga kekasihnya, melalui tokoh Rina, yang mengalami kesewenangan pemerintah. Penggusuran petani yang melahirkan kesengsaraan baru, membuat Agung berani melepaskan tembakan pada orang yang selama ini dikawal. Lantas, apakah kita masih mempertanyakan peran perempuan dalam kehidupan kita?
Dalam ruang ini sengaja saya membahasnya, sebab saya pernah mendapatkan sapaan dari Robin Al Kausar yang menulis, “Ada pembunuh cinta di Istana Negara”, yang menyatakan bahwa di sana tidak adanya suatu gerakan politik dalam tragedi usaha pembunuhan presiden. Saya memang melandaskan diri untuk memulai sesuatu berasal dari rasa cinta. Termasuk, penembakan seorang Paspampres pada Presiden.
Kenapa harus cinta? Saya tidak bermain logika di sini. Tidak pula membuat suatu perumpaan lain, bahwa adanya konspirasi besar yang sengaja dipersiapkan untuk menggulingkan kekuasaan negara. Memang pernah terpikir untuk membuat suatu skema seperti itu, namun pembunuhan presiden dengan skematisasi kekacauan politik tidak menarik dan tidak murni. Saya masih berpandangan adanya gerakan kepentingan yang hanya akan melahirkan suatu sistem baru yang tentu saja, belum tentu lebih baik dari sistem sebelumnya. Dan masih menurut pandangan saya, pembunuhan atas nama cinta menjadi hal yang paling logis.
Novel ini saya pergunakan untuk mengungkapkan aspirasi politik yang selama ini, menurut saya gagal dilaksanakan oleh agen politik bangsa kita. Bahwa sebuah negara hanyalah berbentuk wadah untuk menampung kekuasaan besar rakyat. Sastra menjadi media penyampaian informasi, bahwa rakyat berada posisi atas dan pemerintah harus benar-benar mengakui secara dejure dan defacto atas kedaulatan itu. Tidak sekedar sebagai retorika yang gersang, yang dimanfaatkan ketika suksesi negara dilaksanakan. Skematisasi pemerintahan negara ideal versi PDIN dapat dilihat dalam diagram pada halaman 310.
Sistem Negara Ideal
Penggarapan PDIN sebagai perwujudan politik praktis yang pernah hilang dalam kesusastraan Indonesia setelah hebatnya kemenangan Gestok. Kalau dikarenakan estetika politik tersebut kemudian novel ini tidak bisa memasuki sastra, karena tidak pantas menjadi naskah sastra, maka biar saja PDIN tetap berada dalam identitasnya sendiri sebagai naskah politik.
Studio SDS Fictionbooks, 2011
*) Disuguhkan dalam Diskusi Sastra Novel PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA (SDS Fictionbooks, 2010) karya M.D. Atmaja pada hari Jumat tanggal 15 April 2011 di Komunitas Matapena.
Sumber: http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/2011/04/15/manifestasi-dunia-dan-pelayanan-sosial/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label M.D. Atmaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label M.D. Atmaja. Tampilkan semua postingan
19/05/11
07/05/11
“Tolok Ukur dan Nilai” dari Kekuatan
M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Pada periode kehidupan kita sekarang ini, suatu nilai yang hendaknya dimiliki oleh setiap manusia adalah kekuatan. Selayaknya di dalam suatu pertempuran, kekuatan menjadi faktor utama yang dapat menentukan hasil. Menang atau kalah, dapat dilihat dari pola kekuatan yang dimiliki. Meskipun kita belum menyaksikan peperangan yang sebenarnya, dari pengamatan akan kekuatan masing-masing pihak, peramalan kemenangan dapat ditentukan.Kekuatan yang oleh beberapa orang seringkali diucapkan dengan istilah “energi” terdapat tiga bentuk. Penggolongan ini hanya atas hasil dari renungan mengenai paradigma yang berlandaskan pada susunan komponen manusia. Yaitu, kekuatan badan, pikiran dan batin. Masing-masing komponen tersebut memiliki tempat dan kekuatan tersendiri. Juga memiliki tatacara pengembangan yang seringkali berbeda.
Kekuatan badan misalnya, dapat dibangun dengan gaya hidup sehat (secara medis). Mungkin saja, di dalamnya terdapat sikap yang mau menjauhi rokok, minuman berakhohol, Narkoba, menjalankan berbagai ritual di antaranya cukup tidur, berolahraga, dan serta cukup mengkonsumsi makan-makanan empat sehat lima sempurna. Kekuatan pikiran terletak di akal manusia yang dapat dikembangkan dengan proses belajar. Batin juga memiliki kekuatan yang terletak di dalam rasa, yang menurut saya, sangat bergantung tentang bagaimana cara kita memahami nilai-nilai ketuhanan.
Di sini yang ingin saya ketengahkan adalah mengenai kekuatan dari penulisan. Pada ranah tersebut, dipengaruhi oleh ketiga kekuatan di atas. Masing-masing memerankan peranan tersendiri. Akantetapi, yang ingin saya tuangkan sebagai pokok pembicaraan yaitu berkisar tentang bagaimana mengukur kekuatan dari hasil penulisan tersebut. Dapat dipastikan kita akan memiliki pendapat yang berbeda, setiapnya memiliki subjektivitas dalam meletakkan fondasi dasar untuk memperkirakan kandungan kekuatan yang ada di dalam suatu karya tulis. Landasan atau fondasi penilaian yang sudah kita pegang tersebut akan mengarahkan dalam proses pengembangan pemikiran ketika kita menilai suatu karya. Sejauh mana kekuatan tulisan dari karya tertulis tersebut.
Menurut penafsiran saya, kekuatan dari penulisan berdasarkan pada pendapat dari Horatius bahwa sastra hendaknya mampu menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi mendidik dan menggerakkan. Berdasarkan pandangan ini, subjek penulis menanggung beban mengenai sifat mendidik dan menggerakkan melalui tulisan yang dihasilkan. Entah itu mendidik mengenai moral, agama, politik, filsafat, dan lain sebagainya yang di dalamnya juga termasuk seksualitas. Nilai pendidikan yang ingin disampaikan, hak sepenuhnya di tangan penulis, selanjutnya dengan muatan edukatif dari sebuah tulisan, subjek pembaca semestinya tergerak untuk melakukan apa yang sudah diajarkan.
Misalkan saja, pesan sifat mendidik dan menggerakkan yang terdapat di dalam novel “Para Priyayi” karya Almarhum Umar Kayam (30 April 1932 s.d. 16 Maret 2002) yang di dalamnya memuat edukasi mengenai nilai kehidupan manusia Jawa yang berkenaan dengan dunia Priyayi. Melalui novel “Para Priyayi” ini, Umar Kayam menyampaikan para seluruh pembacanya untuk bersikap halus, mengerti tatacara (adat), terpelajar selayaknya priyayi itu sendiri. Namun, Umar Kayam juga berpesan, menjadi priyayi dengan pikiran yang lebih maju ketimbang priyayi Jawa pada umumnya. Mungkin dengan istilah sederhananya, Umar Kayam berpesan, “Menjadilah priyayi Jawa yang modernis!”, sebagai pesan pendidikan. Kekuatan tulisan yang kedua adalah menggerakkan, yang mana aspek ini terjadi di dalam diri subjek pembaca. Pesan yang sudah disampaikan dan ditangkap yang selanjutnya mengerahkan subjek pembaca (dalam tingkatan pribadi) untuk menjalankan pejalaran yang sudah dipahami.
Atau, kekuatan yang ditinjau dari pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa sastra berusaha mensucikan jiwa para subjek pembaca, sebagai katharsis. Nilai utama yang sekaligus menjadi kekuatan, menurut pandangan ini adalah bagaimana peran tulisan (seni dan sastra) membantu manusia untuk menuju kondisi batin yang lebih baik. Kondisi batin yang dimaksudkan di sini dapat saja dikategorikan sebagai pencapaian ketenangan hati, ketuhanan, dan kebijaksanaan/ mensucikan jiwa manusia, membawa manusia pada kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran Tuhan.
Jika kita menyimak kekuatan karya dalam paradigma ini, nilai dari suatu tulisan berarti mengikuti kitab suci. Memberikan pencerahan pada manusia untuk mencapai keselamatan hidup. Landasan seperti ini hanya dapat dirasakan oleh setiap pribadi, di dalam hatinya. Pada bagian ini, saya mengajak saudara untuk menyimak sepenggal puisi Maulana Jalaluddin Rumi: “Kalau kita mati, jangan mencari nisan kita di bumi, tetapi dapatkan itu dalam hati manusia.” Nah, sekarang marilah kita saling terbuka untuk jujur dengan diri kita sendiri: Nisan seperti apa yang akan kita goreskan di dalam hati manusia (yang hidup)? Nisan yang bertuliskan sebagai “manusia baik” atau “manusia tidak baik”? Terserah pada kita.
Di dalam tingkatan dua paradigma ini, hal mendasar (dan menurut saya) adalah hal yang terpenting adalah kehadiran kesadaran dan pemahaman di dalam proses pembacaan. Kesadaran manusia dan pemahamannya akan memberikan suatu bahan pertimbangan tersendiri, sebelum vonis dijatuhkan.
Tolok ukur mengenai kekuatan yang ketiga adalah dari pendapat Plato yang menggaris bawahi mengenai pengalaman di dalam tulisan sebagai mimesis (tiruan alam). Paradigma ini terdengar cukup sederhana, hanya sebatas pada aspek peniruan alam sekitar kita. Lebih jauh lagi, yang terdengar sederhana namun teramat kompleks dan rumit, sebab dalam usaha untuk meniru alam seorang subjek penulis harus memiliki data yang detail mengenai alam yang akan ditiru. Tulisan sebagai tiruan, yang kemudian menuntut mengenai tersedianya data yang cukup sehingga tulisan tidak akan dianggap sebagai “omong kosong”.
Tolok ukur yang keempat ini saya hadirkan berdasarkan obrolan ringan di sela-sela perjamuan kopi dan rokok mengenai proses penulisan, yaitu kata “mereka” kekuatan tulisan akan ada bergantung pada waktu yang dibutuhkan dalam menulis dan usaha keras dalam ketatnya revisi. Konon, subjek penulis yang mengerjakan sebuah judul tulisan dalam waktu bertahun-tahun maka tulisan tersebut sudah dijamin kekuatannya.
Apalagi jika lamanya waktu dalam proses pengerjaan ditambahi dengan daftar panjang waktu yang dibutuhkan untuk editing, maka tulisan itu akan semakin memiliki kekuatan yang lebih hebat. Dasyat, begitu kata seseorang yang gemar editing. Hal ini mungkin saja bersebab dari kekuatan (energi) yang digunakan untuk menulis yang besar sehingga karya itu pun (dilamunkan) memiliki kekuatan yang besar juga. Sampai seseorang akan bergumam kagum, “Hebat. Dasyat. Sungguh kuat, dua tahun untuk lima puluh halaman.”
Jikalau tolok ukur yang keempat ini mengandungi kepastian yang benar, maka tulisan yang saudara baca ini, saya katakan tidak memiliki kekuatan apa pun. Bersebab, saya tulis dalam jangka waktu yang tidak lama, yang juga tidak membutuhkan energi yang besar karena saya hanya duduk dan menulis. Ditambah karena aspek pengeditan yang kurang. Akantetapi, saya menuliskan ini dengan spontanitas dan sepenuh hati (cukup penuh saja, tidak sampai luber).
Saya kira cukup empat tolok ukur itu saja yang saya ketengahkan untuk saat ini. Sekarang saatnya kita merambah ke nilai ke nilai dari kekuatan. Dari keempat tolok ukur di atas, sebenarnya sudah memuat nilai dari kekuatan tersebut. Namun dalam kesempatan yang hangat ini, saya mencoba mengangkat satu komponen dalam penulisan, yaitu bahasa.
Aspek ini sering kita akrabi dalam kajian stilistika yang memang mengkhususkan diri untuk menganalisis gaya bahasa. Saya yakin, setiap penulis pasti memiliki gaya bahasa tersendiri yang dihasilkan dari dua proses, yaitu proses menemukan sendiri dan proses meniru. Berkenaan dengan gaya penulisan, saya langsung teringat kata-kata (yang sebenarnya di dalam tulisan juga) Pramoedya, bahwa: “Keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.”
Pendapat Pramoedya ini sangat masuk akal mengingat ideologi Realisme Sosialis yang diyakini. Ideologi penulisan ini berusaha untuk mempropagandakan perjuangan kemanusiaan dan kebenaran sejarah. Paradigma Realisme Sosialis mengesampingkan permainan (boleh juga dibaca: keindahan) bahasa dan lebih menitik-beratkan pada peran penulisan dalam mewujudkan masyarakat sosialis. Sastra (tulisan) yang lahir kemudian adalah sastra propaganda, yang terpenting adalah inti dari penulisan tersampaikan.
Ada juga yang dalam proses penulisannya berusaha menggunakan bahasa yang unik. Pemilihan kata dan pemenggalan setiap barisnya diatur sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan suatu bahasa sastra tersendiri. Permainan bahasa pun, yang kadang dicampur-aduk, mengesankan adanya nilai puitik yang mistis. Si subjek penulis membuat serangkaian bahasa yang justru membuat subjek pembaca mengalami kesusahan di dalam menentukan makna. Apakah ini sebagai keberhasilan si subjek penulis dalam mempermainkan bahasa atau memang adanya gairah yang berlompatan tanpa arah – maksud saya, tanpa makna? Ataukah karena kebodohan subjek pembaca di dalam memahami tulisan yang super pelik kuatnya dengan permainan bahasa?
Bisa jadi, sebuah permainan bahasa sebagai ekspresi yang indah walau makna seringkali tidak tersampaikan. Ekspresi subjek penulis yang lebih terdengar sebagai gumaman merdu namun tidak jelas mengatakan apa. Atau sebagai gerakan di luar kesadaran yang membangun struktur simbol yang tidak bisa diterjemahkan oleh manusia (subjek pembaca)? Kalau begitu, apa pun adanya ya, nikmati saja seadanya!
Di sisi yang lain, jauh di relung kalbu saya sebagai penulis pemula yang sedang belajar, jauh lebih menyetujui pandangan Pramoedya Ananta Toer. Bahwa yang terpenting dari tulisan adalah makna, pesan yang ingin disampaikan sebagai sifat edukatif, menggerakkan dan lebih jauh lagi sebagai pensucian jiwa manusia. Menulis dengan jujur tanpa bermanipulasi, buat saya adalah suatu pilihan. Selarut ini saya menjadi teringat dengan lagu “Bias Warna” yang dimerdukan Ebit G Ade., bahwa: “Sapuan kuas, nyanyian, puisi, harus lahir dari renungan mengendap di jiwa dan tuangkan sejujurnya. Rindu, dendam, kata hati, mesti diterjemahkan dalam bahasa yang jernih.”
Berkarenakan itu, tulisan dari sebuah tulisan menurut saya lebih terletak pada nilai kejujuran saat menulis, ketika kita menuangkan ide dan rasa ke dalam guratan pena. Selamat berkarya untuk mengkristal dan menjadi Abadi..!!!
Bantul – Studi SDS Fictionbooks, Minggu Kliwon 13 Maret 2011.
http://sastra-indonesia.com/
Pada periode kehidupan kita sekarang ini, suatu nilai yang hendaknya dimiliki oleh setiap manusia adalah kekuatan. Selayaknya di dalam suatu pertempuran, kekuatan menjadi faktor utama yang dapat menentukan hasil. Menang atau kalah, dapat dilihat dari pola kekuatan yang dimiliki. Meskipun kita belum menyaksikan peperangan yang sebenarnya, dari pengamatan akan kekuatan masing-masing pihak, peramalan kemenangan dapat ditentukan.Kekuatan yang oleh beberapa orang seringkali diucapkan dengan istilah “energi” terdapat tiga bentuk. Penggolongan ini hanya atas hasil dari renungan mengenai paradigma yang berlandaskan pada susunan komponen manusia. Yaitu, kekuatan badan, pikiran dan batin. Masing-masing komponen tersebut memiliki tempat dan kekuatan tersendiri. Juga memiliki tatacara pengembangan yang seringkali berbeda.
Kekuatan badan misalnya, dapat dibangun dengan gaya hidup sehat (secara medis). Mungkin saja, di dalamnya terdapat sikap yang mau menjauhi rokok, minuman berakhohol, Narkoba, menjalankan berbagai ritual di antaranya cukup tidur, berolahraga, dan serta cukup mengkonsumsi makan-makanan empat sehat lima sempurna. Kekuatan pikiran terletak di akal manusia yang dapat dikembangkan dengan proses belajar. Batin juga memiliki kekuatan yang terletak di dalam rasa, yang menurut saya, sangat bergantung tentang bagaimana cara kita memahami nilai-nilai ketuhanan.
Di sini yang ingin saya ketengahkan adalah mengenai kekuatan dari penulisan. Pada ranah tersebut, dipengaruhi oleh ketiga kekuatan di atas. Masing-masing memerankan peranan tersendiri. Akantetapi, yang ingin saya tuangkan sebagai pokok pembicaraan yaitu berkisar tentang bagaimana mengukur kekuatan dari hasil penulisan tersebut. Dapat dipastikan kita akan memiliki pendapat yang berbeda, setiapnya memiliki subjektivitas dalam meletakkan fondasi dasar untuk memperkirakan kandungan kekuatan yang ada di dalam suatu karya tulis. Landasan atau fondasi penilaian yang sudah kita pegang tersebut akan mengarahkan dalam proses pengembangan pemikiran ketika kita menilai suatu karya. Sejauh mana kekuatan tulisan dari karya tertulis tersebut.
Menurut penafsiran saya, kekuatan dari penulisan berdasarkan pada pendapat dari Horatius bahwa sastra hendaknya mampu menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi mendidik dan menggerakkan. Berdasarkan pandangan ini, subjek penulis menanggung beban mengenai sifat mendidik dan menggerakkan melalui tulisan yang dihasilkan. Entah itu mendidik mengenai moral, agama, politik, filsafat, dan lain sebagainya yang di dalamnya juga termasuk seksualitas. Nilai pendidikan yang ingin disampaikan, hak sepenuhnya di tangan penulis, selanjutnya dengan muatan edukatif dari sebuah tulisan, subjek pembaca semestinya tergerak untuk melakukan apa yang sudah diajarkan.
Misalkan saja, pesan sifat mendidik dan menggerakkan yang terdapat di dalam novel “Para Priyayi” karya Almarhum Umar Kayam (30 April 1932 s.d. 16 Maret 2002) yang di dalamnya memuat edukasi mengenai nilai kehidupan manusia Jawa yang berkenaan dengan dunia Priyayi. Melalui novel “Para Priyayi” ini, Umar Kayam menyampaikan para seluruh pembacanya untuk bersikap halus, mengerti tatacara (adat), terpelajar selayaknya priyayi itu sendiri. Namun, Umar Kayam juga berpesan, menjadi priyayi dengan pikiran yang lebih maju ketimbang priyayi Jawa pada umumnya. Mungkin dengan istilah sederhananya, Umar Kayam berpesan, “Menjadilah priyayi Jawa yang modernis!”, sebagai pesan pendidikan. Kekuatan tulisan yang kedua adalah menggerakkan, yang mana aspek ini terjadi di dalam diri subjek pembaca. Pesan yang sudah disampaikan dan ditangkap yang selanjutnya mengerahkan subjek pembaca (dalam tingkatan pribadi) untuk menjalankan pejalaran yang sudah dipahami.
Atau, kekuatan yang ditinjau dari pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa sastra berusaha mensucikan jiwa para subjek pembaca, sebagai katharsis. Nilai utama yang sekaligus menjadi kekuatan, menurut pandangan ini adalah bagaimana peran tulisan (seni dan sastra) membantu manusia untuk menuju kondisi batin yang lebih baik. Kondisi batin yang dimaksudkan di sini dapat saja dikategorikan sebagai pencapaian ketenangan hati, ketuhanan, dan kebijaksanaan/ mensucikan jiwa manusia, membawa manusia pada kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran Tuhan.
Jika kita menyimak kekuatan karya dalam paradigma ini, nilai dari suatu tulisan berarti mengikuti kitab suci. Memberikan pencerahan pada manusia untuk mencapai keselamatan hidup. Landasan seperti ini hanya dapat dirasakan oleh setiap pribadi, di dalam hatinya. Pada bagian ini, saya mengajak saudara untuk menyimak sepenggal puisi Maulana Jalaluddin Rumi: “Kalau kita mati, jangan mencari nisan kita di bumi, tetapi dapatkan itu dalam hati manusia.” Nah, sekarang marilah kita saling terbuka untuk jujur dengan diri kita sendiri: Nisan seperti apa yang akan kita goreskan di dalam hati manusia (yang hidup)? Nisan yang bertuliskan sebagai “manusia baik” atau “manusia tidak baik”? Terserah pada kita.
Di dalam tingkatan dua paradigma ini, hal mendasar (dan menurut saya) adalah hal yang terpenting adalah kehadiran kesadaran dan pemahaman di dalam proses pembacaan. Kesadaran manusia dan pemahamannya akan memberikan suatu bahan pertimbangan tersendiri, sebelum vonis dijatuhkan.
Tolok ukur mengenai kekuatan yang ketiga adalah dari pendapat Plato yang menggaris bawahi mengenai pengalaman di dalam tulisan sebagai mimesis (tiruan alam). Paradigma ini terdengar cukup sederhana, hanya sebatas pada aspek peniruan alam sekitar kita. Lebih jauh lagi, yang terdengar sederhana namun teramat kompleks dan rumit, sebab dalam usaha untuk meniru alam seorang subjek penulis harus memiliki data yang detail mengenai alam yang akan ditiru. Tulisan sebagai tiruan, yang kemudian menuntut mengenai tersedianya data yang cukup sehingga tulisan tidak akan dianggap sebagai “omong kosong”.
Tolok ukur yang keempat ini saya hadirkan berdasarkan obrolan ringan di sela-sela perjamuan kopi dan rokok mengenai proses penulisan, yaitu kata “mereka” kekuatan tulisan akan ada bergantung pada waktu yang dibutuhkan dalam menulis dan usaha keras dalam ketatnya revisi. Konon, subjek penulis yang mengerjakan sebuah judul tulisan dalam waktu bertahun-tahun maka tulisan tersebut sudah dijamin kekuatannya.
Apalagi jika lamanya waktu dalam proses pengerjaan ditambahi dengan daftar panjang waktu yang dibutuhkan untuk editing, maka tulisan itu akan semakin memiliki kekuatan yang lebih hebat. Dasyat, begitu kata seseorang yang gemar editing. Hal ini mungkin saja bersebab dari kekuatan (energi) yang digunakan untuk menulis yang besar sehingga karya itu pun (dilamunkan) memiliki kekuatan yang besar juga. Sampai seseorang akan bergumam kagum, “Hebat. Dasyat. Sungguh kuat, dua tahun untuk lima puluh halaman.”
Jikalau tolok ukur yang keempat ini mengandungi kepastian yang benar, maka tulisan yang saudara baca ini, saya katakan tidak memiliki kekuatan apa pun. Bersebab, saya tulis dalam jangka waktu yang tidak lama, yang juga tidak membutuhkan energi yang besar karena saya hanya duduk dan menulis. Ditambah karena aspek pengeditan yang kurang. Akantetapi, saya menuliskan ini dengan spontanitas dan sepenuh hati (cukup penuh saja, tidak sampai luber).
Saya kira cukup empat tolok ukur itu saja yang saya ketengahkan untuk saat ini. Sekarang saatnya kita merambah ke nilai ke nilai dari kekuatan. Dari keempat tolok ukur di atas, sebenarnya sudah memuat nilai dari kekuatan tersebut. Namun dalam kesempatan yang hangat ini, saya mencoba mengangkat satu komponen dalam penulisan, yaitu bahasa.
Aspek ini sering kita akrabi dalam kajian stilistika yang memang mengkhususkan diri untuk menganalisis gaya bahasa. Saya yakin, setiap penulis pasti memiliki gaya bahasa tersendiri yang dihasilkan dari dua proses, yaitu proses menemukan sendiri dan proses meniru. Berkenaan dengan gaya penulisan, saya langsung teringat kata-kata (yang sebenarnya di dalam tulisan juga) Pramoedya, bahwa: “Keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.”
Pendapat Pramoedya ini sangat masuk akal mengingat ideologi Realisme Sosialis yang diyakini. Ideologi penulisan ini berusaha untuk mempropagandakan perjuangan kemanusiaan dan kebenaran sejarah. Paradigma Realisme Sosialis mengesampingkan permainan (boleh juga dibaca: keindahan) bahasa dan lebih menitik-beratkan pada peran penulisan dalam mewujudkan masyarakat sosialis. Sastra (tulisan) yang lahir kemudian adalah sastra propaganda, yang terpenting adalah inti dari penulisan tersampaikan.
Ada juga yang dalam proses penulisannya berusaha menggunakan bahasa yang unik. Pemilihan kata dan pemenggalan setiap barisnya diatur sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan suatu bahasa sastra tersendiri. Permainan bahasa pun, yang kadang dicampur-aduk, mengesankan adanya nilai puitik yang mistis. Si subjek penulis membuat serangkaian bahasa yang justru membuat subjek pembaca mengalami kesusahan di dalam menentukan makna. Apakah ini sebagai keberhasilan si subjek penulis dalam mempermainkan bahasa atau memang adanya gairah yang berlompatan tanpa arah – maksud saya, tanpa makna? Ataukah karena kebodohan subjek pembaca di dalam memahami tulisan yang super pelik kuatnya dengan permainan bahasa?
Bisa jadi, sebuah permainan bahasa sebagai ekspresi yang indah walau makna seringkali tidak tersampaikan. Ekspresi subjek penulis yang lebih terdengar sebagai gumaman merdu namun tidak jelas mengatakan apa. Atau sebagai gerakan di luar kesadaran yang membangun struktur simbol yang tidak bisa diterjemahkan oleh manusia (subjek pembaca)? Kalau begitu, apa pun adanya ya, nikmati saja seadanya!
Di sisi yang lain, jauh di relung kalbu saya sebagai penulis pemula yang sedang belajar, jauh lebih menyetujui pandangan Pramoedya Ananta Toer. Bahwa yang terpenting dari tulisan adalah makna, pesan yang ingin disampaikan sebagai sifat edukatif, menggerakkan dan lebih jauh lagi sebagai pensucian jiwa manusia. Menulis dengan jujur tanpa bermanipulasi, buat saya adalah suatu pilihan. Selarut ini saya menjadi teringat dengan lagu “Bias Warna” yang dimerdukan Ebit G Ade., bahwa: “Sapuan kuas, nyanyian, puisi, harus lahir dari renungan mengendap di jiwa dan tuangkan sejujurnya. Rindu, dendam, kata hati, mesti diterjemahkan dalam bahasa yang jernih.”
Berkarenakan itu, tulisan dari sebuah tulisan menurut saya lebih terletak pada nilai kejujuran saat menulis, ketika kita menuangkan ide dan rasa ke dalam guratan pena. Selamat berkarya untuk mengkristal dan menjadi Abadi..!!!
Bantul – Studi SDS Fictionbooks, Minggu Kliwon 13 Maret 2011.
26/02/11
SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI; DALAM SUATU PENCARIAN
M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
PENGANTAR
Seluruh dari kita, pastinya sepakat kalau saya mengatakan kehidupan manusia ini selayaknya perjalanan dari suatu tempat menuju suatu tempat yang lain. Dalam perjalanan itu, kita akan menemukan berbagai persoalan, entah persoalan yang menyenangkan maupun yang tidak kita senangi. Pun, selayaknya dalam perjalanan juga, dapat dipastikan kita melewati suatu jalan yang kita pilih. Terdengar menyenangkan saat membayangkan keadaan ini, berjalan dalam suatu perjalanan yang kita ingini, di jalan sendiri yang kita pilih, dengan menggunakan kendaraan yang dipilih juga sendiri kemudian diusahakan, demi menuju ke suatu tempat juga yang sudah kita tentukan.
Dalam perjalanan itu, seringkali menemukan berbagai macam hal yang berbeda dari apa yang ada di dalam pikiran. Misalnya saja, kita bertemu dengan seseorang yang memiliki jalan lain dengan tujuan yang (mungkin saja) sama dengan kita. Namun, banyak sekali perbedaan yang akan kita temukan, entah itu jalan, kendaraan, atau sikap dan cara pandang seseorang tersebut di dalam menjalani perjalanan(hidup)nya.
Tulisan ini, adalah uraian mengenai aspek-aspek perjalanan yang termuat di dalam surat Sekuntum Bunga Revolusi, X : I-XCI dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat (2007) karya Nurel Javissyarqi yang diterbitkan oleh Pustaka Pujangga.
Perjalanan di dalam surat ini terekam, yang menurut saya merupakan pencerminan dari kehidupan sang penyair itu sendiri, tentang bagaimana dia menentukan sikap dalam hidup dan cara menjalani kehidupannya. Lebih jauh dari itu semua, si penyair yang terus saja menisbatkan diri sebagai “pengelana” secara tidak langsung mengumpulkan berbagai pengalaman perjalanan yang (semoga) dapat memberikan manfaat untuk kita yang membacanya. Bukan suatu hal yang baru, ketika kita membaca perjalanan orang lain dan menemukan pengalaman di sana sebagai guru untuk mendidik jiwa kita sendiri.
Dari sini, kita bisa mengambil manfaat dari ungkapan “belajar dari pengalaman orang lain” yang mana, sastra merupakan pencerminan sosio-budaya masyarakat (Teuuw, 1990: 11) yang terekam oleh seorang sastrawan. Dalam analisis ini, untuk mengetahui pengalaman yang terdapat di dalamnya, menurut saya, lebih tepat jika kita mendekati menggunakan skema Fenomenologi yang memandang objek sebagai kesatuan dengan bertumpu pada pengalaman intuitif (Eagleton, 1983: 87). Nilai pengalaman yang diracik Nurel Javissyarqi coba kita pahami dalam konteksnya sebagai seorang pengelana. Walau tidak setiap kita ingin menjadi pengelana, namun mari kita mengikuti sang Nurel Javissyarqi dalam menskema dan menorehkan pengalaman.
JALAN
Hal pertama yang ingin saya uraikan, tidak pada tujuannya akantetapi lebih pada jalan mana yang akan kita pilih. Sebab, tujuan sudah ada di dalam gambaran, jikalau manusia hidup tujuannya beraneka ragam, dan berhenti dengan mati. Karena itu, sebelum kita sampai pada mati, alangkah lebih baiknya kita menentukan jalan terlebih dahulu. Seperti yang juga diungkapkan NJ di bait pertama Sekuntum Bunga Revolusi, yaitu:
Sebelum jauh tulisan ini melangkah, ingin menyapamu terlebih dulu;
apakah mimpi perlahan mulai sirna oleh sorot matahari realita menempa jiwa,
entah masih ada, malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa (X: I) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)
Sebelum tulisan ini jauh melangkah, begitu NJ membuka tulisan ini dengan bahasa yang teramat sederhana namun sudah memberikan kita patokan. Ini menyoal langkah, berarti ini menyoal perjalanan. Pada tahap ini, NJ sama sekali tidak menanyakan mengenai kabar, tapi jauh pada penggerak langkah manusia, yaitu mimpi. Manusia melangkah dalam suatu perjalanan perjuangan karena dorongan mimpi atau keinginan. Pergerakan manusia tidak terjadi begitu saja, melainkan dikarenakan adanya stimulus atau rangsangan (Woodworth dan Schlosberg dalam Walgito, 2002: 9). Stimulus atau rangsangan dapat berupa apa saja, salah satunya adalah gerak yang dilakukan karena mimpi (atau cita-cita/ keinginan).
Untuk membawa seseorang di dalam suatu perjalanan, maka pertanyaan mengenai mimpi yang diusahakan cukup realistis, mengingat mimpi itu yang menjadi rangsangan sekaligus menjadi bahan bakar. Keberadaan dari mimpi ini, bisa saja hilang atau berganti karena berbagai faktor, salah satunya keadaan yang tidak mendukung. Misalnya saja, saya ingin menjadi seorang polisi namun karena saya tidak begitu baik (tidak tahan) berlari, maka otomatis saya gagal. Tapi tunggu sebentar, karena ini mimpi, saya pun berniat mengusahakan sampai pada titik-titik tertentu agar cukup terhormat ketika menyerah. Lalu, saya mendengar adanya isu (katakan saja sebagai gosip murahan) bahwa dengan uang pelicin, yang tadinya saya payah dalam berlari, ya tentu saja karena jalannya sudah licin.
Taraf untuk mencapai mimpi itu sudah berada di depan mata, ibarat tinggal melangkah sejengkal dan mimpi akan segera terwujud. Namun dasar apes juga nasib manusia, uang yang dipersyaratkan untuk melicinkan jalan agar bisa berlari dengan baik jumlahnya banyak. Katakan saja, lima puluh juta sedangkan saya hanya memiliki lima puluh ribu. Kontan, mimpi itu pun gagal dan sirna begitu saja mengingat berbagai kelemahan yang tidak sanggup saya tutup dan perbaiki. Karena itu, cukup masuk akal saat NJ mengatakan: “mimpi perlahan mulai sirna oleh sorot matahari realita menempa jiwa”.
“Sorot matahari realita menempa jiwa” suatu ungkapan yang kali ini memang terkesan lebih komunikatif. Dari kalimat ini, membawa kita untuk merenung arti dari sebuah matahari yang telah menghanguskan mimpi. Matahari sebagai guru, sekaligus tantangan bagi seseorang untuk memperkuat dirinya. Mimpi atau cita-cita ini, walau mungkin saja gagal diraih, manusia hendaknya tidak boleh menyerah begitu saja. Karena, kehilangan mimpi berarti dia kehilangan rangsangan untuk bergerak. Akantetapi, diketika kegagalan itu menjadi penghalang dalam perjalanan, kita mesti mengubah cara pandang mengenai kegagalan itu sendiri. Nurel Javissyarqi sudah menjawabnya, dengan menyatakan kalau kita terus gagal, maka: “matahari realita menempa jiwa”.
Kegagalan sebagai penyemangat, medan untuk terus berlatih dalam memupuk mimpi-mimpi manusia. Tidak ada kegagalan dalam konteks ini, melainkan kita diarahkan untuk menempuh cara lain. Cita-cita tetap harus terwujud, akantetapi hal yang paling penting adalah hakekat dari cita-cita itu sendiri. Misalnya, kembali pada cita-cita menjadi polisi. Polisi dengan seragam hanya semacam wadah yang membawa manusia pada hakekat dari polisi itu sendiri. Sedangkan cita-cita tidak berbatas pada wadah itu sendiri, tidak terbatasi pada bentuk karena lebih mementingkan pada hakekat serta nilai yang ada di dalamnya. Hakekat (nilai) dari polisi adalah semangat untuk mengabdi pada masyarakat dengan memberikan ketenangan, dan pengayoman pada masyarakat demi tegaknya keadilan.
Suatu kasus yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan realitas, bahwa adanya keberadaan polisi di sekitar mereka justru tidak mendatangkan ketenangan, pengayoman maupun penegakkan keadilan. Polisi justru menjadi suatu kondisi yang ditakuti oleh masyarakat. Hal ini, dikarenakan para polisi yang ada di dalam kasus tersebut tidak memiliki cita-cita menjadi polisi, yang sehingga penyelewenangan dari wadah (simbol) itu terus terjadi. Bagaimana bisa menjalanka hakekat kalau individu tersebut tidak mengerti dengan hakekatnya. Jabatan yang diemban pun sebatas pada profesi yang sering diselewengkan bukan sebagai jati diri yang mesti ditegakkan. Kalau saja polisi tidak hanya sebagai profesi namun juga sebagai jati diri maka hakekat polisi itu akan tercipta.
Mimpi yang tidak tercapai kemudian menjadikan setiap kegagalan menjadi tempaan namun manusia tidak kehilangan hakekat dari mimpi-mimpinya itu, maka si individu yang bermimpi menjadi polisi itu akan mencari jalan lain. Jalan yang tentu saja dimana dia mampu menjalankan sifat mengabdi, memberikan rasa aman, pengayoman dan keadilan pada masyarakatnya, tanpa harus menjadi polisi. Katakan, M.D. Atmaja gagal menjadi polisi namun tidak kehilangan hakekat, maka saya pun akan berusaha lebih baik lagi. Bukan lagi menjadi polisi, tapi bagaimana menjadi Bupati, Menteri, bahkan Presiden RI.
Dalam lingkup perubahan wadah (simbol) tentang menjadi yang tidak kehilangan hakekat dapat terlaksana di sini. Menjadi Bupati, pengayoman, perlindungan itu dapat saya lakukan tanpa harus berlari. Tentu saja, saya tidak mesti capek berlari kalau saya tidak korupsi dan kepergok orang-orang yang iri. Jadi, selama manusia masih memegang esensi maupun hakekat dari mimpinya, maka dia patut untuk terus memelihara dan mencari jalan lain demi pelaksanaan dari nilai yang menjadi tujuan kehidupannya. Hal ini, yang NJ ketengahkan dan seminimal mungkin terbaca: “malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa”.
“Alunan sejati rasa” itulah yang disebut dengan hakekat dari suatu tujuan (mimpi) manusia. Saya ini ingin menjadi apa? Lalu bagaimana? Caranya seperti apa? Selama “malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa” terus terjaga, manusia tidak akan lelah dalam pergerakannya. Dia masih memiliki ruh dari mimpi yang sirna karena matahari realitas, atau setiap tembok kegagalan yang menutup jalan.
Seseorang yang telah memilih jalan hidupnya, akan dengan setia melangkah untuk mewujudkan mimpi yang dia tuju. Di sana, kita akan menemui perjuangan berat yang terkadang begitu berat di dalam pikiran, jikalau kita tidak melangkah. Berat itu karena hanya ada di dalam pikiran, namun ketika telah melangkah maka jalan itu terlewati seiring dengan proses, seperti yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dalam ayat berikut:
Ia berkata; wujud tintaku darah kematian dan setiap torehan kata,
usiaku dikurangi serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci (X: X)
Adakah kesia-siaan pada ruang belum terisi sekalipun?,
ia berucap; inilah keindahan, ketinggian seni bagimu (X: XI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)
Saya menemukan makna esensial dari jalan yang ditempuh oleh seseorang dalam perjalanan hidupnya, yaitu dalam kalimat “wujud tintaku darah kematian” yang merujuk pada nasib manusia. Hal ini dilihat dari nasib manusia yang sudah ditulis dalam Kitab Langit, yang di sana dikatakan bahwa nasib manusia sudah diciptakan sebelum manusia itu diciptakan. Ungkapan “darah kematian” sebagai goresan akhir yang mau tidak mau mesti kita terima dengan seabrek perangkat yang ada, diantaranya kesabaran dan keikhlasan.
Dengan melaksanakan apa yang namanya kepasrahan manusia pada takdir kehidupan, manusia itu secara tidak langsung sudah menjalani fase kehidupan yang tinggi. Bentuk dari penyerahan dan cinta yang dalam ungkapan manusia Jawa dijabarkan melalui kebijaksanaan: urip mung sakdermo nglakoni (Hidup hanya sekedar menjalani suatu hal yang sudah Tuhan tentukan). Jikalau manusia sudah mampu melaksanakan nilai kebijaksanaan hidup itu, maka manusia akan lebih mampu untuk menjalankan aspek nrimo atas apa yang Tuhan kehendaki.
Sikap nrimo dalam masyarakat Jawa seringkali diucapkan dalam menghadapi suatu kondisi, yang dibarengi dengan permasalahan nasib sebagai pandhum (pembagian). Manusia Jawa cenderung menilai yang terjadi bukan suatu persoalan besar dan menyerahkan semua kejadian pada kebaikan dan kebijaksanaan Tuhan dengan mengatakan nrimo ing pandhum yaitu menerima pembagian nasib dari Tuhan dengan sebaik-baiknya kesabaran dan keikhlasan.
Masyarakat Jawa, dalam menjalani kehidupannya mengacu tiga aspek utama yaitu rila (rela atau ikhlas), nrimo (menerima) dan sabar (kesabaran) yang hanya bisa dicapai dengan tapa atau mau melaksanakan laku (jalan hidup) yang sudah diniatkan atau dapat dikatakan sebagai kewajiban manusia itu sendiri (Mulder, 1984: 41). Aspek-aspek kehidupan di atas sebagai laku hidup yang menjadi idaman setiap manusia Jawa, sehingga dalam kehidupan mereka akan mendapatkan puncak dari jalan spiritual yang namanya slamet. Kita perlu mengingat bahwa slamet dalam budaya Jawa tidak hanya merujuk pada sistem dunia (mikro kosmos) melainkan pada sistem ketuhanan (makro-kosmos).
Ketika kita, manusia, mampu menjalankan tiga hal mendasar, maka bagi kita sudah cukup untuk mencari kebahagiaan dunia, dan akhirat. Karena itu, tidak suatu hal yang mengada-ada ketika Nurel Javissyarqi lalu mengatakan: “usiaku dikurangi serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci”. Bahwa, tahapan-tahapan dari rela (ikhlas), menerima, dan sabar dapat membawa manusia pada tingkatan tinggi dalam perjalanan spiritualitas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya “Madarijus Salikin” (2009) mengenai persinggahan-persinggahan dalam menuju keesaan Allah menyatakan bahwa ikhlas, menerima (yang juga disebut dengan ridha) dan sabar merupakan persinggahan tertinggi yang dapat dicapai manusia.
Jalan, yang diniatkan untuk menggapai suatu tujuan, apalagi itu menyangkut dala persoalan spiritualitas, maka kita akan dituntut untuk menuju pada kekosongan. Yang saya maksudkan dengan kekosongan ialah, mengenai satu tujuan yang dibarengi dengan ikhlas, ridha, dan sabar untuk mensatukan tujuan hidup. Saya membacanya dalam “ruang belum terisi” yang memberikan saya pemahaman akan ruang kosong dan di sana hanya ada keheningan untuk melangkah di jalan spiritualitas. “Ruang belum terisi” sekali lagi bukan tanpa tujuan, namun di sana adalah ruang hidup manusia yang dapat dikatakan sebagai ruang tanpa pamrih atau keinginan selain menuju kepada-Nya.
Dan Nurel Javissyarqi pun menyatakan: “inilah keindahan, ketinggian seni bagimu” yang mengisyaratkan pada peletakan dasar dan tujuan dari suatu perjalanan. Saya mengatakan, ruang kosong sebagai jalan tanpa pamrih yang menuju pada-Nya, sehingga dalam konteks ini, saya pun kembali menegaskan, apabila perjalanan hidup manusia diyakini hanya menuju pada-Nya, bukan pada keduniawian, maka manusia itu akan mendapatkan keindahan yang tidak terkira. Tampat yang di dalanya terkandung “ketinggian seni” karena seni sebagai ruh di dalam kehidupan.
Seni sebagai ruh dari kehidupan, yang mana para pemikir lama mengatakan kalau seni (di dalamnya adalah sastra) sebagai media yang dapat dijadikan, atau berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia (Aristoteles dalam Ratna, 2007: 70). Hal ini senada dengan ungkapan Imam Al-Ghazali (Abdul Hadi W.M., 2004: 34) yang menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya seni terhadap jiwa manusia sangat besar, dan karenanya menentukan pembentukan moral dan penghayatan keagamaannya. Di sini lah, bagaimana seni menjadi ruh dari kehidupan, kalau seni bernilai buruk maka kehidupan manusia di dalam masyarakat pun akan ikut buruk, dan sebaliknya kalau nilai seni yang ada di kehidupan masyarakat baik, maka masyarakat itu akan menjadi baik. Dia (seni) sebagai ruh, guru, dan pensuci jiwa manusia.
Seni adalah ruh, yang lahir dari kedekatannya dengan Tuhan, yang mengacu pada keselarasan dan kebenaran. T.S. Eliot (dalam Abdul Hadi W.M., 2004: 4) menyatakan bahwa kebudayaan (baca: tingkah laku masyarakat) tidak akan bisa mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan. Budaya, saya tekankan sebagai tingkah laku masyarakat, dan tingkah laku secara pribadi, yang mana di dalamnya pun perlu dilandasi dengan nilai keagamaan. Nilai keagamaan akan membawa manusia pada tujuan yang tidak mengarah pada duniawi, akantetapi mengarah kepada hakekat dari kehidupan, yaitu Tuhan itu sendiri.
Tuhan, dalam tradisi Jawa dapat kita temui tidak di Mekah, tapi di dalam hati sanubari setiap manusia dan hidup manusia sendiri harus menjadi doa terus menerus kepada Yang Mahakuasa (Mulder, 1984: 11). Karena Tuhan ada di dalam hati, maka manusia harus lebih memperhatikan pertimbangan hati dalam penempuhan jalan, sehingga hati sebagai penunjuk sekaligus peneterjemah atas perjalanan hidup manusia yang panjang. Oleh karena itu, mari kita cermati bagaimana Nurel Javissyarqi mengetengahkan suara hati di dalam perjalanannya:
Inilah nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu
takkan habis walau jutaan kaki merayap di punggung malam (X: XVI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)
“Nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu” begitu Nurel Javissyarqi melukiskan suatu perjalanan manusia. Kita masih berada di tahap jalan hidup, jadi ini masih membicarakan masalah jalan yang seharusnya lebih mengedepankan hati untuk menjadi pentunjuk arah dan penterjemah atas setiap persoalan. Perjalanan hidup manusia yang menempuh jalan untuk menuju pada-Nya, seperti perjalanan berat untuk mendaki “pebukitan seribu” yang mana bertemu dengan seribu keinginan manusia yang terkadang mengecoh tujuan awal.
KEBIJAKSANAAN
Menjalani babak kehidupan yang berada di jalan mengusahakan mimpi, hal lain yang perlu diperhatikan adalah nilai kebijaksanaan. Nilai ini menentukan bagaimana kita memandang dunia dan sekaligus bagaimana dunia memandang kita sebagai diri yang berdiri merdeka. Kenapa saya mengatakan merdeka, karena mereka yang berjalan di jalan untuk mengukir impian adalah orang yang merdeka, melangkah sekehendak hati. Kemerdekaan hidup yang paling mendasar adalah kemerdekaan dari kemauan, yang di dalamnya bisa meraup aspek hati dan pikiran. Bersebab itulah, seringkali kita mendengar ungkapan: “bisa saja kalian penjarakan tubuhku, tapi tidak pikiran dan jiwa”.
Kebijaksanaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemerdekaan pikiran dan jiwa. Gerakan untuk mencapai bijaksana dibutuhkan adanya kekuatan dari dalam diri untuk menghadapi realitas yang berbeda dari apa yang namanya bijak dan ideal. Realitas kadangkala jauh dari apa yang namanya ideal, begitu juga realitas jauh dari apa yang namanya bijak. Dan kebijaksanaan di sini, adalah mengenai bagaimana kita berjalan dengan selaras dengan realitas itu sendiri. Pada diri manusia, ada keidealan yang diidamkan dan kebijaksanaan yang diyakini, yang musti diselaraskan. Selaras tidak merujuk pada pengekoran atas realitas, namun berjalan seiring tanpa harus berkonflik atau menciptakan penyakit-penyakit yang dibaca kebencian.
Saya menemukan, bagaimana Nurel Javissyarqi mengajak kita untuk menjalani laku hidup yang dipenuhi dengan kebijaksanaan. Tidak perlu memandang buruk orang lain, atau menyalahkan pihak lain atas suatu realitas yang tidak ideal. Hal ini nampak dalam:
Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya
dengan ketentuan membuta, ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar,
nalar mentah keluar terlalu dini, reranting menunggu lebat sayapnya (X: II) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)
Kebijaksanaan itu perlu bagi manusia, baik secara pribadi maupun kolektif. Ia (kebijaksanaan) sebagai nilai moral yang mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan, dan secara lebih khusus pada Tuhannya. Kebijaksanaan dan juga moral menyangkut permasalahan kepatutan, hal yang tidak patut dan dilaksanakan menjadi gerakan yang tidak bijaksana dan sekaligus tidak etis. Karena penyimpangan itu tidak patut dilakukan oleh seseorang, meskipun itu adalah benar namun ada etika kolektif yang harus individu hormati.
Sehingga dengan demikian, kebijaksanaan bersinggungan erat dengan apa yang namanya moral (akhlak) untuk mencapai keselarasan sehingga terlaksananya etika manusia. Moral (akhlak) sebagai bagian dari jiwa manusia yang tertanam, yang dapat menciptakan gerakan tanpa pertimbangan dari pemikiran dan pertimbangan (Al-Ghazali dalam Tafsir et al, 2002: 14). Dalam pelaksanaan hidup, manusia tidak berdiri seorang diri namun sebagai makhluk sosial yang dalam proses kehidupan membutuhkan interaksi. Untuk melangsungkan kehidupan yang baik, diperlukan kebijaksanaan untuk menuju keselarasan sosial agar nilai dari masyarakat (maksud saya adalah kerukunan atau keselamatan hidup) dapat terjaga.
Kebijaksanaan melahirkan keselarasan, yang di dalamnya dibangun dengan apa yang bernama etika. Secara lebih jauh, ini akan menciptakan adanya keselarasan sosial yang berangkat dari etika kebijaksanaan. Dalam khasanah masyarakat Jawa, etika kebijaksanaan dianggap sebagai nilai untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh lingkungan itu (Magnis-Suseno SJ, 1985: 214). Lebih jauh lagi menyoal etika, menurut Franz Magnis-Suseno (Tafsir et al, 2002: 15-16) sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan untuk mengetahui bagaimana seseorang menjalani hidup; mengenai bagaimana individu membawa diri, bersikap, dan tindakan dalam mencapai tujuan hidup.
Nilai dari etika yang diketengahkan oleh Nurel Javissyarqi dapat diketahui dalam kalimat: “Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya dengan ketentuan membuta”. Lebih dahulu kita melihat pada sisi ideal, kemudian pada realitas dan dengan kebijaksanaan, kita menafsirkan suatu realitas untuk melakukan suatu gerakan. Tentu saja, suatu gerakan yang bijak, karena bagaimana pun juga kita “datang terlambat”. Ucapan “datang terlambat” dapat ditafsir sebagai segolongan generasi muda yang menemukan dunia hasil dari pembentukan generasi tua. Kita ini, yang muda, sebagai generasi terlambat yang tidak seharusnya dengan sikap sok pintar (mungkin karena sudah merasa modern dengan pendidikan barat) kemudian menggurui generasi tua dengan kasar.
Bukan berarti kita tidak boleh melakukan kritik, akantetapi kita harus melihat keadaan yang melatar-belakangi dari proses pembentukan budaya dari generasi terdahulu. Melihat proses, kalau tidak sesuai dengan keidealan yang dapat dilihat dalam: “ketentuan membuta” untuk mencari tahu aspek apa yang kurang sampai pembentukan budaya atau kondisi masyarakat tidak bisa mendekati ideal. Jadi, tidak langsung menyalahkan, melainkan menenggok sebab akibat, karena bagaimana pun juga hal ini masuk ke dalam etika, keselarasan sosial.
Apabila dilihat lebih jauh di aspek yang juga bersinggungan, kita akan memasuki pada suatu nilai penting yang disebut dengan hormat untuk mencapai kerukunan yang sekaligus keselarasan sosial. Geertz (dalam Magnis-Suseno SJ, 1985: 38) mengemukakan dua pola yang menetukan dalam pergaulan masyarakat Jawa, yaitu kaidah kerukunan yang memfokuskan manusia dalam setiap situasi agar bersikap sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan konflik dan kaidah hormat yang menuntut manusia untuk membawa diri, menunjukkan sikap hormat sesuai dengan derajat kedudukannya.
Dua kaidah ini, oleh Franz Magnis Suseno (1985: 38) disebut dengan Prinsip Rukun dan Prinsip Hormat yang merupakan kerangka normatif dalam bentuk konkret semua interaksi. Hubungan dua prinsip kehidupan yang saling mendukung, saat kita memposisikan untuk menghormati generasi tua karena kita ini sebagai generasi yang “datang terlambat”, maka secara tidak langsung kita sudah melaksanakan prinsip hormat dan kerukunan secara bersamaan. Dua prinsip ini, membawa pada keselarasan sosial yang memberikan keselamatan pada kita. Sebab, selain karena ketidak-tahuan kondisi-situasi pada masa dimana generasi tua melakukan proses pembentukan tersebut, falsafah Jawa membawa pada pengertian yang lebih hakekat. Mulder (1984: 17) mengungkapkan bahwa, “Bila seseorang menghormati saudara tua, orang tua, guru dan rajanya, maka orang itu menghormati Tuhan”.
Jadi, Nurel Javissyarqi pun berpesan: “tak seharusnya menghakimi” karena, “ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar”. Dengan tidak terburu-buru menghakimi suatu generasi atas suatu kondisi, kita diajak Nurel Javissyarqi untuk menilik lebih jauh ke masa itu. Hakekat dan belajar dari alam, bahwa tidak setiap bunga menjadi buah, hendaknya memberikan pendeskripsian lebih jauh. Melihat untuk mengetahui kemudian memahami situasi serta kondisi menjadi hal yang lebih baik, ketimbang menghakimi karena suatu realitas. Dalam petikan kalimat tersebut, kita dapat mengambil berbagai kebijaksanaan yang Nurel Javissyarqi sematkan di surat ke X ayat II ini.
Jikalau di sana ada akibat, tentu saja ada sebab. Suatu kejadian atau fenomena merupakan pembentukan dari fenomena yang ada sebelumnya. Memahami suatu keadaan yang menjadi pendorong atas lahirnya suatu ketidak-patutan. Sikap seperti ini, akan membuat kita tidak dengan mudah menghakimi suatu persoalan. Karena kita sudah memahami latar-belakang pembentukannya, sampai kondisi yang tidak kita inginkan terjadi dalam kehidupan realitas. Mungkin saja, yang menurut Nurel Javissyarqi katakan sebagai: “nalar mentah keluar terlalu dini” atau “reranting menunggu lebat sayapnya”. Sehingga tidak bijak kalau kita menilai sesuatu dengan tidak melihat latar belakang dari permasalahan atau kondisi yang ada.
Kebijaksanaan yang dimiliki seseorang tidak hanya mengarah pada perilaku dalam kehidupan kolektif seseorang, akantetapi juga merasuk ke dalam diri dan menjadi jati diri bagi seseorang tersebut untuk bersikap. Inilah yang dikatakan sebagai kebijaksanaan diri, yang dalam Sekuntum Bunga Revolusi, Nurel Javissyarqi mengungkapkannya dengan bahasa berikut:
Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya,
barangkali compang-campingmu sanggup menggedor kemampuan semu (X: VI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).
Manusia yang memiliki kebijaksanaan diri akan mengarahkan perilaku diri untuk lebih realistis, tanpa harus menyiksa diri. Hal ini membawa dirinya untuk mengekang pamrih serta meninggalkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting. Kalaimat “sayap-sayap bertumpuk” dapat kita pandang sebagai suatu keadaan yang di sana terlihat mengenai kemegahan atau suatu kebanggaan ketika memutuskan untuk menumpuk sayap. Seperti burung, sebut saja Cenderawasih yang memiliki sayap-sayap indah, membuatnya mempesona dan terlihat agung. Suatu keindahan yang dari “sayap-sayap bertumpuk” itu tadi.
Hal yang Nurel Javissyarqi tekankan pada aspek fungsional dari keberadaan sayap tersebut. Ingin mengatakan pada kita semua, untuk apa memiliki sayap yang bagus, indah, bertumpuk dan nampak anggun kalau justru sayap (kemegahan) itu memberati diri saat kita ingin terbang? Salah satu nilai yang dikandungi burung adalah bagaimana cara hidup dia dengan sayap tersebut, yaitu terbang di angkasa raya dengan penuh kemerdekaan. Burung yang terbang di angkasa dapat dinisbatkan sebagai simbol dari kebebasan (dan kemerdekaan).
Menjadi burung, sama halnya menjadi manusia yang merdeka. Kehidupannya hanya dipengaruhi oleh angin, begitu saya seringkali mendengar kebebasan dari Nurel Javissyarqi. Burung yang terbang memiliki kebebasan, angin sebagai salah satu kawan yang dapat dikatakan sebagai penunjuk arah, sedangkan angin sendiri sebagai khas dari kemerdekaan itu sendiri. Jika manusia yang memiliki keagungan, namun tidak mampu terbang dengan kebebasan, berarti manusia tersebut seperti burung yang dipenjarakan ke dalam sangkar. Keindahannya hanya mendatangkan bencana untuk dirinya sendiri, kehilangan kebebasan yang menjadi ruh bagi kehidupannya.
Terkadang, kebanyakan diantara kita yang lebih memilih untuk hidup di dalam kemewahan dengan menukar dari kebebasan, entah itu kebebasan secara badaniah maupun kebebasan dalam hal ruh (akal dan hati). Kemewahan yang saya maksudkan di sini tidak berkisar pada material, tetapi juga termasuk di dalamnya pola pikir. Kemewahan dari segi materi sudah menjadi kejelasan yang akan mengangkat prestise, namun ada hal lain yang dari segi pola pikir. Misalkan saya, dalam suatu diskusi kita sering menemukan berbagai macam istilah yang luar biasa, namun terkadang dengan menggunakan istilah-istilah tersebut, kita justru kehilangan makna yang seharusnya kita pahami.
Karena itu, Nurel Javissyarqi mengatakan, “cabuti bulu-bulunya” kalau kemewahan tidak mendatangkan apa-apa bagi individu tersebut. Sikap untuk mau membuang beberapa aspek yang tidak terlalu penting, akan membuat diri kita semakin ringan untuk melangkahkan kaki menuju kebebasan.
Hal lain, yang dapat saya dapatkan dalam kalimat ini: “Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya” adalah mengenai kesederhanaan. Baik kesederhanaan secara fisik, gerakan, maupun di dalamnya pola pikir. Tidak perlu, kita menggunakan istilah yang tinggi-tinggi untuk mengatakan mengenai sesuatu hal, tapi katakan dengan sederhana. Sebab, misal di dalam suatu pembicaraan, ketika kita menggunakan istilah yang tinggi, bisa saja orang yang kita ajak bicara tidak paham dengan istilah kita sehingga maksud dari pembicaraan tidak tersampaikan.
Kesederhanaan di dalam hidup, seperti singkatnya yang akan membentuk kebebasan dan keanggunan tersendiri, yang tentu saja lebih mampu merasuk ke dalam isi ketimbang pada keindahan bentuk. Untuk itu, saya sangat sepakat ketika Nurel Javissyarqi mengatakan: “compang-campingmu sanggup menggedor kemampuan semu”. Indah itu bukan terletak pada bentuknya, melainkan pada isi yang ada di dalamnya sehingga tidak ada lagi, “kemampuan semu” tersebut. Jangan bangga ketika orang melihat kita intelek ketika kita menggunakan bahasa yang super rumit namun kita tidak memahami apa yang sebenarnya kita katakan. Lebih baik, berbicara dengan sederhana sehingga kita dan orang lain paham dengan apa yang ingin kita sampaikan.
Nilai kebijaksanaan yang lain, juga kita temukan mengenai hakekat dari kesadaran manusia dalam melakukan sesuatu. Semisal di ayat berikut:
Kesadaran pejuang mengikuti awan-gemawan gerilya,
aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna,
menggelinjak bertemu akar pohon dari batin kutub kekuatan (X: XII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).
Manusia yang bijak adalah manusia yang sadar dengan apa yang dia lakukan, untuk mempelajari sesuatu dari alam. Manusia (yang modern) yang mengembalikan diri pada alam raya, menjadikan alam sebagai guru, dan sekaligus kawan dalam perjalanan. “Mengikuti awan-gemawan gerilya” merupakan pengungkapan untuk hidup dalam kebebasan, dimana seperti awan yang tidak bergantung pada apa pun selain angin. Kemana angin berhembus, di sana awan akan melaju. “Mengikuti awan-gemawan gerilya” tidak mengisyaratkan pada kekosongan tujuan, melainkan lebih pada keinginan yang ada di dalam diri. Keinginan itu diselaraskan dengan angin, yang mana mengalir sesuai dengan kodratnya.
Menjalani hidup dengan mengalir, seperti angin, pun juga demikian seperti layaknya air. Angin dan air, lebih kurangnya memiliki sifat yang sama. Bersatu dan membentuk wadah (tempat) dan ketika keduanya bertemu halangan, maka mereka tidak akan menghancurkan jikalau kekuatan yang dikandungi sedikit. Mereka (air dan angin) akan mencari jalan lain, membelok. Lain halnya ketika, angin dan air mengandungi kekuatan yang besar, maka segala sesuatu yang menghalangi perjalanan mereka akan dihancurkan.
Sikap hidup untuk mau mengalir seperti angin dan air merupakan bagian dari kepasrahan diri terhadap takdir yang Tuhan Yang Mahakuasa. Selain itu, manusia tersebut juga mampu untuk menimbang kekuatannya sendiri, untuk terus melangkah dengan menghancurkan penghalang atau membelok dan mencari jalan lain ketika dirinya dirasa tidak mampu mengatasi rintangan yang ada. Kemampuan untuk menakar kekuatan diri sendiri, kemudian mengakuinya merupakan kebijaksanaan hidup. Menjadikan hidup manusia tidak ngongso atau memburu napsu tanpa perduli dengan keadaannya sendiri membuat hidup menjadi lebih tenang dan bahagia.
Semisalnya dalam peperangan, ketika seorang tentara merasa mampu untuk mengalahkan lawannya, maka dia akan terus menggempur untuk mengalahkan musuh. Akantetapi, diketika dirinya merasa tidak mampu dia akan mundur untuk mengatur strategi lain agar bisa menang, atau setidaknya mencari jalan lain agar tidak perlu berhadapan dengan musuh. Sikap untuk mau menakar kemampuan diri adalah sikap para Pandawa yang diketika mengalami kekalahan biasanya mundur sejenak untuk mencari strategi yang biasanya muncul dari sosok Semar kemudian maju kembali. Sedangkan, seseorang yang tidak mampu mengenal kemampuan diri akan menjadi seperi Buta Cakil yang terus berperang walau menyadari akan kalah. Dan Buta Cakil sebagai satria yang tidak pernah mundur itu selalu saja kalah ketika berhadapan dengan Pandawa. Manusia yang berperang dengan tanpa memperhitungkan kekuatan sendiri, entah akan mengalami kemenangan atau kekalahan maka manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia yang konyol.
“Mengikuti awan-gemawan gerilya” dapat diungkap sebagai jalan hidup yang mengalir bersama angin untuk mencapai keselamatan serta kebijaksanaan. Lalu “aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna” sebagai pengungkapan diri dalam perjalanan mengenal diri sendiri dalam usaha mencari pengetahuan terdalam. Guru yang paling baik bagi manusia adalah pengalaman yang mana pengalaman tersebut muncul dari dirinya sendiri. Dalam ilmu mengenai jalan hidup manusia Jawa, mereka memandang kalau guru sejati satu-satunya adalah diri sendiri (Beatty, 2001: 267).
Dengan demikian, ketika manusia sudah menelusur dirinya sendiri, bahwa manusia Jawa pun seringkali mengungkapkan kalau Kitab Suci Quran itu sebagai kitab yang kering yang artinya sebagai tulisan, sementara Tuhan juga menurunkan kitab yang basah yang di sana menyimpan ilmu pengetahuan yang luas. Masyarakat muslim Jawa yang tradisional menganggap Quran sebagai objek yang suci tetapi, sejauh mengenai rincian pesan-pesannya, ia adalah buku yang tertutub (Beatty, 2001: 172). Dalam kepercayaan Islam Kejawen memandang dunia sehari-hari sebagai teks kuncinya dan tubuh manusia sebagai kitab sucinya (Beatty, 2001: 219). Sehingga, cukup relevan kalau Nurel Javissyarqi mengungkapkan “menyusuri seluruh lekuk tubuhnya mencari makna” karena di sana kita akan menemukan “akar pohon dari batin kutub kekuatan”.
Dengan memahami kehidupan dan tubuh manusia sendiri sebagai kunci dan guru bagi manusia, maka manusia tersebut akan menemukan hakekat dari kekuatan spiritual. Jawa memandang lebih dari sekedar teks yang dibaca dengan alunan merdu tanpa mengetahui apa hakekat dari isi teks tersebut. Quran membawa suatu pengetahuan, namun lebih banyak dari kita yang mengetahui huruf Arabnya tanpa mengetahui maksud yang ingin Allah sampaikan pada manusia. Dengan mempelajari diri, berguru pada kehidupan dan memahami Quran sebagai pesan yang harus dilaksanakan, manusia akan mendapatkan kebijaksanaan.
BERTAHAN DALAM JATI DIRI
Kita tidak mungkin hidup sendiri dengan meninggalkan orang lain. Bukan suatu pilihan bijak ketika kita kemudian memilih untuk lari ke suatu perbukitan yang sunyi, menutup diri dengan manusia yang lain. Manusia bijak adalah manusia yang mampu berada di tengah masyarakatnya, berkomunikasi untuk belajar dari manusia lain, alam raya dan lebih jauh pada Tuhan. Ilmu sosiologi memandang manusia sebagai makhluk sosial yang keberadaannya saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Keadaan ini membawa manusia untuk berada di tengah-tengah masyarakat yang di dalamnya terdapat adanya jati diri kolektif.
Manusia dalam kerangka sebagai mahluk sosial harus bersinggungan dengan suatu keadaan yang mana disebut sebagai proses sosial dan interaksi sosial. Proses sosial memandang bagaimana individu di dalam kelompok sosial dalam rangka melahirkan interaksi sosial. Selanjutnya, Kimbal Young dan W.Mack Raymond (Soekanto, 1990: 67) mengatakan bahwa interaksi sosial sebagai kunci kehidupan sosial. Interaksi sosial inilah yang pada akhirnya akan melahirkan suatu bentuk identitas sosial (kolektif). Di dalam interaksi sosial, hendaknya, seseorang tidak kehilangan identitas diri sendiri, yang berperan sebagai jati diri perseorangan. Walau pun di dalam suatu interaksi sosial, terkadang manusia kehilangan jati diri karena melebur ke dalam identitas kelompak, namun identitas diri perlu dipertahankan.
Identitas diri seseorang ini yang pada nantinya akan disebut dengan kepribadian, yang mana dia sebagai organisasi biologis, psikologis dan faktor sosiologis yang menjadi dasar bagi tingkah laku seorang individu (Roucek dan Warren, 1984: 31). Identitas diri yang dimiliki oleh seseorang harus tetap dipertahankan, karena identitas ini yang digunakan untuk membedakan dirinya dengan kelompok sosial tempat dimana manusia hidup.
Seperti halnya di dalam suatu karya sastra, seorang penulis dia berada di dua dimensi edentitas, yaitu identitas diri dan identitas kelompok. Ungkapan yang menyatakan, kalau sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1990: 11). Kekosongan budaya di sini dapat dipandang sebagai interaksi sosial yang dilakukan oleh seorang penulis. Akantetapi, dalam interaksi sosial, dalam suatu penciptaan karya sastra dapat dipastikan kalau seorang sastrawan masih memegang identitas diri. Sebab, karya itu dimulai dari identitas diri yang mana berperan sebagai tolok ukur atas suatu penilaian yang akhirnya melahirkan karya.
Identitas diri, adalah mengenai siapa diri kita, berdiri dalam lingkup golongan yang mana, dan bagaimana ide atau pemikiran kita mengenai suatu keadaan masyarakat. Identitas diri ini yang menjadi semacam ciri khas bagi seseorang di dalam menanggapi kondisi lingkungan sekitar. Walau terkadang, keadaan lingkungan berusaha mempengaruhi, sebab jika kita mengumpamakan kehidupan ini dengan sungai, identitas kolektif sebagai arus. Apabila kita tidak sekuat tenaga (dengan serius) mempertahankan identitas diri maka kita pasti akan terseret arus kolektif yang biasanya kuat menarik.
Sudahkah diawali pergesekan ini serasa salju tambah memikat panasnya
saat daging jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan (X: VII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).
Dalam ayat ini, saya menemukan adanya penekanan untuk memiliki identitas diri dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun, dia berada di dalam arus identitas kolektif, seseorang individu mesti memiliki identitas diri yang kuat demi keberadaan dan eksistensi dirinya sebagai anggota masyarakat. Hal penting untuk terus berpegang pada identitas diri adalah keberanian yang terbaca dalam: “Sudahkah diawali pergesekan ini serasa salju tambah memikat panasnya” karena dengan terus berpegang pada identitasnya sendiri, seseorang akan mendapatkan tekanan, entah dari dirinya sendiri yang merasa terkucil atau dari kelompoknya.
Bahkan, hal yang menarik dari keberanian untuk terus bertahan dalam identitasnya sendiri, Nurel Javissyarqi ungkapkan dalam simbolisme “salju” yang justru terasa “panas”. Bukankah menjadi hal yang aneh ketika merasakan salju sebagai sesuatu yang memiliki sifat panas? Kita pasti akan menolak hal ini, sebab sifat dari salju secara faktanya memiliki sifat dingin. Akantetapi, penyimbolan yang dilakukan Nurel Javissyarqi dalam ayat ini untuk memberikan penekanan, bahwa ketika kita ingin berada pada taraf menjalani identitas pribadi, kita akan menemukan hal-hal yang tidak terduga. Bisa dibilang sebagai keajaiban dari hikmah yang memberikan kita pelajaran mengenai hidup, atau sebagai tantangan yang musti dijalani dengan “jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan”.
Keberanian dari sikap ini, karena memang sudah didasari dengan keyakinan yang kuat. Seseorang berani untuk mempertahankan pemikirannya (ideas) karena dia yakin dengan apa yang sedang ditempuh (atau diperjuangkan). Kata “genggaman keyakinan” mengisyaratkan pada kebulatan tekat yang tidak mudah diusik oleh resiko ketika si individu melawan identitas kolektif. Sebenarnya bukan melawan, melainkan hanya lebih memperlihatkan karakter pribadi sebagai seorang manusia.
Kemudian, Nurel Javissyarqi mengungkapkan suatu kelebihan lain yang dimiliki seseroang yang memiliki identitas diri di tengah identitas kolektif dalam ayat:
Kenanglah ikan-ikan Bethik bertubuh daging gurih
tersebab hidupnya melawan arus terus menerus (X: VIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).
Penyimbolan yang perlu di dasari dengan pemahaman akan kehidupan seekor ikan. Dalam hal ini adalah ikan Bethik, yang memiliki tubuh yang kuat, keras sisiknya, kemudian memiliki duri yang kuat dan juga tajam. Saya secara pribadi tidak terlalu memahami bagaimana kehidupan ikan ini, namun saya cukup merasa familir karena sedari kecil saya hidup di pedesaan dan saat kecil terkenal ngglidik di sepanjang sungai. Ikan Bethik yang dagingnya gurih karena ia melawan arus, saya mencoba memahami, apakah ada hubungannya saat hidup melawan arus maka daging kita akan menjadi gurih?
Ya, tentu saja, ini hanya bangunan simbolisme yang mengacu kepada jati diri seseorang. Kalau kita membuat perbandingan, misalnya dalam peribahasa “Gajah mati meninggalkan gadingnya, macan mati meninggalkan kulitnya” yang mana merupakan suatu penggambaran mengenai jati-diri yang menjadi spesial di mata orang lain. Yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, adalah karakter. Hal tersebut (karakter maksud saya) yang akan paling dikenang ketika kita jauh atau bahkan mati. Sehingga, Nurel Javissyarqi berpesan pada kita untuk memiliki karakter tersendiri sebagai manusia, sebagai jati diri yang membuat kita berbeda dari orang lain.
Mempertahankan jati diri di tengah identitas kolektif memang sangat berat, seperti melawan arus terus menerus, akantetapi di akhirnya nanti, kita sendiri yang akan merasakan. Bagaimana kita menjalani hidup, atau bagaimana kita menghadapi realitas yang serba pelik dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada di dalam pemikiran kita. “Melawan arus terus menerus” menjadi simbol bagi perjuangan, pelajaran dan guru yang tidak terkira manfaatnya. Karena, Nurel Javissyarqi menyadari, akan tiba saat dimana kita manusia, akan menggunakan kekuatan kita sendiri. Hal ini diungkapkan dalam ayat:
Di sini bergejolak birahi sejati, menenggelamkan jiwa di lumpur semesta,
karamnya kapal ditakdirkan, warisan pemberontak menantang (X: XXXVIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 58)
DALAM HENING, MEMETIK BUNGA REVOLUSI
Revolusi di sini bukan pergerakan sosial yang terjadi di suatu masyarakat dalam perubahan besar yang disertai kekacauan sosial, ekonomi maupun kekacauan politik. Itu, sebutan revolusi untuk sebuah tatanan yang buruk, dipenuhi dengan pembusukan jati diri dan penyelewenangan kekuasaan oleh mereka yang tidak tahu dengan caranya berterima kasih. Akantetapi, revolusi yang saya tangkap dari Nurel Javissyarqi adalah perubahan yang besar dari perjalanan panjang kehidupan manusia.
Manusia yang sudah dengan ketatnya ritual melaksanakan laku perjalanan batin, akan menemui perubahan besar di dalam dirinya. Perubahan ini lebih merujuk pada aspek batin, ketimbang pada badaniah yang tidak mengartikan apa-apa dalam perjalanan hidup manusia. Ketika, perjalanan telah terlewati, kita (manusia) akan menemukan suatu babak yang mana merasuki hening, hidup hanya ada dirinya sendiri sehingga:
Mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam,
tiada kehidupan selain nafas dicukupkan baginya seorang (X : LIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 59)
Permainan bahasa yang cukup indah, ketika Nurel Javissyarqi mengatakan: “mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam” dimana kita diajak untuk memojokkan diri dalam kesunyian. Sunyi, tidak berarti kosong atau senyap, namun Sunyi, kalimat ini mengingatkan saya pada ungkapan bijak Ibu Theresa (Jejak Tanah, 2002: 143) yang mengatakan kalau buah dari sunyi itu doa. Kebijaksanaan yang memberikan saya batu pijakan untuk menulis beberapa kata dalam subbab ini. Sunyi, yang bagi saya memberikan pengertian mengenai suatu ruang renungan, ruang ketiadaan yang disana saya bisa memikirkan sesuatu mengenai kehidupan yang serba kompleks ini. Sunyi adalah ruang kosong, di suatu tempat yang tidak harus kosong. Di dalam keramaian, apakah kita bisa menemukan ruang kosong yang dimaksud? Tentu saja bisa, karena ruang kosong ini mampu kita dapatkan di ruang yang penuh sesak dengan berbagai kepentingan. Biasanya, menurut pendapat saya, ruang kosong ini sebagai celah hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dalam tradisi Jawa, ada pohon bernama Kemuning, yang menyimbolkan mengenai keheningan, atau kebeningan. Keberadaan heneng, wening, dan bening menjadi kesempatan bagi manusia untuk lebih banyak diam dan belajar dari tanda-tanda. “Kelopak sunyi” itu yang memuat tanda-tanda yang akan membawa kita manusia ke “akar-akaran terdalam”. Apabila kehidupan selayaknya pohon, maka akar dapat dianggap sebagai suatu kesejatian, awal mula dari kehidupan manusia yang mana sebagai tempat berdiri dan sebagai jalan dalam memperoleh sumber kehidupan.
Akar, apabila dalam skema Pohon Filsafat (2007) yang dikemukakan Dr. Stephen Palmquis, akar sebagai bagian dari metafisika. Di dunia Jawa, pandangan mengenai metafisika seringkali disebut sebagai dunia Numinus, yaitu alam kehidupan sehari-hari. Numinus sebagai hakekat dan cahaya ketuhana, yang membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik.
Konteks “akar-akaran terdalam” yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dapat dikatakan sebagai kebenaran hakiki yang berada di dalam mitos. Esensial dari kebenaran yang ada, sehingga manusia yang sudah mencapai pemahaman akan kebenaran ini tidak lagi membutuhkan barang lain dalam pencukupan kehidupannya. Seperti para pertapa yang hanya napas, tanpa makan atau minum untuk meluangkan waktu lebih banyak dalam usaha pendekatan diri pada Hidup (Tuhan).
Ketika pemahaman dan jalan hidup sudah sampai ke sini, maka manusia akan mengalami puncak, kenikmatan ketika manusia bisa melihat cahaya biru (ndaru):
Jiwa-jiwa merdeka bertarian dalam selubung ketinggian biruanya cahaya
sematang malam dipanjatkan asap kemenyan mewangi doa-doa berterbangan,
kelepak sayap lembutnya menarik maksud perjuangan perdamaian abadi (X : XCI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 61).
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 26 Februari 2011
http://sastra-indonesia.com/
PENGANTAR
Seluruh dari kita, pastinya sepakat kalau saya mengatakan kehidupan manusia ini selayaknya perjalanan dari suatu tempat menuju suatu tempat yang lain. Dalam perjalanan itu, kita akan menemukan berbagai persoalan, entah persoalan yang menyenangkan maupun yang tidak kita senangi. Pun, selayaknya dalam perjalanan juga, dapat dipastikan kita melewati suatu jalan yang kita pilih. Terdengar menyenangkan saat membayangkan keadaan ini, berjalan dalam suatu perjalanan yang kita ingini, di jalan sendiri yang kita pilih, dengan menggunakan kendaraan yang dipilih juga sendiri kemudian diusahakan, demi menuju ke suatu tempat juga yang sudah kita tentukan.
Dalam perjalanan itu, seringkali menemukan berbagai macam hal yang berbeda dari apa yang ada di dalam pikiran. Misalnya saja, kita bertemu dengan seseorang yang memiliki jalan lain dengan tujuan yang (mungkin saja) sama dengan kita. Namun, banyak sekali perbedaan yang akan kita temukan, entah itu jalan, kendaraan, atau sikap dan cara pandang seseorang tersebut di dalam menjalani perjalanan(hidup)nya.
Tulisan ini, adalah uraian mengenai aspek-aspek perjalanan yang termuat di dalam surat Sekuntum Bunga Revolusi, X : I-XCI dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat (2007) karya Nurel Javissyarqi yang diterbitkan oleh Pustaka Pujangga.
Perjalanan di dalam surat ini terekam, yang menurut saya merupakan pencerminan dari kehidupan sang penyair itu sendiri, tentang bagaimana dia menentukan sikap dalam hidup dan cara menjalani kehidupannya. Lebih jauh dari itu semua, si penyair yang terus saja menisbatkan diri sebagai “pengelana” secara tidak langsung mengumpulkan berbagai pengalaman perjalanan yang (semoga) dapat memberikan manfaat untuk kita yang membacanya. Bukan suatu hal yang baru, ketika kita membaca perjalanan orang lain dan menemukan pengalaman di sana sebagai guru untuk mendidik jiwa kita sendiri.
Dari sini, kita bisa mengambil manfaat dari ungkapan “belajar dari pengalaman orang lain” yang mana, sastra merupakan pencerminan sosio-budaya masyarakat (Teuuw, 1990: 11) yang terekam oleh seorang sastrawan. Dalam analisis ini, untuk mengetahui pengalaman yang terdapat di dalamnya, menurut saya, lebih tepat jika kita mendekati menggunakan skema Fenomenologi yang memandang objek sebagai kesatuan dengan bertumpu pada pengalaman intuitif (Eagleton, 1983: 87). Nilai pengalaman yang diracik Nurel Javissyarqi coba kita pahami dalam konteksnya sebagai seorang pengelana. Walau tidak setiap kita ingin menjadi pengelana, namun mari kita mengikuti sang Nurel Javissyarqi dalam menskema dan menorehkan pengalaman.
JALAN
Hal pertama yang ingin saya uraikan, tidak pada tujuannya akantetapi lebih pada jalan mana yang akan kita pilih. Sebab, tujuan sudah ada di dalam gambaran, jikalau manusia hidup tujuannya beraneka ragam, dan berhenti dengan mati. Karena itu, sebelum kita sampai pada mati, alangkah lebih baiknya kita menentukan jalan terlebih dahulu. Seperti yang juga diungkapkan NJ di bait pertama Sekuntum Bunga Revolusi, yaitu:
Sebelum jauh tulisan ini melangkah, ingin menyapamu terlebih dulu;
apakah mimpi perlahan mulai sirna oleh sorot matahari realita menempa jiwa,
entah masih ada, malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa (X: I) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)
Sebelum tulisan ini jauh melangkah, begitu NJ membuka tulisan ini dengan bahasa yang teramat sederhana namun sudah memberikan kita patokan. Ini menyoal langkah, berarti ini menyoal perjalanan. Pada tahap ini, NJ sama sekali tidak menanyakan mengenai kabar, tapi jauh pada penggerak langkah manusia, yaitu mimpi. Manusia melangkah dalam suatu perjalanan perjuangan karena dorongan mimpi atau keinginan. Pergerakan manusia tidak terjadi begitu saja, melainkan dikarenakan adanya stimulus atau rangsangan (Woodworth dan Schlosberg dalam Walgito, 2002: 9). Stimulus atau rangsangan dapat berupa apa saja, salah satunya adalah gerak yang dilakukan karena mimpi (atau cita-cita/ keinginan).
Untuk membawa seseorang di dalam suatu perjalanan, maka pertanyaan mengenai mimpi yang diusahakan cukup realistis, mengingat mimpi itu yang menjadi rangsangan sekaligus menjadi bahan bakar. Keberadaan dari mimpi ini, bisa saja hilang atau berganti karena berbagai faktor, salah satunya keadaan yang tidak mendukung. Misalnya saja, saya ingin menjadi seorang polisi namun karena saya tidak begitu baik (tidak tahan) berlari, maka otomatis saya gagal. Tapi tunggu sebentar, karena ini mimpi, saya pun berniat mengusahakan sampai pada titik-titik tertentu agar cukup terhormat ketika menyerah. Lalu, saya mendengar adanya isu (katakan saja sebagai gosip murahan) bahwa dengan uang pelicin, yang tadinya saya payah dalam berlari, ya tentu saja karena jalannya sudah licin.
Taraf untuk mencapai mimpi itu sudah berada di depan mata, ibarat tinggal melangkah sejengkal dan mimpi akan segera terwujud. Namun dasar apes juga nasib manusia, uang yang dipersyaratkan untuk melicinkan jalan agar bisa berlari dengan baik jumlahnya banyak. Katakan saja, lima puluh juta sedangkan saya hanya memiliki lima puluh ribu. Kontan, mimpi itu pun gagal dan sirna begitu saja mengingat berbagai kelemahan yang tidak sanggup saya tutup dan perbaiki. Karena itu, cukup masuk akal saat NJ mengatakan: “mimpi perlahan mulai sirna oleh sorot matahari realita menempa jiwa”.
“Sorot matahari realita menempa jiwa” suatu ungkapan yang kali ini memang terkesan lebih komunikatif. Dari kalimat ini, membawa kita untuk merenung arti dari sebuah matahari yang telah menghanguskan mimpi. Matahari sebagai guru, sekaligus tantangan bagi seseorang untuk memperkuat dirinya. Mimpi atau cita-cita ini, walau mungkin saja gagal diraih, manusia hendaknya tidak boleh menyerah begitu saja. Karena, kehilangan mimpi berarti dia kehilangan rangsangan untuk bergerak. Akantetapi, diketika kegagalan itu menjadi penghalang dalam perjalanan, kita mesti mengubah cara pandang mengenai kegagalan itu sendiri. Nurel Javissyarqi sudah menjawabnya, dengan menyatakan kalau kita terus gagal, maka: “matahari realita menempa jiwa”.
Kegagalan sebagai penyemangat, medan untuk terus berlatih dalam memupuk mimpi-mimpi manusia. Tidak ada kegagalan dalam konteks ini, melainkan kita diarahkan untuk menempuh cara lain. Cita-cita tetap harus terwujud, akantetapi hal yang paling penting adalah hakekat dari cita-cita itu sendiri. Misalnya, kembali pada cita-cita menjadi polisi. Polisi dengan seragam hanya semacam wadah yang membawa manusia pada hakekat dari polisi itu sendiri. Sedangkan cita-cita tidak berbatas pada wadah itu sendiri, tidak terbatasi pada bentuk karena lebih mementingkan pada hakekat serta nilai yang ada di dalamnya. Hakekat (nilai) dari polisi adalah semangat untuk mengabdi pada masyarakat dengan memberikan ketenangan, dan pengayoman pada masyarakat demi tegaknya keadilan.
Suatu kasus yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan realitas, bahwa adanya keberadaan polisi di sekitar mereka justru tidak mendatangkan ketenangan, pengayoman maupun penegakkan keadilan. Polisi justru menjadi suatu kondisi yang ditakuti oleh masyarakat. Hal ini, dikarenakan para polisi yang ada di dalam kasus tersebut tidak memiliki cita-cita menjadi polisi, yang sehingga penyelewenangan dari wadah (simbol) itu terus terjadi. Bagaimana bisa menjalanka hakekat kalau individu tersebut tidak mengerti dengan hakekatnya. Jabatan yang diemban pun sebatas pada profesi yang sering diselewengkan bukan sebagai jati diri yang mesti ditegakkan. Kalau saja polisi tidak hanya sebagai profesi namun juga sebagai jati diri maka hakekat polisi itu akan tercipta.
Mimpi yang tidak tercapai kemudian menjadikan setiap kegagalan menjadi tempaan namun manusia tidak kehilangan hakekat dari mimpi-mimpinya itu, maka si individu yang bermimpi menjadi polisi itu akan mencari jalan lain. Jalan yang tentu saja dimana dia mampu menjalankan sifat mengabdi, memberikan rasa aman, pengayoman dan keadilan pada masyarakatnya, tanpa harus menjadi polisi. Katakan, M.D. Atmaja gagal menjadi polisi namun tidak kehilangan hakekat, maka saya pun akan berusaha lebih baik lagi. Bukan lagi menjadi polisi, tapi bagaimana menjadi Bupati, Menteri, bahkan Presiden RI.
Dalam lingkup perubahan wadah (simbol) tentang menjadi yang tidak kehilangan hakekat dapat terlaksana di sini. Menjadi Bupati, pengayoman, perlindungan itu dapat saya lakukan tanpa harus berlari. Tentu saja, saya tidak mesti capek berlari kalau saya tidak korupsi dan kepergok orang-orang yang iri. Jadi, selama manusia masih memegang esensi maupun hakekat dari mimpinya, maka dia patut untuk terus memelihara dan mencari jalan lain demi pelaksanaan dari nilai yang menjadi tujuan kehidupannya. Hal ini, yang NJ ketengahkan dan seminimal mungkin terbaca: “malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa”.
“Alunan sejati rasa” itulah yang disebut dengan hakekat dari suatu tujuan (mimpi) manusia. Saya ini ingin menjadi apa? Lalu bagaimana? Caranya seperti apa? Selama “malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa” terus terjaga, manusia tidak akan lelah dalam pergerakannya. Dia masih memiliki ruh dari mimpi yang sirna karena matahari realitas, atau setiap tembok kegagalan yang menutup jalan.
Seseorang yang telah memilih jalan hidupnya, akan dengan setia melangkah untuk mewujudkan mimpi yang dia tuju. Di sana, kita akan menemui perjuangan berat yang terkadang begitu berat di dalam pikiran, jikalau kita tidak melangkah. Berat itu karena hanya ada di dalam pikiran, namun ketika telah melangkah maka jalan itu terlewati seiring dengan proses, seperti yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dalam ayat berikut:
Ia berkata; wujud tintaku darah kematian dan setiap torehan kata,
usiaku dikurangi serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci (X: X)
Adakah kesia-siaan pada ruang belum terisi sekalipun?,
ia berucap; inilah keindahan, ketinggian seni bagimu (X: XI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)
Saya menemukan makna esensial dari jalan yang ditempuh oleh seseorang dalam perjalanan hidupnya, yaitu dalam kalimat “wujud tintaku darah kematian” yang merujuk pada nasib manusia. Hal ini dilihat dari nasib manusia yang sudah ditulis dalam Kitab Langit, yang di sana dikatakan bahwa nasib manusia sudah diciptakan sebelum manusia itu diciptakan. Ungkapan “darah kematian” sebagai goresan akhir yang mau tidak mau mesti kita terima dengan seabrek perangkat yang ada, diantaranya kesabaran dan keikhlasan.
Dengan melaksanakan apa yang namanya kepasrahan manusia pada takdir kehidupan, manusia itu secara tidak langsung sudah menjalani fase kehidupan yang tinggi. Bentuk dari penyerahan dan cinta yang dalam ungkapan manusia Jawa dijabarkan melalui kebijaksanaan: urip mung sakdermo nglakoni (Hidup hanya sekedar menjalani suatu hal yang sudah Tuhan tentukan). Jikalau manusia sudah mampu melaksanakan nilai kebijaksanaan hidup itu, maka manusia akan lebih mampu untuk menjalankan aspek nrimo atas apa yang Tuhan kehendaki.
Sikap nrimo dalam masyarakat Jawa seringkali diucapkan dalam menghadapi suatu kondisi, yang dibarengi dengan permasalahan nasib sebagai pandhum (pembagian). Manusia Jawa cenderung menilai yang terjadi bukan suatu persoalan besar dan menyerahkan semua kejadian pada kebaikan dan kebijaksanaan Tuhan dengan mengatakan nrimo ing pandhum yaitu menerima pembagian nasib dari Tuhan dengan sebaik-baiknya kesabaran dan keikhlasan.
Masyarakat Jawa, dalam menjalani kehidupannya mengacu tiga aspek utama yaitu rila (rela atau ikhlas), nrimo (menerima) dan sabar (kesabaran) yang hanya bisa dicapai dengan tapa atau mau melaksanakan laku (jalan hidup) yang sudah diniatkan atau dapat dikatakan sebagai kewajiban manusia itu sendiri (Mulder, 1984: 41). Aspek-aspek kehidupan di atas sebagai laku hidup yang menjadi idaman setiap manusia Jawa, sehingga dalam kehidupan mereka akan mendapatkan puncak dari jalan spiritual yang namanya slamet. Kita perlu mengingat bahwa slamet dalam budaya Jawa tidak hanya merujuk pada sistem dunia (mikro kosmos) melainkan pada sistem ketuhanan (makro-kosmos).
Ketika kita, manusia, mampu menjalankan tiga hal mendasar, maka bagi kita sudah cukup untuk mencari kebahagiaan dunia, dan akhirat. Karena itu, tidak suatu hal yang mengada-ada ketika Nurel Javissyarqi lalu mengatakan: “usiaku dikurangi serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci”. Bahwa, tahapan-tahapan dari rela (ikhlas), menerima, dan sabar dapat membawa manusia pada tingkatan tinggi dalam perjalanan spiritualitas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya “Madarijus Salikin” (2009) mengenai persinggahan-persinggahan dalam menuju keesaan Allah menyatakan bahwa ikhlas, menerima (yang juga disebut dengan ridha) dan sabar merupakan persinggahan tertinggi yang dapat dicapai manusia.
Jalan, yang diniatkan untuk menggapai suatu tujuan, apalagi itu menyangkut dala persoalan spiritualitas, maka kita akan dituntut untuk menuju pada kekosongan. Yang saya maksudkan dengan kekosongan ialah, mengenai satu tujuan yang dibarengi dengan ikhlas, ridha, dan sabar untuk mensatukan tujuan hidup. Saya membacanya dalam “ruang belum terisi” yang memberikan saya pemahaman akan ruang kosong dan di sana hanya ada keheningan untuk melangkah di jalan spiritualitas. “Ruang belum terisi” sekali lagi bukan tanpa tujuan, namun di sana adalah ruang hidup manusia yang dapat dikatakan sebagai ruang tanpa pamrih atau keinginan selain menuju kepada-Nya.
Dan Nurel Javissyarqi pun menyatakan: “inilah keindahan, ketinggian seni bagimu” yang mengisyaratkan pada peletakan dasar dan tujuan dari suatu perjalanan. Saya mengatakan, ruang kosong sebagai jalan tanpa pamrih yang menuju pada-Nya, sehingga dalam konteks ini, saya pun kembali menegaskan, apabila perjalanan hidup manusia diyakini hanya menuju pada-Nya, bukan pada keduniawian, maka manusia itu akan mendapatkan keindahan yang tidak terkira. Tampat yang di dalanya terkandung “ketinggian seni” karena seni sebagai ruh di dalam kehidupan.
Seni sebagai ruh dari kehidupan, yang mana para pemikir lama mengatakan kalau seni (di dalamnya adalah sastra) sebagai media yang dapat dijadikan, atau berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia (Aristoteles dalam Ratna, 2007: 70). Hal ini senada dengan ungkapan Imam Al-Ghazali (Abdul Hadi W.M., 2004: 34) yang menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya seni terhadap jiwa manusia sangat besar, dan karenanya menentukan pembentukan moral dan penghayatan keagamaannya. Di sini lah, bagaimana seni menjadi ruh dari kehidupan, kalau seni bernilai buruk maka kehidupan manusia di dalam masyarakat pun akan ikut buruk, dan sebaliknya kalau nilai seni yang ada di kehidupan masyarakat baik, maka masyarakat itu akan menjadi baik. Dia (seni) sebagai ruh, guru, dan pensuci jiwa manusia.
Seni adalah ruh, yang lahir dari kedekatannya dengan Tuhan, yang mengacu pada keselarasan dan kebenaran. T.S. Eliot (dalam Abdul Hadi W.M., 2004: 4) menyatakan bahwa kebudayaan (baca: tingkah laku masyarakat) tidak akan bisa mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan. Budaya, saya tekankan sebagai tingkah laku masyarakat, dan tingkah laku secara pribadi, yang mana di dalamnya pun perlu dilandasi dengan nilai keagamaan. Nilai keagamaan akan membawa manusia pada tujuan yang tidak mengarah pada duniawi, akantetapi mengarah kepada hakekat dari kehidupan, yaitu Tuhan itu sendiri.
Tuhan, dalam tradisi Jawa dapat kita temui tidak di Mekah, tapi di dalam hati sanubari setiap manusia dan hidup manusia sendiri harus menjadi doa terus menerus kepada Yang Mahakuasa (Mulder, 1984: 11). Karena Tuhan ada di dalam hati, maka manusia harus lebih memperhatikan pertimbangan hati dalam penempuhan jalan, sehingga hati sebagai penunjuk sekaligus peneterjemah atas perjalanan hidup manusia yang panjang. Oleh karena itu, mari kita cermati bagaimana Nurel Javissyarqi mengetengahkan suara hati di dalam perjalanannya:
Inilah nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu
takkan habis walau jutaan kaki merayap di punggung malam (X: XVI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)
“Nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu” begitu Nurel Javissyarqi melukiskan suatu perjalanan manusia. Kita masih berada di tahap jalan hidup, jadi ini masih membicarakan masalah jalan yang seharusnya lebih mengedepankan hati untuk menjadi pentunjuk arah dan penterjemah atas setiap persoalan. Perjalanan hidup manusia yang menempuh jalan untuk menuju pada-Nya, seperti perjalanan berat untuk mendaki “pebukitan seribu” yang mana bertemu dengan seribu keinginan manusia yang terkadang mengecoh tujuan awal.
KEBIJAKSANAAN
Menjalani babak kehidupan yang berada di jalan mengusahakan mimpi, hal lain yang perlu diperhatikan adalah nilai kebijaksanaan. Nilai ini menentukan bagaimana kita memandang dunia dan sekaligus bagaimana dunia memandang kita sebagai diri yang berdiri merdeka. Kenapa saya mengatakan merdeka, karena mereka yang berjalan di jalan untuk mengukir impian adalah orang yang merdeka, melangkah sekehendak hati. Kemerdekaan hidup yang paling mendasar adalah kemerdekaan dari kemauan, yang di dalamnya bisa meraup aspek hati dan pikiran. Bersebab itulah, seringkali kita mendengar ungkapan: “bisa saja kalian penjarakan tubuhku, tapi tidak pikiran dan jiwa”.
Kebijaksanaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemerdekaan pikiran dan jiwa. Gerakan untuk mencapai bijaksana dibutuhkan adanya kekuatan dari dalam diri untuk menghadapi realitas yang berbeda dari apa yang namanya bijak dan ideal. Realitas kadangkala jauh dari apa yang namanya ideal, begitu juga realitas jauh dari apa yang namanya bijak. Dan kebijaksanaan di sini, adalah mengenai bagaimana kita berjalan dengan selaras dengan realitas itu sendiri. Pada diri manusia, ada keidealan yang diidamkan dan kebijaksanaan yang diyakini, yang musti diselaraskan. Selaras tidak merujuk pada pengekoran atas realitas, namun berjalan seiring tanpa harus berkonflik atau menciptakan penyakit-penyakit yang dibaca kebencian.
Saya menemukan, bagaimana Nurel Javissyarqi mengajak kita untuk menjalani laku hidup yang dipenuhi dengan kebijaksanaan. Tidak perlu memandang buruk orang lain, atau menyalahkan pihak lain atas suatu realitas yang tidak ideal. Hal ini nampak dalam:
Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya
dengan ketentuan membuta, ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar,
nalar mentah keluar terlalu dini, reranting menunggu lebat sayapnya (X: II) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)
Kebijaksanaan itu perlu bagi manusia, baik secara pribadi maupun kolektif. Ia (kebijaksanaan) sebagai nilai moral yang mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan, dan secara lebih khusus pada Tuhannya. Kebijaksanaan dan juga moral menyangkut permasalahan kepatutan, hal yang tidak patut dan dilaksanakan menjadi gerakan yang tidak bijaksana dan sekaligus tidak etis. Karena penyimpangan itu tidak patut dilakukan oleh seseorang, meskipun itu adalah benar namun ada etika kolektif yang harus individu hormati.
Sehingga dengan demikian, kebijaksanaan bersinggungan erat dengan apa yang namanya moral (akhlak) untuk mencapai keselarasan sehingga terlaksananya etika manusia. Moral (akhlak) sebagai bagian dari jiwa manusia yang tertanam, yang dapat menciptakan gerakan tanpa pertimbangan dari pemikiran dan pertimbangan (Al-Ghazali dalam Tafsir et al, 2002: 14). Dalam pelaksanaan hidup, manusia tidak berdiri seorang diri namun sebagai makhluk sosial yang dalam proses kehidupan membutuhkan interaksi. Untuk melangsungkan kehidupan yang baik, diperlukan kebijaksanaan untuk menuju keselarasan sosial agar nilai dari masyarakat (maksud saya adalah kerukunan atau keselamatan hidup) dapat terjaga.
Kebijaksanaan melahirkan keselarasan, yang di dalamnya dibangun dengan apa yang bernama etika. Secara lebih jauh, ini akan menciptakan adanya keselarasan sosial yang berangkat dari etika kebijaksanaan. Dalam khasanah masyarakat Jawa, etika kebijaksanaan dianggap sebagai nilai untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh lingkungan itu (Magnis-Suseno SJ, 1985: 214). Lebih jauh lagi menyoal etika, menurut Franz Magnis-Suseno (Tafsir et al, 2002: 15-16) sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan untuk mengetahui bagaimana seseorang menjalani hidup; mengenai bagaimana individu membawa diri, bersikap, dan tindakan dalam mencapai tujuan hidup.
Nilai dari etika yang diketengahkan oleh Nurel Javissyarqi dapat diketahui dalam kalimat: “Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya dengan ketentuan membuta”. Lebih dahulu kita melihat pada sisi ideal, kemudian pada realitas dan dengan kebijaksanaan, kita menafsirkan suatu realitas untuk melakukan suatu gerakan. Tentu saja, suatu gerakan yang bijak, karena bagaimana pun juga kita “datang terlambat”. Ucapan “datang terlambat” dapat ditafsir sebagai segolongan generasi muda yang menemukan dunia hasil dari pembentukan generasi tua. Kita ini, yang muda, sebagai generasi terlambat yang tidak seharusnya dengan sikap sok pintar (mungkin karena sudah merasa modern dengan pendidikan barat) kemudian menggurui generasi tua dengan kasar.
Bukan berarti kita tidak boleh melakukan kritik, akantetapi kita harus melihat keadaan yang melatar-belakangi dari proses pembentukan budaya dari generasi terdahulu. Melihat proses, kalau tidak sesuai dengan keidealan yang dapat dilihat dalam: “ketentuan membuta” untuk mencari tahu aspek apa yang kurang sampai pembentukan budaya atau kondisi masyarakat tidak bisa mendekati ideal. Jadi, tidak langsung menyalahkan, melainkan menenggok sebab akibat, karena bagaimana pun juga hal ini masuk ke dalam etika, keselarasan sosial.
Apabila dilihat lebih jauh di aspek yang juga bersinggungan, kita akan memasuki pada suatu nilai penting yang disebut dengan hormat untuk mencapai kerukunan yang sekaligus keselarasan sosial. Geertz (dalam Magnis-Suseno SJ, 1985: 38) mengemukakan dua pola yang menetukan dalam pergaulan masyarakat Jawa, yaitu kaidah kerukunan yang memfokuskan manusia dalam setiap situasi agar bersikap sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan konflik dan kaidah hormat yang menuntut manusia untuk membawa diri, menunjukkan sikap hormat sesuai dengan derajat kedudukannya.
Dua kaidah ini, oleh Franz Magnis Suseno (1985: 38) disebut dengan Prinsip Rukun dan Prinsip Hormat yang merupakan kerangka normatif dalam bentuk konkret semua interaksi. Hubungan dua prinsip kehidupan yang saling mendukung, saat kita memposisikan untuk menghormati generasi tua karena kita ini sebagai generasi yang “datang terlambat”, maka secara tidak langsung kita sudah melaksanakan prinsip hormat dan kerukunan secara bersamaan. Dua prinsip ini, membawa pada keselarasan sosial yang memberikan keselamatan pada kita. Sebab, selain karena ketidak-tahuan kondisi-situasi pada masa dimana generasi tua melakukan proses pembentukan tersebut, falsafah Jawa membawa pada pengertian yang lebih hakekat. Mulder (1984: 17) mengungkapkan bahwa, “Bila seseorang menghormati saudara tua, orang tua, guru dan rajanya, maka orang itu menghormati Tuhan”.
Jadi, Nurel Javissyarqi pun berpesan: “tak seharusnya menghakimi” karena, “ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar”. Dengan tidak terburu-buru menghakimi suatu generasi atas suatu kondisi, kita diajak Nurel Javissyarqi untuk menilik lebih jauh ke masa itu. Hakekat dan belajar dari alam, bahwa tidak setiap bunga menjadi buah, hendaknya memberikan pendeskripsian lebih jauh. Melihat untuk mengetahui kemudian memahami situasi serta kondisi menjadi hal yang lebih baik, ketimbang menghakimi karena suatu realitas. Dalam petikan kalimat tersebut, kita dapat mengambil berbagai kebijaksanaan yang Nurel Javissyarqi sematkan di surat ke X ayat II ini.
Jikalau di sana ada akibat, tentu saja ada sebab. Suatu kejadian atau fenomena merupakan pembentukan dari fenomena yang ada sebelumnya. Memahami suatu keadaan yang menjadi pendorong atas lahirnya suatu ketidak-patutan. Sikap seperti ini, akan membuat kita tidak dengan mudah menghakimi suatu persoalan. Karena kita sudah memahami latar-belakang pembentukannya, sampai kondisi yang tidak kita inginkan terjadi dalam kehidupan realitas. Mungkin saja, yang menurut Nurel Javissyarqi katakan sebagai: “nalar mentah keluar terlalu dini” atau “reranting menunggu lebat sayapnya”. Sehingga tidak bijak kalau kita menilai sesuatu dengan tidak melihat latar belakang dari permasalahan atau kondisi yang ada.
Kebijaksanaan yang dimiliki seseorang tidak hanya mengarah pada perilaku dalam kehidupan kolektif seseorang, akantetapi juga merasuk ke dalam diri dan menjadi jati diri bagi seseorang tersebut untuk bersikap. Inilah yang dikatakan sebagai kebijaksanaan diri, yang dalam Sekuntum Bunga Revolusi, Nurel Javissyarqi mengungkapkannya dengan bahasa berikut:
Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya,
barangkali compang-campingmu sanggup menggedor kemampuan semu (X: VI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).
Manusia yang memiliki kebijaksanaan diri akan mengarahkan perilaku diri untuk lebih realistis, tanpa harus menyiksa diri. Hal ini membawa dirinya untuk mengekang pamrih serta meninggalkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting. Kalaimat “sayap-sayap bertumpuk” dapat kita pandang sebagai suatu keadaan yang di sana terlihat mengenai kemegahan atau suatu kebanggaan ketika memutuskan untuk menumpuk sayap. Seperti burung, sebut saja Cenderawasih yang memiliki sayap-sayap indah, membuatnya mempesona dan terlihat agung. Suatu keindahan yang dari “sayap-sayap bertumpuk” itu tadi.
Hal yang Nurel Javissyarqi tekankan pada aspek fungsional dari keberadaan sayap tersebut. Ingin mengatakan pada kita semua, untuk apa memiliki sayap yang bagus, indah, bertumpuk dan nampak anggun kalau justru sayap (kemegahan) itu memberati diri saat kita ingin terbang? Salah satu nilai yang dikandungi burung adalah bagaimana cara hidup dia dengan sayap tersebut, yaitu terbang di angkasa raya dengan penuh kemerdekaan. Burung yang terbang di angkasa dapat dinisbatkan sebagai simbol dari kebebasan (dan kemerdekaan).
Menjadi burung, sama halnya menjadi manusia yang merdeka. Kehidupannya hanya dipengaruhi oleh angin, begitu saya seringkali mendengar kebebasan dari Nurel Javissyarqi. Burung yang terbang memiliki kebebasan, angin sebagai salah satu kawan yang dapat dikatakan sebagai penunjuk arah, sedangkan angin sendiri sebagai khas dari kemerdekaan itu sendiri. Jika manusia yang memiliki keagungan, namun tidak mampu terbang dengan kebebasan, berarti manusia tersebut seperti burung yang dipenjarakan ke dalam sangkar. Keindahannya hanya mendatangkan bencana untuk dirinya sendiri, kehilangan kebebasan yang menjadi ruh bagi kehidupannya.
Terkadang, kebanyakan diantara kita yang lebih memilih untuk hidup di dalam kemewahan dengan menukar dari kebebasan, entah itu kebebasan secara badaniah maupun kebebasan dalam hal ruh (akal dan hati). Kemewahan yang saya maksudkan di sini tidak berkisar pada material, tetapi juga termasuk di dalamnya pola pikir. Kemewahan dari segi materi sudah menjadi kejelasan yang akan mengangkat prestise, namun ada hal lain yang dari segi pola pikir. Misalkan saya, dalam suatu diskusi kita sering menemukan berbagai macam istilah yang luar biasa, namun terkadang dengan menggunakan istilah-istilah tersebut, kita justru kehilangan makna yang seharusnya kita pahami.
Karena itu, Nurel Javissyarqi mengatakan, “cabuti bulu-bulunya” kalau kemewahan tidak mendatangkan apa-apa bagi individu tersebut. Sikap untuk mau membuang beberapa aspek yang tidak terlalu penting, akan membuat diri kita semakin ringan untuk melangkahkan kaki menuju kebebasan.
Hal lain, yang dapat saya dapatkan dalam kalimat ini: “Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya” adalah mengenai kesederhanaan. Baik kesederhanaan secara fisik, gerakan, maupun di dalamnya pola pikir. Tidak perlu, kita menggunakan istilah yang tinggi-tinggi untuk mengatakan mengenai sesuatu hal, tapi katakan dengan sederhana. Sebab, misal di dalam suatu pembicaraan, ketika kita menggunakan istilah yang tinggi, bisa saja orang yang kita ajak bicara tidak paham dengan istilah kita sehingga maksud dari pembicaraan tidak tersampaikan.
Kesederhanaan di dalam hidup, seperti singkatnya yang akan membentuk kebebasan dan keanggunan tersendiri, yang tentu saja lebih mampu merasuk ke dalam isi ketimbang pada keindahan bentuk. Untuk itu, saya sangat sepakat ketika Nurel Javissyarqi mengatakan: “compang-campingmu sanggup menggedor kemampuan semu”. Indah itu bukan terletak pada bentuknya, melainkan pada isi yang ada di dalamnya sehingga tidak ada lagi, “kemampuan semu” tersebut. Jangan bangga ketika orang melihat kita intelek ketika kita menggunakan bahasa yang super rumit namun kita tidak memahami apa yang sebenarnya kita katakan. Lebih baik, berbicara dengan sederhana sehingga kita dan orang lain paham dengan apa yang ingin kita sampaikan.
Nilai kebijaksanaan yang lain, juga kita temukan mengenai hakekat dari kesadaran manusia dalam melakukan sesuatu. Semisal di ayat berikut:
Kesadaran pejuang mengikuti awan-gemawan gerilya,
aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna,
menggelinjak bertemu akar pohon dari batin kutub kekuatan (X: XII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).
Manusia yang bijak adalah manusia yang sadar dengan apa yang dia lakukan, untuk mempelajari sesuatu dari alam. Manusia (yang modern) yang mengembalikan diri pada alam raya, menjadikan alam sebagai guru, dan sekaligus kawan dalam perjalanan. “Mengikuti awan-gemawan gerilya” merupakan pengungkapan untuk hidup dalam kebebasan, dimana seperti awan yang tidak bergantung pada apa pun selain angin. Kemana angin berhembus, di sana awan akan melaju. “Mengikuti awan-gemawan gerilya” tidak mengisyaratkan pada kekosongan tujuan, melainkan lebih pada keinginan yang ada di dalam diri. Keinginan itu diselaraskan dengan angin, yang mana mengalir sesuai dengan kodratnya.
Menjalani hidup dengan mengalir, seperti angin, pun juga demikian seperti layaknya air. Angin dan air, lebih kurangnya memiliki sifat yang sama. Bersatu dan membentuk wadah (tempat) dan ketika keduanya bertemu halangan, maka mereka tidak akan menghancurkan jikalau kekuatan yang dikandungi sedikit. Mereka (air dan angin) akan mencari jalan lain, membelok. Lain halnya ketika, angin dan air mengandungi kekuatan yang besar, maka segala sesuatu yang menghalangi perjalanan mereka akan dihancurkan.
Sikap hidup untuk mau mengalir seperti angin dan air merupakan bagian dari kepasrahan diri terhadap takdir yang Tuhan Yang Mahakuasa. Selain itu, manusia tersebut juga mampu untuk menimbang kekuatannya sendiri, untuk terus melangkah dengan menghancurkan penghalang atau membelok dan mencari jalan lain ketika dirinya dirasa tidak mampu mengatasi rintangan yang ada. Kemampuan untuk menakar kekuatan diri sendiri, kemudian mengakuinya merupakan kebijaksanaan hidup. Menjadikan hidup manusia tidak ngongso atau memburu napsu tanpa perduli dengan keadaannya sendiri membuat hidup menjadi lebih tenang dan bahagia.
Semisalnya dalam peperangan, ketika seorang tentara merasa mampu untuk mengalahkan lawannya, maka dia akan terus menggempur untuk mengalahkan musuh. Akantetapi, diketika dirinya merasa tidak mampu dia akan mundur untuk mengatur strategi lain agar bisa menang, atau setidaknya mencari jalan lain agar tidak perlu berhadapan dengan musuh. Sikap untuk mau menakar kemampuan diri adalah sikap para Pandawa yang diketika mengalami kekalahan biasanya mundur sejenak untuk mencari strategi yang biasanya muncul dari sosok Semar kemudian maju kembali. Sedangkan, seseorang yang tidak mampu mengenal kemampuan diri akan menjadi seperi Buta Cakil yang terus berperang walau menyadari akan kalah. Dan Buta Cakil sebagai satria yang tidak pernah mundur itu selalu saja kalah ketika berhadapan dengan Pandawa. Manusia yang berperang dengan tanpa memperhitungkan kekuatan sendiri, entah akan mengalami kemenangan atau kekalahan maka manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia yang konyol.
“Mengikuti awan-gemawan gerilya” dapat diungkap sebagai jalan hidup yang mengalir bersama angin untuk mencapai keselamatan serta kebijaksanaan. Lalu “aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna” sebagai pengungkapan diri dalam perjalanan mengenal diri sendiri dalam usaha mencari pengetahuan terdalam. Guru yang paling baik bagi manusia adalah pengalaman yang mana pengalaman tersebut muncul dari dirinya sendiri. Dalam ilmu mengenai jalan hidup manusia Jawa, mereka memandang kalau guru sejati satu-satunya adalah diri sendiri (Beatty, 2001: 267).
Dengan demikian, ketika manusia sudah menelusur dirinya sendiri, bahwa manusia Jawa pun seringkali mengungkapkan kalau Kitab Suci Quran itu sebagai kitab yang kering yang artinya sebagai tulisan, sementara Tuhan juga menurunkan kitab yang basah yang di sana menyimpan ilmu pengetahuan yang luas. Masyarakat muslim Jawa yang tradisional menganggap Quran sebagai objek yang suci tetapi, sejauh mengenai rincian pesan-pesannya, ia adalah buku yang tertutub (Beatty, 2001: 172). Dalam kepercayaan Islam Kejawen memandang dunia sehari-hari sebagai teks kuncinya dan tubuh manusia sebagai kitab sucinya (Beatty, 2001: 219). Sehingga, cukup relevan kalau Nurel Javissyarqi mengungkapkan “menyusuri seluruh lekuk tubuhnya mencari makna” karena di sana kita akan menemukan “akar pohon dari batin kutub kekuatan”.
Dengan memahami kehidupan dan tubuh manusia sendiri sebagai kunci dan guru bagi manusia, maka manusia tersebut akan menemukan hakekat dari kekuatan spiritual. Jawa memandang lebih dari sekedar teks yang dibaca dengan alunan merdu tanpa mengetahui apa hakekat dari isi teks tersebut. Quran membawa suatu pengetahuan, namun lebih banyak dari kita yang mengetahui huruf Arabnya tanpa mengetahui maksud yang ingin Allah sampaikan pada manusia. Dengan mempelajari diri, berguru pada kehidupan dan memahami Quran sebagai pesan yang harus dilaksanakan, manusia akan mendapatkan kebijaksanaan.
BERTAHAN DALAM JATI DIRI
Kita tidak mungkin hidup sendiri dengan meninggalkan orang lain. Bukan suatu pilihan bijak ketika kita kemudian memilih untuk lari ke suatu perbukitan yang sunyi, menutup diri dengan manusia yang lain. Manusia bijak adalah manusia yang mampu berada di tengah masyarakatnya, berkomunikasi untuk belajar dari manusia lain, alam raya dan lebih jauh pada Tuhan. Ilmu sosiologi memandang manusia sebagai makhluk sosial yang keberadaannya saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Keadaan ini membawa manusia untuk berada di tengah-tengah masyarakat yang di dalamnya terdapat adanya jati diri kolektif.
Manusia dalam kerangka sebagai mahluk sosial harus bersinggungan dengan suatu keadaan yang mana disebut sebagai proses sosial dan interaksi sosial. Proses sosial memandang bagaimana individu di dalam kelompok sosial dalam rangka melahirkan interaksi sosial. Selanjutnya, Kimbal Young dan W.Mack Raymond (Soekanto, 1990: 67) mengatakan bahwa interaksi sosial sebagai kunci kehidupan sosial. Interaksi sosial inilah yang pada akhirnya akan melahirkan suatu bentuk identitas sosial (kolektif). Di dalam interaksi sosial, hendaknya, seseorang tidak kehilangan identitas diri sendiri, yang berperan sebagai jati diri perseorangan. Walau pun di dalam suatu interaksi sosial, terkadang manusia kehilangan jati diri karena melebur ke dalam identitas kelompak, namun identitas diri perlu dipertahankan.
Identitas diri seseorang ini yang pada nantinya akan disebut dengan kepribadian, yang mana dia sebagai organisasi biologis, psikologis dan faktor sosiologis yang menjadi dasar bagi tingkah laku seorang individu (Roucek dan Warren, 1984: 31). Identitas diri yang dimiliki oleh seseorang harus tetap dipertahankan, karena identitas ini yang digunakan untuk membedakan dirinya dengan kelompok sosial tempat dimana manusia hidup.
Seperti halnya di dalam suatu karya sastra, seorang penulis dia berada di dua dimensi edentitas, yaitu identitas diri dan identitas kelompok. Ungkapan yang menyatakan, kalau sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1990: 11). Kekosongan budaya di sini dapat dipandang sebagai interaksi sosial yang dilakukan oleh seorang penulis. Akantetapi, dalam interaksi sosial, dalam suatu penciptaan karya sastra dapat dipastikan kalau seorang sastrawan masih memegang identitas diri. Sebab, karya itu dimulai dari identitas diri yang mana berperan sebagai tolok ukur atas suatu penilaian yang akhirnya melahirkan karya.
Identitas diri, adalah mengenai siapa diri kita, berdiri dalam lingkup golongan yang mana, dan bagaimana ide atau pemikiran kita mengenai suatu keadaan masyarakat. Identitas diri ini yang menjadi semacam ciri khas bagi seseorang di dalam menanggapi kondisi lingkungan sekitar. Walau terkadang, keadaan lingkungan berusaha mempengaruhi, sebab jika kita mengumpamakan kehidupan ini dengan sungai, identitas kolektif sebagai arus. Apabila kita tidak sekuat tenaga (dengan serius) mempertahankan identitas diri maka kita pasti akan terseret arus kolektif yang biasanya kuat menarik.
Sudahkah diawali pergesekan ini serasa salju tambah memikat panasnya
saat daging jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan (X: VII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).
Dalam ayat ini, saya menemukan adanya penekanan untuk memiliki identitas diri dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun, dia berada di dalam arus identitas kolektif, seseorang individu mesti memiliki identitas diri yang kuat demi keberadaan dan eksistensi dirinya sebagai anggota masyarakat. Hal penting untuk terus berpegang pada identitas diri adalah keberanian yang terbaca dalam: “Sudahkah diawali pergesekan ini serasa salju tambah memikat panasnya” karena dengan terus berpegang pada identitasnya sendiri, seseorang akan mendapatkan tekanan, entah dari dirinya sendiri yang merasa terkucil atau dari kelompoknya.
Bahkan, hal yang menarik dari keberanian untuk terus bertahan dalam identitasnya sendiri, Nurel Javissyarqi ungkapkan dalam simbolisme “salju” yang justru terasa “panas”. Bukankah menjadi hal yang aneh ketika merasakan salju sebagai sesuatu yang memiliki sifat panas? Kita pasti akan menolak hal ini, sebab sifat dari salju secara faktanya memiliki sifat dingin. Akantetapi, penyimbolan yang dilakukan Nurel Javissyarqi dalam ayat ini untuk memberikan penekanan, bahwa ketika kita ingin berada pada taraf menjalani identitas pribadi, kita akan menemukan hal-hal yang tidak terduga. Bisa dibilang sebagai keajaiban dari hikmah yang memberikan kita pelajaran mengenai hidup, atau sebagai tantangan yang musti dijalani dengan “jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan”.
Keberanian dari sikap ini, karena memang sudah didasari dengan keyakinan yang kuat. Seseorang berani untuk mempertahankan pemikirannya (ideas) karena dia yakin dengan apa yang sedang ditempuh (atau diperjuangkan). Kata “genggaman keyakinan” mengisyaratkan pada kebulatan tekat yang tidak mudah diusik oleh resiko ketika si individu melawan identitas kolektif. Sebenarnya bukan melawan, melainkan hanya lebih memperlihatkan karakter pribadi sebagai seorang manusia.
Kemudian, Nurel Javissyarqi mengungkapkan suatu kelebihan lain yang dimiliki seseroang yang memiliki identitas diri di tengah identitas kolektif dalam ayat:
Kenanglah ikan-ikan Bethik bertubuh daging gurih
tersebab hidupnya melawan arus terus menerus (X: VIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).
Penyimbolan yang perlu di dasari dengan pemahaman akan kehidupan seekor ikan. Dalam hal ini adalah ikan Bethik, yang memiliki tubuh yang kuat, keras sisiknya, kemudian memiliki duri yang kuat dan juga tajam. Saya secara pribadi tidak terlalu memahami bagaimana kehidupan ikan ini, namun saya cukup merasa familir karena sedari kecil saya hidup di pedesaan dan saat kecil terkenal ngglidik di sepanjang sungai. Ikan Bethik yang dagingnya gurih karena ia melawan arus, saya mencoba memahami, apakah ada hubungannya saat hidup melawan arus maka daging kita akan menjadi gurih?
Ya, tentu saja, ini hanya bangunan simbolisme yang mengacu kepada jati diri seseorang. Kalau kita membuat perbandingan, misalnya dalam peribahasa “Gajah mati meninggalkan gadingnya, macan mati meninggalkan kulitnya” yang mana merupakan suatu penggambaran mengenai jati-diri yang menjadi spesial di mata orang lain. Yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, adalah karakter. Hal tersebut (karakter maksud saya) yang akan paling dikenang ketika kita jauh atau bahkan mati. Sehingga, Nurel Javissyarqi berpesan pada kita untuk memiliki karakter tersendiri sebagai manusia, sebagai jati diri yang membuat kita berbeda dari orang lain.
Mempertahankan jati diri di tengah identitas kolektif memang sangat berat, seperti melawan arus terus menerus, akantetapi di akhirnya nanti, kita sendiri yang akan merasakan. Bagaimana kita menjalani hidup, atau bagaimana kita menghadapi realitas yang serba pelik dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada di dalam pemikiran kita. “Melawan arus terus menerus” menjadi simbol bagi perjuangan, pelajaran dan guru yang tidak terkira manfaatnya. Karena, Nurel Javissyarqi menyadari, akan tiba saat dimana kita manusia, akan menggunakan kekuatan kita sendiri. Hal ini diungkapkan dalam ayat:
Di sini bergejolak birahi sejati, menenggelamkan jiwa di lumpur semesta,
karamnya kapal ditakdirkan, warisan pemberontak menantang (X: XXXVIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 58)
DALAM HENING, MEMETIK BUNGA REVOLUSI
Revolusi di sini bukan pergerakan sosial yang terjadi di suatu masyarakat dalam perubahan besar yang disertai kekacauan sosial, ekonomi maupun kekacauan politik. Itu, sebutan revolusi untuk sebuah tatanan yang buruk, dipenuhi dengan pembusukan jati diri dan penyelewenangan kekuasaan oleh mereka yang tidak tahu dengan caranya berterima kasih. Akantetapi, revolusi yang saya tangkap dari Nurel Javissyarqi adalah perubahan yang besar dari perjalanan panjang kehidupan manusia.
Manusia yang sudah dengan ketatnya ritual melaksanakan laku perjalanan batin, akan menemui perubahan besar di dalam dirinya. Perubahan ini lebih merujuk pada aspek batin, ketimbang pada badaniah yang tidak mengartikan apa-apa dalam perjalanan hidup manusia. Ketika, perjalanan telah terlewati, kita (manusia) akan menemukan suatu babak yang mana merasuki hening, hidup hanya ada dirinya sendiri sehingga:
Mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam,
tiada kehidupan selain nafas dicukupkan baginya seorang (X : LIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 59)
Permainan bahasa yang cukup indah, ketika Nurel Javissyarqi mengatakan: “mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam” dimana kita diajak untuk memojokkan diri dalam kesunyian. Sunyi, tidak berarti kosong atau senyap, namun Sunyi, kalimat ini mengingatkan saya pada ungkapan bijak Ibu Theresa (Jejak Tanah, 2002: 143) yang mengatakan kalau buah dari sunyi itu doa. Kebijaksanaan yang memberikan saya batu pijakan untuk menulis beberapa kata dalam subbab ini. Sunyi, yang bagi saya memberikan pengertian mengenai suatu ruang renungan, ruang ketiadaan yang disana saya bisa memikirkan sesuatu mengenai kehidupan yang serba kompleks ini. Sunyi adalah ruang kosong, di suatu tempat yang tidak harus kosong. Di dalam keramaian, apakah kita bisa menemukan ruang kosong yang dimaksud? Tentu saja bisa, karena ruang kosong ini mampu kita dapatkan di ruang yang penuh sesak dengan berbagai kepentingan. Biasanya, menurut pendapat saya, ruang kosong ini sebagai celah hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dalam tradisi Jawa, ada pohon bernama Kemuning, yang menyimbolkan mengenai keheningan, atau kebeningan. Keberadaan heneng, wening, dan bening menjadi kesempatan bagi manusia untuk lebih banyak diam dan belajar dari tanda-tanda. “Kelopak sunyi” itu yang memuat tanda-tanda yang akan membawa kita manusia ke “akar-akaran terdalam”. Apabila kehidupan selayaknya pohon, maka akar dapat dianggap sebagai suatu kesejatian, awal mula dari kehidupan manusia yang mana sebagai tempat berdiri dan sebagai jalan dalam memperoleh sumber kehidupan.
Akar, apabila dalam skema Pohon Filsafat (2007) yang dikemukakan Dr. Stephen Palmquis, akar sebagai bagian dari metafisika. Di dunia Jawa, pandangan mengenai metafisika seringkali disebut sebagai dunia Numinus, yaitu alam kehidupan sehari-hari. Numinus sebagai hakekat dan cahaya ketuhana, yang membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik.
Konteks “akar-akaran terdalam” yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dapat dikatakan sebagai kebenaran hakiki yang berada di dalam mitos. Esensial dari kebenaran yang ada, sehingga manusia yang sudah mencapai pemahaman akan kebenaran ini tidak lagi membutuhkan barang lain dalam pencukupan kehidupannya. Seperti para pertapa yang hanya napas, tanpa makan atau minum untuk meluangkan waktu lebih banyak dalam usaha pendekatan diri pada Hidup (Tuhan).
Ketika pemahaman dan jalan hidup sudah sampai ke sini, maka manusia akan mengalami puncak, kenikmatan ketika manusia bisa melihat cahaya biru (ndaru):
Jiwa-jiwa merdeka bertarian dalam selubung ketinggian biruanya cahaya
sematang malam dipanjatkan asap kemenyan mewangi doa-doa berterbangan,
kelepak sayap lembutnya menarik maksud perjuangan perdamaian abadi (X : XCI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 61).
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 26 Februari 2011
08/01/11
MEMBACA KULIT LUAR “KITAB PARA MALAIKAT” NUREL JAVISSYARQI
M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).
Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).
Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.
Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.
Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.
Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.
Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.
Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.
Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.
KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.
Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.
Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.
Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.
Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.
Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010
http://sastra-indonesia.com/
Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).
Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).
Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.
Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.
Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.
Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.
Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.
Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.
Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.
KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.
Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.
Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.
Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.
Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.
Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010
01/10/10
Hegemoni Sastra: Media Pengkultusan dan Perlawanan
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Karya sastra sebagai lembaga masyarakat yang bermediumkan bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi pengarangnya. Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam memberikan nuansa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang tersebut, di dalamnya merangkum berbagai macam kondisi dimana sang pengarang memijakkan kaki, entah itu kondisi politik yang sedang bergejolak, maupun ideologi pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan di dalam proses penulisan karya sastra dapat dikatakan sebagai media yang tidak bersifat individual, melainkan di dalamnya mengandung sifat evolusi-sosial.
Hampir selama lebih dari 30 tahun, murid sekolah dan mahasiswa telah disuguhi karya sastra yang notabene telah diakui oleh pemerintah yang berkuasa (Baca: Orde Baru) dan karya sastra itu (oleh pemerintah) dikatakan sebagai sastra yang bernilai tinggi apabila di dalamnya mengandung nilai yang mendukung proses pembangunan. Sehingga, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai karya yang memiliki nilai sosial dan nilai estetik melainkan nilai karya sastra terkadang ditentukan oleh haluan politik yang termanifestasikan di dalamnya. Di masa itu, sastrawan yang berada di luar paham politik pemerintah akan mendapatkan tekanan dan penyempitan ruang gerak.
Fenomena ini sudah terjadi semenjak Negara Kesatuan Republik Indonesia ini belum dilahirkan, yaitu pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan. Atau juga terdapat di dalam proses masuknya agama-agama non pribumi masuk ke nusantara yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Pada masa ini, sastra (dan juga seni secara umum) menempati posisi sebagai media untuk membantu proses penyebaran agama atau salah satu faham. Misalnya, pada masa kerajaan yang para sastrawannya secara penuh mendapatkan perlindungan dari para raja yang kemudian diminta (baca juga: diperintahkan) untuk menuliskan sejarah besar dari kerjaan raja tersebut. Proses kerja semacam ini, seolah-olah bahwa sastra dijadikan sebagai media pengkultusan akan kekuasaan seorang raja.
Kondisi sosial masyarakat memberikan arahan yang nyata bagi para pengarang dalam proses penciptaan. Dalam teori yang dikemukakan oleh Gramsci mengenai teori hegemoni, bahwa seni (dan sastra) digunakan sebagai alat untuk melakukan hegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melakukan gerakan kontrol sosial.
Pemahaman semacam ini, menempatkan sastra sebagai media pendidikan (juga sebagai propaganda) dalam usaha melakukan hememoni politik dan ideologi. Sastra dapat dijadikan sebagai media membunuh kreatifitas seseorang yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa. Walau demikian, pada dasarnya, sastra (dapat dikatakan harus) memiliki tendensi dan menensasi sebab penciptaan sebuah karya sastra merupakan proses kreatifitas dari intuisi, persepsi dan imajinasi yang bergantung pada kondisi kejiwaan serta kerohanian pengarang.
Tendensi dan manensasi di dalam karya sastra dapat digunakan untuk melakukan pendidikan politik, sosial, keagamaan, budaya, dan lain sebagainya, kepada masyarakat pembaca. Maksud (tendensi) yang terdapat di dalam sebuah karya sastra biasanya dipengaruhi oleh ideologi pengarang.
Misalnya, karya-karya seniman Lekra, tendensi yang diemban melalui karya mereka biasanya sebagai peneguhan dan sekaligus penyebaran ajaran marxisme-leninisme dengan landasan filsafat MDH. Tendensi di sastra marxis memiliki filsafat yang normatif, dengan peninjauan permasalahan secara epistemologi. Pesan yang dikandungnya pun menjurus pada realisme sosialis, yang mana dijelaskan bahwa sastra harus mengabdi pada kepentingan rakyat banyak. Tendensi tidak dibawa secara eksplisit, melainkan melakukan penggambaran secara historis atas konflik sosial yang dilukiskan.
Karya sastra tidak dilahirkan secara murni dari ide dan pemikiran seorang penulis di dalam kondisi terkekang. Sastra lahir berdasarkan mekanisme yang dialektis dengan melihat kondisi sosio-kultural. Pandangan yang menyatakan bahwa sastra sebagai pandangan dunia, dapat ditinjau dari dasar bahwa sastra memiliki ide dan pemikiran, pesan dan tujuan, tema dan amanat, dan juga seluruh deferensi kultural yang ada di dalam kehidupan masyarakat.
Dilihat dari fungsi sosial yang dibawa karya sastra, dia dapat dijadikan sebagai media hegemoni sosial yang pernah dilakukan pada zaman dahulu, yaitu zaman kerajaan dan Orde Baru. Sastra dapat dijadikan juga sebagai media propaganda untuk membangkitkan kesadaran, yang sekaligus mengajak masyarakat pembaca untuk melawan dominasi ideologi penguasa (yang belum tentu bahwa penguasa mengemban ideologi negara).
Bantul, 30 Juli 2010
Studio Semangat Desa Sejahtera
http://www.sastra-indonesia.com/
Karya sastra sebagai lembaga masyarakat yang bermediumkan bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi pengarangnya. Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam memberikan nuansa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang tersebut, di dalamnya merangkum berbagai macam kondisi dimana sang pengarang memijakkan kaki, entah itu kondisi politik yang sedang bergejolak, maupun ideologi pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan di dalam proses penulisan karya sastra dapat dikatakan sebagai media yang tidak bersifat individual, melainkan di dalamnya mengandung sifat evolusi-sosial.
Hampir selama lebih dari 30 tahun, murid sekolah dan mahasiswa telah disuguhi karya sastra yang notabene telah diakui oleh pemerintah yang berkuasa (Baca: Orde Baru) dan karya sastra itu (oleh pemerintah) dikatakan sebagai sastra yang bernilai tinggi apabila di dalamnya mengandung nilai yang mendukung proses pembangunan. Sehingga, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai karya yang memiliki nilai sosial dan nilai estetik melainkan nilai karya sastra terkadang ditentukan oleh haluan politik yang termanifestasikan di dalamnya. Di masa itu, sastrawan yang berada di luar paham politik pemerintah akan mendapatkan tekanan dan penyempitan ruang gerak.
Fenomena ini sudah terjadi semenjak Negara Kesatuan Republik Indonesia ini belum dilahirkan, yaitu pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan. Atau juga terdapat di dalam proses masuknya agama-agama non pribumi masuk ke nusantara yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Pada masa ini, sastra (dan juga seni secara umum) menempati posisi sebagai media untuk membantu proses penyebaran agama atau salah satu faham. Misalnya, pada masa kerajaan yang para sastrawannya secara penuh mendapatkan perlindungan dari para raja yang kemudian diminta (baca juga: diperintahkan) untuk menuliskan sejarah besar dari kerjaan raja tersebut. Proses kerja semacam ini, seolah-olah bahwa sastra dijadikan sebagai media pengkultusan akan kekuasaan seorang raja.
Kondisi sosial masyarakat memberikan arahan yang nyata bagi para pengarang dalam proses penciptaan. Dalam teori yang dikemukakan oleh Gramsci mengenai teori hegemoni, bahwa seni (dan sastra) digunakan sebagai alat untuk melakukan hegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melakukan gerakan kontrol sosial.
Pemahaman semacam ini, menempatkan sastra sebagai media pendidikan (juga sebagai propaganda) dalam usaha melakukan hememoni politik dan ideologi. Sastra dapat dijadikan sebagai media membunuh kreatifitas seseorang yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa. Walau demikian, pada dasarnya, sastra (dapat dikatakan harus) memiliki tendensi dan menensasi sebab penciptaan sebuah karya sastra merupakan proses kreatifitas dari intuisi, persepsi dan imajinasi yang bergantung pada kondisi kejiwaan serta kerohanian pengarang.
Tendensi dan manensasi di dalam karya sastra dapat digunakan untuk melakukan pendidikan politik, sosial, keagamaan, budaya, dan lain sebagainya, kepada masyarakat pembaca. Maksud (tendensi) yang terdapat di dalam sebuah karya sastra biasanya dipengaruhi oleh ideologi pengarang.
Misalnya, karya-karya seniman Lekra, tendensi yang diemban melalui karya mereka biasanya sebagai peneguhan dan sekaligus penyebaran ajaran marxisme-leninisme dengan landasan filsafat MDH. Tendensi di sastra marxis memiliki filsafat yang normatif, dengan peninjauan permasalahan secara epistemologi. Pesan yang dikandungnya pun menjurus pada realisme sosialis, yang mana dijelaskan bahwa sastra harus mengabdi pada kepentingan rakyat banyak. Tendensi tidak dibawa secara eksplisit, melainkan melakukan penggambaran secara historis atas konflik sosial yang dilukiskan.
Karya sastra tidak dilahirkan secara murni dari ide dan pemikiran seorang penulis di dalam kondisi terkekang. Sastra lahir berdasarkan mekanisme yang dialektis dengan melihat kondisi sosio-kultural. Pandangan yang menyatakan bahwa sastra sebagai pandangan dunia, dapat ditinjau dari dasar bahwa sastra memiliki ide dan pemikiran, pesan dan tujuan, tema dan amanat, dan juga seluruh deferensi kultural yang ada di dalam kehidupan masyarakat.
Dilihat dari fungsi sosial yang dibawa karya sastra, dia dapat dijadikan sebagai media hegemoni sosial yang pernah dilakukan pada zaman dahulu, yaitu zaman kerajaan dan Orde Baru. Sastra dapat dijadikan juga sebagai media propaganda untuk membangkitkan kesadaran, yang sekaligus mengajak masyarakat pembaca untuk melawan dominasi ideologi penguasa (yang belum tentu bahwa penguasa mengemban ideologi negara).
Bantul, 30 Juli 2010
Studio Semangat Desa Sejahtera
11/09/10
Pengabdian Ala Sastrawan Lekra
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Mengkaji keterkaitan antara karya sastra dengan kondisi sosio-budaya dan politik berarti melihat fungsi sosial sastra sebagai media propaganda yang dapat dijadikan sebagai media untuk mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat pembaca. Sastra menempati posisi sebagai suara yang mengajak (atau setidaknya memberikan informasi) untuk melakukan perubahan, menjaga stabilitas (dan) keharmonisan kehidupan, telah melahirkan cabang ilmu sastra baru. Cabang ilmu ini mengambil dasar pada sejarah dalam proses penciptaannya yang kemudian disebut dengan realisme sosialis.
Realisme sosialis menjadi faham di dalam sastra yang secara netral tidak memposisikan diri sebagai metode dalam proses penciptaan karya sastra, melainkan sebagai hubungan filsafat yang mana dijadikan landasan di dalam proses penggarapan karya sastra itu sendiri. Realisme di dalam realisme sosialis tidak diartikan sebagai konsep mengenai kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang diusung oleh realisme sosialis bukan kebenaran yang telah terjadi di dalam kehidupan realitas masyarakat, akantetapi lebih sebagai bentuk kebenaran yang sebatas bagian dari kebenaran di dalam proses dialektik.
Hubungan antara karya sastra dengan hal yang berada di luar sastra (katakan: politik) memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Sastra sebagai media manifestasi dari perkembangan politik yang berlangsung di kehidupan masyarakat. Sastra sebagai media untuk memberikan pendidikan dan sekaligus juga perlawanan.
Kondisi ini pernah terjadi di Indonesia pada sekitar tahun 1955 – 1956, yang pada kondisi di masa itu telah menempatkan karya sastra sebagai lat pengukuhan atas suatu faham kepada masyarakat Indonesia. Kelompok sastrawan yang mengangkat politik sebagai bagian dalam proses penciptaan karya adalah golongan sastrawan yang menamakan diri dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada masa itu, kita mengenal Lekra sebagai golongan sastrawan yang menjadikan sastra sebagai alat propaganda Partai Komunis Indonesia. Di sisi lain, sastrawan Lekra lebih dikenal dengan karya sastra yang menyuarakan kemanusiaan yang di dalamnya juga mengandung unsur marxisme-leninisme.
Sastrawan Lekra menyatakan bahwa kebudayaan merupakan senjata yang mematikan demi terwujudnya revolusi kaum proletar. Slogan yang diusung oleh sastrawan Lekra, yang dikutip bebas oleh penulis, bahwa sastra harus mengabdi pada kepentingan rakyat dan revolusi. Filsafat marxisme-leninisme menjadi pedoman yang mendasar bagi penggarapan karya.
Sastra dalam pandangan sastrawan Lekra adalah karya yang di dalamnya memuat tiga-tinggi, yaitu tinggi ideologi (marxisme-leninisme), tinggi artistik, dan tinggi organisasi. Di dalam pandangan sastrawan Lekra, karya juga harus mengandung tiga-baik, yaitu baik bekerja, baik belajar, dan baik moral. Penilaian karya sastra (dan tentunya di dalamnya adalah seni secara umum) menggunakan metode yang berbunyi “politik sebagai panglima” yang mengatakan bahwa fungsi sastra harus mengabdi pada kepentingan revolusi yang mengacu pada filsafat MDH dan marxisme-leninisme.
Sastrawan Lekra memegang nilai moral, yang apabila menurut Sudisman yang termuat di dalam Pledoi Sudisman, dikatakan bahwa moral kaum marxis adalah norma atau ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai dengan kelasnya. Dalam proses penciptaan karya sastra, sastrawan Lekra memegang prinsip kemanusiaan, prinsip keadilan, dan kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan rakyat kecil. Sastrawan Lekra melakukan keberpihakan pada rakyat kecil melalui karya-karya yang mereka ciptaan, misalnya, Marco Kartodokromo. Pada saat kondisi politik memanas dan di dalamnya terjadi perseteruan antara Lekra dengan Sastrawan Manikebu, dengan terang-terangan sastrawan Lekra mempraktekkan teori Gorki yang menempatkan sastra sebagai senjata.
Setelah masa Lekra berakhir bersamaan dengan kegagalan Partai Komunis Indonesia (yang katanya) melakukan pemberontakan yang terkenal dengan kudeta 30/S/PKI atau Gestapu (Gerakan September Tiga-puluh), banyak sastrawan Lekra yang ditangkap dan dibunuh. Terlepas dari tragedi 30 September dan yang memicu pembantain di hari yang menjadi moment kesaksian Pancasila, dapat dilihat, bahwa dengan karya sastranya, para sastrawan Lekra melakukan pengabdian bagi kemanusiaan. Pemihakkan pada nasib rakyat kecil menjadi agenda utama, yang dilakukan untuk menggalang kekuatan rakyat sipil untuk mewujudkan revolusi Indonesia. Akhir kata, pengabdian sastrawan Lekra harus mereka bayar dengan darah dan luka.
Doa serta salam, semoga mereka yang telah gugur mendapatkan balasan dan keadilan yang sebaik-baiknya dari yang memiliki hak atas mereka.
Studio Semangat Desa Sejahtera 2010
http://www.sastra-indonesia.com/
Mengkaji keterkaitan antara karya sastra dengan kondisi sosio-budaya dan politik berarti melihat fungsi sosial sastra sebagai media propaganda yang dapat dijadikan sebagai media untuk mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat pembaca. Sastra menempati posisi sebagai suara yang mengajak (atau setidaknya memberikan informasi) untuk melakukan perubahan, menjaga stabilitas (dan) keharmonisan kehidupan, telah melahirkan cabang ilmu sastra baru. Cabang ilmu ini mengambil dasar pada sejarah dalam proses penciptaannya yang kemudian disebut dengan realisme sosialis.
Realisme sosialis menjadi faham di dalam sastra yang secara netral tidak memposisikan diri sebagai metode dalam proses penciptaan karya sastra, melainkan sebagai hubungan filsafat yang mana dijadikan landasan di dalam proses penggarapan karya sastra itu sendiri. Realisme di dalam realisme sosialis tidak diartikan sebagai konsep mengenai kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang diusung oleh realisme sosialis bukan kebenaran yang telah terjadi di dalam kehidupan realitas masyarakat, akantetapi lebih sebagai bentuk kebenaran yang sebatas bagian dari kebenaran di dalam proses dialektik.
Hubungan antara karya sastra dengan hal yang berada di luar sastra (katakan: politik) memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Sastra sebagai media manifestasi dari perkembangan politik yang berlangsung di kehidupan masyarakat. Sastra sebagai media untuk memberikan pendidikan dan sekaligus juga perlawanan.
Kondisi ini pernah terjadi di Indonesia pada sekitar tahun 1955 – 1956, yang pada kondisi di masa itu telah menempatkan karya sastra sebagai lat pengukuhan atas suatu faham kepada masyarakat Indonesia. Kelompok sastrawan yang mengangkat politik sebagai bagian dalam proses penciptaan karya adalah golongan sastrawan yang menamakan diri dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada masa itu, kita mengenal Lekra sebagai golongan sastrawan yang menjadikan sastra sebagai alat propaganda Partai Komunis Indonesia. Di sisi lain, sastrawan Lekra lebih dikenal dengan karya sastra yang menyuarakan kemanusiaan yang di dalamnya juga mengandung unsur marxisme-leninisme.
Sastrawan Lekra menyatakan bahwa kebudayaan merupakan senjata yang mematikan demi terwujudnya revolusi kaum proletar. Slogan yang diusung oleh sastrawan Lekra, yang dikutip bebas oleh penulis, bahwa sastra harus mengabdi pada kepentingan rakyat dan revolusi. Filsafat marxisme-leninisme menjadi pedoman yang mendasar bagi penggarapan karya.
Sastra dalam pandangan sastrawan Lekra adalah karya yang di dalamnya memuat tiga-tinggi, yaitu tinggi ideologi (marxisme-leninisme), tinggi artistik, dan tinggi organisasi. Di dalam pandangan sastrawan Lekra, karya juga harus mengandung tiga-baik, yaitu baik bekerja, baik belajar, dan baik moral. Penilaian karya sastra (dan tentunya di dalamnya adalah seni secara umum) menggunakan metode yang berbunyi “politik sebagai panglima” yang mengatakan bahwa fungsi sastra harus mengabdi pada kepentingan revolusi yang mengacu pada filsafat MDH dan marxisme-leninisme.
Sastrawan Lekra memegang nilai moral, yang apabila menurut Sudisman yang termuat di dalam Pledoi Sudisman, dikatakan bahwa moral kaum marxis adalah norma atau ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai dengan kelasnya. Dalam proses penciptaan karya sastra, sastrawan Lekra memegang prinsip kemanusiaan, prinsip keadilan, dan kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan rakyat kecil. Sastrawan Lekra melakukan keberpihakan pada rakyat kecil melalui karya-karya yang mereka ciptaan, misalnya, Marco Kartodokromo. Pada saat kondisi politik memanas dan di dalamnya terjadi perseteruan antara Lekra dengan Sastrawan Manikebu, dengan terang-terangan sastrawan Lekra mempraktekkan teori Gorki yang menempatkan sastra sebagai senjata.
Setelah masa Lekra berakhir bersamaan dengan kegagalan Partai Komunis Indonesia (yang katanya) melakukan pemberontakan yang terkenal dengan kudeta 30/S/PKI atau Gestapu (Gerakan September Tiga-puluh), banyak sastrawan Lekra yang ditangkap dan dibunuh. Terlepas dari tragedi 30 September dan yang memicu pembantain di hari yang menjadi moment kesaksian Pancasila, dapat dilihat, bahwa dengan karya sastranya, para sastrawan Lekra melakukan pengabdian bagi kemanusiaan. Pemihakkan pada nasib rakyat kecil menjadi agenda utama, yang dilakukan untuk menggalang kekuatan rakyat sipil untuk mewujudkan revolusi Indonesia. Akhir kata, pengabdian sastrawan Lekra harus mereka bayar dengan darah dan luka.
Doa serta salam, semoga mereka yang telah gugur mendapatkan balasan dan keadilan yang sebaik-baiknya dari yang memiliki hak atas mereka.
Studio Semangat Desa Sejahtera 2010
30/08/10
Mantan
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Dhimas Gathuk menyandarkan tubuhnya di pematang sawah ketika iring-iringan mobil melaju kencang di jalan setapak yang menuju ke tengah pusat Kelurahan Luruh Indon.
“Pejabat lewat.” Ungkap Dhimas Gathuk tanpa mengangkat kepala. “Jalan kok seperti milik mereka sendiri. Wus… wus… seenaknya sendiri.”
“Halah, Dhi, kok apa-apa kamu komentari. Dan gak ada yang bener buat kamu.” Sahut Kangmas Gothak sambil membersihkan lumpur dengan aliran sungai.
“Hehehehehe.. namanya juga komentator, Kang. Pasti, seenaknya sendiri.” Ungkap Dhimas Gathuk mengangkat kepala menyaksikan Kakangnya yang tengah membungkuk dan menggosok kaki.
Hitam lumpur yang menempel lama kelamaan tersapu air sungai. Warna yang tadinya jernih menjadi keruh. Hitam itu mengalir. Lama kelamaan memudar.
“Kang,” panggil Dhimas Gathuk namun Kakangnya tidak menyahuti atau mengangkat kepala. “sepertinya enak ya jadi pejabat.”
“Sepertinya, Dhi. Wang sinawang.”
“Lha, sudah gajinya besar, jalan dipakai sendiri, Kang. Semua orang suruh minggir.”
“Hehehehehe.. aku gak tahu, Dhi.” Kangmas Gothak naik dari sungai, “Semua itu kan sudah ada jatahnya sendiri.”
“Kok mereka tidak membuat jalan sendiri, Kang. Kan ada rumah dinas. Lha, tidak sekalian minta jalan dinas?”
“Halah, aneh-aneh.”
“Kamu punya banyak kenalan pejabat, Kang. Siapa tahu nanti Kakang bisa jadi pejabat.”
“Heh,”
“Berandai, Kang.” Sahut Dhimas Gathuk, “Dulu si Pak Miko itu juga temanmu di Serikat Rakyat Demokrat to, Kang?”
“Iya. Teman seperjuangan.”
“Nah, Pak Miko kan sudah menjabat. Kok Kakang belum?”
Kangmas Gothak langsung memfokuskan diri pada adiknya. Dhimas Gathuk cukup terkenal dengan sifat isengnya. Menggosipkan pejabat. Mencari seluk beluk kesalahan. Siang ini terlihat berbeda. Kangmas Gothak menyelidik. Saudara muda yang cerewet.
“Kamu ingin aku jadi pejabat, Dhi?”
“Bukan keinginan, Kang, siapa tahu dengan Kakang Gothak menjadi pejabat, nasib orang seperti adikmu ini bisa lebih baik.”
“Aku tidak berani berjanji, Dhi. Terlalu banyak godaan. Mendingan tetap seperti ini saja. Tidak beresiko.”
“Lho, memang resiko apa, Kang?” sahut Dhimas Gathuk sambil bangkit dari tidurannya.
“Kalau aku lupa bagaimana?”
“Lupa pada apa, Kang?”
“Lupa pada perjuangan yang sekarang.”
Dhimas Gathuk kini memfokuskan diri. Mencermati Kakangnya seseksama mungkin. Lalu menggelengkan kepala.
“Sistem itu akan melumatku habis, Dhi. Bau lumpur petani teramat sulit untuk tercium. Aku takut, Dhi, kalau justru lupa.”
Dhimas Gathuk mengedipkan mata dengan cepat. Menyaksikan Kakangnya yang menerawang. Ia melihat kepedihan di mata itu. Kepedihan yang terendam di dalam kalbu dan tak terungkapkan. Mata Kakangnya sudah seperti bola kaca yang berkilauan. Pada saat itu lah, Dhimas Gathuk sedih.
“Kalau tidak mau ya sudah, Kang. Jangan jadi pejabat. Jangan lupa pada perjuanganmu.” Dhimas Gathuk mencoba menarik kata-katanya.
Kangmas Gothak menggelengkan kepala. “Lebih baik seperti ini, Dhi. Tetap bisa berjuang sekuat tenaga. Mempertaruhkan apa pun yang ada. Jangan sampai, justru hilang ingatan akan perjuangan. Karena tidak ada mantan pejuang, Dhi.”
“Iya, Kang. Aku tahu.”
“Halah, sudah, Dhi. Lebih baik kita terus bertani. Menanam untuk memanen.” Ungkap Kangmas Gothak yang kemudian bangkit untuk turun ke sawah kembali.
Dhimas Gathuk masih memandangi Kakangnya. Air yang tadi ditumpahkan, masih utuh. Ketika saudara tua itu bangkit dan menghambur ke lumpur, Dhimas Gathuk merasakan bulu romanya berdiri, “Pejuang tidak boleh lupa dengan perjuangannya, sebab tidak ada mantan pejuang!” pikir Dhimas Gathuk sambil terus mengamati Kakangnya.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 28 Agustus 2010.
http://www.sastra-indonesia.com/
Dhimas Gathuk menyandarkan tubuhnya di pematang sawah ketika iring-iringan mobil melaju kencang di jalan setapak yang menuju ke tengah pusat Kelurahan Luruh Indon.
“Pejabat lewat.” Ungkap Dhimas Gathuk tanpa mengangkat kepala. “Jalan kok seperti milik mereka sendiri. Wus… wus… seenaknya sendiri.”
“Halah, Dhi, kok apa-apa kamu komentari. Dan gak ada yang bener buat kamu.” Sahut Kangmas Gothak sambil membersihkan lumpur dengan aliran sungai.
“Hehehehehe.. namanya juga komentator, Kang. Pasti, seenaknya sendiri.” Ungkap Dhimas Gathuk mengangkat kepala menyaksikan Kakangnya yang tengah membungkuk dan menggosok kaki.
Hitam lumpur yang menempel lama kelamaan tersapu air sungai. Warna yang tadinya jernih menjadi keruh. Hitam itu mengalir. Lama kelamaan memudar.
“Kang,” panggil Dhimas Gathuk namun Kakangnya tidak menyahuti atau mengangkat kepala. “sepertinya enak ya jadi pejabat.”
“Sepertinya, Dhi. Wang sinawang.”
“Lha, sudah gajinya besar, jalan dipakai sendiri, Kang. Semua orang suruh minggir.”
“Hehehehehe.. aku gak tahu, Dhi.” Kangmas Gothak naik dari sungai, “Semua itu kan sudah ada jatahnya sendiri.”
“Kok mereka tidak membuat jalan sendiri, Kang. Kan ada rumah dinas. Lha, tidak sekalian minta jalan dinas?”
“Halah, aneh-aneh.”
“Kamu punya banyak kenalan pejabat, Kang. Siapa tahu nanti Kakang bisa jadi pejabat.”
“Heh,”
“Berandai, Kang.” Sahut Dhimas Gathuk, “Dulu si Pak Miko itu juga temanmu di Serikat Rakyat Demokrat to, Kang?”
“Iya. Teman seperjuangan.”
“Nah, Pak Miko kan sudah menjabat. Kok Kakang belum?”
Kangmas Gothak langsung memfokuskan diri pada adiknya. Dhimas Gathuk cukup terkenal dengan sifat isengnya. Menggosipkan pejabat. Mencari seluk beluk kesalahan. Siang ini terlihat berbeda. Kangmas Gothak menyelidik. Saudara muda yang cerewet.
“Kamu ingin aku jadi pejabat, Dhi?”
“Bukan keinginan, Kang, siapa tahu dengan Kakang Gothak menjadi pejabat, nasib orang seperti adikmu ini bisa lebih baik.”
“Aku tidak berani berjanji, Dhi. Terlalu banyak godaan. Mendingan tetap seperti ini saja. Tidak beresiko.”
“Lho, memang resiko apa, Kang?” sahut Dhimas Gathuk sambil bangkit dari tidurannya.
“Kalau aku lupa bagaimana?”
“Lupa pada apa, Kang?”
“Lupa pada perjuangan yang sekarang.”
Dhimas Gathuk kini memfokuskan diri. Mencermati Kakangnya seseksama mungkin. Lalu menggelengkan kepala.
“Sistem itu akan melumatku habis, Dhi. Bau lumpur petani teramat sulit untuk tercium. Aku takut, Dhi, kalau justru lupa.”
Dhimas Gathuk mengedipkan mata dengan cepat. Menyaksikan Kakangnya yang menerawang. Ia melihat kepedihan di mata itu. Kepedihan yang terendam di dalam kalbu dan tak terungkapkan. Mata Kakangnya sudah seperti bola kaca yang berkilauan. Pada saat itu lah, Dhimas Gathuk sedih.
“Kalau tidak mau ya sudah, Kang. Jangan jadi pejabat. Jangan lupa pada perjuanganmu.” Dhimas Gathuk mencoba menarik kata-katanya.
Kangmas Gothak menggelengkan kepala. “Lebih baik seperti ini, Dhi. Tetap bisa berjuang sekuat tenaga. Mempertaruhkan apa pun yang ada. Jangan sampai, justru hilang ingatan akan perjuangan. Karena tidak ada mantan pejuang, Dhi.”
“Iya, Kang. Aku tahu.”
“Halah, sudah, Dhi. Lebih baik kita terus bertani. Menanam untuk memanen.” Ungkap Kangmas Gothak yang kemudian bangkit untuk turun ke sawah kembali.
Dhimas Gathuk masih memandangi Kakangnya. Air yang tadi ditumpahkan, masih utuh. Ketika saudara tua itu bangkit dan menghambur ke lumpur, Dhimas Gathuk merasakan bulu romanya berdiri, “Pejuang tidak boleh lupa dengan perjuangannya, sebab tidak ada mantan pejuang!” pikir Dhimas Gathuk sambil terus mengamati Kakangnya.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 28 Agustus 2010.
02/07/10
Kakang Gothak, Dhimas Gathuk dan ULTAH
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Petang hari setelah dua lelaki, kakak beradik yang berperawakan sama menegakkan kewajiban, mereka berjalan beriringan di dalam gelap jalan pedesaan. Mereka berjalan yang awalnya dengan diam, begitu senyap. Langkah kaki pun tak terdengar di dalam udara. Tiba-tiba saja, lelaki muda yang bernama Dhimas Gathuk mengamit tangan kakaknya, Kangmas Gothak.
“Kang!” panggil Dhimas Gathuk pelan seperti dalam bisikan namun saudara tuanya tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya, membuat Dhimas Gathuk terseret.
“Kang!” panggil Dhimas Gathuk setelah tidak mendapatkan jawaban.
Setelah itu, tetap saja Kangmas Gothak tidak menjawab. Dengan langkah yang justru semakin memburu di dalam kegelapan jalan desa yang sepi. Sampai akhirnya, langkah kangmas Gothak menjadi pelan kembali setelah di depan mereka ada belokan ke kanan. Di sana, sebuah rumah sederhana yang sunyi telah menunggu kedatangan mereka berdua. Cahaya lampu minyak menerangi teras terlihat mobat-mabit saat melawan angin yang berhembus.
“Akhirnya sampai di rumah juga, Dhi!” ucap Kangmas Gothak pada adiknya yang tengah berhenti di ambang teras rumah dengan nafas ngos-ngosan.
“Kangmas Gothak ini kenapa apa, tho, kok jalan saja seperti dikejar maling?” tanya Dhimas gathuk yang justru langsung disambut derai tawa kakaknya.
“Halah, bahasamu, Dhi. Kok iya, bisa dikejar maling, harusnya maling itu yang dikejar. Eh, malah kita yang jadi dikejar maling, Dhi!” sahut Kangmas Gothak dalam tawa renyah yang cukup panjang. “Kamu tadi mau bilang apa, Dhi?”
“Lali, Kang!” sahut Dhimas Gathuk dengan jengkel namun kakaknya tetap tertawa renyah.
“Halah, ngono wae langsung mutung!” sahut Kangmas Gothak dengan cepat. “Ada apa, Dhi?” Kangmas Gothak melanjutkannya dengan pertanyaan yang dibarengi dengan senyuman manis seorang kakak.
“Tidak jadi, Kang. Takut kalau Kangmas justru marah!”
“Kalau tidak salah, tidak harus takut, Dhi. Kakangmu tidak akan marah, karena bagaimana pun juga, Kakang Gothak ini ya Bapakmu, Ibumu, Kakangmu, ya kacamu dolan.” Ucap Kangmas Gothak dengan lembut sambil membelai rambut adiknya. “Sekarang cerita saja, Dhi!”
“Janji, Kang?”
“Iyo!”
“Janji?”
“Janji, Dhi, kalau Kakang tidak akan marah!”
“Dhimas Gathuk pengen juga diulang-tahuni, Kang!” ungkap Dhimas Gathuk yang disertai dengan rasa takut kalau-kalau kangmasnya marah.
“Ah, itu saja tho? Ya besok kakang belikan es cendol!”
“Dhimas pengennya ngundang orang-orang, Kang!”
“lha, kalau itu yang susah, Dhi.”
“Dhimas ingin seperti orang-orang di dalam Pendopo yang sekarang sedang siap-siap merayakan ulang tahun, Kang!” sahut Dhimas Gathuk setengah mengimpi.
“Yang penting dari ulang tahun itu adalah syukur pada Gusti Pangeran, Dhi. Tidak perlu yang mewah-mewah. Kalau ada rejeki lebih, ya lebih baik disumbangkan saja buat infaq, buat bersedekah, seperti Bapak Karto swargi mengajarkan pada kita dahulu.”
“Tapi kan, Kang, Pendopo itu hanya wadah saja, hanya tempat, dan sebentar lagi diulang-tahuni, Kang! Meriah lagi, Kang. Kabarnya begitu. Banyak para ustad, santri yang akan datang ke sana. Akan seperti pasar malam!”
Kangmas Gothak menarik nafas panjang sambil mendengar cerita adiknya yang menggambarkan bagaimana peringatan hari jadi Pendopo akan dirayakan. Para ustad, ulama, dan juga santri yang ada di dalamnya sudah mempersiapkan dari setahun yang lalu. Dana yang dibutuhkan untuk merayakannya pun buanyaknya bukan kepalang. Dan Kangmas Gothak pun menarik nafas berat sambil menggelengkan kepala.
“Dhi, Allah dan Nabi, dengan tidak lelah terus mengajari kita untuk menjalani hidup ini dengan sederhana. Mengajak kita semua untuk tidak berlebih.”
“Kakang ini bagaimana, tho?” sahut Dhimas Gathuk yang mencoba menghalau pendapat kakaknya. “Orang-orang yang ada di dalam Pendopo itu, Kang, semuanya ulama, mereka orang yang mengerti agama. Bahkan, Kang, mereka itu mengatakan kalau mereka selalu mengikuti Nabi, sebagai pengikut Nabi. Tapi mereka merayakan ulang tahun Pendopo itu dengan meriah.”
“Kakang tahu, Dhimas Gathuk!” sahut Kangmas Gothak dalam senyuman. “Sederhana bagi orang seperti kita, akan berbeda dengan sederhana bagi mereka. Para santri, ulama, dan ustad yang ada di dalam Pendopo itu. Bisa saja, seperti yang selalu mereka bilang setiap hari, kalau mereka mengikuti Nabi, tapi siapa juga yang tahu dengan niat yang ada di dalam hati mereka, Dhi. Apa yang sebenarnya mereka inginkan kita tidak tahu. Dhi, ingat wejangan yang ditinggalkan Bapak Karto swargi, kalau kita harus senantiasa berhati-hati, jangan sampai kecintaan dan ibadah kita menjadi kesombongan!”
Ah, kakang tidak tahu kalau demi ulang tahun Pendopo mereka akan menghabiskan dana ber-T-T. T itu apa, ya Dhimas Gathuk tidak mengerti. Yang Dhimas dengar, kalau dana yang buanyak itu mereka korbankan dan digunakan merayakan karena kecintaan mereka pada Allah dan Nabi.”
“yah, sekarang kita memandang saja dari sini, Dhi.” Sahut Kangmas Gothak sambil membelai rambut adiknya. “Itu mungkin saja sebagai bagian dari kebahagiaan dari orang-orang di Pendopo. Semoga saja menjadi ibadah yang akan menyelematkan mereka di hari nanti. Ibadah yang selalu mereka bilang sendiri, yang seperti pengikut Nabi. Tapi kita bisa melihatnya nanti, apakah orang-orang di Pendopo itu benar-benar mengikuti Nabi atau hanya mengatas-namakan Nabi saja.”
“Maksud Kangmas?”
“Nabi mengajarkan tentang kesederhanaan dalam menjalani hidup, Dhi. Sederhana dalam menikmati kebahagiaan dan sederhana dalam menikmati penderitaan.” Jawab Kangmas Gothak dalam senyuman dan keduanya pun mengamati Pendopo yang keindahannya setiap hari semakin bertambah gemerlap dan menjulang ke langit sementara di sekitarnya rumah-rumah petani semakin lama semakin rendah dimakan tanah.
Kretek, Bantul, 8 Juni 2010.
[diambil dari www.saspropam.wordpress.com]
http://www.sastra-indonesia.com/
Petang hari setelah dua lelaki, kakak beradik yang berperawakan sama menegakkan kewajiban, mereka berjalan beriringan di dalam gelap jalan pedesaan. Mereka berjalan yang awalnya dengan diam, begitu senyap. Langkah kaki pun tak terdengar di dalam udara. Tiba-tiba saja, lelaki muda yang bernama Dhimas Gathuk mengamit tangan kakaknya, Kangmas Gothak.
“Kang!” panggil Dhimas Gathuk pelan seperti dalam bisikan namun saudara tuanya tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya, membuat Dhimas Gathuk terseret.
“Kang!” panggil Dhimas Gathuk setelah tidak mendapatkan jawaban.
Setelah itu, tetap saja Kangmas Gothak tidak menjawab. Dengan langkah yang justru semakin memburu di dalam kegelapan jalan desa yang sepi. Sampai akhirnya, langkah kangmas Gothak menjadi pelan kembali setelah di depan mereka ada belokan ke kanan. Di sana, sebuah rumah sederhana yang sunyi telah menunggu kedatangan mereka berdua. Cahaya lampu minyak menerangi teras terlihat mobat-mabit saat melawan angin yang berhembus.
“Akhirnya sampai di rumah juga, Dhi!” ucap Kangmas Gothak pada adiknya yang tengah berhenti di ambang teras rumah dengan nafas ngos-ngosan.
“Kangmas Gothak ini kenapa apa, tho, kok jalan saja seperti dikejar maling?” tanya Dhimas gathuk yang justru langsung disambut derai tawa kakaknya.
“Halah, bahasamu, Dhi. Kok iya, bisa dikejar maling, harusnya maling itu yang dikejar. Eh, malah kita yang jadi dikejar maling, Dhi!” sahut Kangmas Gothak dalam tawa renyah yang cukup panjang. “Kamu tadi mau bilang apa, Dhi?”
“Lali, Kang!” sahut Dhimas Gathuk dengan jengkel namun kakaknya tetap tertawa renyah.
“Halah, ngono wae langsung mutung!” sahut Kangmas Gothak dengan cepat. “Ada apa, Dhi?” Kangmas Gothak melanjutkannya dengan pertanyaan yang dibarengi dengan senyuman manis seorang kakak.
“Tidak jadi, Kang. Takut kalau Kangmas justru marah!”
“Kalau tidak salah, tidak harus takut, Dhi. Kakangmu tidak akan marah, karena bagaimana pun juga, Kakang Gothak ini ya Bapakmu, Ibumu, Kakangmu, ya kacamu dolan.” Ucap Kangmas Gothak dengan lembut sambil membelai rambut adiknya. “Sekarang cerita saja, Dhi!”
“Janji, Kang?”
“Iyo!”
“Janji?”
“Janji, Dhi, kalau Kakang tidak akan marah!”
“Dhimas Gathuk pengen juga diulang-tahuni, Kang!” ungkap Dhimas Gathuk yang disertai dengan rasa takut kalau-kalau kangmasnya marah.
“Ah, itu saja tho? Ya besok kakang belikan es cendol!”
“Dhimas pengennya ngundang orang-orang, Kang!”
“lha, kalau itu yang susah, Dhi.”
“Dhimas ingin seperti orang-orang di dalam Pendopo yang sekarang sedang siap-siap merayakan ulang tahun, Kang!” sahut Dhimas Gathuk setengah mengimpi.
“Yang penting dari ulang tahun itu adalah syukur pada Gusti Pangeran, Dhi. Tidak perlu yang mewah-mewah. Kalau ada rejeki lebih, ya lebih baik disumbangkan saja buat infaq, buat bersedekah, seperti Bapak Karto swargi mengajarkan pada kita dahulu.”
“Tapi kan, Kang, Pendopo itu hanya wadah saja, hanya tempat, dan sebentar lagi diulang-tahuni, Kang! Meriah lagi, Kang. Kabarnya begitu. Banyak para ustad, santri yang akan datang ke sana. Akan seperti pasar malam!”
Kangmas Gothak menarik nafas panjang sambil mendengar cerita adiknya yang menggambarkan bagaimana peringatan hari jadi Pendopo akan dirayakan. Para ustad, ulama, dan juga santri yang ada di dalamnya sudah mempersiapkan dari setahun yang lalu. Dana yang dibutuhkan untuk merayakannya pun buanyaknya bukan kepalang. Dan Kangmas Gothak pun menarik nafas berat sambil menggelengkan kepala.
“Dhi, Allah dan Nabi, dengan tidak lelah terus mengajari kita untuk menjalani hidup ini dengan sederhana. Mengajak kita semua untuk tidak berlebih.”
“Kakang ini bagaimana, tho?” sahut Dhimas Gathuk yang mencoba menghalau pendapat kakaknya. “Orang-orang yang ada di dalam Pendopo itu, Kang, semuanya ulama, mereka orang yang mengerti agama. Bahkan, Kang, mereka itu mengatakan kalau mereka selalu mengikuti Nabi, sebagai pengikut Nabi. Tapi mereka merayakan ulang tahun Pendopo itu dengan meriah.”
“Kakang tahu, Dhimas Gathuk!” sahut Kangmas Gothak dalam senyuman. “Sederhana bagi orang seperti kita, akan berbeda dengan sederhana bagi mereka. Para santri, ulama, dan ustad yang ada di dalam Pendopo itu. Bisa saja, seperti yang selalu mereka bilang setiap hari, kalau mereka mengikuti Nabi, tapi siapa juga yang tahu dengan niat yang ada di dalam hati mereka, Dhi. Apa yang sebenarnya mereka inginkan kita tidak tahu. Dhi, ingat wejangan yang ditinggalkan Bapak Karto swargi, kalau kita harus senantiasa berhati-hati, jangan sampai kecintaan dan ibadah kita menjadi kesombongan!”
Ah, kakang tidak tahu kalau demi ulang tahun Pendopo mereka akan menghabiskan dana ber-T-T. T itu apa, ya Dhimas Gathuk tidak mengerti. Yang Dhimas dengar, kalau dana yang buanyak itu mereka korbankan dan digunakan merayakan karena kecintaan mereka pada Allah dan Nabi.”
“yah, sekarang kita memandang saja dari sini, Dhi.” Sahut Kangmas Gothak sambil membelai rambut adiknya. “Itu mungkin saja sebagai bagian dari kebahagiaan dari orang-orang di Pendopo. Semoga saja menjadi ibadah yang akan menyelematkan mereka di hari nanti. Ibadah yang selalu mereka bilang sendiri, yang seperti pengikut Nabi. Tapi kita bisa melihatnya nanti, apakah orang-orang di Pendopo itu benar-benar mengikuti Nabi atau hanya mengatas-namakan Nabi saja.”
“Maksud Kangmas?”
“Nabi mengajarkan tentang kesederhanaan dalam menjalani hidup, Dhi. Sederhana dalam menikmati kebahagiaan dan sederhana dalam menikmati penderitaan.” Jawab Kangmas Gothak dalam senyuman dan keduanya pun mengamati Pendopo yang keindahannya setiap hari semakin bertambah gemerlap dan menjulang ke langit sementara di sekitarnya rumah-rumah petani semakin lama semakin rendah dimakan tanah.
Kretek, Bantul, 8 Juni 2010.
[diambil dari www.saspropam.wordpress.com]
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita