Judul Buku : Derita Cinta Tak Terbalas
Pengarang : Iriana Stephanie
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung
Tahun terbit : 2005 Akhir
Tebal Halaman : xxiv + 164 Hlm;15x21cm
Peresensi: Denny Mizhar
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Denny Mizhar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Denny Mizhar. Tampilkan semua postingan
08/07/21
24/12/12
Pengantar Memasuki Dunia Sastra
Denny Mizhar
“Sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan. Ia mengada setelah melewati proses yang rumit yang berkaitan dengan persoalan sosio-budaya, politik, ekonomi, bahkan juga ideology dan agama” (Maman S. Mahayana).
Memasuki dunia sastra itu menurut saya memasuki dunia yang penuh dengan keindahan dan makna di dalamnya ada bahasa, simbol, ekpresi-ekpresi pengalaman juga pemikiran manusia terhadap obyek keindahannya. Lalu apa definisi sastra itu pada umumnya, mari kita coba telisik: Sastra (Sangsekerta: shastra) merupakan serapan dari bahasa sangsekerta: sastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman” dari kata dasar sas- yang berarti “intruksi” atau “ajaran”.
“Sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan. Ia mengada setelah melewati proses yang rumit yang berkaitan dengan persoalan sosio-budaya, politik, ekonomi, bahkan juga ideology dan agama” (Maman S. Mahayana).
Memasuki dunia sastra itu menurut saya memasuki dunia yang penuh dengan keindahan dan makna di dalamnya ada bahasa, simbol, ekpresi-ekpresi pengalaman juga pemikiran manusia terhadap obyek keindahannya. Lalu apa definisi sastra itu pada umumnya, mari kita coba telisik: Sastra (Sangsekerta: shastra) merupakan serapan dari bahasa sangsekerta: sastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman” dari kata dasar sas- yang berarti “intruksi” atau “ajaran”.
23/06/12
Setahun Pelangi Sastra Malang
Denny Mizhar
__Pelangi Sastra Malang
Pada mulanya adalah pertemuan yang sering terjadi antara saya dan Ragil Supriyanto yang biasa dipanggil Ragil Sukriwul. Saya diajak gabung di Komunitas Mozaik Malang dengan gerak yang merambah dunia seni dan sastra. Tetapi saya belum intens, hanya ketika Mozaik dengan penerbitannya menggarap antologi cerpen yang diberi judul “Pledoi: Pelangi Sastra Malang dalam cerpen” saya dimintanya untuk memegang tanggung jawab di bagian produksi: membantu mencari dana penerbitan hingga buku tersebut terbit pada tahun 2009.
__Pelangi Sastra Malang
Pada mulanya adalah pertemuan yang sering terjadi antara saya dan Ragil Supriyanto yang biasa dipanggil Ragil Sukriwul. Saya diajak gabung di Komunitas Mozaik Malang dengan gerak yang merambah dunia seni dan sastra. Tetapi saya belum intens, hanya ketika Mozaik dengan penerbitannya menggarap antologi cerpen yang diberi judul “Pledoi: Pelangi Sastra Malang dalam cerpen” saya dimintanya untuk memegang tanggung jawab di bagian produksi: membantu mencari dana penerbitan hingga buku tersebut terbit pada tahun 2009.
26/08/11
Kegilaan Seorang Jendral: Catatan Pentas Monolog Cucuk Espe
Denny Mizhar *
http://sastra-indonesia.com/
Dengan artistik yang minimalis dan musik yang sederhana, pentas monolog Jendral Markus pun berlangsung. Adegan awal yang dimulai dengan sapa tokoh kepada penonton, layaknya seorang yang sedang orasi ditengah kerumunan massa. Hal tersebut nampak pada pemilihan bentuk panggung arena yakni upaya tak mengambil jarak dengan penonton.
Lontaran pertanyaan-pertanyaan pada penonton tentang dirinya (Jendral Markus) terus berulang, tetapi penonton pun tak menjawab siapa Jendral Markus, hanya senyum dan bingung tampak pada ekpresi para penonton di Sasana Krida Budaya. Akhirnya Jendral Markus pun mengenalkan dirinya sendiri, bahwa ia yang menjaga kota ketika kota dilanda kekacauan, pembakaran pertokoan. Tak hanya sampai situ, penonton di bawa pada alur mundur akan pertemuan dengan seorang ibu yang menanyakan anaknya yang hilang. Anak seorang ibu yang bergabung dalam dunia aktivisme dan sering melakukan demontrasi menentang kekuasaan. Kali ini Jendral Markus tak berdaya, tak dapat menemukan anak dari seorang ibu yang hilang. Bagi Jendral, itu adalah tanggung jawabnya dengan begitu ia tak berhenti hingga anak dari ibu tersebut ditemukan sudah tewas di pinggir sungai. Jendral bingung, harus menjelaskan dengan cara apa pada ibu yang melaporkan anaknya yang hilang dan ditemukan olehnya sedang tewas.
Konfik menjadi tajam, ketika kedatangan seorang pemuda yang membawa kabar tentang keselamatan dirinya, tetapi ditolaknya bahkan ia mengatakan bahwa hidupnya jauh dari selamat. Keselamatan yang ditawarkan oleh pemuda tersebut adalah keikutsertaan akan suatu rencana dan dirinya akan dilibatkan dalam rencana tersebut. Dari penolakannya, membuat semuanya menjadi suram setelah empat orang mendatangi rumahnya tetap saja ia tak mau, akhirnya rumahnya dibakar anaknya hilang dan istrinya entah kemana.
Dibalik kesuraman hidupnya atas penolakan rencana kejahatan, ia meratap. Ratapan hanya sementara, ia pun tersenyum dan tertawa kembali karena ia masih memiliki nurani. Ia pun berkeliling ke mana-mana, tetap mengangkat hormat pada negerinya.
Tak lama kemudian setelah Jendral Markus melakukan perjalanannya dan berkeliling ke sana-kemari, menghadiri pertemuan-pertemuan dan perutnya mulai lapar, fikiranya mulai tak waras ia terjatuh. Lampu pun padam dan pertunjukan pun usai.
***
Jika kita mengingat-ingat tragedi kemanusiaan pada era Orde Baru yakni penculikan, pencekalan apabila seseorang melawan dan tidak mengikuti aturan penguasa maka nyawa akan hilang; entah nyawanya sendiri atau nyawa kerabat dekatnya. Ancaman akan bertubi-tubi datang kepadanya hingga seorang tersebut mengalami depresi dan akhirnya gila. Kewarasan nurani ternyata membawa kegilaan bagi Jendral Masrkus, hal ini menjadi berita umum hidup di bangsa ini ketika masih mengunakan nuraninya maka tak akan selamat. Banyak kisah sudah terjumpai, aktivis 98, penegak ham Munir, dan masih banyak yang lainya yang tak terberitakan. Maka hidup di bangsa ini bila ingin selamat harus mengubur nurani. Sebuah refleksi bagi kita semua, bila ingin bangsa ini menjadi lebih baik maka nurani harus tetap terjaga. Kemungkinan hal ini juga masih terjadi dalam era kekininan dalam bentu lain. Akronim nama Markus yang ramai dibicarakan oleh media massa yakni mafia kasus menjadi misteri tersendiri. Karena Markus dalam lakon pertunjukan monolog kali ini tak meiliki sikap sebagai mafia kasus, tetapi sebaliknya. Jendal Markus tokoh yang diperankan oleh Cucuk Espe dari Teater Kopi Hitam Jombang di Sasana Krida Budaya Universitas Negeri Malang pada tanggal 30 Juni 2011 pukul 19.30 yang bekerja sama dengan Teater Hampa Indonesia Univeristas Negeri Malang. Pertunjukan yang disutradarai oleh Farid Khuzaini, penata artistiknya Anjrah LB, penata musiknya Doel Khamdani dan naskah ditulis oleh antornya sendiri yakni Cucuk Espe yang telah telah berkeliling dibeberapa kota. Jika kita mengacu pada pendapat Aristotelis bahwa kesenian adalah duplikasi, maka pertunjukan monolog Jendral Markus adalah “duplikasi” kasus-kasus yang terjadi dibangsa ini yang dikemas dengan pendekatan seni pertunjukan. Selain itu memberikan kesadaran akan kondisi bangsa yang carut marut, orang benar dan baik tak bisa hidup tenang di negeri ini.
Pertunjukan monolog Jendral Markus di Sasana Krida budaya UM masih ada beberapa cela yang kurang maksimal tergarap, di antaranya adalah soal panggung arena yang tak sampai pada keutuhan tampaknya aktor di atas panggung oleh penonton yang melingkar. Hal itu dikarenakan aktor hanya bermain di titik-titik panggung yang menghadap pada penonton sebagian dan sebagaian lainya tak tampak karena tertutup properti meja kursi serta arah pandang aktor yang tak seimbang sehinga ketakterjarakan pada konsep panggung arena antara aktor dan penonton juga belum maksimal terjadi.
Begitu juga pergantian tokoh, ketika tokoh Jendral Markus kehadiran seorang ibu dan berpindah menjadi tokoh ibu yang bercerita perihal kehilangan anaknya tak ada bedanya: ada kesamaan antara Jendral Markus dan Ibu, begitu pula dengan Tokoh pemuda dan empat tamu yang datang padanya. Keterjagaan akan tokoh sebagai Jendral Markus dan tokoh-tokoh lainnya yang dihadirkan secara imajiner tak dapat nampak dengan baik.
*) Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Koordinator Pelangi Sastra Malang.
http://sastra-indonesia.com/
Dengan artistik yang minimalis dan musik yang sederhana, pentas monolog Jendral Markus pun berlangsung. Adegan awal yang dimulai dengan sapa tokoh kepada penonton, layaknya seorang yang sedang orasi ditengah kerumunan massa. Hal tersebut nampak pada pemilihan bentuk panggung arena yakni upaya tak mengambil jarak dengan penonton.
Lontaran pertanyaan-pertanyaan pada penonton tentang dirinya (Jendral Markus) terus berulang, tetapi penonton pun tak menjawab siapa Jendral Markus, hanya senyum dan bingung tampak pada ekpresi para penonton di Sasana Krida Budaya. Akhirnya Jendral Markus pun mengenalkan dirinya sendiri, bahwa ia yang menjaga kota ketika kota dilanda kekacauan, pembakaran pertokoan. Tak hanya sampai situ, penonton di bawa pada alur mundur akan pertemuan dengan seorang ibu yang menanyakan anaknya yang hilang. Anak seorang ibu yang bergabung dalam dunia aktivisme dan sering melakukan demontrasi menentang kekuasaan. Kali ini Jendral Markus tak berdaya, tak dapat menemukan anak dari seorang ibu yang hilang. Bagi Jendral, itu adalah tanggung jawabnya dengan begitu ia tak berhenti hingga anak dari ibu tersebut ditemukan sudah tewas di pinggir sungai. Jendral bingung, harus menjelaskan dengan cara apa pada ibu yang melaporkan anaknya yang hilang dan ditemukan olehnya sedang tewas.
Konfik menjadi tajam, ketika kedatangan seorang pemuda yang membawa kabar tentang keselamatan dirinya, tetapi ditolaknya bahkan ia mengatakan bahwa hidupnya jauh dari selamat. Keselamatan yang ditawarkan oleh pemuda tersebut adalah keikutsertaan akan suatu rencana dan dirinya akan dilibatkan dalam rencana tersebut. Dari penolakannya, membuat semuanya menjadi suram setelah empat orang mendatangi rumahnya tetap saja ia tak mau, akhirnya rumahnya dibakar anaknya hilang dan istrinya entah kemana.
Dibalik kesuraman hidupnya atas penolakan rencana kejahatan, ia meratap. Ratapan hanya sementara, ia pun tersenyum dan tertawa kembali karena ia masih memiliki nurani. Ia pun berkeliling ke mana-mana, tetap mengangkat hormat pada negerinya.
Tak lama kemudian setelah Jendral Markus melakukan perjalanannya dan berkeliling ke sana-kemari, menghadiri pertemuan-pertemuan dan perutnya mulai lapar, fikiranya mulai tak waras ia terjatuh. Lampu pun padam dan pertunjukan pun usai.
***
Jika kita mengingat-ingat tragedi kemanusiaan pada era Orde Baru yakni penculikan, pencekalan apabila seseorang melawan dan tidak mengikuti aturan penguasa maka nyawa akan hilang; entah nyawanya sendiri atau nyawa kerabat dekatnya. Ancaman akan bertubi-tubi datang kepadanya hingga seorang tersebut mengalami depresi dan akhirnya gila. Kewarasan nurani ternyata membawa kegilaan bagi Jendral Masrkus, hal ini menjadi berita umum hidup di bangsa ini ketika masih mengunakan nuraninya maka tak akan selamat. Banyak kisah sudah terjumpai, aktivis 98, penegak ham Munir, dan masih banyak yang lainya yang tak terberitakan. Maka hidup di bangsa ini bila ingin selamat harus mengubur nurani. Sebuah refleksi bagi kita semua, bila ingin bangsa ini menjadi lebih baik maka nurani harus tetap terjaga. Kemungkinan hal ini juga masih terjadi dalam era kekininan dalam bentu lain. Akronim nama Markus yang ramai dibicarakan oleh media massa yakni mafia kasus menjadi misteri tersendiri. Karena Markus dalam lakon pertunjukan monolog kali ini tak meiliki sikap sebagai mafia kasus, tetapi sebaliknya. Jendal Markus tokoh yang diperankan oleh Cucuk Espe dari Teater Kopi Hitam Jombang di Sasana Krida Budaya Universitas Negeri Malang pada tanggal 30 Juni 2011 pukul 19.30 yang bekerja sama dengan Teater Hampa Indonesia Univeristas Negeri Malang. Pertunjukan yang disutradarai oleh Farid Khuzaini, penata artistiknya Anjrah LB, penata musiknya Doel Khamdani dan naskah ditulis oleh antornya sendiri yakni Cucuk Espe yang telah telah berkeliling dibeberapa kota. Jika kita mengacu pada pendapat Aristotelis bahwa kesenian adalah duplikasi, maka pertunjukan monolog Jendral Markus adalah “duplikasi” kasus-kasus yang terjadi dibangsa ini yang dikemas dengan pendekatan seni pertunjukan. Selain itu memberikan kesadaran akan kondisi bangsa yang carut marut, orang benar dan baik tak bisa hidup tenang di negeri ini.
Pertunjukan monolog Jendral Markus di Sasana Krida budaya UM masih ada beberapa cela yang kurang maksimal tergarap, di antaranya adalah soal panggung arena yang tak sampai pada keutuhan tampaknya aktor di atas panggung oleh penonton yang melingkar. Hal itu dikarenakan aktor hanya bermain di titik-titik panggung yang menghadap pada penonton sebagian dan sebagaian lainya tak tampak karena tertutup properti meja kursi serta arah pandang aktor yang tak seimbang sehinga ketakterjarakan pada konsep panggung arena antara aktor dan penonton juga belum maksimal terjadi.
Begitu juga pergantian tokoh, ketika tokoh Jendral Markus kehadiran seorang ibu dan berpindah menjadi tokoh ibu yang bercerita perihal kehilangan anaknya tak ada bedanya: ada kesamaan antara Jendral Markus dan Ibu, begitu pula dengan Tokoh pemuda dan empat tamu yang datang padanya. Keterjagaan akan tokoh sebagai Jendral Markus dan tokoh-tokoh lainnya yang dihadirkan secara imajiner tak dapat nampak dengan baik.
*) Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Koordinator Pelangi Sastra Malang.
02/08/11
Oase Estetik di Tengah Modernitas: Sebuah Spirit Festival Kampung Cempluk 2011
Denny Mizhar *
http://sastra-indonesia.com/
Kampung, dengan adanya modernitas yang salah satunya ditandai dengan pembangunan membuatnya terpinggirkan. Lahan-lahan pertanian yang dijadikan mata pencaharian masyarakat kampung berubah menjadi perumahan mewah , rumah toko bahkan mall. Begitu pula dengan semangat gotong royong menjadi terkikis dengan sifat individualis masyarakat modern. Kesenian tradisional yang menjadi spirtualitas ekpresi masyarakat pun sudah jarang ditemui karena media-media yang lahir dari modernitas bermunculkan yang menawarkan kesenangan sesaat dan populer.
Tetapi hal itu ingin ditepis oleh masyarakat RW 2 Dusun Sumberjo Desa Kalisongo Kecamatan Dau Kabupaten Malang dengan mengadakan Festival Kampung Cempluk. Kampung yang dihimpit oleh perumahan-perumahan mewah yang dahulunya adalah lahan pertanian dan perkebunan mereka. Penamaan Kampung Cempluk berdasar latar masa lalu dari dusun tersebut yang dahulunya rumah-rumah yang terbuat dari gedhek (anyaman bambu) mengunakan penerangan lampu cempluk. Konon katanya kampung cempluk banyak terdapat pohon jambu di masa lalunya yang kini banyak berubah menjadi perumahan mewah, tempat wisata lembah dieng yang terdapat sumber air kini tak dapat dinikmati oleh masyarakat kampung cempluk dan masyarakat kini harus membeli air lewat jasa PDAM.
Festival Kampung Cempluk yang digelar dari tanggal 17 hingga 24 Juli 2011 dapat menggambarkan wajah semangat gotong royong dan pelestarian kesenian, momen tersebut juga sebagai media ekpresi estetik budaya di tengah kesibukan bekerja yang kebanyakan sebagai pekerja tukang bangunan. Arak-arakan atau pawai menandai tergelarnya acara Festival Kampung Cempluk di mana beragam kesenian tradisional yang dimiliki kampung tersebut unjuk kebolehan dari Bantengan, Jaranan, dan lain sebagainya. Sedangkan malam harinya di gang-gang terdapat kuliner masakan kampung juga pentas seni. Kepiawaian masyarakat dalam bekerja menjadi tukang bangunan tak juga ketinggalan mengekpresikan dirinya dengan membuat galeri rumah hantu dengan tarif 3000 rupiah untuk tiket masuknya.
Malang pertama pentas seni yang tampil pada acara Festival Kampung Cempluk adalah seni musik yang mengunakan perlatan gamelan dan perkusi dengan nyanyian campursarian. Panggung utama yang dibuat oleh panitia dan aparatur dusun terlihat padat oleh penonton dari masyarakat sekitar juga pengunjung dari luar kampung di hari pertama pada Minggu, 17 Juli 2011.
Tak hanya masyarakat Sumberjo RW 2 yang tampil di acara tersebut, Yani dengan kawan-kawan dari Komunitas film Lensa Mata juga memutar film –film yang diproduksi pada tahun 80-90-an dan juga film-film indie yang mereka buat dan pemutaran pertama pada hari ke dua hingga berakhirnya acara festival kampung cempluk. Penayangan filmnya dengan format layar tancap. Pada tanggal 20 Juli tepatnya hari ke empat Dhohir Sindu membawakan monolognya yang berjdudul SAKERA KESASAR di panggung kedua yang dibuat oleh masyarakat sendiri dengan spontanitas merespon kelompok-kelompok seni yang ada di Malang untuk tampil atas ajakan Redy Eko Prasetyo seniman musik yang tinggal di kampung tersebut. Sedang pada tanggal 21 Malam, tetap di panggung kedua dipenuhi gamelan dari UKM SENI TARI dan Karawitan (STK) Universitas Negeri Malang yang menampilkan tarian kontemporer, para penari dengan tampak indah menceritakan sebuah perjuangan. Penonton berdatangan melihat para penari yang menari di jalan depan panggung.
Puncak penampilan komunitas-komunitas seni Malang pada tanggal 20 Juli. Pertunjukan di mulai dengan penampilan musik dari Teater Pelangi Indonesia Universitas Negeri Malang yang berkalaborasi dengan kelompok musik perkusi Garuda Putih milik dusun Sumberjo para pemainnya anak muda dusun tersebut. Beberapa komposisi pun mengalun dan setelah itu sambutan dari Kepala Dusun dan Ketua Panitia. Masyarakat pun menonton dengan antusias. Sehabis itu dari panggung kedua berjalan penari-penari dari STK UM untuk menampilkan tarian yang serupa di hari sebelumnya. Berkahirnya tarian langsung disusul oleh pertunjukan Kelompok Bermain Kangkung Berseri dengan mementaskan “Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumirang Ajidarma, mereka bermain dari perempatan kampung menyusuri jalan hingga sampai pada panggung kedua. Selanjutnya di susul Monolog dari Sanggar Alkaromi dengan penampilan yang interaktif dengan penonton.
Malam bertambah larut, Charles memainkan gitar dan menyanyikan lagu ciptaanya di temani Redy Eko memetik gitar dan Hera menabuh Jembe dan pembacaan puisi dari Senna asal Jakarta, Sogeahmad, Yusri Fajar, Lyla dan Pelangi Sastra Malang dengan iringan musik pula. Dilanjutkan penampilan teater dari Teater Pelangi Indonesia Universitas Negeri Malang dan penutup acara pada malam tersebut penampilan dramtikalisasi puisi oleh Komunitas Seni Ronggowarsito Malang. Sebenarnya masih banyak seniman yang ingin tampil tetapi waktu harus membatasi kerana sudah tengah malam.
Kemeriahan tak kunjung pudar di hari berikutnya pada tanggal 22 Malam, acara pertunjukan pencak dari Panca Manunggal Sakti dengan aktraksi-aktrasi seni bela diri yang ditampilkan. Di sela pertunjukan Kepala Kecamatan ditunjuk oleh panitia untuk manyampaikan pidatonya. Dalam pidatonya mengatakan sangat apresiasi terhadap acara tersebut guna melestarikan budaya, kesenian dan semangat gotong royong agar tidak pudar. Sedang pada tanggal 23 Malam penampilan Jaranan Turonggo Joyo Mulyo milik warga dusun Suberjo adalah kelompok yang baru saja dirintis demi melestarikan seni tradisional yang juga tampil menutup acara Festival Kampung Cempluk pada tanggal 24 Juli 2011.
Festival Kampung Cempluk, memang baru dua kali terselenggara, tetapi menarik untuk diapresiasi. Tak hanya saat Festival, keseharian masyarakat Sumberjo juga menarik untuk ditelusuri tentang cara mereka melestarikan seni budaya. Mereka tak hanya punya kelompok seni musik Garuda Putih, Jaranan, Bantengan tetapi juga punya kelompok drama tradisional Ande-Ande Lumut yang tampil pada Festival Kampung Cempluk tahun sebelumnya, sayangnya pada Festival Kampung kali ini tidak tampil dikarenakan beberepa hal teknis. Di tengah himpitan pembangunan atas nama modernitas di Malang Raya, masih tersisa semangat pelestarian seni budaya. Manjadi harapan besar nantinya terwujud kampung budaya di Dusun Sumberjo.
*) Pegiat Pelangi Sastra Malang, Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Pengajar di SMK MUDA (Muhammadiyah Dua) Kota Malang.
http://sastra-indonesia.com/
Kampung, dengan adanya modernitas yang salah satunya ditandai dengan pembangunan membuatnya terpinggirkan. Lahan-lahan pertanian yang dijadikan mata pencaharian masyarakat kampung berubah menjadi perumahan mewah , rumah toko bahkan mall. Begitu pula dengan semangat gotong royong menjadi terkikis dengan sifat individualis masyarakat modern. Kesenian tradisional yang menjadi spirtualitas ekpresi masyarakat pun sudah jarang ditemui karena media-media yang lahir dari modernitas bermunculkan yang menawarkan kesenangan sesaat dan populer.
Tetapi hal itu ingin ditepis oleh masyarakat RW 2 Dusun Sumberjo Desa Kalisongo Kecamatan Dau Kabupaten Malang dengan mengadakan Festival Kampung Cempluk. Kampung yang dihimpit oleh perumahan-perumahan mewah yang dahulunya adalah lahan pertanian dan perkebunan mereka. Penamaan Kampung Cempluk berdasar latar masa lalu dari dusun tersebut yang dahulunya rumah-rumah yang terbuat dari gedhek (anyaman bambu) mengunakan penerangan lampu cempluk. Konon katanya kampung cempluk banyak terdapat pohon jambu di masa lalunya yang kini banyak berubah menjadi perumahan mewah, tempat wisata lembah dieng yang terdapat sumber air kini tak dapat dinikmati oleh masyarakat kampung cempluk dan masyarakat kini harus membeli air lewat jasa PDAM.
Festival Kampung Cempluk yang digelar dari tanggal 17 hingga 24 Juli 2011 dapat menggambarkan wajah semangat gotong royong dan pelestarian kesenian, momen tersebut juga sebagai media ekpresi estetik budaya di tengah kesibukan bekerja yang kebanyakan sebagai pekerja tukang bangunan. Arak-arakan atau pawai menandai tergelarnya acara Festival Kampung Cempluk di mana beragam kesenian tradisional yang dimiliki kampung tersebut unjuk kebolehan dari Bantengan, Jaranan, dan lain sebagainya. Sedangkan malam harinya di gang-gang terdapat kuliner masakan kampung juga pentas seni. Kepiawaian masyarakat dalam bekerja menjadi tukang bangunan tak juga ketinggalan mengekpresikan dirinya dengan membuat galeri rumah hantu dengan tarif 3000 rupiah untuk tiket masuknya.
Malang pertama pentas seni yang tampil pada acara Festival Kampung Cempluk adalah seni musik yang mengunakan perlatan gamelan dan perkusi dengan nyanyian campursarian. Panggung utama yang dibuat oleh panitia dan aparatur dusun terlihat padat oleh penonton dari masyarakat sekitar juga pengunjung dari luar kampung di hari pertama pada Minggu, 17 Juli 2011.
Tak hanya masyarakat Sumberjo RW 2 yang tampil di acara tersebut, Yani dengan kawan-kawan dari Komunitas film Lensa Mata juga memutar film –film yang diproduksi pada tahun 80-90-an dan juga film-film indie yang mereka buat dan pemutaran pertama pada hari ke dua hingga berakhirnya acara festival kampung cempluk. Penayangan filmnya dengan format layar tancap. Pada tanggal 20 Juli tepatnya hari ke empat Dhohir Sindu membawakan monolognya yang berjdudul SAKERA KESASAR di panggung kedua yang dibuat oleh masyarakat sendiri dengan spontanitas merespon kelompok-kelompok seni yang ada di Malang untuk tampil atas ajakan Redy Eko Prasetyo seniman musik yang tinggal di kampung tersebut. Sedang pada tanggal 21 Malam, tetap di panggung kedua dipenuhi gamelan dari UKM SENI TARI dan Karawitan (STK) Universitas Negeri Malang yang menampilkan tarian kontemporer, para penari dengan tampak indah menceritakan sebuah perjuangan. Penonton berdatangan melihat para penari yang menari di jalan depan panggung.
Puncak penampilan komunitas-komunitas seni Malang pada tanggal 20 Juli. Pertunjukan di mulai dengan penampilan musik dari Teater Pelangi Indonesia Universitas Negeri Malang yang berkalaborasi dengan kelompok musik perkusi Garuda Putih milik dusun Sumberjo para pemainnya anak muda dusun tersebut. Beberapa komposisi pun mengalun dan setelah itu sambutan dari Kepala Dusun dan Ketua Panitia. Masyarakat pun menonton dengan antusias. Sehabis itu dari panggung kedua berjalan penari-penari dari STK UM untuk menampilkan tarian yang serupa di hari sebelumnya. Berkahirnya tarian langsung disusul oleh pertunjukan Kelompok Bermain Kangkung Berseri dengan mementaskan “Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumirang Ajidarma, mereka bermain dari perempatan kampung menyusuri jalan hingga sampai pada panggung kedua. Selanjutnya di susul Monolog dari Sanggar Alkaromi dengan penampilan yang interaktif dengan penonton.
Malam bertambah larut, Charles memainkan gitar dan menyanyikan lagu ciptaanya di temani Redy Eko memetik gitar dan Hera menabuh Jembe dan pembacaan puisi dari Senna asal Jakarta, Sogeahmad, Yusri Fajar, Lyla dan Pelangi Sastra Malang dengan iringan musik pula. Dilanjutkan penampilan teater dari Teater Pelangi Indonesia Universitas Negeri Malang dan penutup acara pada malam tersebut penampilan dramtikalisasi puisi oleh Komunitas Seni Ronggowarsito Malang. Sebenarnya masih banyak seniman yang ingin tampil tetapi waktu harus membatasi kerana sudah tengah malam.
Kemeriahan tak kunjung pudar di hari berikutnya pada tanggal 22 Malam, acara pertunjukan pencak dari Panca Manunggal Sakti dengan aktraksi-aktrasi seni bela diri yang ditampilkan. Di sela pertunjukan Kepala Kecamatan ditunjuk oleh panitia untuk manyampaikan pidatonya. Dalam pidatonya mengatakan sangat apresiasi terhadap acara tersebut guna melestarikan budaya, kesenian dan semangat gotong royong agar tidak pudar. Sedang pada tanggal 23 Malam penampilan Jaranan Turonggo Joyo Mulyo milik warga dusun Suberjo adalah kelompok yang baru saja dirintis demi melestarikan seni tradisional yang juga tampil menutup acara Festival Kampung Cempluk pada tanggal 24 Juli 2011.
Festival Kampung Cempluk, memang baru dua kali terselenggara, tetapi menarik untuk diapresiasi. Tak hanya saat Festival, keseharian masyarakat Sumberjo juga menarik untuk ditelusuri tentang cara mereka melestarikan seni budaya. Mereka tak hanya punya kelompok seni musik Garuda Putih, Jaranan, Bantengan tetapi juga punya kelompok drama tradisional Ande-Ande Lumut yang tampil pada Festival Kampung Cempluk tahun sebelumnya, sayangnya pada Festival Kampung kali ini tidak tampil dikarenakan beberepa hal teknis. Di tengah himpitan pembangunan atas nama modernitas di Malang Raya, masih tersisa semangat pelestarian seni budaya. Manjadi harapan besar nantinya terwujud kampung budaya di Dusun Sumberjo.
*) Pegiat Pelangi Sastra Malang, Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Pengajar di SMK MUDA (Muhammadiyah Dua) Kota Malang.
10/05/11
Imaji Yang Terbingkai Nihilisme
Denny Mizhar*
http://sastra-indonesia.com/
Nada-nada membentuk satu komposisi musik mengalun dan mengalir mendorong tubuh untuk bergerak dengan beragam tingkah. Musik yang mewakili ruang imajiner sedang dicarinya oleh sekelompok orang dengan membawa bingkai berwarna hijau. Suara itu belum diketahui dari mana asalnya. Hal itulah yang membuat sekelompok orang-orang mencari. Dengan tingkah komedian yang terbentuk lewat gerak karikatural: mengalir, patah.
Pencarian akan bayangan, suara yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan mengenakan busana warna-warni, dengan gaya bermain-main (dolanan), dengan kata-kata dan gerak tubuh hingga paduan antaranya menyatu membuat tawa sesekali mengucur dari penonton yang memenuhi gedung Sasana Budaya Universitas Negeri Malang pada Rabu 06 April Kamis 07 April 2011 Pukul 19.00 WIB. Itulah adegan pembuka pertunjukan Teater Kelompok Bermain Kangkung Berseri (KBKB) Malang yang mengarap pertunjukan teater dengan mengadaptasi dari cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Aji Darma (SGA), Cerpen yang ditulis pada tahun 90’an.
Permainan grouping dan komposisi di panggung tapal kuda semakin menegang ketika ditemukannya asal suara, di sanalah bermula keteganggan antar aktor untuk mamusuki ruang di mana tempat asal suara tersebut berada, bingkai menjadi metafor tempat suara berada diekplorasi oleh aktor-aktor. Dalam keheningan dan ketenangan yang dikondisikan untuk menuju dan penjernian diri aktor masing-masing munculah penari perempuan. Penari yang menghampiri setiap aktor. Para aktor pun membayangkan dalam ruang imaji masing-masing, entah apa yang menjadi imaji para aktor. Hanya aktor sendiri yang tahu. Tetapi simbol penari menarik garis imajinasi para aktor tentang perempuan. Perempuan yang menjadi pijakan tafsir imaji sebebas-bebasnya. Kutipan di booklet:
“Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia. Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi resluiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat. Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah, yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya”.
Simbol imajinasi perempuan yang divisualisasikan lewat penari. Munkin inilah yang tak dilepas oleh sutradara dari naskah aslinya sebagai teks awal (cerpen) menuju teks kedua (pertunjukan teater). Hingga akhirnya para tokoh tersebut menemukan suara tersebut yang berada dalam kamar mandi. Ramai-ramai menengok, nihil hasilnya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh sutradara pada sesi diskusi seusai pentas berakhir “Ruang imaji tak terbatas tetapi juga terbatas akhirnya dan akhirnya menemui kekosongan”.
Pertunjukan Dilarang Bernyanyi Di Kamar Mandi oleh KBKB menitik beratkan pada unsur gerak. Adapun dialog-dialog yang dilakukan para aktor kebanyakan mengarah pada komedian hanya pada kondisi pembangunan dramatik dialog-dialong menjadi tragedi dan sedikit liris bisa dibilang secara utuh garapannya adalah komedi tragedi. Seperti dialog setelah konflik kecil saat pencarian asal suara ditemukan dan salah satu aktor memberikan peringatan agar bersabar. Para aktor pun duduk, salah satu memimpin untuk mengkondisikan kesabaran dengan konsentrasi. Kalimat dialognya berbunyi “Titik membesar, titik berubah warna, ….. titik Puspa”, dialog yang awalnya serius menjadikan penonton tertawa.
Pertunjukan teater yang disutradari oleh Agus Fauzi Ramdhan telah mengalami metamoforsis dari teks cerpen aslinya. Berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Gusmel Riyadh dalam melakukan pengadaptasian cerpen karya SGA pada judul yang sama. Gusmel hanya memindahkan teks cerpen dan memberi tambahan gambaran visualisasi di panggung: susana, latar dan pencahayaan. Dan adaptasi Gusmel yang banyak dimainkan oleh kelompok-kelompok teater. Sedangkan Agus Fauzi Ramadhan dalam melakukan adaptasi dengan cara mengabil spirit dan tema teks cerpen tersebut. Tokoh-tokoh tidak dijelaskan siapa dia, sedang teks cerpen aslinya ada beberapa tokoh diantaranya Pak RT, Hansip, Ibu-Ibu, Bapak-Bapak dan Zus. Aktor yang terdiri dari delapan laki-laki dan satu permapuan penari di antaranya: Sindu Dohir Herlianto, Muhammad Zainy, Sri Wahyudi, Andrean Fahreza Nur Wicaksono, Ervin Lukmanul Hakin, Aga Shakti Kristian, Muh. Fatoni Rohman, Avan Fauzi, dan satu penari yakni Anggar Syaf’iyah Gusti. Dalam kelompok KBKB pentas mereka adalah perdana, patut diapreseasi. Pertunjukan yang juga akan dimainkan dibeberapa kota Batu (Gd. Simonstok), Pasuruan, Surabaya, Banyuwangi, dan Bali.
Adapun catatan yang perlu diperhatikan adalah pemilihan panggung tapal kuda atau U, diperlukan pembagian ruang dan bloking yang tepat. Hal tersebut menjadi sedikit kekurangan pentas Dilarang Bernyanyi Di Kamar Mandi KBKB. Adapun hal-hal lain secarah utuh adalah pemilihan bentuk gerak yang beragam menjadikan keutuhan bentuk terganggu. Secara utuh pesan tersampaikan apa yang diharapkan sutradara lewat pertunjukan teater. Meskipun, dalam setiap penonton yang memiliki latar belakang berbeda akan tidak sama karena gangguan-gangguan kecil saluran komuniksasi yang terjadi, dari penyampai kepada penerima hal ini adalah wajar.
Malang, April 2011
*Anggota Teater Sampar Indonesia-Malang dan Pegiat Pelangi Sastra Malang
http://sastra-indonesia.com/
Nada-nada membentuk satu komposisi musik mengalun dan mengalir mendorong tubuh untuk bergerak dengan beragam tingkah. Musik yang mewakili ruang imajiner sedang dicarinya oleh sekelompok orang dengan membawa bingkai berwarna hijau. Suara itu belum diketahui dari mana asalnya. Hal itulah yang membuat sekelompok orang-orang mencari. Dengan tingkah komedian yang terbentuk lewat gerak karikatural: mengalir, patah.
Pencarian akan bayangan, suara yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan mengenakan busana warna-warni, dengan gaya bermain-main (dolanan), dengan kata-kata dan gerak tubuh hingga paduan antaranya menyatu membuat tawa sesekali mengucur dari penonton yang memenuhi gedung Sasana Budaya Universitas Negeri Malang pada Rabu 06 April Kamis 07 April 2011 Pukul 19.00 WIB. Itulah adegan pembuka pertunjukan Teater Kelompok Bermain Kangkung Berseri (KBKB) Malang yang mengarap pertunjukan teater dengan mengadaptasi dari cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Aji Darma (SGA), Cerpen yang ditulis pada tahun 90’an.
Permainan grouping dan komposisi di panggung tapal kuda semakin menegang ketika ditemukannya asal suara, di sanalah bermula keteganggan antar aktor untuk mamusuki ruang di mana tempat asal suara tersebut berada, bingkai menjadi metafor tempat suara berada diekplorasi oleh aktor-aktor. Dalam keheningan dan ketenangan yang dikondisikan untuk menuju dan penjernian diri aktor masing-masing munculah penari perempuan. Penari yang menghampiri setiap aktor. Para aktor pun membayangkan dalam ruang imaji masing-masing, entah apa yang menjadi imaji para aktor. Hanya aktor sendiri yang tahu. Tetapi simbol penari menarik garis imajinasi para aktor tentang perempuan. Perempuan yang menjadi pijakan tafsir imaji sebebas-bebasnya. Kutipan di booklet:
“Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia. Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi resluiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat. Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah, yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya”.
Simbol imajinasi perempuan yang divisualisasikan lewat penari. Munkin inilah yang tak dilepas oleh sutradara dari naskah aslinya sebagai teks awal (cerpen) menuju teks kedua (pertunjukan teater). Hingga akhirnya para tokoh tersebut menemukan suara tersebut yang berada dalam kamar mandi. Ramai-ramai menengok, nihil hasilnya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh sutradara pada sesi diskusi seusai pentas berakhir “Ruang imaji tak terbatas tetapi juga terbatas akhirnya dan akhirnya menemui kekosongan”.
Pertunjukan Dilarang Bernyanyi Di Kamar Mandi oleh KBKB menitik beratkan pada unsur gerak. Adapun dialog-dialog yang dilakukan para aktor kebanyakan mengarah pada komedian hanya pada kondisi pembangunan dramatik dialog-dialong menjadi tragedi dan sedikit liris bisa dibilang secara utuh garapannya adalah komedi tragedi. Seperti dialog setelah konflik kecil saat pencarian asal suara ditemukan dan salah satu aktor memberikan peringatan agar bersabar. Para aktor pun duduk, salah satu memimpin untuk mengkondisikan kesabaran dengan konsentrasi. Kalimat dialognya berbunyi “Titik membesar, titik berubah warna, ….. titik Puspa”, dialog yang awalnya serius menjadikan penonton tertawa.
Pertunjukan teater yang disutradari oleh Agus Fauzi Ramdhan telah mengalami metamoforsis dari teks cerpen aslinya. Berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Gusmel Riyadh dalam melakukan pengadaptasian cerpen karya SGA pada judul yang sama. Gusmel hanya memindahkan teks cerpen dan memberi tambahan gambaran visualisasi di panggung: susana, latar dan pencahayaan. Dan adaptasi Gusmel yang banyak dimainkan oleh kelompok-kelompok teater. Sedangkan Agus Fauzi Ramadhan dalam melakukan adaptasi dengan cara mengabil spirit dan tema teks cerpen tersebut. Tokoh-tokoh tidak dijelaskan siapa dia, sedang teks cerpen aslinya ada beberapa tokoh diantaranya Pak RT, Hansip, Ibu-Ibu, Bapak-Bapak dan Zus. Aktor yang terdiri dari delapan laki-laki dan satu permapuan penari di antaranya: Sindu Dohir Herlianto, Muhammad Zainy, Sri Wahyudi, Andrean Fahreza Nur Wicaksono, Ervin Lukmanul Hakin, Aga Shakti Kristian, Muh. Fatoni Rohman, Avan Fauzi, dan satu penari yakni Anggar Syaf’iyah Gusti. Dalam kelompok KBKB pentas mereka adalah perdana, patut diapreseasi. Pertunjukan yang juga akan dimainkan dibeberapa kota Batu (Gd. Simonstok), Pasuruan, Surabaya, Banyuwangi, dan Bali.
Adapun catatan yang perlu diperhatikan adalah pemilihan panggung tapal kuda atau U, diperlukan pembagian ruang dan bloking yang tepat. Hal tersebut menjadi sedikit kekurangan pentas Dilarang Bernyanyi Di Kamar Mandi KBKB. Adapun hal-hal lain secarah utuh adalah pemilihan bentuk gerak yang beragam menjadikan keutuhan bentuk terganggu. Secara utuh pesan tersampaikan apa yang diharapkan sutradara lewat pertunjukan teater. Meskipun, dalam setiap penonton yang memiliki latar belakang berbeda akan tidak sama karena gangguan-gangguan kecil saluran komuniksasi yang terjadi, dari penyampai kepada penerima hal ini adalah wajar.
Malang, April 2011
*Anggota Teater Sampar Indonesia-Malang dan Pegiat Pelangi Sastra Malang
09/03/11
Berawal dari Kesunyian
Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/
Aku membaca gerak yang berawal dari kelahiran adam dan hawa, mereka berada dalam ruang kesunyian—dekat dengan Tuhan –surga. Karena lena maka kemurkaan didapatnya. Menanggung akibatnya maka turunlah pada ruang kesunyian yang ke dua –dunia– mengenal benda-benda dengan petunjukNya. Entah itu yang disebut zaman purba atau tidak saya menganggapnya begitu: zaman purba. Prilaku anak-anak adam dalam perihal cinta yang diperebutkan, akhirnya mati satu di antaranya. Adam-hawa terus membuat keturunan-keturunan hingga saya. Entah keturunan yang ke berapa saya tak pernah menghitungnya.
Teryata kesunyian dapat melahirkan kesunyian kedua dalam rumus fisika atau matematika biasa disebut dengan aksen (a–>;a’). Penahapan dan pertambahan. Saya berfikir demikian. Dalam sejarah agama islam. Muhammad juga menerima wahyu dalam kesunyian yakni dalam goa Hiro. Wahyu pertama diturunkankan dengan ayat yang memberi isyarat untuk membaca (belajar). Akhirnya Muhammad dinobatkan sebagai Nabi. Membawa risalah dari Tuhan untuk disampaikan pada umatnya. Hingga sampai kita hari ini. Banyak yang sudah membuat pembacaan pada gerak penyampaian risalah-risalah Muhammad. Saya hanya menitik beratkan pada kondisi ruang sunyi proses terjadinya dialog Muhammad dengan Jibril.
Zaman bergerak pemahaman atas kenabian dan keTuhanan beragam. Semua berusaha mendekat pada Tuhan sebagai nilai-nilai untuk diejahwantahkan. Filsafat (mistisisme) metafisika membawa ke arah kesunyian lebih dalam. Maka lahirlah tokoh-tokoh sufi menelanjangi (memahami) diri bagaimana agar dekat dengan yang haq. Maka ruang sunyi adalah tempat persetubuhan manusia dengan Tuhan.
Saya pun membaca dan menafsir atas segala kesunyian orang-orang terdahulu. Yang merelakan diri bersepi-sepi (bertapa, bersemedi) untuk membaca kesadaran diri dengan Tuhan dan zaman. Teryata nilai-nilai ketuhanan mengisyaratkan kebajikan dan pembebasan untuk menuju manusia yang sempurna. Yakni manusia yang pembebas: memiliki visi kenabian (profetik).
Maka ruang sunyi memerlukan ruang ramai (segala aktivitas kehidupan manusia). Kenapa? Hal tersebut untuk menebarkan hikmah dari kontlempalsi atau bersemedi agar apa yang diperoleh dapat juga dinikmati manusia-manusia lainnya selain dirinya. Jika itu adalah tulisan maka akan dapat dibaca dan direnungkan atau mungkin memberi inspirasi pada pembacanya.
Kesunyian adalah ruang privat bagi seseorang. Maka jika mengharap kesunyian bisa jadi harus menyendiri. Berjibaku dengan segala daya yang dipunyai. Atau mungkin ruang sunyi adalah ruang pengasingan bagi seseorang hingga dapat melahirkan renungan yang mengetarkan pembaca. Maka sebenarnya ruang sunyi dapat diciptakan sendiri atau bisa jadi karena keadaan dan kondisi yang menghedaki lahirnya ruang sunyi.
Kalaupun melihat mereka yang menempah diri dalam kesunyian tetapi hasil dari renungan mereka tak bisa dipungkiri didapat dari melihat realitas sekitarnya atau melihat sejarah yang berjalan. Keaktivan dalam perjalanan sejarah juga menjadi penting. Keaktivan sejarah dapat dilakukan dengan membaca buku-buku, menapaktilasi benda-benda sejarah, tempat-tempat bersejarah, berdialektika dengan pelaku sejarah dan ikut juga nimbrung dalam pergolakan sejarah yang sedang terjadi atau proses pembuatan sejarah. Sejarah diri sendiri ataupun sejarah dinamika sosial, pemikiran, politik bangsa. Itu lah ruang keramian hiruk pikuk para pejalan kaki menapaki kehidupan. Maka segalanya tidak ada yang lahir dari ruang hampa. Dalam gerak kesunyian menuju ke keramaian atau sebaliknya diperlukan kematangan diri dalam tempaan yang terus menerus hingga daya tak ada, jika berharap memiliki makna dalam hidup.
Malang, 2010
http://sastra-indonesia.com/
Aku membaca gerak yang berawal dari kelahiran adam dan hawa, mereka berada dalam ruang kesunyian—dekat dengan Tuhan –surga. Karena lena maka kemurkaan didapatnya. Menanggung akibatnya maka turunlah pada ruang kesunyian yang ke dua –dunia– mengenal benda-benda dengan petunjukNya. Entah itu yang disebut zaman purba atau tidak saya menganggapnya begitu: zaman purba. Prilaku anak-anak adam dalam perihal cinta yang diperebutkan, akhirnya mati satu di antaranya. Adam-hawa terus membuat keturunan-keturunan hingga saya. Entah keturunan yang ke berapa saya tak pernah menghitungnya.
Teryata kesunyian dapat melahirkan kesunyian kedua dalam rumus fisika atau matematika biasa disebut dengan aksen (a–>;a’). Penahapan dan pertambahan. Saya berfikir demikian. Dalam sejarah agama islam. Muhammad juga menerima wahyu dalam kesunyian yakni dalam goa Hiro. Wahyu pertama diturunkankan dengan ayat yang memberi isyarat untuk membaca (belajar). Akhirnya Muhammad dinobatkan sebagai Nabi. Membawa risalah dari Tuhan untuk disampaikan pada umatnya. Hingga sampai kita hari ini. Banyak yang sudah membuat pembacaan pada gerak penyampaian risalah-risalah Muhammad. Saya hanya menitik beratkan pada kondisi ruang sunyi proses terjadinya dialog Muhammad dengan Jibril.
Zaman bergerak pemahaman atas kenabian dan keTuhanan beragam. Semua berusaha mendekat pada Tuhan sebagai nilai-nilai untuk diejahwantahkan. Filsafat (mistisisme) metafisika membawa ke arah kesunyian lebih dalam. Maka lahirlah tokoh-tokoh sufi menelanjangi (memahami) diri bagaimana agar dekat dengan yang haq. Maka ruang sunyi adalah tempat persetubuhan manusia dengan Tuhan.
Saya pun membaca dan menafsir atas segala kesunyian orang-orang terdahulu. Yang merelakan diri bersepi-sepi (bertapa, bersemedi) untuk membaca kesadaran diri dengan Tuhan dan zaman. Teryata nilai-nilai ketuhanan mengisyaratkan kebajikan dan pembebasan untuk menuju manusia yang sempurna. Yakni manusia yang pembebas: memiliki visi kenabian (profetik).
Maka ruang sunyi memerlukan ruang ramai (segala aktivitas kehidupan manusia). Kenapa? Hal tersebut untuk menebarkan hikmah dari kontlempalsi atau bersemedi agar apa yang diperoleh dapat juga dinikmati manusia-manusia lainnya selain dirinya. Jika itu adalah tulisan maka akan dapat dibaca dan direnungkan atau mungkin memberi inspirasi pada pembacanya.
Kesunyian adalah ruang privat bagi seseorang. Maka jika mengharap kesunyian bisa jadi harus menyendiri. Berjibaku dengan segala daya yang dipunyai. Atau mungkin ruang sunyi adalah ruang pengasingan bagi seseorang hingga dapat melahirkan renungan yang mengetarkan pembaca. Maka sebenarnya ruang sunyi dapat diciptakan sendiri atau bisa jadi karena keadaan dan kondisi yang menghedaki lahirnya ruang sunyi.
Kalaupun melihat mereka yang menempah diri dalam kesunyian tetapi hasil dari renungan mereka tak bisa dipungkiri didapat dari melihat realitas sekitarnya atau melihat sejarah yang berjalan. Keaktivan dalam perjalanan sejarah juga menjadi penting. Keaktivan sejarah dapat dilakukan dengan membaca buku-buku, menapaktilasi benda-benda sejarah, tempat-tempat bersejarah, berdialektika dengan pelaku sejarah dan ikut juga nimbrung dalam pergolakan sejarah yang sedang terjadi atau proses pembuatan sejarah. Sejarah diri sendiri ataupun sejarah dinamika sosial, pemikiran, politik bangsa. Itu lah ruang keramian hiruk pikuk para pejalan kaki menapaki kehidupan. Maka segalanya tidak ada yang lahir dari ruang hampa. Dalam gerak kesunyian menuju ke keramaian atau sebaliknya diperlukan kematangan diri dalam tempaan yang terus menerus hingga daya tak ada, jika berharap memiliki makna dalam hidup.
Malang, 2010
16/01/11
Aku tersesat di Rambutmu, dalam Kitab Suciku
Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/
adinda, kemana kau pergi.
rambutmu berjatuhan di jembatan rinduku.
baru saja aku dengar lantunan ayat-ayat suci
dari jejak kakimu. seketika itu, kau menghilang.
aku lihat kelelawar berterbangan di kamarku.
kelelawarkah yang membawamu pergi dari
rumahku. senja datang, aku kesepian.
mataku terpejam, hari menjadi malam.
kamarku kosong, langit malam menanti.
ada bintang sendiri, ketika rembulan tak datang.
angin tak berkutik sembunyi di bibir hidungku.
aku tarik nafas panjang agar kau datang kembali.
tetapi rembulan yang datang. padahal, bukan
rembulan yang kuharapkan. sebab aku bukanlah bintang.
aku melihat bidadari menari bersama datangnya rembulan.
bintang menyambutnya dengan menyodorkan tangannya
pada bidadari. aku masih tetap sendiri, dengan nafas yang
terjenggal menantimu. aku melihat wajahmu ada di punggung
bidadari sambil menggeraikan rambutmu.
kenapa kau tak turun adinda, teriakku.
gerak tubuh bidadari sedang bercinta dengan rembulan
dan bintang, ada kau di sana. rupanya kau ikut bercinta
dengan mereka. aku terdiam dengan kecemburuan.
memukul kepala berkali-kali hingga tumpah menjadi
sebuah peta yang gelap tak bisa terbaca. walau lampu
penerang memberikan cahaya dalam kamarku.
adinda, kalau saja kau katakan lebih awal tentang percintaan.
tentunya aku akan mengadu pada rerumputan yang bergoyang
di savana, saat kita sedang bercinta dulu.
kau menulis kata-kata puisi yang membuatku sakit hati.
kau kirim dengan menyambung rambutmu menjadi temali.
adinda, harum kamarku saat kau disini. kini tak ada lagi.
aku membuka kitab suci. ada rambutmu. apakah ini
jembatan yang menghubungkan surga buatku.
apakah kau menungguku di surga bersama bidadari.
ah, aku menyusuri huruf hijaiyah mencari dirimu
di sela harokat-harokat yang menjadi bunyian indah
di dadaku. aku bertemu maryam. ia menghiburku
dengan kesetiaannya pada tuhan. hingga tak mau ada
lelaki bercinta dengannya, kecuali tuhan. ah, apakah tuhan
laki-laki tanyaku. dia akan menjelma pada siapa saja yang sepi
hatinya merindukan peluknya. maka datanglah tuhan
mencari hati yang tergetar. aku pun tergetar, katanya.
maryam mengusirku sebab ia akan bercinta dengan tuhan.
aku pun melihat tuhan dalam diri maryam.
Aku masih saja memotong-motong huruf
yang ada dalam kitab suci. ada aisyah sembunyi
sedang bernyanyi bersama muhammad, takut
tuhan akan tahu. bahwa ia sedang selingkuh.
desah nafas aisyah seperti nafasku yang tersenggal.
aisyah mendekat padaku, memberikan nafas
sejenggal padaku meninggalkan muhammad.
lalu pergi mengantarkanku pada fatimah. diam-
diam ia membawa selimut buatku yang kedinginan
tanpa pelukmu, adinda.
adinda, dimana kamu? tubuhku lelah mencarimu.
datang khotijah padaku, membelikan aku sepeda
untuk mencarimu. aku mengayuh terus hingga
perutku lapar. aku temui masitah. ia menjadi menu
makan siangku. dalam tangis yang matang tubuhnya
ia memberikan aku semangkuk rindu, mengantarkanku
pada rabi’ah. ah, aku tak mau. aku masih belum mampu,
untuk tak bersama dengamu, adinda. rabi’ah mengusirku
melemparkan aku pada tengah-tengah rambutmu dan
memberikan aku api dan air. aku tak bisa. masih belum bisa,
aku tak bisa lihat wajahmu, aku tersesat di rambutmu, adinda.
bidadari yang mengajakmu bercinta dengan rembulan
dan bintang menepuk dadaku. aku diam. ada kamu di kitab
suciku. dan rambutmu patah. aku tersesat olehmu.
Malang, 20 November 2010
http://sastra-indonesia.com/
adinda, kemana kau pergi.
rambutmu berjatuhan di jembatan rinduku.
baru saja aku dengar lantunan ayat-ayat suci
dari jejak kakimu. seketika itu, kau menghilang.
aku lihat kelelawar berterbangan di kamarku.
kelelawarkah yang membawamu pergi dari
rumahku. senja datang, aku kesepian.
mataku terpejam, hari menjadi malam.
kamarku kosong, langit malam menanti.
ada bintang sendiri, ketika rembulan tak datang.
angin tak berkutik sembunyi di bibir hidungku.
aku tarik nafas panjang agar kau datang kembali.
tetapi rembulan yang datang. padahal, bukan
rembulan yang kuharapkan. sebab aku bukanlah bintang.
aku melihat bidadari menari bersama datangnya rembulan.
bintang menyambutnya dengan menyodorkan tangannya
pada bidadari. aku masih tetap sendiri, dengan nafas yang
terjenggal menantimu. aku melihat wajahmu ada di punggung
bidadari sambil menggeraikan rambutmu.
kenapa kau tak turun adinda, teriakku.
gerak tubuh bidadari sedang bercinta dengan rembulan
dan bintang, ada kau di sana. rupanya kau ikut bercinta
dengan mereka. aku terdiam dengan kecemburuan.
memukul kepala berkali-kali hingga tumpah menjadi
sebuah peta yang gelap tak bisa terbaca. walau lampu
penerang memberikan cahaya dalam kamarku.
adinda, kalau saja kau katakan lebih awal tentang percintaan.
tentunya aku akan mengadu pada rerumputan yang bergoyang
di savana, saat kita sedang bercinta dulu.
kau menulis kata-kata puisi yang membuatku sakit hati.
kau kirim dengan menyambung rambutmu menjadi temali.
adinda, harum kamarku saat kau disini. kini tak ada lagi.
aku membuka kitab suci. ada rambutmu. apakah ini
jembatan yang menghubungkan surga buatku.
apakah kau menungguku di surga bersama bidadari.
ah, aku menyusuri huruf hijaiyah mencari dirimu
di sela harokat-harokat yang menjadi bunyian indah
di dadaku. aku bertemu maryam. ia menghiburku
dengan kesetiaannya pada tuhan. hingga tak mau ada
lelaki bercinta dengannya, kecuali tuhan. ah, apakah tuhan
laki-laki tanyaku. dia akan menjelma pada siapa saja yang sepi
hatinya merindukan peluknya. maka datanglah tuhan
mencari hati yang tergetar. aku pun tergetar, katanya.
maryam mengusirku sebab ia akan bercinta dengan tuhan.
aku pun melihat tuhan dalam diri maryam.
Aku masih saja memotong-motong huruf
yang ada dalam kitab suci. ada aisyah sembunyi
sedang bernyanyi bersama muhammad, takut
tuhan akan tahu. bahwa ia sedang selingkuh.
desah nafas aisyah seperti nafasku yang tersenggal.
aisyah mendekat padaku, memberikan nafas
sejenggal padaku meninggalkan muhammad.
lalu pergi mengantarkanku pada fatimah. diam-
diam ia membawa selimut buatku yang kedinginan
tanpa pelukmu, adinda.
adinda, dimana kamu? tubuhku lelah mencarimu.
datang khotijah padaku, membelikan aku sepeda
untuk mencarimu. aku mengayuh terus hingga
perutku lapar. aku temui masitah. ia menjadi menu
makan siangku. dalam tangis yang matang tubuhnya
ia memberikan aku semangkuk rindu, mengantarkanku
pada rabi’ah. ah, aku tak mau. aku masih belum mampu,
untuk tak bersama dengamu, adinda. rabi’ah mengusirku
melemparkan aku pada tengah-tengah rambutmu dan
memberikan aku api dan air. aku tak bisa. masih belum bisa,
aku tak bisa lihat wajahmu, aku tersesat di rambutmu, adinda.
bidadari yang mengajakmu bercinta dengan rembulan
dan bintang menepuk dadaku. aku diam. ada kamu di kitab
suciku. dan rambutmu patah. aku tersesat olehmu.
Malang, 20 November 2010
29/11/10
Membaca Catatan Aktivis; Membaca Sastra Perlawanan*
Denny Mizhar**
http://sastra-indonesia.com/
“Hanya ada satu kata: Lawan!”
Penggalan Sajak di atas mengingatkan saya pada sosok Wiji Thukul, seniman progresif yang hingga kini masih menjadi misteri di mana keberadaanya. Sajaknya yang berjudul “Tentang Gerakan” tersebut melegenda. Tidak hanya Thukul tapi ada 12 orang lainya yang hilang yakni Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, DediHamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Ucok MunandarSiahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nase (3 Desember 2008, Direktorat Informasi Dan Media). Tetapi di kalangan seniman atau sastrawan yang terkenal adalah Wiji Thukul karena telah banyak menciptakan puisi-puisi perlawanan. Inspirasi yang didapat dari pembacaan realitas di sekitarnya juga kondisi politik pada zamannya. Sikap kritis dan keikutsertaan pada organisasi yang menentang pemeritahan pada zaman orde baru membuat mereka hidup tidak nyaman, dikejar-kejar, disiksa hingga dihilangkan dengan paksa.
Persoalan penghilangan orang masih menjadi PR bagi bangsa Indonesia, sebab hingga kini kasus HAM, penghilangan orang masih belum menemui jawabannya, siapa dalang dan pelaku di balik penghilangan paksa tersebut. Bahkan seakan-akan dibiarkan mengambang. Dapat diamati pada kasus Munir aktivis HAM dari Kota Batu.
Berdekatan dengan Kota Munir. Tepat pada tanggal 24 September 1973 di Malang, Petrus Bima Anugrah lahir dari pasangan Misiati dan Dionyus Utomo Rahardjo. Bimped pangilan yang diberikannya oleh teman-temannya, memang tidak seterkenal Whiji Thukul dalam dunia sastra Indonesia. Tetapi jika kita melihat kehidupanya yang tak tampak teryata banyak juga tulisan-tulisannya yang “nyastra”. Bahkan sejak SMA Bimpet sudah menulis keresahan dan pandangan hidupnya. Hal tersebut terdapat pada kaos olaraga yang awalnya sama keluarganya dijadikan kain pembersih motor ternyata terdapat kata-kata yang puitis.
“Bapakku bilang jadilah anak baik, ibuku bilang jadilah anak saleh, kakakku bilang, lindungi teman-temanmu. Mungkin aku adalah satu di antara seribu anak negeri yang disusui oleh caci maki. Dibesarkan dalam kandang sapi, diasuh oleh mantri. Karena aku anak-anak zaman, zaman di mana hati nurani hanyalah robot tanpa gigi” (Dokumentasi Keluarga Bima)
Tulisan Bimpet tersebut adalah “nyastra”: ada diksi, metafora, dan nilai kemanusiaan atau upaya kritik terhadap kemanusiaan. Sastra mensyaratkan persoalan kehidupan kemanusiaan. Hal tersebut telah dilakukan oleh Bimped ketika masih duduk di SMA. Tentu tidak hanya di kaos olahraga yang berwarna biru itu saja tulisan-tulisannya dapat di lacak. Munkin saja dibuku-buku pelajan atau media-media lainya. Bimped juga menulis surat pada Ibunya semasa kepindahannya di Jakarta.
“Meskipun Bima enggak menjelaskan pun, ibu sudah tahu kalau Bima memang sayang sama ibu. Tidak biasa bagi adat Jawa kita mengungkapkan perasaan sayang itu kepada seseorang, lebih-lebih orang tuanya. Bagi adat Jawa, terbatas sekali. Rasa pekewuh, takut salah, lebih mendominasi ekspresi anak……Ada saatnya yang tepat untuk mengungkapkan perasaan sayang kepada seorang ibu. Mungkin, saat-saat seperti ini yang cocok bagi Bima untuk bilang sayang sama ibu. Hingga suatu saat yang lain pun demikian keadaanya.” (Dokumentasi Keluarga Bima)
Penggalan surat tersebut, memberi gambaran akan kritik terhadap budaya feodal. Tradisi yang harus selalu tunduk pada orang tua, atasan, pimpinan dan tidak boleh membantah walaupun orang tua , atasan, pimpinan tersebut salah. Hal tersebut pada zaman orde baru sangat lumrah dilakukan oleh para orang tua, atasan atau pimpinan. Sehingga ada jarak, hingga membuat daya kritis melemah. Kalaupun berani melawan, pasti dapat teguran atau peringatan bahwa apa yang dilakukannya adalah salah dan tidak etis. Tetapi Bimpet mengutarakan pada Ibunya lewat surat tersebut, keinginannya adalah mendekatkan jarak antara anak dan Ibu.
Kekritisan Bimped dan untuk menjalani hidup tidak biasapun diutarakan pada Ibunya. Bahwa Ia tidak ingin menjalani hidup yang linier: lahir, hidup dan mati. Bimped ingin hidupnya memiliki makna. Hal tersebut yang menjadikannya tidak seperti mahasiswa kebanyakan. Hanya kuliah dan pulang ke kost, tetapi Bimped ingin melakukan hal-hal yang penting. Diantaranya keaktifan pada oragnisasi SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi) dan PRD (Partai Rakyat Demokatik). Kesadaran Bimped untuk memperjuangkan demokarasi menyala-nyala di tengah-tengah bungkaman orde baru yang diktaktor yang akhirnya tumbang juga dengan menyisakan luka hingga kini belum sembuh.
Gambaran hidup yang akan ditempuh oleh Bimped dapat dilihat dalam penggalan surat berikut: “Bima enggak pengen jadi seperti kucing. Kucing itu dari lahir, bayi masih nyusu, belajar jalan, belajar cari makan, kemudian besar, kawin dan sesudah itu mati. Begitu terus. Manusia kan enggak cukup lahir, besar, kawin, dan mati begitu saja. Bima pengin lebih dari itu. Kebanyakan seorang anak diharapkan semenjak lahir, disusui, disekolahkan, kalo lulus diharapakan dapat kerja, hidup mapan, jadi orang baik-baik, kawin dan mati. Kalo hanya seperti itu saja, banyak contohnya. Dan itu sah-sah saja. Persoalannya, bagi Bima enggak cukup disitu saja persoalan hidup ini. Banyak yang jauh lebih penting,…” (Dokumnetsi Keluaga Bima)
Kebermaknaan untuk orang banyak, itulah yang dianggap Bimped banyak hal yang jauh lebih penting. Bimped tengah mengutarakan pada Ibunya “Bima pengen masa muda Bima betul-betul bermakna.” (Dokumentasi Keluaga Bima).
Bimped juga tidak hanya kritis, tetapi relegius. Kerelegiusannya dapat kita simak pada surat balasan yang ditujukan pada sobatnya yang ditulis ketika didalam penjara. Bimped mengingatkan pada kawannya bahwa kitab sucinya harus terus dibaca. Tentu Injil kitab sucinya karena agamanya adalah Kristen Katolik. “…Oh ya sobat ku, dari surat kau (yang panjang lebar itu) kemarin, ada satu hal yang cukup mengusik ketenangan dan mebuat aku merenung kembali (tentunya sebelum ketangkap) kata-kata kau dalam surat itu bikin aku selama 2 minggu cari refrensinya, ke sana ke mari cari-cari buku, baca dan berdiskusi dengan kawan-kawan dan masih juga belum ketemu, tapi suatu hari ketemu juga. Dimana? Di Injil sobatku, yang selama ini sering kita tinggalkan. Benar adanya, yang kamu tulis itu, sobatku. Bahwa kita melakukan tugas masing-masing karena kita MENCINTAI HIDUP!…” (AMIGOZ, Edisi 12/ Tahun IV/ September 1998). Kereligiusannya tampak juga pada puisi-puisi yang mengandung niali teologi pembebasan: Engkaulah Allah yang memihak orang melarat/ bukan pada orang yang gila harta Engkaulah Allah yang berdiri pada di sisi orang yang tertindas/ bukan pada orang yang gila kuasa/ Engkaulah Allah yang berbelas kasih pada orang yang hina/bukan pada orang yang gila hormat (Bapa Kami Yang Ada di Surga).
Pada peringatan kelahiran Bimped semoga menjadi momen mengenang pemuda-pemuda yang idealis dan semangat perlawanannya tak pernah padam hingga membawa perubahan pada bangsa. Maka patut kita kenang dalam sejarah bangsa Indonesia bukan malahan dihapus. Tidak hanya gerakan dan perlawanan patut dikenang. Tetapi cacatan-catatannya perlu dikaji kembali sebagai upaya pembacaan sastra perlawanan, sastra yang memihak, atau sastra pembebasan yang selalu memberikan inspirasi dan memberi daya dorong untuk bersikap kritis serta mengungkap realiatas yang tidak berpihak pada kemanusiaan. Semoga Bimped dan juga kawan-kawannya tenang dan bahagia di manapun berada, kasih Tuhan bersamanya.
*Tulisan ini di buat saat menjelang acara pelangi sastra malang [on stage] #4 dalam rangka memperingati ulang tahun Bimped.
**Pegiat Pelangi Sastra Malang
Malang, 24 September 2010
http://sastra-indonesia.com/
“Hanya ada satu kata: Lawan!”
Penggalan Sajak di atas mengingatkan saya pada sosok Wiji Thukul, seniman progresif yang hingga kini masih menjadi misteri di mana keberadaanya. Sajaknya yang berjudul “Tentang Gerakan” tersebut melegenda. Tidak hanya Thukul tapi ada 12 orang lainya yang hilang yakni Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, DediHamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Ucok MunandarSiahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nase (3 Desember 2008, Direktorat Informasi Dan Media). Tetapi di kalangan seniman atau sastrawan yang terkenal adalah Wiji Thukul karena telah banyak menciptakan puisi-puisi perlawanan. Inspirasi yang didapat dari pembacaan realitas di sekitarnya juga kondisi politik pada zamannya. Sikap kritis dan keikutsertaan pada organisasi yang menentang pemeritahan pada zaman orde baru membuat mereka hidup tidak nyaman, dikejar-kejar, disiksa hingga dihilangkan dengan paksa.
Persoalan penghilangan orang masih menjadi PR bagi bangsa Indonesia, sebab hingga kini kasus HAM, penghilangan orang masih belum menemui jawabannya, siapa dalang dan pelaku di balik penghilangan paksa tersebut. Bahkan seakan-akan dibiarkan mengambang. Dapat diamati pada kasus Munir aktivis HAM dari Kota Batu.
Berdekatan dengan Kota Munir. Tepat pada tanggal 24 September 1973 di Malang, Petrus Bima Anugrah lahir dari pasangan Misiati dan Dionyus Utomo Rahardjo. Bimped pangilan yang diberikannya oleh teman-temannya, memang tidak seterkenal Whiji Thukul dalam dunia sastra Indonesia. Tetapi jika kita melihat kehidupanya yang tak tampak teryata banyak juga tulisan-tulisannya yang “nyastra”. Bahkan sejak SMA Bimpet sudah menulis keresahan dan pandangan hidupnya. Hal tersebut terdapat pada kaos olaraga yang awalnya sama keluarganya dijadikan kain pembersih motor ternyata terdapat kata-kata yang puitis.
“Bapakku bilang jadilah anak baik, ibuku bilang jadilah anak saleh, kakakku bilang, lindungi teman-temanmu. Mungkin aku adalah satu di antara seribu anak negeri yang disusui oleh caci maki. Dibesarkan dalam kandang sapi, diasuh oleh mantri. Karena aku anak-anak zaman, zaman di mana hati nurani hanyalah robot tanpa gigi” (Dokumentasi Keluarga Bima)
Tulisan Bimpet tersebut adalah “nyastra”: ada diksi, metafora, dan nilai kemanusiaan atau upaya kritik terhadap kemanusiaan. Sastra mensyaratkan persoalan kehidupan kemanusiaan. Hal tersebut telah dilakukan oleh Bimped ketika masih duduk di SMA. Tentu tidak hanya di kaos olahraga yang berwarna biru itu saja tulisan-tulisannya dapat di lacak. Munkin saja dibuku-buku pelajan atau media-media lainya. Bimped juga menulis surat pada Ibunya semasa kepindahannya di Jakarta.
“Meskipun Bima enggak menjelaskan pun, ibu sudah tahu kalau Bima memang sayang sama ibu. Tidak biasa bagi adat Jawa kita mengungkapkan perasaan sayang itu kepada seseorang, lebih-lebih orang tuanya. Bagi adat Jawa, terbatas sekali. Rasa pekewuh, takut salah, lebih mendominasi ekspresi anak……Ada saatnya yang tepat untuk mengungkapkan perasaan sayang kepada seorang ibu. Mungkin, saat-saat seperti ini yang cocok bagi Bima untuk bilang sayang sama ibu. Hingga suatu saat yang lain pun demikian keadaanya.” (Dokumentasi Keluarga Bima)
Penggalan surat tersebut, memberi gambaran akan kritik terhadap budaya feodal. Tradisi yang harus selalu tunduk pada orang tua, atasan, pimpinan dan tidak boleh membantah walaupun orang tua , atasan, pimpinan tersebut salah. Hal tersebut pada zaman orde baru sangat lumrah dilakukan oleh para orang tua, atasan atau pimpinan. Sehingga ada jarak, hingga membuat daya kritis melemah. Kalaupun berani melawan, pasti dapat teguran atau peringatan bahwa apa yang dilakukannya adalah salah dan tidak etis. Tetapi Bimpet mengutarakan pada Ibunya lewat surat tersebut, keinginannya adalah mendekatkan jarak antara anak dan Ibu.
Kekritisan Bimped dan untuk menjalani hidup tidak biasapun diutarakan pada Ibunya. Bahwa Ia tidak ingin menjalani hidup yang linier: lahir, hidup dan mati. Bimped ingin hidupnya memiliki makna. Hal tersebut yang menjadikannya tidak seperti mahasiswa kebanyakan. Hanya kuliah dan pulang ke kost, tetapi Bimped ingin melakukan hal-hal yang penting. Diantaranya keaktifan pada oragnisasi SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi) dan PRD (Partai Rakyat Demokatik). Kesadaran Bimped untuk memperjuangkan demokarasi menyala-nyala di tengah-tengah bungkaman orde baru yang diktaktor yang akhirnya tumbang juga dengan menyisakan luka hingga kini belum sembuh.
Gambaran hidup yang akan ditempuh oleh Bimped dapat dilihat dalam penggalan surat berikut: “Bima enggak pengen jadi seperti kucing. Kucing itu dari lahir, bayi masih nyusu, belajar jalan, belajar cari makan, kemudian besar, kawin dan sesudah itu mati. Begitu terus. Manusia kan enggak cukup lahir, besar, kawin, dan mati begitu saja. Bima pengin lebih dari itu. Kebanyakan seorang anak diharapkan semenjak lahir, disusui, disekolahkan, kalo lulus diharapakan dapat kerja, hidup mapan, jadi orang baik-baik, kawin dan mati. Kalo hanya seperti itu saja, banyak contohnya. Dan itu sah-sah saja. Persoalannya, bagi Bima enggak cukup disitu saja persoalan hidup ini. Banyak yang jauh lebih penting,…” (Dokumnetsi Keluaga Bima)
Kebermaknaan untuk orang banyak, itulah yang dianggap Bimped banyak hal yang jauh lebih penting. Bimped tengah mengutarakan pada Ibunya “Bima pengen masa muda Bima betul-betul bermakna.” (Dokumentasi Keluaga Bima).
Bimped juga tidak hanya kritis, tetapi relegius. Kerelegiusannya dapat kita simak pada surat balasan yang ditujukan pada sobatnya yang ditulis ketika didalam penjara. Bimped mengingatkan pada kawannya bahwa kitab sucinya harus terus dibaca. Tentu Injil kitab sucinya karena agamanya adalah Kristen Katolik. “…Oh ya sobat ku, dari surat kau (yang panjang lebar itu) kemarin, ada satu hal yang cukup mengusik ketenangan dan mebuat aku merenung kembali (tentunya sebelum ketangkap) kata-kata kau dalam surat itu bikin aku selama 2 minggu cari refrensinya, ke sana ke mari cari-cari buku, baca dan berdiskusi dengan kawan-kawan dan masih juga belum ketemu, tapi suatu hari ketemu juga. Dimana? Di Injil sobatku, yang selama ini sering kita tinggalkan. Benar adanya, yang kamu tulis itu, sobatku. Bahwa kita melakukan tugas masing-masing karena kita MENCINTAI HIDUP!…” (AMIGOZ, Edisi 12/ Tahun IV/ September 1998). Kereligiusannya tampak juga pada puisi-puisi yang mengandung niali teologi pembebasan: Engkaulah Allah yang memihak orang melarat/ bukan pada orang yang gila harta Engkaulah Allah yang berdiri pada di sisi orang yang tertindas/ bukan pada orang yang gila kuasa/ Engkaulah Allah yang berbelas kasih pada orang yang hina/bukan pada orang yang gila hormat (Bapa Kami Yang Ada di Surga).
Pada peringatan kelahiran Bimped semoga menjadi momen mengenang pemuda-pemuda yang idealis dan semangat perlawanannya tak pernah padam hingga membawa perubahan pada bangsa. Maka patut kita kenang dalam sejarah bangsa Indonesia bukan malahan dihapus. Tidak hanya gerakan dan perlawanan patut dikenang. Tetapi cacatan-catatannya perlu dikaji kembali sebagai upaya pembacaan sastra perlawanan, sastra yang memihak, atau sastra pembebasan yang selalu memberikan inspirasi dan memberi daya dorong untuk bersikap kritis serta mengungkap realiatas yang tidak berpihak pada kemanusiaan. Semoga Bimped dan juga kawan-kawannya tenang dan bahagia di manapun berada, kasih Tuhan bersamanya.
*Tulisan ini di buat saat menjelang acara pelangi sastra malang [on stage] #4 dalam rangka memperingati ulang tahun Bimped.
**Pegiat Pelangi Sastra Malang
Malang, 24 September 2010
19/08/10
Gerak Kepribadian Diri dalam Kumala Pusaka Kasih
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Pergerakan sastra di Lamongan cukuplah dinamis. Hal tersebut dapat kita lihat pada agenda-agenda sastra di Lamongan, walaupun menurut pengamatan saya masih belum masif. Tidak hanya agenda sastra, tetapi penerbitan buku menjadi media pembacaan atas dinamisnya sastra di Lamongan. Ada penerbit Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, LA Rose. Baru-baru saja penerbit Pustaka Pujangga, Penerbit yang digawangi oleh penyair Nurel Javissyarqi menerbitkan buku-buku baru. Kebanyakan buku yang diterbitkan adalah buku sastra. Salah satunya adalah Novel Kumala Pusaka Kasih Karya A. Rodhi Murtadho, penulis yang karyanya sudah banyak terjilid dalam buku-buku kumpulan sastra.
Sehabis membaca Novel Kumala Pusaka Kasih tersebut ada beberapa hal yang mengelitik buat saya. Di antaranya alur cerita. Hal tersebut serupa yang diungkap oleh Bambang Kempling sastrawan Lamongan dalam komentarnya di caver belakang buku: “Imajinasi yang kuat bahkan terkadang nyasar ke dalam dunia jungkir balik dengan metafor-metafor yang dapat menjadikan pembaca terperangah….”. Dari kejutan-kejutan yang di hadirkan oleh penulis yang membuat alurnya berbolak-balik. Hal tersebut membuat rasa penasaran menguat. Bagaimana nasib para tokoh dalam kisah novel tersebut.
Selain alur cerita yang menjadi menarik dan dapat dijadikan kajian secara psikologis adalah nasib tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan bagaimana kepribadian yang bermuasal dari masa lalu hinggap dalam perjalanan masa-masa ke depan tokoh-tokohnya. Untuk memulai mengungkapnya hasil dari pembacaan, baiknya saya tulisankan puisi yang berjudul “Anak” karya Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi:
ANAK
Anak-mu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup
yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kau busur,
dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
Puisi di atas mengantarkan saya atas pemahaman dari masalah-masalah yang timbul dari konflik-konflik para tokoh. Bahwa ternyata masa kanak adalah masa yang menentukan bagaimana anak tersebut memiliki kepribadian diri di masa depanya. Dalam Novel Kumala Pusaka Kasih, mengisahkan seorang anak yang lahir dari keluarga harmonis pada awalnya tetapi selanjutnya menjadi berantakan. Ketika keharmonisan seorang Bapak dan Ibu tak dirasakannya lagi. Bapak selingkuh dengan sekertarisnya di perusahaan yang dipimpin. Ibu pun tak mau kalah membalas dengan perselingkuhan juga. Namanya anak kecil di ajak ke mana saja sama orang tuanya pasti akan menurut. Yang diinginkan adalah senang dan dapat mainan. Kumajas nama anak itu. Dengan segala ingatan masa lalu yang mempengaruhi kepribadiaannya. Hingga dia bertemu Eliza lalu bersetubuh dengannya. Tetapi tidak hanya bercinta dengan Eliza, Kumajas juga berhubungan badan dengan Hendry teman sekerjanya. Eliza ternyata punya masa lalu yang tidak indah. ketika kecil dia mendapat julukan nonok artinya kemaluan perempuan. Eliza ditinggal oleh bapaknya, sebab itu dia seakan tidak bisa memunculkan rasa hormat pada laki-laki. Dia ingin seperti Ibunya ketika melihat ibunya bercinta sama bapaknya ketika Bapaknya masih ada. Dan Eliza melihat Ibunya mengalahkan Bapaknya hingga tak berdaya.
Tak ubahnya Hendry juga memiliki masa kanak yang aneh. Dia mengidap kleptomani. Yakni mencuri untuk kesenangan meskipun barang yang dicurinya tidak ada guna bagi dirinya. Kedua orang tua Hendry membawa ke psikiater hingga dukun tapi tak ada kesembuhan. Malah paranormal yang hendak menyembuhkan memberikan nasehat, hanya orang tuanya sendiri yang mampu menyembuhkan penyakitnya
.
Masa kecil memberi bekas luka ketika hari telah beranjak dewasa. Saya melihat pada dialog Kumajas pada Ibunya “Lantas, aku meniru siapa? aku berasal dari kalian, kehidupan pertamaku dan mengukirkanku dengan jiwa kalian” (hal 25). Pembrontakan Kumajas adalah bentuk dari pengakuannya bahwa yang menjadikan dirinya begitu adalah masa kanaknya dan yang mengajarkan dirinya tidak bermoral dalah orang tuanya.
Nah, dari situ saya dapat menarik kesimpulan tentang teorinya Sigmund Freud tentang masa-masa dalam pertumbuhan yang berpengaruh dalam kepribadian seseorang. Hal senada juga diungkapkan oleh Supaat I. Lathief penulis buku sastra “Eksistensialisme-Mistisisme Religius” dalam komentarnya atas novel tersebut bahwa novel Kumala Pusaka Kasih berusaha membongkar abnormalitas sex dan kehidupan pribadi kumajas dengan teori Sigmund Freud.
Sebuah karya sastra memang realitas yang hidup. Dihidupi tokoh-tokoh yang bersuara dalam ceritanya. Bisa jadi hal tersebut adalah cermin kondisi yang diamati ataupun dialami penulis. Maka, teks sastra pun dapat dijadikan kajian untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi dalam arus budaya yang terjadi melingkupi penulis. Bisa jadi juga hasil dari perenungan-perenungan penulis yang memunculkan ide dan gagasan-gagasan baru serta memberi petunjuk bagi pembacanya atau bagi ilmuwan sastra ataupun non sastra. Karena ilmu itu holistik tidak parsial. seperti halnya Novel ini, bentuknya sastra yang merangkai fenomena psikologis.
Novel Kumala Pusaka Kasih yang di tulis oleh A. Rodhi Murtadho menarik untuk dibaca dan dijadikan pengayaan kajian psikologi serta maramaikan gerak sastra Indonesia khusunya novel.
Judul: Kumala Pusaka Kasih
Penulis: A. Rodhi Murtadho
Cetakan: I, Februari 2010
Hal : 12 X 19 cm 196 Hlm
Penerbit : PUstaka puJAngga
http://www.sastra-indonesia.com/
Pergerakan sastra di Lamongan cukuplah dinamis. Hal tersebut dapat kita lihat pada agenda-agenda sastra di Lamongan, walaupun menurut pengamatan saya masih belum masif. Tidak hanya agenda sastra, tetapi penerbitan buku menjadi media pembacaan atas dinamisnya sastra di Lamongan. Ada penerbit Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, LA Rose. Baru-baru saja penerbit Pustaka Pujangga, Penerbit yang digawangi oleh penyair Nurel Javissyarqi menerbitkan buku-buku baru. Kebanyakan buku yang diterbitkan adalah buku sastra. Salah satunya adalah Novel Kumala Pusaka Kasih Karya A. Rodhi Murtadho, penulis yang karyanya sudah banyak terjilid dalam buku-buku kumpulan sastra.
Sehabis membaca Novel Kumala Pusaka Kasih tersebut ada beberapa hal yang mengelitik buat saya. Di antaranya alur cerita. Hal tersebut serupa yang diungkap oleh Bambang Kempling sastrawan Lamongan dalam komentarnya di caver belakang buku: “Imajinasi yang kuat bahkan terkadang nyasar ke dalam dunia jungkir balik dengan metafor-metafor yang dapat menjadikan pembaca terperangah….”. Dari kejutan-kejutan yang di hadirkan oleh penulis yang membuat alurnya berbolak-balik. Hal tersebut membuat rasa penasaran menguat. Bagaimana nasib para tokoh dalam kisah novel tersebut.
Selain alur cerita yang menjadi menarik dan dapat dijadikan kajian secara psikologis adalah nasib tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan bagaimana kepribadian yang bermuasal dari masa lalu hinggap dalam perjalanan masa-masa ke depan tokoh-tokohnya. Untuk memulai mengungkapnya hasil dari pembacaan, baiknya saya tulisankan puisi yang berjudul “Anak” karya Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi:
ANAK
Anak-mu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup
yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kau busur,
dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
Puisi di atas mengantarkan saya atas pemahaman dari masalah-masalah yang timbul dari konflik-konflik para tokoh. Bahwa ternyata masa kanak adalah masa yang menentukan bagaimana anak tersebut memiliki kepribadian diri di masa depanya. Dalam Novel Kumala Pusaka Kasih, mengisahkan seorang anak yang lahir dari keluarga harmonis pada awalnya tetapi selanjutnya menjadi berantakan. Ketika keharmonisan seorang Bapak dan Ibu tak dirasakannya lagi. Bapak selingkuh dengan sekertarisnya di perusahaan yang dipimpin. Ibu pun tak mau kalah membalas dengan perselingkuhan juga. Namanya anak kecil di ajak ke mana saja sama orang tuanya pasti akan menurut. Yang diinginkan adalah senang dan dapat mainan. Kumajas nama anak itu. Dengan segala ingatan masa lalu yang mempengaruhi kepribadiaannya. Hingga dia bertemu Eliza lalu bersetubuh dengannya. Tetapi tidak hanya bercinta dengan Eliza, Kumajas juga berhubungan badan dengan Hendry teman sekerjanya. Eliza ternyata punya masa lalu yang tidak indah. ketika kecil dia mendapat julukan nonok artinya kemaluan perempuan. Eliza ditinggal oleh bapaknya, sebab itu dia seakan tidak bisa memunculkan rasa hormat pada laki-laki. Dia ingin seperti Ibunya ketika melihat ibunya bercinta sama bapaknya ketika Bapaknya masih ada. Dan Eliza melihat Ibunya mengalahkan Bapaknya hingga tak berdaya.
Tak ubahnya Hendry juga memiliki masa kanak yang aneh. Dia mengidap kleptomani. Yakni mencuri untuk kesenangan meskipun barang yang dicurinya tidak ada guna bagi dirinya. Kedua orang tua Hendry membawa ke psikiater hingga dukun tapi tak ada kesembuhan. Malah paranormal yang hendak menyembuhkan memberikan nasehat, hanya orang tuanya sendiri yang mampu menyembuhkan penyakitnya
.
Masa kecil memberi bekas luka ketika hari telah beranjak dewasa. Saya melihat pada dialog Kumajas pada Ibunya “Lantas, aku meniru siapa? aku berasal dari kalian, kehidupan pertamaku dan mengukirkanku dengan jiwa kalian” (hal 25). Pembrontakan Kumajas adalah bentuk dari pengakuannya bahwa yang menjadikan dirinya begitu adalah masa kanaknya dan yang mengajarkan dirinya tidak bermoral dalah orang tuanya.
Nah, dari situ saya dapat menarik kesimpulan tentang teorinya Sigmund Freud tentang masa-masa dalam pertumbuhan yang berpengaruh dalam kepribadian seseorang. Hal senada juga diungkapkan oleh Supaat I. Lathief penulis buku sastra “Eksistensialisme-Mistisisme Religius” dalam komentarnya atas novel tersebut bahwa novel Kumala Pusaka Kasih berusaha membongkar abnormalitas sex dan kehidupan pribadi kumajas dengan teori Sigmund Freud.
Sebuah karya sastra memang realitas yang hidup. Dihidupi tokoh-tokoh yang bersuara dalam ceritanya. Bisa jadi hal tersebut adalah cermin kondisi yang diamati ataupun dialami penulis. Maka, teks sastra pun dapat dijadikan kajian untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi dalam arus budaya yang terjadi melingkupi penulis. Bisa jadi juga hasil dari perenungan-perenungan penulis yang memunculkan ide dan gagasan-gagasan baru serta memberi petunjuk bagi pembacanya atau bagi ilmuwan sastra ataupun non sastra. Karena ilmu itu holistik tidak parsial. seperti halnya Novel ini, bentuknya sastra yang merangkai fenomena psikologis.
Novel Kumala Pusaka Kasih yang di tulis oleh A. Rodhi Murtadho menarik untuk dibaca dan dijadikan pengayaan kajian psikologi serta maramaikan gerak sastra Indonesia khusunya novel.
Judul: Kumala Pusaka Kasih
Penulis: A. Rodhi Murtadho
Cetakan: I, Februari 2010
Hal : 12 X 19 cm 196 Hlm
Penerbit : PUstaka puJAngga
18/03/10
Sajak-Sajak Persembahan Denny Mizhar
Kepada Sang Maestro Topeng Malangan
Kau Dalam Kenangan
;Mbah Karimun
Merindu waktu
kau sematkan roh
pada kayu berwajah dirimu.
Lembut tanganmu
membelah, membedah
garis-garis kehidupan
dengan rancak gemulai.
Nampak detak jantung mu
dalam bingkai foto
ketika aku pandang
saat kau menari.
Kau bangun sumber air hayati
dari guratanmu
merubah wujudmu
menjadi burung melintasi awan
;maka terbacalah
dirimu di garis cakrawala.
Di sini aku tunggu
berduaan denganmu
di tepi dunia yang beda
menggambar wajahmu
dengan harum kamboja.
Jarak antara kau
aku cukup jauh
kau tiupkan nyawa
melekat di wajahku
memainkan rindu di panggungmu.
Malang, 16 Februari 2010
Tarian Kepulangan
;Mbah Karimun
Langit gerimis
Pekat hitam
Menurunkan malaikat.
Bumi pun terbela
Mengantar pada malam duka
Kepergian nafas sukma.
Kau melintas disebuah tarian kepulangan
Memelukku yang resah akan kota bersegala warna
:Sempurnalah wajah ciptaanmu.
Kau yang pergi
kau yang hidup
kau yang menari.
Langit membuka pintu
panggung sunyi untukmu
harum kamboja pesonamu.
Malang, 15 Februari 2010
Membangun Duka
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
berkali-kali aku merenungi duka cita semalam,
sehabis angin mewartakan rintik hujan di mataku.
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
air mataku tak sanggup lagi tumpah,
sehabis nasib patah dari masaku.
Menggenggam tanah,
bau harum melati terasa.
menyimpan prasasti misteri tangan-Nya.
Membangun kembali rumahku,
dengan tanah yang aku genggam.
menghiasnya kamboja dan wangi serimpi
Rumahku tersusun
dari duka mendalam.
Sehabis kau pergi,
aku meninggalkan nisanmu.
Malang, 2010
Di Pintu Surga
terbuka sudah
rahasia surga
kau mengetuk
dengan lekuk tubuhmu
berduan sepasang wajah
melangkah masuk dengan tarian
Malang, Februari 2010
*) Mbah Karimun: Sang Maestro Topeng Malangan, Beliau telah telah berpulang kerumah Tuhan pada14/2/2010
Kau Dalam Kenangan
;Mbah Karimun
Merindu waktu
kau sematkan roh
pada kayu berwajah dirimu.
Lembut tanganmu
membelah, membedah
garis-garis kehidupan
dengan rancak gemulai.
Nampak detak jantung mu
dalam bingkai foto
ketika aku pandang
saat kau menari.
Kau bangun sumber air hayati
dari guratanmu
merubah wujudmu
menjadi burung melintasi awan
;maka terbacalah
dirimu di garis cakrawala.
Di sini aku tunggu
berduaan denganmu
di tepi dunia yang beda
menggambar wajahmu
dengan harum kamboja.
Jarak antara kau
aku cukup jauh
kau tiupkan nyawa
melekat di wajahku
memainkan rindu di panggungmu.
Malang, 16 Februari 2010
Tarian Kepulangan
;Mbah Karimun
Langit gerimis
Pekat hitam
Menurunkan malaikat.
Bumi pun terbela
Mengantar pada malam duka
Kepergian nafas sukma.
Kau melintas disebuah tarian kepulangan
Memelukku yang resah akan kota bersegala warna
:Sempurnalah wajah ciptaanmu.
Kau yang pergi
kau yang hidup
kau yang menari.
Langit membuka pintu
panggung sunyi untukmu
harum kamboja pesonamu.
Malang, 15 Februari 2010
Membangun Duka
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
berkali-kali aku merenungi duka cita semalam,
sehabis angin mewartakan rintik hujan di mataku.
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
air mataku tak sanggup lagi tumpah,
sehabis nasib patah dari masaku.
Menggenggam tanah,
bau harum melati terasa.
menyimpan prasasti misteri tangan-Nya.
Membangun kembali rumahku,
dengan tanah yang aku genggam.
menghiasnya kamboja dan wangi serimpi
Rumahku tersusun
dari duka mendalam.
Sehabis kau pergi,
aku meninggalkan nisanmu.
Malang, 2010
Di Pintu Surga
terbuka sudah
rahasia surga
kau mengetuk
dengan lekuk tubuhmu
berduan sepasang wajah
melangkah masuk dengan tarian
Malang, Februari 2010
*) Mbah Karimun: Sang Maestro Topeng Malangan, Beliau telah telah berpulang kerumah Tuhan pada14/2/2010
06/11/08
Puisi-Puisi Denny Mizhar
http://suara-sunyi.blogspot.com/
PUNCAK BUKIT
Ada kabut membelah kesunyian hati
Menghantarkan pada lembah-lembah kehidupan
Serumpun pepohonan membisikkan tanya tak terungkap
Membelai menanggalkan suasana duka
Rerintik hujan menyambut dengan senyum dingin
Meruntuhkan gelisah hati yang mati
Menggenang air mensucikan langkah-langkah kaki
Puncak bukit menjadi saksi teriak lantang sang pujangga
Menggumamkan bait-bait puisi untuk didedahkan
Menelusuri hutan mencari jawab akan kehidupan dalam kesunyian
Berdiam diri sambil menari-nari ungkapkan rasa hati
Memanggil-manggil dari kejauhan
Angin hadir temani pengapnya hati
Memanggil-mangil dari kejauhan
Sejuk hati tidurkan obsesi
Sebuah Café Buku
Kantukku tak tertahan dalam perjalanan.
Mataku menuntun ke warung kopi.
Kupesan segelas kopi,
dan kulihat sederetan buku tertumpuk rapi.
Seorang perempuan penjaga berwajah gelisah
menyuguhkan kopi sambil berkata,
“silakan dibaca-baca bukunya, sambil ngopi”.
Kantukku hilang, daya ingin tahuku mengembang.
Mataku berlahan terarah pada sebuah tulisan
“Café buku”. Beralih pandanganku pada lantai,
tak ada jejak kaki “rupanya jarang pengunjung”
dalam hatiku berkata sambil kutuang kopi ke lepek.
Segelas kopi sudah habis masuk ke mataku.
Deretan kalimat membanjiri daya tahuku.
Segera kutinggalkan perempuan berwajah gelisah,
dengan sorot mata, berharap aku kembali lagi.
Membuka lembaran buku yang tertumpuk rapi,
mendedahkan peta jalan kehidupan.
Biarkan Saja
Aku adalah musafir sedang kehausan, menyempatkan waktuku untuk meneguk air kehidupan.
Biarkan ku isi diriku, dengan apa yang aku lihat, supaya aku bisa memahami tentang apa yang aku lakukan.
Bila saja aku minum air keruh, jangan pernah ada yang mengusik,
itu adalah prosesku merasakan kehidupan.
Aku adalah musafir sedang mencari siapa diriku.
Janganlah kau memasang penghalang, untuk jalanku.
Bila saja diriku tak seperti apa yang kau ingini, tetap saja itu adalah diriku sedang mencari.
Malang, 29 November 2007
PUNCAK BUKIT
Ada kabut membelah kesunyian hati
Menghantarkan pada lembah-lembah kehidupan
Serumpun pepohonan membisikkan tanya tak terungkap
Membelai menanggalkan suasana duka
Rerintik hujan menyambut dengan senyum dingin
Meruntuhkan gelisah hati yang mati
Menggenang air mensucikan langkah-langkah kaki
Puncak bukit menjadi saksi teriak lantang sang pujangga
Menggumamkan bait-bait puisi untuk didedahkan
Menelusuri hutan mencari jawab akan kehidupan dalam kesunyian
Berdiam diri sambil menari-nari ungkapkan rasa hati
Memanggil-manggil dari kejauhan
Angin hadir temani pengapnya hati
Memanggil-mangil dari kejauhan
Sejuk hati tidurkan obsesi
Sebuah Café Buku
Kantukku tak tertahan dalam perjalanan.
Mataku menuntun ke warung kopi.
Kupesan segelas kopi,
dan kulihat sederetan buku tertumpuk rapi.
Seorang perempuan penjaga berwajah gelisah
menyuguhkan kopi sambil berkata,
“silakan dibaca-baca bukunya, sambil ngopi”.
Kantukku hilang, daya ingin tahuku mengembang.
Mataku berlahan terarah pada sebuah tulisan
“Café buku”. Beralih pandanganku pada lantai,
tak ada jejak kaki “rupanya jarang pengunjung”
dalam hatiku berkata sambil kutuang kopi ke lepek.
Segelas kopi sudah habis masuk ke mataku.
Deretan kalimat membanjiri daya tahuku.
Segera kutinggalkan perempuan berwajah gelisah,
dengan sorot mata, berharap aku kembali lagi.
Membuka lembaran buku yang tertumpuk rapi,
mendedahkan peta jalan kehidupan.
Biarkan Saja
Aku adalah musafir sedang kehausan, menyempatkan waktuku untuk meneguk air kehidupan.
Biarkan ku isi diriku, dengan apa yang aku lihat, supaya aku bisa memahami tentang apa yang aku lakukan.
Bila saja aku minum air keruh, jangan pernah ada yang mengusik,
itu adalah prosesku merasakan kehidupan.
Aku adalah musafir sedang mencari siapa diriku.
Janganlah kau memasang penghalang, untuk jalanku.
Bila saja diriku tak seperti apa yang kau ingini, tetap saja itu adalah diriku sedang mencari.
Malang, 29 November 2007
13/09/08
Puisi-Puisi Denny Mizhar
GENERASI CATWALK
Lenggak-lenggok diatas permadani kehidupan
Gemerlapan aksesoris melekat pada tubuh moleknya
Menawarkan pesona keindahan yang mengundang hasrat
Itulah wajah generasiku!
Generasiku…
Generasi mode
Generasiku…
Generasi catwalk
Di sudut gang, di ujung jalan
Menari-nari tebar pesona harumnya trend
Di kotak kaca, digemerlapnya malam
Ramai generasi catwalk
Generasi mewah penuh kemapanan!
Lamongan, September 2006
HIBURAN MALAM
Suara gendang berkumandang
Lupakan derita sementara
Petikan melodi gitar
Hibur hati yang lara
Berjoged tuk lepaskan sesaknya kehidupan
Wajah riang bergandengan tanggan lupakan perselisihan
Menari dan bernyanyi dalam hiburan malam
Andai saja hidup selalu begini?
Malang, Januari 2007
PERJUMPAAN
Jagat maya menghampiri anak manusia, meruang didalamnya
Berkisah akan laku hidup yang meninggalkan jejak luka nan canda
Inilah kisah perjumpaan maya anak manusia meninggalkan tanya nyata,
Pada labirin-labirin yang asing tak nyata
Malang, 5 Agustus 2007
Lenggak-lenggok diatas permadani kehidupan
Gemerlapan aksesoris melekat pada tubuh moleknya
Menawarkan pesona keindahan yang mengundang hasrat
Itulah wajah generasiku!
Generasiku…
Generasi mode
Generasiku…
Generasi catwalk
Di sudut gang, di ujung jalan
Menari-nari tebar pesona harumnya trend
Di kotak kaca, digemerlapnya malam
Ramai generasi catwalk
Generasi mewah penuh kemapanan!
Lamongan, September 2006
HIBURAN MALAM
Suara gendang berkumandang
Lupakan derita sementara
Petikan melodi gitar
Hibur hati yang lara
Berjoged tuk lepaskan sesaknya kehidupan
Wajah riang bergandengan tanggan lupakan perselisihan
Menari dan bernyanyi dalam hiburan malam
Andai saja hidup selalu begini?
Malang, Januari 2007
PERJUMPAAN
Jagat maya menghampiri anak manusia, meruang didalamnya
Berkisah akan laku hidup yang meninggalkan jejak luka nan canda
Inilah kisah perjumpaan maya anak manusia meninggalkan tanya nyata,
Pada labirin-labirin yang asing tak nyata
Malang, 5 Agustus 2007
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita