Tampilkan postingan dengan label Asarpin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Asarpin. Tampilkan semua postingan

19/07/21

Politikus dan Sastrawan

Asarpin
radarlampung.co.id
 
Sastrawan dan politikus itu hanya profesi. Bisa juga disebut pekerjaan walau mungkin tak pernah ada sastrawan dan politikus yang menulis pekerjaan di KTP-nya sebagai sastrawan atau politikus. Sebagai profesi, keduanya bukan dua pekerjaan yang berlawanan. Itu seharusnya. Tapi dalam praktiknya tak jarang justru sering dipertentangkan.

01/06/14

Nurel Javissyarqi: Waktu di Sayap Malaikat

Asarpin

Seperti jiwa manusia aku tak terikat
Pada lambang-lambang bilangan-
Aku tak terikat pada masa dan keluasan
Pada pergantian dan tahun kabisat

–Muhammad Iqbal, Nyanyian Waktu

22/11/12

Feminis yang Terluka oleh Komunis

Asarpin
Sastra-indonesia.com

Pada tahun 1987, Partai Komunis Vietnam menyerukan kepada para penulis dan jurnalis untuk menghilangkan kekakuan, gaya formal realisme sosialis yang telah dipaksakan kepada mereka, dan meneguhkan kembali peran mereka sebagai pemegang kontrol sosial. Dalam atmosfir keterbukaan inilah, sebagian sastrawan dan intelektual Vietnam meresponnya dengan beragam karya sastra, film, novel dan teater yang secara terang-terangan mulai melontarkan kritik atas kebijakan partai Komunis.

04/07/12

Standardisasi Pendidikan

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Standardisasi pendidikan tak jarang membawa efek penyeragaman. Apa-apa yang beda dan karena itu kreatif, hendak distandarkan. Cara berpikir standar semacam ini sudah lama dijalankan, dan terus dilanjutkan dengan model-model yang sepintas beda tapi tampaknya mengungkapkan hal yang sama.

01/04/12

Berlin dan harga sebuah Kebebasan

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Kebebasan merupakan persoalan yang, paling tidak, sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri. Sejak Nabi Adam turun ke Bumi lalu diikuti para nabi berikutnya, persoalan kebebasan kerap kali muncul dalam wujudnya yang berbeda. Sejak filosof Stoa hingga filosof pascamodernisme, masalah kebebasan telah menyita waktu para filosof profesional untuk merumuskan secara jelas apa makna di balik kata ini.

21/02/12

Melampaui Teologi Multikultural

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Kajian tentang teologi multikultur selama ini tak memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan kehidupan umat beragama. Basis berteologi dengan acuan pada nilai-nilai kultural lokal tidak relevan dan hanya berpotensi mengaburkan analisis relasi kuasa yang ada. Kehendak untuk membangun struktur-struktur lokal dalam bingkai pluralitas dalam masyarakat multikultural secara tidak langsung melanjutkan bentuk-bentuk kajian yang kurang membumi.

13/01/12

Ujian Nasional sebagai Panggung Sandiwara

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Kalau saja para guru kita tak lagi dilibatkan dalam merumuskan sistem pendidikan nasional, maka yang akan terjadi adalah sandiwara belaka. Yang paling tahu kondisi masing-masing siswa di sekolah adalah para guru. Tapi di Indonesia justru agak aneh. Menteri pendidikan sampai kepala dinas pendidikan merasa lebih tahu dan lebih pintar ketimbang para guru dan kepala sekolah. Mereka merumuskan sistem pendidikan dengan merasa paling tahu padahal hanya sok tahu.

18/11/11

Spiritualitas Waktu

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Spiritualitas Waktu adalah pertarungan hidup mati umat manusia. Masalah sastra menyangkut masalah paling eksistensial tentang bagaimana mengolah ladang waktu, menguasai ladang waktu, dan manusia bisa jaya terhadap waktu. Jika kalian gagal melawan sang Waktu, berarti kalian mengalami kekalahan terhadap maut. Inilah pertanyaan religius paling gawat, kata Romo mangun dalam Sastra dan Religiusitas, tapi juga problem si atheis yang paling sulit dijawab. Setelah manusia membunuh Waktu, hidupnya terasa lebih ringan, karena seolah-olah ia telah lepas dari beban sang Waktu, tetapi sekaligus hidupnya lebih berat, karena dia sendiri harus menjadi Waktu.

Nietzsche membunuh Sang Kala dan menemui Kala baru melalui tiga metamorfosis: dari seekor unta lahir seekor singa; dari seekor singa menjadi anak-anak. Jorge Luis Borges mengungkai teka-teki persamaan perempuan dan cermin. Sutardji melahirkan tiga metamorfosis, o-amuk-kapak, yang tak menepati janji. Brandon Rope menampilkan komidi tentang Penyihir Yang Menari, yang mengenakan pakaian dari kulit binatang yang berhiaskan rasi bintang dan bersanding dengan anjing kesayangan, yang menunjang pandangannya tentang adanya metamorfosis seni yang lahir dari tangan pertama, sebagai hasil jawaban terhadap misi kenabian untuk berkomunikasi di atas kemampuan dunia fana.

Tuhan melahirkan metamorfosis tiga waktu primordial. Bukti-bukti arkeologi dalam metamorfosis waktu ketiga telah melenyapkan segala praduga tak berdata yang dituduhkan oleh manusia yang menganggap seni-religi-sains sebagai gambaran tiga singa saling memangsa, sekadar rongsokan di atas bendi tua yang ditarik oleh seekor unta yang hanya pasrah menerima.

“Ada renungan yang panjang terutama ketika waktu diukur dan dibekukan dalam satuan-satuan menit. Seakan-akan ada rentetan statis yang lantas dianggap sebagai waktu”. Ini kata-kata Bambang Sugiharto ketika memahami waktu dari konteks filsafat.
Memang, seperti kata Bambang mengingatkan, kita hidup dalam waktu. Karena itu, dimensi waktu kini jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Waktu menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang Waktu atau waktu: waktu sebagai angka hari, bulan dan tahun sejarah, maupun waktu dalam arti makna dan pemahaman. Waktu geometris, waktu kalenderis, waktu antropologis, waktu mistis, waktu abstrak, waktu simbolis.

Waktu bertaut-erat dengan sejarah; serangkaian kejadian atau peristiwa yang dalam pandangan tradisionalisme tak dapat berulang. Waktu lampau membeku dalam sejarah dan tak dapat kembali. Musim durian tahun 2007 hanya sekali walau tahun berikutnya berkali-kali terjadi musim, namun berbeda hari, bulan atau tahun. Dan waktu tak mungkin berputar mengikuti lingkaran siklus yang sama.

Namun waktu menjadi lain ketika dilihat dari konteks makna dan pemahaman. Dengan kata lain, waktu kualiatif. Alexis Carrel mengingatkan pentingnya waktu kualitatif, karena banyak persoalan manusia dan alam raya tak terkait secara kuantitatif. Martin Heidegger memahami waktu sebagai yang sambung-menyambung antara masalalu, masakini, masadepan dan berputar-putar tanpa awal dan akhir.

Kini waktu ibarat komidi putar di taman ria yang mengelilingi lingkaran yang sama. Ratusan tahun lampau al-Hallaj telah menyebut tofik waktu sebagai lingkaran titik-titik primordial yang berputar terus-menerus dalam kesatuan antara masalampau, masakini, dan masadepan. Manusia memahami luncuran waktu sebagai proses yang tak cuma mengenai masa lalu, melainkan masakini dan juga masa depan.

Kalangan fisika kuantum konon mampu kembali ke waktu 1 miliar tahun lampau. Seorang kritikus pernah menganalogikan tahun 2007 melalui mesin waktu lewat penafsiran atas waktu dalam sajak Padamu Jua Amir Hamzah. Sang kritikus itu, kalau tidak salah, pernah mengatakan begini: skala waktu geologi kini mencakup masa jutaan, bahkan miliaran tahun, karena Bumi sendiri telah berumur sekitar 4,5 miliar tahun. “Bicara waktu untuk kosmos atau alam semesta malah lebih menggetarkan karena menjangkau sedikitnya 13 miliar tahun”, katanya dengan sangat percaya diri.

Dalam kurun yang jauh melampaui rentang waktu hidup Amir Hamzah, katanya, manusia yang cerdas dan terus mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikiran untuk memahami rahasia alam, kini bisa kembali ke masa miliaran tahun silam. Bahkan, kalau umur kosmos disebut 13 miliar tahun, katanya yang tampak sangat matematis, maka dengan berbekal ilmu fisika kuantum, manusia dapat mereka ulang kejadian-kejadian di dekat masa 13 miliar tahun silam itu, bukan saja satu detik setelah alam semesta lahir, tetapi bahkan seperjuta-triliun-triliun-triliun detik. Luar biasa! Haruskah kita menyalahkan pencapaian sains yang ilmiah ini?

Sekali lagi, waktu ibarat komidi putar yang berkeliling menyapa kita, terus berproses mengelilingi lingkaran tanpa pusat dan tanpa sumbu atau orbit. Octavio Paz mengaitkan kenyataan puisi modern dengan waktu sebagai sebuah perulangan, yang juga tanpa awal dan tanpa akhir, terus-menerus mencari persilangan waktu, memusar ke satu titik pertemuan yang melebur kala silam, kini dan kelak.

Dalam konsep Hindu, ada istilah Mahakala (waktu tanpa akhir), yang mengatasi waktu dan siklus perputaran kelahiran kembali. Dalam kerangka reinkarnasi, waktu merupakan roda perputaran yang menyedihkan dari eksistensi di dunia yang fenomenal, yang bukan dunia nyata, melainkan maya. Karena itu mereka mencoba mengatasi apa yang imortal dan yang abadi dengan yang berubah dan tak selesai.

Dalam ajaran panca maha butha misalnya, semua makhluk hidup pada akhirnya akan terurai dan terberai atas unsur alam pembentuk kehidupan: air, api, logam dan eter. Kematian adalah siklus. Satu hidup saja memang tidak abadi, karena hidup masih sering ditata dalam prasangka kefanaan, tetapi rangkaian siklus kehidupan dan reinkarnasi dalam Hindu, itulah makna keabadian sejati.

Goenawan Mohamad, seingat saya, pernah menekankan waktu ekstasis dalam hubungannya dengan sejarah interior ketimbang sejarah eksterior, terutama dalam esai Kota, Waktu, Puisi. Ini sebaliknya dari pandangan Albert Camus, bahkan gagasan Jose Rizal—novelis terkemuka Filipina—dalam tilikan Anderson, di mana waktu dipersepsi sesuai perhitungan kalender, di mana ruang dan waktu interior justru bergeser ke ruang dan waktu eksterior, bukan sebaliknya.

Contoh menarik tentang perubahan waktu dalam konteks kebudayaan masyarakat Bugis lama pernah ditunjukkan dengan sangat menarik oleh Christian Pelras dalam esai Pendahuluan Siklus La Galigo yang Tak Dikenal. Sejak dahulu, bagi sebagian besar masyarakat Bugis terkait dengan soal waktu yang mistis melalui sejumlah ritus suci. Waktu berhubungan erat dengan upacara sinkretis. Namun ketiga Islam masuk, maka mulailah konsep waktu dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal yang gaib disesuaikan dengan konsep Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah paham filsafat matematis yang menekankan hanya satu sebagai bilangan pasti.

Sejak kekuasaan raja-raja Bugis dihapus dan Islam jadi patokan di segala bidang, gejala-gejala sinkretisme dan mistisisme mulai tergusur. Demikian pula dalam penanggalan Jawa kuna. Bilangan mistis, magis, dan nonrasional, akhirnya berubah sejak Sultan Mataram berkuasa dan masuknya Islam ke bumi Nusantara. Berbagai corak mistis dan magis serta misteri-misteri yang terkait dengan bilangan, telah tergusur oleh gerakan pemurnian dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar masyarakat bahari Nusantara memiliki pemahaman tentang dunia ruang dan waktu yang spiritualis, dengan daya-daya kekuatan supranatural—terlepas apakah itu berupa yang ilahi atau setan.

Dalam astronomi Babilonia yang digerakkan oleh ras Sumaeria dan Akkadia, ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan yang non-rasional. Pemikiran astronomi dan matematis pada awalnya masih diliputi oleh suasana pemikiran magis-mistis. Ruang dan waktu dalam sistem astronomi awal tidak berupa ruang dan waktu teoritis yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis yang bisa diukur. Astronomi lebih dikenal sebagai astrologi. Karena astronomi tak mungkin lahir tanpa sosoknya yang mitis dan magis , yaitu sosok astrologi.

Selama ber-abad-abad sifat ini bertahan, bahkan menurut Ernest Cassirer dalam An Essay on Man, masih terdapat dalam kurun pertama abad ke-20. Namun, kesulitan-kesulitan mendasar untuk mengekspresikan ruang dan waktu abstrak dan simbolis, akhirnya dialami juga oleh para filsuf. Fakta bahwa ada ruang abstrak merupakan penemuan terpenting dari pemikiran Yunani.

Namun para pemikir Yunani, kata Cassirer, masih kesulitan menjelaskan corak pemikiran logisnya. Sama seperti aljabar simbolis Babilonia masih teramat elementer dan sederhana. Maka larilah para filsuf Yunani ke dalam pernyataan-pernyataan paradoksal. Demokritos menganggap ruang ”bukan hal ada”. Newton mengingatkan agar tak mencampur-adukkan ruang matematika murni dengan ruang pengalaman inderawi. Tugas filsafat justru mengabstraksikan data-data dari penglaman inderawi ini.

Para pemikir Berkeley menampik gagasan Newton tentang ruang matematika murni sebagai yang tak lebih dari ruang imajiner juga; suatu khayalan dalam pikiran manusia. Weinz Werner menganalisa gagasan ruang dan waktu masyarakat primitif dan secara angkuh menyimpulkan bahwa: ruang dan waktu manusia primitif kurang objektif, kurang terukur, kurang abstrak, sifatnya yang egosentris atau antromorfis, yang fisiognomis-dinamis yang tak sesuai dengan teori ruang dan waktu ilmiah. Dengan ruang geometris, katanya, maka manusia mendiami ruang universal.

Descartes berangkat dari penemuan besar di bidang matematika yang melahirkan cita-cita ideal mathesis universalis yang bermetamorfosis menjadi cogito ergo sum. Kant memisahkan pengertian antara ruang dan waktu, di mana ruang adalah bentuk pengalaman luar manusiawi, sementara waktu adalah bentuk pengalaman dalam. Demikian pula Leibniz.

Pemikiran astronomi dan matematika yang masih menyimpan kandungan metaforis dan mistis, akhirnya berubah menjadi sangat rasionalis dan khaostis. Astronomi mengugusur astrologi. Kuantitatif dalam matematika telah menggusur kualitatif. Maka ruang dan waktu mitis dan magis pun disisihkan oleh ruang dan waktu geometris. Padahal para penemu pertama astronomi dan geometri tak bermaksud meretas selubung mistik dengan teori ilmiah. Baru kemudian ketika astronomi dan pemikiran matematis Babilonia yang mistis telah beralih ke Yunani dan Arab-muslim, maka ruang dan waktu yang mistis digusur oleh yang serba-rasionalis.

Pencarian religius orang Hindu lama mengikuti jejak spiritual yang membuat mereka keluar dari siklus dan keterikatan waktu dari eksistensi, dan untuk mencapai keadaan eksistensi yang abadi, imortal dan bahagia. Budha mirip dengan pandangan Hindu yang menggambarkan keadaaan nirvana sebagai arus waktu melalui gagasan kelahiran kembali. Hanya saja, dalam kosmologi Budha, alam semesta adalah siklis, dan arus waktu kelahiran kembali itu tenyata melahirkan parinirwana—fase ketika tidak ada lagi reinkarnasi atau terhentinya kelahiran kembali.

Masyarakat ”primitif” mengenal waktu sebagai tak bisa dipisahkan dengan keseluruhan aktivitas sosial dan fenomena ekologis dan meteorologis. Ada waktu yang suci dan diangap terjadi secara periodik, dan waktu biasa tanpa kaitan dengan sesuatu yang magis dan religius. Mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-ikhwal yang mereka percayai sebagai sejarah suci dalam wujud tindakan simbolis dan ritual. Sebagian mereka memaknai waktu dengan mengacu pada siklus hidup individu dan sosial. Siklus waktu dapat dilihat konteks geneologi, konteks mitos, dan legenda-legenda asal-usul kehidupan alam semesta.

Edward W. Said dalam Orientalisme, khususnya pada bagian tentang geografi imajinatif dan representasi dalam konteks mentimurkan timur, mengatakan begini: sampai dengan pertengahan abad ke-18, para orientalis adalah cendekiawan Injil, pengkaji bahasa-bahasa Semit, spesialis-spesialis Islam, dan sinolog-sinolog yang bergerak dalam pemahaman waktu modernis. Namun Said sendiri mengira bahwa waktu akan terhenti ketika ditafsirkan oleh modernisme sebagai waktu yang melulu matematis-geometris.

Pranata imperial, ilmu pengetahuan, dakwah agama, ternyata telah menciptakan berbagai kategori dan yang berakar kokoh dalam sistem klasifikasi dan representasi yang menyerahkan diri begitu saja pada dualisme, dan penataan dunia secara hierarkis. Linda Tuhiwai Smith dalam Dekolonisasi Metodologi misalnya, melihat waktu sebagai bagian integral organisasi kehidupan sosial masyarakat ”primtif”, namun lewat diskusi yang menghadirkan keterpautan waktu dengan revolusi ilmu pengetahuan, imperialisme, dan etika keagamaan, Linda—yang terinspirasi oleh Edward W. Said—melihat ketiga proyek ini punya andil besar dalam mengakhiri hubungan integral antara waktu dan kehidupan sosial.

Para orientalis, kata Said, telah menciptakan suatu penelitian arbitrer (sembarang) tentang Islam dan menghasilkan pandangan tentang binari antara ”daerah mereka” dan ”daerah kita”, antara yang ”objektif” dan ”yang subjektif, ”masyarakat primitif” dan ”masyarakat modern”, ”timur” dan ”barat”. Oleh karena itu kata Said pula, ”mereka jadi mereka dengan sendirinya”, daerah kita ditetapkan berbeda dengan daerah mereka. Maka, jika kita sepakat bahwa segala sesuatu dalam sejarah adalah diciptakan oleh manusia, maka kita akan memahami mengapa benda, ruang, tempat, dan waktu bisa saja diberi peranan dan arti yang (seolah-olah) memperoleh validitas obyektif hanya sesudah peranan dan arti tersebut diberikan. Padahal semua itu, kata Said sambil mencontohkan tentang ruang dalam sebuah rumah yang dipinjamnya dari Gaston Bachelard, hanyalah ilusi.

Novel Things Fall Apart Chinua Achebe dengan cantik menampilkan bagaimana misionaris Kristen telah menghancurkan tradisi Ibo masyarakat pribumi yang menempatkan waktu sebagai siklus kehidupan dan organisasi sosial yang tak tepisahkan di Niegeria-Afrika. Lewat konflik penokohan yang terjadi pada Okonkwo dan rekan-rekannya, Achebe berhasil menyampaikan secara apik gambaran tentang tragedi kemanusian yang diakibatkan oleh kehendak menyebarkan agama ke segala bangsa.

Seraya merujuk Walter Benjamin, Benedict Anderson dalam Imagined Communities menegaskan adanya analogi antara gagasan tentang sesosok makhluk hidup sosiologis yang bergerak mengikuti kalender melalui waktu yang homogen dan hampa, dengan gagasan tentang bangsa sebagai imagined communities—komunitas-komunitas terbayang.
***

Pemahaman atas waktu telah mengubah pemahaman atas alam dan manusia. Kini alam dan kehidupan bersama manusia kian berada dalam pertanyaan yang mencemaskan. Semakin lama banyak orang semakin bergantung pada alat-alat kekuasaan untuk menyelamatkan diri sendiri, yang digunakan mulai dari kedudukan hingga penguasaan ekonomi, dan dipraktekkan dari tingkat individu hingga negara. Alam yang kita kenal sebagai memiliki hukum penciptaannya sendiri (baca: hukum alam), kini justru dijadikan alat di tangan manusia untuk menundukkan misteri kehidupan.

Hukum alam sudah dimanipulasi sedemikian rupa oleh kesadaran egologi manusia lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehidupan alam mulai terancam sejak manusia menemukan teori kausalitas. Sejak silogisme Aristoteles hingga cogito ergosum Descartes sampai dengan karya arsitektur pesanan penguasa, telah jauh membawa pengetahuan manusia ke egosentris.

Hampir setiap hari kita menyaksikan manusia-manusia mesin yang telah menjadi biang keladi atas kerusakan lingkungan dan menganggap ilmu pengetahuan berada di atas hukum kosmis. Lingkungan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia seakan mengungguli lingkungan alam ciptaan Tuhan. Pandangan purba yang menempatkan alam di atas kebaradaan manusia, dianggap sudah ketinggalan zaman. Rasionalisme dan modernisme dipercaya sebagai iman yang teguh karena konon akan memberikan harapan masa depan bagi kemajuan umat manusia.

Para perencana, arsitek, pengelola, dan pemodal, masih saja berpikir dan berlomba-lomba untuk membuat berbagai macam desain lingkungan untuk memberi mereka akses dalam memanfaatkan hamparan alam di bawah kendali ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak mengherankan jika muncul akibat sampingan, di mana alam yang tak bisa diganggu gugat, yang sakral, yang menjadi penyangga kehidupan semua makhluk di bumi, menjadi diabaikan, dan lambat laun dikonstruksi dan diubah-jadikan sesuai dengan mesin pemangsa.

Keberadaan alam sebagai payung kehidupan di bumi terus mengalami pengrusakan. Para penghuni alam, manusia dan binatang, mengalami alienasi dan tak lagi bisa menentukan keberadaan ruang huniannya sendiri secara alami. Ozon telah lama diisukan mengalami tukak, bolong, dan mengancam kehidupan. Srigala pemangsa ternyata jauh lebih peka dalam memandang keberadaan dan fungsi alam ketimbang manusia sempurna. Sebab, manusia semakin lama justru kehilangan medianya melalui berbagai politik perijinan dan legitimasi hukum yang dijalankan sistem teknologi pemerintahan.

Imajinasi sosial kita tentang lingkungan, ruang, dan tempat menjadi impian-impian buruk di masa lalu, sekarang dan mungkin juga nanti. Berbagai fenomena baru yang muncul dalam pengalaman ruang kita di hari ini, sebagaimana juga pernah disinggung Bambang Sugiharto (2002), telah mengalami perubahan peran dan fungsi. Karena itu, kini dituntut bukan saja sekadar melakukan koordinasi atas relasi ruang dan tubuh kita, melainkan juga menciptakan pola persepsi atas pemahaman akan nilai ruang kehidupan bersama.

Para arsitek memang tak pantas dianggap sebagai biang keladi kehancuran lingkungan hidup jika saja mereka peka dalam memandang keberadaan alam dan tidak melulu menjalankan titah ilmu pengetahuan dan teknologi habis-habisan demi untuk memutlakkan mitos kecerdasanan manusia sebagai satu-satunya kuasa manusia menyaingi kuasa Tuhan. Mengikuti pandangan dan gagasan para arsitek di Lampung beberapa tahun terakhir, sungguh sangat memperihatinkan apa yang tertanam dalam benak mereka. Para dosen arsitek di kampus tampak masih enggan masuk ke dalam kajian ekologi kota dengan mengaitkannya dengan politik kota, apalagi masuk ke dalam pengimajinasian seni, budaya, dan keadilan gender. Padahal dalam perencanaan sebuah kota, tidak melulu bersifat perencanaan teknis, tetapi juga perencanaan secara politis.

Lingkungan masih sangat signifikan. Karena dalam perencanaan kota, bisa ditetapkan apakah pengembangan teknik akan diabadikan kepada tujuan yang menghancurkan lingkungan atau ke arah kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan. Apakah dalam perencanaan juga akan ke arah menggusur sistem pengetahuan lokal dan menjadi alternatifnya, atau justru bisa memperkuat sistem pengetahun budaya lokal dan menjadi komplemennya.

Dalam analisa perencanaan kota selama ini, terlihat bahwa pengetahun teknik para arsitek dikonsentrasikan pada teknologi dan teknologi dikonsentrasikan pada industri yang pada gilirannya di arahkan secara terpusat pada gerakan eksploitasi lingkungan. Penelitian yang banyak dilakukan para arsitek kampus yang bekerjasama dengan pemerintah kota tentang pesisir pantai Teluk Betung misalnya, masih tersihir oleh kokok ayam empirisme-positivisme. Hasil “Studi Penataan Kawasan Pantai Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menuju Bandar Lampung Ecocity” (2003) yang dilakukan Jausal dkk. sangat meragukan karena adanya kesulitan yang bersifat prinsipil yang tak mereka sadari; yaitu bagaimana caranya menjaring fakta-fakta sosial dan budaya yang bersifat non-empiris dengan metode-metode empiris.

Sejarah arsitektur dan ruang kota ternyata memang ditulis oleh jenderal yang menang. Para arsitek menyikapi politik keruangan melalui pemanfaatan ruang dan waktu geometris. Proses kapitalisasi telah memposisikan ruang kota berhadapan dengan waktu yang berlari. Bahkan ruang ikut dihancurkan oleh waktu. Modernisme telah melahirkan ruang-ruang yang cemas dan genting.

Berbagai kearifan lokal dan genealogi Melayu telah diletakkan dalam kerangka antroposentrisme yang memangsa. ”Manusia hanya hidup dan berkarya dalam penguasaan sejarah yang mengabaikan kearifan yang menjadi akar penting bagi manusia dan alam”, tulis Wardah Hafidz. ”Refleksi terhadap kehidupan bersama yang bersifat mistis dalam memandang alam kita telah kehilangan peluangnya untuk dinyatakan. Posisi alam dan hubungan antar-masyarakat lebih banyak merefleksikan ketakutan bersama. Warga pun mulai kehilangan modal sosialnya—rasa saling percaya, kohesi sosial, kebersamaan”.

Bahkan menurut Wardah, perkembangan kampung yang merepresentasikan dirinya dengan pemandangan kesenjangan mencengangkan, yang meliputi perumahan, tingkat penghasilan, gaya hidup, ketertiban umum yang tidak cukup nyaman, hingga pelayanan sosial yang banyak mengandung masalah, adalah sebagian dari gambaran kehidupan bersama kita yang sudah tidak nyaman.

Pengkotak-kotakan kebudayaan terjadi dimana-mana. Model pembangunan di dalam era modernisasi hanya memikirkan dirinya sendiri-sendiri tanpa peduli faktor lain yang sesungguhnya berkaitan. Bentuk pembangunan di dalam kompetisinya untuk mencapai kemajuan (progres) menjadi semacam gurita yang menakutkan dan memangsa yang lainnya. Karena itu, konsep ”jaringan” menjadi gagasan alternatif bagi kampung-kampung di kota yang telah jatuh ke dalam curuk dan ceruk yang hiruk-pikuk, sarang pertama dalam penampungan kaum urban, kumuh dan padat, dan setiap saat berada dalam ancaman kebakaran atau penggusuran. Sejarah tidak memberi toleransi pada keberadan kaum urban poor alias kaum paria di kota-kota di Indonesia. Kehidupan bersama dalam konteks jaringan kampung bukan bermakna sebagai pembalikan ‘desa sebagai latar depan’. Kita tidak membutuhkan ‘desa sebagai latar depan’ seraya menjungkirbalikkan kota sebagai latar belakang. Apa yang dibutuhkan adalah ruang perantara dan jejaring bersama yang menghubungi latar desa-kota dalam kerangka pemikiran lebih luwes.

Kompleksitas kehidupan alam telah menenggelamkan kita ke dalam apa yang disebut krisis utopia—yang memanifestasi secara paling kuat pada hilangnya kemampuan dan keberanian masyarakat kita untuk bermimpi. Tapi jangan kecil hati dulu: baru-baru ini seorang anak muda dari latar keluarga miskin telah menghebohkan jagad kesusastraan Indonesia dengan tetralogi Laskar Pelangi. Si Andrea Hirata namanya, lewat tokoh Lintang, telah menantang kita lewat edensor untuk berani bermimpi: ”ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekata ruang dan waktu; sebuah jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa masa laluku; inilah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi”.

Manusia kini terus bergulat dalam kondisi insomnia melelahkan, yang menghilangkan kejernihan akal budi untuk dapat secara kuat dan imaginatif mengatasi permasalahan. Betapa sering bencana muncul akibat tangan manusia yang telah menjelma mesin. Teori ”tangan tersembunyi” Adam Smith telah menempatkan lingkungan sebagai produk pasar yang bisa dipasarkan, dikaplingkan. Dalam lima tahun terakhir ini kita terus menyaksikan ribuan pohon bertumbangan, rumah-rumah berantakan, binatang-binatang kian menjauh dari sukma bumi oleh keangkuhan pikiran dan tangan manusia. Kehidupan di bumi tengah beramai-ramai menuju peradaban ‘kota’, ‘modern’, ‘kemajuan’, ‘pembangunan’. Secara ekologis, semua konsep yang bagus-bagus itu saling terpatahkan.

Dalam kebudayaan mutakhir, sudah jarang kita temukan ritual keselamatan bumi dan kehidupan bersama. Prosedur yang ditempuh para seniman mutakhir lebih ke arah pemberontakan terhadap konvensi dan mainstream. Padahal konsep keselamatan dalam masyarakat tradisi merupakan totemisme, acuan terhadap nilai kosmologi bersama yang ekologis sifatnya. Meraka melakukan ritual dan upacara meruwat alam dan laut sebagai keselamatan bersama, membebaskan diri dari bala dan bencana, membersihkan alam semesta dari roh jahat.

Sikap kulturalis yang mistis ini, merupakan kesadaran terpenting dalam relasi sosial kehidupan masyarakat tradisi. Segala yang berkaitan dengan alam dan lingkungan ditempat sebagai pan-kosmisme, di mana manusia hanya dipandang sebagai bagian dari alam. Tak ada pemisahan antara alam dan manusia. Alam dipandang sebagai Ibu Bumi.

Setelah berbagai bencana menimpa, baru kini kita tergerak menyediakan ruang luas untuk penciptaan alternatif-alternatif unik yang kreatif. Pemecahan konvensional dalam arti yang melulu menekankan rasio dan nalar, mungkin hanya akan mengulangi kesalahan mendasar sebelumnya. Maka yang kini kita butuhkan adalah sejenis refleksi dan keheningan untuk mengembalikan manusia ke dalam kesadaran-dirinya, keterbatasan dan kerendahatian-nya.

Kini agaknya kita rindu akan tradisi mistis purba, karena kian hari kian banyak kerusakan di bumi. Hutan terus digerus dan digunduli. Di Toraja, di Tengger, di Jawa, dan banyak lagi, masyarakat kita memiliki nilai bersama untuk menjaga bumi dari kerusakan. Meruwat bumi adalah upaya menjaga refleksi kreatif bagi pemecahan konstruktif atas permasalahan bumi dan kehidupan secara bersama.

Orang Minangkabau menyebut negerinya sebagai Alam Minangkabau, yang merepresentasikan kedekatan manusia dengan alam. Bahkan mereka juga menyebut dirinya “Anak Alam”. Dalam legenda masyarakat Lampung, banyak kita temukan kisah-kisah kehidupan ‘Anak Dalam’ yang begitu dekat dengan bumi dan lingkungan yang sakral.

Meruwat alam kembali dengan tradisi purba kian dirayakan, seakan-akan hidup memang betul-betul mengulang ke muasal yang silam. Meruwat semesta memang bisa memaknai kembali kehidupan bersama kita. Alam dan kehidupan perlu diruwat (dibersihkan) karena keberadaannya kini telah dijamah oleh tangan-tangan raksasa yang menabarkan bahaya. Kebobrokan dan ketidakjujuran yang tengah menghimpit hukum alam sudah selayaknya diruwat demi kelahiran kembali yang suci.

Kapan lagi misi profetis itu diagendakan lagi, kalau tidak sekarang nanti, atau lain kali. Karena kita tahu, sambil merujuk seorang penulis tarikh terkemuka dikalangan Kristen, bahwa manusia telah ditempatkan di akhir zaman. Goeterdaemmerung, senjakala, kalau boleh menggunakan istilah kaum postmodernis yang kini sedang ramai.

Tapi analogi itu terbukti tak juga meyakinkan, karena ”sejarah tak pernah mengenal senjakala bagi berhala”, tulis Goenawan. Setiap senja dimulai dari fajar, lalu tering yang garang dan senja yang berwarna lupa. Lalu kita masuk ke dalam malam, ke dalam sunyi ngilu dan mencekam. Tak ada lagi revolusi industri dan gerakan menyebarkan agama dengan senjata yang akan memisahkan waktu dari kehidupan manusia, masyarakat, dan alam semesta.

Alam raya, hamparan luas yang tidak lempang, dan bumi yang membentuk bola dunia, terus-menerus mengelilingi matahari tanpa akhir yang bisa kita pastikan. Maka demikian pula hidup dalam waktu, yang mungkin mengulang tapi tak mungkin berulang. Sebab segalanya kini tak pernah berakhir, tidak juga kembali. Bahkan sejarah pun adalah sebuah kelana dalam proses yang hidup, di mana yang lalu bisa hidup lagi di sini, dan yang kini atau besok bisa terhapus oleh perjalanan pematokan yang lain lagi.

Betapa musykil hidup dalam keakhiran, kepastian, ketunggalan. Tidak, kita tidak merayakan hidup sebagai satu, seperti filsafat matematika yang pongah itu, tapi kita hidup sebagai beda dan berubah. Bukan hidup dengan sesuatu yang menjulang megah dan gagah yang kita inginkan, karena terbukti tidak meyakinkan. Tapi hidup dalam transit, numpang singgah, sementara, untuk kembali berjalan undur atau maju, tak lagi tentu tuju.

Tak ada lagi ideologi yang mesti saya puja. Tidak juga pandangan-dunia, apalagi pandangan-dunia yang kukuh, bulat dan padu, karena waktu akan menuntun saya tidak menuju ke mana-mana. Antara, ruang bimbang mungkin bukan sesuatu yang pantas disebut tulus-menjadi, melainkan tulus-mencari. Kita berkata ya untuk “pasangan yang lengkap menari bersama” (Eliot) tanpa henti karena kita hidup dengan ”dua dunia belum sudah” (Rustam Effendi).

Pandangan-dunia tak lagi cocok bagi hidup di abad ke-21 ini. Hidup yang intens dan meruwah, dan mungkin juga kalah. Hidup dalam rasa hayatan puisi yang tak terikat oleh ruang dan waktu; puisi yang “lahir dari dorongan untuk mengulang momen batin yang intens itu, untuk mencapai yang tak mungkin itu”, tulis Goenawan suatu kali. Dan firdaus yang hilang mungkin saja akan kembali, seperti sejauh-jauh elang terbang akan pulang ke kandang karena “di taman ini”, kata Ayu Utami, “saya adalah seekor burung; terbang beribu-ribu mil dari sebuh negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya”.

Barang kali kita rindu seperti Sapardi Djoko Damono yang begitu intim dan intens mencatat percakapan sunyi, tanpa berteriak, dari beribu saat dalam kenangan surut perlahan ketika mendengar bumi menerima tanpa mengaduh sewaktu detik pun jatuh, lalu kita dengar bumi yang tua masih dalam setia, Kasih tanpa suara, sewaktu bayang-bayang kita memanjang, mengabur batas ruang (Sajak Putih). Atau, yang sempat zarah ruang dan waktu yang capai menyusun Huruf, ketika sepi manusia, jelaga, dan duka-Mu abadi (Prologue), dan di ruang semakin maya dan musim tiba-tiba reda (Saat Sebelum Berangkat) dan kita gaib dalam gema (Dalam Sakit) karena waktu hari hampir senja, menunggu senja (Lanskap) dan di bawah bunga-bunga menua, musim senja telah tiba, dan kita bertanya dengan cemas: masih adakah? (Sehabis Mengantar Jenazah). Atau cukup diamlah, karena sementara burung-burung di atas rumah menghabiskan terik kemarau, sekali waktu kita mesti memilih kata-kata dalam ruang hampa udara (Suatu Siang di Kota M).

Dan arus waktu mengalir ke muara “sajak sunyi abadi dan kristal kata” Goenawan Mohamad hingga waktu pun dibayangkan Sapardi hanya sebagai detik-detik berjajar pada mistar yang panjang: sebuah waktu matematis, di mana Desember segera mengeras di tembok semula, lalu Januari tiba dan kita hanya mengikuti garis semula sampai musim pun masak sebelum menyala cakrawala. Dan tak terasa hujan bulan Juni tiba, dan jarum jam melewati angka-angka. Hingga akhirnya kita pun cemas bertanya: kemana kita?

Kita mengikuti gema di kejauhan, sewaktu hari kian merapat, di mana jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat (Hari pun Tiba), dan Pada Suatu Hari Nanti kita tinggalkan kota ini, ketika menyeberang sungai, terasa waktu masih mengalir, di luar diri kita. Dan di Dalam Doa 1 akan kita pandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya, kita pandang semesta, hingga Sebelum Surya Terakhir datang kembali memberikan tanda bahwa seluruh ruang telah siap menunggu. Namun, tiada jejak yang bisa kita simak, karena daun-daun di halaman, tirai jendela, helai-helai penanggalan, sudah mengabur dalam asap. Dan apa yang tersisa untuk kita genapkan, hanya tinggal jejak langkah, tak sampai.

Karena kita tak kuasa lagi mengekang luncuran waktu, tak mampu membebaskan diri dari alam kosmos yang telah diciptakan oleh para genius fisika dan astronomi yang memenjarakan manusia sejak Abad Pertengahan dan Renaisance. Maka sains senantiasa bergerak pada orbit-orbit tanpa batas, tanpa dapat kita kekang. Lalu waktu, bukan girilanku, kata Amir Hamzah mengingatkan. Lalu batu, lalu waktu, tulis Radhar pula: Walau kemarin berlalu tanpa hari ini, tetap kita harap nanti datang ini kali. Bahwa kita sekarang tidak ada dalam waktu, namun dalam penjara yang kita inginkan, sekaligus tidak kita harapkan.

Demikianlah hari ini, puisi hari ini. Orbit keindahan akan terus menggoda mimpi. Orbit cinta yang memberi arah bagi harmoni musik alam-manusia-dan Tuhan-terus kita kenang. Orbit kemuliaan, yang merupakan imbalan paling berharga bagi manusia yang sadar-diri, rendah hati, tulus, sabar dan tawakal, akan jadi remedi bagi luka besar manusia dan kemanusian.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

09/10/11

Bunga Teratai yang Basah: Renungan Tentang Budha & Biksu di Myanmar

Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/

Dengan Budha
semoga rasa cinta kita memenuhi semesta
di atas, di bawah, di seberang, tanpa batas.
Kebaikan tak berhingga pada semesta
tak berbatas, bebas dari benci dan perseteruan
–KAREN AMSTRONG, Menerobos Kegelapan

Sidharta bukan keturunan kaum paria. Keluarganya terpandang dan hidup dalam istana. Siapa sangka kelak ia akan meninggalkan istana dan masuk ke dalam hutan yang sunyi seorang diri. Menjadi Budha. Lalu ajarannya dikenal sebagai Budhisme. Di hari-hari ini mungkin ada yang mengatakan: tidak percaya. Sebab betapa banyak kaum rudin di negeri ini berjuang untuk bisa naik kelas. Ya, bukan hanya di sekolah orang berharap naik kelas, tapi dalam soal kemiskinan kelas begitu penting.

Saya teringat City of Joy, novel realis karya Dominque Lapierre yang dialihbahasakan oleh Wardah Hafidz dengan baik. Sejumlah cobaan tak henti-hentinya mengendus sebuah keluarga di Calcuta. Keluarga yang hidup dalam sebuah asa di tengah puing bencana di abad ke-20, yang menjadi korban akibat proses endemik yang melilit belasan juta petani Bengali hingga setiap orang dipaksa menuruni anak tangga sosial yang mengubah kedudukan petani dari penggarap, menjadi petani tanpa tanah, buruh tani, dan akhirnya terpinggirkan sama sekali. ”Sama sekali tidak ada gunanya untuk bermimpi bisa meniti anak tangga ke arah yang berlawanan”, tulis Dominique Lapierre.

Saya juga teringat Siddhartha, novel tipis buah perjalanan Herman Hesse ke India yang menggetarkan dan telah diterjemahkan dengan menawan oleh Asbari Nurpatria Krisna. Ketika akhirnya desas-desus tentang sang Budha Gotama—orang bijak dari suku Sakya ini—sampai juga ke seluruh negeri, kita disuguhkan sebuah kalimat syarat perenungan tentang siapa Budha sesungguhnya: ”Dia memiliki pengetahuan luar biasa, kata orang-orang yang percaya; dia dapat mengingat kehidupan sebelumnya, dia telah mencapai nirwana dan tidak pernah kembali ke dalam siklus, dia tidak lagi tercebur ke dalam arus bentuk”.

Arus bentuk? Mungkin tak terlalu tepat, namun sebagaimana sebuah pencarian, tentu meniscayakan sebuah batasan. Octavio Paz punya istilah yang cantik soal apa yang disebut bentuk dan geometri lewat terjemahan Goenawan Mohamad ini: sebuah ”rasa senang kepada Bentuk”. Sebuah Bentuk, kita tahu, tak kalah ilusifnya dengan sebuah geometri, dan karena itu kita dituntut untuk tak terpaku pada Bentuk seraya mencibir Isi.

Di zaman ini orang kembali menaruh simpati pada Budha dan kearifan Budhisme karena ajarannya tak menyebarkan pedang Tuhan ke segala bangsa, apalagi menyebarkan wabah prasangka permusuhan. Budha seakan ditemukan kembali dalam kekinian. Tapi, sebagaimana kritikan Goenawan Mohamad: ”ajaran Budha ternyata tak bisa bebas sepenuhnya dari keniscayaan ajaran-ajarannya menjadi besar dan menegakkan bendera. Bunga teratai mau tak mau harus basah juga”. Jika dalam Bhagawad-Gita—khususnya terjemahan Amir Hamzah—seorang Krishna mengatakan bahwa ”daun teratai tidak pernah basah oleh air”, maka Goenawan justru meragukan.

Budha, walau telah berevolusi menjadi agama, tetap unik dan menarik sebagian orang mengingat ajarannya sangat minim mempersoalkan Tuhan dan mengelak dari kekerasan atas nama kearifan yang tak bercadar kebodohan dan kepalsuan. Tapi kini kita juga menyaksikan orang yang simpati pada Budha seakan menyalakan benang mercon basah ketika berhadapan dengan moncong senjata di Myanmar. Kota Yangon yang sebagian besar mempercayai kearifan Budha ini, telah menorehkan catatan sejarah kekerasan di bulan ke sepuluh 2007 lalu, yang merenggut sepuluh nyawa saat demonstrasi rakyat Myanmar memasuki hari ke sepuluh.

Andaikan Budha masih ada di bumi, mungkin akan tersenyum geli melihat orang-orang yang beragama tapi masih disibukkan oleh pembicaraan tentang Tuhan dan Ada sambil membidik senjata ke arah manusia. Tapi apa boleh buat, di hari-hari ini hampir mustahil untuk tidak menyinggung soal Tuhan. Sekali pun orang menyebut abad ke-21 sebagai abad post-sekuler, agama dan Tuhan tidak mati. Walau kita sendiri masih sering menghayati pencarian ketuhanan dengan rumusan dan sifat-sifatNya yang tak terhingga dengan berbagai macam prasangka, namun Tuhan dianggap menjadi inti dari sebagian besar ajaran agama. Dan yang lebih parah lagi, tanpa kita sendiri sadari, sesungguhnya kita sedang menuhankan bentuk formal agama itu sendiri.

Banyak orang kini gandrung pada bentuk formal agama, tapi banyak juga yang kecewa. Di India, Taslima Nasrin begitu kecewa dengan Islam dan Hindu tatkala menyaksikan kedua umat pemeluk ajaran ini selalu berperang atas nama agama. Di Indonesia, di Rwanda, di Palestina, Israel, dan di banyak tempat, banyak orang terluka oleh agama. Maka jangan salahkan jika orang pun mulai pesimis pada masa depan agama!

Kendati Karen Amstrong masih bersemangat meyakini bahwa agama dan Tuhan masih punya masa depan lantaran di mana-mana orang menyebut “kebangkitan agama” dan diskursus postmodernisme, tapi saya melihat masa depan agama itu berada dalam ketidakpastian. Barang kali kenyataan ini sebuah berkah, bukan kutuk. Ketidakpastian bisa jadi mampu memberikan kesecerahan yang berbeda dengan semangat abad tengah.

Ajaran Sidharta memang telah menjadi agama formal di Myanmar dan beberapa tempat lain. Karena itu, ajarannya kini terus diuji dari berbagai sisi. Kota Yangon jadi saksi ketika jauh-jauh hari telah diperingatkan akan terjadi pertumpahan darah akibat “kecelakaan sejarah”.

Kata-kata terakhir bukanlah dari saya, tapi dari ucapan Aung San Suu Kyi dalam buku Bebas dari Ketakutan. Suu Kyi menyaksikan kecelakaan sejarah di Myanmar karena para elite politik negeri ini telah memaksakan Yangon sebagai ibu kota yang bersifat cangkokan India-Inggris yang didominasi oleh corak pemahaman keagamaan dan kebudayaan hilir yang berwatak modernisme, keras, bermental raja-raja, yang telah mencampakkan pentingnya kearifan tradisional Budhisme yang merupakan lambang kehidupan rakyat Myanmar umumnya. Maka Suu Kyi pun seakan meramal: inilah ”sebuah pertanda yang mengelisahkan. Lonceng kemanusiaan yang memperihatinkan”, tulisnya.

Tidak mungkin membaca Myanmar dengan mengabaikan Budha, juga sebaliknya, karena kultur masyarakat Myanmar menganut Budhisme secara monolitik. Sebagaimana juga tak mungkin merefleksikan peristiwa demonstrasi berdarah di bulan Oktober 2007 lalu dengan melepaskan sama sekali kaitannya dengan Budha yang dipercaya mayoritas tunggal masyarakat Myanmar Hulu, yang menurut Aung San Suu Kyi telah mengganti kosmos dengan misi khaos.

Sudah banyak buku yang penuh pujian terhadap Budha. Dan tak dapat ditampik alasan mengapa begitu banyak para penulis di belahan dunia terpesona pada laku-moral dan misi profetik yang dibawakan sang Budha Gotama. Saya akan mencari alasan mengapa orang nyaris memitoskan kebesaran Budha dengan meminjam parafrase Sutardji Calzoum Bachri—penyair yang juga nyaris dimitoskan di negeri ini.

Salah satu alasan mengapa Budha mempesona, barangkali karena Budha datang ke dunia tepat disaat orang sudah jenuh dengan kata-kata biasa, ungkapan klise yang tak bergulat dengan hakikat dengan berusaha membuka tabir enigma dan teka-teki dengan menghadirkan kedalaman yang tak dapat diduga dan tak dapat diungkapkan. Jika pencarian Budha dilihat dari bentuk kata-diksi puisi Tardji, maka sang Budha merupakan sosok yang telah menemukan bahasa dan pengucapan khusus, dengan tampilan setengah cahaya dan setengah bayangan yang tak dapat sepenuhnya dimengerti. Bagai ombak laut yang membangun mimpi-mimpi, Budha telah menciptakan pantai kesadaran kemaknaan dari kehidupan. Ia juga datang membawa pelita yang bersinar bagaikan oncor dalam jambang di malam hari.

Namun, sebagiaman pencarian Budha, Sutardji pada akhirnya tersandung pada tujuan. Ketika akhir-akhir ini puisinya menyerukan pencarian, sesungguhnya seperti kata Sidharta dalam novel tipis Hermann Hesse bab tentang Govinda: ”mencari berarti memiliki tujuan, tetapi menemukan berarti adalah menjadi bebas, menjadi mau menerima”.

Sebagaimana bentuk dan pencarian, kokosongan juga punya batas. Budha memang bukan lagi anak bangsawan karena ia telah meninggalkan kemegahan istana untuk menyusuri hamparam hutan Magadha menuju hutan Urwella—nun jauh di negeri tempatnya meraih kedamaian pari-nirwana. Laku-hidup menyepi dan mencari kekosongan segala atribut tentang Tuhan ini, sering membuat banyak orang terfana sembilan waktu. Bagaimana tidak! Di tengah hutan rimba yang perkasa, Budha menghasilkan sebuah kearifan puncak dari sebuah kesunyian yang sempat dicatat oleh Huston Smith dalam Agama-Agama Manusia: Saat Budha menanti sendirian di belantara hutan yang sunyi, kosong, hampa, seekor kijang tiba-tiba datang menghampiri. Lalu seekor burung mematahkan ranting; ting. Dan hembusan angin menyebabkan dahan kayu seakan-akan berbisik satu sama lain. ”Aku berpikir, sekarang datang saatnya, ketakutan dan kengerian”, bisik Budha.

Myanmar dengan hamparan laut dan sungainya, mungkin tak akan pernah sepi dirundung ketakutan dan kengerian, sebagaimana dilukiskan dalam setiap lembar teks sejarah tentang negeri bekas jajahan Inggris ini. Tapi, sebagaimana sejarah tak hanya punya wajah buruk rupa, di zaman kita telah muncul sosok pejuang nurani dan hak asasi manusia, yang melakukan perlawanan terhadap kekerasan bukan dengan senjata, tapi dengan cara membebaskan umat manusia dari rasa takut yang berlarat dalam dirinya. Dan itu muncul dalam sosok bapak dan anak: Aung San—pemimpin Liga Nasional Demokrasi Myanmar—dan anak perempuannya, Aung San Suu Kyi—aktivis antikekerasan dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1991 yang telah mengilhami Goenawan untuk menulis secarik puisi tentangnya dengan puitis.

Ajaran jenius spiritual Budha telah memberikan inspirasi bagi banyak aktivis pejuang kemanusian dengan jalan mengelak dari kekerasan, sebagaimana tak henti-hentinya diperjuangkan Aung San Suu Kyi di Myanmar. Aktivis yang satu ini telah lama menginspirasi kita untuk menuliskan harga sebuah martabat kemanusian lewat perjumpaan antara sastra dan hak asasi manusia. Aung San Suu Kyi adalah feminis yang terluka oleh junta militer, yang senantiasa mengingatkan kita akan bahaya kekuatan senjata: “jika setiap gerakan yang berlainan sikap diatasi dengan senjata, maka Myanmar tidak lagi punya warga”, tulis Suu Kyi.

Kata-kata itu juga akan mengingatkan kita pada perjuangan Karlina Leksono—mantan aktivis Nurani Perempuan—yang dalam lembaran Meja Kerja Budaya pernah menulis esai yang menggugah bertajuk “Sastra dan Hak Asasi Manusia”. Kita juga pernah punya Munir—pendekar Hak Asasi Manusia yang telah tiada, yang dalam hidupnya selalu berusaha menegakkan keadilan bukan dengan keberanian menghadapi peluru tentara, tapi dengan mengalahkan rasa takut yang telah lama bersemayam di dadanya.

Mengalahkan rasa takut, bebas dari ketakutan, bebas dari penderitaan, adalah kata-kata emas yang kini sering terlupakan. Kekosongan Budha di hutan Urwella adalah contohnya: Sang Budha jadi saksi yang pedih sekaligus pengobat rasa sakit bagi mereka yang memilih hidup sebagai petualang abadi di dunia sunyi. Laku-moral dan spiritualnya tentang adanya jalan kelepasan, merupakan usaha untuk mencapai kesucian diri. Laku-kritik Budha merupakan persyaratan untuk meraih ketenangan, dharma kasih, dan tak lagi terikat oleh nafsu duniawi. Pikiran menjadi tenang dan seimbang, sikapnya menjadi toleran, seperti tanah, seperti lawa pintu yang menjalankan perannya, yang bagaikan danau yang tak berlumpur dan tak lagi merasa terikat oleh tunimbal lahir.

Setelah meninggalkan istana, setelah menghilang dari kegaduhan dunia, Budha muncul dari hutan Urwella dengan wajah yang telah tercerahkan. Ia menyapa manusia, sambil tak lupa mengingatkan bahaya sebuah agama yang ditegakkan dengan parang, bahaya politik yang dijalankan dengan bedil dan meriam. Betapa sejuknya nilai moral dan spiritual yang diwariskan Budha ke dunia, namun justru di negeri yang mayoritas percaya padanya, kekerasan seakan tak selesai.

Budha dan para Biksu di Myanmar bukan tipe manusia yang berambisi menyebarkan misi sucinya untuk memaksa manusia meyakininya. Orang suci yang ajarannya sering juga disebut Budhisme ini, adalah pribadi yang tampil ke dunia tepat setelah gerakan para filsuf berambisi menguak tabir rahasia Tuhan segala agama dan segala bangsa.

Konsep Tuhan telah musnah ketika sang Budha telah kembali dari semadinya, dari meditasinya. Budha datang bukan untuk melawan dosa, melainkan perjuangan melawan sakit, dukha, yang kerapkali dilakoni umat manusia di dunia. Inilah kearifan yang tak bertopeng kemunafikan, sebuah “agama tanpa militerisme, di seberang antara baik dan jahat; suatu sensibilitas yang berlebihan dalam mengekspresikan diri sebagai kemampuan tinggi untuk merasakan sakit; suatu kemenangan impersonalitas di atas personalitas; dan di atas semua itu, ia menuntut tidak dilakukannya perlawanan terhadap mereka yang berpikiran beda, dan permusuhan tidak dilawan dengan permusuhan”, kenang Nietzsche terhadap Budha dalam buku Anti-Krist.

Namun, ajaran Budha kini dicemari oleh kehendak manusia yang sedang berkuasa. Demonstrasi di kota Yangon tepat di saat umat Islam tengah merayakan Ramadan 1427 H lalu, sungguh menyulut rasa iba saya sebagai muslim. Demonstrasi damai yang digerakkan para biksu-biksu tua justru dijawab oleh junta militer Myanmar dengan timah panas yang berbisa. Dan sudah bisa diduga, aksi brutal tentara itu harus mengingatkan kita pada bahasa kesyuhadaan dan kian menambah deretan panjang para martir di Myanmar, juga di dunia.

Budha, yang selalu mengingatkan umatnya dari bahaya pikiran yang menyimpan amarah dan dendam, kini tak sempat menyaksikan biksu yang tengah berdemonstrasi terkulai tak bernyawa di Okklapa oleh hantaman peluru panas dan moncong senjata tentara. Budha yang mengajarkan kewaspadaan terhadap bahaya emosi yang memanaskan darah dan mendidihkan daging kita, tak bisa menyaksikan secara langsung tiga biksu tua terkapar di Okklapa, ditembus peluru senjata tentara yang berbisa.

Para pengikut Budha yang mengajarkan pada manusia tentang lembutnya agama cinta, seakan meratap dalam kesedihan tak terhingga. Manusia yang sangat signifikan di zaman ini, bisa menjadi jalan bagi kita untuk memaknai kembali sejarah kemanusiaan tanpa harus pindah agama. Sebab Budha adalah tokoh agung yang tak berumah, yang sunyi, petualang abadi yang kosmologis dan kosmogoni sifatnya.

Senadainya Budha ada di tengah-tengah para domonstran, mungkin akan cemas dan gelisah menyaksikan kebrutalan tentara yang sebagian besar menganut Budhisme tapi dengan kejam memberondong pekik para demonstran dengan peluru berbisa tepat di hari kesepuluh aksi menyerukan perdamaian yang diikuti oleh rombongan para biksu tua dan warga sipil Myanmar tak berdaya. Percikan darah seakan menggenang merah di timur laut selatan, tak jauh dari kota Yangon. Tentara merobek-robek rumah ibadah yang diikuti suara histeria, depresi, keresahan dan krisis jiwa.

Budha yang dahulu mengajak manusia untuk hidup di alam terbuka, mengajarkan cara hidup dengan cinta demi ketentraman batin manusia dan dunia, tapi ajaran kemanusiannya telah diusik oleh gemuruh-aduh suara debum senjata tentara yang membabi-buta di rumah-rumah ibadat di Okklapa. Tak disangka, negeri yang mayoritas memeluk Budha, harus dirundung durjana.

Budha yang muncul dari tepi sungai di tengah hutan dengan getaran jiwa yang menyadarkan manusia yang masih diperbudak oleh benda-benda, menyuguhkan kepada manusia tentang sebuah arti; ”menemukan berarti” buat makna penderitaan yang kita alami sendiri. Dan yang terpenting baginya; ajakan untuk menyalurkan kepentingan spiritual dengan kembali pada “pribadi” kita masing-masing.

Andaikan Budha menyaksikan langsung suara dentuman tembakan yang menembus jantung para biksu di Myanmar itu, mungkin ia yang tenang di alam pari-nirwananya masih akan terus diharapkan untuk bisa bangkit kembali dalam semangat pembebasan. Kendati ia pernah mengajarkan bahwa tidak ada lagi reinkarnasi setelah manusia mencapai arahat dunia, pari-nirwana akhirat; semacam pengejewantahan dari kesucian dan ketentraman abadi.

Budha pula yang mengajarkan pada manusia agar peluru tak dilawan dengan peluru, tetapi dengan menyalurkan emosi melalui cinta. Sebuah mistik apopatik yang lembut. Namun kini umatnya berduka menyambut para biksu-biksu-nya yang berada dalam pusara di kota tua Okklapa. Dan dengan mengingat Budha, saya tak pernah bisa membayangkan hidup terus-terusan dengan besi dan darah yang berceceran di segala penjuru dunia. Juga di Myanmar. Juga di sini dan di mana pun.

Dengan harap-harap cemas saya mengingat, merenungkan kesunyian Sidharta, ingin menyapa jiwanya yang lunak, budi pekertinya yang halus dan ucapannya yang lembut seperti sutera. Saya berusaha untuk menjadikan Budha sebagai latar depan yang lebih indah bagi kerja-kerja nyata manusia dan kemanusiaan di hari ini. Tetapi, di mana kemanusian itu? Mana komunitas umat beragama? Mana kasih yang ingin berbagi dan saling menyapa?

O, Budha, kau yang telah mengajarkan pada kami sebuah kearifan yang tak bertopeng kekikiran dan mengingatkan akan harga diri sebuah martabat kemanusian yang harus ditegakkan. Kau yang memberikan relief-relief cahaya bagi krisis dunia di hari ini, dan di masa depan, dan memandu jutaan manusia di dunia yang masih hidup dalam terowongan tanpa cahaya!

“O Budha, dimana agama cinta antroposentrismu yang tidak mengenal kemarahan?” tanya Afrizal Malna. Dengan Budha dan dengan mengiringi para biksu tua yang telah meninggalkan dunia fana menuju alam baqa, saya ikut bela sungkawa, sekaligus berharap akan terus percaya tentang kelahiran kembali sebagai yang tak hanya bisa diukur oleh seberapa jauh para biksu tua di Myanmar itu bersedia menanggungkan penderitaan dan tragedi mereka. Kesedian mengorbankan diri demi tegaknya martabat dan harga diri kemanusiaan telah menjadi tema besar seluruh hidup umat manusia sampai hari ini.

Budha yang larut dalam kelungkrahan alam dan taman firdaus, dan ambyar serta lebur-luluh dalam mimpi-mimpi akhirat, mengajarkan pada manusia akan bahaya terlampau membela agama dan Tuhan yang dilebih-lebihkan. Octavio Paz tahu apa arti Budha, karena kalau tidak mengapa ia memaksakan menyelipkan uraiannya tentang Budha Gotama dalam tilikan terhadap Levi-Strauss saat berkunjung ke India. Dengan memukau Paz melukiskan Budha sebagai ”bahan penghubung yang hilang dalam rantai sejarah kita; Ia merupakan buhul pertama dan terakhir; buhul yang jika dilepas-urai akan menyebabkan keseluruhan untaian terburai…Hanya manusia yang merdeka dari beban keharusan tuntutan sejarah dan bebas dari tuntutan otoritaslah akan mampu berkontemplasi tanpa takut mengenai kebukan-apa-apaannya”.

Paz tak mampu menyembunyikan keterkesimaannya pada Budha, dan nyaris tak ingin melepaskan tafsirnya tentang Budhisme ketika kemudian ia mengatakan: ”tiap-tiap manusia dan tiap-tiap masyarakat akan terpuruk pada nasib-peruntungan untuk ’mengebor tembus dinding keharusan’ dan memanggul tugas berat sejarah tanpa merasa sebagai suatu ’kita’ yang hilang kesasar dalam labirin abad-abad, melainkan sebagai sebuah totalitas yang utuh, suatu denyut dalam pernafasan semesta—di luar seutas waktu dan sekaligus berada di luar sejarah”.

Ketika kita merasa luluh-menyatu dalam diri, kata Paz mengingatkan, terutama dengan cahaya tanpa gerak dari suatu material, maka kita lebur-luluh dalam wangian putih yang bukan magnolia dalam ceruk lembab gelap daging kembang apiun, tapi dalam tatapan mata-batin yang sarat dengan kesabaran, ketenangan, keheningan, yang oleh Levi-Strauss disimpulkan sebagai inti-hakiki ajaran kelepasan (detachment).

Maka, ketika Suu Kyi mendaraskan perjuangannya dengan luluh-larut pada kearifan mata-batin sang Budha, sungguh ini sebuah isyarat betapa perjuangan tidak mesti ditempuh dengan kekerasan. Pilihan dalam setiap perjuangan memang sering amat terjal, namun Suu Kyi senantiasa mengingatkan kita dengan kata-kata kebijaksanaan Budha. Sejak semula, kata Suu Kyi, perjuangan Myanmar demi demokrasi syarat bahaya. Gerakan yang menuntut keadilan mengenai pembagian yang adil dalam hal kekuasaan dan hak istimewa yang telah lama dipegang oleh segolongan kecil elite dan ingin terus mempertahankan hak istimewanya itu, dengan segala macam cara, mungkin akan berlangsung lama dan sukar.

Harapan dan optimisme memang tidak dapat dikekang, tetapi terdapat pertanda yang terasa dilubuk jiwa bahwa; perjuangan rakyat Myanmar akan menjadi keras. Dan sejak itu, sering muncul pertanyaan yang mengkhawatirkan: apakah rezim penindasan benar-benar mau memberi kami demokrasi? Dan jawaban semestinya kata Suu Kyi adalah: ”Demokrasi, seperti kemerdekaan, keadilan, dan hak-hak sosial dan politik yang memang tidak ’diberikan’, karena harus diperoleh dengan perjuangan membebaskan rasa takut, ketegasan, dan pengorbanan”.

Dengan merenungkan kembali Budha, dengan mengingat para biksu yang menjadi martir di Myanmar demi mempertahankan harga diri kemanusiaan, dan dengan Suu Kyi sebagai pembebas warga Myanmar dari ketakutan, saya harus mengakhiri uraian ini dengan rasa penasaran.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

15/09/11

Pram, Sastra, dan Religiusitas

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Kebimbangan dan kesaksian yang sehat
lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta
dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.
Pemujaan pada Tuhan adalah sahabat karib kefanatikan
yang biasanya bergandengan tangan dan tiap kesempatan
dipergunakan mereka untuk membunuh akal
–malakulmaut kemerdekaan berpikir dan kemajuan.
–PRAMOEDYA ANANTA TOER, Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan

Pram seorang realis besar Indonesia abad ke-20. Kecintaan pada dunia realis telah ditunjukkan dalam sebagian besar novelnya. Namun realisme Pram bukan sesuatu yang gepeng atau kering, melainkan sebaliknya; realisme yang percaya pada revolusi seorang diri dengan mendudukkan karya sastra kepada tanggungjawab sosial.

Sebenarnya antara pemikiran Pram dengan Takdir Alisjahbana tentang tanggungjawab dan selera seni berdekatan. Bahkan beberapa gagasan progres Takdir kita temukan dalam esai-esai Pram. Kendati begitu, Pram tentu tak seperti Takdir yang hendak memotong kontinuitas sejarah lokal demi mengejar sebuah kemajuan model Barat. Pram bahkan sempat pernah menyebut ”kebudayaan imperialisme Amerika Serikat harus dibabat”, dan dengan ringan mengutip ucapan Bung Karno: Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!

Perkenalan saya dengan Pram adalah perkenalan lewat sejumlah novelnya. Namun saya berjumpa pertama kali sekaligus yang terakhir dengan novelis besar Indonesia ini baru pada tahun 2002. Kala itu saya tak bisa melupakan wajahnya yang sudah keriput, kulit yang menempel dibadan yang tampak melorot. Tulang-tulang di pergelangan tangannya mulai menonjol. Pipinya mulai mengempot, dan wajahnya mulai menonjol. Sorot matanya yang dulu begitu tajam, waktu itu tampak redup. Suaranya yang dulu menggelegar dan membuat lawan-lawan debatnya merinding dan mencekam ketakutan, menjadi parau dan tampak nuansa kearifan seorang kakek. Tangannya pun sudah tak mampu lagi untuk menggenggam pena sebagai senjata satu-satunya yang dulu ia bangga-banggakan. Ketika berjalan, kakinya hampir-hampir tak mampu menyangga lutut.

Pram meninggal tahun 2004, saya masih di Jakarta. Saya melihat prosesi pemakamannya secara Islam lewat media. Seorang kawan menceletuk: ”wah, pemakaman Pram secara Islam itu tidak benar. Pram kan seorang atheis”. Aku hanya diam. Tak berniat menjawab. Mungkin kawan ini terlampau terpengaruh kampanye negatif sastrawan Manifes Kebudayaan, pikirku. Memang, salah satu esai Pram yang bertajuk ketuhanan, telah dinilai oleh beberapa sastrawan yang tergabung dalam Minifes Kebudayaan dengan mengaitkan Pram seorang yang tidak percaya pada Tuhan.

Sastra dan Kekuasaan

Lepas dari anggapan itu, yang nanti akan kita buktikan dalam novel-novel dan esai Pram, bagaimana pun novelis ini seorang yang tak bisa dilepaskan dengan kekuasaan. Ungkapan-ungkapannya tentang pemberedelan yang dilakukan penguasan atas karya dan dirinya sering muncul dalam laporan orang-orang hilang. Adegan awal memulai sebuah kisah tentang penghilangan manusia secara paksa; enforced disappearances, kata orang-orang di Komnas HAM. Pram sendiri tidak hilang, bahkan ia sendiri mengakui hikmah di baliknya pelarangan karyanya. Tidak ada drama pembantaian yang dilakukan Adolf Hitler yang dikenal dengan sebutan Malam dan Kabut—Nacht und Nebel Erlass dalam karya Pram atau yang dilakukan penguasa seperti halnya Elie Wiesel. Tapi, seperti kemudian kita saksikan bersama, Pram yang hampir mati justru hidup, bahkan karyanya lebih hidup dari karya-karya sastra lain.

Pram memang sering menohok kekuasaan politik. Tapi tetraloginya tak ada komunis kata Rendra. Dan Rendra betul. Bahkan kritik yang dilakukan Pram terhadap kekuasaan jauh lebih keras dalam novel Bukan Pasar Malam dan Mereka yang Dilumpuhkan ketimbang Bumi Manusia. Dalam Bukan Pasar Malam Pram justru menohok kekuasaan dengan gaya stilis yang kuat dan menohok.

Kendati begitu, Bumi Manusia lebih cocok sebagai studi pascakolonial yang mendekonstruksi ilusi modal dan kekuasaan kolonial yang pernah berlangsung di Nusantara. Keterbelengguan Pram pada masa hidunya dan kemampuannya membebaskan dirinya tanpa melupakan, pada akhirnya memang menghasilkan apa yang leh Karlina Leksono disebut sebuah ”penyelesaian yang berbeda terhadap berbagai bentuk pengingkaran terhadap martabat manusia”. Karlina masih menaruh percaya pada sastra dengan kekuatan kata. Tapi, sewaktu-waktu ia tak jarang mengeluh, “Ah, Republik Kata-kata. Semua harus dikata, tak satu pun yang mau kerja dan berbuat”.

Pram telah berbuat. Sampai ketika ia berpelung ke pangkuan ilahi tahun 2004, ia telah berbuat begitu banyak untuk Indonesia. Kendati pelarangan atas karya-karyanya sampai akhir hayatnya masih belum dicabut. Namun Pram bebas menyatakan pendapat. Bahkan ketika ia ikut mendeklarasikan PRD, tak ada yang mengusiknya. Puluhan tahun menjadi manusia bubu telah membentuk wataknya yang berani menghadapi apa saja, bahkan ancaman maut.

Terakhir saya membaca pandangan Pram dalam wawancara dengan majalah Play Boy. Kecintaannya terhadap generasi muda tidak pernah berubah. Tapi ia kecewa dengan tokoh PRD yang justru memutuskan sekolah ke Inggris dan bukannya sekolah bersama massa partai. Pram memang bukan makhluk gerombolan yang suka meneriakkan slogan-slogan dan kampanye di jalanan. Dalam kesehariannya ia lebih banyak menyendiri. Melakukan refleksi di ruang kamar sempit tempat dia menuangkan refleksi-refleksi perjalanan hidupnya. Sikap kesendirian inilah yang kerapkali menghasilkan novel dengan kualitas yang belum tertandingi di negeri kita hingga hari ini. Namun, kesendirian semacam itu bukanlah kesendirian dengan tiadanya perbuatan—seperti umumnya berlaku—sebab kesendirian seorang pengarang adalah kesendirian yang melahirkan empati dan tindakan melawan segala bentuk yang hendak melupakan.

Pram memang ibarat situs perjalanan kesusastraan modern Indonesia sendiri, yang tertatih-tatih dalam mencari bentuk dan menyikapi zaman. Novelis ini mengalami begitu banyak hal untuk dikenang dan dicatat. Ia seorang anak desa yang menjadi urban. Pengarang yang aktif menyuarakan harga diri kemanusian Indonesia, kendati harga dirinya sendiri di injak-injak.

Puluhan karya sastra yang dihasilkan dalam rentang 50 tahun lebih kepengarangannya menjadi ladang subur bagi persemaian (bahkan pertikaian?) gagasan dan pertaruhan politik kekuasaan di sini. Dengan wataknya yang keras, dan kritik-kritiknya yang tajam di tahun awal 1960-an, banyak yang merasa terganggu dan gerah.

Pram memang bukan seorang yang pandai berbasa-basi. Bahkan Bung Karno yang begitu berpengaruh pada zamannya seringkali mendapat sasaran kritiknya. Ia pernah mengkritik keras buku Sarinah. Menurutnya, buku itu hanya menghasilkan sikap yang tidak berwatak, sebentuk kumpulan bahan mentah yang tak berjiwa, atau kumpulan sesobekan kertas tua di keranjang takakura perpustakaan.

Pram pernah juga mengkritik novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Novel ini mengangkat tema seputar tegangan Barat dan Timur yang “dipenting-pentingkan”, sehingga si pengarangnya lupa pada kemestian untuk menerima-memberi. Tak luput pula karya pengarang Anak Agung Gde Agung, yang menurut Pram banyak mengambil secara mentah-mentah kebudayaan Barat sebagai ukuran kebudayaan Indonesia—sebuah ukuran yang sangat ganjil, seperti halnya menilai cuka dengan ukuran kecap.

Sebelum menjadi orang Lekra, ia pernah mengkritik Lekra. Waktu itu Lekra menuduh bahwa setelah Chairil Anwar mati, sastrawan angkatan 45 telah mati pula. Pram membela angkatan 45—walau ia sendiri sangat kritis terhadap angkatan ini dan hanya memasukkan Chairil dan Idrus sebagai yang pantas menyandang gelar angkatan 45—dengan mengatakan bahwa tidak betul itu. Tuduhan Lekra dan juga S.T. Takdir itu tidak benar. Memang satrawan 45 sudah tidak ada lagi sejalan dengan bergesernya iklim kekerasan dalam Revolusi Bersenjata ke arah iklim pengalaman hidup yang normal. Anggatan 45 pernah ada, tapi sekarang tidak kecuali karya-karya peninggalannya. Ini diucapkan Pram dalam esai 45 Indonesia Dalam Sejarah Kesusastraan di majalah DUTA tahun 1953.

Watak keras Pram memang agak berkurang dalam novel tetralogi: Bumi Manusia ( 1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Pram banyak bermain dengan alur yang agak terarah, tapi pada saat yang sama, tetralogi itu mampu menyihir para pembaca untuk ikut bersimpati dalam perjuangan tokoh-tokohnya menegakkan keadilan dan kemanusian. Akibatnya, banyak sekali kritikus sastra memahami perubahan watak tokoh yang ditindas dalam novel tetralogi tak sekuat dalam karya terdahulunya.

Tahun 2004 penerbit Lentera Dipantara menerbitkan catatan lama Pram yang tercecer di berbagai media massa, yang diberi tajuk Menggelinding 1. Buku ini merupakan napak tilas penting atas kreativitas kepengarangan Pram yang memang “menggelinding” dalam rentang waktu tak sampai sepuluh tahun (1947-1956).

Pram merekam ingatan-ingatan sosial tentang sejarah, politik, agama, sastra dan kebudayaan. Meski sebagian besar dari karya-karyanya yang pernah terbit di tahun 1950-an belum seluruhnya ditemukan, kekayaan gagasan Pram begitu menjulang. Bagi Koesalah Soebagyo Toer, dari lima puluh enam tulisan Pram sejak 1947-1956, yang terkumpul dalam buku Menggelinding I itu, hanya empat puluh persennya yang bisa ditemukan kembali.

Agaknya, penerbitan tulisan-tulisan awal Pram diniatkan sebagai bahan bacaan lain dari apa yang pernah kita ketahui lewat novel-novelnya. Kelainan itu tentu dengan alasan-alasan bahwa Pram tidak hanya seorang penulis novel dan sejarah yang bernas, tetapi sajak-sajaknya, esai, cerita pendek, refortase media, kolom, opini bahkan karya terjemahan tak kalah pentingnya mewariskan ingatan kolektif dari apa yang pernah terjadi di negeri pascakolonial.

Pram bahkan pernah menulis beberapa puisi. Tapi Pram gagal menulis puisi. Dan puisinya terlampau kering dari metafor. Pram memang seorang prosais, dan di sana-sini seorang esais. Ia sangat produktif mengisi esai di rubrik buletin DUTA. Bahkan, majalah Mingguan Merdeka yang diasuh oleh Darmawidjaja—gurunya sendiri—pernah juga memuat tulisannya. Masalah menulis, jelas Pram sudah mengerjakannya jauh sebelum tahun 1947. Ia berkali-kali menyatakan bahwa ia menulis sejak masih di kelas 3 Sekolah Dasar (atau Sekolah Rakyat). Beberapa naskah yang ditulisnya selama masih bertugas di Bekasi (1945-1947) bahkan pernah disita oleh marinir Belanda di stasiun Klender.

Dalam biografinya tentang Hikayat Sebuah Nama, Pram pernah mengeluarkan majalah Sekolah Taman Siswa yang memuat juga tulisannya. Namun, seperti kita ketahui bersama, separuh lebih dari tulisan-tulisan Pram diberbagai jurnal dan surat kabar di atas telah raif, terutama sejak meletusnya kudeta 1965.

Dalam menulis, Pram banyak menggunakan nama samaran. Seperti diceritakan Koesalah Soebagyo Toer, paling tidak ada sembilan bentuk namanya, sebelum akhirnya ia menggunakan nama terakhir itu. Ia menggunakan nama Pramoedya Tr., Pr. Toer, Ananta Toer, Pramoedya Tr., M. Pramoedya Toer dan lain-lain.

Dalam sebuah tulisan terjemahan; “115 Buah wasiat Majapahit (beberapa petikan)”, ia menggunakan nama Pramoedya Tr. Dalam tulisan “Si Pandir” dan “Bunda untuk apa kami dilahirkan” tulisan Lode Zielens yang dia terjemahkan, ia memakai nama Ananta Toer, dalam sajak berjudul “Huruf”, ia menggunakan nama M. Pramoedya Toer, dalam tulisan “Kalau Mang Karta di Jakarta”, “Ori di Jakarta” dan “Dayakhayal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu” ia menggunakan nama Pr. A. Toer, dalam “Bingkisan; Untuk adikku R” ia menggunakan nama Pramoedya Toer, dalam “Keluarga Mba Rono Jangkung”, ia memakai nama Pram Ananta Toer, dalam “Lemari Buku”, “Kedailan sosial para pengarang Indonesia” dan “Sepku”, ia memakai nama Pramudya Ananta Tur, dalam “Kalil siopas kantor” , “Yang tinggal dan yang pergi”, dan dalam puisi “Anak Tumpahdarah” ia memakai nama Pramoedya Ananta Toer.

Mengapa begitu banyak nama samaran yang dipakai Pram saat menulis diberbagai jurnal dan surat kabar waktu itu? Kita hanya bisa menduga-duga jawabnya: pertama, berkaitan dengan kekuasaan waktu itu yang sebetulnya tak kurang represifnya melakukan sensor dan bredel. Bahkan, di tahun ketika pemberlakuan PP. Nomor 10 oleh Soekarno, Pram ditangkap dan dipenjara karena ia menentang keras kebijakan itu.

Kedua, sebagai sosok penulis muda yang mengidap “libido” menulis yang luar biasa produktif, ada rasa tidak enak jika tulisan-tulisannya “menghegemoni” seluruh media tanah air. Dan samaran nama seperti ini lazim digunakan oleh penulis-penulis di zaman Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Ketiga, mengikuti apa yang dikatakan Koesalah Soebagyo Toer, sikap seperti itu bukan sekedar masalah teknis, melainkan ada hubungan dengan pencarian psikologis mengenai jati diri dan tempatnya di tengah masyarakat umumnya dan lingkungan kepengarangan khususnya. Ketiga, mungkin sebagai pencarian nama yang diras pas dan cocok.

Pram, sebagaimana para penulis umumnya, tak puas dengan hanya satu bentuk tulisan. Ia menulis beberapa catatan pribadi, sajak-sajak tanah air, perjalanan dan refortase hingga laporan-laporan jurnalistik yang tangguh, yang begitu penting menghargai perjalanan waktu.

Menulis bagi Pram merupakan langkah penting untuk menjaga ingatan agar tak mudah (di) lupa (kan). Dan sastra adalah media paling ampuh bagi Pram untuk menjaga ingatan melawan lupa itu. Pram melukiskan karakter manusia Indonesia dan elit politiknya yang baru saja selesai merayakan kemerdekaan. Dalam Bukan Pasar Malam dengan liris ia mengisahkan tokoh ayah yang didera TBC hingga akhirnya harus pergi untuk selama-lamanya. Dari judulnya, karya ini syarat metafor, yakni metafor pasar malam: sebuah kisah tentang hiruk-pikuk manusia Indonesia modern yang terjebak sendirian di tengah-tengah kemeriahan pasar malam.

Pram rupanya membayangkan eksistensi dirinya yang terasing sendirian di tengah-tengah gegap-gempitanya suara Revolusi Indonesia, sementara satu persatu temanya pergi untuk selamanya, sedang yang belum pergi berharap-harap cemas menanti giliran. Di tengah orang ramai, Pram tetap merasa kesepian, sendirian, bahkan penderitaan.

Pram pernah bilang, wajah demokrasi yang kita warisi tampak seperti binatang melata yang pasrah dalam diam dalam menerima kenyataan. Pram kemudian mengusulkan agar kita hidup seperti laron yang mencari api, meski ia harus terbakar dan mati, tapi ia mati sebagai orang yang berguna. Seperti halnya Socrates yang mengejek demokrasi, yang memberinya hak untuk mengejeknya, Pram telah menggunakan haknya untuk meruntuhkan sophisme, mengkritik demokrasi sebagai perkoncoan, dan jadi perintis baru bagi dunia kepengarangan.

Demokrasi, kata Pram, mengandaikan “setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh –ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum miskin yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pramoedya terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial.

Sebagai konsekwensi dari sikapnya yang berani, Socrates harus kehilangan nyawanya sendiri. Sementara Pram mengatakan: kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Kematian selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad. Keberanian menghadapi mati dan hal-hal yang baru sangat diperlukan dalam masa perubahan sekarang ini. Sebuah keberanian yang, betapa pun ganjilnya, muncul dari hati yang jujur.

Apa yang terjadi pada Pram semasa hidupnya tak lebih sebagai sebuah ironi di tengah republik kata-kata. Sebuah negeri yang dalam ungkapan Pram dilukiskan sebagai ”negeri di mana orang gampang memaafkan, gampang mengakui dan juga gampang melupakan. Itulah negeri Indonesia. Ke-Indonesia-an, dimana kegagalan demi kegagalan, pukau demi pukau terlentang tebal di depan. Dan sukses hanyalah bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita… Apa yang pernah diperbuat umat manusia, adalah permulaan dari segala yang hendak diperbuatnya di kemudian hari. Mereka mungkin tersenyum puas dari segala yang hendak diperbuatnya. Kalau Tuan kenal Baco–manusia renaisans Eropa—Tuan akan mengenal apa arti permulaan. Apa arti perbuatan tuan sendiri?…Akhirnya, manusia dalah biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri. Tiap-tiap orang memaki: Tukang becak pun memaki parlemen. Aku mau tetap sendiri. Aku bukanlah makhluk gerombolan.”

Sistem apa pun tak akan pernah membenarkan terjadinya pelanggaran kemanusian yang berlarut-larut. Puluhan tahun ia harus mendekam dalam penjara, kreatifitas dan kebebasan berkarya dilarang dan disensor, caci-maki yang tak henti-hentinya dilakukan oleh lawan-lawannya politik. Barangkali tak mengherankan bila A. Teeuw (1980) menaruh simpati padanya dan menyebut dirinya sebagai penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah hanya dalam satu abad.

Almarhum Y.B. Mangunwijaya dan Sapardi Djoko Damono menganggap roman Bukan Pasar Malam sebagai karya yang berhasil dalam sejarah kepengarangan Pram. Kesaksian tokoh-tokoh dalam roman ini menunjukkan bagaimana sejarah kita telah diselewengkan oleh mereka yang sama sekali tak mengerti makna sejarah. Demokrasi yang menjunjungtinggi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ternyata hanya mimpi yang penuh ilusi.

Sejak Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasilanya Soeharto, mimpi keadilan sosial hanya melahirkan ketidakadilan sosial. Bagaimana mimpi besar Bung Karno untuk mewujudkan masyarakat proletar yang berdaya, ternyata melahirkan diskriminasi rasial yang menakutkan. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 10/1959 (atau P.P. 10) adalah contoh kebijakan yang sangat tegas ditolak oleh Pram, meski ia harus mendekam dalam penjara. Tak sepenuhnya benar anggapan bahwa Pram adalah “anak spiritualitas” dan pendukung gagasan demokrasi Bung Karno.

Dengan menyindir para aktor demokrasi, Pram kembali melontarkan kritiknya terhadap sistem ini: “Setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh, ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Pram menyebut uang sebagai ciri dari sistem demokrasi elitis, sementara yang melarat, demokrasi hampir tak memiliki makna apa-apa. Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum paria yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pram terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial. Dalam buku ini, ia mengatakan secara tegas: “ di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”.

Pram kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan sang ayah, yang dalam kesaksian-kesaksian orang ketiga dalam roman Bukan Pasar Malam, sangat pantas mendapatkan predikat pahlawan. Ayah yang sehari-harinya bekerja sebagai guru dan pejuang kemerdekaan, tidak pernah disinggung dan dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional tak lebih sebagai buatan rezim resmi yang menipu. Kalimat-kalimat reflektif Pramoedya melukiskan bagaimana makna kemerdekaan telah jauh dari arti semula. “Dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”. Dengan menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pram kembali mengingatkan kita:

“Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa Pram dalah situs kesusastraan Indonesia yang akan selalu mengingatkan kita akan pentingnya memperjuangkan politik ingatan untuk melawan lupa. Jika kemudian Milan Kundera pernah memformulasikan bahwa: “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa”, jauh-jauh hari Pram sudah mengingatkan hal itu. Ia telah memberikan pelajaran berharga, bagaimana pentingnya melakukan perlawanan terhadap kekuasaan dengan menjaga dan menuliskan ingatan melalui karya sastra. Sebab, seperti yang selalu diingatkan dalam perjuangan Pram, sejarah kita ditulis bukan oleh mereka yang dikalahkan, tetapi oleh para jenderal yang menang–history is written by the winning general!

Sastra, Agama, Tuhan

Dalam esainya bertajuk Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan (1953), Pram mengatakan: masalah Tuhan tidak akan habis-habisnya dibicarakan dalam sastra. Namun, sampai tahun 1953 Pam masih melihat sebagian besar pengarang Indonesia dalam mendekati Tuhan terlebih dahulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Sungguh aneh baginya, kaena hakikat dari kepercayaan itu sendiri begitu luas, yang tanpa kejujuran akal-pikiran maka ia bisa berubah kefanatikan. Dan sepanjang sejarah, kata Pram, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran. Dan karena kefanatikan itu pula, membuat mereka jadi buta akal, yang cuma melihat satu sinar saja. Dan itu pula yang ditujunya, hendak direguknya habis-habis.

Kematian yang romantis selalu datang dan pergi sepanjang zaman, juga dalam buku-buku dalam tiap zaman. Bagi mereka yang membaca buku-buku sastra dan filsafat yang sering termaktub kalimat-kalimat yang seakan-akan meniadakan, mengejek atau mengingkari Tuhan, perkataan janggal adalah terlamapu lunak untuk itu. Sebaliknya, perkataan itu diganti dengan marah. Dan ini adalah soal yang gampang dimaklumi di negeri ini.

Dalam kesusastraan, konflik pemahaman tentang Tuhan tidaklah merupakan kejadian setempat, tetapi suatu pemberontakan seorang pengarang terhadap anggapan-anggapan biadab tentang Tuhan. Pujangga seperti Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar, kata Pram, adalah sosok dari pengarang yang memahami Tuhan bukan dalam keyakinan buta. Hamzah Fansuri dan Siti Jenar terpaksa memberikan jiwanya karena pemahaman Tuhan di luar kebiasaan.

Bagi Pram, bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai durhaka, sebab bukanlah yang dimaksudkan dengan Tuhan itu sendiri, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati. Cemoohan semacam itu dilemparkan oleh sekelompok golongan kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama itu oleh sang Kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran Kebiasaan (keyakinan resmi).

Pemikiran Pram telah melahirkan pandangan yang religius dan humanis. Pram nyaris tak pernah berhenti mencari makna di balik semua perkataan manusia tentang Tuhan. Apa yang pernah dipahamainya tentang Tuhan, direfleksikan, dibongkar dan direfleksikan kembali. Esai Masalah Ktuhanan dalam Kesusastraan ini pernah ditampik beberapa penulis yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan dan secara simplistis disimpulkan bahwa Pram atheis (Lihat buku Prahara Budaya, terutama bagian lampiran). Padahal, pemahaman tentang Tuhan bagi Pram adalah sebuah proses yang tidak sekali jadi lalu dianggap selesai, dan perdebatan pun berhenti sampai di situ. Apa yang diyakini dan dipahami manusia tentang Tuhan diungkapkannya kembali sampai ia menemukan sifat hakiki yang unik, yang cerdas dan—mungkin juga—subversif.

Pram memahami Tuhan sangat kritis, bahkan mengambil jarak dan wasapada: ia-sekaligus-tak (minjam ungkapan Sindhunata). Dalam tulisan-tulisan awalnya, Pram banyak bersentuhan dengan ide tentang Tuhan dalam kesusastraan. Menurutnya, pengertian manusia tentang Tuhan dengan sendirinya akan jauh berlainan sifatnya daripada pengertian usang atau yang telah diusangkan yang diberikan oleh kebiasaan (mainstream). Refleksi terhadap Tuhan menghasilkan sebuah pandangan yang nyaris menyimpan aura mistik dan magis sendiri, yang jika dibaca dalam terang etika keagamaan resmi, mungkin bisa disebut a-religius.

Pram melihat bahwa diskusi tentang masalah ketuhanan seakan-akan Tuhan mendapat tempat dua macam dalam jiwa manusia. Tuhan di satu tempat adalah Tuhan yang dikehendaki agar dipercaya, dianut, dipatuhi. Tuhan di tempat lain lagi adalah Tuhan sebagai obyek, sebagai sesuatu yang dikehendaki agar diurai, dipahami. Dengan demikian, ada Tuhan yang harus dipercai dan Tuhan yang harus dipahami. Yang pertama, adalah akibat—atau hendaknya sebagai akibat—dari yang kedua.

Bila yang ada pada seseorang hanya yang pertama belaka, ini tidaklah mengherankan. Ia adalah suatu soal tukang sulap yang mana seluruh jawaban sudah sedia. Yang kedua adalah, soal pencarian, pengertian, perjuangan jiwa—tak ubahnya dengan seseorang yang dengan tekunnya mencari unsur-unsur baru yang belum pernah dikenal orang, atau mendapat obat baru yang belum pernah didapatkan orang, untuk kelangsungan sejarah kemanusian. Kebimbangan dan kesaksian yang sehat adalah lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.

Mereka yang memandang Tuhan sebagai titik mati yang tak boleh disinggung-singgung, sesungguhnya tidak perlu benar mengutuk demokrasi yang mengakui hak asasi manusia, yang mana dengan hak-hak ini pula Socrates (dalam demokrasi antiknya) mengejek demokrasi yang memberinya hak untuk mengejeknya, tapi yang juga telah mempergunakan hak-haknya untuk meruntuhkan kekuasaan sophisme, dan jadi perintis baru dalam lapangan filsafat, sebagai konsekwensi dari keberandalannya itu, ia harus kehilangan nyawanya sendiri. Tanpa ada gebrarakan semacam ini dalam lingkungan masalah ketuhanan, maka pemikiran hanya terbatas pada selingkungan kata-kata belaka, dan kemudian pengertian akan tersepak kian kemari. Orang akan terjerat dalam kekuasaan dogma-dogma melulu. Dan sesungguhnya, kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Dan kemampusan ini selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad.

Tiap istilah, tiap pengertian, dan tafsir tentang Tuhan menurutnya, akan senantiasa berubah. Maka, kesusastraan sebagai cermin kehidupan manusia tentu saja mau tak mau membawa-bawa masalah Tuhan di dalamnya. Namun sayangnya, kebanyakan para sastrawan Indonesia masih terjebak dalam melukiskan Tuhan sebatas sebagai Tuhan yang dipercaya suntuk memecahkan segala masalah. Sementara Tuhan yang dipahami sangat jarang ditemukan dalam novel-novel kesusastraan Indonesia. Karena itu, Tuhan dalam pengertian inilah yang menjadi garapan para sastrawan. Tuhan yang dipuja selamanya akan memberikan kesan bahwa ada sesuatu penindasan rohani yang sebenarnya tidak perlu diperkuat dalam suatu ketertiban umum.

Bagi Pram, keberanian mengkaji azas-azas pemikiran bisa jadi jalan untuk mengerti, memahami, dan memaknai. Tanpa keberanian, jalan ke arah penindasan hak asasi manusia akan semakin terbuka lebar. Keberanian untuk menafsirkan Tuhan dengan pikiran dan kalbu yang dinamis akan menghilangkan keragu-raguan tentang Tuhan itu sendiri. Pemberontakan terhadap pakem dan tafsir resmi atas Tuhan harus dilakukan, dan tugas seorang sastrawan untuk menciptakan makna baru tentang Tuhan yang tidak pemarah dan tukang memangsa, tapi Tuhan yang indah dan berani. Pengertian Tuhan semacam ini akan membawa karya sastra sebagai cermin masyarakat dan cermin kepribadian pengarangnya. Sastra dengan kadar religiositas semacam inilah yang akan melahirkan karya sastra yang subversif.

Emansipasi Kartini dalam Karya Pram

Harus saya catat di sini bahwa Pram begitu terpukau pada Kartini. Pandangan Pram tentang kebebasan dan kritiknya atas agama dan ketidakadilan gender begitu dekat dengan Kartini. Emansipasi agama dianggap sebagai sebuah keharusan jika agama akan tetap punya pesona bagi pemeluknya, juga banyak diwarnai oleh pertemuan Pram dengan Kartini. Dengan menohok pandangan orang terhadap agama yang rigid, Pram bahkan pernah dikampanyekan sebagai sastrawan atheis.

Dalam roman Gadis Pantai tampak nuansa pergulatan Kartini masih begitu kuat membayangi kritik yang dilakukan Pram terhadap sistem feodalisme Jawa yang menempatkan perempuan sebagai abdi laki-laki. Gagasan emansipasi yang dibawakan Pram dalam novel-novelnya memiliki banyak kesamaan pandangan dengan Kartini dalam Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang.

Pram sangat mencintai Kartini dan telah mengambil tidak kurang dari separuh semangat emansipasi Kartini dalam karya-karyanya. Berkali-kali Pram mengakui bahwa ia beguru dengan surat-surat Kartini. Pram sendiri telah menghasilkan buku riset yang langka bertajuk Panggil Aku Kartini Saja—yang diterbitkan petama kali oleh N.V. Nusantara, Bukittinggi-Djakarta, 1962. Buku ini lahir oleh sebuah desakan kecintaan Pram pada Kartini.

Novel Bumi Manusia, dengan perwatakan tokoh Nyai Ontosoroh dan putrinya Annelis, Pram menampilkan kesan sebagai sosok emansipasi perempuan yang menyerupai Kartini. Menurut penjelasan Minke, Nyai Ontosoroh tak menyimpan rasa kompleks terhadap pria, bahasa Belandanya sangat fasih, ”seperti seorang guru dari aliran baru yang bijaksana”, ya seperti Kartini—soko guru pendidikan itu. Nyai Ontosoroh adalah sosok perempuan yang telah meninggalkan dapur rumah tangganya dengan mengenaka baju-kerja dan mencari kehidupan pada perusahaan orang, berbaur dengan pria tanpa rasa canggung.

Annelis sendiri dilukiskan Minke sebagai gadis dengan sifat ke kanak-kanakan yang tidak tamat SD tapi mahir dalam mengkoordinasi pekerjaan yang begitu banyak, sering menunggang kuda sendirian, memerah susu sapi jauh lebih banyak dari yang dihasilkan semua pemerah; ”gadis luar biasa, seperti seorang ibu melayani rakyatnya dengan ramah; jangankan pada sesama manusia, pada kuda pun ia berkasih sayang, lebih agung dari dara yang pernah kuimpikan”, kata Minke:

Tak berlebihan bila suatu waktu di dekat perkebunan, tiba-tiba Minke mencium Annelis nyaris tanpa disadarinya sendiri. Bagi Minke, apa yang dilakukannya bukanlah karena ia jatuh cinta, atau ini tentang kisah cinta: ”tak ada cinta dan kisah cinta muncul mendadak. Saya tak mengerti cinta”, kata Minke pada Jean dengan polos. Pram sendiri dalam beberapa wawancaranya pernah mengatakan bahwa dia nyaris tak pernah merasakan artinya jatuh cinta. Cinta adalah rasa kebudayaan, cinta mendadak bukanlah cinta. Tapi Jean Marais tak kehilangan akal untuk menasehati Minke ketika menceritakan tentang keluarga Nyai Ontosoroh lewat frase yang paling menggugah laki-laki: ”Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Dahsyat!

Pram begitu kagum pada sosok Kartini dengan semboyan ”aku mau” itu. Bahkan dalam salah satu kisah Bumi Manusia, Pram melukiskan kesannya terhadap Kartini sebagai guru yang telah mendorongnya jadi penulis: ”Memang ada banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyi Ontosoroh yang pernah kutemui”. Sebelum Ontosoroh, Pram menyebut seorang perempuan pribumi yang cerdas lewat tokoh Minke:

Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita Pribumi yang hebat seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia putri Bupati J—wanita Pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya pertama diumumkan ia berumur 17 tahun. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi dimuat di majalah keilmuan? Tapi aku percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. Kan telah kubuktikan aku juga bisa melakukan? Biar pun mash tarap coba-coba dan kecil-kecilan? Bahkan dialah yang merangsang aku untuk menulis.

Orang tahu siapa sosok perempuan pribumi yang diceritakan Pram di atas, dan saya kira perempuan yang ingin dipanggil Kartini saja itulah yang telah ikut mebentuk pandangan ”feminisme” Pram—walau bukan satu-satunya. Berbagai persoalan besar yang digugat Kartini kita temukan juga dalam gugatan Pram; terhadap kolonialisme, pendidikan, feodalisme, penindasan terhadap perempuan, hingga agama.

Kartini seorang pribumi yang sudah mengenal bahan bacaan dari Eropa dan seorang penulis surat upaya yang mengagumkan dengan bahasa Belanda yang fasih. Pram seorang Jawa yang tak menulis dalam bahasa ibunya, tetapi pandangan dan semangat pembebasannya sangat Eropa. Revolusi Prancis telah membentuk watak emansipasi Kartini dan Pram. Dalam novel tetraloginya, Pram sendiri bahkan sempat dicekam kebimbangan dalam menempatkan bahasa Melayu dan bahasa Belanda, dan ia sendiri sangat fasih berbahasa Belanda, tapi menulis dengan bahasa Melayu—atau bahasa Indonesia. Nnovel-novel awalnya, seperti Keluarga Gerilya, Mereka yang Dilumpuhkan, Bukan Pasar Malam, dan Gadis Pantai, bahasanya terasa lebih Melayu ketimbang karya orang Melayu Sumatera sendiri pada waktu itu.

Kritik yang dilakukan Pram terhadap agama sangat diwarnai semangat emansipasi Kartini, yang keduanya khas pandangan pencerahan Eropa. Agama, sebagai harapan satu-satunya untuk membebaskan rakyat dan kaum perempuan bumiputera dari keterbelengguan, dalam penghayatan Pram dan Kartini justru berwajah menindas. Sistem perkawinan, sitem perceraian, sistem pembagian harta waris dan zakat yang rigid dan diskriminatif, lebih banyak merepresentasikan keinginan laki-laki dan kolonialisme ketimbang kaum perempuan bumiputera. Perselingkuhan kolonialisme-feodalisme telah membuat Nusantara berada dalam kegelapan, dihempas badai dan dirundung duka, sebagaimana kita lihat dalam frase awal telisik ini.

Bagi Pram, kebimbangan dan kesangsian yang sehat mengenai agama dan Tuhan, jauh lebih baik ketimbang keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya. Kartini menggugat agama dengan sangat menohok khas kritikan kaum intelektual Eropa abad ke-19. Agama baginya telah kehilangan semangat emansipasinya. Kartini bahkan menunjukkan kepada kita betapa sistem patriarki yang bertamorfosis dengan sistem feodalisme dan kolonialisme itu ternyata tidak hanya telah merendahkan derajat kaum perempuan, namun juga telah menempatkan perempuan sebagai abdi kaum penjajah.

Dalam surat-menyuratnya tampak tergurat nada sastrawi dalam bentuk surat upaya dengan gaya puisi-prosa yang terkadang begitu getir mempersepsikan masa depan Nusantara. Kartini, sebagaimana juga Pram, tampak gamang dan gelisah dalam menempatkan buah pikirannya di tengah arus besar perubahan sejarah negeri pascakolonial, mulai dari persoalan pendidikan, filsafat, agama, sastra, budaya, sejarah, hingga ke persoalan (kuasa) bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda.

Bagi Pram, apa yang dikatakan bebas oleh Kartini tak berarti bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa perlu mengenal batas. Bila Kartini menyebut kata bebas dalam suratnya, yang dimaksudkannya ialah kebebasan jiwa. Orang Indonesia, kata Pram kemudian, masih belum bebas dalam menafsirkan kehendak Tuhan dengan terlebih dulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Hakikat dari kepercayaan yang begitu luas menjadi kerdil, dan tanpa kejujuran nurani dan pikiran maka seorang yang beragama sekali pun bisa berubah menjadi fanatikus yang buta. Dan sepanjang sejarah, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran.

Baik Pram maupun Kartini, keduanya melihat penyelewengan dan kemerosotan agama bukan dari sebuah pembacaan tanpa realitas, tapi keduanya menyaksikan dari dekat bagaimana agama telah dimanipulasi untuk kepentingan ideologis-politis yang menempatkan teks melulu sebagai legitimasi untuk membenarkan kesewenang-wenangan yang kelak akan kita temukan juga dalam pandangan Adonis—penyair dan pemikir Arab-Islam kontemporer. “Benarkah agama itu restu bagi manusia?” tanya Kartini dalam surat betanggal 6 Nopember 1899. Kartini ragu, gamang, bukan karena ia tak percaya bahwa di dalam Islam masih terkandung kebaikan dan rahmat bagi manusia dan semesta raya, tapi ia terlanjur menyaksikan “betapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu”, tulisnya.

Tak berhenti di situ, Kartini pun tak tanggung-tanggung mengarahkan penanya kepada Islam, dan ia juga mengatakan dirinya turunan kaum muslim, tapi baginya, “Tuhan Allah hanyalah kata seruan, sepatah kata, bunyi yang tiada arti dan rasanya”. Sementara Pram mengakui, pemberontakan terhadap Tuhan bukanlah sesuatu yang baru bagi pengarang-pengarang di Indonesia, dan Kartini telah memulainya. Bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kata Pram, maka kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai jahanam, sebab bukanlah yang dimaksudkannya adalah Tuhan yang sebenarnya, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati.

Cemoohan terhadap Tuhan adalah cercaan yang dilemparkan oleh golongan tertentu kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama tersebut oleh sang rezim kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, kata Pram, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran kebiasaan (keyakinan resmi dan mayoritas).

Kartini menolak agama yang dijadikan legitimasi oleh sebagian orang untuk berperang atas nama Islam dan Kristen di bumi Nusantara. Pram membaca dalam banyak surat kabar bagaimana Islam, Kristen, dan Hindu saling membenarkan perang dan menghancurkan kemanusiaan di India dan Bangladesh. Kedua penulis ini begitu terluka menyaksikan kalangan agamawan yang masih terus menjadikan agama yang terorganisir sebagai sandaran teologis dalam perang dan mengukuhkan sistem patriarki warisan feodalisme Jawa dan kasta di India itu.

Dalam suratnya tertanggal 13 Agustus 1900, yang ditujukan kepada Abendanon, Kartini mengkritik Islam yang melegitimasi poligami dan pembodohan terhadap perempuan. Demikian pula dalam suratnya bertanggal 23 Agustus 1900 yang ditujukan pada nyonya Zeehandelaar, gugatannya terhadap sistem perkawinan, serta gambaran betapa sulitnya seorang istri yang meminta cerai kepada suaminya kendati harus mengemis berkali-kali, merupakan contoh gugatan Kartini terhadap agama, yang belakangan ini begitu semarak diwacanakan oleh kaum feminis.

Kartini menampilkan empat perubahan yang diharapkannya yang dimulai dari ”habis malam terbitlah terang, habis badai datanglah damai, habis juang sampailah menang, habis duka tibalah suka”. Sudahkah kegelapan yang dilihatnya pada penduduk pribumi itu melahirkan cahaya terang? Jawabnya tentu sangat pesimis. Sistem perkawinan dan perceraian dalam Islam yang dikritik Kartini lebih dari satu abad lampau masih belum berubah.

Pram dan Kartini bukan hanya jadi juru bicara emansipasi dan kemerdekaan kaum perempuan pada zamannya, namun telah membuktikan bahwa keduanya bukan manusia yang mudah dijinakkan. Gugatan Kartini dan Pram terhadap Islam dan sistem feodalisme Jawa tidaklah harus dilihat dari antropologi dengan tendensi rasisme, karena sebagaian besar kaum intelektual Jawa masih mempersepsinya demikian. Kritik kedua pujangga ini terhadap Kuasa Jawa justru meberikan alternatif bagi penghayatan sasta dan religiusitas yang membebaskan. Sasta dan religiusitas yang mendorong tegaknya harkat dan martabat kaum perempuan dan rakyat kebanyakan tak bisa tunduk pada feodalistik.

Ungkapan-ungkapan yang bernada dekonstruksi terhadap agama telah menempatkan Kartini dan Pram dalam barisan tokoh kritis dalam memandang agama dan Tuhan. Sebuah laku yang, kendati oleh Kartini sering digugatnya, telah memberikan teladan dari hasil pencariannya: “Kami telah menemukan Dia; karena kini ini kami tahu—kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan mendjagai kami. Tuhan itu akan mendjadi penolong, pembudjuk hati, tempat kami berlindung didalam kehidupan kami jang akan datang dan ini sudah terasa oleh kami”, tulisnya dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902. Surat terakhirnya bertanggal 7 September 1904 melukiskan “Tuhan tiada akan tuli mendengar sekian banjak jerit hati yang mendoa”.

Kendati Pram sering disebut sebagai pemikir yang nyinyir dalam memandang Islam, dalam roman Keluarga Gerilya dan Bukan Pasar Malam, kita akan menemukan sosok pergulatan yang intens dalam pencarian hakikat ketuhanan. Babak akhir Keluarga Gerilya melukiskan dengan suasana religius mirip doa: “Tuhanku, biarlah aku mengalami fajar merah sekali lagi. Ya, Tuhanku, aku paham akan alamat yang Kauberikan padaku. Dosaku banyak. Aku Tahu. Dan Engkau Mahamengetahui. Engkau sendiri yang mengizinkan dosa-dosa itu berlaku di dunia ini. Dan berpuluh-puluh jiwa telah kuputuskan untuk korban pada bangsa baru yang Kaulahirkan di tanah airku. Bangsa ini Kaulahirkan di atas dosaku—dosa kita semua. Ya, aku tahu—alamatMu itu sudah kupahami. Akan sampailah ajalku…”
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita