AS. Sumbawi
Perkenalanku dengan Din berlangsung kebetulan. Malam itu, aku pergi ke
warung angkringan untuk mengusir kesuntukan setelah seharian duduk di hadapan
komputer. Di sana, kulihat beberapa orang teman duduk melingkar di atas tikar
di bawah pohonan. Mereka tampak terlibat dalam obrolan yang mengasyikkan
sembari menikmati sebatang rokok dan segelas minuman. Tentu saja, aku bergabung
dengan mereka setelah mendapatkan segelas wedang jahe dari si penjual. Tak lama
kemudian, salah seorang teman memperkenalkan aku dengannya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label AS Sumbawi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AS Sumbawi. Tampilkan semua postingan
24/07/21
21/08/19
INDONESIA YANG “TERSANDERA”
Ahmad Syauqi Sumbawi *
…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial… (Aliniea IV Pembukaan UUD 1945).
…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial… (Aliniea IV Pembukaan UUD 1945).
18/08/11
TEOLOGI PENDIDIKAN:
Upaya Pembebasan Manusia dari Alienasi Peran Kemanusiaannya
Ahmad Syauqi Sumbawi *
http://sastra-indonesia.com/
Pendahuluan
Perbincangan mengenai pendidikan tidak akan pernah mengalami titik akhir, sebab pendidikan merupakan permasalahan besar kemanusiaan yang akan senantiasa actual untuk diperbincangkan pada setiap waktu dan tempat yang tidak sama atau bahkan sama sekali berbeda. Pendidikan dituntut untuk selalu relevan dengan kontinuitas perubahan.
Dalam realitas kehidupan, sebagai kondisi riil pendidikan, dapat dilihat adanya perubahan sosial yang begitu cepat, proses transformasi budaya semakin deras dan dahsyat, juga perkembangan politik global yang tidak stabil, kesenjangan ekonomi yang begitu lebar serta pergeseran nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, mengharuskan pendidikan untuk memfokuskan arahnya pada kondisi sosial kemanusiaan di atas. Hal ini merupakan konsekuensi logis karena pendidikan harus senantiasa toleran dan tunduk pada perubahan normative dan cultural yang terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi yang lebih penting, bahwa pendidikan merupakan lembaga sosial yang berfungsi sebagai sarana pembentukan manusia yang berbudaya dan melakukan proses pembudayaan nilai-nilai.
Dengan demikian, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua komponen penting yang saling terkait satu sama lain dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Di satu sisi, pengembangan dan kelestarian kebudayaan berlangsung dalam proses pendidikan dan memerlukan pengelolaan pendidikan. Sementara itu, pengembangan pendidikan juga membutuhkan sistem kebudayaan sebagai akar dan pendukung berlangsungnya pendidikan tersebut. Pengembangan kebudayaan membutuhkan kebebasan kreatif, sedangkan pendidikan memerlukan suatu stabilitas budaya yang mapan.
Hubungan ketergantungan di antara keduanya mengandung pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya, demikian juga sebaliknya. Selanjutnya, kualitas kebudayaan akan menunjukkan kualitas manusia pendukungnya. Keduanya saling berhubungan positif, di mana ketiadaan salah satunya menyebabkan stagnasi dan distorsi dalam banyak aspek.
Berkaitan dengan peran penting pendidikan dalam pembentukan kebudayaan manusia, Islam sebagai sistem ajaran yang komprehensif, tidak luput memberikan perhatian kepada pendidikan. Dalam hal ini, al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai sumber inspirasi universal, yang selalu menyapa perubahan dan dinamika dalam masyarakat, dan secara ideal memberikan solusi-solusi dasar atas segala permasalahan kehidupan manusia.
Pengamatan terhadap situasi dan kondisi sosiologis yang terjadi di masyarakat dewasa ini menunjukkan terjadinya pergeseran nilai pada hampir setiap bidang dan sendi kehidupan manusia, terutama bidang pendidikan. Termasuk juga nilai-nilai budaya yang mulai tercerabut dari akarnya, nilai sosial yang banyak terilhami oleh rembesan atau penetrasi dunia luar, terutama melalui sekulerisasi dan westernisasi.
Dengan berbagai media yang tersaji di segala lokasi beserta informasinya, hal ini dapat memunculkan high risks bagi stabilitas kultural, di mana para generasi muda seringkali mengalami split personality. Kondisi semacam ini tampak pada fenomena di sekolah atau lembaga pendidikan mereka yang selalu disajikan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai kesusilaan, dan sebagainya, namun dalam kehidupan riilnya, mereka banyak menjumpai hal-hal yang sering bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Juga, nilai-nilai ekonomi yang cenderung kepada sistem kapitalis serta pergeseran nilai-nilai kemanusian yang lain. Lebih jauh, proses distorsi nilai seperti ini juga terjadi dalam lembaga pendidikan —tidak terkecuali lembaga pendidikan Islam—. Sementara di sisi yang lain, pendidikan seringkali dipandang sebagai institusi paling strategis untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang telah terdistorsi tadi. Reposisi nilai-nilai kemanusiaan ini mutlak diperlukan sebagai upaya untuk membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan.
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana pengertian tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan teologi dan pendidikan? Kedua, bagaimana konsep manusia dan konsep pendidikan dalam Islam? Ketiga, bagaimana posisi teologi pendidikan dalam upaya membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya?
Pengertian Teologi dan Pendidikan
1. Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiah, teologi berasal dari bahasa Yunani, berarti ilmu ketuhanan. Akan tetapi, pengertian menurut Steenbrink dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan permasalahan tentang ketuhanan, baik wujud, sifat, maupun perbuatan-Nya, yang dalam tradisi Islam disebut ilmu kalam. Dalam hal ini, teologi tidak identik dengan ilmu kalam yang berusaha mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalil-dalil aqli.
Encyclopedia of Religion and Religions, menyebutkan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun kerapkali diperluas mencakup seluruh bidang agama. Teologi, dengan demikian, memiliki pengertian luas dan identik dengan ilmu agama itu sendiri. Pengertian inilah yang kemudian secara umum dipakai di kalangan Kristen. Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya mempunyai arti khusus, yaitu refleksi orang beriman tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Menurut Anselmus, teologi adalah iman yang mencari pengertian. Dengan pemaknaan yang hampir sama, Muslim Abdurrahman mengatakan bahwa teologi adalah interpretasi berdasarkan keimanan.
Sedangkan menurut Niko Syukur, teologi adalah pengetahuan adikodrati yang metodis sistematis dan koheren, tentang apa yang diwahyukan Tuhan. Dapat dikatakan bahwa teologi adalah refleksi ilmiah tentang iman. Teologi merupakan ilmu yang “subyektif” yang timbul dari dalam, yang lahir dari jiwa yang beriman dan bertaqwa berdasarkan wahyu. Sementara Eka Darmaputra mengemukakan bahwa teologi adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif, serta eksistensial antara “teks” dan “konteks” antara “kerygma” yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Lebih sederhana dapat dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dapat juga dikatakan, bahwa teologi adalah pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai ketuhanan (iman) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.
2. Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris “education”, berakar dari bahasa Latin “educare”, yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan. Apabila diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.
Menurut Mohamad Natsir, pengertian pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Sementara Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 ayat 1 menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Apabila dikaitkan dengan Islam, pengertian pendidikan antara lain, menurut Dr. Yusuf Qardawi sebagaimana dikutip Azyumardi Azra yaitu pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis pahitnya.
Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad Saw.
Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, terdapat perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Pendidikan secara umum merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad.
3. Teologi dan Pendidikan
Dalam kalangan Muslim, Islam dipandang sebagai agama universal, di mana tidak hanya berisi ajaran mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan seluruh makhluk di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh tugas penting manusia sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas menghidupkan dan memakmurkan bumi.
Secara sosiologis, dimensi universalitas Islam di atas, dalam tataran kehidupan manusia akan terus menimbulkan ragam pemahaman seiring dengan perbedaan situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Hal ini tidak lain disebabkan bahwa, ketika universalitas diterapkan dalam kehidupan manusia, maka yang kemudian muncul adalah partikularitas, di mana partikularitas ini akan terus berkembang untuk bersesuaian dengan perubahan dan kebutuhan kehidupan manusia. Meskipun demikian, universalitas Islam tetap kekal serta menjadi dasar dan sumber inspirasi dalam seluruh proses kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pendidikan.
Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia dengan bahasanya yang lemah lembut, balaghoh yang indah, sehingga al-Qur’an membawa dimensi baru terhadap pendidikan dan berusaha mengajak para ilmuwan untuk menggali maksud kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya.
Petunjuk pendidikan dalam al-Qur’an tidak terhimpun dalam kesatuan fragmen, tetapi diungkapkan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an, sehingga untuk menjelaskannya perlu melalui tema-tema pembahasan yang relevan dan ayat-ayat yang memberikan informasi-informasi pendidikan yang dimaksudkan tersebut.
Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus, yang bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut.
Rasulullah Saw dipandang sukses dalam mendidik masyarakatnya menjadi masyarakat yang berbudi tinggi dan akhlak mulia. Pada mulanya masyarakat Arab adalah masyarakat jahiliyah, sehingga perkataan primitif tidak cukup untuk menggambarkannya, hingga datang Rasulullah Saw yang membawa mereka untuk meninggalkan kejahiliahan tersebut dan mencapai suatu bangsa yang berbudaya dan berkepribadian yang tinggi, bermoral serta memberi pengetahuan.
Al-Qur’an memberi petunjuk atau arah, jalan yang lurus mencapai kebahagiaan bagi manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 16, yaitu :
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Muhammad Saw sebagai utusan Allah untuk manusia di bumi ini diberi amanat oleh Allah sebagai penerima wahyu, yang diberi tugas untuk mensucikan dan mengajarkan manusia sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 151. Dalam ayat tersebut, mensucikan diartikan dengan mendidik, sedang mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dan metafisika dan fisika.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah, sejalan dengan tujuan penciptaan manusia dalam surat Al-Dzariyat (51) ayat 56, yaitu:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Maksudnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada Allah.
Manusia dan Pendidikan dalam Islam
1. Konsep Manusia dalam Islam
Perspektif dasar Islam terhadap manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Berdasarkan sudut pandang ini pula, filsafat pendidikan Islam memposisikan manusia dan segala aspeknya dalam konteks pendidikan. Dari pemikiran ini, maka perspektif filsafat pendidikan Islam akan berbeda dengan filsafat pendidikan umum, yang konsepnya berasal dari pemikiran para ilmuwan (non muslim) yang umumnya menafikan prinsip perspektif tersebut. Dalam perspektif para ilmuwan ini, manusia cenderung ditempatkan pada posisi yang netral.
Kajian tentang hakikat manusia adalah bagian dari filsafat yang disebut ontologi atau metafisika. Problem yang dihadapi filsafat tentang manusia ini, mengacu pada upaya untuk menjawab pertanyaan tentang hakikat manusia.
Paham materialisme, yang memandang hakikat manusia sebagai unsur materi, agaknya sulit untuk mengakui adanya unsur rohaniah dalam diri manusia. Sesuai dengan prinsip ajarannya, paham ini menganggap manusia sebagai unsur-unsur materialisme-mekanistis yang kompleksitasnya terdiri atas aspek-aspek fisiologis, neurologis, fisika, dan biokimia. Semua unsur tersebut bekerja di bawah satu sistem “organisasi” yang berpusat pada sistem pusat syaraf, yaitu “mind”. Akan tetapi, mind di sini lebih mendekati syaraf yang bersifat neurologis dan bukan psikis.
Sedangkan menurut paham dualisme, bahwa manusia sebagai makhluk adalah integritas antara jasmaniah dan rohaniah. Manusia diposisikan sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk dikembangkan pada kedua unsur tersebut. Adapun upaya pengembangannya dihubungkan dengan berbagai teori kependidikan yang berlandaskan kepada pemikiran filsafat rasional atau produk kemampuan optimal pemikiran murni manusia.
Kedua perspektif di atas, bagaimanapun akan berbeda dengan perspektif ilmuan Muslim yang merumuskan pendapatnya dan dasar ajaran Islam. Seperti al-Farabi (w. 950) dan al-Ghazali (w. 1111) menyatakan bahwa manusia terdiri atas unsur jasad atau badan dan ruh atau jiwa. Dengan jasad, manusia dapat bergerak dan merasa, sedangkan ruh, manusia dapat berpikir, mengetahui dan sebagainya.
Dalam al-Qur’an, manusia disebut dengan berbagai nama sebagai berikut, yaitu al-Basyr, al-Insan, al-Naas, Bani Adam, al-Ins, Abd Allah, dan khalifah Allah. Nama sebutan ini mengacu pada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia. Berkaitan dengan hal itu, maka untuk memahami peran manusia, perlu dipahami konsep yang mengacu kepada sebutan yang dimaksud. Pemahaman tentang peran manusia erat kaitannya dengan sebutan yang disandangnya.
Manusia dalam konsep al-Basyr, dipandang dari segi biologis. Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri dari unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material, berupa tubuh kasar atau ragawi. Dalam hal ini, manusia merupakan makhluk jasmaniah yang secara umum terikat kepada kaidah-kaidah umum dari kehidupan makhluk biologis, seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan. Manusia memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses pelanjut keturunan.
Penggunaan kata al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-Qur’an, mengacu kepada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun secara mental spiritual. Perkembangan tersebut meliputi kemampuan untuk berbicara, menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu, dengan mengajarkan manusia melalui kalam (baca tulis), dan segala apa yang tidak diketahuinya, kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di alam ruh, dalam bentuk kesaksian. Potensi untuk mengembangkan diri ini (secara positif) memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya. Dengan cara menumbuhkembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal, diharapkan manusia dapat menjadi makhluk ciptaan yang mengabdi kepada Penciptanya, melalui berbagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dimilikinya.
Kosakata al-Naas dalam al-Qur’an, pada umumnya dikaitkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling mengenal di antara mereka. Manusia merupakan makhluk sosial yang secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan terkecil (keluarga) hingga ke satuan yang paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia. Dalam konteks kehidupan sosial, peran sosial manusia dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup dalam masyarakat.
Manusia sebagai Bani Adam, tersebut dalam tujuh tempat dalam al-Qur’an. Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani Adam, manusia diingatkan Allah agar tidak tergoda oleh syaitan, pencegahan dari makan dan minum yang berlebihan serta tata-cara berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah, bertaqwa dan mengadakan perbaikan, kesaksian manusia kepada Tuhannya, dan peringatan agar manusia tidak terpedaya hingga menyembah syaitan, dengan memberi peringatan kepada manusia mengenai status syaitan sebagai musuh yang nyata. Penjelasan ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia selaku Bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam saat awal diciptakan. Pada saat Adam akan diciptakan, para Malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptaannya, manusia akan menjadi biang kerusakan dan pertumpahan darah. Hal itu kemudian terbukti bahwa Adam dan istrinya (Hawa), karena kekeliruannya, akhirnya terjebak oleh hasutan syaitan, sehingga Allah mengeluarkan keduanya dari surga sebagai hukuman atas kelalaian yang diperbuat oleh keduanya.
Manusia dalam konsep al-Ins, mengacu pada hakikat penciptaannya. Dalam hal ini al-Qur’an mengemukakan bahwa jin dan manusia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya diharapkan akan selalu menyadari hakikat dirinya tersebut. Manusia dituntut untuk dapat memerankan dirinya sebagai pengabdi Allah secara konsisten dengan ketaatan total. Ketaatan kepada Allah merupakan peran puncak manusia dalam segala aspek kehidupannya, karena atas dasar dan tujuan tersebut, manusia diciptakan oleh-Nya.
Al-Qur’an juga menyebut manusia dengan Abd Allah, yang berarti abdi atau hamba Allah. Abd Allah, dalam arti dimiliki Allah, mencakup seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak. Kepemilikan Allah terhadap makhluk tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian, Abd Allah tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktifitasnya dalam kehidupan. Di samping itu, manusia disebut Abd Allah juga disetarakan dengan konteks kata tersebut. Kata Abd, juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri. Ibadah kepada Allah merupakan sikap dan pernyataan kerendahan diri yang paling puncak dan sempurna dari seorang hamba. Kemudian ibadah itu sendiri berupa pengabdian yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata.
Konsep selanjutnya tentang manusia adalah khalifah Allah. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa sebelum manusia diciptakan, Allah telah mengemukakan kepada para Malaikat tentang penciptaan seorang khalifah di muka bumi. Untuk mengemban tugas-tugas kekhalifahan itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan berbagai potensi, salah satunya bekal pengetahuan.
Berdasarkan konsep-konsep tentang di atas, setidaknya manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu pertama, sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kedua, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Ketiga, sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Keempat, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.
2. Konsep Pendidikan dalam Islam
Merujuk kepada informasi al-Qur’an, pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan Islam dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim.
Tarbiyah berasal dari kata Rabba, pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat dalam ayat al-Qur’an, yaitu:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik (rabbayaaniy) aku waktu kecil”. (QS. Al-Israa: 24)
Menurut Syed Naquib Al-Attas, tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan tumbuhan. Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata tarbiyah mengandung arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan dan memproduksi baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah.
Kata Rabb di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan pada obyek-obyek yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan kata alam, sesuatu selain Tuhan. Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut seperti pada surat Al-A’raf ayat 61, yaitu:
“Nuh menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan Tuhan (Rabb) semesta alam.”
Pendidikan diistilahkan dengan ta’dib, yang berasal dari kata kerja “addaba”. Kata ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktik yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah sebaik-baik contoh teladan bagi kamu sekalian.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status orang tua sebagai pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak.
Pendidikan disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘alama’ berkonotasi pembelajaran yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan pendidikan ta’lim dipahami sebagai sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik. Proses pembelajaran ta’lim secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam oleh Allah. Adam sebagai cikal bakal dari makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam) sama sekali kosong. Sebagaimana tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32, yaitu:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”
“Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari ketiga konsep di atas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.
Teologi Pendidikan dalam Upaya Pembebasan Manusia dari Alienasi Peran Kemanusiaannya
Rusaknya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius, serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan dan hilangnya jati diri budaya bangsa merupakan sebuah kekhawatiran manusia yang paling klimaks dalam kancah global. Namun ironisnya, itulah fenomena yang terjadi dewasa ini. Tatanan kehidupan manusia mengalami perubahan yang mendasar, generasi muda yang mendewakan budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadiannya, dan sebagainya. Permasalahan ini muncul terkait dengan begitu gencar dan sistematisnya ekspansi budaya asing, yang menempatkan sarana informatika sebagai sebuah trend yang paling mutakhir dan paling digandrungi, sehingga setiap celah kehidupan manusia, yang sangat tertutup dan rahasia sekalipun, dapat dimasuki, bahkan diintervensi. Setiap sisi kehidupan sudah dihinggapi oleh apa yang dinamakan globalisasi informatika, yang berimplikasi pada transparansi dan keterbukaan di setiap aspek kehidupan manusia. Dunia telah menjadi big village, di mana apa yang terjadi pada belahan bumi yang sangat jauh, dapat dengan segera didengar dan dilihat beritanya dalam waktu yang singkat. Dengan cepat pula, berita tersebut memberikan dampaknya bagi kehidupan manusia tanpa kecuali, positif maupun negatif.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informatika di atas, menyebabkan jarak-jarak menjadi semakin pendek. Waktu dan masa menjadi lebih efisien dengan begitu mudahnya kita mengadakan hubungan dan komunikasi. Di samping itu, kesibukan dan aktivitas keseharian manusia yang luar biasa, menjadikan hari-hari terasa lebih pendek dari sebelumnya.
Menghadapi kemajuan iptek yang luar biasa itu, respon manusia ternyata masih terbelah, bahkan terkesan mendua. Di satu pihak, manusia merasa senang atas kemajuan iptek yang secara umum memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan manusia. Di lain pihak, nurani kemanusiaannya mengeluh, karena harus beradaptasi dengan situasi baru yang tidak lagi human-centric, melainkan sangat techno-centric.
Dalam situasi dan kondisi yang semakin techno-centric ini, populasi manusia yang memenuhi dunia, tidak lagi secara otonom dikontrol oleh nurani kemanusiaannya, melainkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang dominan, terutama sekali iptek. Manusia dalam dunianya yang makro benar-benar menyandarkan hampir segala harapannya kepada hasil iptek, meskipun belum sampai pada taraf yang serius, yakni techno-mania.
Memang, manfaat teknologi pada batas-batas tertentu membantu mempermudah manusia, dan hal ini menjadikan manusia sebagai makhluk dengan keunikan yang ironis. Lawan utamanya bukan lagi bencana alam atau sebangsa binatang buas di hutan-hutan, tetapi hasil kemampuannya sendiri dan manusia sesamanya yang menggunakan kemampuan itu. Dengan kata lain, manusia modern menjadi musuh bagi dirinya sendiri.
Bagaimanapun juga, dengan tidak mengesampingkan manfaat iptek dalam membantu memudahkan kehidupan manusia, iptek juga memberi dampak negatif. Dalam batas-batas tertentu, dampak destruktif iptek itu telah menundukkan manusia menjadi sangat tergantung kepadanya. Manusia tidak lagi mampu mengendalikan hasil buatannya, tetapi sebaliknya, dia didekte oleh perangkat-perangkat canggih hasil produknya sendiri. Manusia pun menjadi robot dari makhluk raksasa bernama iptek buatannya sendiri. Dari perspektif hunamisme, perkembangan iptek seperti demikian sejalan dengan proses dehumanisasi kehidupan. Agar tidak terjadi tragedi demikian, humanisasi technosphere harus menjadi kenyataan.
Permasalahan terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi di atas, masih ditambah lagi dengan krisis kehidupan lainnya, seperti perilaku manusia yang cenderung memperoleh kekayaan material sebanyak mungkin melalui cara apapun sebagai imbas dari semakin kokohnya pandangan hidup yang positivisme-materialistik, euphoria perilaku politik demokratis dan kemunafikan politik yang diwarnai dengan fenomena “politik uang” dan “uang politik” dengan dalih hukum, asas praduga tak bersalah, Lembaga Penegak Hukum yang tidak berdaya memberantas korupsi, dan sebagainya. Munculnya terorisme dan kekejaman perilaku yang dilakukan oleh pihak “lemah” melawan pihak “kuat” akibat perlakuan tidak adil dan otoriter pihak penguasa, dan merebaknya budaya yang berkembang dari pandangan hidup hedonisme-materialistik dengan maraknya pornoisasi kehidupan sosial masyarakat, melalui menjamurnya video porno yang begitu mudah diakses dan gratis, seks bebas, tindakan mesum, pencabulan, dan sebagainya.
Bagaimanapun kompleknya permasalahan dan krisis kemanusiaan di atas, solusi yang terbaik harus senantiasa diusahakan, sekalipun dengan melakukan pendekatan melalui simbol-simbol yang amat rumit dan hanya dapat dilakukan secara gradual mengingat komprehensi tentang konsepsi dasar manusia yang turut menentukan langkah berikutnya. Untuk itu, semestinya, manusia sebagai makhluk yang berketuhanan mulai mencoba mengaktualisasikan dan mengkaji lebih dalam dan concern terhadap sinyal-sinyal konsep antropologis yang ditampilkan al-Qur’an. Dari sini, nilai-nilai etis-religius sebagai norma sentral al-Qur’an tidak hanya melangit, tetapi juga membumi, dalam arti dapat dipergunakan dan dimanfaatkan untuk membangun peradaban umat manusia untuk menjadi lebih baik dan diridlai-Nya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi lahir dan berkembang melalui pendidikan —demikian juga dengan permasalahan-permasalahan lain yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan—, maka salah satu terapi terhadap berbagai masalah di atas, tentunya harus dilakukan dengan pendekatan terhadap sisi-sisi pendidikan pula. Oleh karena itu, dalam reorientasi pendidikan ini, pemikiran yang mengedepankan paradigma pendidikan (Islam) yang berwawasan kemanusiaan (humanistik) menjadi sangat penting dan diperlukan.
Pendidikan seringkali dipahami sebagai fenomena individu di satu pihak, dan fenomena sosial-budaya di pihak lain. Sebagai fenomena individual, pendidikan bertolak dari suatu pandangan antropologi dengan pemahaman terhadap manusia sebagai realitas mikrokosmos dengan kepemilikan potensi-potensi dasar —dalam Islam disebut fitrah— yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang. Dengan mengacu pada pandangan dasar tersebut, pendidikan difokuskan pada orientasi internal manusia, berupa pengembangan potensi dasar insaniah. Sementara pendidikan sebagai fenomena sosial-budaya, diarahkan pada orientasi eksternal dalam kerangka perkembangan budaya masyarakat, sehingga dalam realitas kehidupannya, manusia mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam tinjauan ini, pendidikan dimaknai sebagai proses kulturisasi (pembudayaan), yakni sosialisasi (pemasyarakatan) nilai-nilai, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang berkembang dalam masyarakat.
Dengan cakupan makna strategis pendidikan tersebut, pemikiran yang memberikan acuan konseptual yang tepat tentang manusia, juga peta perkembangan budaya, menjadi sangat penting. Kajian permasalahan manusia dalam hal ini merupakan suatu keharusan filosofis, agar pendidikan mengarah pada pola-pola pengembangan potensi manusia secara humanistik —baik lahir maupun batin—, bukan malah sebaliknya.
Dari telaah teologi-filosofis-antropologis terhadap referensi-referensi tentang manusia terutama referensi-referensi Islam, diperoleh pemahaman bahwa, selain sebagai hasil imajinasi yang sempurna dari Tuhan, manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu pertama, sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kedua, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Ketiga, sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Keempat, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.
Berangkat dari kerangka konseptual di atas, serta kesadaran bahwa untuk mengembangkan potensi insaniah serta sosialisasi nilai-nilai, ketrampilan, dan sebagainya, harus melalui kegiatan pendidikan, maka manusia dituntut untuk menyelenggarakan praktik pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanistik). Dalam paradigmanya, pendidikan humanistis ini memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang integralistik. Dalam hal ini, manusia harus dipandang sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, manusia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Sebagai makhluk, batas antara hewan dan malaikat harus dipisahkan dengan tegas, yakni antara memiliki sifat-sifat rendah dengan sifat-sifat kemalaikatan atau sifat malakut (sifat-sifat luhur). Sebagai makhluk dilematik, dia dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Sebagai makhluk moral, ia senantiasa bergulat dengan nilai-nilai. Sebagai pribadi, manusia memiliki kekuatan konstruktif dan kekuatan destruktif. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak-hak sosial dan harus menunaikan kewajiban-kewajiban sosialnya. Kemudian sebagai hamba Allah, dia juga harus menunaikan kewajiban-kewajiban ubudiyah.
Pendidikan humanistik diharapkan mampu memperkenalkan apresiasinya yang tinggi kepada manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan juga sebagai khalifah Allah. Dengan demikian, pendidikan humanistik dimaksudkan membentuk insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggungjawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dia memiliki tanggungjawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakatnya.
Dengan berpandangan kepada pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) di atas, maka terdapat harapan besar bahwa nilai-nilai pragmatis ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan-permasalahan dan krisis kemanusiaan lainnya, tidak akan membunuh kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Lebih lanjut, dengan pendidikan tersebut, dunia manusia diharapkan akan terhindar dari tirani teknologi. Di samping itu, adalah untuk mendorong terciptanya hidup dan kehidupan yang kondusif bagi manusia, serta membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan.
Penutup
Berdasarkan uraian dan analisa di atas dapat disimpulkan, antara lain sebagai berikut, yaitu pertama, Islam dipandang sebagai agama universal, di mana tidak hanya berisi ajaran mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan seluruh makhluk di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh tugas penting manusia sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas menghidupkan dan memakmurkan bumi. Sebagai dasar ajarannya, al-Qur’an merupakan sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia dengan bahasanya yang lemah lembut, balaghoh yang indah, dengan tamsil-tamsil sebagai sarana refleksi manusia, sehingga al-Qur’an membawa dimensi baru terhadap pendidikan dan berusaha mengajak manusia untuk menggali maksud kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya. Petunjuk pendidikan dalam al-Qur’an tidak terhimpun dalam kesatuan fragmen, tetapi diungkapkan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an, sehingga untuk menjelaskannya perlu melalui tema-tema pembahasan yang relevan dan ayat-ayat yang memberikan informasi-informasi pendidikan yang dimaksudkan tersebut.
Kedua, perspektif dasar Islam terhadap manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Akan tetapi dalam kehidupannya, al-Qur’an menyebut manusia dengan berbagai nama sebagai berikut, yaitu al-Basyr, al-Insan, al-Naas, Bani Adam, al-Ins, Abd Allah, dan khalifah Allah, di mana kesemuanya ini mengacu pada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia. Setidaknya manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kemudian, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Selanjutnya, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.
Sementara merujuk kepada informasi al-Qur’an, pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan Islam dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim. Dari ketiga konsep di atas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim, yang menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.
Ketiga, posisi teologi pendidikan (Islam) adalah sebagai dasar reorientasi pendidikan yang mengarah kepada nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena sosial di masyarakat yang menunjukkan begitu kompleksnya permasalahan dan krisis kemanusiaan. Dengan berpandangan kepada pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik), maka diharapkan permasalahan-permasalahan dan krisis kemanusiaan dapat diatasi, terlebih lagi, adalah untuk membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan. (*)
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saefuddin, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta: Usaha Enterprise, 1976
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 1998
——-, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 2005
Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: al-Husna, 1987
Mujib, Abdul, dan Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Agenda Karya, 1993
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah, Yogyakarta: Sipress, 1993
Natsir, Muhammad, Capita Selekta, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Sanaji, Kasmiran Wiryo, Filsafat Manusia, Jakarta: Erlangga, 1985
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan: 1994
——-, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1987
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006
Al-Syaibany, Oemar Mohammad at-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Syam, Mohammad Noor, Filsafat Kependidikan dan dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986
Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, Malang: UMM, 2008
*) Penulis tinggal di Jotosanur Rt 2 Rw 3 No.319 Tikung Lamongan.
Ahmad Syauqi Sumbawi *
http://sastra-indonesia.com/
Pendahuluan
Perbincangan mengenai pendidikan tidak akan pernah mengalami titik akhir, sebab pendidikan merupakan permasalahan besar kemanusiaan yang akan senantiasa actual untuk diperbincangkan pada setiap waktu dan tempat yang tidak sama atau bahkan sama sekali berbeda. Pendidikan dituntut untuk selalu relevan dengan kontinuitas perubahan.
Dalam realitas kehidupan, sebagai kondisi riil pendidikan, dapat dilihat adanya perubahan sosial yang begitu cepat, proses transformasi budaya semakin deras dan dahsyat, juga perkembangan politik global yang tidak stabil, kesenjangan ekonomi yang begitu lebar serta pergeseran nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, mengharuskan pendidikan untuk memfokuskan arahnya pada kondisi sosial kemanusiaan di atas. Hal ini merupakan konsekuensi logis karena pendidikan harus senantiasa toleran dan tunduk pada perubahan normative dan cultural yang terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi yang lebih penting, bahwa pendidikan merupakan lembaga sosial yang berfungsi sebagai sarana pembentukan manusia yang berbudaya dan melakukan proses pembudayaan nilai-nilai.
Dengan demikian, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua komponen penting yang saling terkait satu sama lain dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Di satu sisi, pengembangan dan kelestarian kebudayaan berlangsung dalam proses pendidikan dan memerlukan pengelolaan pendidikan. Sementara itu, pengembangan pendidikan juga membutuhkan sistem kebudayaan sebagai akar dan pendukung berlangsungnya pendidikan tersebut. Pengembangan kebudayaan membutuhkan kebebasan kreatif, sedangkan pendidikan memerlukan suatu stabilitas budaya yang mapan.
Hubungan ketergantungan di antara keduanya mengandung pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya, demikian juga sebaliknya. Selanjutnya, kualitas kebudayaan akan menunjukkan kualitas manusia pendukungnya. Keduanya saling berhubungan positif, di mana ketiadaan salah satunya menyebabkan stagnasi dan distorsi dalam banyak aspek.
Berkaitan dengan peran penting pendidikan dalam pembentukan kebudayaan manusia, Islam sebagai sistem ajaran yang komprehensif, tidak luput memberikan perhatian kepada pendidikan. Dalam hal ini, al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai sumber inspirasi universal, yang selalu menyapa perubahan dan dinamika dalam masyarakat, dan secara ideal memberikan solusi-solusi dasar atas segala permasalahan kehidupan manusia.
Pengamatan terhadap situasi dan kondisi sosiologis yang terjadi di masyarakat dewasa ini menunjukkan terjadinya pergeseran nilai pada hampir setiap bidang dan sendi kehidupan manusia, terutama bidang pendidikan. Termasuk juga nilai-nilai budaya yang mulai tercerabut dari akarnya, nilai sosial yang banyak terilhami oleh rembesan atau penetrasi dunia luar, terutama melalui sekulerisasi dan westernisasi.
Dengan berbagai media yang tersaji di segala lokasi beserta informasinya, hal ini dapat memunculkan high risks bagi stabilitas kultural, di mana para generasi muda seringkali mengalami split personality. Kondisi semacam ini tampak pada fenomena di sekolah atau lembaga pendidikan mereka yang selalu disajikan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai kesusilaan, dan sebagainya, namun dalam kehidupan riilnya, mereka banyak menjumpai hal-hal yang sering bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Juga, nilai-nilai ekonomi yang cenderung kepada sistem kapitalis serta pergeseran nilai-nilai kemanusian yang lain. Lebih jauh, proses distorsi nilai seperti ini juga terjadi dalam lembaga pendidikan —tidak terkecuali lembaga pendidikan Islam—. Sementara di sisi yang lain, pendidikan seringkali dipandang sebagai institusi paling strategis untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang telah terdistorsi tadi. Reposisi nilai-nilai kemanusiaan ini mutlak diperlukan sebagai upaya untuk membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan.
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana pengertian tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan teologi dan pendidikan? Kedua, bagaimana konsep manusia dan konsep pendidikan dalam Islam? Ketiga, bagaimana posisi teologi pendidikan dalam upaya membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya?
Pengertian Teologi dan Pendidikan
1. Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiah, teologi berasal dari bahasa Yunani, berarti ilmu ketuhanan. Akan tetapi, pengertian menurut Steenbrink dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan permasalahan tentang ketuhanan, baik wujud, sifat, maupun perbuatan-Nya, yang dalam tradisi Islam disebut ilmu kalam. Dalam hal ini, teologi tidak identik dengan ilmu kalam yang berusaha mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalil-dalil aqli.
Encyclopedia of Religion and Religions, menyebutkan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun kerapkali diperluas mencakup seluruh bidang agama. Teologi, dengan demikian, memiliki pengertian luas dan identik dengan ilmu agama itu sendiri. Pengertian inilah yang kemudian secara umum dipakai di kalangan Kristen. Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya mempunyai arti khusus, yaitu refleksi orang beriman tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Menurut Anselmus, teologi adalah iman yang mencari pengertian. Dengan pemaknaan yang hampir sama, Muslim Abdurrahman mengatakan bahwa teologi adalah interpretasi berdasarkan keimanan.
Sedangkan menurut Niko Syukur, teologi adalah pengetahuan adikodrati yang metodis sistematis dan koheren, tentang apa yang diwahyukan Tuhan. Dapat dikatakan bahwa teologi adalah refleksi ilmiah tentang iman. Teologi merupakan ilmu yang “subyektif” yang timbul dari dalam, yang lahir dari jiwa yang beriman dan bertaqwa berdasarkan wahyu. Sementara Eka Darmaputra mengemukakan bahwa teologi adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif, serta eksistensial antara “teks” dan “konteks” antara “kerygma” yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Lebih sederhana dapat dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dapat juga dikatakan, bahwa teologi adalah pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai ketuhanan (iman) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.
2. Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris “education”, berakar dari bahasa Latin “educare”, yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan. Apabila diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.
Menurut Mohamad Natsir, pengertian pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Sementara Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 ayat 1 menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Apabila dikaitkan dengan Islam, pengertian pendidikan antara lain, menurut Dr. Yusuf Qardawi sebagaimana dikutip Azyumardi Azra yaitu pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis pahitnya.
Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad Saw.
Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, terdapat perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Pendidikan secara umum merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad.
3. Teologi dan Pendidikan
Dalam kalangan Muslim, Islam dipandang sebagai agama universal, di mana tidak hanya berisi ajaran mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan seluruh makhluk di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh tugas penting manusia sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas menghidupkan dan memakmurkan bumi.
Secara sosiologis, dimensi universalitas Islam di atas, dalam tataran kehidupan manusia akan terus menimbulkan ragam pemahaman seiring dengan perbedaan situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Hal ini tidak lain disebabkan bahwa, ketika universalitas diterapkan dalam kehidupan manusia, maka yang kemudian muncul adalah partikularitas, di mana partikularitas ini akan terus berkembang untuk bersesuaian dengan perubahan dan kebutuhan kehidupan manusia. Meskipun demikian, universalitas Islam tetap kekal serta menjadi dasar dan sumber inspirasi dalam seluruh proses kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pendidikan.
Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia dengan bahasanya yang lemah lembut, balaghoh yang indah, sehingga al-Qur’an membawa dimensi baru terhadap pendidikan dan berusaha mengajak para ilmuwan untuk menggali maksud kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya.
Petunjuk pendidikan dalam al-Qur’an tidak terhimpun dalam kesatuan fragmen, tetapi diungkapkan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an, sehingga untuk menjelaskannya perlu melalui tema-tema pembahasan yang relevan dan ayat-ayat yang memberikan informasi-informasi pendidikan yang dimaksudkan tersebut.
Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus, yang bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut.
Rasulullah Saw dipandang sukses dalam mendidik masyarakatnya menjadi masyarakat yang berbudi tinggi dan akhlak mulia. Pada mulanya masyarakat Arab adalah masyarakat jahiliyah, sehingga perkataan primitif tidak cukup untuk menggambarkannya, hingga datang Rasulullah Saw yang membawa mereka untuk meninggalkan kejahiliahan tersebut dan mencapai suatu bangsa yang berbudaya dan berkepribadian yang tinggi, bermoral serta memberi pengetahuan.
Al-Qur’an memberi petunjuk atau arah, jalan yang lurus mencapai kebahagiaan bagi manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 16, yaitu :
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Muhammad Saw sebagai utusan Allah untuk manusia di bumi ini diberi amanat oleh Allah sebagai penerima wahyu, yang diberi tugas untuk mensucikan dan mengajarkan manusia sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 151. Dalam ayat tersebut, mensucikan diartikan dengan mendidik, sedang mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dan metafisika dan fisika.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah, sejalan dengan tujuan penciptaan manusia dalam surat Al-Dzariyat (51) ayat 56, yaitu:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Maksudnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada Allah.
Manusia dan Pendidikan dalam Islam
1. Konsep Manusia dalam Islam
Perspektif dasar Islam terhadap manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Berdasarkan sudut pandang ini pula, filsafat pendidikan Islam memposisikan manusia dan segala aspeknya dalam konteks pendidikan. Dari pemikiran ini, maka perspektif filsafat pendidikan Islam akan berbeda dengan filsafat pendidikan umum, yang konsepnya berasal dari pemikiran para ilmuwan (non muslim) yang umumnya menafikan prinsip perspektif tersebut. Dalam perspektif para ilmuwan ini, manusia cenderung ditempatkan pada posisi yang netral.
Kajian tentang hakikat manusia adalah bagian dari filsafat yang disebut ontologi atau metafisika. Problem yang dihadapi filsafat tentang manusia ini, mengacu pada upaya untuk menjawab pertanyaan tentang hakikat manusia.
Paham materialisme, yang memandang hakikat manusia sebagai unsur materi, agaknya sulit untuk mengakui adanya unsur rohaniah dalam diri manusia. Sesuai dengan prinsip ajarannya, paham ini menganggap manusia sebagai unsur-unsur materialisme-mekanistis yang kompleksitasnya terdiri atas aspek-aspek fisiologis, neurologis, fisika, dan biokimia. Semua unsur tersebut bekerja di bawah satu sistem “organisasi” yang berpusat pada sistem pusat syaraf, yaitu “mind”. Akan tetapi, mind di sini lebih mendekati syaraf yang bersifat neurologis dan bukan psikis.
Sedangkan menurut paham dualisme, bahwa manusia sebagai makhluk adalah integritas antara jasmaniah dan rohaniah. Manusia diposisikan sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk dikembangkan pada kedua unsur tersebut. Adapun upaya pengembangannya dihubungkan dengan berbagai teori kependidikan yang berlandaskan kepada pemikiran filsafat rasional atau produk kemampuan optimal pemikiran murni manusia.
Kedua perspektif di atas, bagaimanapun akan berbeda dengan perspektif ilmuan Muslim yang merumuskan pendapatnya dan dasar ajaran Islam. Seperti al-Farabi (w. 950) dan al-Ghazali (w. 1111) menyatakan bahwa manusia terdiri atas unsur jasad atau badan dan ruh atau jiwa. Dengan jasad, manusia dapat bergerak dan merasa, sedangkan ruh, manusia dapat berpikir, mengetahui dan sebagainya.
Dalam al-Qur’an, manusia disebut dengan berbagai nama sebagai berikut, yaitu al-Basyr, al-Insan, al-Naas, Bani Adam, al-Ins, Abd Allah, dan khalifah Allah. Nama sebutan ini mengacu pada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia. Berkaitan dengan hal itu, maka untuk memahami peran manusia, perlu dipahami konsep yang mengacu kepada sebutan yang dimaksud. Pemahaman tentang peran manusia erat kaitannya dengan sebutan yang disandangnya.
Manusia dalam konsep al-Basyr, dipandang dari segi biologis. Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri dari unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material, berupa tubuh kasar atau ragawi. Dalam hal ini, manusia merupakan makhluk jasmaniah yang secara umum terikat kepada kaidah-kaidah umum dari kehidupan makhluk biologis, seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan. Manusia memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses pelanjut keturunan.
Penggunaan kata al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-Qur’an, mengacu kepada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun secara mental spiritual. Perkembangan tersebut meliputi kemampuan untuk berbicara, menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu, dengan mengajarkan manusia melalui kalam (baca tulis), dan segala apa yang tidak diketahuinya, kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di alam ruh, dalam bentuk kesaksian. Potensi untuk mengembangkan diri ini (secara positif) memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya. Dengan cara menumbuhkembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal, diharapkan manusia dapat menjadi makhluk ciptaan yang mengabdi kepada Penciptanya, melalui berbagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dimilikinya.
Kosakata al-Naas dalam al-Qur’an, pada umumnya dikaitkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling mengenal di antara mereka. Manusia merupakan makhluk sosial yang secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan terkecil (keluarga) hingga ke satuan yang paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia. Dalam konteks kehidupan sosial, peran sosial manusia dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup dalam masyarakat.
Manusia sebagai Bani Adam, tersebut dalam tujuh tempat dalam al-Qur’an. Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani Adam, manusia diingatkan Allah agar tidak tergoda oleh syaitan, pencegahan dari makan dan minum yang berlebihan serta tata-cara berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah, bertaqwa dan mengadakan perbaikan, kesaksian manusia kepada Tuhannya, dan peringatan agar manusia tidak terpedaya hingga menyembah syaitan, dengan memberi peringatan kepada manusia mengenai status syaitan sebagai musuh yang nyata. Penjelasan ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia selaku Bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam saat awal diciptakan. Pada saat Adam akan diciptakan, para Malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptaannya, manusia akan menjadi biang kerusakan dan pertumpahan darah. Hal itu kemudian terbukti bahwa Adam dan istrinya (Hawa), karena kekeliruannya, akhirnya terjebak oleh hasutan syaitan, sehingga Allah mengeluarkan keduanya dari surga sebagai hukuman atas kelalaian yang diperbuat oleh keduanya.
Manusia dalam konsep al-Ins, mengacu pada hakikat penciptaannya. Dalam hal ini al-Qur’an mengemukakan bahwa jin dan manusia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya diharapkan akan selalu menyadari hakikat dirinya tersebut. Manusia dituntut untuk dapat memerankan dirinya sebagai pengabdi Allah secara konsisten dengan ketaatan total. Ketaatan kepada Allah merupakan peran puncak manusia dalam segala aspek kehidupannya, karena atas dasar dan tujuan tersebut, manusia diciptakan oleh-Nya.
Al-Qur’an juga menyebut manusia dengan Abd Allah, yang berarti abdi atau hamba Allah. Abd Allah, dalam arti dimiliki Allah, mencakup seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak. Kepemilikan Allah terhadap makhluk tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian, Abd Allah tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktifitasnya dalam kehidupan. Di samping itu, manusia disebut Abd Allah juga disetarakan dengan konteks kata tersebut. Kata Abd, juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri. Ibadah kepada Allah merupakan sikap dan pernyataan kerendahan diri yang paling puncak dan sempurna dari seorang hamba. Kemudian ibadah itu sendiri berupa pengabdian yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata.
Konsep selanjutnya tentang manusia adalah khalifah Allah. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa sebelum manusia diciptakan, Allah telah mengemukakan kepada para Malaikat tentang penciptaan seorang khalifah di muka bumi. Untuk mengemban tugas-tugas kekhalifahan itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan berbagai potensi, salah satunya bekal pengetahuan.
Berdasarkan konsep-konsep tentang di atas, setidaknya manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu pertama, sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kedua, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Ketiga, sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Keempat, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.
2. Konsep Pendidikan dalam Islam
Merujuk kepada informasi al-Qur’an, pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan Islam dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim.
Tarbiyah berasal dari kata Rabba, pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat dalam ayat al-Qur’an, yaitu:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik (rabbayaaniy) aku waktu kecil”. (QS. Al-Israa: 24)
Menurut Syed Naquib Al-Attas, tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan tumbuhan. Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata tarbiyah mengandung arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan dan memproduksi baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah.
Kata Rabb di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan pada obyek-obyek yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan kata alam, sesuatu selain Tuhan. Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut seperti pada surat Al-A’raf ayat 61, yaitu:
“Nuh menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan Tuhan (Rabb) semesta alam.”
Pendidikan diistilahkan dengan ta’dib, yang berasal dari kata kerja “addaba”. Kata ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktik yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah sebaik-baik contoh teladan bagi kamu sekalian.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status orang tua sebagai pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak.
Pendidikan disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘alama’ berkonotasi pembelajaran yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan pendidikan ta’lim dipahami sebagai sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik. Proses pembelajaran ta’lim secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam oleh Allah. Adam sebagai cikal bakal dari makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam) sama sekali kosong. Sebagaimana tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32, yaitu:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”
“Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari ketiga konsep di atas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.
Teologi Pendidikan dalam Upaya Pembebasan Manusia dari Alienasi Peran Kemanusiaannya
Rusaknya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius, serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan dan hilangnya jati diri budaya bangsa merupakan sebuah kekhawatiran manusia yang paling klimaks dalam kancah global. Namun ironisnya, itulah fenomena yang terjadi dewasa ini. Tatanan kehidupan manusia mengalami perubahan yang mendasar, generasi muda yang mendewakan budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadiannya, dan sebagainya. Permasalahan ini muncul terkait dengan begitu gencar dan sistematisnya ekspansi budaya asing, yang menempatkan sarana informatika sebagai sebuah trend yang paling mutakhir dan paling digandrungi, sehingga setiap celah kehidupan manusia, yang sangat tertutup dan rahasia sekalipun, dapat dimasuki, bahkan diintervensi. Setiap sisi kehidupan sudah dihinggapi oleh apa yang dinamakan globalisasi informatika, yang berimplikasi pada transparansi dan keterbukaan di setiap aspek kehidupan manusia. Dunia telah menjadi big village, di mana apa yang terjadi pada belahan bumi yang sangat jauh, dapat dengan segera didengar dan dilihat beritanya dalam waktu yang singkat. Dengan cepat pula, berita tersebut memberikan dampaknya bagi kehidupan manusia tanpa kecuali, positif maupun negatif.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informatika di atas, menyebabkan jarak-jarak menjadi semakin pendek. Waktu dan masa menjadi lebih efisien dengan begitu mudahnya kita mengadakan hubungan dan komunikasi. Di samping itu, kesibukan dan aktivitas keseharian manusia yang luar biasa, menjadikan hari-hari terasa lebih pendek dari sebelumnya.
Menghadapi kemajuan iptek yang luar biasa itu, respon manusia ternyata masih terbelah, bahkan terkesan mendua. Di satu pihak, manusia merasa senang atas kemajuan iptek yang secara umum memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan manusia. Di lain pihak, nurani kemanusiaannya mengeluh, karena harus beradaptasi dengan situasi baru yang tidak lagi human-centric, melainkan sangat techno-centric.
Dalam situasi dan kondisi yang semakin techno-centric ini, populasi manusia yang memenuhi dunia, tidak lagi secara otonom dikontrol oleh nurani kemanusiaannya, melainkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang dominan, terutama sekali iptek. Manusia dalam dunianya yang makro benar-benar menyandarkan hampir segala harapannya kepada hasil iptek, meskipun belum sampai pada taraf yang serius, yakni techno-mania.
Memang, manfaat teknologi pada batas-batas tertentu membantu mempermudah manusia, dan hal ini menjadikan manusia sebagai makhluk dengan keunikan yang ironis. Lawan utamanya bukan lagi bencana alam atau sebangsa binatang buas di hutan-hutan, tetapi hasil kemampuannya sendiri dan manusia sesamanya yang menggunakan kemampuan itu. Dengan kata lain, manusia modern menjadi musuh bagi dirinya sendiri.
Bagaimanapun juga, dengan tidak mengesampingkan manfaat iptek dalam membantu memudahkan kehidupan manusia, iptek juga memberi dampak negatif. Dalam batas-batas tertentu, dampak destruktif iptek itu telah menundukkan manusia menjadi sangat tergantung kepadanya. Manusia tidak lagi mampu mengendalikan hasil buatannya, tetapi sebaliknya, dia didekte oleh perangkat-perangkat canggih hasil produknya sendiri. Manusia pun menjadi robot dari makhluk raksasa bernama iptek buatannya sendiri. Dari perspektif hunamisme, perkembangan iptek seperti demikian sejalan dengan proses dehumanisasi kehidupan. Agar tidak terjadi tragedi demikian, humanisasi technosphere harus menjadi kenyataan.
Permasalahan terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi di atas, masih ditambah lagi dengan krisis kehidupan lainnya, seperti perilaku manusia yang cenderung memperoleh kekayaan material sebanyak mungkin melalui cara apapun sebagai imbas dari semakin kokohnya pandangan hidup yang positivisme-materialistik, euphoria perilaku politik demokratis dan kemunafikan politik yang diwarnai dengan fenomena “politik uang” dan “uang politik” dengan dalih hukum, asas praduga tak bersalah, Lembaga Penegak Hukum yang tidak berdaya memberantas korupsi, dan sebagainya. Munculnya terorisme dan kekejaman perilaku yang dilakukan oleh pihak “lemah” melawan pihak “kuat” akibat perlakuan tidak adil dan otoriter pihak penguasa, dan merebaknya budaya yang berkembang dari pandangan hidup hedonisme-materialistik dengan maraknya pornoisasi kehidupan sosial masyarakat, melalui menjamurnya video porno yang begitu mudah diakses dan gratis, seks bebas, tindakan mesum, pencabulan, dan sebagainya.
Bagaimanapun kompleknya permasalahan dan krisis kemanusiaan di atas, solusi yang terbaik harus senantiasa diusahakan, sekalipun dengan melakukan pendekatan melalui simbol-simbol yang amat rumit dan hanya dapat dilakukan secara gradual mengingat komprehensi tentang konsepsi dasar manusia yang turut menentukan langkah berikutnya. Untuk itu, semestinya, manusia sebagai makhluk yang berketuhanan mulai mencoba mengaktualisasikan dan mengkaji lebih dalam dan concern terhadap sinyal-sinyal konsep antropologis yang ditampilkan al-Qur’an. Dari sini, nilai-nilai etis-religius sebagai norma sentral al-Qur’an tidak hanya melangit, tetapi juga membumi, dalam arti dapat dipergunakan dan dimanfaatkan untuk membangun peradaban umat manusia untuk menjadi lebih baik dan diridlai-Nya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi lahir dan berkembang melalui pendidikan —demikian juga dengan permasalahan-permasalahan lain yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan—, maka salah satu terapi terhadap berbagai masalah di atas, tentunya harus dilakukan dengan pendekatan terhadap sisi-sisi pendidikan pula. Oleh karena itu, dalam reorientasi pendidikan ini, pemikiran yang mengedepankan paradigma pendidikan (Islam) yang berwawasan kemanusiaan (humanistik) menjadi sangat penting dan diperlukan.
Pendidikan seringkali dipahami sebagai fenomena individu di satu pihak, dan fenomena sosial-budaya di pihak lain. Sebagai fenomena individual, pendidikan bertolak dari suatu pandangan antropologi dengan pemahaman terhadap manusia sebagai realitas mikrokosmos dengan kepemilikan potensi-potensi dasar —dalam Islam disebut fitrah— yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang. Dengan mengacu pada pandangan dasar tersebut, pendidikan difokuskan pada orientasi internal manusia, berupa pengembangan potensi dasar insaniah. Sementara pendidikan sebagai fenomena sosial-budaya, diarahkan pada orientasi eksternal dalam kerangka perkembangan budaya masyarakat, sehingga dalam realitas kehidupannya, manusia mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam tinjauan ini, pendidikan dimaknai sebagai proses kulturisasi (pembudayaan), yakni sosialisasi (pemasyarakatan) nilai-nilai, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang berkembang dalam masyarakat.
Dengan cakupan makna strategis pendidikan tersebut, pemikiran yang memberikan acuan konseptual yang tepat tentang manusia, juga peta perkembangan budaya, menjadi sangat penting. Kajian permasalahan manusia dalam hal ini merupakan suatu keharusan filosofis, agar pendidikan mengarah pada pola-pola pengembangan potensi manusia secara humanistik —baik lahir maupun batin—, bukan malah sebaliknya.
Dari telaah teologi-filosofis-antropologis terhadap referensi-referensi tentang manusia terutama referensi-referensi Islam, diperoleh pemahaman bahwa, selain sebagai hasil imajinasi yang sempurna dari Tuhan, manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu pertama, sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kedua, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Ketiga, sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Keempat, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.
Berangkat dari kerangka konseptual di atas, serta kesadaran bahwa untuk mengembangkan potensi insaniah serta sosialisasi nilai-nilai, ketrampilan, dan sebagainya, harus melalui kegiatan pendidikan, maka manusia dituntut untuk menyelenggarakan praktik pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanistik). Dalam paradigmanya, pendidikan humanistis ini memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang integralistik. Dalam hal ini, manusia harus dipandang sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, manusia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Sebagai makhluk, batas antara hewan dan malaikat harus dipisahkan dengan tegas, yakni antara memiliki sifat-sifat rendah dengan sifat-sifat kemalaikatan atau sifat malakut (sifat-sifat luhur). Sebagai makhluk dilematik, dia dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Sebagai makhluk moral, ia senantiasa bergulat dengan nilai-nilai. Sebagai pribadi, manusia memiliki kekuatan konstruktif dan kekuatan destruktif. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak-hak sosial dan harus menunaikan kewajiban-kewajiban sosialnya. Kemudian sebagai hamba Allah, dia juga harus menunaikan kewajiban-kewajiban ubudiyah.
Pendidikan humanistik diharapkan mampu memperkenalkan apresiasinya yang tinggi kepada manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan juga sebagai khalifah Allah. Dengan demikian, pendidikan humanistik dimaksudkan membentuk insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggungjawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dia memiliki tanggungjawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakatnya.
Dengan berpandangan kepada pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) di atas, maka terdapat harapan besar bahwa nilai-nilai pragmatis ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan-permasalahan dan krisis kemanusiaan lainnya, tidak akan membunuh kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Lebih lanjut, dengan pendidikan tersebut, dunia manusia diharapkan akan terhindar dari tirani teknologi. Di samping itu, adalah untuk mendorong terciptanya hidup dan kehidupan yang kondusif bagi manusia, serta membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan.
Penutup
Berdasarkan uraian dan analisa di atas dapat disimpulkan, antara lain sebagai berikut, yaitu pertama, Islam dipandang sebagai agama universal, di mana tidak hanya berisi ajaran mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan seluruh makhluk di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh tugas penting manusia sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas menghidupkan dan memakmurkan bumi. Sebagai dasar ajarannya, al-Qur’an merupakan sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia dengan bahasanya yang lemah lembut, balaghoh yang indah, dengan tamsil-tamsil sebagai sarana refleksi manusia, sehingga al-Qur’an membawa dimensi baru terhadap pendidikan dan berusaha mengajak manusia untuk menggali maksud kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya. Petunjuk pendidikan dalam al-Qur’an tidak terhimpun dalam kesatuan fragmen, tetapi diungkapkan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an, sehingga untuk menjelaskannya perlu melalui tema-tema pembahasan yang relevan dan ayat-ayat yang memberikan informasi-informasi pendidikan yang dimaksudkan tersebut.
Kedua, perspektif dasar Islam terhadap manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Akan tetapi dalam kehidupannya, al-Qur’an menyebut manusia dengan berbagai nama sebagai berikut, yaitu al-Basyr, al-Insan, al-Naas, Bani Adam, al-Ins, Abd Allah, dan khalifah Allah, di mana kesemuanya ini mengacu pada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia. Setidaknya manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kemudian, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Selanjutnya, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.
Sementara merujuk kepada informasi al-Qur’an, pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan Islam dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim. Dari ketiga konsep di atas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim, yang menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.
Ketiga, posisi teologi pendidikan (Islam) adalah sebagai dasar reorientasi pendidikan yang mengarah kepada nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena sosial di masyarakat yang menunjukkan begitu kompleksnya permasalahan dan krisis kemanusiaan. Dengan berpandangan kepada pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik), maka diharapkan permasalahan-permasalahan dan krisis kemanusiaan dapat diatasi, terlebih lagi, adalah untuk membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan. (*)
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saefuddin, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta: Usaha Enterprise, 1976
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 1998
——-, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 2005
Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: al-Husna, 1987
Mujib, Abdul, dan Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Agenda Karya, 1993
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah, Yogyakarta: Sipress, 1993
Natsir, Muhammad, Capita Selekta, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Sanaji, Kasmiran Wiryo, Filsafat Manusia, Jakarta: Erlangga, 1985
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan: 1994
——-, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1987
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006
Al-Syaibany, Oemar Mohammad at-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Syam, Mohammad Noor, Filsafat Kependidikan dan dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986
Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, Malang: UMM, 2008
*) Penulis tinggal di Jotosanur Rt 2 Rw 3 No.319 Tikung Lamongan.
25/05/11
TELAAH METODE ANALISIS SASTRA JOHN WANSBROUGH TERHADAP AL-QURAN
Ahmad Syauqi Sumbawi *
http://sastra-indonesia.com/
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi berbagai peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkuat identitas kolektif. Al-Qur’an juga digunakan dalam ibadah-ibadah publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan implementasi ajarannya dalam kehidupan merupakan kewajiban setiap Muslim.
Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluhan tahun, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Meskipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan berjilid-jilid kitab tafsir yang berusaha menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.
Pada umumnya, kaum Muslimin meyakini bahwa al-Qur’an bersumber dari Tuhan, dan al-Qur’an sendiri mengkonfirmasikan hal tersebut. Keyakinan sumber ilahiyah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad merupakan keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan semacam itu, tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai Muslim. Akan tetapi, keyakinan tersebut telah mendapat tantangan serius ketika diproklamirkan pertama kali oleh al-Qur’an dan berlanjut hingga dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.
Pengakuan Muhammad bahwa dirinya merupakan penerima wahyu dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab sezaman dengannya. Al-Qur’an sendiri tidak menyembunyikan adanya oposisi yang serius terhadap Nabi, tetapi justru merekam rentetan peristiwa tersebut tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan negatif para oposan Nabi tentang asal-usul genetik atau sumber wahyu yang diterimanya, juga bantahan terhadap miskonsepsi mereka.
Dalam beberapa bagian al-Qur’an, para penentang Nabi memandangnya sebagai kahin (tukang tenun) dan wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenun”. Nabi juga dituduh sebagai syaa’ir (penyair), majnun (kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya), sahir (tukang sihir) atau mashur (korban sihir), dan wahyu yang diterimanya dianggap sebagai sihr (sihir).
Berbagai gagasan para penentang Nabi di atas secara eksplisit mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Qur’an berasal dari ruh-ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh jin atau setan. Tanpa memutarbalikkan fakta, al-Qur’an telah merekam rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut pandang orang yang semasa dengan Nabi Saw mengenai asal-usul atau sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Sejalan dengan itu, al-Qur’an juga merespon para oposan Nabi tersebut. Meskipun respon spesifik al-Qur’an berbeda untuk setiap kasusnya, namun dalam berbagai jawaban tersebut, kitab ini selalu menekankan asal-usul ilahiyahnya, yaitu bersumber dari Tuhan semesta alam.
Rupanya gagasan para oposan Nabi di atas memiliki sisi kemiripan dengan konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan hingga dewasa ini. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang berbau apologetik. Pada abad pertengahan ini, Muhammad digagaskan sebagi penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, serta ajaran al-Qur’an yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu bentuk Kristen yang sesat dan penuh bid’ah.
Meskipun lebih merupakan mitos dan fiksi imajinatif, gagasan Barat abad pertengahan tersebut memiliki pengaruh kuat di kalangan sarjana Barat pada masa berikutnya, dan terlihat sulit untuk dihilangkan dari pikiran masyarakat Barat hingga dewasa ini. Akan tetapi, konsepsi abad pertengahan ini secara sederhana dapat diabaikan karena tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian ilmiah yang serius. Di sini, gagasan Barat abad pertengahan tidak dapat disejajarkan dengan gagasan Barat modern jika dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya.
Karya Barat modern yang berupaya melacak sumber-sumber al-Qur’an bisa dikatakan bermula pada tahun 1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen? Dalam penelitiannya, Geiger berkesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang tertuang di dalam al-Qur’an sejak awal telah menunjukkan sendiri asal-usulnya dari Yahudi secara transparan. Tidak hanya sebagian besar kisah para nabi, tetapi berbagai ajaran dan aturan al-Qur’an pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi. Akan tetapi, selama hampir setengah abad setelah publikasinya, tidak terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada tahun 1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan mempublikasikan karyanya, Juedische Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur’an), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.
Pasca kemunculan kedua karya di atas, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Qur’an. Dalam hal ini, terjadi semacam pertarungan akademik antara mereka yang menganggap al-Qur’an tidak lebih tiruan dari tradisi Yahudi dan mereka yang menganggap agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berusaha membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Qur’an secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan Muhammad merupakan seorang murid Yahudi tertentu. Sementara para sarjana Kristen juga berupaya membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih dari gema sumbang tradisi Kristiani, serta menganggap Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh dari agama Kristen.
Di kalangan para sarjana tersebut, John Wansbrough muncul dengan penerbitan karyanya, Quranic Studies: Sources and Methods of Sciptural Interpretation, pada tahun 1977. Dengan menggunakan metode kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan studi kritis terhadap redaksi (redaction criticism) atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an, John Wansbrough menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dengan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang berada di bawah pengaruh Yahudi, dan pada batas tertentu Kristen, sehingga asal-usul al-Qur’an sepenuhnya berada dalam tradisi tersebut.
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang perdebatan di kalangan para sarjana yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun sarjana muslim.
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini berusaha menjelaskan beberapa masalah pokok terkait dengan tema di atas sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough? Kedua, bagaimana metodologi analisis sastra John Wansbrough dan penerapannya terhadap al-Qur’an? Ketiga, bagaimana wacana yang berkembang tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an?
Pembahasan
1. Historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough
Pada umumnya, gagasan bahwa Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama “dalam sejarah” telah diterima oleh banyak kalangan. Pandangan bahwa sejarah merupakan “medan percobaan”, di mana Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa-peristiwa sejarah adalah kebenaran yang paling penting yang dibuktikan oleh kedua agama tersebut —terlepas dari persoalan teologis—. Penekanan pada aspek kesejarahan di atas didorong oleh upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan kebenaran mutlak atau kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat tergantung pada pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan. Hipotesa bahwa sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar historis agama, khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang positif. Dalam hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis sumber —kitab suci— adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa yang sesungguhnya terjadi.”
Terlepas dari persolan teologis, ilmu modern berusaha mendekati Islam dengan cara yang sama, yang secara tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yaitu agama yang terpancang dalam sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan menggiring untuk bersikap sama terhadap sumber-sumber yang tersedia dalam kajian Islam masa awal sebagaimana gambaran sikap terhadap kajian Yahudi dan Kristen. Dari sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan rekaman atau data-data yang mendukung untuk menganalisis tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam —dalam hal ini, al-Qur’an yang menjadi sumber ajarannya—, dalam pandangan para orientalis Barat, memiliki tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.
Setidaknya terdapat empat pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat berkaitan dengan asal-usul atau sumber al-Qur’an. Pertama, bahwa asal usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi. Kedua, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Kristen. Ketiga, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu Yahudi dan Kristen, yang secara serempak mempengaruhinya. Keempat, bahwa latar belakang al-Qur’an —Islam— adalah milieu Arab, meskipun banyak terdapat unsur-unsur Yahudi-Kristen yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.
Pendapat-pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Qur’an di atas, sebenarnya berpijak pada asumsi tentang difusi agama Yahudi dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Akan tetapi, asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat legitimasi dari informasi-informasi historis yang terdapat dalam al-Qur’an sendiri —dengan catatan, apabila al-Qur’an dipandang sebagai sumber sejarah yang otoritatif—. Di samping itu, pengaruh kedua tradisi keagamaan Semit tersebut terhadap milieu Arab tampak tidak cukup menyakinkan. Memang benar, bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di kalangan masyarakat Arab. Bahkan al-Qur’an sendiri mengemukakan adanya upaya dari orang-orang Yahudi dan Kristen melakukan penyebaran ajaran agama mereka masing-masing kepada orang-orang Arab. Akan tetapi, tampaknya upaya ini tidak cukup membuahkan hasil yang maksimal, karena implikasi politik kedua agama tersebut. Orang-orang Arab lebih memilih untuk setia dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhur mereka.
Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yahudi-Kristen juga dijadikan sebagai basis oleh para orientalis Barat untuk teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Qur’an adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru —atau Tawrat dan Injil dalam istilah al-Qur’an—. Akan tetapi, barangkali kaum Muslim akan menisbatkan kemiripan dalam ketiga tradisi agama Ibrahim ini pada kesamaan sumber inspirasi kitab suci masing-masing ketiga agama tersebut. Dalam keyakinan Islam, seluruh kitab suci —bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit tersebut— bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab suci itu diutus oleh-Nya. Al-Qur’an memang menyebutkan bahwa para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang mereka sampaikan adalah universal dan identik. Semua risalah tersebut terpancar dari sumber tunggal, yaitu umm al-kitab (induk segala kitab), kitab maknun (kitab yang tersembunyi), atau lawh mahfuzh (luh yang terpelihara), yang merupakan esensi pengetahuan Tuhan. Dari esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada pada utusan Tuhan. Tawrat dan Zabur —merujuk pada Perjanjian Lama serta Injil, semuanya bersumber dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia harus mengimani seluruhnya.
Dalam al-Qur’an, di samping disebutkan kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen, Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan keimanan kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah. Oleh karena itu, agama Allah tidak dapat dipecah-pecah. Demikian juga dengan kenabian, di mana al-Qur’an mengharuskan keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi. Bagi al-Qur’an tidak ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi peringatan. Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi ajaran agama lain, tetapi karena tiap-tiap agama tersebut berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan semesta alam.
Meskipun uraian di atas dianggap lebih bersifat dogmatis, barangkali hanya jawaban semacam itulah yang bisa dikemukakan jika dikaitkan dengan perspektif al-Qur’an tentangnya. Sementara di kalangan orientalis Barat sendiri, masalah pelacakan sumber-sumber dan asal-usul genetik al-Qur’an masih tetap merupakan bidang kajian yang kontroversial.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, John Wansbrough berpandangan bahwa historisitas al-Qur’an merupakan sesuatu yang mengada-ada. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri —juga Islam—. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian yang “netral” untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber di luar komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak dan upaya merekonstruksi bahan-bahan tersebut ke dalam kerangka historis menghadapi banyak kesulitan.
Sementara sumber-sumber lain yang tersedia, yaitu teks-teks Arab dari komunitas Muslim, terdiri dari sejumlah literatur yang berasal dari dua abad setelah fakta terjadi. Informasi yang terkandung dalam literatur ini ditulis selama dua abad tersebut. Sumber-sumber internal ini bermaksud mendokumentasikan basis keimanan, validitas kitab suci, dan bukti rencana Tuhan bagi manusia. Hal ini dapat dilihat dari karakter historis sumber-sumber tentang dasar-dasar Islam yang terbukti lebih lentur daripada dalam penafsiran al-Qur’an. Tafsir-tafsir mempunyai kategori informasi yang disebut asbaab al-nuzuul, sebab-sebab datangnya wahyu yang menurut para pengkaji al-Qur’an di Barat berguna untuk merekam peristiwa sejarah yang berkenaan dengan pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an. Analisis ayat dengan menggunakan asbab dalam tafsir menyatakan tentang signifikansi aktual sebab-sebab itu dalam kasus tertentu. Hal ini menghasilkan pemahaman bahwa al-Qur’an itu terbatas, di mana anekdot-anekdot dikemukakan, kemudian dicatat, dan disampaikan dengan tujuan untuk memberi gambaran situasi di mana penafsiran al-Qur’an dapat dibentuk. Materi-materi yang tercatat dalam tafsir bukan karena nilai sejarahnya, tetapi karena nilai tafsirannya. Fakta-fakta kesusastraan yang mendasar tentang materi tersebut sering diabaikan dalam kajian Islam dengan maksud untuk menemukan akibat-akibat historis yang positif.
Lebih jauh, Wansbrough memandang bahwa semua korpus dokumentasi Islam masa awal sebagai hal yang tidak dapat dipercaya. Semua yang berusaha dibuktikan oleh al-Qur’an, dan apa yang berusaha dijelaskan oleh karya-karya tafsir, sirah dan teologi, adalah bagaimana rangkaian peristiwa dunia yang terpusat pada masa Muhammad diarahkan oleh Tuhan. Seluruh komponen sejarah ini, yang disebut “Sejarah Penyelamatan Islam”, adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama —dengan Yahudi dan Kristen—, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran Tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan manusia. Akan tetapi, sejarah penyelamatan ini, dalam pandangan Wansbrough, tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa awal Islam, melainkan hanya berbentuk sastra yang mempunyai konteks historisnya sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
2. Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dan Penerapannya dalam al-Qur’an
Dalam dua bukunya, yaitu Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation dan The Sektarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, John Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber dari sudut pandang sastra, dengan tujuan untuk melepaskan pandangan teologis dari sejarah dalam melihat asal-usul Islam. Hal ini disebabkan oleh pandangan John Wansbrough tentang tidak adanya kelayakan dalam penggunaan metode kritik historis terhadap sumber-sumber sejarah Islam masa awal tersebut.
Argumentasi Wansbrough, dalam hal ini, adalah bahwa kita tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Semua yang kita ketahui sekarang adalah apa yang dipercaya telah terjadi oleh orang-orang yang datang kemudian. Analisis sastra atas sumber semacam itu akan menyatakan pada kita tentang komponen-komponen yang digunakan orang untuk menghasilkan pandangan-pandangan mereka dan mendefinisikan secara tepat apa yang mereka kemukakan. Akan tetapi, analisis sastra tidak akan bicara tentang apa yang terjadi.
Terkait dengan persoalan di atas, seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagai respon Tuhan atas situasi sosio-moral masyarakat Arab pada abad ke-7 M. Pewahyuannya terentang selama kurang lebih dua puluh dua tahun, di saat mana Muhammad muncul dari posisi sebagai seorang pembaharu keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya, Makkah, menjadi pemimpin aktual di Madinah dan sebagian besar Jazirah Arab. Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan tujuan umat Islam selama masa-masa tersebut, maka adalah sebuah kewajaran kalau gaya sastra Al-Qur’an berubah-ubah serta susunannya tidak sistematis.
Metode yang digunakan oleh John Wansbrough untuk membuktikan tesis-tesisnya adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Kajian semacam ini berangkat dari proposisi bahwa rekaman-rekaman sastra “Sejarah Penyelamatan”, meskipun menampilkan diri seakan-akan semasa peristiwa yang dilukiskan, pada faktanya berasal dari periode setelah itu.
Dalam aplikasinya, Wansbrough “menemukan” bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi pada karakter referensialnya dan kemunculan sejumlah ayat “duplikat”. Dalam hal ini, menurut Wansbrough, audiens al-Qur’an dipandang mampu mengisi detail-detailnya yang hilang dalam narasi. Akan tetapi kemudian, ketika Islam sebagai entitas dengan mapan dan stabil —berdasarkan struktur politiknya— datang setelah ekspansi Arab keluar wilayah mereka, materi al-Qur’an menjadi jauh dari lingkungan intelektual aslinya dan membutuhkan eksplikasi tertulis —eksplikasi yang tersedia dalam tafsir dan sirah.
Untuk menjelaskan pandangannya mengenai karakter referensial al-Qur’an, Wansbrough memberikan contoh sebagai berikut, yaitu pertama, contoh tentang Yusuf dan “saudara-saudaranya yang lain” dalam surat Yusuf (12) ayat 59, paralel dengan kisah Injil dalam Genesis 42: 3-13, di mana pengetahuan tentang kisah dalam Genesis diterima oleh sebagian audiens al-Qur’an, karena di dalam al-Qur’an tidak disebutkan sebelumnya tentang Benjamin dan kepergiannya dari rumah karena ketakutan Ya’kub atas keselamatannya. Pernyataan Yusuf dalam al-Qur’an: “Bawalah padaku saudara laki-lakimu dari ayahmu”, tidak muncul dalam konteks al-Qur’an, meskipun kita tidak datang pertama kali dengan pengetahuan tentang kisah Injil.
Kedua, contoh berkaitan dengan kehendak Ibrahim untuk mengorbankan anak laki-lakinya, dan penyembelihan dalam al-Qur’an adalah implikasi dari kisah yang ada dalam Injil, di mana anak laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa dirinya adalah orang yang dipersembahkan. Di sini, permasalahannya jauh lebih kompleks karena tradisi tafsir Yahudi memainkan peran di dalamnya. Studi yang dilakukan Geza Vermes menjelaskan bahwa banyak tradisi Yahudi —dan Kristen— menyampaikan kisah bahwa Ishaq —dalam tradisi Islam adalah Ismail— mengetahui dirinya akan dikurbankan sebelum peristiwa sesungguhnya terjadi dengan tujuan untuk menekankan kehendak Ishaq untuk mempersembahkan dirinya sendiri. Tradisi tafsir Yahudi juga bersifat referensial. Tradisi ini berasumsi bahwa kisah tentang pengurbanan jelas bagi audiensnya dan bahwa signifikansi Ibrahim dalam kisah itu akan menjadi bukti bagi semua orang yang membaca Injil. Jadi, penekanannya pada Ishaq dan tentu saja bukan pada eksklusi peran Ibrahim. Posisi al-Qur’an juga sama. Pengetahuan tentang kisah Injil telah dikemukakan. Karakter referensial al-Qur’an perlu menjelaskan ketidakcukupan satu pendekatan terhadap al-Qur’an yang melihat apa yang disebut karakter “Arabia secara khusus” dari kitab ini dan mencoba mengabaikan latar belakang tradisi Yahudi-Kristen secara keseluruhan.
Pandangan tentang gaya referensial al-Qur’an juga membawa Wansbrough dalam dugaan bahwa kita sekarang ini sedang berhubungan dengan gerakan sektarian secara penuh dalam “lingkungan sektarian Yahudi-Kristen”. Paralelitas antara literatur al-Qur’an dan Qumran, walaupun tidak harus memainkan interdependensi, menunjukkan proses serupa dalam elaborasi teks Injil dan adaptasinya untuk tujuan-tujuan sektarian.
Menurut Wansbrough, al-Qur’an sebagai dokumen yang tersusun dari ayat-ayat referensial yang dikembangkan dalam framework polemik sektarian Yahudi-Kristen, diletakkan bersama-sama oleh sarana-sarana konvensi sastra, misalnya penggunaan qul (katakanlah), konvensi narasi, dan konjungsi paralelitas versi-versi kisah yang disebut Wansbrough sebagai “varian tradisi”, yang barangkali dihasilkan dari tradisi asli yang satu dengan sarana yang bervariasi melalui transformasi oral dalam konteks penggunaan liturgi. Cukup jelas di sini, varietas metode (misalnya analisis bentuk, analisis formula oral) yang telah dilakukan di luar kajian Islam, khususnya Injil, digunakan Wansbrough dalam analisisnya tentang al-Qur’an.
Analisis Wansbrough menyatakan bahwa al-Qur’an itu bukan sekedar “calque dari bentuk-bentuk yang mapan dari masa awal”, tetapi al-Qur’an juga berusaha mereproduksi Injil dalam bahasa Arab dan menyesuaikannya untuk masyarakat Arabia. Karena satu hal, al-Qur’an tidak mengikuti motif pemenuhan yang dipandang sebagai preseden oleh Perjanjian Baru dan penggunaannya dalam Injil Ibrani. Lebih dari itu, karena al-Qur’an muncul dalam situasi polemik, ada upaya yang jelas untuk memisahkan al-Qur’an dari wahyu Musa melalui sarana-sarana seperti modus pewahyuan dan penekanan pada bahasa dalam al-Qur’an.
Lebih lanjut Wansbrough menyatakan bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks al-Qur’an terjadi bersamaan dengan pembentukan komunitas. Teks kitab suci yang final tidak ada dan belum mungkin ada secara keseluruhan sebelum kekuasaan politik terkontrol secara sepenuhnya. Sehingga pada akhir abad ke- 2 H/ 8 M menjadi momen historis untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi oral dan unsur-unsur liturgi sehingga melahirkan kanon kitab suci yang final dan muncul konsep aktual tentang Islam.
Oleh karena itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan aI-Qur’an, dalam pan¬dangan Wansbrough, secara historis harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya. Semua informasi terse¬but adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut, barangkali disusun oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikut model periwayatan teks orisinal Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci Ibrani. Semua informasi tersebut mengasumsikan sebelumnya wujudnya standar (ca¬non) dan karena itu, tidak bisa lebih dahulu dari abad ke- 3 Hijriah.
Kritik sastra menggiring Wansbrough untuk menyimpul¬kan teks yang diterima (textus receptus) dan selama ini diyaki¬ni oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang bela¬kangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Menurut Wansbrough, teks Al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Wansbrough menyatakan bahwa riwayat-riwayat menge¬nai AI-Qur’an versi Utsman adalah fiksi yang muncul di masa kemudian, yang direkayasa oleh komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk menggambarkan asal-usulnya.
3. Wacana tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough banyak mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, tanpa mengurangi kapasitas para pengkaji yang lain, wacana yang dikemukakan oleh Andrew Rippin dan Fazlur Rahman tampaknya cukup mewakili perdebatan dalam kajian ini.
Secara umum, Andrew Rippin sependapat dengan John Wansbrough. Atas dasar pemikiran bahwa Islam adalah agama dalam sejarah, Rippin membenarkan penggunaan analisis sastra oleh Wansbrough dalam mengkritisi Al-Qur’an, sebagaimana juga dipergunakan dalam mengkritisi kitab suci Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan oleh posisi Islam yang tidak historis karena tidak ada dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia. Sumber-sumber berupa teks berbahasa Arab dari kalangan muslim sendiri, lanjut Rippin, terdiri dari literatur-literatur yang ditulis dua abad setelah fakta sejarah terjadi.
Selanjutnya, apa yang dikemukakan Wansbrough berkaitan dengan sumber-sumber Islam masa awal, menurut Rippin, bukanlah hal yang baru. Dalam hal ini Rippin beralasan bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah lebih dulu menyatakan hal demikian. Keduanya memahami bahwa sabda-sabda yang disandarkan kepada Muhammad dan digunakan uintuk mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarnya berasal dari periode kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan doktrin ini sedang mencari dukungan dari apa yang disebut sebagai sunnah.
Sementara dalam menanggapi tesis-tesis John Wansbrough dan pembelaan Andrew Rippin terhadap metode dan hasil yang dicapainya, Fazlur Rahman menyatakan bahwa keampuhan metode historis sebenarnya sudah cukup membuktikan tentang keaslian bahan-bahan historis kaum Muslim, dan pengalihan kepada suatu metode analisa sastra yang murni tidak diperlukan.
Fazlur Rahman memberikan contoh tentang sebuah konsekuensi yang terjadi apabila menghilangkan sisi historis dan hanya memakai pendekatan sastra —yang menjadikan para pendukung metode sastra tidak dapat memaknai al-Qur’an—, yaitu perbedaan-perbedaan tertentu dalam al-Qur’an dilihat dari kronologi periode Mekkah dan Madinah, seperti kisah perselisihan Ibrahim dengan ayahnya. Surat Maryam (19) ayat 47 (Makkiyah) mengatakan bahwa Ibrahim sementara bersahabat dengan ayahnya, ia (Ibrahim) menyatakan pada ayahnya bahwa dirinya akan terus berdoa memohonkan ampun baginya. Kemudian pada periode Madinah, ketika al-Qur’an memerintahkan kaum Muhajirin untuk melepaskan diri dari anggota keluarga dekatnya di Makkah agar tetap pagan dan terus mencela dan memusuhi Muslim. Al-Qur’an mengatakan pada mereka, yaitu, Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi ayahnya hanya karena dia pernah berjanji. Dengan kata lain, bahwa dia (Ibrahim) benar-benar telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya.
Menurut Rahman, masing-masing ayat ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Makkah dan Madinah. Ada satu, dua, atau ribuan tradisi semua yang ada dalam al-Qur’an berkaitan dengan situasi Nabi Muhammad. Kemudian surat Huud (11) ayat 27 sampai 29, di mana Nuh diminta oleh para “pembesar” kaumnya agar melemparkan para pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka bergabung dengannya adalah sesuai dengan situasi Nabi Muhammad pada tahun-tahun terakhir di Makkah. Atau lihat surat Al-A’raaf (7) ayat 85, di mana Syu’aib diutus kepada kaumnya untuk menasehati mereka agar jujur dalam berdagang, tentu saja ini juga merupakan problem yang dihadapi Nabi Muhammad dalam masyarakatnya.
Dalam pandangan Rahman, dengan melepaskan Al-Qur’an dari sandaran historisnya dalam kehidupan Muhammad, maka salah satu tugas utama Wansbrough adalah meletakkannya secara historis di tempat yang lain. Karena keharusan relokasi historis tidak bisa dikesampingkan oleh penolakan sederhana terhadap historisitas sumber-sumber awal Islam itu sendiri. Harus diketahui di mana Al-Qur’an berada dan pada kelompok atau individu mana al-Qur’an diturunkan. Di sini nampak bahwa gagasan yang menolak sejarah tradisional tanpa perdebatan lebih jauh adalah untuk melepaskan diri dari semua tanggung jawab historis.
Fazlur Rahman juga memberikan kritik terhadap tesis Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda. Rahman menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila Al-Qur’an hanya merupakan perpaduan serentak dari berbagai tradisi. Fazlur Rahman juga menilai bahwa Wansbrough kurang memiliki data-data historis mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an, menurut Fazlur Rahman, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang dalam suatu dokumen yang tunggal. Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya.
Berikutnya, pembelaan Rippin yang menyatakan bahwa Wansbrough bukanlah orang pertama yang mempermasalahkan sumber-sumber data Islam yang awal ini pun tidak luput mendapat dikritik dari Fazlur Rahman. Memang benar bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah mendahului Wansbrough, tetapi keduanya mempelopori pendekatan ini dalam hubungannya dengan kritik hadits. Menurut Fazlur Rahman, Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht bersandar pada metode sejarah untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits tertentu muncul setelah hadits lainnya. Oleh karena itu, lanjut Rahman, tidak jelas logika apa yang dipakai oleh Rippin untuk menawarkan metode sejarah Goldziher dan Schacht untuk mendukung analisis sastra Wansbrough, karena metode yang terakhir bersifat arbitrer.
Mengenai alasan Rippin tentang adanya beberapa pengkaji yang menekankan latar belakang Arab Islam dengan kontribusi Yahudi dan Kristen, Fazlur Rahman berpendapat bahwa Wansbrough telah melampau batas-batas yang dapat diterima akal dalam memandang al-Qur’an sebagai manifestasi sektarian Yahudi-Kristen sepenuhnya. Pada faktanya, di Arab sendiri
Terlepas dari perdebatan di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika di kalangan Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Di samping itu, dia pun menyayangkan bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci —yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu— terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim. Menurut Mohammed Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin dikembangkannya, di mana intervensi ilmiah John Wansborugh cocok dengan framework yang diusulkannya. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang hasilnya akan cukup meresahkan bagi kalangan fundamentalis.
Penolakan kalangan Muslim terhadap pendekatan kritis-historis al-Quran, dalam pandangan Mohammed Arkoun, lebih bernuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran dalam ranah ilmu kalam. Padahal, menurut Mohammed Arkoun, mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudian dijadikan ”tak terpikirkan” dan makin menjadi ”tak terpikirkan” karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.
Berkaitan dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd— seorang intelektual asal Mesir—, Mohammed Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid Abu Zayd tersebut. Padahal metodologi Nasr Hamid Abu Zayd, menurut Mohammed Arkoun, memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Quran. Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Quran adalah teks linguistik-historis-manusiawi yang berkembang dalam tradisi Arab.
Penutup
Berdasarkan uraian tentang permasalahan metodologi analisis sastra John Wansbrough terhadap al-Qur’an, tafsir, dan sirah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu pertama, John Wansbrough berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Untuk mengatasi hal tersebut, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
Kedua, metode yang digunakan oleh John Wansbrough adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Dalam aplikasinya, John Wansbrough mendapatkan temuan bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi (dan Kriten), juga kemunculan ayat “duplikat” yang terdapat di dalamnya.
Ketiga, tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan antara Andrew Rippin (pro) dan Fazlur Rahman (kontra) di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd, di mana pandangannya tentang al-Qur’an mendapat reaksi yang bertentangan di kalangan Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, Muhammad Mustafa, Sejarah Teks al-Qur’an: Dari Wahyu Sampai Kompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2005
Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin, Jakarta: INIS, 1997
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001
Esack, Farid, Menghidupkan Al-Qur’an: Dalam Wacana dan Prilaku, terj. Norma Arbi’a Juli Setiawan, Depok: Inisiasi Press, 2006
Rahman, Fazlur, Islam Modern: Tantangan Pembaharuan Islam. Terj. Hamid Basyaib dan Rusli Karim, Yogyakarta: Solahudin Press, 1987
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996
Rahman, Fazlur, “Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama” dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002
Rippin, Andrew, “Analisis Sastra Terhadap al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002
Setiawan, M. Nur Kholis, “Mengkaji Sejarah Teks Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003
Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003
Watt, W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an, edisi Indonesia, terj. Taufiq Adnan Amal, Jakarta: Rajawali, 1991
*)Ahmad Syauqi Sumbawi, sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008).
Sementara bukunya antara lain Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007). Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007, PUstaka puJAngga), dan Waktu; Di Pesisir Utara (Novel, 2008).
http://sastra-indonesia.com/
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi berbagai peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkuat identitas kolektif. Al-Qur’an juga digunakan dalam ibadah-ibadah publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan implementasi ajarannya dalam kehidupan merupakan kewajiban setiap Muslim.
Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluhan tahun, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Meskipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan berjilid-jilid kitab tafsir yang berusaha menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.
Pada umumnya, kaum Muslimin meyakini bahwa al-Qur’an bersumber dari Tuhan, dan al-Qur’an sendiri mengkonfirmasikan hal tersebut. Keyakinan sumber ilahiyah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad merupakan keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan semacam itu, tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai Muslim. Akan tetapi, keyakinan tersebut telah mendapat tantangan serius ketika diproklamirkan pertama kali oleh al-Qur’an dan berlanjut hingga dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.
Pengakuan Muhammad bahwa dirinya merupakan penerima wahyu dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab sezaman dengannya. Al-Qur’an sendiri tidak menyembunyikan adanya oposisi yang serius terhadap Nabi, tetapi justru merekam rentetan peristiwa tersebut tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan negatif para oposan Nabi tentang asal-usul genetik atau sumber wahyu yang diterimanya, juga bantahan terhadap miskonsepsi mereka.
Dalam beberapa bagian al-Qur’an, para penentang Nabi memandangnya sebagai kahin (tukang tenun) dan wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenun”. Nabi juga dituduh sebagai syaa’ir (penyair), majnun (kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya), sahir (tukang sihir) atau mashur (korban sihir), dan wahyu yang diterimanya dianggap sebagai sihr (sihir).
Berbagai gagasan para penentang Nabi di atas secara eksplisit mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Qur’an berasal dari ruh-ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh jin atau setan. Tanpa memutarbalikkan fakta, al-Qur’an telah merekam rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut pandang orang yang semasa dengan Nabi Saw mengenai asal-usul atau sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Sejalan dengan itu, al-Qur’an juga merespon para oposan Nabi tersebut. Meskipun respon spesifik al-Qur’an berbeda untuk setiap kasusnya, namun dalam berbagai jawaban tersebut, kitab ini selalu menekankan asal-usul ilahiyahnya, yaitu bersumber dari Tuhan semesta alam.
Rupanya gagasan para oposan Nabi di atas memiliki sisi kemiripan dengan konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan hingga dewasa ini. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang berbau apologetik. Pada abad pertengahan ini, Muhammad digagaskan sebagi penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, serta ajaran al-Qur’an yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu bentuk Kristen yang sesat dan penuh bid’ah.
Meskipun lebih merupakan mitos dan fiksi imajinatif, gagasan Barat abad pertengahan tersebut memiliki pengaruh kuat di kalangan sarjana Barat pada masa berikutnya, dan terlihat sulit untuk dihilangkan dari pikiran masyarakat Barat hingga dewasa ini. Akan tetapi, konsepsi abad pertengahan ini secara sederhana dapat diabaikan karena tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian ilmiah yang serius. Di sini, gagasan Barat abad pertengahan tidak dapat disejajarkan dengan gagasan Barat modern jika dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya.
Karya Barat modern yang berupaya melacak sumber-sumber al-Qur’an bisa dikatakan bermula pada tahun 1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen? Dalam penelitiannya, Geiger berkesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang tertuang di dalam al-Qur’an sejak awal telah menunjukkan sendiri asal-usulnya dari Yahudi secara transparan. Tidak hanya sebagian besar kisah para nabi, tetapi berbagai ajaran dan aturan al-Qur’an pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi. Akan tetapi, selama hampir setengah abad setelah publikasinya, tidak terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada tahun 1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan mempublikasikan karyanya, Juedische Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur’an), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.
Pasca kemunculan kedua karya di atas, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Qur’an. Dalam hal ini, terjadi semacam pertarungan akademik antara mereka yang menganggap al-Qur’an tidak lebih tiruan dari tradisi Yahudi dan mereka yang menganggap agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berusaha membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Qur’an secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan Muhammad merupakan seorang murid Yahudi tertentu. Sementara para sarjana Kristen juga berupaya membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih dari gema sumbang tradisi Kristiani, serta menganggap Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh dari agama Kristen.
Di kalangan para sarjana tersebut, John Wansbrough muncul dengan penerbitan karyanya, Quranic Studies: Sources and Methods of Sciptural Interpretation, pada tahun 1977. Dengan menggunakan metode kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan studi kritis terhadap redaksi (redaction criticism) atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an, John Wansbrough menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dengan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang berada di bawah pengaruh Yahudi, dan pada batas tertentu Kristen, sehingga asal-usul al-Qur’an sepenuhnya berada dalam tradisi tersebut.
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang perdebatan di kalangan para sarjana yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun sarjana muslim.
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini berusaha menjelaskan beberapa masalah pokok terkait dengan tema di atas sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough? Kedua, bagaimana metodologi analisis sastra John Wansbrough dan penerapannya terhadap al-Qur’an? Ketiga, bagaimana wacana yang berkembang tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an?
Pembahasan
1. Historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough
Pada umumnya, gagasan bahwa Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama “dalam sejarah” telah diterima oleh banyak kalangan. Pandangan bahwa sejarah merupakan “medan percobaan”, di mana Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa-peristiwa sejarah adalah kebenaran yang paling penting yang dibuktikan oleh kedua agama tersebut —terlepas dari persoalan teologis—. Penekanan pada aspek kesejarahan di atas didorong oleh upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan kebenaran mutlak atau kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat tergantung pada pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan. Hipotesa bahwa sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar historis agama, khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang positif. Dalam hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis sumber —kitab suci— adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa yang sesungguhnya terjadi.”
Terlepas dari persolan teologis, ilmu modern berusaha mendekati Islam dengan cara yang sama, yang secara tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yaitu agama yang terpancang dalam sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan menggiring untuk bersikap sama terhadap sumber-sumber yang tersedia dalam kajian Islam masa awal sebagaimana gambaran sikap terhadap kajian Yahudi dan Kristen. Dari sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan rekaman atau data-data yang mendukung untuk menganalisis tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam —dalam hal ini, al-Qur’an yang menjadi sumber ajarannya—, dalam pandangan para orientalis Barat, memiliki tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.
Setidaknya terdapat empat pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat berkaitan dengan asal-usul atau sumber al-Qur’an. Pertama, bahwa asal usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi. Kedua, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Kristen. Ketiga, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu Yahudi dan Kristen, yang secara serempak mempengaruhinya. Keempat, bahwa latar belakang al-Qur’an —Islam— adalah milieu Arab, meskipun banyak terdapat unsur-unsur Yahudi-Kristen yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.
Pendapat-pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Qur’an di atas, sebenarnya berpijak pada asumsi tentang difusi agama Yahudi dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Akan tetapi, asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat legitimasi dari informasi-informasi historis yang terdapat dalam al-Qur’an sendiri —dengan catatan, apabila al-Qur’an dipandang sebagai sumber sejarah yang otoritatif—. Di samping itu, pengaruh kedua tradisi keagamaan Semit tersebut terhadap milieu Arab tampak tidak cukup menyakinkan. Memang benar, bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di kalangan masyarakat Arab. Bahkan al-Qur’an sendiri mengemukakan adanya upaya dari orang-orang Yahudi dan Kristen melakukan penyebaran ajaran agama mereka masing-masing kepada orang-orang Arab. Akan tetapi, tampaknya upaya ini tidak cukup membuahkan hasil yang maksimal, karena implikasi politik kedua agama tersebut. Orang-orang Arab lebih memilih untuk setia dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhur mereka.
Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yahudi-Kristen juga dijadikan sebagai basis oleh para orientalis Barat untuk teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Qur’an adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru —atau Tawrat dan Injil dalam istilah al-Qur’an—. Akan tetapi, barangkali kaum Muslim akan menisbatkan kemiripan dalam ketiga tradisi agama Ibrahim ini pada kesamaan sumber inspirasi kitab suci masing-masing ketiga agama tersebut. Dalam keyakinan Islam, seluruh kitab suci —bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit tersebut— bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab suci itu diutus oleh-Nya. Al-Qur’an memang menyebutkan bahwa para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang mereka sampaikan adalah universal dan identik. Semua risalah tersebut terpancar dari sumber tunggal, yaitu umm al-kitab (induk segala kitab), kitab maknun (kitab yang tersembunyi), atau lawh mahfuzh (luh yang terpelihara), yang merupakan esensi pengetahuan Tuhan. Dari esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada pada utusan Tuhan. Tawrat dan Zabur —merujuk pada Perjanjian Lama serta Injil, semuanya bersumber dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia harus mengimani seluruhnya.
Dalam al-Qur’an, di samping disebutkan kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen, Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan keimanan kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah. Oleh karena itu, agama Allah tidak dapat dipecah-pecah. Demikian juga dengan kenabian, di mana al-Qur’an mengharuskan keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi. Bagi al-Qur’an tidak ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi peringatan. Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi ajaran agama lain, tetapi karena tiap-tiap agama tersebut berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan semesta alam.
Meskipun uraian di atas dianggap lebih bersifat dogmatis, barangkali hanya jawaban semacam itulah yang bisa dikemukakan jika dikaitkan dengan perspektif al-Qur’an tentangnya. Sementara di kalangan orientalis Barat sendiri, masalah pelacakan sumber-sumber dan asal-usul genetik al-Qur’an masih tetap merupakan bidang kajian yang kontroversial.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, John Wansbrough berpandangan bahwa historisitas al-Qur’an merupakan sesuatu yang mengada-ada. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri —juga Islam—. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian yang “netral” untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber di luar komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak dan upaya merekonstruksi bahan-bahan tersebut ke dalam kerangka historis menghadapi banyak kesulitan.
Sementara sumber-sumber lain yang tersedia, yaitu teks-teks Arab dari komunitas Muslim, terdiri dari sejumlah literatur yang berasal dari dua abad setelah fakta terjadi. Informasi yang terkandung dalam literatur ini ditulis selama dua abad tersebut. Sumber-sumber internal ini bermaksud mendokumentasikan basis keimanan, validitas kitab suci, dan bukti rencana Tuhan bagi manusia. Hal ini dapat dilihat dari karakter historis sumber-sumber tentang dasar-dasar Islam yang terbukti lebih lentur daripada dalam penafsiran al-Qur’an. Tafsir-tafsir mempunyai kategori informasi yang disebut asbaab al-nuzuul, sebab-sebab datangnya wahyu yang menurut para pengkaji al-Qur’an di Barat berguna untuk merekam peristiwa sejarah yang berkenaan dengan pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an. Analisis ayat dengan menggunakan asbab dalam tafsir menyatakan tentang signifikansi aktual sebab-sebab itu dalam kasus tertentu. Hal ini menghasilkan pemahaman bahwa al-Qur’an itu terbatas, di mana anekdot-anekdot dikemukakan, kemudian dicatat, dan disampaikan dengan tujuan untuk memberi gambaran situasi di mana penafsiran al-Qur’an dapat dibentuk. Materi-materi yang tercatat dalam tafsir bukan karena nilai sejarahnya, tetapi karena nilai tafsirannya. Fakta-fakta kesusastraan yang mendasar tentang materi tersebut sering diabaikan dalam kajian Islam dengan maksud untuk menemukan akibat-akibat historis yang positif.
Lebih jauh, Wansbrough memandang bahwa semua korpus dokumentasi Islam masa awal sebagai hal yang tidak dapat dipercaya. Semua yang berusaha dibuktikan oleh al-Qur’an, dan apa yang berusaha dijelaskan oleh karya-karya tafsir, sirah dan teologi, adalah bagaimana rangkaian peristiwa dunia yang terpusat pada masa Muhammad diarahkan oleh Tuhan. Seluruh komponen sejarah ini, yang disebut “Sejarah Penyelamatan Islam”, adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama —dengan Yahudi dan Kristen—, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran Tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan manusia. Akan tetapi, sejarah penyelamatan ini, dalam pandangan Wansbrough, tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa awal Islam, melainkan hanya berbentuk sastra yang mempunyai konteks historisnya sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
2. Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dan Penerapannya dalam al-Qur’an
Dalam dua bukunya, yaitu Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation dan The Sektarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, John Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber dari sudut pandang sastra, dengan tujuan untuk melepaskan pandangan teologis dari sejarah dalam melihat asal-usul Islam. Hal ini disebabkan oleh pandangan John Wansbrough tentang tidak adanya kelayakan dalam penggunaan metode kritik historis terhadap sumber-sumber sejarah Islam masa awal tersebut.
Argumentasi Wansbrough, dalam hal ini, adalah bahwa kita tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Semua yang kita ketahui sekarang adalah apa yang dipercaya telah terjadi oleh orang-orang yang datang kemudian. Analisis sastra atas sumber semacam itu akan menyatakan pada kita tentang komponen-komponen yang digunakan orang untuk menghasilkan pandangan-pandangan mereka dan mendefinisikan secara tepat apa yang mereka kemukakan. Akan tetapi, analisis sastra tidak akan bicara tentang apa yang terjadi.
Terkait dengan persoalan di atas, seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagai respon Tuhan atas situasi sosio-moral masyarakat Arab pada abad ke-7 M. Pewahyuannya terentang selama kurang lebih dua puluh dua tahun, di saat mana Muhammad muncul dari posisi sebagai seorang pembaharu keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya, Makkah, menjadi pemimpin aktual di Madinah dan sebagian besar Jazirah Arab. Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan tujuan umat Islam selama masa-masa tersebut, maka adalah sebuah kewajaran kalau gaya sastra Al-Qur’an berubah-ubah serta susunannya tidak sistematis.
Metode yang digunakan oleh John Wansbrough untuk membuktikan tesis-tesisnya adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Kajian semacam ini berangkat dari proposisi bahwa rekaman-rekaman sastra “Sejarah Penyelamatan”, meskipun menampilkan diri seakan-akan semasa peristiwa yang dilukiskan, pada faktanya berasal dari periode setelah itu.
Dalam aplikasinya, Wansbrough “menemukan” bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi pada karakter referensialnya dan kemunculan sejumlah ayat “duplikat”. Dalam hal ini, menurut Wansbrough, audiens al-Qur’an dipandang mampu mengisi detail-detailnya yang hilang dalam narasi. Akan tetapi kemudian, ketika Islam sebagai entitas dengan mapan dan stabil —berdasarkan struktur politiknya— datang setelah ekspansi Arab keluar wilayah mereka, materi al-Qur’an menjadi jauh dari lingkungan intelektual aslinya dan membutuhkan eksplikasi tertulis —eksplikasi yang tersedia dalam tafsir dan sirah.
Untuk menjelaskan pandangannya mengenai karakter referensial al-Qur’an, Wansbrough memberikan contoh sebagai berikut, yaitu pertama, contoh tentang Yusuf dan “saudara-saudaranya yang lain” dalam surat Yusuf (12) ayat 59, paralel dengan kisah Injil dalam Genesis 42: 3-13, di mana pengetahuan tentang kisah dalam Genesis diterima oleh sebagian audiens al-Qur’an, karena di dalam al-Qur’an tidak disebutkan sebelumnya tentang Benjamin dan kepergiannya dari rumah karena ketakutan Ya’kub atas keselamatannya. Pernyataan Yusuf dalam al-Qur’an: “Bawalah padaku saudara laki-lakimu dari ayahmu”, tidak muncul dalam konteks al-Qur’an, meskipun kita tidak datang pertama kali dengan pengetahuan tentang kisah Injil.
Kedua, contoh berkaitan dengan kehendak Ibrahim untuk mengorbankan anak laki-lakinya, dan penyembelihan dalam al-Qur’an adalah implikasi dari kisah yang ada dalam Injil, di mana anak laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa dirinya adalah orang yang dipersembahkan. Di sini, permasalahannya jauh lebih kompleks karena tradisi tafsir Yahudi memainkan peran di dalamnya. Studi yang dilakukan Geza Vermes menjelaskan bahwa banyak tradisi Yahudi —dan Kristen— menyampaikan kisah bahwa Ishaq —dalam tradisi Islam adalah Ismail— mengetahui dirinya akan dikurbankan sebelum peristiwa sesungguhnya terjadi dengan tujuan untuk menekankan kehendak Ishaq untuk mempersembahkan dirinya sendiri. Tradisi tafsir Yahudi juga bersifat referensial. Tradisi ini berasumsi bahwa kisah tentang pengurbanan jelas bagi audiensnya dan bahwa signifikansi Ibrahim dalam kisah itu akan menjadi bukti bagi semua orang yang membaca Injil. Jadi, penekanannya pada Ishaq dan tentu saja bukan pada eksklusi peran Ibrahim. Posisi al-Qur’an juga sama. Pengetahuan tentang kisah Injil telah dikemukakan. Karakter referensial al-Qur’an perlu menjelaskan ketidakcukupan satu pendekatan terhadap al-Qur’an yang melihat apa yang disebut karakter “Arabia secara khusus” dari kitab ini dan mencoba mengabaikan latar belakang tradisi Yahudi-Kristen secara keseluruhan.
Pandangan tentang gaya referensial al-Qur’an juga membawa Wansbrough dalam dugaan bahwa kita sekarang ini sedang berhubungan dengan gerakan sektarian secara penuh dalam “lingkungan sektarian Yahudi-Kristen”. Paralelitas antara literatur al-Qur’an dan Qumran, walaupun tidak harus memainkan interdependensi, menunjukkan proses serupa dalam elaborasi teks Injil dan adaptasinya untuk tujuan-tujuan sektarian.
Menurut Wansbrough, al-Qur’an sebagai dokumen yang tersusun dari ayat-ayat referensial yang dikembangkan dalam framework polemik sektarian Yahudi-Kristen, diletakkan bersama-sama oleh sarana-sarana konvensi sastra, misalnya penggunaan qul (katakanlah), konvensi narasi, dan konjungsi paralelitas versi-versi kisah yang disebut Wansbrough sebagai “varian tradisi”, yang barangkali dihasilkan dari tradisi asli yang satu dengan sarana yang bervariasi melalui transformasi oral dalam konteks penggunaan liturgi. Cukup jelas di sini, varietas metode (misalnya analisis bentuk, analisis formula oral) yang telah dilakukan di luar kajian Islam, khususnya Injil, digunakan Wansbrough dalam analisisnya tentang al-Qur’an.
Analisis Wansbrough menyatakan bahwa al-Qur’an itu bukan sekedar “calque dari bentuk-bentuk yang mapan dari masa awal”, tetapi al-Qur’an juga berusaha mereproduksi Injil dalam bahasa Arab dan menyesuaikannya untuk masyarakat Arabia. Karena satu hal, al-Qur’an tidak mengikuti motif pemenuhan yang dipandang sebagai preseden oleh Perjanjian Baru dan penggunaannya dalam Injil Ibrani. Lebih dari itu, karena al-Qur’an muncul dalam situasi polemik, ada upaya yang jelas untuk memisahkan al-Qur’an dari wahyu Musa melalui sarana-sarana seperti modus pewahyuan dan penekanan pada bahasa dalam al-Qur’an.
Lebih lanjut Wansbrough menyatakan bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks al-Qur’an terjadi bersamaan dengan pembentukan komunitas. Teks kitab suci yang final tidak ada dan belum mungkin ada secara keseluruhan sebelum kekuasaan politik terkontrol secara sepenuhnya. Sehingga pada akhir abad ke- 2 H/ 8 M menjadi momen historis untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi oral dan unsur-unsur liturgi sehingga melahirkan kanon kitab suci yang final dan muncul konsep aktual tentang Islam.
Oleh karena itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan aI-Qur’an, dalam pan¬dangan Wansbrough, secara historis harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya. Semua informasi terse¬but adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut, barangkali disusun oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikut model periwayatan teks orisinal Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci Ibrani. Semua informasi tersebut mengasumsikan sebelumnya wujudnya standar (ca¬non) dan karena itu, tidak bisa lebih dahulu dari abad ke- 3 Hijriah.
Kritik sastra menggiring Wansbrough untuk menyimpul¬kan teks yang diterima (textus receptus) dan selama ini diyaki¬ni oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang bela¬kangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Menurut Wansbrough, teks Al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Wansbrough menyatakan bahwa riwayat-riwayat menge¬nai AI-Qur’an versi Utsman adalah fiksi yang muncul di masa kemudian, yang direkayasa oleh komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk menggambarkan asal-usulnya.
3. Wacana tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough banyak mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, tanpa mengurangi kapasitas para pengkaji yang lain, wacana yang dikemukakan oleh Andrew Rippin dan Fazlur Rahman tampaknya cukup mewakili perdebatan dalam kajian ini.
Secara umum, Andrew Rippin sependapat dengan John Wansbrough. Atas dasar pemikiran bahwa Islam adalah agama dalam sejarah, Rippin membenarkan penggunaan analisis sastra oleh Wansbrough dalam mengkritisi Al-Qur’an, sebagaimana juga dipergunakan dalam mengkritisi kitab suci Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan oleh posisi Islam yang tidak historis karena tidak ada dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia. Sumber-sumber berupa teks berbahasa Arab dari kalangan muslim sendiri, lanjut Rippin, terdiri dari literatur-literatur yang ditulis dua abad setelah fakta sejarah terjadi.
Selanjutnya, apa yang dikemukakan Wansbrough berkaitan dengan sumber-sumber Islam masa awal, menurut Rippin, bukanlah hal yang baru. Dalam hal ini Rippin beralasan bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah lebih dulu menyatakan hal demikian. Keduanya memahami bahwa sabda-sabda yang disandarkan kepada Muhammad dan digunakan uintuk mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarnya berasal dari periode kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan doktrin ini sedang mencari dukungan dari apa yang disebut sebagai sunnah.
Sementara dalam menanggapi tesis-tesis John Wansbrough dan pembelaan Andrew Rippin terhadap metode dan hasil yang dicapainya, Fazlur Rahman menyatakan bahwa keampuhan metode historis sebenarnya sudah cukup membuktikan tentang keaslian bahan-bahan historis kaum Muslim, dan pengalihan kepada suatu metode analisa sastra yang murni tidak diperlukan.
Fazlur Rahman memberikan contoh tentang sebuah konsekuensi yang terjadi apabila menghilangkan sisi historis dan hanya memakai pendekatan sastra —yang menjadikan para pendukung metode sastra tidak dapat memaknai al-Qur’an—, yaitu perbedaan-perbedaan tertentu dalam al-Qur’an dilihat dari kronologi periode Mekkah dan Madinah, seperti kisah perselisihan Ibrahim dengan ayahnya. Surat Maryam (19) ayat 47 (Makkiyah) mengatakan bahwa Ibrahim sementara bersahabat dengan ayahnya, ia (Ibrahim) menyatakan pada ayahnya bahwa dirinya akan terus berdoa memohonkan ampun baginya. Kemudian pada periode Madinah, ketika al-Qur’an memerintahkan kaum Muhajirin untuk melepaskan diri dari anggota keluarga dekatnya di Makkah agar tetap pagan dan terus mencela dan memusuhi Muslim. Al-Qur’an mengatakan pada mereka, yaitu, Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi ayahnya hanya karena dia pernah berjanji. Dengan kata lain, bahwa dia (Ibrahim) benar-benar telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya.
Menurut Rahman, masing-masing ayat ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Makkah dan Madinah. Ada satu, dua, atau ribuan tradisi semua yang ada dalam al-Qur’an berkaitan dengan situasi Nabi Muhammad. Kemudian surat Huud (11) ayat 27 sampai 29, di mana Nuh diminta oleh para “pembesar” kaumnya agar melemparkan para pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka bergabung dengannya adalah sesuai dengan situasi Nabi Muhammad pada tahun-tahun terakhir di Makkah. Atau lihat surat Al-A’raaf (7) ayat 85, di mana Syu’aib diutus kepada kaumnya untuk menasehati mereka agar jujur dalam berdagang, tentu saja ini juga merupakan problem yang dihadapi Nabi Muhammad dalam masyarakatnya.
Dalam pandangan Rahman, dengan melepaskan Al-Qur’an dari sandaran historisnya dalam kehidupan Muhammad, maka salah satu tugas utama Wansbrough adalah meletakkannya secara historis di tempat yang lain. Karena keharusan relokasi historis tidak bisa dikesampingkan oleh penolakan sederhana terhadap historisitas sumber-sumber awal Islam itu sendiri. Harus diketahui di mana Al-Qur’an berada dan pada kelompok atau individu mana al-Qur’an diturunkan. Di sini nampak bahwa gagasan yang menolak sejarah tradisional tanpa perdebatan lebih jauh adalah untuk melepaskan diri dari semua tanggung jawab historis.
Fazlur Rahman juga memberikan kritik terhadap tesis Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda. Rahman menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila Al-Qur’an hanya merupakan perpaduan serentak dari berbagai tradisi. Fazlur Rahman juga menilai bahwa Wansbrough kurang memiliki data-data historis mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an, menurut Fazlur Rahman, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang dalam suatu dokumen yang tunggal. Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya.
Berikutnya, pembelaan Rippin yang menyatakan bahwa Wansbrough bukanlah orang pertama yang mempermasalahkan sumber-sumber data Islam yang awal ini pun tidak luput mendapat dikritik dari Fazlur Rahman. Memang benar bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah mendahului Wansbrough, tetapi keduanya mempelopori pendekatan ini dalam hubungannya dengan kritik hadits. Menurut Fazlur Rahman, Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht bersandar pada metode sejarah untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits tertentu muncul setelah hadits lainnya. Oleh karena itu, lanjut Rahman, tidak jelas logika apa yang dipakai oleh Rippin untuk menawarkan metode sejarah Goldziher dan Schacht untuk mendukung analisis sastra Wansbrough, karena metode yang terakhir bersifat arbitrer.
Mengenai alasan Rippin tentang adanya beberapa pengkaji yang menekankan latar belakang Arab Islam dengan kontribusi Yahudi dan Kristen, Fazlur Rahman berpendapat bahwa Wansbrough telah melampau batas-batas yang dapat diterima akal dalam memandang al-Qur’an sebagai manifestasi sektarian Yahudi-Kristen sepenuhnya. Pada faktanya, di Arab sendiri
Terlepas dari perdebatan di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika di kalangan Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Di samping itu, dia pun menyayangkan bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci —yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu— terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim. Menurut Mohammed Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin dikembangkannya, di mana intervensi ilmiah John Wansborugh cocok dengan framework yang diusulkannya. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang hasilnya akan cukup meresahkan bagi kalangan fundamentalis.
Penolakan kalangan Muslim terhadap pendekatan kritis-historis al-Quran, dalam pandangan Mohammed Arkoun, lebih bernuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran dalam ranah ilmu kalam. Padahal, menurut Mohammed Arkoun, mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudian dijadikan ”tak terpikirkan” dan makin menjadi ”tak terpikirkan” karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.
Berkaitan dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd— seorang intelektual asal Mesir—, Mohammed Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid Abu Zayd tersebut. Padahal metodologi Nasr Hamid Abu Zayd, menurut Mohammed Arkoun, memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Quran. Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Quran adalah teks linguistik-historis-manusiawi yang berkembang dalam tradisi Arab.
Penutup
Berdasarkan uraian tentang permasalahan metodologi analisis sastra John Wansbrough terhadap al-Qur’an, tafsir, dan sirah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu pertama, John Wansbrough berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Untuk mengatasi hal tersebut, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
Kedua, metode yang digunakan oleh John Wansbrough adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Dalam aplikasinya, John Wansbrough mendapatkan temuan bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi (dan Kriten), juga kemunculan ayat “duplikat” yang terdapat di dalamnya.
Ketiga, tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan antara Andrew Rippin (pro) dan Fazlur Rahman (kontra) di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd, di mana pandangannya tentang al-Qur’an mendapat reaksi yang bertentangan di kalangan Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, Muhammad Mustafa, Sejarah Teks al-Qur’an: Dari Wahyu Sampai Kompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2005
Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin, Jakarta: INIS, 1997
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001
Esack, Farid, Menghidupkan Al-Qur’an: Dalam Wacana dan Prilaku, terj. Norma Arbi’a Juli Setiawan, Depok: Inisiasi Press, 2006
Rahman, Fazlur, Islam Modern: Tantangan Pembaharuan Islam. Terj. Hamid Basyaib dan Rusli Karim, Yogyakarta: Solahudin Press, 1987
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996
Rahman, Fazlur, “Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama” dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002
Rippin, Andrew, “Analisis Sastra Terhadap al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002
Setiawan, M. Nur Kholis, “Mengkaji Sejarah Teks Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003
Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003
Watt, W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an, edisi Indonesia, terj. Taufiq Adnan Amal, Jakarta: Rajawali, 1991
*)Ahmad Syauqi Sumbawi, sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008).
Sementara bukunya antara lain Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007). Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007, PUstaka puJAngga), dan Waktu; Di Pesisir Utara (Novel, 2008).
10/12/10
Puisi-Puisi Ahmad Syauqi Sumbawi
http://www.kr.co.id/24 May 2003
MARI MENYANYI
mari bernyanyi
di antara langit dan bumi
tembang cinta yang terlupa
yang menjadi candu
ketika gigil rembulan
mengurai air mata
mari bernyanyi
bersama mahatma gandhi
ahimsa yang terluka
di bukit senja
krapyak, 03
AHIMSA
* in memoriam mahatma gandhi
ia berjalan, memutar
di tengah-tengah palagan
dalam genggamannya
ahimsa berkibar senantan
redam letusan dua senapan
dari peluru-peluru berdesing
menembus dada sena yang sifir
terduang oleh tahta yang rangah
ia bersimbah darah
namun, ahimsa tegak menancap bumi
kibar bersama angin
bernafas dalam sukma
meski nafsu serakah menyiapkan
air sembilan kematiannya
selamanya
krapyak, 03
DIKEBIRI
kita telah dikebiri
bayang tak dikenal
menikam setiap gerak
detik demi detik
dan sepanjang itu
kelahiran bayi yang suci, murni
tak akan pernah terjadi
di atas bumi
kita telah dikebiri
tapi,
waktu ingin berputar kembali
agar bayi yang suci, murni
terlahir di atas bumi
krapyak, 03
MARI MENYANYI
mari bernyanyi
di antara langit dan bumi
tembang cinta yang terlupa
yang menjadi candu
ketika gigil rembulan
mengurai air mata
mari bernyanyi
bersama mahatma gandhi
ahimsa yang terluka
di bukit senja
krapyak, 03
AHIMSA
* in memoriam mahatma gandhi
ia berjalan, memutar
di tengah-tengah palagan
dalam genggamannya
ahimsa berkibar senantan
redam letusan dua senapan
dari peluru-peluru berdesing
menembus dada sena yang sifir
terduang oleh tahta yang rangah
ia bersimbah darah
namun, ahimsa tegak menancap bumi
kibar bersama angin
bernafas dalam sukma
meski nafsu serakah menyiapkan
air sembilan kematiannya
selamanya
krapyak, 03
DIKEBIRI
kita telah dikebiri
bayang tak dikenal
menikam setiap gerak
detik demi detik
dan sepanjang itu
kelahiran bayi yang suci, murni
tak akan pernah terjadi
di atas bumi
kita telah dikebiri
tapi,
waktu ingin berputar kembali
agar bayi yang suci, murni
terlahir di atas bumi
krapyak, 03
02/07/10
Venus
AS Sumbawi
http://media-sastra-indonesia.blogspot.com/
Hujan jatuh di luar jendela. Angin dingin menyelusup lewat sela-sela pintu dan jendela kamar. Waktu menunjukkan pukul 22.21 di jam dinding.
Maria masuk sembari mengeringkan rambutnya dengan selembar handuk merah. Ia baru saja mandi setelah hujan mengguyur tubuhnya dalam perjalanan pulang dari rapat sebuah LSM tadi. Seperti biasa, ia langsung mandi. Kalau tidak, tubuhnya akan terserang demam. Dan ia tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Sebenarnya, ia bisa menghindari hujan. Akan tetapi, setelah beberapa waktu menunggu hujan tak kunjung reda, akhirnya ia memutuskan pulang. Tak peduli meskipun basah kuyup. Ia ingin cepat-cepat tiba di rumah. Rapat yang ia ikuti sejak pagi sungguh menyerap banyak tenaga dari tubuhnya .
Maria melangkah mendekati jendela. Dilihatnya hujan menggerimis. Jalanan cukup sepi. Angin dingin terasa segar di tubuhnya. Setelah menggeraikan tirai, ia berjalan menuju meja rias.
Di atas kursi plastik merah, Maria menyisir rambutnya yang setengah basah sembari menatap wajahnya di permukaan cermin. Meskipun ia tak pernah memoles wajahnya dengan aneka macam kosmetik, beberapa temannya mengakui kecantikannya. Alamiah. Cukup bedak tipis di wajahnya. Namun begitu, banyak laki-laki yang terus mendekatinya. Mencoba mengerami cinta di dadanya, meskipun ia sudah me-wanti-wanti mereka agar buru-buru berjalan ke belakang.
Maria berjalan ke luar dan sebentar kembali dengan menutup pintu. Ia Kemudian menghampiri rak buku. Seperti biasa, meskipun tubuhnya begitu lelah, ia tak bisa tidur sebelum membaca. Dan ketika membaca itulah ia kerap tertidur tanpa sengaja.
Tiba-tiba ekor matanya menangkap sesuatu di meja komputer. Sebuah amplop putih tergeletak di sana. Ya, pagi tadi sebelum berangkat rapat, seorang lelaki menemuinya. Memberikan amplop putih itu kepadanya. Maria mengambil isi amplop putih itu. Ada 2 buah tiket dan sepucuk surat.
Untuk Maria Shofia
Kalau Maria ada waktu, aku punya 2 tiket nonton pementasan teater “Mega-mega” karya Arifin C. Noor. Kalau tidak ada teman untuk nonton bersama, ini nomor teleponku: 081332077543.
Alang
Maria tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara menyapa. Sesosok makhluk bersayap dan berpakaian putih-putih dengan mahkota di atas rambutnya yang tergerai telah berdiri di hadapannya.
“Siapa kau?”
“Venus!”
“Venus siapa? Aku tak kenal kau!”
“Ingat-ingatlah….”
Maria berpikir. Akan tetapi, sebelum sempat menggerakkan bibirnya, Venus mendahului.
“Kau tak ingat padaku?”
Maria menatap tajam, mencoba menyelidiki siapa sebenarnya sesosok yang mengaku sebagai Venus itu. Sementara Venus menebarkan senyum manisnya.
“Akulah Dewi Cinta itu dan aku kecewa padamu!”
“Kecewa?! Aku tak kenal kau. Dan aku tak pernah berurusan denganmu.”
“Uuh, cantik. Tapi, kepala batu,” Venus diam sejenak.
“Dengarlah, cantik! Aku kecewa sebab kau menyia-nyiakan kecantikan yang ada pada dirimu.”
“Menyia-nyiakan?! Apa maksudmu?”
“Coba kau tengok masa lalumu! Kau begitu keras berusaha membunuh cinta. Hanya karena rasa kecewa pada cinta yang pernah kautemui.”
“Dan sekarang, aku akan merias kecantikanmu dengan cinta,” lanjut Venus.
“Aku tak butuh cintamu. Dan perlu kautahu, aku sudah bahagia.”
“Ehm, bahagia?! Yang benar saja?! Buktinya, kau berusaha begitu keras membunuh sesuatu dalam dirimu. Kebahagian hanya ada dengan cinta. Begitu juga dengan perjuangan yang kaulakukan bersama teman-temanmu untuk membela nasib orang-orang yang tertindas. Tanpa cinta semuanya adalah omong kosong.”
Maria masih menatap tajam. Sementara Venus terus menebarkan senyum manisnya.
“Siapa kau sebenarnya?!”
“Sudah kukatakan bahwa aku adalah …”
“Pergi!” bentak Maria. Venus tak bergeming.
Cepat pergi! Aku tak ada waktu untuk melayanimu,” kata Maria kemudian berjalan menuju ranjang.
“Aku kasihan padamu. Sungguh kasihan. Tentang hidupmu yang tak lebih seperti kertas dan tulisan yang biasa kauhadapi itu”, kata Venus.
“Pergiiiiiiiii….!!” bentaknya sembari melemparkan buku dari tangannya. Maria tersentak. Buku itu, buku itu menerobos tubuh Venus lantas menghantam dinding kamar. Venus tetap dengan senyum manisnya seakan-akan tak terjadi apa-apa.
Maria merapatkan tubuhnya ke dinding sambil mengusap airmata yang berlelehan di pipinya. Perlahan-lahan Venus mendekatinya. Duduk di tepi ranjang.
“Jangan menangis, sayang. Aku tak pernah bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kau merenungkan segalanya dengan jujur,” kata Venus.
Malam dingin dan sepi. Hanya derak jarum jam dinding yang memenggal waktu di tiap detik yang paling jelas terdengar.
“Ehm, siapa namamu?” kata Venus.
“Maria…….., Maria Shofia.”
“Nama yang cantik. Seperti orangnya”, Venus diam.
“Maria, siapa pemuda itu?” lanjutnya.
“Alang.”
“Ya, Aku tahu itu. Tapi, bukan itu. Maksudku….”
“Aku tak begitu mengenalnya.”
“Ya, memang begitu. Tapi, bagaimana pemuda itu menurutmu?”
“Bukankah menurutmu dia pemuda yang baik?” tambahnya.
“Pasti ada udang di balik batu.”
“Tepat. Kalau tak ada udang di balik batu, ia tak akan melakukan segala yang berkaitan dengan dirimu.”
Maria teringat dengan Alang. Salah seorang mahasiswa yang sering dilihatnya di kampus, di tahun terakhir kuliahnya satu tahun yang lalu. Tiba-tiba saja sekitar satu bulan yang lalu, Alang meneleponnya. Ingin berkenalan dengannya. Dan tadi pagi ia datang menemuinya dengan membawa amplop putih.
“Dia mencintaimu. Dan aku tahu bahwa kau juga mencintainya,” kata Venus.
“Aku tidak memikirkannya.”
“O, sayang. Cinta tak perlu dipikirkan. Tapi, dirasakan. Apakah kau mau hidupmu sepi tanpa cinta?”
Maria termenung. Sementara Venus berjalan menuju meja seperangkat komputer, mengambil amplop putih beserta isinya.
“Besok pergilah nonton teater bersamanya. Apalagi, naskah “Mega-mega” karya Arifin C. Noor merupakan salah satu karya yang bagus.”
“Ehm,…bukankah sudah selesai malam ini?” kata Maria setelah terdiam sesaat.
“Coba kaubaca tiket itu!” kata Venus setelah menyerahkan amplop beserta isinya. Maria mengambil selembar tiket, kemudian membacanya. Memang besok malam masih ada pementasan.
Maria tersentak ketika Venus sudah tak ada di sampingnya. Ia mencari ke sana ke mari. Namun, ia tak menemukannya. Sementara di dinding, jari-jari waktu menunjukkan pukul 23.04.
*
Maria rebah di atas punggung kasur. Wajahnya tersenyum terkenang peristiwa beberapa saat yang lalu. Ia baru saja pulang dari nonton teater bersama Alang.
Ternyata, mengasyikkan juga. Benar kata Venus, naskah “Mega-mega” merupakan salah satu karya yang bagus. Tentang masalah sosial, cinta, kehidupan, dan sebagainya. Kemasan pementasannya juga bagus. Apalagi ketika adegan Tukijan dan Retno, pikir Maria. O, sungguh mereka saling mencintai. Dan Alang….
Maria mengalihkan pandangannya ketika dengan tiba-tiba ekor matanya menangkap sesosok bayangan duduk di kursi di depan kaca rias.
“Kau Venus?” katanya. Venus tersenyum.
“Apakah kaurasakan hidupmu lebih berwarna. Indah seperti pelangi?” katanya. Maria diam. Benarkah hidupku lebih berwarna? Indah seperti pelangi?, pikir Maria.
Maria menoleh ke arah Venus. Akan tetapi, ia telah pergi.(*).
http://media-sastra-indonesia.blogspot.com/
Hujan jatuh di luar jendela. Angin dingin menyelusup lewat sela-sela pintu dan jendela kamar. Waktu menunjukkan pukul 22.21 di jam dinding.
Maria masuk sembari mengeringkan rambutnya dengan selembar handuk merah. Ia baru saja mandi setelah hujan mengguyur tubuhnya dalam perjalanan pulang dari rapat sebuah LSM tadi. Seperti biasa, ia langsung mandi. Kalau tidak, tubuhnya akan terserang demam. Dan ia tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Sebenarnya, ia bisa menghindari hujan. Akan tetapi, setelah beberapa waktu menunggu hujan tak kunjung reda, akhirnya ia memutuskan pulang. Tak peduli meskipun basah kuyup. Ia ingin cepat-cepat tiba di rumah. Rapat yang ia ikuti sejak pagi sungguh menyerap banyak tenaga dari tubuhnya .
Maria melangkah mendekati jendela. Dilihatnya hujan menggerimis. Jalanan cukup sepi. Angin dingin terasa segar di tubuhnya. Setelah menggeraikan tirai, ia berjalan menuju meja rias.
Di atas kursi plastik merah, Maria menyisir rambutnya yang setengah basah sembari menatap wajahnya di permukaan cermin. Meskipun ia tak pernah memoles wajahnya dengan aneka macam kosmetik, beberapa temannya mengakui kecantikannya. Alamiah. Cukup bedak tipis di wajahnya. Namun begitu, banyak laki-laki yang terus mendekatinya. Mencoba mengerami cinta di dadanya, meskipun ia sudah me-wanti-wanti mereka agar buru-buru berjalan ke belakang.
Maria berjalan ke luar dan sebentar kembali dengan menutup pintu. Ia Kemudian menghampiri rak buku. Seperti biasa, meskipun tubuhnya begitu lelah, ia tak bisa tidur sebelum membaca. Dan ketika membaca itulah ia kerap tertidur tanpa sengaja.
Tiba-tiba ekor matanya menangkap sesuatu di meja komputer. Sebuah amplop putih tergeletak di sana. Ya, pagi tadi sebelum berangkat rapat, seorang lelaki menemuinya. Memberikan amplop putih itu kepadanya. Maria mengambil isi amplop putih itu. Ada 2 buah tiket dan sepucuk surat.
Untuk Maria Shofia
Kalau Maria ada waktu, aku punya 2 tiket nonton pementasan teater “Mega-mega” karya Arifin C. Noor. Kalau tidak ada teman untuk nonton bersama, ini nomor teleponku: 081332077543.
Alang
Maria tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara menyapa. Sesosok makhluk bersayap dan berpakaian putih-putih dengan mahkota di atas rambutnya yang tergerai telah berdiri di hadapannya.
“Siapa kau?”
“Venus!”
“Venus siapa? Aku tak kenal kau!”
“Ingat-ingatlah….”
Maria berpikir. Akan tetapi, sebelum sempat menggerakkan bibirnya, Venus mendahului.
“Kau tak ingat padaku?”
Maria menatap tajam, mencoba menyelidiki siapa sebenarnya sesosok yang mengaku sebagai Venus itu. Sementara Venus menebarkan senyum manisnya.
“Akulah Dewi Cinta itu dan aku kecewa padamu!”
“Kecewa?! Aku tak kenal kau. Dan aku tak pernah berurusan denganmu.”
“Uuh, cantik. Tapi, kepala batu,” Venus diam sejenak.
“Dengarlah, cantik! Aku kecewa sebab kau menyia-nyiakan kecantikan yang ada pada dirimu.”
“Menyia-nyiakan?! Apa maksudmu?”
“Coba kau tengok masa lalumu! Kau begitu keras berusaha membunuh cinta. Hanya karena rasa kecewa pada cinta yang pernah kautemui.”
“Dan sekarang, aku akan merias kecantikanmu dengan cinta,” lanjut Venus.
“Aku tak butuh cintamu. Dan perlu kautahu, aku sudah bahagia.”
“Ehm, bahagia?! Yang benar saja?! Buktinya, kau berusaha begitu keras membunuh sesuatu dalam dirimu. Kebahagian hanya ada dengan cinta. Begitu juga dengan perjuangan yang kaulakukan bersama teman-temanmu untuk membela nasib orang-orang yang tertindas. Tanpa cinta semuanya adalah omong kosong.”
Maria masih menatap tajam. Sementara Venus terus menebarkan senyum manisnya.
“Siapa kau sebenarnya?!”
“Sudah kukatakan bahwa aku adalah …”
“Pergi!” bentak Maria. Venus tak bergeming.
Cepat pergi! Aku tak ada waktu untuk melayanimu,” kata Maria kemudian berjalan menuju ranjang.
“Aku kasihan padamu. Sungguh kasihan. Tentang hidupmu yang tak lebih seperti kertas dan tulisan yang biasa kauhadapi itu”, kata Venus.
“Pergiiiiiiiii….!!” bentaknya sembari melemparkan buku dari tangannya. Maria tersentak. Buku itu, buku itu menerobos tubuh Venus lantas menghantam dinding kamar. Venus tetap dengan senyum manisnya seakan-akan tak terjadi apa-apa.
Maria merapatkan tubuhnya ke dinding sambil mengusap airmata yang berlelehan di pipinya. Perlahan-lahan Venus mendekatinya. Duduk di tepi ranjang.
“Jangan menangis, sayang. Aku tak pernah bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kau merenungkan segalanya dengan jujur,” kata Venus.
Malam dingin dan sepi. Hanya derak jarum jam dinding yang memenggal waktu di tiap detik yang paling jelas terdengar.
“Ehm, siapa namamu?” kata Venus.
“Maria…….., Maria Shofia.”
“Nama yang cantik. Seperti orangnya”, Venus diam.
“Maria, siapa pemuda itu?” lanjutnya.
“Alang.”
“Ya, Aku tahu itu. Tapi, bukan itu. Maksudku….”
“Aku tak begitu mengenalnya.”
“Ya, memang begitu. Tapi, bagaimana pemuda itu menurutmu?”
“Bukankah menurutmu dia pemuda yang baik?” tambahnya.
“Pasti ada udang di balik batu.”
“Tepat. Kalau tak ada udang di balik batu, ia tak akan melakukan segala yang berkaitan dengan dirimu.”
Maria teringat dengan Alang. Salah seorang mahasiswa yang sering dilihatnya di kampus, di tahun terakhir kuliahnya satu tahun yang lalu. Tiba-tiba saja sekitar satu bulan yang lalu, Alang meneleponnya. Ingin berkenalan dengannya. Dan tadi pagi ia datang menemuinya dengan membawa amplop putih.
“Dia mencintaimu. Dan aku tahu bahwa kau juga mencintainya,” kata Venus.
“Aku tidak memikirkannya.”
“O, sayang. Cinta tak perlu dipikirkan. Tapi, dirasakan. Apakah kau mau hidupmu sepi tanpa cinta?”
Maria termenung. Sementara Venus berjalan menuju meja seperangkat komputer, mengambil amplop putih beserta isinya.
“Besok pergilah nonton teater bersamanya. Apalagi, naskah “Mega-mega” karya Arifin C. Noor merupakan salah satu karya yang bagus.”
“Ehm,…bukankah sudah selesai malam ini?” kata Maria setelah terdiam sesaat.
“Coba kaubaca tiket itu!” kata Venus setelah menyerahkan amplop beserta isinya. Maria mengambil selembar tiket, kemudian membacanya. Memang besok malam masih ada pementasan.
Maria tersentak ketika Venus sudah tak ada di sampingnya. Ia mencari ke sana ke mari. Namun, ia tak menemukannya. Sementara di dinding, jari-jari waktu menunjukkan pukul 23.04.
*
Maria rebah di atas punggung kasur. Wajahnya tersenyum terkenang peristiwa beberapa saat yang lalu. Ia baru saja pulang dari nonton teater bersama Alang.
Ternyata, mengasyikkan juga. Benar kata Venus, naskah “Mega-mega” merupakan salah satu karya yang bagus. Tentang masalah sosial, cinta, kehidupan, dan sebagainya. Kemasan pementasannya juga bagus. Apalagi ketika adegan Tukijan dan Retno, pikir Maria. O, sungguh mereka saling mencintai. Dan Alang….
Maria mengalihkan pandangannya ketika dengan tiba-tiba ekor matanya menangkap sesosok bayangan duduk di kursi di depan kaca rias.
“Kau Venus?” katanya. Venus tersenyum.
“Apakah kaurasakan hidupmu lebih berwarna. Indah seperti pelangi?” katanya. Maria diam. Benarkah hidupku lebih berwarna? Indah seperti pelangi?, pikir Maria.
Maria menoleh ke arah Venus. Akan tetapi, ia telah pergi.(*).
29/01/10
Saya Telah Difitnah
AS Sumbawi
http://www.sastra-indonesia.com/
Sungguh. Beruntunglah anda yang bisa baca-tulis. Juga punya kesempatan membaca sebuah tulisan dan mengetahui bahwa Saya telah dijahati. Saya benar-benar telah difitnah.
Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya selalu dimunculkan seperti itu. Saya dijadikan tokoh dengan berbagai macam profesi, jenis kelamin, klasifikasi umur, watak, kejadian, dan sebagainya.
Beberapa orang penulis meletakkan Saya sebagai tokoh dari berbagai tulisan; baik novel, cerpen, novelet, dan entah apalagi macamnya; mulai dari cerita cinta yang romantis, detektif, misteri, horor, silat, perjuangan kaum tertindas, petualangan, pencarian, dan sebagainya.
Di antara penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia, penulis yang berperawakan kurus, berambut pendek yang ikal, berkulit kusam karena jarang mandi, berbola mata menonjol dengan sinar mata yang suram akibat kurang tidur dan jalan-jalan, namun yang menjadi khas fisiknya adalah tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi inilah yang selalu mengganggu keberadaan Saya dengan menjadikan Saya sebagai tokoh yang mengidap penyakit psikologis. Psikopatik. Narcissis, neurotik, oedipus complex, pengidap depresi dan lain-lain merupakan sesuatu yang tak asing bagi tokoh Saya.
Malam itu, seperti beberapa kesempatan sebelumnya, penulis itu kembali mengagetkan setelah dua hari Saya merasa nyaman.
“Yah!” katanya bangkit dari rebahan sembari menyungkurkan sebuah buku sekenanya ke punggung kasur.
“Hei, bangun.”
“Ah, tuan penulis mengganggu saja.” Ia tersenyum.
“Bangunlah. Aku punya sesuatu untukmu,” katanya menyalakan komputer.
“Fitnah?! Pasti yang itu-itu saja.”
“Jangan komentar dulu. Yang ini lain dari yang lainnya,” katanya meyakinkan.
“Sudah. Jangan cemberut!” tambahnya seraya meng-click program Microsoft Word.
“Awas, kalau mengganggu! Akan kubunuh!” ancamnya dengan berlagak kepada Saya. Lantas ia menarikan jari-jari tangannya pada hamparan tombol keyboard komputer.*
Cerpen yang ditulisnya itu menceritakan seorang anak laki-laki dua puluhan tahun yang melakukan mutilasi terhadap tubuh ayahnya. Dalam pandangannya, si ayah merupakan ayah dan suami yang bejat bagi anak dan ibunya. Si ayah tak menghiraukan kehidupan keluarga. Kerap melakukan penganiayaan terhadap istri dan anak laki-lakinya. Merampas uang hasil kerja istrinya untuk mabuk dan berjudi dan berkencan dengan pelacur. Bahkan juga kerap membawa pelacur tidur di rumah. Hanya tampak satu perilaku baik dalam diri si ayah, bahwa ia menyayangi anak perempuannya yang masih kecil. Ia kerap membawa oleh-oleh untuk anak perempuannya itu ketika pulang.
Merasakan tingkah laku ayahnya, dalam pikiran anak laki-laki itu bersarang keinginan untuk membunuhnya. Setelah beberapa lamanya waktu, rencana itu selalu gagal dilaksanakan akibat segala sesuatunya tidak mendukung. Di samping itu, ia khawatir jangan-jangan ibunya akan berkurang kasih sayang kepadanya setelah tahu bahwa ia membunuh si ayah.
Pagi itu rumah tampak sepi. Hanya ada si anak laki-laki dan si ayah. Sementara ibunya pergi ke pasar dan adik perempuannya pergi sekolah di taman kanak-kanak. Melihat ayahnya yang sedang tidur setelah semalam membawa pulang seorang pelacur dan diteruskan dengan mabuk, ia merasa segala sesuatu mendukung dirinya untuk melancarkan rencana yang sudah menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Ia kemudian mengambil pisau besar dan menghujam dada ayahnya. Melihat ayahnya meronta, ia menambah intensitas tikaman pisau hingga maut melenggang pergi membawa nyawa ayahnya.
Ia menyeret tubuh ayahnya ke lantai. Kemudian mulai melunaskan apa yang selama ini sering dibayangkannya. Menginjak-injak wajah ayahnya. Menendang kepalanya seperti dalam sepak bola. Membanting kedua tangan dan menghantamkan kedua kakinya ke tembok yang kerap memukul dan menendang ibu dan dirinya. Mengodol-odol perutnya yang membuatnya tak peduli pada kehidupan keluarga. Memotong kemaluannya yang sering digunakan dengan pelacur. Menyakiti ibunya.
Setelah isi dadanya telah dimuntahkan, plong, ia kemudian berusaha menghilangkan jejak-jejak perbuatannya. Ketika kembali setelah menguburkan potongan-potongan tubuh ayahnya yang dibungkusnya dengan karung, ia terkejut saat melihat ibunya telah duduk di kursi dalam kamar. Kepala si ibu bertumpu pada lengannya yang menyilang di atas sandaran kursi. Dan jari-jari tangannya memegang sobekan kaos dalam si ayah. Sementara darah mengotori separuh bagian kamar.
Si Ibu berkata: “Apa yang terjadi? Kau membunuhnya?” Ia tetap diam dan berjalan mendekat.
“Jadi benar kau membunuhnya?! Hei?!” si ibu menamparnya. Ia hanya diam sembari memandang mata ibunya yang bertambah merah. Si ibu kemudian pergi.
Ia sedang menggulung seprei yang berlumuran darah ketika ibunya kembali dengan setimba air dan kain pel. Kemudian membersihkan lantai.
“Cepat. Sebelum adikmu tahu,” kata si ibu.
Segera ia membawa seprei ke belakang, kemudian kembali dengan setimba air bersih.
“Di mana jenazahnya?”
“Telah kusingkirkan.”
“Di mana?”
“Tempat yang aman. Ibu tak usah khawatir.”*
Sudah tiga hari si ayah tak terlihat. Si anak senang bahwa ayahnya mati di tangannya. Ia tak rela ayahnya mati dengan terhormat, karena si ayah tak layak untuk itu. Maka, ia sendiri yang harus membunuhnya. Menurutnya; bahwa mati oleh tangan darahdaging sendiri adalah jalan kematian paling hina. Ia yakin, dengan begitu, semua orang akan beranggapan bahwa ayahnya bejat. Ia senang dengan hal itu, karena ayahnya benar-benar bejat. Bajingan. Dan ia merasa telah membebaskan keluarganya dari duri dalam daging. Membebaskan ibu.
Sebelum peristiwa itu, si anak pernah menduga bahwa ibunya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya telah membunuh ayahnya. Tak apa-apa. Memang perlu waktu, pikirnya. Kemudian si anak membayangkan ibunya menyambut gembira ketika ia menemuinya dengan kabar bahwa ia telah membunuh bajingan itu. Ibunya akan mengucapkan mengucapkan ribuan terima kasih dan ribuan pujian. Seperti seorang putri yang diselamatkan oleh seorang ksatria berkuda putih yang gagah berani. Namun, yang terjadi kemudian adalah ibunya banyak diam dan tak menghiraukan dirinya.
Dalam keadaan seperti itu, si anak kerap memperhatikan ibunya ketika sedang melakukan pekerjaan. Pandangan mata ibunya menerawang jauh dan kosong. Si anak yakin bahwa ibunya memikirkan hal-hal yang tak jauh-jauh dari peristiwa itu.
Suatu kali ia memperhatikan ibunya yang melamun ketika sedang mengiris bawang merah. Tanpa sadar ia mengiris jarinya sendiri.
“Ibu!” ingatnya. Si ibu tersentak melihat jarinya berlumuran darah. Matanya merah.
Si anak buru-buru memegang tangan ibunya untuk menghisap lumuran darah di jarinya. Si ibu mengibaskan tangannya lantas pergi. Memang butuh waktu untuk membuat ibu kembali dan lebih menyayangiku, pikirnya.
Sementara si adik perempuan sering menanyakan perihal ayah kepada ibunya. Namun, ibunya selalu mengatakan bahwa si ayah pergi karena urusan penting. Sebenarnya, si anak laki-laki tidak setuju dengan jawaban ibunya yang berbohong kepada adik perempuannya itu. Ia berharap ibunya akan berterus-terang bahwa bajingan itu telah mampus dengan sepantasnya.
Beberapa hari kemudian, si anak ditangkap polisi atas laporan ibunya. Jenazah si ayah pun telah diketemukan dan tengah diperiksa tim forensik. Dalam keadaan seperti itu, dalam proses persidangan kasusnya, si anak yakin bahwa palu hakim ada di pihaknya. Namun jika sebaliknya, ia menganggap palu hakim telah semena-mena kepadanya. Karena ia merasa berbuat kebaikan dengan membunuh bajingan itu. Si anak jadi membenci ibunya karena maju menjadi saksi dalam persidangan. Menurutnya, seharusnya ibunya menjadi lebih sayang kepadanya. Karena ia telah menyelamatkan ibunya. Si anak juga membenci para wartawan yang seenak-udel menuduhnya sebagai pembunuh berdarah dingin.
Hari itu palu hakim memutuskan si anak bersalah. Sehabis persidangan si ibu mengunjungi dirinya di penjara. Tidak seperti biasanya, saat itu ia bersedia menerima ibunya. Lantaran melihat kesedihan ibunya yang teramat dalam. Ia sangat menyayangi ibunya.
Sebelum pulang ibunya berkata: “Aku tak mau kau menjadi buronan dan hidup sengsara dalam pelarian, Nak. Makanya aku melapor ke polisi. Aku berharap setelah keluar dari sini, kau bisa menjadi orang baik. Benar-benar sembuh. Aku menyayangimu, Nak.”
Si anak kecewa dan marah. Ia mengumpati mereka semua.
“Ah, bajingan. Mereka semua menganggapku sakit seperti anggapan dokter jiwa dan psikiater yang tidak valid itu. Psikopat.”
“Ya, ya, baiklah. Tapi, aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua,” katanya tersenyum dengan harapan. {}*
“Yah. Selesai,” katanya kemudian memencet tombol Control dan S.
“Bagaimana?” tambahnya.
“Tuan penulis, Saya bosan. Katanya, ceritanya lain dari yang lain.”
“Lho, memang lain.”
“Tapi, tetap saja dengan penyakit psikologis-psikopatik.”
“Ya, memang. Tapi, bagus khan. Apalagi penutupnya itu,” ia menatap ke layar computer dan membaca dua baris terakhir: “Aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua.”
“Bisa kaubayangkan bagaimana seorang psikopat berkata seperti itu,” tambahnya tersenyum. “Pembaca akan shock.”
“Tapi, tuan penulis. Saya bosan menjadi tokoh psikopat. Bagaimana kalau sekali-kali Saya dijadikan sebagai seorang pria yang tampan, berkelakuan sopan, kaya…”
“Hem, kaya?! Kok enak?!”
“Ya, miskin juga nggak apa-apa, deh. Tapi yang rajin bekerja…”
“Profesinya apa?”
“Ehm, penulis saja. Seperti tuan.” Ia tersenyum.
“Kemudian Saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang…”
“Pelacur?!”
“Bukan. Gadis yang sangat cantik. Dan kaya.”
“Hem, lelaki mana yang tak suka?!”
“Iya. Gambarannya seperti ini, jika seluruh perempuan cantik di dunia ini dikumpulkan, maka kecantikan perempuan tersebut adalah hasil dari persekutuan seluruh perempuan cantik tadi. Sederhana, toh.”
“Wah. Aku jadi ingin tahu. Penasaran bagaimana cantiknya dia.”
“Pokoknya, tuan tulis saja seperti itu.” Ia mengiyakan kepala dengan tersenyum.
“Dan bagaimana dengan ceritanya, Saya percayakan kepada tuan. Tapi, harus yang romantis, heroic, dan happy ending.”
“Aku tidak mau,” katanya seraya melompat. “Itu akan membuat pembaca suka melamun. Mengkhayal.”
“Tapi, Saya ingin seperti itu. Dan Saya yakin, banyak pembaca yang akan suka.”
“Pokoknya, a-k-u t-i-d-a-k m-a-u.” Ia diam sejenak. “Kau tahu karya sastra yang oleh para kritikus dibedakan sastra serius, mainstreem dan sastra pop, kitch?” Saya hanya diam dan cemberut.
“Tidak usah kusebutkan bagaimana para kritikus membedakan ciri-ciri keduanya. Tapi, menurutku,… hei, dengarkan.”
“Iya. Saya tidak tuli.”
“Sudah. Cemberutnya berhenti…” ia mengambil rokok dan menyulutnya. Lihatlah, gayanya seperti penulis besar. Padahal, mutu karyanya masih kalah dengan karya-karya dari penulis yang jauh lebih muda darinya. Lihat, bagaimana dia menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya. Huh, menyebalkan.
“Kau tahu?! Bagiku, karya yang membikin melamun dan mengkhayal itu yang dikategorikan kitch. Sementara yang membikin merenung dan berpikir itu yang dikategorikan mainstream.”
“Terserah tuan. Masalahnya, Saya bosan menjadi pengidap penyakit psikologis-psikopatik.”
“Huh, dikasihtahu kok.” Ia mengisap rokoknya. “Sana. Aku mau membaca cerpen tadi. Barangkali ada yang perlu direvisi,” katanya kemudian menyalakan printer.
“Ehm, enaknya judul apa, ya?!”
“Saya Bosan Sama Tuan, judul yang bagus.”
“Diam. Awas, kubunuh kau?!” ancamnya.*
Seminggu sudah penulis itu tidak menyapa Saya. Maklumlah, ia akhir-akhir ini kerap bepergian dengan vespa tuanya. Akan tetapi, seminggu tak menyapa Saya masih cukup sebentar dibandingkan beberapa waktu yang telah berlalu. Ia pernah tak menyapa Saya selama tiga bulanan. Meskipun, ia sudah beberapa kali mencoba dan bertemu Saya. Saya tenang dengan keadaan Saya.
Sementara rumah kecil di sebuah perumahan yang dibelinya dengan kredit itu kerap kosong. Ia belum beristri dan tinggal sendiri, meskipun menurut rencana dua bulan lagi ia akan menikah dengan teman kuliahnya dulu. Ia pun jarang berkunjung ke rumah orangtuanya di luar kota. Hanya lebaran saja.
Tiba-tiba pagi itu dia pulang dan mengagetkan Saya.
“Hei, bangun! Aku punya sesuatu,” katanya menghidupkan komputer.
“Apa tuan?!
“Lho, dasar pikun.”
“Benarkah?!”
Kemudian ia membeberkan idenya. Ceritanya tentang lelaki tampan dari Timur Tengah yang menjalin cinta dengan seorang gadis yang cantik dan kaya. Berprofesi sebagai novelis muda yang cukup ternama. Ia seorang yang megalomania, yang melakukan bunuh diri hanya karena kecewa dengan karyanya. Ia menganggap karya-karyanya yang terakhir mengalami penurunan kualitas. Tidak sedahsyat karya-karyanya yang sebelumnya. Sementara kekasihnya, gadis cantik dan kaya itu masuk rumah sakit jiwa karena kenyataan itu.
Penulis itu tampak berpikir dan belum mulai menulis.
“Tuan penulis.”
“Hem, mengganggu saja. Apa?”
“Saya bosan. Saya ingin dijadikan seperti apa adanya.”
“Gila apa?!” katanya dengan melompat. “Itu sama saja bunuh diri.” Saya merinding.
“Kau tahu. Kalau aku menjadikan dirimu apa adanya, lantas apa yang akan terjadi. Kau itu murni. Tidak ada apa-apanya jika tidak dijadikan sebagai yang lain. Makanya, harus difitnah agar menjadi ada,” katanya dengan mimik serius.
“Terserah tuan, deh. Saya pasrah. Memang sudah nasib Saya menjadi korban fitnah.”*
Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya dijadikan korban. Difitnah oleh para penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia. Akhirnya, Saya tahu. Dan langkah terbaik bagi Saya selanjutnya adalah masa bodoh.
Saya masa bodoh dengan apa yang akan ditulis oleh penulis dengan tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi itu. Terserah. Akan tetapi, sungguh Saya masih beruntung. Karena anda bisa baca-tulis. Dengan begitu, anda tentu saja bisa menjadi saksi bahwa Saya telah difitnah. Karena ngomong-ngomong, dua kakek dan dua nenek dari penulis yang tengah kita hadapi ini, buta dalam bahasa Indonesia. Ia hanya bisa membaca huruf arab dan pegon saja.
Dan kertas-kertas yang menampung huruf-huruf dalam cerpen yang akan ditulis oleh penulis ini, akan membantu Saya. Begitu juga dengan buku-buku dan media massa. Menjadi bukti pada pengadilan nanti.
“Bagaimana tuan penulis?”
“Diam! Sudah bosan hidup, ya. Minta dibunuh?! (*)
http://www.sastra-indonesia.com/
Sungguh. Beruntunglah anda yang bisa baca-tulis. Juga punya kesempatan membaca sebuah tulisan dan mengetahui bahwa Saya telah dijahati. Saya benar-benar telah difitnah.
Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya selalu dimunculkan seperti itu. Saya dijadikan tokoh dengan berbagai macam profesi, jenis kelamin, klasifikasi umur, watak, kejadian, dan sebagainya.
Beberapa orang penulis meletakkan Saya sebagai tokoh dari berbagai tulisan; baik novel, cerpen, novelet, dan entah apalagi macamnya; mulai dari cerita cinta yang romantis, detektif, misteri, horor, silat, perjuangan kaum tertindas, petualangan, pencarian, dan sebagainya.
Di antara penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia, penulis yang berperawakan kurus, berambut pendek yang ikal, berkulit kusam karena jarang mandi, berbola mata menonjol dengan sinar mata yang suram akibat kurang tidur dan jalan-jalan, namun yang menjadi khas fisiknya adalah tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi inilah yang selalu mengganggu keberadaan Saya dengan menjadikan Saya sebagai tokoh yang mengidap penyakit psikologis. Psikopatik. Narcissis, neurotik, oedipus complex, pengidap depresi dan lain-lain merupakan sesuatu yang tak asing bagi tokoh Saya.
Malam itu, seperti beberapa kesempatan sebelumnya, penulis itu kembali mengagetkan setelah dua hari Saya merasa nyaman.
“Yah!” katanya bangkit dari rebahan sembari menyungkurkan sebuah buku sekenanya ke punggung kasur.
“Hei, bangun.”
“Ah, tuan penulis mengganggu saja.” Ia tersenyum.
“Bangunlah. Aku punya sesuatu untukmu,” katanya menyalakan komputer.
“Fitnah?! Pasti yang itu-itu saja.”
“Jangan komentar dulu. Yang ini lain dari yang lainnya,” katanya meyakinkan.
“Sudah. Jangan cemberut!” tambahnya seraya meng-click program Microsoft Word.
“Awas, kalau mengganggu! Akan kubunuh!” ancamnya dengan berlagak kepada Saya. Lantas ia menarikan jari-jari tangannya pada hamparan tombol keyboard komputer.*
Cerpen yang ditulisnya itu menceritakan seorang anak laki-laki dua puluhan tahun yang melakukan mutilasi terhadap tubuh ayahnya. Dalam pandangannya, si ayah merupakan ayah dan suami yang bejat bagi anak dan ibunya. Si ayah tak menghiraukan kehidupan keluarga. Kerap melakukan penganiayaan terhadap istri dan anak laki-lakinya. Merampas uang hasil kerja istrinya untuk mabuk dan berjudi dan berkencan dengan pelacur. Bahkan juga kerap membawa pelacur tidur di rumah. Hanya tampak satu perilaku baik dalam diri si ayah, bahwa ia menyayangi anak perempuannya yang masih kecil. Ia kerap membawa oleh-oleh untuk anak perempuannya itu ketika pulang.
Merasakan tingkah laku ayahnya, dalam pikiran anak laki-laki itu bersarang keinginan untuk membunuhnya. Setelah beberapa lamanya waktu, rencana itu selalu gagal dilaksanakan akibat segala sesuatunya tidak mendukung. Di samping itu, ia khawatir jangan-jangan ibunya akan berkurang kasih sayang kepadanya setelah tahu bahwa ia membunuh si ayah.
Pagi itu rumah tampak sepi. Hanya ada si anak laki-laki dan si ayah. Sementara ibunya pergi ke pasar dan adik perempuannya pergi sekolah di taman kanak-kanak. Melihat ayahnya yang sedang tidur setelah semalam membawa pulang seorang pelacur dan diteruskan dengan mabuk, ia merasa segala sesuatu mendukung dirinya untuk melancarkan rencana yang sudah menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Ia kemudian mengambil pisau besar dan menghujam dada ayahnya. Melihat ayahnya meronta, ia menambah intensitas tikaman pisau hingga maut melenggang pergi membawa nyawa ayahnya.
Ia menyeret tubuh ayahnya ke lantai. Kemudian mulai melunaskan apa yang selama ini sering dibayangkannya. Menginjak-injak wajah ayahnya. Menendang kepalanya seperti dalam sepak bola. Membanting kedua tangan dan menghantamkan kedua kakinya ke tembok yang kerap memukul dan menendang ibu dan dirinya. Mengodol-odol perutnya yang membuatnya tak peduli pada kehidupan keluarga. Memotong kemaluannya yang sering digunakan dengan pelacur. Menyakiti ibunya.
Setelah isi dadanya telah dimuntahkan, plong, ia kemudian berusaha menghilangkan jejak-jejak perbuatannya. Ketika kembali setelah menguburkan potongan-potongan tubuh ayahnya yang dibungkusnya dengan karung, ia terkejut saat melihat ibunya telah duduk di kursi dalam kamar. Kepala si ibu bertumpu pada lengannya yang menyilang di atas sandaran kursi. Dan jari-jari tangannya memegang sobekan kaos dalam si ayah. Sementara darah mengotori separuh bagian kamar.
Si Ibu berkata: “Apa yang terjadi? Kau membunuhnya?” Ia tetap diam dan berjalan mendekat.
“Jadi benar kau membunuhnya?! Hei?!” si ibu menamparnya. Ia hanya diam sembari memandang mata ibunya yang bertambah merah. Si ibu kemudian pergi.
Ia sedang menggulung seprei yang berlumuran darah ketika ibunya kembali dengan setimba air dan kain pel. Kemudian membersihkan lantai.
“Cepat. Sebelum adikmu tahu,” kata si ibu.
Segera ia membawa seprei ke belakang, kemudian kembali dengan setimba air bersih.
“Di mana jenazahnya?”
“Telah kusingkirkan.”
“Di mana?”
“Tempat yang aman. Ibu tak usah khawatir.”*
Sudah tiga hari si ayah tak terlihat. Si anak senang bahwa ayahnya mati di tangannya. Ia tak rela ayahnya mati dengan terhormat, karena si ayah tak layak untuk itu. Maka, ia sendiri yang harus membunuhnya. Menurutnya; bahwa mati oleh tangan darahdaging sendiri adalah jalan kematian paling hina. Ia yakin, dengan begitu, semua orang akan beranggapan bahwa ayahnya bejat. Ia senang dengan hal itu, karena ayahnya benar-benar bejat. Bajingan. Dan ia merasa telah membebaskan keluarganya dari duri dalam daging. Membebaskan ibu.
Sebelum peristiwa itu, si anak pernah menduga bahwa ibunya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya telah membunuh ayahnya. Tak apa-apa. Memang perlu waktu, pikirnya. Kemudian si anak membayangkan ibunya menyambut gembira ketika ia menemuinya dengan kabar bahwa ia telah membunuh bajingan itu. Ibunya akan mengucapkan mengucapkan ribuan terima kasih dan ribuan pujian. Seperti seorang putri yang diselamatkan oleh seorang ksatria berkuda putih yang gagah berani. Namun, yang terjadi kemudian adalah ibunya banyak diam dan tak menghiraukan dirinya.
Dalam keadaan seperti itu, si anak kerap memperhatikan ibunya ketika sedang melakukan pekerjaan. Pandangan mata ibunya menerawang jauh dan kosong. Si anak yakin bahwa ibunya memikirkan hal-hal yang tak jauh-jauh dari peristiwa itu.
Suatu kali ia memperhatikan ibunya yang melamun ketika sedang mengiris bawang merah. Tanpa sadar ia mengiris jarinya sendiri.
“Ibu!” ingatnya. Si ibu tersentak melihat jarinya berlumuran darah. Matanya merah.
Si anak buru-buru memegang tangan ibunya untuk menghisap lumuran darah di jarinya. Si ibu mengibaskan tangannya lantas pergi. Memang butuh waktu untuk membuat ibu kembali dan lebih menyayangiku, pikirnya.
Sementara si adik perempuan sering menanyakan perihal ayah kepada ibunya. Namun, ibunya selalu mengatakan bahwa si ayah pergi karena urusan penting. Sebenarnya, si anak laki-laki tidak setuju dengan jawaban ibunya yang berbohong kepada adik perempuannya itu. Ia berharap ibunya akan berterus-terang bahwa bajingan itu telah mampus dengan sepantasnya.
Beberapa hari kemudian, si anak ditangkap polisi atas laporan ibunya. Jenazah si ayah pun telah diketemukan dan tengah diperiksa tim forensik. Dalam keadaan seperti itu, dalam proses persidangan kasusnya, si anak yakin bahwa palu hakim ada di pihaknya. Namun jika sebaliknya, ia menganggap palu hakim telah semena-mena kepadanya. Karena ia merasa berbuat kebaikan dengan membunuh bajingan itu. Si anak jadi membenci ibunya karena maju menjadi saksi dalam persidangan. Menurutnya, seharusnya ibunya menjadi lebih sayang kepadanya. Karena ia telah menyelamatkan ibunya. Si anak juga membenci para wartawan yang seenak-udel menuduhnya sebagai pembunuh berdarah dingin.
Hari itu palu hakim memutuskan si anak bersalah. Sehabis persidangan si ibu mengunjungi dirinya di penjara. Tidak seperti biasanya, saat itu ia bersedia menerima ibunya. Lantaran melihat kesedihan ibunya yang teramat dalam. Ia sangat menyayangi ibunya.
Sebelum pulang ibunya berkata: “Aku tak mau kau menjadi buronan dan hidup sengsara dalam pelarian, Nak. Makanya aku melapor ke polisi. Aku berharap setelah keluar dari sini, kau bisa menjadi orang baik. Benar-benar sembuh. Aku menyayangimu, Nak.”
Si anak kecewa dan marah. Ia mengumpati mereka semua.
“Ah, bajingan. Mereka semua menganggapku sakit seperti anggapan dokter jiwa dan psikiater yang tidak valid itu. Psikopat.”
“Ya, ya, baiklah. Tapi, aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua,” katanya tersenyum dengan harapan. {}*
“Yah. Selesai,” katanya kemudian memencet tombol Control dan S.
“Bagaimana?” tambahnya.
“Tuan penulis, Saya bosan. Katanya, ceritanya lain dari yang lain.”
“Lho, memang lain.”
“Tapi, tetap saja dengan penyakit psikologis-psikopatik.”
“Ya, memang. Tapi, bagus khan. Apalagi penutupnya itu,” ia menatap ke layar computer dan membaca dua baris terakhir: “Aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua.”
“Bisa kaubayangkan bagaimana seorang psikopat berkata seperti itu,” tambahnya tersenyum. “Pembaca akan shock.”
“Tapi, tuan penulis. Saya bosan menjadi tokoh psikopat. Bagaimana kalau sekali-kali Saya dijadikan sebagai seorang pria yang tampan, berkelakuan sopan, kaya…”
“Hem, kaya?! Kok enak?!”
“Ya, miskin juga nggak apa-apa, deh. Tapi yang rajin bekerja…”
“Profesinya apa?”
“Ehm, penulis saja. Seperti tuan.” Ia tersenyum.
“Kemudian Saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang…”
“Pelacur?!”
“Bukan. Gadis yang sangat cantik. Dan kaya.”
“Hem, lelaki mana yang tak suka?!”
“Iya. Gambarannya seperti ini, jika seluruh perempuan cantik di dunia ini dikumpulkan, maka kecantikan perempuan tersebut adalah hasil dari persekutuan seluruh perempuan cantik tadi. Sederhana, toh.”
“Wah. Aku jadi ingin tahu. Penasaran bagaimana cantiknya dia.”
“Pokoknya, tuan tulis saja seperti itu.” Ia mengiyakan kepala dengan tersenyum.
“Dan bagaimana dengan ceritanya, Saya percayakan kepada tuan. Tapi, harus yang romantis, heroic, dan happy ending.”
“Aku tidak mau,” katanya seraya melompat. “Itu akan membuat pembaca suka melamun. Mengkhayal.”
“Tapi, Saya ingin seperti itu. Dan Saya yakin, banyak pembaca yang akan suka.”
“Pokoknya, a-k-u t-i-d-a-k m-a-u.” Ia diam sejenak. “Kau tahu karya sastra yang oleh para kritikus dibedakan sastra serius, mainstreem dan sastra pop, kitch?” Saya hanya diam dan cemberut.
“Tidak usah kusebutkan bagaimana para kritikus membedakan ciri-ciri keduanya. Tapi, menurutku,… hei, dengarkan.”
“Iya. Saya tidak tuli.”
“Sudah. Cemberutnya berhenti…” ia mengambil rokok dan menyulutnya. Lihatlah, gayanya seperti penulis besar. Padahal, mutu karyanya masih kalah dengan karya-karya dari penulis yang jauh lebih muda darinya. Lihat, bagaimana dia menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya. Huh, menyebalkan.
“Kau tahu?! Bagiku, karya yang membikin melamun dan mengkhayal itu yang dikategorikan kitch. Sementara yang membikin merenung dan berpikir itu yang dikategorikan mainstream.”
“Terserah tuan. Masalahnya, Saya bosan menjadi pengidap penyakit psikologis-psikopatik.”
“Huh, dikasihtahu kok.” Ia mengisap rokoknya. “Sana. Aku mau membaca cerpen tadi. Barangkali ada yang perlu direvisi,” katanya kemudian menyalakan printer.
“Ehm, enaknya judul apa, ya?!”
“Saya Bosan Sama Tuan, judul yang bagus.”
“Diam. Awas, kubunuh kau?!” ancamnya.*
Seminggu sudah penulis itu tidak menyapa Saya. Maklumlah, ia akhir-akhir ini kerap bepergian dengan vespa tuanya. Akan tetapi, seminggu tak menyapa Saya masih cukup sebentar dibandingkan beberapa waktu yang telah berlalu. Ia pernah tak menyapa Saya selama tiga bulanan. Meskipun, ia sudah beberapa kali mencoba dan bertemu Saya. Saya tenang dengan keadaan Saya.
Sementara rumah kecil di sebuah perumahan yang dibelinya dengan kredit itu kerap kosong. Ia belum beristri dan tinggal sendiri, meskipun menurut rencana dua bulan lagi ia akan menikah dengan teman kuliahnya dulu. Ia pun jarang berkunjung ke rumah orangtuanya di luar kota. Hanya lebaran saja.
Tiba-tiba pagi itu dia pulang dan mengagetkan Saya.
“Hei, bangun! Aku punya sesuatu,” katanya menghidupkan komputer.
“Apa tuan?!
“Lho, dasar pikun.”
“Benarkah?!”
Kemudian ia membeberkan idenya. Ceritanya tentang lelaki tampan dari Timur Tengah yang menjalin cinta dengan seorang gadis yang cantik dan kaya. Berprofesi sebagai novelis muda yang cukup ternama. Ia seorang yang megalomania, yang melakukan bunuh diri hanya karena kecewa dengan karyanya. Ia menganggap karya-karyanya yang terakhir mengalami penurunan kualitas. Tidak sedahsyat karya-karyanya yang sebelumnya. Sementara kekasihnya, gadis cantik dan kaya itu masuk rumah sakit jiwa karena kenyataan itu.
Penulis itu tampak berpikir dan belum mulai menulis.
“Tuan penulis.”
“Hem, mengganggu saja. Apa?”
“Saya bosan. Saya ingin dijadikan seperti apa adanya.”
“Gila apa?!” katanya dengan melompat. “Itu sama saja bunuh diri.” Saya merinding.
“Kau tahu. Kalau aku menjadikan dirimu apa adanya, lantas apa yang akan terjadi. Kau itu murni. Tidak ada apa-apanya jika tidak dijadikan sebagai yang lain. Makanya, harus difitnah agar menjadi ada,” katanya dengan mimik serius.
“Terserah tuan, deh. Saya pasrah. Memang sudah nasib Saya menjadi korban fitnah.”*
Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya dijadikan korban. Difitnah oleh para penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia. Akhirnya, Saya tahu. Dan langkah terbaik bagi Saya selanjutnya adalah masa bodoh.
Saya masa bodoh dengan apa yang akan ditulis oleh penulis dengan tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi itu. Terserah. Akan tetapi, sungguh Saya masih beruntung. Karena anda bisa baca-tulis. Dengan begitu, anda tentu saja bisa menjadi saksi bahwa Saya telah difitnah. Karena ngomong-ngomong, dua kakek dan dua nenek dari penulis yang tengah kita hadapi ini, buta dalam bahasa Indonesia. Ia hanya bisa membaca huruf arab dan pegon saja.
Dan kertas-kertas yang menampung huruf-huruf dalam cerpen yang akan ditulis oleh penulis ini, akan membantu Saya. Begitu juga dengan buku-buku dan media massa. Menjadi bukti pada pengadilan nanti.
“Bagaimana tuan penulis?”
“Diam! Sudah bosan hidup, ya. Minta dibunuh?! (*)
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita