Perkenalanku dengan Din berlangsung kebetulan. Malam itu, aku pergi ke warung angkringan untuk mengusir kesuntukan setelah seharian duduk di hadapan komputer. Di sana, kulihat beberapa orang teman duduk melingkar di atas tikar di bawah pohonan. Mereka tampak terlibat dalam obrolan yang mengasyikkan sembari menikmati sebatang rokok dan segelas minuman. Tentu saja, aku bergabung dengan mereka setelah mendapatkan segelas wedang jahe dari si penjual. Tak lama kemudian, salah seorang teman memperkenalkan aku dengannya.
“Din,” katanya mantap dan percaya diri, kemudian meneruskan bicaranya. Sejenak aku pun tahu bahwa tema obrolan yang mengasyikkan itu tak jauh-jauh dari dunia kesenian. Sastra khususnya. Maklumlah, beberapa temanku yang ada di situ juga menulis.
Sungguh enak mendengar Din berbicara. Sistematis dan rinci. Apalagi wawasannya luas dan pemikirannya kritis. Sebenarnya, nama Din Ufriza tak asing bagiku. Karena tulisan-tulisannya kerap menghiasi rubrik sastra budaya di beberapa surat kabar. Baik puisi, cerpen, maupun esai. Dan aku terkesan olehnya. Namun, baru kali ini aku bertemu langsung dengannya.
Setelah beberapa orang temanku pergi, dan yang tinggal hanya aku, ia, dan salah seorang teman bernama Iman, Din membacakan beberapa puisinya.
Aku suka dengan gayanya membaca puisi. Selain tenang, artikulasi tiap katanya pun jelas sehingga dengan mudah aku menangkapnya. Dan setiap kali selesai membacakan puisinya, ia senantiasa berkata kepadaku: “Enak, Awik?” Aku tersenyum.
“Din, kau suka Chairil Anwar?” tebakku.
“Suka sekali. Kenapa, Awik?”
“Tidak. Aku cuma melihat puisi-puisimu berbau eksistensialisme.”
“Ya. Kau tahu kenapa? Eksistensialisme membuat orang kuat, tegar, sekaligus gelisah. Iya khan, Awik?” Aku tersenyum.
Din tampak lebih akrab denganku daripada dengan Iman. Aku menduga bahwa di samping status kami yang ‘pengangguran’, ini juga dipicu oleh beberapa teman yang melebih-lebihkan aku saat perkenalan tadi.
Tak lama kemudian, Iman membacakan salah satu puisinya.
“Bagus sekali, Iman. Tapi, hanya gayamu membaca saja yang aku suka. Sedangkan puisimu buruk sekali. Kau cocok jadi seorang aktor,” kata Din terus terang. Kulihat ada kekecewaan di wajah Iman.
Din kemudian mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang mendasar dengan puisi-puisi Iman. Di samping itu, diksi-diksi yang dipakai membuat tema yang akan diangkat menjadi melebar. Tidak fokus. Juga tidak padat. Din yakin jika beberapa kata dalam puisi-puisi Iman dipotong, tidak akan berpengaruh apa-apa.
Iman mencoba membela diri. Namun Din lebih menguasai pembahasan.
“Iya kan, Awik?” Aku hanya tersenyum.
“Kaubakar saja puisi-puisimu, Iman! Kemudian cobalah menulis puisi lagi. Yang temanya mendasar. Padat. Terfokus. Dan perfect,” tambahnya.
Meskipun aku sependapat dengan Din, aku kurang setuju dengan ungkapan-ungkapan Din yang keras yang barangkali bisa membunuh kemauan seseorang. Namun setelah mendengar komentar-komentarnya, aku pun menduga bahwa itu adalah gayanya.
“Sekarang giliranmu, Awik!”
*
Beberapa hari kemudian. Saat itu dini hari sekitar pukul 00.30. Din datang ke kamarku. Katanya, dia baru saja bertemu dengan teman-temanku di angkringan. Dan mereka mengatakan bahwa aku baru saja pulang dari sana.
Sebenarnya saat dia datang, aku mau pergi ke kontrakkan teman-temanku. Menurut rencana, di sana kami akan nonton film Elpostino dan No Exclip yang menceritakan tentang Pablo Neruda dan Arthur Rimbaud. Namun setelah Din mengatakan bahwa pikirannya lagi tidak karuan, aku pun membatalkannya. Sebentar kemudian, aku membuat kopi untuk menemani obrolan yang kubayangkan akan panjang.
*
Din kerap datang ke kamarku. Aku semakin akrab dengannya. Dari obrolan yang terjadi, aku pun tahu bahwa sejak SD sampai usia dua puluh empat tahun ini, ia sudah tidak tinggal di rumah. Oleh ayahnya, ia dimasukkan ke pesantren. Baru setelah lulus SMU, ia sudah tidak di pesantren lagi, tapi berkelana ke sana ke mari. Kadang tinggal di Bandung, Bali, Jogjakarta, Surabaya, Jakarta, Bali, Solo, dan sebagainya. Dan ini dikuatkan dengan ia yang sering mendapat telepon atau SMS dari beberapa seniman nasional yang tinggal di kota-kota tersebut. Katanya lagi, ia jarang pulang dan merasa enggan untuk pulang ke kampung halaman yang ada di sebuah kota kecil di Jawa. Karena rasa enggannya ini, seketika aku menduga.
“Apakah kau anak pertama?”
“Benar. Kenapa, Awik?”
“Tidak. Karena aku juga anak pertama.”
Kemudian ia menjelaskan bahwa dirinya sering cekcok dengan ayahnya. Baginya, setiap kali berbicara dengan ayahnya, perkataan ayahnya sering terasa menghakimi dirinya. Dan ini berbeda ketika ayahnya berhadapan adik perempuannya. Sementara hubungan antara dia dan ibunya lebih bersahabat. Aku lantas berkata: “aku pun demikian.”
Ketika kutanya: “Apakah kau tak ada rencana kuliah?” Dia mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin kuliah. Tidak di Indonesia. Tapi di luar negeri. Ia kecewa dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Dan aku masih ingat tentang nama-nama kampus yang disebutkannya, Universitas Sorbonne, Edinburg, dan Oxford.
Meskipun tidak kuliah, ia pernah mengatakan padaku bahwa ia aktif dalam kelompok diskusi mahasiswa di beberapa kampus. Ia juga pernah aktif dalam sebuah LSM. Dan seorang temanku pernah mengatakan bahwa Din sering menjadi pembicara pada seminar-seminar di kampusnya.
“Apa jadinya jika sejak kecil aku tidak menambah pelajaranku dengan membaca buku-buku kelas dunia?! Tidak lain, kualitas intelektualku hanya sebatas lulusan S1,” katanya suatu hari dengan mantap.
*
Tidak siang tidak malam, Din masih kerap datang ke kamarku. Tak jarang ketika aku pulang dari bepergian, aku menemukan ia tidur, membaca atau menulis di kamarku. Katanya, ia senang berada di kamarku. Di samping suasananya yang tenang, kamarku juga inspiratif.
Katanya lagi, kamarku benar-benar spesial. Di sini ia bisa menghasilkan banyak tulisan. Berbeda dengan yang lainnya. Baru kali ini ia merasa sangat produktif.
“Apakah ada kamar kosong di sini, Awik?” katanya.
“Bukankah kau sudah punya kost?”
Din kemudian menjelaskan bahwa ia memang mempunyai kamar di rumah salah seorang pamannya. Namun, letaknya cukup jauh dari daerah ini. Dan selama ini ia jarang di sana. Ia lebih sering ada di daerah ini dan numpang di kost salah seorang temannya yang cukup dekat dengan kostku. Hanya dibatasi lima rumah saja.
“Sayang, tidak ada,” kataku. Aku menyulut sebatang rokok, lalu pergi ke belakang.
Setelah aku datang dengan secangkir kopi, Din berhenti menulis. Kemudian ia mengatakan bahwa hari minggu ini, beberapa puisinya dimuat di dua surat kabar nasional. Dan ia meyakinkan bahwa aku sudah membaca semua puisinya yang dimuat itu.
*
Suatu hari ketika aku baru saja pulang dari memasukkan lamaran pekerjaan, aku menemukan dia di kamarku sedang duduk di hadapan komputer. Tiba-tiba dia berkata:
“Baca ini!” sembari mengulurkan sebuah news letter. Aku terperangah.
“Aku kecewa kepadamu, Awik.”
“Kecewa!?”
“Cerpenmu buruk sekali.”
Aku segera menduga bahwa ia baru saja membuka-buka file tulisanku. Selama ini aku selalu beralasan bahwa aku tak pernah menulis cerpen.
Kemudian ia menilai cerpen-cerpen yang aku tulis kampungan, sampah, tidak ada refleksi, tidak layak untuk disumbangkan untuk kebudayaan. Dibakar saja.
“Coba kaugarap cerpenmu yang bagus. Elegant. Kau sistematiskan plot-nya. Tangga dramatikanya. Kaubikin karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Kejutan-kejutan yang jenius dan bisa membuat shock pembaca.”
Aku hanya diam dengan menimbun kesal.
“Ah, aku kecewa, Awik,” lanjutnya. Kemudian ia menghirup sisa kopi yang beberapa jam lalu kubikin. Segera kusulut rokok untuk menenangkan diriku. Dalam hati aku membenarkannya. Din menunjukkan kelemahan-kelemahanku dengan tegas.
“Sebenarnya, ide-idemu bagus. Tapi sayang, kau asal-asalan menggarapnya. Kauingin cerpenmu cepat-cepat dimuat. Dan kalaupun cerpenmu itu dimuat, aku yakin itu akan menjadi catatan buruk bagimu.” Ia diam sejenak. Menyulut sebatang rokok. Sementara aku masih terdiam.
“Lihatlah para sastrawan dunia, Neruda, Borges, Hesse, Pasternak, Tolstoy, Umberto Eco, dan sebagainya. Mereka tidak main-main dalam menulis. Seluruh hidupnya mereka persembahkan hanya untuk membuat karya yang benar-benar kelas satu. Masterpeace,” tambahnya.
Kami terdiam cukup lama. Kemudian ia kembali menulis. Sementara aku pergi ke belakang.
*
Sudah dua hari ini aku tak pernah melihat Din di kamarku. Dan aku tak ada niat untuk mencari dirinya. Selama dua hari ini pula aku masih dibebani oleh efek-efek dari kritikan Din. Ya, kritikan Din membuat aku perlu melakukan refleksi. Aku sadar bahwa apa yang dikatakan Din benar. Aku tidak total. Dan itu sudah cukup.
Sementara itu, aku mendengar beberapa temanku membicarakan tentang keburukan-keburukan Din. Sikapnya yang tidak aturan, seenaknya sendiri, angkuh, keras kepala, dan sikap lainya yang menunjukkan ke-bohemian-nya. Sebenarnya, aku tak kaget dengan hal itu karena aku mengalaminya sendiri sejak akrab dengannya. Dan aku memakluminya. Tiba-tiba aku merasa kecewa dengan beberapa temanku. Ya, mereka hanya melihat keburukan Din. Padahal jika mereka bisa bersikap lebih dewasa, aku yakin mereka akan mendapatkan beberapa pelajaran terutama, wawasan keilmuannya, dan kesungguhannya dalam berkarya.
Pernah suatu ketika seorang temanku, Iwan, menyatakan kekecewaannya tentang sikap beberapa teman itu kepadaku. Dan alasannya, kurang lebih sama denganku.
Tiba-tiba Iwan memperingatkan aku agar berhati-hati dengan Din. Katanya, Din terkenal banyak hutang. Bahkan ia juga pernah menggadaikan motor milik temannya tanpa sepengetahuan temannya tersebut. Namun, aku menjawab: “tentang hal itu santai saja, Wan. Aku sudah mengatakan kepada Din, bahwa aku sering kekurangan uang.”
*
Sehari telah berlalu. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mencari Din. Aku kemudian pergi ke kost temannya yang ditumpangi Din. Ketika pemilik kamar itu kutanya tentang di mana Din, ia mengatakan bahwa dirinya tak tahu. Lantas ia menambahkan:
“Ya, begitulah Din. Dia suka keluyuran. Kadang di sana, kadang di sini. Entahlah.”
Karena cukup lama ngobrol, kami berkenalan. Ia bernama Aziz. Tentu saja aku sudah tahu dari Din.
“O, rupanya sampeyan yang bernama Awik,” katanya. Aku tersenyum. Aziz mengatakan bahwa ia sering mendengar tentang diriku dari Din.
Kemudian ia menceritakan bahwa dirinya sudah lama kenal dengan Din. Bahkan sejak di pesantren anak-anak waktu SD dulu. Ia tahu kelakuan Din yang seenaknya itu. Namun, ia maklum. “Barangkali karena sudah terbiasa,” katanya.
*
Din masih juga belum terlihat di mataku. Sementara itu, di kalangan beberapa temanku, Din sudah menjadi semacam olok-olokan. Barang siapa yang ngeyel, angkuh, seenaknya sendiri, maka disebut sebagai penganut Din-isme. Aku marah kepada mereka. Kemudian dengan enteng mereka berkata bahwa ini hanya lelucon. Hanya guyonan saja. Namun aku sudah terlanjur marah dan mengatakan bahwa guyonan seperti itu adalah guyonan tolol.
Aku bersitegang dengan salah seorang di antara mereka yang tersinggung dengan ucapanku. Untunglah, beberapa teman meleraikan kami. Tak lama kemudian aku pulang.
Di perjalanan, tiba-tiba aku teringat perkataan Din tentang teman-temanku. Katanya: “Kau tidak akan maju kalau terus bergaul dengan mereka, Awik. Mereka tidak mempunyai basic pemikiran yang mantap. Mereka hanya grumbal-grumbul, tongkrang-tongkrong tak karuan. Gaya hidupnya saja yang seniman. Tidak ada karya. Kalaupun memilih berkesenian, mereka hanyalah kuli. Dan coba kauperhatikan guyonan mereka. Tolol, bukan? Tidak ada kecerdasan tampak di sana.”
*
Suatu hari. Saat itu sekitar pukul 03.00, dan aku baru saja pulang dari warnet. Aku mencoba menghidupkan lampu kamarku.
“Awik?”
“Kau, Din.” Kulihat ia rebah berselimut di atas punggung kasur.
“Dari mana saja tidak pernah kelihatan?”
Ia kemudian mengatakan bahwa dirinya beberapa hari ini ada di Solo. Dan tinggal di rumah salah seorang budayawan kenalannya. Katanya, di sana ia dan beberapa temannya sedang mempersiapkan berdirinya ‘rumah belajar sastra’.
Ketika aku menghidupkan komputer, ia berkata: “Aku lapar, Awik. Kau punya uang?”
“Ada. Tapi, tak banyak. Cukuplah kalau untuk makan.”
Aku mengulurkan uang lima ribuan. Ia pun segera pergi ke warung. Sebenarnya, ia mengajakku. Namun, aku mengatakan bahwa aku baru saja dari warung.
Sekitar dua puluh menit kemudian dia datang lagi. Dan aku baru saja selesai menulis sebuah puisi.
“Apa itu, Awik? Puisi?” katanya.
“Iya.” Aku berharap ia akan membacanya, kemudian mengkritiknya. Namun, harapanku gagal. Ia tak berbicara apapun tentang puisiku. Ia malah berkata:
“Sudah kaubaca cerpenku?”
“Sudah.”
“Bagaimana? Bagus bukan?” katanya. Aku hanya tersenyum.
“Dan tidak kalah dengan cerpen-cerpen kelas dunia bukan?” tambahnya. Meskipun hanya tersenyum, dalam hati aku terkesan dengan cerpennya yang ada di news letter yang dia berikan saat dia merasa kecewa kepadaku beberapa hari yang lalu.
*
Kembali Din tak terlihat di mataku. Dan kini sudah tiga hari. Aku menduga bahwa ia pergi ke Solo untuk menyelesaikan pendirian ‘rumah belajar sastra’. Sementara hubungan antara aku dan beberapa teman mulai membaik. Mereka tidak lagi berbicara tentang keburukan-keburukan Din. Aku senang akan hal itu.
Sore hari. Dalam perjalanan pulang dari angkringan, entah tiba-tiba saja aku ingin mampir ke kost Aziz. Dan tanpa banyak berpikir, aku membelokkan langkah kaki.
Pintu kamar Aziz terkuak sedikit. Kulihat seseorang menggeliat di kasur.
“Aziz,” panggilku.
“Siapa?” terdengar suara Din.
“Awik.”
“Masuk, Awik.”
“Kenapa, Din? Sakit?” kataku setelah melihat ia berselimut.
“Badanku terasa nggak enak,” jawabnya lirih.
“Sudah, istirahat saja,” kataku. Kupandangi ia sejenak. Kasihan Din. Ia terlalu keras berusaha sampai tak menghiraukan kesehatannya.
Kulihat di salah satu bagian kamar terdapat seperangkat komputer. Terlintas di pikiranku untuk menghidupkannya. Aku menduga di komputer ini karya-karya Din banyak tersimpan.
Aku memencet tombol power sembari memperhatikan potret Din berukuran 3R yang menempel di bagian atas CPU. Tiba-tiba potret itu terlepas. Jatuh ke lantai. Terbalik. Kulihat ada tulisan di sana. “Peraih Nobel Sastra 2010.” Segera kualihkan mataku. Melihat Din terbujur di punggung kasur. Sedang sakit.
***
http://sastra-indonesia.com/2008/12/din/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar