Tampilkan postingan dengan label J.J. Rizal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label J.J. Rizal. Tampilkan semua postingan

06/12/08

Terbakar Pesona Revolusi

J.J. Rizal
http://majalah.tempointeraktif.com/

Cerita Pram ini jauh menonjol dari naskah mana pun yang mampu memaksa kita menimbang kembali berbagai anggapan, pendapat, serta klise tentang revolusi dan ide kebangsaan serta perkaitannya dengan pemuda.

"REVOLUSI itu persis orang membakar sampah. Ia bukan sekadar membuang, melemparkan, dan menabun semua yang kotor, juga tak berguna. Ia melapangkan. Membawa hawa bebas. Membakar sampah mengingatkan saya pada revolusi.” Itu jawaban Pramoedya Ananta Toer atas pertanyaan iseng saya ketika mendapati dia asyik di velbak kecil di dekat rumahnya, jongkok membakar sampah: ”Apa Bung hobi membakar sampah?”

Dalam memoar pembuangannya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram memang pernah menulis surat berkepala ”Nilai Tanpa Sampah” untuk Et, anaknya nomor dua. Ia mengelaborasi revolusi yang dialaminya ketika pecah di Jakarta tak lama setelah proklamasi dan terus merembet ke daerah pinggirannya. Pram terpesona oleh revolusi. Bahkan sampai napas terakhir pun ia terus terbakar oleh apinya yang dikenangkan sebagai ”keindahan tiada tara”, karena ”yang terpancar dari dalamnya kebijaksanaan, kecerdasan, keberanian”.

Dari letup api revolusi itu pula Pram terinspirasi menulis romannya yang paling dini, Di Tepi Kali Bekasi. Sebuah harta karun unik yang untungnya bisa selamat dari rampasan intel Belanda, dan meski itu cuma seperempatnya dari naskah keseluruhan, tetap bisa menunjukkan kepada kita potret revolusi yang menggugah dengan nilai-nilai moral kemerdekaannya yang sudah tak ada lagi, yang sangat fokus, penuh detail serta ragam kelir. Sohor memang karya-karya revolusi Idrus, seperti Surabaya (1947), Perempuan dan Kebangsaan (1949), atau Jalan Tak Ada Ujung (1952) Mochtar Lubis. Namun, cerita Pram itu jauh menonjol di atasnya dan lebih dari naskah mana pun yang mampu memaksa kita menimbang kembali berbagai anggapan, pendapat, serta klise tentang revolusi dan ide kebangsaan (nation) serta perkaitannya dengan pemuda.
***

DENGAN gaya lirik yang mengingatkan kita pada gaya gambang rancag yang menjadi tradisi penduduk aslinya, Pram membuka Di Tepi Kali Bekasi dengan memuliakan dan mengagungkan Bekasi dengan sejarah panjangnya sebagai daerah protes sosial dan perlawanan. Sejak zaman particuliere landerijen (tanah-tanah partikelir), zaman Jepang, sampai kemerdekaan. Dalam sejurus saja, Pram sudah mengarahkan kita bahwa revolusi dan perkaitannya dengan ide kebangsaan Indonesia bukan penyimpangan pada suatu masa sesudah perang lantaran pendudukan Jepang. Ia berakar dan tumbuh sejak dulu sebagai konsekuensi dari, dan jawaban atas, berbagai perubahan yang timbul dalam masyarakat serta kehidupan ekonomi yang bersumber dari kolonialisme dengan beambtenstaat (birokrasi kekuasaan kolonial) yang digelayuti feodalisme.

Demikianlah Pram memainkan rancag pembukanya, yang memang pada tradisi aslinya diperuntukkan salah satunya sebagai piranti prosesi ”membuka palang pintu”. Ia menjebol dan selanjutnya membawa kita memasuki panggung utama ceritanya: revolusi sebagai momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia menentukan masa depan sendiri, dan bukan konflik politik dalam pengertian yang normal. Revolusi tidak harfiah anti-asing, tapi melawan kebejatan dan keberdosaan sistem kolonial itu tidak hanya bagi orang yang tertindas, melainkan juga bagi penindasnya, karena yang terakhir ini pun kehilangan kemanusiaannya dengan mengabdi pada sistem itu.

Di sana, tokoh utama yang tampil adalah angkatan muda: Farid, pemuda Jakarta yang hatinya terbakar oleh revolusi. Saking panas oleh api revolusi, ia rela melemparkan, membuang segala perkaitan hidupnya dengan semua yang kotor dan tertular kolonial demi kemerdekaan serta pembebasan dari kesewenang-wenangan. Karena itu, roman ini—meminjam istilah Keith Foulcher—adalah perwujudan pemuda ideology, ideologi pemuda revolusi.

Namun, yang menarik, Pram, dalam menggambarkan ideologi pemuda Farid ketika memikirkan perjuangan, masih menggunakan kata bakti, suatu kata yang mengingatkan kita pada pemuda Soetomo, pendiri Budi Utomo. Soetomo dalam otobiografinya, Kenang-kenangan (1934), memakai kata itu bersama darma sebagai konsep perjuangannya. Ada kontinuitas sejarah, tapi diperlihatkan pula perubahan yang terjadi.

Di zaman Soetomo, pemuda-pemuda memasuki sekolah untuk kemajuan—istilah khas zaman sebelum perang yang dalam alam penjajahan digunakan intelektual muda bagi tujuan mereka yang sangat mulia. Sebaliknya, di zaman Farid, para pemuda malah ”bersatu hati meninggalkan kemajuan”, seraya masuk arus revolusi yang dianggap sebagai ”sekolah tinggi” bagi cita-cita memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan nilai-nilai moralnya yang dipertaruhkan. Selain itu, sementara pemuda Soetomo menjadikan pepatah kacang mangsa ninggal lanjaran (jangan lupakan pendahulu) sebagai kiblat gerak perjuangannya, Farid memilih ”orang tua dikesisikan... anak tak membutuhkan orang tuanya”. Kalau perlu, ayahnya sendiri serta ”seluruh angkatan tua dari zaman penjajahan dengan semangat budak” hancur terbakar.

Sejak bagian pertama romannya, Pram sudah memperlihatkan bagaimana perselisihan angkatan itu terjadi. Farid ngotot pergi ke Cikampek. Nasihat dan rengekan bapaknya dianggap angin lalu. Bukan tak ada usaha membangun pengertian, tapi sia-sia. Farid mengambil cuti untuk menjenguk, tapi yang ditemuinya: ayahnya telah jadi Netherlands Indies Civil Administration. Farid pun pergi dan melupakan ayahnya, masa lalunya. Sebuah simbolisasi yang dalam kenyataan zamannya memang terjadi.
***

BOLEH jadi proklamasi bukan kata-kata yang heroik, adem-adem saja, dan rada janggal, lantaran sarat dibebani sikap kehati-hatian, keraguan, serta kebingungan. Soekarno-Hatta dibayangi konsekuensi percaturan politik kekuasaan internasional. Orok Republik mesti diselamatkan. Caranya adalah tidak lagi memperkuat gerakan dan kemurnian ideologinya. Berkompromi. Dari sinilah titik perselisihan pemimpin-pemimpin yang tua dengan para pemuda. Para pemuda justru menganggap proklamasi—meminjam kata angkatan muda saat itu, Chairil Anwar—telah ”menyediakan api” untuk ”maju, serbu, serang, terjang”. Bagi mereka, revolusi mesti segera dilakukan. Sebab, ada banyak ancaman terhadap kemerdekaan dan nilai-nilai moralnya. Proklamasi adalah point of no return, atau lebih tepatnya, setiap langkah mundur berarti kegagalan total yang hina. Berkompromi sama artinya dengan membiarkan orok Republik tercemar kolonialisme dengan kebejatan dan keberdosaan sistemnya.

Perselisihan itu memang akhirnya tak terdamaikan dan keduanya menempuh jalan revolusi sendiri-sendiri setelah peristiwa Ikada, 19 September 1945. Para pemimpin yang tua meninggalkan Jakarta membawa orok Republik ke pedalaman ”demi” Sekutu, yang secara implisit berarti menyerahkan Jakarta ke tangan Belanda. Sementara itu, para pemuda dengan lusinan strijdorganisaties alias badan perjuangan yang seketika bermunculan di dalam dan sekitar Kota Jakarta memasuki musim baru, ”musim bersiap”. Di mana-mana orang lazim memekik, ”Bersiap!”—artinya melakukan serangan. Saban-saban terdengar pekik ”Merdeka atau mati”, salam ”Merdeka”, yang mengandung arti jiwa besar tak takut mati. Api revolusi menyala. Tapi tanpa pemimpin dan mencari bahan-bahan nyala apinya secara mandiri.

Revolusi pun jadi tak berkarakter dan bangkit kecemasan dehumanisasi, kemerosotan moral, serta korupsi. Dan dalam romannya tersebut Pram sendiri mengakui dan memberikan tempat, tapi baginya semua itu tak harus mengaburkan kita dari kenyataan pokok makna revolusi yang ingin ditunjukkannya: ”suatu epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”.

Seperempat cerita roman yang selamat itu memang tak membawa kita sampai pada nasib akhir proses revolusi jiwa. Namun, kita semua tahu revolusi itu memang melengkung pada akhirnya, berlangsung hanya beberapa bulan, yang hanya bisa dihitung dengan jari, kemudian yang menyusul adalah perang kemerdekaan dan dikapitulasi oleh lobi dan koktail Konferensi Meja Bundar.

Namun, dari studi sejarah, dapatlah kita ketahui hasilnya. Ben Anderson, dalam sebuah esainya yang menantang, ”Old State, New Society”, mengungkapkan bahwa jalan yang dipilih para pemimpin tua—berbareng semangat revolusi yang memudar tinggal kenangan—membuat orok Republik darahnya dikotori darah negara lama dengan kolonialisme dan kebejatan serta keberdosaan sistem beambtenstaat yang ditumpangi feodalisme. Darah yang seiring dengan perkembangan usia dan membesarnya orok itu semakin menampakkan wajah serta tabiat aslinya yang sangat kita benci. Dan seperti dikatakan Pram berulang-ulang, hasil serta sumbangan dari bangsa Indonesia yang seperti itu kepada rakyatnya dan dunia hanyalah yang buruk-buruk, sampah belaka.

Ayo, ikut Pram! Bakar!
***

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita