J.J. Rizal
http://majalah.tempointeraktif.com/
Cerita Pram ini jauh menonjol dari naskah mana pun yang mampu memaksa kita menimbang kembali berbagai anggapan, pendapat, serta klise tentang revolusi dan ide kebangsaan serta perkaitannya dengan pemuda.
"REVOLUSI itu persis orang membakar sampah. Ia bukan sekadar membuang, melemparkan, dan menabun semua yang kotor, juga tak berguna. Ia melapangkan. Membawa hawa bebas. Membakar sampah mengingatkan saya pada revolusi.” Itu jawaban Pramoedya Ananta Toer atas pertanyaan iseng saya ketika mendapati dia asyik di velbak kecil di dekat rumahnya, jongkok membakar sampah: ”Apa Bung hobi membakar sampah?”
Dalam memoar pembuangannya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram memang pernah menulis surat berkepala ”Nilai Tanpa Sampah” untuk Et, anaknya nomor dua. Ia mengelaborasi revolusi yang dialaminya ketika pecah di Jakarta tak lama setelah proklamasi dan terus merembet ke daerah pinggirannya. Pram terpesona oleh revolusi. Bahkan sampai napas terakhir pun ia terus terbakar oleh apinya yang dikenangkan sebagai ”keindahan tiada tara”, karena ”yang terpancar dari dalamnya kebijaksanaan, kecerdasan, keberanian”.
Dari letup api revolusi itu pula Pram terinspirasi menulis romannya yang paling dini, Di Tepi Kali Bekasi. Sebuah harta karun unik yang untungnya bisa selamat dari rampasan intel Belanda, dan meski itu cuma seperempatnya dari naskah keseluruhan, tetap bisa menunjukkan kepada kita potret revolusi yang menggugah dengan nilai-nilai moral kemerdekaannya yang sudah tak ada lagi, yang sangat fokus, penuh detail serta ragam kelir. Sohor memang karya-karya revolusi Idrus, seperti Surabaya (1947), Perempuan dan Kebangsaan (1949), atau Jalan Tak Ada Ujung (1952) Mochtar Lubis. Namun, cerita Pram itu jauh menonjol di atasnya dan lebih dari naskah mana pun yang mampu memaksa kita menimbang kembali berbagai anggapan, pendapat, serta klise tentang revolusi dan ide kebangsaan (nation) serta perkaitannya dengan pemuda.
***
DENGAN gaya lirik yang mengingatkan kita pada gaya gambang rancag yang menjadi tradisi penduduk aslinya, Pram membuka Di Tepi Kali Bekasi dengan memuliakan dan mengagungkan Bekasi dengan sejarah panjangnya sebagai daerah protes sosial dan perlawanan. Sejak zaman particuliere landerijen (tanah-tanah partikelir), zaman Jepang, sampai kemerdekaan. Dalam sejurus saja, Pram sudah mengarahkan kita bahwa revolusi dan perkaitannya dengan ide kebangsaan Indonesia bukan penyimpangan pada suatu masa sesudah perang lantaran pendudukan Jepang. Ia berakar dan tumbuh sejak dulu sebagai konsekuensi dari, dan jawaban atas, berbagai perubahan yang timbul dalam masyarakat serta kehidupan ekonomi yang bersumber dari kolonialisme dengan beambtenstaat (birokrasi kekuasaan kolonial) yang digelayuti feodalisme.
Demikianlah Pram memainkan rancag pembukanya, yang memang pada tradisi aslinya diperuntukkan salah satunya sebagai piranti prosesi ”membuka palang pintu”. Ia menjebol dan selanjutnya membawa kita memasuki panggung utama ceritanya: revolusi sebagai momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia menentukan masa depan sendiri, dan bukan konflik politik dalam pengertian yang normal. Revolusi tidak harfiah anti-asing, tapi melawan kebejatan dan keberdosaan sistem kolonial itu tidak hanya bagi orang yang tertindas, melainkan juga bagi penindasnya, karena yang terakhir ini pun kehilangan kemanusiaannya dengan mengabdi pada sistem itu.
Di sana, tokoh utama yang tampil adalah angkatan muda: Farid, pemuda Jakarta yang hatinya terbakar oleh revolusi. Saking panas oleh api revolusi, ia rela melemparkan, membuang segala perkaitan hidupnya dengan semua yang kotor dan tertular kolonial demi kemerdekaan serta pembebasan dari kesewenang-wenangan. Karena itu, roman ini—meminjam istilah Keith Foulcher—adalah perwujudan pemuda ideology, ideologi pemuda revolusi.
Namun, yang menarik, Pram, dalam menggambarkan ideologi pemuda Farid ketika memikirkan perjuangan, masih menggunakan kata bakti, suatu kata yang mengingatkan kita pada pemuda Soetomo, pendiri Budi Utomo. Soetomo dalam otobiografinya, Kenang-kenangan (1934), memakai kata itu bersama darma sebagai konsep perjuangannya. Ada kontinuitas sejarah, tapi diperlihatkan pula perubahan yang terjadi.
Di zaman Soetomo, pemuda-pemuda memasuki sekolah untuk kemajuan—istilah khas zaman sebelum perang yang dalam alam penjajahan digunakan intelektual muda bagi tujuan mereka yang sangat mulia. Sebaliknya, di zaman Farid, para pemuda malah ”bersatu hati meninggalkan kemajuan”, seraya masuk arus revolusi yang dianggap sebagai ”sekolah tinggi” bagi cita-cita memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan nilai-nilai moralnya yang dipertaruhkan. Selain itu, sementara pemuda Soetomo menjadikan pepatah kacang mangsa ninggal lanjaran (jangan lupakan pendahulu) sebagai kiblat gerak perjuangannya, Farid memilih ”orang tua dikesisikan... anak tak membutuhkan orang tuanya”. Kalau perlu, ayahnya sendiri serta ”seluruh angkatan tua dari zaman penjajahan dengan semangat budak” hancur terbakar.
Sejak bagian pertama romannya, Pram sudah memperlihatkan bagaimana perselisihan angkatan itu terjadi. Farid ngotot pergi ke Cikampek. Nasihat dan rengekan bapaknya dianggap angin lalu. Bukan tak ada usaha membangun pengertian, tapi sia-sia. Farid mengambil cuti untuk menjenguk, tapi yang ditemuinya: ayahnya telah jadi Netherlands Indies Civil Administration. Farid pun pergi dan melupakan ayahnya, masa lalunya. Sebuah simbolisasi yang dalam kenyataan zamannya memang terjadi.
***
BOLEH jadi proklamasi bukan kata-kata yang heroik, adem-adem saja, dan rada janggal, lantaran sarat dibebani sikap kehati-hatian, keraguan, serta kebingungan. Soekarno-Hatta dibayangi konsekuensi percaturan politik kekuasaan internasional. Orok Republik mesti diselamatkan. Caranya adalah tidak lagi memperkuat gerakan dan kemurnian ideologinya. Berkompromi. Dari sinilah titik perselisihan pemimpin-pemimpin yang tua dengan para pemuda. Para pemuda justru menganggap proklamasi—meminjam kata angkatan muda saat itu, Chairil Anwar—telah ”menyediakan api” untuk ”maju, serbu, serang, terjang”. Bagi mereka, revolusi mesti segera dilakukan. Sebab, ada banyak ancaman terhadap kemerdekaan dan nilai-nilai moralnya. Proklamasi adalah point of no return, atau lebih tepatnya, setiap langkah mundur berarti kegagalan total yang hina. Berkompromi sama artinya dengan membiarkan orok Republik tercemar kolonialisme dengan kebejatan dan keberdosaan sistemnya.
Perselisihan itu memang akhirnya tak terdamaikan dan keduanya menempuh jalan revolusi sendiri-sendiri setelah peristiwa Ikada, 19 September 1945. Para pemimpin yang tua meninggalkan Jakarta membawa orok Republik ke pedalaman ”demi” Sekutu, yang secara implisit berarti menyerahkan Jakarta ke tangan Belanda. Sementara itu, para pemuda dengan lusinan strijdorganisaties alias badan perjuangan yang seketika bermunculan di dalam dan sekitar Kota Jakarta memasuki musim baru, ”musim bersiap”. Di mana-mana orang lazim memekik, ”Bersiap!”—artinya melakukan serangan. Saban-saban terdengar pekik ”Merdeka atau mati”, salam ”Merdeka”, yang mengandung arti jiwa besar tak takut mati. Api revolusi menyala. Tapi tanpa pemimpin dan mencari bahan-bahan nyala apinya secara mandiri.
Revolusi pun jadi tak berkarakter dan bangkit kecemasan dehumanisasi, kemerosotan moral, serta korupsi. Dan dalam romannya tersebut Pram sendiri mengakui dan memberikan tempat, tapi baginya semua itu tak harus mengaburkan kita dari kenyataan pokok makna revolusi yang ingin ditunjukkannya: ”suatu epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”.
Seperempat cerita roman yang selamat itu memang tak membawa kita sampai pada nasib akhir proses revolusi jiwa. Namun, kita semua tahu revolusi itu memang melengkung pada akhirnya, berlangsung hanya beberapa bulan, yang hanya bisa dihitung dengan jari, kemudian yang menyusul adalah perang kemerdekaan dan dikapitulasi oleh lobi dan koktail Konferensi Meja Bundar.
Namun, dari studi sejarah, dapatlah kita ketahui hasilnya. Ben Anderson, dalam sebuah esainya yang menantang, ”Old State, New Society”, mengungkapkan bahwa jalan yang dipilih para pemimpin tua—berbareng semangat revolusi yang memudar tinggal kenangan—membuat orok Republik darahnya dikotori darah negara lama dengan kolonialisme dan kebejatan serta keberdosaan sistem beambtenstaat yang ditumpangi feodalisme. Darah yang seiring dengan perkembangan usia dan membesarnya orok itu semakin menampakkan wajah serta tabiat aslinya yang sangat kita benci. Dan seperti dikatakan Pram berulang-ulang, hasil serta sumbangan dari bangsa Indonesia yang seperti itu kepada rakyatnya dan dunia hanyalah yang buruk-buruk, sampah belaka.
Ayo, ikut Pram! Bakar!
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label J.J. Rizal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label J.J. Rizal. Tampilkan semua postingan
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita