korantempo.com
Rumah
kelak bila aku rindu rumah
kelak bila aku rindu rumah mungkin hanya bisa kucium segenggam tanah dari
benih pohon pacar yang dikirim ayah
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Sajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sajak. Tampilkan semua postingan
27/06/21
08/02/21
Sajak-Sajak F. Aziz Manna
Jawa Pos, 30 Agu 2020
Lanskap Wabah
kami telah sama meyakini, selama ini, batas-batas telah mencair, tapi ketika tulah mewabah dari segala arah, kami dipaksa membangun kembali batas-batas, menutup pintu, mengunci jalan, mengadang segala pertemuan, padahal kami telah sama meyakini, selama ini, batas-batas telah mencair.
Lanskap Wabah
kami telah sama meyakini, selama ini, batas-batas telah mencair, tapi ketika tulah mewabah dari segala arah, kami dipaksa membangun kembali batas-batas, menutup pintu, mengunci jalan, mengadang segala pertemuan, padahal kami telah sama meyakini, selama ini, batas-batas telah mencair.
29/06/20
HUJAN DI SUKORENO
Wahyu Hidayat *
Masih kukenang dan kuhapal:
sukoreno, alamat dimana
engkau pernah jatuh
dan bayanganmu begitu dekap di dadaku.
19/08/19
Sajak-Sajak Taufiq Wr. Hidayat
Lahir
Aku mengenalnya sejak dalam rahimmu yang gelap.
Dari kedalamannya aku mengintip celah cahaya
Melalui pusarmu yang agung
Kesunyian sedemikian menggetarkan
Mengibarkan warna-warna jagat raya
Menjalani keniscayaan dari ketidakberhinggaan yang hampa
Aku mengenalnya sejak dalam rahimmu yang gelap.
Dari kedalamannya aku mengintip celah cahaya
Melalui pusarmu yang agung
Kesunyian sedemikian menggetarkan
Mengibarkan warna-warna jagat raya
Menjalani keniscayaan dari ketidakberhinggaan yang hampa
03/09/11
Sajak-Sajak Syifa Aulia
http://sastra-indonesia.com/
SUARA HATI TKW
Raga kami telah kalian
penjara
tapi jiwa kami masih
merdeka
mimpi-mimpi kami
telah kalian gadaikan
tapi semangat kami
masih menyala
suara-suara kami
telah kalian redam
tapi nurani kami akan
terus lantang bicara
bertahun-tahun kalian
pasung kami dalam
rantai nestapa
batin kami menangis lirih
tak berdaya
peluh kami telah luruh
membasahi nurani
berusaha menggapai
mimpi-mimpi yang tak terbeli
kami memang tak seberani
MARSINAH yang rela
menukar nyawanya
demi tegaknya keadilan
bukan pula R.A. KARTINI
yang terkenal dengan
“habis gelap terbitlah terang”
kami hanya kaum BMI
di sini tuk sekedar
menyuarakan isi hati
(SA & AW)
Kennedy Town 02-09-2010
BMI (Buruh Migran Indonesia)
MUTIARA JALANAN
Mata yang telaga itu
kini telah di buramkan
debu-debu zaman
kaki yang tak beralas pun
melepuh oleh panasnya aspal jalanan
terseok menuju tiap perempatan lampu merah
diayunkan benda
di tangannya yang mengeluarkan irama
kenestapaan
ada tatapan jijik
dari balik kaca sepion keangkuhan
bibirmu tak lelah
menyanyikan kidung
agung yang memekakkan telinga
si sombong
demi cacing dalam
perut yang terus menuntut haknya
sampai di tikungan nasib
tubuhmu menggelepar
terkapar karena lapar
yang tak lagi tertanggungkan
31-08-2010
PAGI
Fajar datang
langit mempersiapkan
pagi
bintang, embun, kantuk
mimpi, harapan rindu
risau yang tak dapat
lagi ditidurkan
inginku
menyaksikan terbentuknya embun
di pepucuk daun
memaknai fajar melalui jejak gemintang
di ringkas pada
manik-manik jernih
langit sesudah fajar
kembali berbau manusia
heningnya pecah oleh
sejumlah suara
tak tentu asal dan tuju
suara yang hening
sendiri
yang berhenti jadi hening
bertenggerlah kuning emas pertama
di langit timur
semua yang ada
sekejap peroleh bingkai
dan bentuk yang
makin tetap
cahaya makin tetap
Matahari terbit
21-08-2010
Ketidakpercayaan Padaku
Aku percaya padanya
bahkan saat
dia tak berkabar padaku
aku tak menghubunginya
karena aku percaya padanya
terlalunya aku percaya
sampai tak tega hati
mengganggunya
sekali lagi karena aku percaya padanya
aku redam kelebat ketidakyakinanku atasnya
tapi dalam percayaku timbul tanya dalam hati
sungguhkah aku betul-betul percaya padanya?
Ah rasanya tidak
22 Agustus 2010
SUARA HATI TKW
Raga kami telah kalian
penjara
tapi jiwa kami masih
merdeka
mimpi-mimpi kami
telah kalian gadaikan
tapi semangat kami
masih menyala
suara-suara kami
telah kalian redam
tapi nurani kami akan
terus lantang bicara
bertahun-tahun kalian
pasung kami dalam
rantai nestapa
batin kami menangis lirih
tak berdaya
peluh kami telah luruh
membasahi nurani
berusaha menggapai
mimpi-mimpi yang tak terbeli
kami memang tak seberani
MARSINAH yang rela
menukar nyawanya
demi tegaknya keadilan
bukan pula R.A. KARTINI
yang terkenal dengan
“habis gelap terbitlah terang”
kami hanya kaum BMI
di sini tuk sekedar
menyuarakan isi hati
(SA & AW)
Kennedy Town 02-09-2010
BMI (Buruh Migran Indonesia)
MUTIARA JALANAN
Mata yang telaga itu
kini telah di buramkan
debu-debu zaman
kaki yang tak beralas pun
melepuh oleh panasnya aspal jalanan
terseok menuju tiap perempatan lampu merah
diayunkan benda
di tangannya yang mengeluarkan irama
kenestapaan
ada tatapan jijik
dari balik kaca sepion keangkuhan
bibirmu tak lelah
menyanyikan kidung
agung yang memekakkan telinga
si sombong
demi cacing dalam
perut yang terus menuntut haknya
sampai di tikungan nasib
tubuhmu menggelepar
terkapar karena lapar
yang tak lagi tertanggungkan
31-08-2010
PAGI
Fajar datang
langit mempersiapkan
pagi
bintang, embun, kantuk
mimpi, harapan rindu
risau yang tak dapat
lagi ditidurkan
inginku
menyaksikan terbentuknya embun
di pepucuk daun
memaknai fajar melalui jejak gemintang
di ringkas pada
manik-manik jernih
langit sesudah fajar
kembali berbau manusia
heningnya pecah oleh
sejumlah suara
tak tentu asal dan tuju
suara yang hening
sendiri
yang berhenti jadi hening
bertenggerlah kuning emas pertama
di langit timur
semua yang ada
sekejap peroleh bingkai
dan bentuk yang
makin tetap
cahaya makin tetap
Matahari terbit
21-08-2010
Ketidakpercayaan Padaku
Aku percaya padanya
bahkan saat
dia tak berkabar padaku
aku tak menghubunginya
karena aku percaya padanya
terlalunya aku percaya
sampai tak tega hati
mengganggunya
sekali lagi karena aku percaya padanya
aku redam kelebat ketidakyakinanku atasnya
tapi dalam percayaku timbul tanya dalam hati
sungguhkah aku betul-betul percaya padanya?
Ah rasanya tidak
22 Agustus 2010
30/08/11
Di balik tembok angkuh KJRI
Syifa Aulia
http://sastra-indonesia.com/
Berpuluh tahun gedung itu berdiri
tetap angkuh tak tersentuh
hingga kini
berkali-kali penguasa berganti
tak ada perubahan yang berarti
sebab tuhan telah bersarang
di kepala para petinggi
segala janji manis terpapar
selaksa cahaya memendar
lalu pudar
suara-suara telah terbiasa diacuhkan
padahal kami semua perempuan
datang tak berpedang
pun menabuh genderang perang
kami hanya ingin menguraikan
masalah yang tak teratasi sendiri
mengadukan ketidak-adilan
yang terpampang di depan
mata setiap hari
sebab konon kalian
perantara negara
untuk melindungi tiap warganya
tapi kalian telah memupuskan
nilai kemanusiaan
hingga kepala dipenggal
tiada dipedulikan
teriakkan di jalanan kata
LAWAN
hanya simbol perlawanan
yang tak pernah selesai
kami rumuskan
kini kulantang bertanya;
sesungguhnya apa pentingnya KJRI buat kita?
http://sastra-indonesia.com/
Berpuluh tahun gedung itu berdiri
tetap angkuh tak tersentuh
hingga kini
berkali-kali penguasa berganti
tak ada perubahan yang berarti
sebab tuhan telah bersarang
di kepala para petinggi
segala janji manis terpapar
selaksa cahaya memendar
lalu pudar
suara-suara telah terbiasa diacuhkan
padahal kami semua perempuan
datang tak berpedang
pun menabuh genderang perang
kami hanya ingin menguraikan
masalah yang tak teratasi sendiri
mengadukan ketidak-adilan
yang terpampang di depan
mata setiap hari
sebab konon kalian
perantara negara
untuk melindungi tiap warganya
tapi kalian telah memupuskan
nilai kemanusiaan
hingga kepala dipenggal
tiada dipedulikan
teriakkan di jalanan kata
LAWAN
hanya simbol perlawanan
yang tak pernah selesai
kami rumuskan
kini kulantang bertanya;
sesungguhnya apa pentingnya KJRI buat kita?
11/05/11
Sajak-Sajak Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/
Tuhan-Tuhan
Tuhan 1
tuhan keliaran
dalam tatapku
berlompatan dalam kepalaku
Tuhan 2
tuhan diam
dalam hatiku
bermesraan di dalamku
Tuhan 3
tuhan nyasar
dalam benakku
berlompatan dari mulut-mulutmu
Tuhan 4
tuhan gusar
atas yakinku
nggelegar dari pekik-pekikmu
Tuhan 5
di atas mimbar
kutuk menebar
anjuran sabar
Gresik, 7 Januari 2010
Sekulum Senyum
sekulum senyum
entah citra
siapa
seperti
telah aku
kenal sejak
lama
mungkin
sebelum aku
terlahir
kedunia
sekulum senyum
entah citra
siapa
seolah
merenggut
kiblat hatiku
hampir
seutuhnya
sekulum senyum
engkaukah
citra
sang sempurna
murungkan
jiwaku
ketika
tak dapat
tergapai
tuk bersua
2009
Anglingdarma
terngiang sebuah derai tawa
ketika nanar matanya menatap nyala
menembus pada sebuah peraduan, pada suatu peristiwa
(yang nyaris sebuah bahagia)
pada hati yang kalut, berkabut
tidaklah cukup sebuah besaran cinta
sekuku hitam bagi belahan jiwa
pada hati yang cemburu, diburu
sepasang cicak mencipta
sebuah prahara
awan kepedihan bergelayutan
di langit hati
Prabu Malawapati
bunga-bunga di taman istana
tersengal oleh asap hitam kemuraman
dihembus nafas angin
gemeretak sisa bara
menyisa duka di sudut mata
menebar bisik sunyi di relung hati
ah, dinda, dinda, tidakkah hidup sebuah karunia
hingga kau lebih memilih sebuah bencana
memanggang cinta kita di tengah bara
langit pekat selimuti negeri Malawapati
ada yang sunyi, ada yang sendiri
terbawa arus dalam sebuah kepergian
Juli 2009
Sebuah Nama Pada Sebuah Jejak Sajak
~ siwur ~
kau selalu bersikukuh untuk tak menyebut
namamu di setiap kita bertemu dalam
perjalanan malam-malam itu
“apa arti sebuah nama” kilahmu
sambil mengutip pepatah
tak berdasar itu
“bukankah banyak yang percaya sebuah
nama adalah sebuah doa”
pikirku
rupanya kau ingin mengekalkan misteri
dari namamu padahal tawa kita
begitu akrab
“karena kau tak akan percaya bila kusebut nama”
kau bertaruh sambil
bersuara luruh
dan ketika itu kau sebagai pemenang karena berkali-kali
terlontar kata ”benarkah?” untuk memastikan
kau menyebut namamu
mungkin ada gurat kecewa
ketika terdengar aku
tak percaya
demikianlah ternyata, kota kita tak begitu luas
ketika kutemukan jejak namamu
yang dulu pernah berhampir di benakku
pada sebuah jejak sajak
yang menarik-narik angan
pada sebuah tualang
ketika mencari seorang belah hati
di kemudian hari hanya untuk
tersakiti
Gresik, 6 Juli 2009
Tuhan-Tuhan
Tuhan 1
tuhan keliaran
dalam tatapku
berlompatan dalam kepalaku
Tuhan 2
tuhan diam
dalam hatiku
bermesraan di dalamku
Tuhan 3
tuhan nyasar
dalam benakku
berlompatan dari mulut-mulutmu
Tuhan 4
tuhan gusar
atas yakinku
nggelegar dari pekik-pekikmu
Tuhan 5
di atas mimbar
kutuk menebar
anjuran sabar
Gresik, 7 Januari 2010
Sekulum Senyum
sekulum senyum
entah citra
siapa
seperti
telah aku
kenal sejak
lama
mungkin
sebelum aku
terlahir
kedunia
sekulum senyum
entah citra
siapa
seolah
merenggut
kiblat hatiku
hampir
seutuhnya
sekulum senyum
engkaukah
citra
sang sempurna
murungkan
jiwaku
ketika
tak dapat
tergapai
tuk bersua
2009
Anglingdarma
terngiang sebuah derai tawa
ketika nanar matanya menatap nyala
menembus pada sebuah peraduan, pada suatu peristiwa
(yang nyaris sebuah bahagia)
pada hati yang kalut, berkabut
tidaklah cukup sebuah besaran cinta
sekuku hitam bagi belahan jiwa
pada hati yang cemburu, diburu
sepasang cicak mencipta
sebuah prahara
awan kepedihan bergelayutan
di langit hati
Prabu Malawapati
bunga-bunga di taman istana
tersengal oleh asap hitam kemuraman
dihembus nafas angin
gemeretak sisa bara
menyisa duka di sudut mata
menebar bisik sunyi di relung hati
ah, dinda, dinda, tidakkah hidup sebuah karunia
hingga kau lebih memilih sebuah bencana
memanggang cinta kita di tengah bara
langit pekat selimuti negeri Malawapati
ada yang sunyi, ada yang sendiri
terbawa arus dalam sebuah kepergian
Juli 2009
Sebuah Nama Pada Sebuah Jejak Sajak
~ siwur ~
kau selalu bersikukuh untuk tak menyebut
namamu di setiap kita bertemu dalam
perjalanan malam-malam itu
“apa arti sebuah nama” kilahmu
sambil mengutip pepatah
tak berdasar itu
“bukankah banyak yang percaya sebuah
nama adalah sebuah doa”
pikirku
rupanya kau ingin mengekalkan misteri
dari namamu padahal tawa kita
begitu akrab
“karena kau tak akan percaya bila kusebut nama”
kau bertaruh sambil
bersuara luruh
dan ketika itu kau sebagai pemenang karena berkali-kali
terlontar kata ”benarkah?” untuk memastikan
kau menyebut namamu
mungkin ada gurat kecewa
ketika terdengar aku
tak percaya
demikianlah ternyata, kota kita tak begitu luas
ketika kutemukan jejak namamu
yang dulu pernah berhampir di benakku
pada sebuah jejak sajak
yang menarik-narik angan
pada sebuah tualang
ketika mencari seorang belah hati
di kemudian hari hanya untuk
tersakiti
Gresik, 6 Juli 2009
16/01/11
Aku tersesat di Rambutmu, dalam Kitab Suciku
Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/
adinda, kemana kau pergi.
rambutmu berjatuhan di jembatan rinduku.
baru saja aku dengar lantunan ayat-ayat suci
dari jejak kakimu. seketika itu, kau menghilang.
aku lihat kelelawar berterbangan di kamarku.
kelelawarkah yang membawamu pergi dari
rumahku. senja datang, aku kesepian.
mataku terpejam, hari menjadi malam.
kamarku kosong, langit malam menanti.
ada bintang sendiri, ketika rembulan tak datang.
angin tak berkutik sembunyi di bibir hidungku.
aku tarik nafas panjang agar kau datang kembali.
tetapi rembulan yang datang. padahal, bukan
rembulan yang kuharapkan. sebab aku bukanlah bintang.
aku melihat bidadari menari bersama datangnya rembulan.
bintang menyambutnya dengan menyodorkan tangannya
pada bidadari. aku masih tetap sendiri, dengan nafas yang
terjenggal menantimu. aku melihat wajahmu ada di punggung
bidadari sambil menggeraikan rambutmu.
kenapa kau tak turun adinda, teriakku.
gerak tubuh bidadari sedang bercinta dengan rembulan
dan bintang, ada kau di sana. rupanya kau ikut bercinta
dengan mereka. aku terdiam dengan kecemburuan.
memukul kepala berkali-kali hingga tumpah menjadi
sebuah peta yang gelap tak bisa terbaca. walau lampu
penerang memberikan cahaya dalam kamarku.
adinda, kalau saja kau katakan lebih awal tentang percintaan.
tentunya aku akan mengadu pada rerumputan yang bergoyang
di savana, saat kita sedang bercinta dulu.
kau menulis kata-kata puisi yang membuatku sakit hati.
kau kirim dengan menyambung rambutmu menjadi temali.
adinda, harum kamarku saat kau disini. kini tak ada lagi.
aku membuka kitab suci. ada rambutmu. apakah ini
jembatan yang menghubungkan surga buatku.
apakah kau menungguku di surga bersama bidadari.
ah, aku menyusuri huruf hijaiyah mencari dirimu
di sela harokat-harokat yang menjadi bunyian indah
di dadaku. aku bertemu maryam. ia menghiburku
dengan kesetiaannya pada tuhan. hingga tak mau ada
lelaki bercinta dengannya, kecuali tuhan. ah, apakah tuhan
laki-laki tanyaku. dia akan menjelma pada siapa saja yang sepi
hatinya merindukan peluknya. maka datanglah tuhan
mencari hati yang tergetar. aku pun tergetar, katanya.
maryam mengusirku sebab ia akan bercinta dengan tuhan.
aku pun melihat tuhan dalam diri maryam.
Aku masih saja memotong-motong huruf
yang ada dalam kitab suci. ada aisyah sembunyi
sedang bernyanyi bersama muhammad, takut
tuhan akan tahu. bahwa ia sedang selingkuh.
desah nafas aisyah seperti nafasku yang tersenggal.
aisyah mendekat padaku, memberikan nafas
sejenggal padaku meninggalkan muhammad.
lalu pergi mengantarkanku pada fatimah. diam-
diam ia membawa selimut buatku yang kedinginan
tanpa pelukmu, adinda.
adinda, dimana kamu? tubuhku lelah mencarimu.
datang khotijah padaku, membelikan aku sepeda
untuk mencarimu. aku mengayuh terus hingga
perutku lapar. aku temui masitah. ia menjadi menu
makan siangku. dalam tangis yang matang tubuhnya
ia memberikan aku semangkuk rindu, mengantarkanku
pada rabi’ah. ah, aku tak mau. aku masih belum mampu,
untuk tak bersama dengamu, adinda. rabi’ah mengusirku
melemparkan aku pada tengah-tengah rambutmu dan
memberikan aku api dan air. aku tak bisa. masih belum bisa,
aku tak bisa lihat wajahmu, aku tersesat di rambutmu, adinda.
bidadari yang mengajakmu bercinta dengan rembulan
dan bintang menepuk dadaku. aku diam. ada kamu di kitab
suciku. dan rambutmu patah. aku tersesat olehmu.
Malang, 20 November 2010
http://sastra-indonesia.com/
adinda, kemana kau pergi.
rambutmu berjatuhan di jembatan rinduku.
baru saja aku dengar lantunan ayat-ayat suci
dari jejak kakimu. seketika itu, kau menghilang.
aku lihat kelelawar berterbangan di kamarku.
kelelawarkah yang membawamu pergi dari
rumahku. senja datang, aku kesepian.
mataku terpejam, hari menjadi malam.
kamarku kosong, langit malam menanti.
ada bintang sendiri, ketika rembulan tak datang.
angin tak berkutik sembunyi di bibir hidungku.
aku tarik nafas panjang agar kau datang kembali.
tetapi rembulan yang datang. padahal, bukan
rembulan yang kuharapkan. sebab aku bukanlah bintang.
aku melihat bidadari menari bersama datangnya rembulan.
bintang menyambutnya dengan menyodorkan tangannya
pada bidadari. aku masih tetap sendiri, dengan nafas yang
terjenggal menantimu. aku melihat wajahmu ada di punggung
bidadari sambil menggeraikan rambutmu.
kenapa kau tak turun adinda, teriakku.
gerak tubuh bidadari sedang bercinta dengan rembulan
dan bintang, ada kau di sana. rupanya kau ikut bercinta
dengan mereka. aku terdiam dengan kecemburuan.
memukul kepala berkali-kali hingga tumpah menjadi
sebuah peta yang gelap tak bisa terbaca. walau lampu
penerang memberikan cahaya dalam kamarku.
adinda, kalau saja kau katakan lebih awal tentang percintaan.
tentunya aku akan mengadu pada rerumputan yang bergoyang
di savana, saat kita sedang bercinta dulu.
kau menulis kata-kata puisi yang membuatku sakit hati.
kau kirim dengan menyambung rambutmu menjadi temali.
adinda, harum kamarku saat kau disini. kini tak ada lagi.
aku membuka kitab suci. ada rambutmu. apakah ini
jembatan yang menghubungkan surga buatku.
apakah kau menungguku di surga bersama bidadari.
ah, aku menyusuri huruf hijaiyah mencari dirimu
di sela harokat-harokat yang menjadi bunyian indah
di dadaku. aku bertemu maryam. ia menghiburku
dengan kesetiaannya pada tuhan. hingga tak mau ada
lelaki bercinta dengannya, kecuali tuhan. ah, apakah tuhan
laki-laki tanyaku. dia akan menjelma pada siapa saja yang sepi
hatinya merindukan peluknya. maka datanglah tuhan
mencari hati yang tergetar. aku pun tergetar, katanya.
maryam mengusirku sebab ia akan bercinta dengan tuhan.
aku pun melihat tuhan dalam diri maryam.
Aku masih saja memotong-motong huruf
yang ada dalam kitab suci. ada aisyah sembunyi
sedang bernyanyi bersama muhammad, takut
tuhan akan tahu. bahwa ia sedang selingkuh.
desah nafas aisyah seperti nafasku yang tersenggal.
aisyah mendekat padaku, memberikan nafas
sejenggal padaku meninggalkan muhammad.
lalu pergi mengantarkanku pada fatimah. diam-
diam ia membawa selimut buatku yang kedinginan
tanpa pelukmu, adinda.
adinda, dimana kamu? tubuhku lelah mencarimu.
datang khotijah padaku, membelikan aku sepeda
untuk mencarimu. aku mengayuh terus hingga
perutku lapar. aku temui masitah. ia menjadi menu
makan siangku. dalam tangis yang matang tubuhnya
ia memberikan aku semangkuk rindu, mengantarkanku
pada rabi’ah. ah, aku tak mau. aku masih belum mampu,
untuk tak bersama dengamu, adinda. rabi’ah mengusirku
melemparkan aku pada tengah-tengah rambutmu dan
memberikan aku api dan air. aku tak bisa. masih belum bisa,
aku tak bisa lihat wajahmu, aku tersesat di rambutmu, adinda.
bidadari yang mengajakmu bercinta dengan rembulan
dan bintang menepuk dadaku. aku diam. ada kamu di kitab
suciku. dan rambutmu patah. aku tersesat olehmu.
Malang, 20 November 2010
30/08/10
Sajak-Sajak Heri Latief
http://www.sastra-indonesia.com/
Lingkaran Api Puisi
: Saut Situmorang
tanah terbelah gempa di hati
matahari kembar terbakar ilusi
abunya melayang dipeluk badai
dunia dalam lingkaran api puisi
dihempas gelombang memori laut
melawan trauma wajib hukumnya
dibacalah sajak penolak bala
jangan biarkan tikus berkeliaran
waspada kita kerna pengalaman
Amsterdam, 21/08/2010
Politik Comberan?
bayangan bulan di atas comberan
panen pahala di bulan ramadhan
janji surga katanya sejuta ampunan
tersihir dosa korupsi di gemerlap berlian
lalu bernapsu menjilati kekuasaan
pameran dagang politik lidah bercabang
siapa berani mencolek harta hasil mencuri
indonesia seperti melihat fatamorgana
dari jauh kayaknya banyak tikus berpesta
ternyata di kandang bi…
Puisi
setelah berdiskusi sampai pagi
penyair kembali berpuisi
mengasah batin
memompa nyali
sajak ditulis demi keadilan
bakarlah semua hayalan!
Amsterdam, 19/08/2010
Lingkaran Api Puisi
: Saut Situmorang
tanah terbelah gempa di hati
matahari kembar terbakar ilusi
abunya melayang dipeluk badai
dunia dalam lingkaran api puisi
dihempas gelombang memori laut
melawan trauma wajib hukumnya
dibacalah sajak penolak bala
jangan biarkan tikus berkeliaran
waspada kita kerna pengalaman
Amsterdam, 21/08/2010
Politik Comberan?
bayangan bulan di atas comberan
panen pahala di bulan ramadhan
janji surga katanya sejuta ampunan
tersihir dosa korupsi di gemerlap berlian
lalu bernapsu menjilati kekuasaan
pameran dagang politik lidah bercabang
siapa berani mencolek harta hasil mencuri
indonesia seperti melihat fatamorgana
dari jauh kayaknya banyak tikus berpesta
ternyata di kandang bi…
Puisi
setelah berdiskusi sampai pagi
penyair kembali berpuisi
mengasah batin
memompa nyali
sajak ditulis demi keadilan
bakarlah semua hayalan!
Amsterdam, 19/08/2010
Sajak-Sajak Mardi Luhung
http://www.sastra-indonesia.com/
KUBUR PANJANG
Dalam usianya yang ke-700, dia kembali bangkit dari kuburnya. Berjalan ke pantai dan pergi mencari sore. Sambil sesekali mengingati tubuhnya yang limbung. Lewat perseteruan ujung parang. Dan kesetiaan untuk tetap menyimpan rahasia. Yang telah dititipkan guru. Saat seluruh bandar yang dipijak masih seperti lembaran lontar yang kosong. Yang bolong.
Dan ususnya terburai. Limpa dan hatinya yang keluar diseretnya. Lima ekor kera cuma menatap. Rimbun pohon setigi merunduk sesaat dia lewat. Meski langkahnya lebam seperti diarah ketam. Lalu seekor belibis melintas. Di sebelahnya, ada yang menunggang sapu terbang. Perawakannya kabur. Tapi, rasanya, selalu menyebut nama istri sunan yang tak mau dimadu: “Dinda, Dinda!”
Di karang yang licin dia pun bersedekuh. Matanya terpicing. Tapi langit keruh. Apa perseteruan ujung parang yang melimbungkan tubuhnya dulu telah mengusir sore? Ya, dia pun terlentang. Seluruh tubuhnya penat. Dan rahasia guru masih disimpannya. Disimpan di jantung sebelah dalam. Bersebelahan dengan denyut yang tak bisa berhenti: “Tak-tak-tak…”
“Guru, bagaimana rahasia ini dapat aku lepas,” Akh, racaunya pelan. Dan dari sela bakau yang subur, dia pun melihat istri sunan yang tak mau dimadu itu menangis. Menderas tafsir. Yang isinya: “Ketahuilah, ada yang memang tampak telanjang. Ada pula yang membayang. Di antara keduanya, ada yang terus mengapung. Ada yang terus mengepung. Dan memanjang…”
(Gresik, 2007)
PEMBUANGAN
Dia menipuku. Sebab dia tak punya itikad. Hanya mau
membayar dengan janji. Dan karcis kapal muat ke pulau
yang menumbuhkan nasi hijau, marmer dan losmen kuno
dengan gambar punden. Tapi, anehnya, aku mau saja
ditipunya. Barangkali karena bau tubuhnya. Seperti bau tubuh
wanita kuning. Mata sipit. Yang pernah menulis sekian
serdadu bunuh diri. Hanya karena matahari sedikit usil.
Menurunkan hujan. Dan di kapal muat ini, aku teringat
sepatunya. Sepatu yang juga menipuku. Sepatu perak dengan
gandulan potongan kuping. Yang katanya: “Setiap aku
berjalan, kuping inilah yang akan menguping setiap yang
aku sapa: hai!” Dan di kapal muat ini juga, aku
teringat seragamnya. Seragam yang juga menipuku. Seragam
yang bersulam dua mata. Yang satu juling. Satunya
lagi menyala penuh muslihat. Menyergap setiap yang lewat.
Dan sederet miliknya yang lain. Miliknya yang juga
menipuku. Menipu langsung atau tidak. Dengan ini atau itu.
Dan dengan sentuhan atau cengkraman. Yang kerap
menjelma taring yang keling. Tapi, akh, kapal muat terus saja
melaju. Dan dia tetap menipuku. Dan anehnya, lagi-lagi
aku tetap mau ditipunya. Sebab, di luar semuanya, jika kapal
muat ini nanti tiba di pulau, aku pasti tahu tak akan ada
apa-apa. Kecuali sisa mabuk laut dan muntahan yang pahit.
Sedang di pinggiran pulau, aku akan bertemu dengan
kuburan wanita kuning. Wanita kuning yang baunya aku sukai
itu. Wanita kuning yang pernah berbisik padaku: “Ajari
aku untuk memetik kecapi. Tanpa serdadu, matahari, nasi hijau,
marmer dan juga losmen kuno dengan gambar punden,”
Rantai di kakiku pun menggerincing…
(Gresik, 2007)
KOMALASA
Kapal ramping yang selurup dan menyembul. Merapat. Menurunkan
yang lunglai. Yang melambai. Dan yang merasa masih menyimpan
langgam di mulutnya. Langgam dari perangkat bumbung. Seperti
demam atau dengung di surau. Dengung lembut yang mirip degup.
“Dulu, orang-orang usil yang datang. Juga orang-orang putih, coklat
dan ungu,”
Dan gapura pulau. Apa tidak lebih mirip perut yang terbuka?
Perut meski bergigi, tapi siapa pun bisa masuk. Lalu
berdiam. Dan meraba apa yang bisa diraba: ladang, tambak,
warung sampai pasar yang penuh bulu.
“Dulu, orang-orang yang datang itu menjual bawang, kopi, gula
dan juga tali.”
Matahari makin tinggi. Sebuah kamar dari rumah terbuka. Dan
ketika akan mencatat. Melintas kuntul. Melintas juga yang siaga.
Mengusung senapan. Senapan bagi yang menyusui. Yang punya
selempang di perut dan dada. Dan telapak yang berkuku gasal.
“Itu muskil, itu muskil!” begitu dulu orang-orang yang datang menyela.
Tapi, karena kapal ramping telah henti. Kamar telah terisi. Maka,
lebih baik mandi, keramas dan menaburi bedak di tiap jengkal
keringat. Lalu berkeliling. Seperti si bengal yang mencari
layang-layangnya. Yang tersangkut di genting. Genting dari
rumah orang-orang yang datang dulu itu.
Rumah yang ketika di malam tiba merangkak ke pantai. Dua kaki
dan dua tangannya bersisik keras. Seperti menorehi pasir. Lalu
memberi siratan: “Biarlah hanya surau yang tertinggal. Hanya surau
yang mendengung. Dan menyelimuti kekelabuan pulau.”
“Komalasa, kaukah itu yang telah menyalakan unggun? Dan menaburkan
tungku. Menjelma pernik. Menjelma renik. Tepat ketika angkasa mengelupas
engselnya. Dan yang berkuda berkebat seakan satelit?”
(Gresik 2007)
*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.
KUBUR PANJANG
Dalam usianya yang ke-700, dia kembali bangkit dari kuburnya. Berjalan ke pantai dan pergi mencari sore. Sambil sesekali mengingati tubuhnya yang limbung. Lewat perseteruan ujung parang. Dan kesetiaan untuk tetap menyimpan rahasia. Yang telah dititipkan guru. Saat seluruh bandar yang dipijak masih seperti lembaran lontar yang kosong. Yang bolong.
Dan ususnya terburai. Limpa dan hatinya yang keluar diseretnya. Lima ekor kera cuma menatap. Rimbun pohon setigi merunduk sesaat dia lewat. Meski langkahnya lebam seperti diarah ketam. Lalu seekor belibis melintas. Di sebelahnya, ada yang menunggang sapu terbang. Perawakannya kabur. Tapi, rasanya, selalu menyebut nama istri sunan yang tak mau dimadu: “Dinda, Dinda!”
Di karang yang licin dia pun bersedekuh. Matanya terpicing. Tapi langit keruh. Apa perseteruan ujung parang yang melimbungkan tubuhnya dulu telah mengusir sore? Ya, dia pun terlentang. Seluruh tubuhnya penat. Dan rahasia guru masih disimpannya. Disimpan di jantung sebelah dalam. Bersebelahan dengan denyut yang tak bisa berhenti: “Tak-tak-tak…”
“Guru, bagaimana rahasia ini dapat aku lepas,” Akh, racaunya pelan. Dan dari sela bakau yang subur, dia pun melihat istri sunan yang tak mau dimadu itu menangis. Menderas tafsir. Yang isinya: “Ketahuilah, ada yang memang tampak telanjang. Ada pula yang membayang. Di antara keduanya, ada yang terus mengapung. Ada yang terus mengepung. Dan memanjang…”
(Gresik, 2007)
PEMBUANGAN
Dia menipuku. Sebab dia tak punya itikad. Hanya mau
membayar dengan janji. Dan karcis kapal muat ke pulau
yang menumbuhkan nasi hijau, marmer dan losmen kuno
dengan gambar punden. Tapi, anehnya, aku mau saja
ditipunya. Barangkali karena bau tubuhnya. Seperti bau tubuh
wanita kuning. Mata sipit. Yang pernah menulis sekian
serdadu bunuh diri. Hanya karena matahari sedikit usil.
Menurunkan hujan. Dan di kapal muat ini, aku teringat
sepatunya. Sepatu yang juga menipuku. Sepatu perak dengan
gandulan potongan kuping. Yang katanya: “Setiap aku
berjalan, kuping inilah yang akan menguping setiap yang
aku sapa: hai!” Dan di kapal muat ini juga, aku
teringat seragamnya. Seragam yang juga menipuku. Seragam
yang bersulam dua mata. Yang satu juling. Satunya
lagi menyala penuh muslihat. Menyergap setiap yang lewat.
Dan sederet miliknya yang lain. Miliknya yang juga
menipuku. Menipu langsung atau tidak. Dengan ini atau itu.
Dan dengan sentuhan atau cengkraman. Yang kerap
menjelma taring yang keling. Tapi, akh, kapal muat terus saja
melaju. Dan dia tetap menipuku. Dan anehnya, lagi-lagi
aku tetap mau ditipunya. Sebab, di luar semuanya, jika kapal
muat ini nanti tiba di pulau, aku pasti tahu tak akan ada
apa-apa. Kecuali sisa mabuk laut dan muntahan yang pahit.
Sedang di pinggiran pulau, aku akan bertemu dengan
kuburan wanita kuning. Wanita kuning yang baunya aku sukai
itu. Wanita kuning yang pernah berbisik padaku: “Ajari
aku untuk memetik kecapi. Tanpa serdadu, matahari, nasi hijau,
marmer dan juga losmen kuno dengan gambar punden,”
Rantai di kakiku pun menggerincing…
(Gresik, 2007)
KOMALASA
Kapal ramping yang selurup dan menyembul. Merapat. Menurunkan
yang lunglai. Yang melambai. Dan yang merasa masih menyimpan
langgam di mulutnya. Langgam dari perangkat bumbung. Seperti
demam atau dengung di surau. Dengung lembut yang mirip degup.
“Dulu, orang-orang usil yang datang. Juga orang-orang putih, coklat
dan ungu,”
Dan gapura pulau. Apa tidak lebih mirip perut yang terbuka?
Perut meski bergigi, tapi siapa pun bisa masuk. Lalu
berdiam. Dan meraba apa yang bisa diraba: ladang, tambak,
warung sampai pasar yang penuh bulu.
“Dulu, orang-orang yang datang itu menjual bawang, kopi, gula
dan juga tali.”
Matahari makin tinggi. Sebuah kamar dari rumah terbuka. Dan
ketika akan mencatat. Melintas kuntul. Melintas juga yang siaga.
Mengusung senapan. Senapan bagi yang menyusui. Yang punya
selempang di perut dan dada. Dan telapak yang berkuku gasal.
“Itu muskil, itu muskil!” begitu dulu orang-orang yang datang menyela.
Tapi, karena kapal ramping telah henti. Kamar telah terisi. Maka,
lebih baik mandi, keramas dan menaburi bedak di tiap jengkal
keringat. Lalu berkeliling. Seperti si bengal yang mencari
layang-layangnya. Yang tersangkut di genting. Genting dari
rumah orang-orang yang datang dulu itu.
Rumah yang ketika di malam tiba merangkak ke pantai. Dua kaki
dan dua tangannya bersisik keras. Seperti menorehi pasir. Lalu
memberi siratan: “Biarlah hanya surau yang tertinggal. Hanya surau
yang mendengung. Dan menyelimuti kekelabuan pulau.”
“Komalasa, kaukah itu yang telah menyalakan unggun? Dan menaburkan
tungku. Menjelma pernik. Menjelma renik. Tepat ketika angkasa mengelupas
engselnya. Dan yang berkuda berkebat seakan satelit?”
(Gresik 2007)
*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.
Sajak-Sajak Gampang Prawoto
http://www.sastra-indonesia.com/
Ziarah Akhir Tahun
aku
debu dari kerikil
kerikil yang terlempar
membinasakan nafsu
aku
embun dari karat
karat malam tanpa cercah cahaya
rembulan telah membangun sawung di atas laut biru
dan mentari di balik bukit membisu
Tuhan
dalam renung menung yang hening
bening
hari-hariku, bulan-bulanku
bahkan tahun tahun-tahunku
“ tidak ada apaapa ”
“ belum ada apaapa ”
hanya darah memerah bercampur nanah
dan dosa-dosa
Subhaanallah
Walhamdulillah
Walaila Haillaallah
Huallah Huakbar
Tuhan
dalam kering dan tandus
percikkan senyum langit biru
pada hati yang kelabu,
remang-remang bahkan gulita
di bulan sucimu
mendung telah bergeser
menjilma jasad penglihatanku
di bulan penuh maghfiroh
akan kutanam benih cahaya
dalam lembaran baru
aroma ziarah wangi bulan ramadhanmu
Kraton Sastra Alas-Jati,12082010
M u n a j a t
Redup mata malamku
melinangkan embun di balik dedaunan
tatkala musim saling berimigrasi,
menukar langit
dan matahari mengernyitkan dahinya
ribuan tahun cahaya adalah sejarah
telapak-telapak malamku
mengendap, memfosil
dalam lelap remang sinar rembulan
Tuhan
pada tenang hijau air telagaMu
gelombang ombak biru kedalaman lautMu
telah hijrah meninggalkan batinku
berjuta hijau rerimbun daun-daun murbei
menyisakan ranting kering
rerintih dan lembab membasah munajatku
dalam dosa-dosaku
doaku
akan kupintal serat-serat ayat suratmu
menjadi gulungan renungan panjang
kutenun lembara-lembaran sajadah sutra
sujud lahir batinku
di sisa hidupku
KratonSastra, 24082010
Ziarah Akhir Tahun
aku
debu dari kerikil
kerikil yang terlempar
membinasakan nafsu
aku
embun dari karat
karat malam tanpa cercah cahaya
rembulan telah membangun sawung di atas laut biru
dan mentari di balik bukit membisu
Tuhan
dalam renung menung yang hening
bening
hari-hariku, bulan-bulanku
bahkan tahun tahun-tahunku
“ tidak ada apaapa ”
“ belum ada apaapa ”
hanya darah memerah bercampur nanah
dan dosa-dosa
Subhaanallah
Walhamdulillah
Walaila Haillaallah
Huallah Huakbar
Tuhan
dalam kering dan tandus
percikkan senyum langit biru
pada hati yang kelabu,
remang-remang bahkan gulita
di bulan sucimu
mendung telah bergeser
menjilma jasad penglihatanku
di bulan penuh maghfiroh
akan kutanam benih cahaya
dalam lembaran baru
aroma ziarah wangi bulan ramadhanmu
Kraton Sastra Alas-Jati,12082010
M u n a j a t
Redup mata malamku
melinangkan embun di balik dedaunan
tatkala musim saling berimigrasi,
menukar langit
dan matahari mengernyitkan dahinya
ribuan tahun cahaya adalah sejarah
telapak-telapak malamku
mengendap, memfosil
dalam lelap remang sinar rembulan
Tuhan
pada tenang hijau air telagaMu
gelombang ombak biru kedalaman lautMu
telah hijrah meninggalkan batinku
berjuta hijau rerimbun daun-daun murbei
menyisakan ranting kering
rerintih dan lembab membasah munajatku
dalam dosa-dosaku
doaku
akan kupintal serat-serat ayat suratmu
menjadi gulungan renungan panjang
kutenun lembara-lembaran sajadah sutra
sujud lahir batinku
di sisa hidupku
KratonSastra, 24082010
18/03/10
Sajak-Sajak Saut Situmorang*
http://sautsitumorang.blogspot.com/
aku adalah mayat*
yang terapung di sungai
di samping rumahmu
aku adalah laki laki itu yang kemarin
berpapasan denganmu tapi tak kau hirau
aku adalah laki laki itu yang
melompat masuk ke dalam bus kota
sesak dengan anak anak sekolah dan orang orang pergi kerja
aku adalah bau busuk di sungai
yang meresahkan cicak cicak kecil di rumahmu
aku duduk di bangku kayu warung pinggir jalan
dan memesan sepiring nasi, sepotong ikan asin,
dan sambal belacan
aku adalah laki laki itu yang berteduh di bawah
pohon di pinggir jalan waktu turun hujan
dan sebuah mercedes mencipratkan air lumpur
ke baju dan celanaku
aku selalu ingin makan di restauran mewah
dengan seorang perempuan muda yang jelita
menemani di meja
aku adalah mayat membusuk yang terapung
tersangkut bambu di sungai dekat rumahmu
aku adalah laki laki itu yang mendayung becak
penuh air laut dalam mimpiku
aku adalah laki laki itu yang berjalan terburu buru
tiap kali polisi memapasiku
aku adalah sepucuk surat yang ditunggu tunggu
tapi tak pernah muncul di kampungku
aku adalah laki laki itu yang melambaikan tangannya
dan tinggal airmata di pipi ibu tercinta
aku adalah mayat busuk tak berbaju
yang mengapung di sungai pagi itu
aku adalah perempuan muda tak berbaju yang
terapung di sungai di samping rumahmu
aku adalah perempuan itu yang naik bus antar provinsi
ditangisi sawah sawah tak berpadi di kampungku yang jauh
aku adalah perempuan itu yang duduk termangu
di stasiun bus kotamu sore sore mau kemana tak tahu
aku didekati seorang laki laki yang pandai berkata kata
aku adalah perempuan itu yang cuma punya
sepuluh ribu di saku
aku adalah bau busuk yang mengganggu tidurmu
sepanjang malam itu
aku berdiri di trotoar jalan ditutupi malam
menunggumu
aku tidur sepanjang hari di kampung kumuh
dipagari hotel hotel tinggi bernama asing
aku adalah perempuan itu yang bermimpi
sambil merias diri
aku adalah bus antar provinsi penuh debu
yang tak pernah pulang kembali
kami bertemu di atas truk polisi waktu
bulan purnama gemerlapan di air sungai
aku adalah laki laki itu yang memungut puntung
rokok dari dekat kakimu
aku adalah perempuan itu yang memungut
pecah belah dari tong sampah depan rumahmu
aku adalah laki laki itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
aku adalah perempuan itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
kami adalah wajah wajah itu yang menatap kosong
waktu rumah tepas kami kau buldozer
kami adalah wajah wajah itu yang tertunduk
di atas truk diangkut seperti sampah busuk
aku adalah laki laki itu yang diusir dari kota
terpisah dari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang diusir dari kota
terpisah dari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang menyusup kembali
ke kota mencari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang menyusup kembali
ke kota mencari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
kota terbakar!
kota terbakar!
kami adalah mayat membusuk yang
terapung tanpa baju di sungai
di samping rumahmu
pagi itu!
auckland, oktober 1998
sajak buah buahan
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang ngisap ganja
sebesar M-16 yang diimpor dari Amerika
dalam lemari besi berkaca besi
yang tergantung di dinding kamar mandi istana kerajaan
betapa menyedihkan
laba laba main layangan
di kepala dan kuping yang sudah terlalu masak betul itu
dan lalat lalat hijau loreng loreng
main sembunyi sembunyian di kedua
lobang hidungnya yang mirip lobang kakus berjamur
dari mana menetes lahar berbau amonia
ini adalah sebuah sajak sentimental
yang ingin sekali kelak jadi kekal
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang jongkok semedi di sehelai daun keladi
yang terapung di air kuning kencing di bak mandi
monyet monyet berbulu hijau loreng loreng
tegak berdiri mengelilinginya
sambil masturbasi
betapa menyedihkan
di luar
tergantung di pintu
sebuah pengumuman:
JANGAN DIGANGGU!
ATAU KULIBAS KAU!!!
1966
-untuk Jimi Hendrix
di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah
orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan
di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh
bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah
di malam aku lahir
*) Sumber: otobiografi ([sic] 2007)
aku adalah mayat*
yang terapung di sungai
di samping rumahmu
aku adalah laki laki itu yang kemarin
berpapasan denganmu tapi tak kau hirau
aku adalah laki laki itu yang
melompat masuk ke dalam bus kota
sesak dengan anak anak sekolah dan orang orang pergi kerja
aku adalah bau busuk di sungai
yang meresahkan cicak cicak kecil di rumahmu
aku duduk di bangku kayu warung pinggir jalan
dan memesan sepiring nasi, sepotong ikan asin,
dan sambal belacan
aku adalah laki laki itu yang berteduh di bawah
pohon di pinggir jalan waktu turun hujan
dan sebuah mercedes mencipratkan air lumpur
ke baju dan celanaku
aku selalu ingin makan di restauran mewah
dengan seorang perempuan muda yang jelita
menemani di meja
aku adalah mayat membusuk yang terapung
tersangkut bambu di sungai dekat rumahmu
aku adalah laki laki itu yang mendayung becak
penuh air laut dalam mimpiku
aku adalah laki laki itu yang berjalan terburu buru
tiap kali polisi memapasiku
aku adalah sepucuk surat yang ditunggu tunggu
tapi tak pernah muncul di kampungku
aku adalah laki laki itu yang melambaikan tangannya
dan tinggal airmata di pipi ibu tercinta
aku adalah mayat busuk tak berbaju
yang mengapung di sungai pagi itu
aku adalah perempuan muda tak berbaju yang
terapung di sungai di samping rumahmu
aku adalah perempuan itu yang naik bus antar provinsi
ditangisi sawah sawah tak berpadi di kampungku yang jauh
aku adalah perempuan itu yang duduk termangu
di stasiun bus kotamu sore sore mau kemana tak tahu
aku didekati seorang laki laki yang pandai berkata kata
aku adalah perempuan itu yang cuma punya
sepuluh ribu di saku
aku adalah bau busuk yang mengganggu tidurmu
sepanjang malam itu
aku berdiri di trotoar jalan ditutupi malam
menunggumu
aku tidur sepanjang hari di kampung kumuh
dipagari hotel hotel tinggi bernama asing
aku adalah perempuan itu yang bermimpi
sambil merias diri
aku adalah bus antar provinsi penuh debu
yang tak pernah pulang kembali
kami bertemu di atas truk polisi waktu
bulan purnama gemerlapan di air sungai
aku adalah laki laki itu yang memungut puntung
rokok dari dekat kakimu
aku adalah perempuan itu yang memungut
pecah belah dari tong sampah depan rumahmu
aku adalah laki laki itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
aku adalah perempuan itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
kami adalah wajah wajah itu yang menatap kosong
waktu rumah tepas kami kau buldozer
kami adalah wajah wajah itu yang tertunduk
di atas truk diangkut seperti sampah busuk
aku adalah laki laki itu yang diusir dari kota
terpisah dari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang diusir dari kota
terpisah dari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang menyusup kembali
ke kota mencari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang menyusup kembali
ke kota mencari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
kota terbakar!
kota terbakar!
kami adalah mayat membusuk yang
terapung tanpa baju di sungai
di samping rumahmu
pagi itu!
auckland, oktober 1998
sajak buah buahan
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang ngisap ganja
sebesar M-16 yang diimpor dari Amerika
dalam lemari besi berkaca besi
yang tergantung di dinding kamar mandi istana kerajaan
betapa menyedihkan
laba laba main layangan
di kepala dan kuping yang sudah terlalu masak betul itu
dan lalat lalat hijau loreng loreng
main sembunyi sembunyian di kedua
lobang hidungnya yang mirip lobang kakus berjamur
dari mana menetes lahar berbau amonia
ini adalah sebuah sajak sentimental
yang ingin sekali kelak jadi kekal
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang jongkok semedi di sehelai daun keladi
yang terapung di air kuning kencing di bak mandi
monyet monyet berbulu hijau loreng loreng
tegak berdiri mengelilinginya
sambil masturbasi
betapa menyedihkan
di luar
tergantung di pintu
sebuah pengumuman:
JANGAN DIGANGGU!
ATAU KULIBAS KAU!!!
1966
-untuk Jimi Hendrix
di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah
orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan
di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh
bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah
di malam aku lahir
*) Sumber: otobiografi ([sic] 2007)
Sajak-Sajak Persembahan Denny Mizhar
Kepada Sang Maestro Topeng Malangan
Kau Dalam Kenangan
;Mbah Karimun
Merindu waktu
kau sematkan roh
pada kayu berwajah dirimu.
Lembut tanganmu
membelah, membedah
garis-garis kehidupan
dengan rancak gemulai.
Nampak detak jantung mu
dalam bingkai foto
ketika aku pandang
saat kau menari.
Kau bangun sumber air hayati
dari guratanmu
merubah wujudmu
menjadi burung melintasi awan
;maka terbacalah
dirimu di garis cakrawala.
Di sini aku tunggu
berduaan denganmu
di tepi dunia yang beda
menggambar wajahmu
dengan harum kamboja.
Jarak antara kau
aku cukup jauh
kau tiupkan nyawa
melekat di wajahku
memainkan rindu di panggungmu.
Malang, 16 Februari 2010
Tarian Kepulangan
;Mbah Karimun
Langit gerimis
Pekat hitam
Menurunkan malaikat.
Bumi pun terbela
Mengantar pada malam duka
Kepergian nafas sukma.
Kau melintas disebuah tarian kepulangan
Memelukku yang resah akan kota bersegala warna
:Sempurnalah wajah ciptaanmu.
Kau yang pergi
kau yang hidup
kau yang menari.
Langit membuka pintu
panggung sunyi untukmu
harum kamboja pesonamu.
Malang, 15 Februari 2010
Membangun Duka
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
berkali-kali aku merenungi duka cita semalam,
sehabis angin mewartakan rintik hujan di mataku.
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
air mataku tak sanggup lagi tumpah,
sehabis nasib patah dari masaku.
Menggenggam tanah,
bau harum melati terasa.
menyimpan prasasti misteri tangan-Nya.
Membangun kembali rumahku,
dengan tanah yang aku genggam.
menghiasnya kamboja dan wangi serimpi
Rumahku tersusun
dari duka mendalam.
Sehabis kau pergi,
aku meninggalkan nisanmu.
Malang, 2010
Di Pintu Surga
terbuka sudah
rahasia surga
kau mengetuk
dengan lekuk tubuhmu
berduan sepasang wajah
melangkah masuk dengan tarian
Malang, Februari 2010
*) Mbah Karimun: Sang Maestro Topeng Malangan, Beliau telah telah berpulang kerumah Tuhan pada14/2/2010
Kau Dalam Kenangan
;Mbah Karimun
Merindu waktu
kau sematkan roh
pada kayu berwajah dirimu.
Lembut tanganmu
membelah, membedah
garis-garis kehidupan
dengan rancak gemulai.
Nampak detak jantung mu
dalam bingkai foto
ketika aku pandang
saat kau menari.
Kau bangun sumber air hayati
dari guratanmu
merubah wujudmu
menjadi burung melintasi awan
;maka terbacalah
dirimu di garis cakrawala.
Di sini aku tunggu
berduaan denganmu
di tepi dunia yang beda
menggambar wajahmu
dengan harum kamboja.
Jarak antara kau
aku cukup jauh
kau tiupkan nyawa
melekat di wajahku
memainkan rindu di panggungmu.
Malang, 16 Februari 2010
Tarian Kepulangan
;Mbah Karimun
Langit gerimis
Pekat hitam
Menurunkan malaikat.
Bumi pun terbela
Mengantar pada malam duka
Kepergian nafas sukma.
Kau melintas disebuah tarian kepulangan
Memelukku yang resah akan kota bersegala warna
:Sempurnalah wajah ciptaanmu.
Kau yang pergi
kau yang hidup
kau yang menari.
Langit membuka pintu
panggung sunyi untukmu
harum kamboja pesonamu.
Malang, 15 Februari 2010
Membangun Duka
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
berkali-kali aku merenungi duka cita semalam,
sehabis angin mewartakan rintik hujan di mataku.
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
air mataku tak sanggup lagi tumpah,
sehabis nasib patah dari masaku.
Menggenggam tanah,
bau harum melati terasa.
menyimpan prasasti misteri tangan-Nya.
Membangun kembali rumahku,
dengan tanah yang aku genggam.
menghiasnya kamboja dan wangi serimpi
Rumahku tersusun
dari duka mendalam.
Sehabis kau pergi,
aku meninggalkan nisanmu.
Malang, 2010
Di Pintu Surga
terbuka sudah
rahasia surga
kau mengetuk
dengan lekuk tubuhmu
berduan sepasang wajah
melangkah masuk dengan tarian
Malang, Februari 2010
*) Mbah Karimun: Sang Maestro Topeng Malangan, Beliau telah telah berpulang kerumah Tuhan pada14/2/2010
09/03/10
Sajak-Sajak Saut Situmorang
http://sautsitumorang.wordpress.com/
exquisite corpse
buah dadaMu
dan buah dada kanvasku
bertemu dalam birahi
kata kata puisi
penaKu terkapar
kehabisan tinta
alkohol menguap
jadi embun di rumputan
menari bersama kicau burung
di jari jari lentik
cahaya matahari pagi
semua rambut di tubuhku
basah kuyup
oleh kebinalan bulan purnama
di jalanan kota yang sunyi
ditinggalkan memori cinta
dan pengkhianatan
wajahMu adalah
buku
dengan sampul
bercecer cat
mungkin merah mungkin coklat
dan bekas jari masih
basah wangi mimpi
palette
wajahMu terlukis
dalam kalimat kalimat warna
terang benderang
seperti layang layang
di musim hujan
seperti kembang api
di pasar malam
wajahMu
tergantung di dinding kamar
tempat laba laba menyembunyikan
bekas mayat makan malamnya
tempat semut berbaris diagonal
karavan hitam merangkak dari langit di luar
masuk ke dalam mimpi malam di dalam
tempat memori bunuh diri
bersama lapuk kasur dingin
tertutup bayang jendela
berkaca buram
sepotong kepala nyamuk
terseret terantuk di
situ
jogja, september 2002
graffiti cemburu
-eine kleine nachtmusik
aku merindukanMu.
malam di kotaku sesak terhimpit
cahaya bulan tembaga.
layang layang yang dinaikkan
anak anak desa tadi siang
bagai kalong kalong kematian hitam
menganyam bayang bayang panjang
menjerat rumah rumah berlampu tak terang
dan derunya
sampai ke kamarku yang penuh bising nyamuk.
rambut kusutku lengket
di bantal basah keringat
menginginkan goresan ujung kukumu.
Aku ingin tenggelam dalam
ombak birahiMu, badai rinduMu.
para tetangga yang berjudi di kamar sebelah
tertawa pada kartu kartu berwajah sama
tangis anak istrinya –
apa yang sedang kau lakukan malam ini?
malam di kotaku sesak terhimpit
bau knalpot bau asap rokok
dan bulan tembaga yang pucat
berdarah matanya
tertusuk cakar layang layang
yang dibiarkan anak anak desa kelaparan di pekat malam.
betapa ingin kupanggil namaMu!
seperti bocah kecil terjaga
dari kejaran raksasa dalam tidurnya
tapi kamar yang gelap penuh sarang laba laba
telah lama kehilangan suara langkah kaki bunda.
aku merindukanMu
di tengah pengap puntung puntung rokok
dan hujan malam bulan Juni
yang menambah gelisah layang layang raksasa di atas rumah
merindukanMu lewat desah sungai alkohol bening
yang menghanyutkan batu batu hitam masalaluku
daun daun kering luka lukaku.
aku merindukanMu
di pasir putih puri kanak kanakku
patung patung pasir tak berbaju mimpi mimpiku
bagai kupu kupu kecil terbang dari sunyi kepompong mati
Aku menari dalam hujan malam bulan Juni
di bawah panas cahaya bulan tembaga
mengikuti irama deru layang layang raksasa basah
yang tersesat dalam labirin rumah rumah tak terang lampunya
Aku menari dan menari
tanpa suara
hilang dalam pusaran lubuk badai rindu
tak sanggup memanggil namaMu.
malam di kotaKu terpanggang
hangus api cemburu.
denpasar, 9 juni 2001
kepada P
di kotaku
yang pernah merasakan
panas bibirmu, malam turun
memperkelam segala.
jalanan
cuma aspal hitam
kerontang kehilangan basah
hujan birahi musim.
kata kata pun
menghilang ke bukit tandus
tempat dikubur segala yang mati.
bayang bulan
menambah sunyi malam. tak ada
gonggong anjing yang dulu
mencoba menyesatkan
langkahku dari hangat hitam rambutmu.
cinta dan penyair keduanya
matikah? atau cuma
sekedar rindu?
2007
exquisite corpse
buah dadaMu
dan buah dada kanvasku
bertemu dalam birahi
kata kata puisi
penaKu terkapar
kehabisan tinta
alkohol menguap
jadi embun di rumputan
menari bersama kicau burung
di jari jari lentik
cahaya matahari pagi
semua rambut di tubuhku
basah kuyup
oleh kebinalan bulan purnama
di jalanan kota yang sunyi
ditinggalkan memori cinta
dan pengkhianatan
wajahMu adalah
buku
dengan sampul
bercecer cat
mungkin merah mungkin coklat
dan bekas jari masih
basah wangi mimpi
palette
wajahMu terlukis
dalam kalimat kalimat warna
terang benderang
seperti layang layang
di musim hujan
seperti kembang api
di pasar malam
wajahMu
tergantung di dinding kamar
tempat laba laba menyembunyikan
bekas mayat makan malamnya
tempat semut berbaris diagonal
karavan hitam merangkak dari langit di luar
masuk ke dalam mimpi malam di dalam
tempat memori bunuh diri
bersama lapuk kasur dingin
tertutup bayang jendela
berkaca buram
sepotong kepala nyamuk
terseret terantuk di
situ
jogja, september 2002
graffiti cemburu
-eine kleine nachtmusik
aku merindukanMu.
malam di kotaku sesak terhimpit
cahaya bulan tembaga.
layang layang yang dinaikkan
anak anak desa tadi siang
bagai kalong kalong kematian hitam
menganyam bayang bayang panjang
menjerat rumah rumah berlampu tak terang
dan derunya
sampai ke kamarku yang penuh bising nyamuk.
rambut kusutku lengket
di bantal basah keringat
menginginkan goresan ujung kukumu.
Aku ingin tenggelam dalam
ombak birahiMu, badai rinduMu.
para tetangga yang berjudi di kamar sebelah
tertawa pada kartu kartu berwajah sama
tangis anak istrinya –
apa yang sedang kau lakukan malam ini?
malam di kotaku sesak terhimpit
bau knalpot bau asap rokok
dan bulan tembaga yang pucat
berdarah matanya
tertusuk cakar layang layang
yang dibiarkan anak anak desa kelaparan di pekat malam.
betapa ingin kupanggil namaMu!
seperti bocah kecil terjaga
dari kejaran raksasa dalam tidurnya
tapi kamar yang gelap penuh sarang laba laba
telah lama kehilangan suara langkah kaki bunda.
aku merindukanMu
di tengah pengap puntung puntung rokok
dan hujan malam bulan Juni
yang menambah gelisah layang layang raksasa di atas rumah
merindukanMu lewat desah sungai alkohol bening
yang menghanyutkan batu batu hitam masalaluku
daun daun kering luka lukaku.
aku merindukanMu
di pasir putih puri kanak kanakku
patung patung pasir tak berbaju mimpi mimpiku
bagai kupu kupu kecil terbang dari sunyi kepompong mati
Aku menari dalam hujan malam bulan Juni
di bawah panas cahaya bulan tembaga
mengikuti irama deru layang layang raksasa basah
yang tersesat dalam labirin rumah rumah tak terang lampunya
Aku menari dan menari
tanpa suara
hilang dalam pusaran lubuk badai rindu
tak sanggup memanggil namaMu.
malam di kotaKu terpanggang
hangus api cemburu.
denpasar, 9 juni 2001
kepada P
di kotaku
yang pernah merasakan
panas bibirmu, malam turun
memperkelam segala.
jalanan
cuma aspal hitam
kerontang kehilangan basah
hujan birahi musim.
kata kata pun
menghilang ke bukit tandus
tempat dikubur segala yang mati.
bayang bulan
menambah sunyi malam. tak ada
gonggong anjing yang dulu
mencoba menyesatkan
langkahku dari hangat hitam rambutmu.
cinta dan penyair keduanya
matikah? atau cuma
sekedar rindu?
2007
11/03/09
Sajak-Sajak Firman Nugraha
http://pr.qiandra.net.id/
Lukisan Huruf A
Takkan kautemukan Marx, Rumi, dan Kabayan di sini
Dengan wajah yang gatal selain lukisan Dede
Jerami telah menyembunyikan mereka dalam sebuah peti
Lewat kabel-kabel listrik menari-nari dan memaki
Aku makan pisang goreng; seekor semut menuangkan laut di cangkir kopiku
Kau menjelma unta. Doumo arigatou
Kita baca saja kolom-kolom berita menghantarkan kabar
Tangan-tangan buntung, lubang di kepala, seseorang menyedot tinja
Sebuah headline tak biasa: Tentara Pegang Bunga Melati
Disembunyikan di balik punggungnya. Apakah kau masih ingat, De?
Tiba-tiba kau mengaku bahwa dirimu sepi yang datang kemari
Setelah malam ditinggalkan dengan bekas luka di dahi
Untuk apa juga anak kecil itu memeluk gulungan tikar
Sedang di sebelahnya narapidana takut dengan sebuah panci
Gomen. Mungkin harus kuucapkan maaf padamu
Melalui nomor telefon yang hanya tergagap gagu
Andai saja aku bisa mengerti jika kau tak percaya kata
Namun sungguh, kau tak harus belajar lagi memegang pensil
Hanya gara-gara sebuah lelang memakanmu dalam mimpi
Kusorong pisang goreng terakhir. Melarutkan bau anyir
Dan kau tahu, De, semut tadi seperti malaikat yang
menertawakan percakapan kita. Seperti pembantu
yang punya profesi sebagai mata-mata
Lantaidua, 2008
Bermain Boneka -Mut
Dik, mari duduk di pangkuan kakak
Kita main boneka
Biar saja ibu menangkap awan untuk makan nanti malam
dan ayah yang juga sibuk memasang bubu
Dik, mari taburkan kata-kata dalam kubur
Karena ia memang rumah puisi kita
Tulis namamu dengan ilalang dan rasa sayang
Agar batu rip itu tak harus mengaduh akibat peluh
Lalu hafalkan, karena kita akan berjalan ke barat yang lengkap
Di mana dahan demi dahan telah lama mengenalnya
Jangan lupakan bonekamu. Itu warisan ibu
Yang satu waktu juga akan berbicara tentang
bagaimana engkau membaca nama bisu di dadamu
Padangbatu, 2008
Episode Baru
Maka kota bukanlah cita-cita
Setelah jendela merapat di langit utara
dan menara gading -tempat setiap tangan
terbuka-tak lagi kukunjungi selain sekadar
meluruhkan bait-bait peluh bunga kemboja
Telaga. Tangan matahari. Dan muara
Meruapkan sendiri basah mata bocahnya
Kering ranting. Ranggas hening. Juga risau
Akar-akar sabar terhunjam di batu-batu
Aku diam semati karang. Namun tetap
ada nazar yang mesti dibayar
untuk setiap halaman tanah terhampar
Bahu disusun. Tulang dipasang. Jejak digurat
bersama resah keheningan alam. Kuberlari
mengejar matahari: kota semu episode baru
menanti dalam gelagap gagu. Waktu runcing
Waktu yang dulu memapahku menuliskan
nama ibu, seakan kembali membuka pintu
Menawar kuncup mawar dan menyeduhku
ke dalam barat yang telah lengkap. Aku ingin ke sana
ke dahan-dahan yang telah lama mengenalnya
di mana senandung kampung masih bisa kutengok
di beranda ini. Dan betapa pun kota telah menguning
angin itu tak pernah bisa tergantikan warnanya
Lantaidua, 2008
Open House
Aku berkenalan dengan pagi kemarin sore
dan baru sekarang bertemu lagi. Aku berjalan
Tak penting kaki mana yang pertama kali mesti
dilangkahkan. Yang pasti, peta sudah dipegang
Mau ke barat, timur, utara, atau bahkan selatan
Silahkan. Selain itu, tak ada! Kecuali jika kau ingin
kusindir sebagai kafir. Tapi aku tak menghendaki
Sebaiknya kaupegang saja tanganku sambil
melesapkan nafasmu satu-satu ke arah kabut
yang sudah mulai pupur wajahnya. Aku berjalan
Siapa yang menyalakan api unggun di pagi hari
Asap-asap menepati janji bumi, nyala bara adalah
jiwa lelah tak berumah hingga tak ada yang benar
benar nyata selain kaki beku dalam balutan sepatu
Malam sudah pudar. Tapi, siapa yang menyalakan
api unggun? Kutinggalkan pagi terbakar bersama
tonggak-tonggak berdiri mengelilingi kuburan arang
Selamat pagi, siang! Kau bukanlah kunang-kunang
yang mesti diam. Jendela sudah dipecahkan. Di luar
pintu masih terbuka. Berjalanlah tangan telentang
karena tanah pun rumah yang tak perlu tuk diasingkan
Lantaidua, 2008
Panorama Subuh
Seikat subuh. Telah kutinggalkan timur yang jauh
Mimpi berserak memecah benak kabuti malam pengap
Seberkas sinar muncul di seberang jendela kamar
Seperti pertanda bahwa saf mesti dirapikan
Keringat mesti kembali ditabur di antara kubur
Aku tahu aku bukan nabi merogoh kocek barang sepangkal
Kemudian menguncupkan salam demi salam seraya
menyergah matahari walau telah hitam cahayanya
Pun aku tahu bahwa barat adalah tempat segala bijak
Tempat aku meluruskan lidah dan menerjemahkan rahasia
Dengan sungai mengalir menjumpai gigir takdir
Lantas kubangun sila di perempatan jalan
Memandang ke luar lipatan tangan hikmati sudut kebekuan
Sedang di sini orang-orang meneguk laut gelinang kata
Lepaslah malam bagi segala kubangan
Menuangkan anggur para perawi menakwilkan mimpi
Mimpi menjelma ibu mengajariku menulis puisi
Aku menunggu sepucuk tunas tumbuh di kepalaku
Menjulurkan akar-akar sabar hingga kubisa terduduk
di samping keteduhan mutholib mengelus-ngelus punggungku
Lantaidua, 2008
Lukisan Huruf A
Takkan kautemukan Marx, Rumi, dan Kabayan di sini
Dengan wajah yang gatal selain lukisan Dede
Jerami telah menyembunyikan mereka dalam sebuah peti
Lewat kabel-kabel listrik menari-nari dan memaki
Aku makan pisang goreng; seekor semut menuangkan laut di cangkir kopiku
Kau menjelma unta. Doumo arigatou
Kita baca saja kolom-kolom berita menghantarkan kabar
Tangan-tangan buntung, lubang di kepala, seseorang menyedot tinja
Sebuah headline tak biasa: Tentara Pegang Bunga Melati
Disembunyikan di balik punggungnya. Apakah kau masih ingat, De?
Tiba-tiba kau mengaku bahwa dirimu sepi yang datang kemari
Setelah malam ditinggalkan dengan bekas luka di dahi
Untuk apa juga anak kecil itu memeluk gulungan tikar
Sedang di sebelahnya narapidana takut dengan sebuah panci
Gomen. Mungkin harus kuucapkan maaf padamu
Melalui nomor telefon yang hanya tergagap gagu
Andai saja aku bisa mengerti jika kau tak percaya kata
Namun sungguh, kau tak harus belajar lagi memegang pensil
Hanya gara-gara sebuah lelang memakanmu dalam mimpi
Kusorong pisang goreng terakhir. Melarutkan bau anyir
Dan kau tahu, De, semut tadi seperti malaikat yang
menertawakan percakapan kita. Seperti pembantu
yang punya profesi sebagai mata-mata
Lantaidua, 2008
Bermain Boneka -Mut
Dik, mari duduk di pangkuan kakak
Kita main boneka
Biar saja ibu menangkap awan untuk makan nanti malam
dan ayah yang juga sibuk memasang bubu
Dik, mari taburkan kata-kata dalam kubur
Karena ia memang rumah puisi kita
Tulis namamu dengan ilalang dan rasa sayang
Agar batu rip itu tak harus mengaduh akibat peluh
Lalu hafalkan, karena kita akan berjalan ke barat yang lengkap
Di mana dahan demi dahan telah lama mengenalnya
Jangan lupakan bonekamu. Itu warisan ibu
Yang satu waktu juga akan berbicara tentang
bagaimana engkau membaca nama bisu di dadamu
Padangbatu, 2008
Episode Baru
Maka kota bukanlah cita-cita
Setelah jendela merapat di langit utara
dan menara gading -tempat setiap tangan
terbuka-tak lagi kukunjungi selain sekadar
meluruhkan bait-bait peluh bunga kemboja
Telaga. Tangan matahari. Dan muara
Meruapkan sendiri basah mata bocahnya
Kering ranting. Ranggas hening. Juga risau
Akar-akar sabar terhunjam di batu-batu
Aku diam semati karang. Namun tetap
ada nazar yang mesti dibayar
untuk setiap halaman tanah terhampar
Bahu disusun. Tulang dipasang. Jejak digurat
bersama resah keheningan alam. Kuberlari
mengejar matahari: kota semu episode baru
menanti dalam gelagap gagu. Waktu runcing
Waktu yang dulu memapahku menuliskan
nama ibu, seakan kembali membuka pintu
Menawar kuncup mawar dan menyeduhku
ke dalam barat yang telah lengkap. Aku ingin ke sana
ke dahan-dahan yang telah lama mengenalnya
di mana senandung kampung masih bisa kutengok
di beranda ini. Dan betapa pun kota telah menguning
angin itu tak pernah bisa tergantikan warnanya
Lantaidua, 2008
Open House
Aku berkenalan dengan pagi kemarin sore
dan baru sekarang bertemu lagi. Aku berjalan
Tak penting kaki mana yang pertama kali mesti
dilangkahkan. Yang pasti, peta sudah dipegang
Mau ke barat, timur, utara, atau bahkan selatan
Silahkan. Selain itu, tak ada! Kecuali jika kau ingin
kusindir sebagai kafir. Tapi aku tak menghendaki
Sebaiknya kaupegang saja tanganku sambil
melesapkan nafasmu satu-satu ke arah kabut
yang sudah mulai pupur wajahnya. Aku berjalan
Siapa yang menyalakan api unggun di pagi hari
Asap-asap menepati janji bumi, nyala bara adalah
jiwa lelah tak berumah hingga tak ada yang benar
benar nyata selain kaki beku dalam balutan sepatu
Malam sudah pudar. Tapi, siapa yang menyalakan
api unggun? Kutinggalkan pagi terbakar bersama
tonggak-tonggak berdiri mengelilingi kuburan arang
Selamat pagi, siang! Kau bukanlah kunang-kunang
yang mesti diam. Jendela sudah dipecahkan. Di luar
pintu masih terbuka. Berjalanlah tangan telentang
karena tanah pun rumah yang tak perlu tuk diasingkan
Lantaidua, 2008
Panorama Subuh
Seikat subuh. Telah kutinggalkan timur yang jauh
Mimpi berserak memecah benak kabuti malam pengap
Seberkas sinar muncul di seberang jendela kamar
Seperti pertanda bahwa saf mesti dirapikan
Keringat mesti kembali ditabur di antara kubur
Aku tahu aku bukan nabi merogoh kocek barang sepangkal
Kemudian menguncupkan salam demi salam seraya
menyergah matahari walau telah hitam cahayanya
Pun aku tahu bahwa barat adalah tempat segala bijak
Tempat aku meluruskan lidah dan menerjemahkan rahasia
Dengan sungai mengalir menjumpai gigir takdir
Lantas kubangun sila di perempatan jalan
Memandang ke luar lipatan tangan hikmati sudut kebekuan
Sedang di sini orang-orang meneguk laut gelinang kata
Lepaslah malam bagi segala kubangan
Menuangkan anggur para perawi menakwilkan mimpi
Mimpi menjelma ibu mengajariku menulis puisi
Aku menunggu sepucuk tunas tumbuh di kepalaku
Menjulurkan akar-akar sabar hingga kubisa terduduk
di samping keteduhan mutholib mengelus-ngelus punggungku
Lantaidua, 2008
Sajak-Sajak S Sopian
http://www.kompas.com/
April
mungkin kau lupa hari ini
di mana kedatanganmu adalah senyum
bagi pohon dan sekawanan binatang rumah
dan mungki kau tak sadar
kelahiranmu adalah celengan dosa
pun gadaian doa
Blanakan, 2008
Kupu-Kupu
ketika aku selesai mencumbu dan menyetubuhimu
kudengar ringisan entah di sela mana
kutebak di sudut bibir rayumu
atau di baju lusuh yang kau pakai?
dan kucoba melihat cermin retak
di mana kau berdandan
membersihkan sperma yang menempel di wajahmu
“ya! aku melihat itu, di matamu.
di matamu ringisan itu merintih!”
kutenggelamkan diri pada cermin retak
dan remang kamarmu
sekarang aku benar-benar melihatnya
dan aku mengerti sebuah jawaban
“di matamu, ringisan itu adalah tangisan seorang ibu
berawal dari cermin yang menjadikanmu kupu-kupu!”
Blanakan, 2008
Aku Harus Pulang
aku harus pulang kemana?
di depan jalan sudah gelap
suara desah lelah angin malam
tak lagi akrab di telingaku
di antara debu dan karat tiang lampu
genang air sehabis hujan kemarin
tak membayang wajahku
“sebenarnya malam apa sekarang?”
tak ada cahaya pun sekedar pendar lilin
malam begitu panjang nampak di dahi
dan gelap begitu gulita terlukis di mataku
dan kudengar lantunan entah apa
setelah ku telusuri dan berjalan jauh sampai ke entah
aku menyadari lukisan ini dalam mimpiku
sepertinya inilah musim yang akan terjadi
setelah waktu berhenti di jantungku
kegelapan dan kesendirian adalah semesta paling setia
untuk aku yang terlahir picik
Blanakan, 2008
Afdoreisme
(1)
sebelum waktu
benar-benar berhenti di jantungku
dan layak menjadi kaku
aku berharap kau membuka pintu rumahmu
(2)
kini malam hampir habis ditelan sunyi
sebelum aku mengetuk pintumu
aku akan pergi sembunyi-sembunyi
mencoba mencuri rindumu
yang kau sembunyikan untukku
(3)
dan akan kubawakan kembang
bagi pertemuan kita
di rumahmu
Blanakan, 2008
Aku Tak Ingin Kau Menjadi Air Mataku
aku tak ingin kau menjadi air mataku
seperti luka yang kau tanam di dadaku diam-diam
suatu nanti entah kapan
aku bisa seperti penyair mati
---kehilangan kata-kata
jika suatu nanti entah kapan
kau mengucap selamat tinggal
biarkanlah luka itu menganga, sayang
dan menjadi catatan paling indah
aku tak ingin kau menjadi air mataku
janganlah sekali-kali mengucap selamat tinggal
sebab kau adalah ibu dari sajak-sajakku
Blanakan, 2008
Aku Masih Menunggumu Di Sudut Partere
aku masih menunggumu di sudut partere
dengan hati gamang dan karangan kembang
untuk kutanam di jari manismu
“melihatmu datang
adalah melihat kerinduan”
namum, bagaimana aku melihat rindu
sampai sekarang kau tak pernah datang
tapi kulihat siang kemarin
kau melintas di antara rerumputan
entah kau pura-pura atau benar-benar tak mau melihatku
atau mungkin untuk cinta yang lain.
tiba-tiba langit yang menghamparkan panorama
dipecahnya oleh bocah-bocah
yang sedang belajar meletuskan pistol
hingga satu-persatu kembang itu pun letai
dengan hati gamang aku tetap yakin
suatu hari, entah kapan, kau pun datang menemuiku
meranumkan kembali kembang telah letai
untuk kau tanam sendiri di jari manismu
Blanakan, 2008
Aku Tergoda Celanamu
:Jokpin
aku tergoda celanamu
banyak gambar warna
dan kembang-kembang segar
om, susahkah mendapatkannya
kutelusuri jalanan pasar kota kembang
di tukang loak dan pasar murah
kok tak pernah ada yang menjual?
atau hanya kau yang menjual celana itu
dan kapan kau mati
agar cenamu bisa aku pakai?
Blanakan, 2008
Aku Mencoba Menemukan Wajahmu
aku mencoba menemukan wajahmu
di sisa-sisa penghabisan ini
mungkinkah aku layak bermimpi di kelopak matamu
sebab perjalanan telah menemukan
kubur terakhir bagi para kelana
jika ini hari adalah waktu penutup kelahiran
aku berharap hatimu yang menjadi reinkarnasiku
di barat di mana aku diam
angin telah memendar air mata pada cahaya remang
mencoba menggambarkan rindu-rinduku
entah harus kelana kemana aku
untuk sekedar menemukan bayang
atau siluet rupamu
pada tepian, pada gugur hujan
sampai kubur yang akan menyusuiku telah kucari.
tapi kau selalu sembunyi
dan pura-pura lelah telah mengikut jalur waktu
baiklah di rumahmu
kan kugambarkan warna rinduku
agar benar-benar tahu
di kelanaku kau adalah tujuannya
Blanakan, 2008
Kepada Aktifis
dengan hati biru
aku rindu benar tentangmu
kau pergi tanpa surat dan kata di atas meja
kemana jejakmu melangkah
meninggalkan cinta
dan mimpi yang pernah kita dongengkan
aku tak bisa diam sendiri di sini
melihat penjarahan terus mencuri air mataku
“kau yang pulang
adalah kau yang mengerti rinduku”*
pulanglah dan lihatlah pelataran rumah kita
sudah semacam renta tinggal ajal
selamatkan aku, ibu, dan adik-adikmu
Blanakan, 2008
*pinjam dari larik sajak Nenden Lilis A
Akhirnya Aku Sampai Di Tanah Ibu
akhirnya aku sampai di tanah ibu
tapi, tak kurasakan desah wangi ranting tua
di mana aku pernah belajar tentang sakit
dan apa kabar sawah yang sakit
masihkah sampai ini mengenduskan nafasnya
bersama kaki-kaki bocah lincah
menerbangkan layang-layang kala panen?
hari ini aku datang semua lengang
tak ada angin sejuk menjemput
hanya gersang menyelimut jalan
kemana mereka sahabat kecilku
jauh pandang
pabrik-pabrik tegak seakan merekalah lebih baik
padahal kulihat tak ada sopan santun dan tenggang rasa
Mak, aku rindu musim lalu
di mana rerumputan, ranting, sawah, dan layang-layang
selalu mengajarkan keakraban dan sopan santun
pada orang datang
pun bocah-bocah di antara aku
Blanakan, 2008
April
mungkin kau lupa hari ini
di mana kedatanganmu adalah senyum
bagi pohon dan sekawanan binatang rumah
dan mungki kau tak sadar
kelahiranmu adalah celengan dosa
pun gadaian doa
Blanakan, 2008
Kupu-Kupu
ketika aku selesai mencumbu dan menyetubuhimu
kudengar ringisan entah di sela mana
kutebak di sudut bibir rayumu
atau di baju lusuh yang kau pakai?
dan kucoba melihat cermin retak
di mana kau berdandan
membersihkan sperma yang menempel di wajahmu
“ya! aku melihat itu, di matamu.
di matamu ringisan itu merintih!”
kutenggelamkan diri pada cermin retak
dan remang kamarmu
sekarang aku benar-benar melihatnya
dan aku mengerti sebuah jawaban
“di matamu, ringisan itu adalah tangisan seorang ibu
berawal dari cermin yang menjadikanmu kupu-kupu!”
Blanakan, 2008
Aku Harus Pulang
aku harus pulang kemana?
di depan jalan sudah gelap
suara desah lelah angin malam
tak lagi akrab di telingaku
di antara debu dan karat tiang lampu
genang air sehabis hujan kemarin
tak membayang wajahku
“sebenarnya malam apa sekarang?”
tak ada cahaya pun sekedar pendar lilin
malam begitu panjang nampak di dahi
dan gelap begitu gulita terlukis di mataku
dan kudengar lantunan entah apa
setelah ku telusuri dan berjalan jauh sampai ke entah
aku menyadari lukisan ini dalam mimpiku
sepertinya inilah musim yang akan terjadi
setelah waktu berhenti di jantungku
kegelapan dan kesendirian adalah semesta paling setia
untuk aku yang terlahir picik
Blanakan, 2008
Afdoreisme
(1)
sebelum waktu
benar-benar berhenti di jantungku
dan layak menjadi kaku
aku berharap kau membuka pintu rumahmu
(2)
kini malam hampir habis ditelan sunyi
sebelum aku mengetuk pintumu
aku akan pergi sembunyi-sembunyi
mencoba mencuri rindumu
yang kau sembunyikan untukku
(3)
dan akan kubawakan kembang
bagi pertemuan kita
di rumahmu
Blanakan, 2008
Aku Tak Ingin Kau Menjadi Air Mataku
aku tak ingin kau menjadi air mataku
seperti luka yang kau tanam di dadaku diam-diam
suatu nanti entah kapan
aku bisa seperti penyair mati
---kehilangan kata-kata
jika suatu nanti entah kapan
kau mengucap selamat tinggal
biarkanlah luka itu menganga, sayang
dan menjadi catatan paling indah
aku tak ingin kau menjadi air mataku
janganlah sekali-kali mengucap selamat tinggal
sebab kau adalah ibu dari sajak-sajakku
Blanakan, 2008
Aku Masih Menunggumu Di Sudut Partere
aku masih menunggumu di sudut partere
dengan hati gamang dan karangan kembang
untuk kutanam di jari manismu
“melihatmu datang
adalah melihat kerinduan”
namum, bagaimana aku melihat rindu
sampai sekarang kau tak pernah datang
tapi kulihat siang kemarin
kau melintas di antara rerumputan
entah kau pura-pura atau benar-benar tak mau melihatku
atau mungkin untuk cinta yang lain.
tiba-tiba langit yang menghamparkan panorama
dipecahnya oleh bocah-bocah
yang sedang belajar meletuskan pistol
hingga satu-persatu kembang itu pun letai
dengan hati gamang aku tetap yakin
suatu hari, entah kapan, kau pun datang menemuiku
meranumkan kembali kembang telah letai
untuk kau tanam sendiri di jari manismu
Blanakan, 2008
Aku Tergoda Celanamu
:Jokpin
aku tergoda celanamu
banyak gambar warna
dan kembang-kembang segar
om, susahkah mendapatkannya
kutelusuri jalanan pasar kota kembang
di tukang loak dan pasar murah
kok tak pernah ada yang menjual?
atau hanya kau yang menjual celana itu
dan kapan kau mati
agar cenamu bisa aku pakai?
Blanakan, 2008
Aku Mencoba Menemukan Wajahmu
aku mencoba menemukan wajahmu
di sisa-sisa penghabisan ini
mungkinkah aku layak bermimpi di kelopak matamu
sebab perjalanan telah menemukan
kubur terakhir bagi para kelana
jika ini hari adalah waktu penutup kelahiran
aku berharap hatimu yang menjadi reinkarnasiku
di barat di mana aku diam
angin telah memendar air mata pada cahaya remang
mencoba menggambarkan rindu-rinduku
entah harus kelana kemana aku
untuk sekedar menemukan bayang
atau siluet rupamu
pada tepian, pada gugur hujan
sampai kubur yang akan menyusuiku telah kucari.
tapi kau selalu sembunyi
dan pura-pura lelah telah mengikut jalur waktu
baiklah di rumahmu
kan kugambarkan warna rinduku
agar benar-benar tahu
di kelanaku kau adalah tujuannya
Blanakan, 2008
Kepada Aktifis
dengan hati biru
aku rindu benar tentangmu
kau pergi tanpa surat dan kata di atas meja
kemana jejakmu melangkah
meninggalkan cinta
dan mimpi yang pernah kita dongengkan
aku tak bisa diam sendiri di sini
melihat penjarahan terus mencuri air mataku
“kau yang pulang
adalah kau yang mengerti rinduku”*
pulanglah dan lihatlah pelataran rumah kita
sudah semacam renta tinggal ajal
selamatkan aku, ibu, dan adik-adikmu
Blanakan, 2008
*pinjam dari larik sajak Nenden Lilis A
Akhirnya Aku Sampai Di Tanah Ibu
akhirnya aku sampai di tanah ibu
tapi, tak kurasakan desah wangi ranting tua
di mana aku pernah belajar tentang sakit
dan apa kabar sawah yang sakit
masihkah sampai ini mengenduskan nafasnya
bersama kaki-kaki bocah lincah
menerbangkan layang-layang kala panen?
hari ini aku datang semua lengang
tak ada angin sejuk menjemput
hanya gersang menyelimut jalan
kemana mereka sahabat kecilku
jauh pandang
pabrik-pabrik tegak seakan merekalah lebih baik
padahal kulihat tak ada sopan santun dan tenggang rasa
Mak, aku rindu musim lalu
di mana rerumputan, ranting, sawah, dan layang-layang
selalu mengajarkan keakraban dan sopan santun
pada orang datang
pun bocah-bocah di antara aku
Blanakan, 2008
27/02/09
Sajak-Sajak Acep Zamzam Noor
http://cetak.kompas.com/
Lagu Kasmaran
1
Bertahun-tahun aku menyusuri jejakmu. Pergi ke segala penjuru
Mengikuti setiap arah mata angin, menembus ruang, memotong waktu:
Aku mencatat banyak tempat tapi bukan alamatmu, menghapal banyak
Hurup tapi bukan namamu, mengingat banyak wajah tapi bukan parasmu
Menyentuh banyak rambut tapi bukan rambut ikalmu, mendengar banyak
Suara tapi bukan nyanyianmu dan mencium banyak wewangian, sayangku
Tapi bukan napasmu. Aku mendatangi dermaga-dermaga, mengunjungi
Agen-agen tenaga kerja, ladang-ladang kelapa sawit serta kilang-kilang
Minyak. Aku mencarimu ke hotel-hotel, ke panti-panti pijat, ke sal-sal
Rumah sakit. Aku kembali ke selatan, ke riuh pasar dan bising terminal
Menonton organ tunggal di balai desa, berkaraoke di lapangan sepak bola
Numpang joget sampai pagi. “Mabuk lagi ah ah ah...” suara penyanyi itu
Mirip suaramu, goyang pinggul penyanyi itu mirip goyanganmu
2
Aku kasmaran membayangkan jarak dan rindu. Lalu diam-diam
Melangkah ke barat, mendaki bukit, menuruni lembah, melintasi
Jalan setapak. Berteriak pada laut yang lengang, menggugat ombak
Yang mendadak lunak. Telah kulepaskan semua mahkota, cintaku
Kutinggalkan kedudukan dan kubuang keyakinan yang masih tersimpan
Di balik baju. Kulupakan langgar dan katedral, sembahyang di altar diskotik
Makan di partai politik, mabuk di organisasi terlarang serta muntah darah
Di instansi pemerintah. Suaramu di mana-mana, foto bugilmu tersebar
Ke mana-mana dan senyum nakalmu menghiasi bibir para pengacara
Kudengar desahanmu di rapat wakil rakyat yang lucu, di sidang kabinet
Yang selalu ragu. Eranganmu menjelma gempa bumi, menjelma
Semburan lumpur panas, menjelma angin puting beliung yang ganas
Lalu pesawat-pesawat berjatuhan, kereta api-kereta api bertabrakan
3
Aku berjalan tanpa bicara. Berlari dari tenggara ke utara
Ke ujung jazirah paling renta. Aku berziarah ke makam raja-raja
Siapa tahu nama Arabmu terpahat indah di salah satu batu nisannya
Aku memasuki stadion, siapa tahu wajah Acehmu terpampang megah
Di dinding-dindingnya. Aku ambil radio, siapa tahu cengkok Sundamu
Masih mengalun merdu. Aku pergi ke sungai, siapa tahu tubuh cokelatmu
Tengah dicuci. Aku sembunyi di hutan ganja, semadi di gudang ekstasi
Sambil berharap sekali waktu dapat melihat alis mata Frida Kahlomu
Lebih dekat. ”Mabuk lagi ah ah ah...” sayup-sayup lagu kebangsaanmu
Dinyanyikan para gerilyawan. Kemudian terdengar serentetan tembakan
Sejumlah dentuman. Ah, kenapa masih menuntut setoran, pujaanku
Bukankah tahu sebagai penyair penghasilanku tak menentu? Kenapa
Terus minta dikirimi pulsa padahal kau sudah aman dipelihara tentara?
4
Aku kasmaran mengingat goyanganmu. Aku tak bisa menyanyi
Tapi sanggup joget tanpa henti. Telah kujelajahi warung-warung kopi
Kusatroni tenda-tenda pengungsi, main remi atau membacakan puisi
Bersama relawan kureguk segala bantuan, bersama pejuang kutenggak
Semua sumbangan. Kau sedang apa, biduanku? Suaramu terbawa angin
Nyanyianmu hanyut bersama tembok dan genting, mengalir diseret banjir
Mengendap di bumi dan menguap kembali. Kini syair-syair dangdutmu
Semakin merajalela. Aku terkesima, namamu diabadikan jalan-jalan raya
Dibahas lembaga-lembaga penjual bencana, dikaji komite-komite penjaja
Kemiskinan negara. Lalu dengan bahasa tubuh kauajari mereka demokrasi
Kauceramahi mereka kebebasan berekspresi serta kaukuliahi mereka
Apa itu hak asasi. Kulihat matamu nanar, dadamu bergetar, pinggulmu
Berkobar dan kekhusyukanmu total, wahai panutanku yang sintal
5
Bertahun-tahun aku merasa kehilangan. Sejak kau pergi subuh itu
Sejak kereta membawamu ke Jakarta, sejak Lion Air menerbangkanmu
Dari Cengkareng ke ujung Sumatera, sejak gempa dan gelombang pasang
Menghancurkan semuanya. Aku pun merasa telah kehilangan semuanya
Kehilangan segalanya. Dan mulailah aku mencatat nama-nama ganjil
Yang bukan lagi namamu, melukis wajah-wajah kasar yang bukan lagi
Wajahmu, menyentuh rambut-rambut kusut yang bukan lagi rambutmu
Mendengar suara-suara gombal yang bukan lagi suaramu dan mencium
Napas-napas busuk yang bukan lagi napasmu. Mulailah aku menapaki
Jejak-jejak samar yang bukan lagi jejakmu, membaca tulisan-tulisan kabur
Yang bukan lagi tulisanmu. Mulailah aku meniduri ranjang-ranjang dingin
Yang bukan lagi ranjangmu, malam-malam sepi yang bukan lagi malammu
Tahun-tahun panjang yang bukan lagi tahunmu. ”Mabuk lagi ah ah ah...”
6
Aku teringat sebuah gubuk bambu, di mana kita makan sepiring berdua
Di mana kita tidur setikar bersama, dengan baju satu kering di badan
Terkenang ketika kita jatuh bangun, ketika harus memilih sakit gigi
Ketimbang sakit hati. Terbayang juga sewaktu berkelana, sewaktu
Begadang di pos ronda, sewaktu penasaran ingin menaklukkan ibukota
Dengan gitar tua. Sebuah majalah hiburan kemudian menobatkan kita
Sebagai pasangan termiskin di dunia. Kau berada di mana, pemimpinku?
Gardu-gardu dibangun di setiap perempatan jalan, milisi-milisi muncul
Dari setiap perkampungan. Kini semua orang berebut menjadi lurah
Bupati, gubernur atau presiden. Semua orang berlomba menjadi nomer satu
Tolong tunjukkanlah pada mereka bagaimana menjadi seorang guru bangsa:
Angkat tanganmu, kibarkan bulu ketiakmu, ngangakan sedikit mulutmu
Guncangkan pelan bahumu dan putarkan patah-patah selangkanganmu
Lima Puisi tentang Sepi
1
Ketika bertemu aku tidak langsung memeluknya tapi membiarkan
Rindu berjalan-jalan dulu di antara dengung kulkas dan detak jam
Aku tidak segera menciumnya tapi mempersilakan sisa ingatan
Mengembara dalam keheningan ruang yang lama tidak kami huni
Aku memandangnya lekat-lekat sebagaimana dia memandangku
Tanpa mengedipkan mata. Aku berdiri saja seperti halnya dia
Mematung tanpa suara. Tiga tahun memang bukan waktu yang lama
Rambutnya masih ikal dan alisnya tebal. Dulu aku menyayanginya
Tapi banyak hal terjadi di muka bumi. Aku memalingkan wajah
Karena tak tahan melihat butiran air yang bergulir di pipinya
2
Jam di dinding berdetak nyaring ketika aku duduk dekat jendela
Menulis puisi bukanlah pekerjaan gampang jika perasaan dan pikiran
Disayat-sayat sepi. Sambil terpejam aku menelungkup di atas meja
Betapa mengerikan mendengar dengung yang terus berulang-ulang
Dari arah kulkas. Betapa menakutkan bertarung melawan kesendirian
Yang banyak sekali pasukannya. Nampak masih ada ranjang, kelambu
Yang sudah menguning, kasur yang dingin, bantal serta guling
Juga sulaman yang tergantung miring. Ah, menulis puisi bukanlah
Pekerjaan mudah jika celanaku dan kutangnya masih berserak di lantai
Jika detak jam dan dengung kulkas seperti maut yang mengintai
3
Setelah dia pergi lama aku tidak bisa menulis puisi, lama juga
Tidak menerima kabar apa-apa. Ketika ada teman menghadiahkan
Cemara udang mungil pada ulangtahunku, aku langsung jatuh cinta
“Akan kurawat bonsai ini seperti merawat kenangan,” seruku girang
Hanya dalam tiga bulan aku sudah mengoleksi ratusan jenis pohon
Dari berbagai spesies. Kegemaranku yang aneh ini ternyata upaya lain
Melawan sepi. Pagi dan sore aku menyiram tanah, memangkas daun
Memotong ranting yang liar atau membalut batang dengan kawat
Seminggu tiga kali aku berburu pohon baru layaknya penyair
Mengejar kata-kata. Menyusuri pinggiran sungai dan tebing pantai
4
Ketika kami bertemu kembali aku tidak langsung menyapanya
Tapi menarik napas agar dadaku ringan. Aku menarik napas panjang
Sambil membuang kalimat-kalimat yang sudah lama kupersiapkan
Dan ingin menggantinya dengan haiku. Kucari tujuh belas suku kata
Tapi yang muncul empat puluh lima sehingga kalimatku yang nyinyir itu
Kembali memenuhi kepala. Akhirnya aku hanya diam dan tersenyum
Begitu juga dia, hanya diam dan tersenyum tanpa sedikit pun bicara
Tiga tahun bukanlah waktu yang lama meski telah membuat kami
Asing satu sama lain. Dulu aku selalu merindukan kehadirannya
Tapi banyak hal terjadi di muka bumi. Aku ingin menulis puisi lagi
5
Tak ada lagu yang terdengar selain detak jam dan dengung kulkas
Yang ditingkah bunyi cengkerik dan kodok di sawah. Aku masih duduk
Kutegakkan wajahku ke langit-langit dan kuketuk-ketukkan jemariku
Pada permukaan meja. Ada cecak merayap dan banyak laron terbang
Di sekitar lampu. Bunyi kayu dari ketukan jemariku terdengar satu-satu
Seperti napas serdadu di bawah tiang gantungan, seperti tetes-tetes sunyi
Dari mulut keran yang bocor di bak mandi. Tak ada kretek atau cerutu
Tak ada kopi apalagi alkohol. Kembali aku menelungkup di atas meja
Menulis puisi bukanlah pekerjaan sederhana jika kesewenang-wenangan
Terus merajalela. Jika kekuasaan tidak bisa dilawan dengan kata-kata
Sajak Seorang Pengungsi
Buat Frans Nadjira
Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun
Di jantungku gedung-gedung yang tinggi telah kukaramkan
Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku
Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat
Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Dalam mabuk
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini
Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan pedang terhunus
Kemudian melempari para pejabatnya yang suka nampang
Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah bendera
Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun
Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan
Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan kini memaksaku
Menjadi serdadu. Kembali aku mengembara dalam kesamaran
Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak
Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:
Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh
Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi
Lagu Kasmaran
1
Bertahun-tahun aku menyusuri jejakmu. Pergi ke segala penjuru
Mengikuti setiap arah mata angin, menembus ruang, memotong waktu:
Aku mencatat banyak tempat tapi bukan alamatmu, menghapal banyak
Hurup tapi bukan namamu, mengingat banyak wajah tapi bukan parasmu
Menyentuh banyak rambut tapi bukan rambut ikalmu, mendengar banyak
Suara tapi bukan nyanyianmu dan mencium banyak wewangian, sayangku
Tapi bukan napasmu. Aku mendatangi dermaga-dermaga, mengunjungi
Agen-agen tenaga kerja, ladang-ladang kelapa sawit serta kilang-kilang
Minyak. Aku mencarimu ke hotel-hotel, ke panti-panti pijat, ke sal-sal
Rumah sakit. Aku kembali ke selatan, ke riuh pasar dan bising terminal
Menonton organ tunggal di balai desa, berkaraoke di lapangan sepak bola
Numpang joget sampai pagi. “Mabuk lagi ah ah ah...” suara penyanyi itu
Mirip suaramu, goyang pinggul penyanyi itu mirip goyanganmu
2
Aku kasmaran membayangkan jarak dan rindu. Lalu diam-diam
Melangkah ke barat, mendaki bukit, menuruni lembah, melintasi
Jalan setapak. Berteriak pada laut yang lengang, menggugat ombak
Yang mendadak lunak. Telah kulepaskan semua mahkota, cintaku
Kutinggalkan kedudukan dan kubuang keyakinan yang masih tersimpan
Di balik baju. Kulupakan langgar dan katedral, sembahyang di altar diskotik
Makan di partai politik, mabuk di organisasi terlarang serta muntah darah
Di instansi pemerintah. Suaramu di mana-mana, foto bugilmu tersebar
Ke mana-mana dan senyum nakalmu menghiasi bibir para pengacara
Kudengar desahanmu di rapat wakil rakyat yang lucu, di sidang kabinet
Yang selalu ragu. Eranganmu menjelma gempa bumi, menjelma
Semburan lumpur panas, menjelma angin puting beliung yang ganas
Lalu pesawat-pesawat berjatuhan, kereta api-kereta api bertabrakan
3
Aku berjalan tanpa bicara. Berlari dari tenggara ke utara
Ke ujung jazirah paling renta. Aku berziarah ke makam raja-raja
Siapa tahu nama Arabmu terpahat indah di salah satu batu nisannya
Aku memasuki stadion, siapa tahu wajah Acehmu terpampang megah
Di dinding-dindingnya. Aku ambil radio, siapa tahu cengkok Sundamu
Masih mengalun merdu. Aku pergi ke sungai, siapa tahu tubuh cokelatmu
Tengah dicuci. Aku sembunyi di hutan ganja, semadi di gudang ekstasi
Sambil berharap sekali waktu dapat melihat alis mata Frida Kahlomu
Lebih dekat. ”Mabuk lagi ah ah ah...” sayup-sayup lagu kebangsaanmu
Dinyanyikan para gerilyawan. Kemudian terdengar serentetan tembakan
Sejumlah dentuman. Ah, kenapa masih menuntut setoran, pujaanku
Bukankah tahu sebagai penyair penghasilanku tak menentu? Kenapa
Terus minta dikirimi pulsa padahal kau sudah aman dipelihara tentara?
4
Aku kasmaran mengingat goyanganmu. Aku tak bisa menyanyi
Tapi sanggup joget tanpa henti. Telah kujelajahi warung-warung kopi
Kusatroni tenda-tenda pengungsi, main remi atau membacakan puisi
Bersama relawan kureguk segala bantuan, bersama pejuang kutenggak
Semua sumbangan. Kau sedang apa, biduanku? Suaramu terbawa angin
Nyanyianmu hanyut bersama tembok dan genting, mengalir diseret banjir
Mengendap di bumi dan menguap kembali. Kini syair-syair dangdutmu
Semakin merajalela. Aku terkesima, namamu diabadikan jalan-jalan raya
Dibahas lembaga-lembaga penjual bencana, dikaji komite-komite penjaja
Kemiskinan negara. Lalu dengan bahasa tubuh kauajari mereka demokrasi
Kauceramahi mereka kebebasan berekspresi serta kaukuliahi mereka
Apa itu hak asasi. Kulihat matamu nanar, dadamu bergetar, pinggulmu
Berkobar dan kekhusyukanmu total, wahai panutanku yang sintal
5
Bertahun-tahun aku merasa kehilangan. Sejak kau pergi subuh itu
Sejak kereta membawamu ke Jakarta, sejak Lion Air menerbangkanmu
Dari Cengkareng ke ujung Sumatera, sejak gempa dan gelombang pasang
Menghancurkan semuanya. Aku pun merasa telah kehilangan semuanya
Kehilangan segalanya. Dan mulailah aku mencatat nama-nama ganjil
Yang bukan lagi namamu, melukis wajah-wajah kasar yang bukan lagi
Wajahmu, menyentuh rambut-rambut kusut yang bukan lagi rambutmu
Mendengar suara-suara gombal yang bukan lagi suaramu dan mencium
Napas-napas busuk yang bukan lagi napasmu. Mulailah aku menapaki
Jejak-jejak samar yang bukan lagi jejakmu, membaca tulisan-tulisan kabur
Yang bukan lagi tulisanmu. Mulailah aku meniduri ranjang-ranjang dingin
Yang bukan lagi ranjangmu, malam-malam sepi yang bukan lagi malammu
Tahun-tahun panjang yang bukan lagi tahunmu. ”Mabuk lagi ah ah ah...”
6
Aku teringat sebuah gubuk bambu, di mana kita makan sepiring berdua
Di mana kita tidur setikar bersama, dengan baju satu kering di badan
Terkenang ketika kita jatuh bangun, ketika harus memilih sakit gigi
Ketimbang sakit hati. Terbayang juga sewaktu berkelana, sewaktu
Begadang di pos ronda, sewaktu penasaran ingin menaklukkan ibukota
Dengan gitar tua. Sebuah majalah hiburan kemudian menobatkan kita
Sebagai pasangan termiskin di dunia. Kau berada di mana, pemimpinku?
Gardu-gardu dibangun di setiap perempatan jalan, milisi-milisi muncul
Dari setiap perkampungan. Kini semua orang berebut menjadi lurah
Bupati, gubernur atau presiden. Semua orang berlomba menjadi nomer satu
Tolong tunjukkanlah pada mereka bagaimana menjadi seorang guru bangsa:
Angkat tanganmu, kibarkan bulu ketiakmu, ngangakan sedikit mulutmu
Guncangkan pelan bahumu dan putarkan patah-patah selangkanganmu
Lima Puisi tentang Sepi
1
Ketika bertemu aku tidak langsung memeluknya tapi membiarkan
Rindu berjalan-jalan dulu di antara dengung kulkas dan detak jam
Aku tidak segera menciumnya tapi mempersilakan sisa ingatan
Mengembara dalam keheningan ruang yang lama tidak kami huni
Aku memandangnya lekat-lekat sebagaimana dia memandangku
Tanpa mengedipkan mata. Aku berdiri saja seperti halnya dia
Mematung tanpa suara. Tiga tahun memang bukan waktu yang lama
Rambutnya masih ikal dan alisnya tebal. Dulu aku menyayanginya
Tapi banyak hal terjadi di muka bumi. Aku memalingkan wajah
Karena tak tahan melihat butiran air yang bergulir di pipinya
2
Jam di dinding berdetak nyaring ketika aku duduk dekat jendela
Menulis puisi bukanlah pekerjaan gampang jika perasaan dan pikiran
Disayat-sayat sepi. Sambil terpejam aku menelungkup di atas meja
Betapa mengerikan mendengar dengung yang terus berulang-ulang
Dari arah kulkas. Betapa menakutkan bertarung melawan kesendirian
Yang banyak sekali pasukannya. Nampak masih ada ranjang, kelambu
Yang sudah menguning, kasur yang dingin, bantal serta guling
Juga sulaman yang tergantung miring. Ah, menulis puisi bukanlah
Pekerjaan mudah jika celanaku dan kutangnya masih berserak di lantai
Jika detak jam dan dengung kulkas seperti maut yang mengintai
3
Setelah dia pergi lama aku tidak bisa menulis puisi, lama juga
Tidak menerima kabar apa-apa. Ketika ada teman menghadiahkan
Cemara udang mungil pada ulangtahunku, aku langsung jatuh cinta
“Akan kurawat bonsai ini seperti merawat kenangan,” seruku girang
Hanya dalam tiga bulan aku sudah mengoleksi ratusan jenis pohon
Dari berbagai spesies. Kegemaranku yang aneh ini ternyata upaya lain
Melawan sepi. Pagi dan sore aku menyiram tanah, memangkas daun
Memotong ranting yang liar atau membalut batang dengan kawat
Seminggu tiga kali aku berburu pohon baru layaknya penyair
Mengejar kata-kata. Menyusuri pinggiran sungai dan tebing pantai
4
Ketika kami bertemu kembali aku tidak langsung menyapanya
Tapi menarik napas agar dadaku ringan. Aku menarik napas panjang
Sambil membuang kalimat-kalimat yang sudah lama kupersiapkan
Dan ingin menggantinya dengan haiku. Kucari tujuh belas suku kata
Tapi yang muncul empat puluh lima sehingga kalimatku yang nyinyir itu
Kembali memenuhi kepala. Akhirnya aku hanya diam dan tersenyum
Begitu juga dia, hanya diam dan tersenyum tanpa sedikit pun bicara
Tiga tahun bukanlah waktu yang lama meski telah membuat kami
Asing satu sama lain. Dulu aku selalu merindukan kehadirannya
Tapi banyak hal terjadi di muka bumi. Aku ingin menulis puisi lagi
5
Tak ada lagu yang terdengar selain detak jam dan dengung kulkas
Yang ditingkah bunyi cengkerik dan kodok di sawah. Aku masih duduk
Kutegakkan wajahku ke langit-langit dan kuketuk-ketukkan jemariku
Pada permukaan meja. Ada cecak merayap dan banyak laron terbang
Di sekitar lampu. Bunyi kayu dari ketukan jemariku terdengar satu-satu
Seperti napas serdadu di bawah tiang gantungan, seperti tetes-tetes sunyi
Dari mulut keran yang bocor di bak mandi. Tak ada kretek atau cerutu
Tak ada kopi apalagi alkohol. Kembali aku menelungkup di atas meja
Menulis puisi bukanlah pekerjaan sederhana jika kesewenang-wenangan
Terus merajalela. Jika kekuasaan tidak bisa dilawan dengan kata-kata
Sajak Seorang Pengungsi
Buat Frans Nadjira
Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun
Di jantungku gedung-gedung yang tinggi telah kukaramkan
Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku
Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat
Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Dalam mabuk
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini
Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan pedang terhunus
Kemudian melempari para pejabatnya yang suka nampang
Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah bendera
Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun
Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan
Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan kini memaksaku
Menjadi serdadu. Kembali aku mengembara dalam kesamaran
Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak
Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:
Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh
Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi
09/02/09
Sajak-Sajak Abidah el Khalieqy
http://www.infoanda.com/
KIDUNG SIMALAKAMA
Aku berdiri di bawah khuldi
saat senja menyamar
seperti iblis tanpa diundang
berbilah racun bersarung pedang
menusuk lambungku
di langit terang
Aku berdiri menangkar sunyi bumi
sendiri
menerbangi titik niskala
menyusupkan jiwa
ke puncak tahta
cahaya Cinta
Tak ada waktu membayang
merekah dan mengaku kalah
jengkal tanah selalu begitu
menghisap semua bunga
sekaligus putiknya
Hawa menembang lagu merdu
serupa kidung simalakama
2003
INTA WAHDAH
(Dikau Saja)
Hausku bukan Iqlima memeluk Qabil
bukan pula Cleopatra
Aphrodite atau Zulaikha
Cukup sudah cinta!
Tak usai Hawa ngembara
menyelami airmata
pohon apa bakal tumbuh
jika Layla abadi koma
di barak kumuh dan luka
Wahai Majnun di puncak resah!
Sudah kuhafal kata kata bijak
huruf batu dari kaum botak
namun kosa kata cinta
baru ketemu kamusnya
saat matamu purnama
dan subuh menderu
memanggil ruh di tubuh
Dikaulah cuma, kidung dadali kuping tuliku
juga ombak yang timbul tenggelam
bagai iman samudra jiwaku
Dan malam menggelombang
karna bintang berjumpaan
di pangkuan kasih dan cinta
mendesirkan sukma
semilir jiwaku
bukan perempuan bukan lelaki
bukan budak atau tuan
jika ingin menakarku
kecuali mummi sedang menimbang
diri sendiri
Burung burung terbang tinggi
menguntai tasbih
langit abadi
rindu rumah di syurga Rabi'ah
asing dan sunyi
2005
KIDUNG SIMALAKAMA
Aku berdiri di bawah khuldi
saat senja menyamar
seperti iblis tanpa diundang
berbilah racun bersarung pedang
menusuk lambungku
di langit terang
Aku berdiri menangkar sunyi bumi
sendiri
menerbangi titik niskala
menyusupkan jiwa
ke puncak tahta
cahaya Cinta
Tak ada waktu membayang
merekah dan mengaku kalah
jengkal tanah selalu begitu
menghisap semua bunga
sekaligus putiknya
Hawa menembang lagu merdu
serupa kidung simalakama
2003
INTA WAHDAH
(Dikau Saja)
Hausku bukan Iqlima memeluk Qabil
bukan pula Cleopatra
Aphrodite atau Zulaikha
Cukup sudah cinta!
Tak usai Hawa ngembara
menyelami airmata
pohon apa bakal tumbuh
jika Layla abadi koma
di barak kumuh dan luka
Wahai Majnun di puncak resah!
Sudah kuhafal kata kata bijak
huruf batu dari kaum botak
namun kosa kata cinta
baru ketemu kamusnya
saat matamu purnama
dan subuh menderu
memanggil ruh di tubuh
Dikaulah cuma, kidung dadali kuping tuliku
juga ombak yang timbul tenggelam
bagai iman samudra jiwaku
Dan malam menggelombang
karna bintang berjumpaan
di pangkuan kasih dan cinta
mendesirkan sukma
semilir jiwaku
bukan perempuan bukan lelaki
bukan budak atau tuan
jika ingin menakarku
kecuali mummi sedang menimbang
diri sendiri
Burung burung terbang tinggi
menguntai tasbih
langit abadi
rindu rumah di syurga Rabi'ah
asing dan sunyi
2005
04/02/09
Sajak-Sajak Dina Oktaviani
http://www.infoanda.com/Republika
MIMPI BURUK
maut, aku tak mampu lagi
berlari dalam pengejaran ini
langkahmu membuatku gila
nafasmu menyakitiku
ini sungguh kekanak-kanakan!
di tengah kesunyian antara kau dan aku
pulangkan cinta yang butuh
kembalikan waktu yang lumpuh
dan begitulah kau mengalah
pada usia mudaku
KETIKA IBUMU TAKUT
aku tak bisa meninggalkanmu sekarang
tidurmu mengikat kegelisahanku
dengan matanya yang awas
tak ada siapa-siapa, tak ada lagi waktu
aku tak bisa mengajakmu serta
cuaca demikian buruk di luar sana
dan kau punya mimpimu sendiri
SEMESTAKU
di alam semestaku
kamu dingin
dan gelap adalah tuhan
jika kita bertemu
cinta harus membantuku bernafas
pelan-pelan
cinta
harus membantuku bunuh diri
MY FAVORITE PATH
lorong gelap, lorong impianku
tempat seluruh rasa takut tumbuh bebas
tempat setiap bayangan demikian nyata
di atas hujan yang belum pernah berhenti
sejak kutinggalkan pekarangan
di atas tangis anakku yang belum kering
ketika kututup pintu kamarnya yang jauh
di atas punggungku yang remuk
dan tak ada cukup uang selain pada rencana
di atas mimpiku yang jauh, tinggi, dan ditinggalkan
di atas segalanya, aku seorang seniman
maka kumasuki kamu dari malam ini
LORONG
dalam hidupku
aku akan menangisi bagian ini
ketika datang cinta yang baik
dan masih aku merasa berjalan-jalan
di lorong yang gelap
sendirian
menatap segala ihwal yang muncul di pikiranku
seperti pintu-pintu
yang tak akan menyelamatkanku
dari apa pun
tuhanku, musuh yang paling setia
apakah kau akan menghukumku karena cinta ini atau masa laluku.
Dina Oktaviani lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 11 Oktober 1985. Menulis puisi dan cerpen. Sajak-sajaknya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Lampung Post, Sumatera Post dan BlockNot Poetry Jogjakarta. Juga dalam beberapa antologi bersama. Buku puisinya yang telah terbit adalah Biografi Kehilangan (InsistPress, 2006). Buku cerpennya, Como Un Sueno (Penerbit Orakel, 2005). Saat ini tinggal di Yogyakarta.
MIMPI BURUK
maut, aku tak mampu lagi
berlari dalam pengejaran ini
langkahmu membuatku gila
nafasmu menyakitiku
ini sungguh kekanak-kanakan!
di tengah kesunyian antara kau dan aku
pulangkan cinta yang butuh
kembalikan waktu yang lumpuh
dan begitulah kau mengalah
pada usia mudaku
KETIKA IBUMU TAKUT
aku tak bisa meninggalkanmu sekarang
tidurmu mengikat kegelisahanku
dengan matanya yang awas
tak ada siapa-siapa, tak ada lagi waktu
aku tak bisa mengajakmu serta
cuaca demikian buruk di luar sana
dan kau punya mimpimu sendiri
SEMESTAKU
di alam semestaku
kamu dingin
dan gelap adalah tuhan
jika kita bertemu
cinta harus membantuku bernafas
pelan-pelan
cinta
harus membantuku bunuh diri
MY FAVORITE PATH
lorong gelap, lorong impianku
tempat seluruh rasa takut tumbuh bebas
tempat setiap bayangan demikian nyata
di atas hujan yang belum pernah berhenti
sejak kutinggalkan pekarangan
di atas tangis anakku yang belum kering
ketika kututup pintu kamarnya yang jauh
di atas punggungku yang remuk
dan tak ada cukup uang selain pada rencana
di atas mimpiku yang jauh, tinggi, dan ditinggalkan
di atas segalanya, aku seorang seniman
maka kumasuki kamu dari malam ini
LORONG
dalam hidupku
aku akan menangisi bagian ini
ketika datang cinta yang baik
dan masih aku merasa berjalan-jalan
di lorong yang gelap
sendirian
menatap segala ihwal yang muncul di pikiranku
seperti pintu-pintu
yang tak akan menyelamatkanku
dari apa pun
tuhanku, musuh yang paling setia
apakah kau akan menghukumku karena cinta ini atau masa laluku.
Dina Oktaviani lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 11 Oktober 1985. Menulis puisi dan cerpen. Sajak-sajaknya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Lampung Post, Sumatera Post dan BlockNot Poetry Jogjakarta. Juga dalam beberapa antologi bersama. Buku puisinya yang telah terbit adalah Biografi Kehilangan (InsistPress, 2006). Buku cerpennya, Como Un Sueno (Penerbit Orakel, 2005). Saat ini tinggal di Yogyakarta.
25/01/09
Sajak-Sajak Teguh Ranusastra Asmara
http://sastrakarta.multiply.com/
Siapakah Aku
di antara bunyi yang sepi
kulewati jalan setapak ini
tak kan jejakku berpaling pada kasih pengembara
disini ada setumpuk lengking yang bisik
seperti wajah orang dengan kerut-kerut tuanya
memandang bulan mengaca di telaga
Yogya, Awal April 1969
Jalan yang Putus
katakan bahwa kereta tak akan berhenti lagi
di rel ini yang tua
sinya-sinyal mengangguk tunduk berkarat
dulu kereta selalu lewat
dengan bunyi desah yang mengisi senja hari
termakan muatan, manusia penuh tanda tanya
mana kepala setasiun ?
disini kereta tak mau lagi berhenti
rel kembali membujur, dan setasiun
dimakan beribu-ribu kesepian
Yogya, 1969
Sebuah Ruangan Tua
sudahkan tirai ini kau buka kembali
bau busuk, dan debu menambah
ruangan makin hitam
ramat-ramat adalah lukisan dinding tanpa pigura
semua serba mendekap
mentari pertama yang menyentuh dinding
jamur pada melekat
untuk inikah kau akan memulai
langkah yang baru, jalan lenggang
bukalah tirai lebar-lebar
kalau tak ingin mati dibius kepadatan mimpi
Yogya, 1970
K a l i K u n i n g
masih seperti dulu
bening dan sejuk dari lereng merapi
ketika hasrat dibangkitkan lewat cinta
segalanya mencair, batu jadi api
tinggal abu yang memutihkan cemara
seperti rambutmu terbasuh di kali kuning
di kaki bukit
tertinggal luka dan darah membekukan langkah
yang tak pernah sampai
dan jika angin september tiba
mengantar doa-doa
untuk ditaburkan pada hati
menyimpan sepi, penuh misteri
Yogya, 1981
Masih Tersisa
kueja namamu di balik kalender tua
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim kemarau meninggalkan
ranting-ranting patah, disini tak ada lagi
ringkik kuda sumbawa dalam padang tandus
mari jendela purba dibuka, menerbarkan wangi
di halaman rumah kita
Yogya, 1982
Siapakah Aku
di antara bunyi yang sepi
kulewati jalan setapak ini
tak kan jejakku berpaling pada kasih pengembara
disini ada setumpuk lengking yang bisik
seperti wajah orang dengan kerut-kerut tuanya
memandang bulan mengaca di telaga
Yogya, Awal April 1969
Jalan yang Putus
katakan bahwa kereta tak akan berhenti lagi
di rel ini yang tua
sinya-sinyal mengangguk tunduk berkarat
dulu kereta selalu lewat
dengan bunyi desah yang mengisi senja hari
termakan muatan, manusia penuh tanda tanya
mana kepala setasiun ?
disini kereta tak mau lagi berhenti
rel kembali membujur, dan setasiun
dimakan beribu-ribu kesepian
Yogya, 1969
Sebuah Ruangan Tua
sudahkan tirai ini kau buka kembali
bau busuk, dan debu menambah
ruangan makin hitam
ramat-ramat adalah lukisan dinding tanpa pigura
semua serba mendekap
mentari pertama yang menyentuh dinding
jamur pada melekat
untuk inikah kau akan memulai
langkah yang baru, jalan lenggang
bukalah tirai lebar-lebar
kalau tak ingin mati dibius kepadatan mimpi
Yogya, 1970
K a l i K u n i n g
masih seperti dulu
bening dan sejuk dari lereng merapi
ketika hasrat dibangkitkan lewat cinta
segalanya mencair, batu jadi api
tinggal abu yang memutihkan cemara
seperti rambutmu terbasuh di kali kuning
di kaki bukit
tertinggal luka dan darah membekukan langkah
yang tak pernah sampai
dan jika angin september tiba
mengantar doa-doa
untuk ditaburkan pada hati
menyimpan sepi, penuh misteri
Yogya, 1981
Masih Tersisa
kueja namamu di balik kalender tua
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim kemarau meninggalkan
ranting-ranting patah, disini tak ada lagi
ringkik kuda sumbawa dalam padang tandus
mari jendela purba dibuka, menerbarkan wangi
di halaman rumah kita
Yogya, 1982
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita