Tampilkan postingan dengan label Sajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sajak. Tampilkan semua postingan

27/06/21

Sajak-Sajak Nur Wahida Idris

korantempo.com
 
Rumah
 
kelak bila aku rindu rumah
kelak bila aku rindu rumah mungkin hanya bisa kucium segenggam tanah dari benih pohon pacar yang dikirim ayah

08/02/21

Sajak-Sajak F. Aziz Manna

Jawa Pos, 30 Agu 2020 
 
Lanskap Wabah
 
kami telah sama meyakini, selama ini, batas-batas telah mencair, tapi ketika tulah mewabah dari segala arah, kami dipaksa membangun kembali batas-batas, menutup pintu, mengunci jalan, mengadang segala pertemuan, padahal kami telah sama meyakini, selama ini, batas-batas telah mencair.

29/06/20

HUJAN DI SUKORENO

Wahyu Hidayat *

Masih kukenang dan kuhapal:
sukoreno, alamat dimana
engkau pernah jatuh
dan bayanganmu begitu dekap di dadaku.

19/08/19

Sajak-Sajak Taufiq Wr. Hidayat

Lahir

Aku mengenalnya sejak dalam rahimmu yang gelap.
Dari kedalamannya aku mengintip celah cahaya
Melalui pusarmu yang agung
Kesunyian sedemikian menggetarkan
Mengibarkan warna-warna jagat raya
Menjalani keniscayaan dari ketidakberhinggaan yang hampa

03/09/11

Sajak-Sajak Syifa Aulia

http://sastra-indonesia.com/
SUARA HATI TKW

Raga kami telah kalian
penjara
tapi jiwa kami masih
merdeka

mimpi-mimpi kami
telah kalian gadaikan
tapi semangat kami
masih menyala

suara-suara kami
telah kalian redam
tapi nurani kami akan
terus lantang bicara

bertahun-tahun kalian
pasung kami dalam
rantai nestapa
batin kami menangis lirih
tak berdaya

peluh kami telah luruh
membasahi nurani
berusaha menggapai
mimpi-mimpi yang tak terbeli

kami memang tak seberani
MARSINAH yang rela
menukar nyawanya
demi tegaknya keadilan

bukan pula R.A. KARTINI
yang terkenal dengan
“habis gelap terbitlah terang”

kami hanya kaum BMI
di sini tuk sekedar
menyuarakan isi hati

(SA & AW)
Kennedy Town 02-09-2010
BMI (Buruh Migran Indonesia)



MUTIARA JALANAN

Mata yang telaga itu
kini telah di buramkan
debu-debu zaman

kaki yang tak beralas pun
melepuh oleh panasnya aspal jalanan
terseok menuju tiap perempatan lampu merah

diayunkan benda
di tangannya yang mengeluarkan irama
kenestapaan
ada tatapan jijik
dari balik kaca sepion keangkuhan

bibirmu tak lelah
menyanyikan kidung
agung yang memekakkan telinga
si sombong
demi cacing dalam
perut yang terus menuntut haknya

sampai di tikungan nasib
tubuhmu menggelepar
terkapar karena lapar
yang tak lagi tertanggungkan

31-08-2010



PAGI

Fajar datang
langit mempersiapkan
pagi

bintang, embun, kantuk
mimpi, harapan rindu
risau yang tak dapat
lagi ditidurkan

inginku
menyaksikan terbentuknya embun
di pepucuk daun

memaknai fajar melalui jejak gemintang
di ringkas pada
manik-manik jernih

langit sesudah fajar
kembali berbau manusia
heningnya pecah oleh
sejumlah suara
tak tentu asal dan tuju

suara yang hening
sendiri
yang berhenti jadi hening

bertenggerlah kuning emas pertama
di langit timur

semua yang ada
sekejap peroleh bingkai
dan bentuk yang
makin tetap
cahaya makin tetap

Matahari terbit

21-08-2010



Ketidakpercayaan Padaku

Aku percaya padanya
bahkan saat
dia tak berkabar padaku

aku tak menghubunginya
karena aku percaya padanya

terlalunya aku percaya
sampai tak tega hati
mengganggunya

sekali lagi karena aku percaya padanya
aku redam kelebat ketidakyakinanku atasnya

tapi dalam percayaku timbul tanya dalam hati
sungguhkah aku betul-betul percaya padanya?

Ah rasanya tidak

22 Agustus 2010

30/08/11

Di balik tembok angkuh KJRI

Syifa Aulia
http://sastra-indonesia.com/

Berpuluh tahun gedung itu berdiri
tetap angkuh tak tersentuh
hingga kini
berkali-kali penguasa berganti
tak ada perubahan yang berarti
sebab tuhan telah bersarang
di kepala para petinggi

segala janji manis terpapar
selaksa cahaya memendar
lalu pudar

suara-suara telah terbiasa diacuhkan
padahal kami semua perempuan
datang tak berpedang
pun menabuh genderang perang
kami hanya ingin menguraikan
masalah yang tak teratasi sendiri
mengadukan ketidak-adilan
yang terpampang di depan
mata setiap hari

sebab konon kalian
perantara negara
untuk melindungi tiap warganya

tapi kalian telah memupuskan
nilai kemanusiaan
hingga kepala dipenggal
tiada dipedulikan
teriakkan di jalanan kata
LAWAN
hanya simbol perlawanan
yang tak pernah selesai
kami rumuskan

kini kulantang bertanya;
sesungguhnya apa pentingnya KJRI buat kita?

11/05/11

Sajak-Sajak Zawawi Se

http://sastra-indonesia.com/
Tuhan-Tuhan

Tuhan 1

tuhan keliaran
dalam tatapku
berlompatan dalam kepalaku

Tuhan 2

tuhan diam
dalam hatiku
bermesraan di dalamku

Tuhan 3

tuhan nyasar
dalam benakku
berlompatan dari mulut-mulutmu

Tuhan 4

tuhan gusar
atas yakinku
nggelegar dari pekik-pekikmu

Tuhan 5

di atas mimbar
kutuk menebar
anjuran sabar

Gresik, 7 Januari 2010



Sekulum Senyum

sekulum senyum
entah citra
siapa
seperti
telah aku
kenal sejak
lama

mungkin
sebelum aku
terlahir
kedunia

sekulum senyum
entah citra
siapa

seolah
merenggut
kiblat hatiku
hampir
seutuhnya

sekulum senyum
engkaukah
citra
sang sempurna

murungkan
jiwaku
ketika
tak dapat
tergapai
tuk bersua

2009



Anglingdarma

terngiang sebuah derai tawa
ketika nanar matanya menatap nyala
menembus pada sebuah peraduan, pada suatu peristiwa
(yang nyaris sebuah bahagia)

pada hati yang kalut, berkabut
tidaklah cukup sebuah besaran cinta
sekuku hitam bagi belahan jiwa

pada hati yang cemburu, diburu
sepasang cicak mencipta
sebuah prahara

awan kepedihan bergelayutan
di langit hati
Prabu Malawapati

bunga-bunga di taman istana
tersengal oleh asap hitam kemuraman
dihembus nafas angin

gemeretak sisa bara
menyisa duka di sudut mata
menebar bisik sunyi di relung hati

ah, dinda, dinda, tidakkah hidup sebuah karunia
hingga kau lebih memilih sebuah bencana
memanggang cinta kita di tengah bara

langit pekat selimuti negeri Malawapati
ada yang sunyi, ada yang sendiri
terbawa arus dalam sebuah kepergian

Juli 2009



Sebuah Nama Pada Sebuah Jejak Sajak
~ siwur ~

kau selalu bersikukuh untuk tak menyebut
namamu di setiap kita bertemu dalam
perjalanan malam-malam itu

“apa arti sebuah nama” kilahmu
sambil mengutip pepatah
tak berdasar itu

“bukankah banyak yang percaya sebuah
nama adalah sebuah doa”
pikirku

rupanya kau ingin mengekalkan misteri
dari namamu padahal tawa kita
begitu akrab

“karena kau tak akan percaya bila kusebut nama”
kau bertaruh sambil
bersuara luruh

dan ketika itu kau sebagai pemenang karena berkali-kali
terlontar kata ”benarkah?” untuk memastikan
kau menyebut namamu

mungkin ada gurat kecewa
ketika terdengar aku
tak percaya

demikianlah ternyata, kota kita tak begitu luas
ketika kutemukan jejak namamu
yang dulu pernah berhampir di benakku

pada sebuah jejak sajak
yang menarik-narik angan
pada sebuah tualang

ketika mencari seorang belah hati
di kemudian hari hanya untuk
tersakiti

Gresik, 6 Juli 2009

16/01/11

Aku tersesat di Rambutmu, dalam Kitab Suciku

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

adinda, kemana kau pergi.
rambutmu berjatuhan di jembatan rinduku.
baru saja aku dengar lantunan ayat-ayat suci
dari jejak kakimu. seketika itu, kau menghilang.

aku lihat kelelawar berterbangan di kamarku.
kelelawarkah yang membawamu pergi dari
rumahku. senja datang, aku kesepian.
mataku terpejam, hari menjadi malam.
kamarku kosong, langit malam menanti.

ada bintang sendiri, ketika rembulan tak datang.
angin tak berkutik sembunyi di bibir hidungku.
aku tarik nafas panjang agar kau datang kembali.
tetapi rembulan yang datang. padahal, bukan
rembulan yang kuharapkan. sebab aku bukanlah bintang.

aku melihat bidadari menari bersama datangnya rembulan.
bintang menyambutnya dengan menyodorkan tangannya
pada bidadari. aku masih tetap sendiri, dengan nafas yang
terjenggal menantimu. aku melihat wajahmu ada di punggung
bidadari sambil menggeraikan rambutmu.

kenapa kau tak turun adinda, teriakku.
gerak tubuh bidadari sedang bercinta dengan rembulan
dan bintang, ada kau di sana. rupanya kau ikut bercinta
dengan mereka. aku terdiam dengan kecemburuan.
memukul kepala berkali-kali hingga tumpah menjadi
sebuah peta yang gelap tak bisa terbaca. walau lampu
penerang memberikan cahaya dalam kamarku.

adinda, kalau saja kau katakan lebih awal tentang percintaan.
tentunya aku akan mengadu pada rerumputan yang bergoyang
di savana, saat kita sedang bercinta dulu.

kau menulis kata-kata puisi yang membuatku sakit hati.
kau kirim dengan menyambung rambutmu menjadi temali.
adinda, harum kamarku saat kau disini. kini tak ada lagi.
aku membuka kitab suci. ada rambutmu. apakah ini
jembatan yang menghubungkan surga buatku.
apakah kau menungguku di surga bersama bidadari.

ah, aku menyusuri huruf hijaiyah mencari dirimu
di sela harokat-harokat yang menjadi bunyian indah
di dadaku. aku bertemu maryam. ia menghiburku
dengan kesetiaannya pada tuhan. hingga tak mau ada
lelaki bercinta dengannya, kecuali tuhan. ah, apakah tuhan
laki-laki tanyaku. dia akan menjelma pada siapa saja yang sepi
hatinya merindukan peluknya. maka datanglah tuhan
mencari hati yang tergetar. aku pun tergetar, katanya.
maryam mengusirku sebab ia akan bercinta dengan tuhan.
aku pun melihat tuhan dalam diri maryam.

Aku masih saja memotong-motong huruf
yang ada dalam kitab suci. ada aisyah sembunyi
sedang bernyanyi bersama muhammad, takut
tuhan akan tahu. bahwa ia sedang selingkuh.
desah nafas aisyah seperti nafasku yang tersenggal.
aisyah mendekat padaku, memberikan nafas
sejenggal padaku meninggalkan muhammad.
lalu pergi mengantarkanku pada fatimah. diam-
diam ia membawa selimut buatku yang kedinginan
tanpa pelukmu, adinda.

adinda, dimana kamu? tubuhku lelah mencarimu.
datang khotijah padaku, membelikan aku sepeda
untuk mencarimu. aku mengayuh terus hingga
perutku lapar. aku temui masitah. ia menjadi menu
makan siangku. dalam tangis yang matang tubuhnya
ia memberikan aku semangkuk rindu, mengantarkanku
pada rabi’ah. ah, aku tak mau. aku masih belum mampu,
untuk tak bersama dengamu, adinda. rabi’ah mengusirku
melemparkan aku pada tengah-tengah rambutmu dan
memberikan aku api dan air. aku tak bisa. masih belum bisa,
aku tak bisa lihat wajahmu, aku tersesat di rambutmu, adinda.

bidadari yang mengajakmu bercinta dengan rembulan
dan bintang menepuk dadaku. aku diam. ada kamu di kitab
suciku. dan rambutmu patah. aku tersesat olehmu.

Malang, 20 November 2010

30/08/10

Sajak-Sajak Heri Latief

http://www.sastra-indonesia.com/
Lingkaran Api Puisi
: Saut Situmorang

tanah terbelah gempa di hati
matahari kembar terbakar ilusi
abunya melayang dipeluk badai

dunia dalam lingkaran api puisi
dihempas gelombang memori laut
melawan trauma wajib hukumnya

dibacalah sajak penolak bala
jangan biarkan tikus berkeliaran
waspada kita kerna pengalaman

Amsterdam, 21/08/2010



Politik Comberan?

bayangan bulan di atas comberan
panen pahala di bulan ramadhan

janji surga katanya sejuta ampunan
tersihir dosa korupsi di gemerlap berlian
lalu bernapsu menjilati kekuasaan

pameran dagang politik lidah bercabang
siapa berani mencolek harta hasil mencuri
indonesia seperti melihat fatamorgana

dari jauh kayaknya banyak tikus berpesta
ternyata di kandang bi…



Puisi

setelah berdiskusi sampai pagi
penyair kembali berpuisi

mengasah batin
memompa nyali

sajak ditulis demi keadilan
bakarlah semua hayalan!

Amsterdam, 19/08/2010

Sajak-Sajak Mardi Luhung

http://www.sastra-indonesia.com/
KUBUR PANJANG

Dalam usianya yang ke-700, dia kembali bangkit dari kuburnya. Berjalan ke pantai dan pergi mencari sore. Sambil sesekali mengingati tubuhnya yang limbung. Lewat perseteruan ujung parang. Dan kesetiaan untuk tetap menyimpan rahasia. Yang telah dititipkan guru. Saat seluruh bandar yang dipijak masih seperti lembaran lontar yang kosong. Yang bolong.

Dan ususnya terburai. Limpa dan hatinya yang keluar diseretnya. Lima ekor kera cuma menatap. Rimbun pohon setigi merunduk sesaat dia lewat. Meski langkahnya lebam seperti diarah ketam. Lalu seekor belibis melintas. Di sebelahnya, ada yang menunggang sapu terbang. Perawakannya kabur. Tapi, rasanya, selalu menyebut nama istri sunan yang tak mau dimadu: “Dinda, Dinda!”

Di karang yang licin dia pun bersedekuh. Matanya terpicing. Tapi langit keruh. Apa perseteruan ujung parang yang melimbungkan tubuhnya dulu telah mengusir sore? Ya, dia pun terlentang. Seluruh tubuhnya penat. Dan rahasia guru masih disimpannya. Disimpan di jantung sebelah dalam. Bersebelahan dengan denyut yang tak bisa berhenti: “Tak-tak-tak…”

“Guru, bagaimana rahasia ini dapat aku lepas,” Akh, racaunya pelan. Dan dari sela bakau yang subur, dia pun melihat istri sunan yang tak mau dimadu itu menangis. Menderas tafsir. Yang isinya: “Ketahuilah, ada yang memang tampak telanjang. Ada pula yang membayang. Di antara keduanya, ada yang terus mengapung. Ada yang terus mengepung. Dan memanjang…”

(Gresik, 2007)



PEMBUANGAN

Dia menipuku. Sebab dia tak punya itikad. Hanya mau
membayar dengan janji. Dan karcis kapal muat ke pulau
yang menumbuhkan nasi hijau, marmer dan losmen kuno
dengan gambar punden. Tapi, anehnya, aku mau saja
ditipunya. Barangkali karena bau tubuhnya. Seperti bau tubuh
wanita kuning. Mata sipit. Yang pernah menulis sekian
serdadu bunuh diri. Hanya karena matahari sedikit usil.
Menurunkan hujan. Dan di kapal muat ini, aku teringat
sepatunya. Sepatu yang juga menipuku. Sepatu perak dengan
gandulan potongan kuping. Yang katanya: “Setiap aku
berjalan, kuping inilah yang akan menguping setiap yang
aku sapa: hai!” Dan di kapal muat ini juga, aku
teringat seragamnya. Seragam yang juga menipuku. Seragam
yang bersulam dua mata. Yang satu juling. Satunya
lagi menyala penuh muslihat. Menyergap setiap yang lewat.
Dan sederet miliknya yang lain. Miliknya yang juga
menipuku. Menipu langsung atau tidak. Dengan ini atau itu.
Dan dengan sentuhan atau cengkraman. Yang kerap
menjelma taring yang keling. Tapi, akh, kapal muat terus saja
melaju. Dan dia tetap menipuku. Dan anehnya, lagi-lagi
aku tetap mau ditipunya. Sebab, di luar semuanya, jika kapal
muat ini nanti tiba di pulau, aku pasti tahu tak akan ada
apa-apa. Kecuali sisa mabuk laut dan muntahan yang pahit.
Sedang di pinggiran pulau, aku akan bertemu dengan
kuburan wanita kuning. Wanita kuning yang baunya aku sukai
itu. Wanita kuning yang pernah berbisik padaku: “Ajari
aku untuk memetik kecapi. Tanpa serdadu, matahari, nasi hijau,
marmer dan juga losmen kuno dengan gambar punden,”
Rantai di kakiku pun menggerincing…

(Gresik, 2007)



KOMALASA

Kapal ramping yang selurup dan menyembul. Merapat. Menurunkan
yang lunglai. Yang melambai. Dan yang merasa masih menyimpan
langgam di mulutnya. Langgam dari perangkat bumbung. Seperti
demam atau dengung di surau. Dengung lembut yang mirip degup.

“Dulu, orang-orang usil yang datang. Juga orang-orang putih, coklat
dan ungu,”

Dan gapura pulau. Apa tidak lebih mirip perut yang terbuka?
Perut meski bergigi, tapi siapa pun bisa masuk. Lalu
berdiam. Dan meraba apa yang bisa diraba: ladang, tambak,
warung sampai pasar yang penuh bulu.

“Dulu, orang-orang yang datang itu menjual bawang, kopi, gula
dan juga tali.”

Matahari makin tinggi. Sebuah kamar dari rumah terbuka. Dan
ketika akan mencatat. Melintas kuntul. Melintas juga yang siaga.
Mengusung senapan. Senapan bagi yang menyusui. Yang punya
selempang di perut dan dada. Dan telapak yang berkuku gasal.

“Itu muskil, itu muskil!” begitu dulu orang-orang yang datang menyela.

Tapi, karena kapal ramping telah henti. Kamar telah terisi. Maka,
lebih baik mandi, keramas dan menaburi bedak di tiap jengkal
keringat. Lalu berkeliling. Seperti si bengal yang mencari
layang-layangnya. Yang tersangkut di genting. Genting dari
rumah orang-orang yang datang dulu itu.

Rumah yang ketika di malam tiba merangkak ke pantai. Dua kaki
dan dua tangannya bersisik keras. Seperti menorehi pasir. Lalu
memberi siratan: “Biarlah hanya surau yang tertinggal. Hanya surau
yang mendengung. Dan menyelimuti kekelabuan pulau.”

“Komalasa, kaukah itu yang telah menyalakan unggun? Dan menaburkan
tungku. Menjelma pernik. Menjelma renik. Tepat ketika angkasa mengelupas
engselnya. Dan yang berkuda berkebat seakan satelit?”

(Gresik 2007)

*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.

Sajak-Sajak Gampang Prawoto

http://www.sastra-indonesia.com/
Ziarah Akhir Tahun

aku
debu dari kerikil
kerikil yang terlempar
membinasakan nafsu

aku
embun dari karat
karat malam tanpa cercah cahaya
rembulan telah membangun sawung di atas laut biru
dan mentari di balik bukit membisu

Tuhan
dalam renung menung yang hening
bening
hari-hariku, bulan-bulanku
bahkan tahun tahun-tahunku
“ tidak ada apaapa ”
“ belum ada apaapa ”
hanya darah memerah bercampur nanah
dan dosa-dosa

Subhaanallah
Walhamdulillah
Walaila Haillaallah
Huallah Huakbar

Tuhan
dalam kering dan tandus
percikkan senyum langit biru
pada hati yang kelabu,
remang-remang bahkan gulita

di bulan sucimu
mendung telah bergeser
menjilma jasad penglihatanku
di bulan penuh maghfiroh
akan kutanam benih cahaya
dalam lembaran baru
aroma ziarah wangi bulan ramadhanmu

Kraton Sastra Alas-Jati,12082010



M u n a j a t

Redup mata malamku
melinangkan embun di balik dedaunan
tatkala musim saling berimigrasi,
menukar langit
dan matahari mengernyitkan dahinya

ribuan tahun cahaya adalah sejarah
telapak-telapak malamku
mengendap, memfosil
dalam lelap remang sinar rembulan

Tuhan
pada tenang hijau air telagaMu
gelombang ombak biru kedalaman lautMu
telah hijrah meninggalkan batinku

berjuta hijau rerimbun daun-daun murbei
menyisakan ranting kering
rerintih dan lembab membasah munajatku
dalam dosa-dosaku
doaku
akan kupintal serat-serat ayat suratmu
menjadi gulungan renungan panjang
kutenun lembara-lembaran sajadah sutra
sujud lahir batinku
di sisa hidupku

KratonSastra, 24082010

18/03/10

Sajak-Sajak Saut Situmorang*

http://sautsitumorang.blogspot.com/
aku adalah mayat*

yang terapung di sungai
di samping rumahmu
aku adalah laki laki itu yang kemarin
berpapasan denganmu tapi tak kau hirau
aku adalah laki laki itu yang
melompat masuk ke dalam bus kota
sesak dengan anak anak sekolah dan orang orang pergi kerja
aku adalah bau busuk di sungai
yang meresahkan cicak cicak kecil di rumahmu
aku duduk di bangku kayu warung pinggir jalan
dan memesan sepiring nasi, sepotong ikan asin,
dan sambal belacan
aku adalah laki laki itu yang berteduh di bawah
pohon di pinggir jalan waktu turun hujan
dan sebuah mercedes mencipratkan air lumpur
ke baju dan celanaku
aku selalu ingin makan di restauran mewah
dengan seorang perempuan muda yang jelita
menemani di meja
aku adalah mayat membusuk yang terapung
tersangkut bambu di sungai dekat rumahmu
aku adalah laki laki itu yang mendayung becak
penuh air laut dalam mimpiku
aku adalah laki laki itu yang berjalan terburu buru
tiap kali polisi memapasiku
aku adalah sepucuk surat yang ditunggu tunggu
tapi tak pernah muncul di kampungku
aku adalah laki laki itu yang melambaikan tangannya
dan tinggal airmata di pipi ibu tercinta
aku adalah mayat busuk tak berbaju
yang mengapung di sungai pagi itu

aku adalah perempuan muda tak berbaju yang
terapung di sungai di samping rumahmu
aku adalah perempuan itu yang naik bus antar provinsi
ditangisi sawah sawah tak berpadi di kampungku yang jauh
aku adalah perempuan itu yang duduk termangu
di stasiun bus kotamu sore sore mau kemana tak tahu
aku didekati seorang laki laki yang pandai berkata kata
aku adalah perempuan itu yang cuma punya
sepuluh ribu di saku
aku adalah bau busuk yang mengganggu tidurmu
sepanjang malam itu
aku berdiri di trotoar jalan ditutupi malam
menunggumu
aku tidur sepanjang hari di kampung kumuh
dipagari hotel hotel tinggi bernama asing
aku adalah perempuan itu yang bermimpi
sambil merias diri
aku adalah bus antar provinsi penuh debu
yang tak pernah pulang kembali

kami bertemu di atas truk polisi waktu
bulan purnama gemerlapan di air sungai
aku adalah laki laki itu yang memungut puntung
rokok dari dekat kakimu
aku adalah perempuan itu yang memungut
pecah belah dari tong sampah depan rumahmu
aku adalah laki laki itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
aku adalah perempuan itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
kami adalah wajah wajah itu yang menatap kosong
waktu rumah tepas kami kau buldozer
kami adalah wajah wajah itu yang tertunduk
di atas truk diangkut seperti sampah busuk
aku adalah laki laki itu yang diusir dari kota
terpisah dari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang diusir dari kota
terpisah dari suami tercinta

aku adalah laki laki itu yang menyusup kembali
ke kota mencari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang menyusup kembali
ke kota mencari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
kota terbakar!
kota terbakar!

kami adalah mayat membusuk yang
terapung tanpa baju di sungai
di samping rumahmu
pagi itu!

auckland, oktober 1998



sajak buah buahan

seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang ngisap ganja
sebesar M-16 yang diimpor dari Amerika
dalam lemari besi berkaca besi
yang tergantung di dinding kamar mandi istana kerajaan

betapa menyedihkan

laba laba main layangan
di kepala dan kuping yang sudah terlalu masak betul itu
dan lalat lalat hijau loreng loreng
main sembunyi sembunyian di kedua
lobang hidungnya yang mirip lobang kakus berjamur
dari mana menetes lahar berbau amonia

ini adalah sebuah sajak sentimental
yang ingin sekali kelak jadi kekal

seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang jongkok semedi di sehelai daun keladi
yang terapung di air kuning kencing di bak mandi
monyet monyet berbulu hijau loreng loreng
tegak berdiri mengelilinginya
sambil masturbasi

betapa menyedihkan

di luar
tergantung di pintu

sebuah pengumuman:

JANGAN DIGANGGU!
ATAU KULIBAS KAU!!!



1966
-untuk Jimi Hendrix

di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah

orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan

di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh

bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah

di malam aku lahir

*) Sumber: otobiografi ([sic] 2007)

Sajak-Sajak Persembahan Denny Mizhar

Kepada Sang Maestro Topeng Malangan

Kau Dalam Kenangan
;Mbah Karimun

Merindu waktu
kau sematkan roh
pada kayu berwajah dirimu.

Lembut tanganmu
membelah, membedah
garis-garis kehidupan
dengan rancak gemulai.

Nampak detak jantung mu
dalam bingkai foto
ketika aku pandang
saat kau menari.

Kau bangun sumber air hayati
dari guratanmu
merubah wujudmu
menjadi burung melintasi awan
;maka terbacalah
dirimu di garis cakrawala.

Di sini aku tunggu
berduaan denganmu
di tepi dunia yang beda
menggambar wajahmu
dengan harum kamboja.

Jarak antara kau
aku cukup jauh
kau tiupkan nyawa
melekat di wajahku
memainkan rindu di panggungmu.

Malang, 16 Februari 2010



Tarian Kepulangan
;Mbah Karimun

Langit gerimis
Pekat hitam
Menurunkan malaikat.

Bumi pun terbela
Mengantar pada malam duka
Kepergian nafas sukma.

Kau melintas disebuah tarian kepulangan
Memelukku yang resah akan kota bersegala warna
:Sempurnalah wajah ciptaanmu.

Kau yang pergi
kau yang hidup
kau yang menari.

Langit membuka pintu
panggung sunyi untukmu
harum kamboja pesonamu.

Malang, 15 Februari 2010



Membangun Duka

Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
berkali-kali aku merenungi duka cita semalam,
sehabis angin mewartakan rintik hujan di mataku.

Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
air mataku tak sanggup lagi tumpah,
sehabis nasib patah dari masaku.

Menggenggam tanah,
bau harum melati terasa.
menyimpan prasasti misteri tangan-Nya.

Membangun kembali rumahku,
dengan tanah yang aku genggam.
menghiasnya kamboja dan wangi serimpi

Rumahku tersusun
dari duka mendalam.

Sehabis kau pergi,
aku meninggalkan nisanmu.

Malang, 2010



Di Pintu Surga

terbuka sudah
rahasia surga

kau mengetuk
dengan lekuk tubuhmu

berduan sepasang wajah
melangkah masuk dengan tarian

Malang, Februari 2010

*) Mbah Karimun: Sang Maestro Topeng Malangan, Beliau telah telah berpulang kerumah Tuhan pada14/2/2010

09/03/10

Sajak-Sajak Saut Situmorang

http://sautsitumorang.wordpress.com/
exquisite corpse

buah dadaMu
dan buah dada kanvasku
bertemu dalam birahi
kata kata puisi
penaKu terkapar
kehabisan tinta
alkohol menguap
jadi embun di rumputan
menari bersama kicau burung
di jari jari lentik
cahaya matahari pagi

semua rambut di tubuhku
basah kuyup
oleh kebinalan bulan purnama
di jalanan kota yang sunyi
ditinggalkan memori cinta
dan pengkhianatan

wajahMu adalah
buku
dengan sampul
bercecer cat
mungkin merah mungkin coklat
dan bekas jari masih
basah wangi mimpi
palette

wajahMu terlukis
dalam kalimat kalimat warna
terang benderang
seperti layang layang
di musim hujan
seperti kembang api
di pasar malam

wajahMu
tergantung di dinding kamar
tempat laba laba menyembunyikan
bekas mayat makan malamnya
tempat semut berbaris diagonal
karavan hitam merangkak dari langit di luar
masuk ke dalam mimpi malam di dalam
tempat memori bunuh diri
bersama lapuk kasur dingin
tertutup bayang jendela
berkaca buram

sepotong kepala nyamuk
terseret terantuk di
situ

jogja, september 2002



graffiti cemburu
-eine kleine nachtmusik

aku merindukanMu.

malam di kotaku sesak terhimpit
cahaya bulan tembaga.
layang layang yang dinaikkan
anak anak desa tadi siang
bagai kalong kalong kematian hitam
menganyam bayang bayang panjang
menjerat rumah rumah berlampu tak terang
dan derunya
sampai ke kamarku yang penuh bising nyamuk.
rambut kusutku lengket
di bantal basah keringat
menginginkan goresan ujung kukumu.
Aku ingin tenggelam dalam
ombak birahiMu, badai rinduMu.
para tetangga yang berjudi di kamar sebelah
tertawa pada kartu kartu berwajah sama
tangis anak istrinya –
apa yang sedang kau lakukan malam ini?
malam di kotaku sesak terhimpit
bau knalpot bau asap rokok
dan bulan tembaga yang pucat
berdarah matanya
tertusuk cakar layang layang
yang dibiarkan anak anak desa kelaparan di pekat malam.
betapa ingin kupanggil namaMu!
seperti bocah kecil terjaga
dari kejaran raksasa dalam tidurnya
tapi kamar yang gelap penuh sarang laba laba
telah lama kehilangan suara langkah kaki bunda.

aku merindukanMu
di tengah pengap puntung puntung rokok
dan hujan malam bulan Juni
yang menambah gelisah layang layang raksasa di atas rumah
merindukanMu lewat desah sungai alkohol bening
yang menghanyutkan batu batu hitam masalaluku
daun daun kering luka lukaku.

aku merindukanMu
di pasir putih puri kanak kanakku
patung patung pasir tak berbaju mimpi mimpiku
bagai kupu kupu kecil terbang dari sunyi kepompong mati
Aku menari dalam hujan malam bulan Juni
di bawah panas cahaya bulan tembaga
mengikuti irama deru layang layang raksasa basah
yang tersesat dalam labirin rumah rumah tak terang lampunya
Aku menari dan menari
tanpa suara
hilang dalam pusaran lubuk badai rindu
tak sanggup memanggil namaMu.

malam di kotaKu terpanggang
hangus api cemburu.

denpasar, 9 juni 2001



kepada P

di kotaku
yang pernah merasakan
panas bibirmu, malam turun
memperkelam segala.
jalanan
cuma aspal hitam
kerontang kehilangan basah
hujan birahi musim.
kata kata pun
menghilang ke bukit tandus

tempat dikubur segala yang mati.

bayang bulan
menambah sunyi malam. tak ada
gonggong anjing yang dulu
mencoba menyesatkan
langkahku dari hangat hitam rambutmu.
cinta dan penyair keduanya
matikah? atau cuma
sekedar rindu?

2007

11/03/09

Sajak-Sajak Firman Nugraha

http://pr.qiandra.net.id/
Lukisan Huruf A

Takkan kautemukan Marx, Rumi, dan Kabayan di sini
Dengan wajah yang gatal selain lukisan Dede
Jerami telah menyembunyikan mereka dalam sebuah peti
Lewat kabel-kabel listrik menari-nari dan memaki
Aku makan pisang goreng; seekor semut menuangkan laut di cangkir kopiku
Kau menjelma unta. Doumo arigatou
Kita baca saja kolom-kolom berita menghantarkan kabar
Tangan-tangan buntung, lubang di kepala, seseorang menyedot tinja
Sebuah headline tak biasa: Tentara Pegang Bunga Melati
Disembunyikan di balik punggungnya. Apakah kau masih ingat, De?
Tiba-tiba kau mengaku bahwa dirimu sepi yang datang kemari
Setelah malam ditinggalkan dengan bekas luka di dahi
Untuk apa juga anak kecil itu memeluk gulungan tikar
Sedang di sebelahnya narapidana takut dengan sebuah panci
Gomen. Mungkin harus kuucapkan maaf padamu
Melalui nomor telefon yang hanya tergagap gagu
Andai saja aku bisa mengerti jika kau tak percaya kata
Namun sungguh, kau tak harus belajar lagi memegang pensil
Hanya gara-gara sebuah lelang memakanmu dalam mimpi
Kusorong pisang goreng terakhir. Melarutkan bau anyir
Dan kau tahu, De, semut tadi seperti malaikat yang
menertawakan percakapan kita. Seperti pembantu
yang punya profesi sebagai mata-mata

Lantaidua, 2008



Bermain Boneka -Mut

Dik, mari duduk di pangkuan kakak
Kita main boneka
Biar saja ibu menangkap awan untuk makan nanti malam
dan ayah yang juga sibuk memasang bubu
Dik, mari taburkan kata-kata dalam kubur
Karena ia memang rumah puisi kita
Tulis namamu dengan ilalang dan rasa sayang
Agar batu rip itu tak harus mengaduh akibat peluh
Lalu hafalkan, karena kita akan berjalan ke barat yang lengkap
Di mana dahan demi dahan telah lama mengenalnya
Jangan lupakan bonekamu. Itu warisan ibu
Yang satu waktu juga akan berbicara tentang
bagaimana engkau membaca nama bisu di dadamu

Padangbatu, 2008



Episode Baru

Maka kota bukanlah cita-cita
Setelah jendela merapat di langit utara
dan menara gading -tempat setiap tangan
terbuka-tak lagi kukunjungi selain sekadar
meluruhkan bait-bait peluh bunga kemboja
Telaga. Tangan matahari. Dan muara
Meruapkan sendiri basah mata bocahnya
Kering ranting. Ranggas hening. Juga risau
Akar-akar sabar terhunjam di batu-batu
Aku diam semati karang. Namun tetap
ada nazar yang mesti dibayar
untuk setiap halaman tanah terhampar
Bahu disusun. Tulang dipasang. Jejak digurat
bersama resah keheningan alam. Kuberlari
mengejar matahari: kota semu episode baru
menanti dalam gelagap gagu. Waktu runcing
Waktu yang dulu memapahku menuliskan
nama ibu, seakan kembali membuka pintu
Menawar kuncup mawar dan menyeduhku
ke dalam barat yang telah lengkap. Aku ingin ke sana
ke dahan-dahan yang telah lama mengenalnya
di mana senandung kampung masih bisa kutengok
di beranda ini. Dan betapa pun kota telah menguning
angin itu tak pernah bisa tergantikan warnanya

Lantaidua, 2008



Open House

Aku berkenalan dengan pagi kemarin sore
dan baru sekarang bertemu lagi. Aku berjalan
Tak penting kaki mana yang pertama kali mesti
dilangkahkan. Yang pasti, peta sudah dipegang
Mau ke barat, timur, utara, atau bahkan selatan
Silahkan. Selain itu, tak ada! Kecuali jika kau ingin
kusindir sebagai kafir. Tapi aku tak menghendaki
Sebaiknya kaupegang saja tanganku sambil
melesapkan nafasmu satu-satu ke arah kabut
yang sudah mulai pupur wajahnya. Aku berjalan
Siapa yang menyalakan api unggun di pagi hari
Asap-asap menepati janji bumi, nyala bara adalah
jiwa lelah tak berumah hingga tak ada yang benar
benar nyata selain kaki beku dalam balutan sepatu
Malam sudah pudar. Tapi, siapa yang menyalakan
api unggun? Kutinggalkan pagi terbakar bersama
tonggak-tonggak berdiri mengelilingi kuburan arang
Selamat pagi, siang! Kau bukanlah kunang-kunang
yang mesti diam. Jendela sudah dipecahkan. Di luar
pintu masih terbuka. Berjalanlah tangan telentang
karena tanah pun rumah yang tak perlu tuk diasingkan

Lantaidua, 2008



Panorama Subuh

Seikat subuh. Telah kutinggalkan timur yang jauh
Mimpi berserak memecah benak kabuti malam pengap
Seberkas sinar muncul di seberang jendela kamar
Seperti pertanda bahwa saf mesti dirapikan
Keringat mesti kembali ditabur di antara kubur
Aku tahu aku bukan nabi merogoh kocek barang sepangkal
Kemudian menguncupkan salam demi salam seraya
menyergah matahari walau telah hitam cahayanya
Pun aku tahu bahwa barat adalah tempat segala bijak
Tempat aku meluruskan lidah dan menerjemahkan rahasia
Dengan sungai mengalir menjumpai gigir takdir
Lantas kubangun sila di perempatan jalan
Memandang ke luar lipatan tangan hikmati sudut kebekuan
Sedang di sini orang-orang meneguk laut gelinang kata
Lepaslah malam bagi segala kubangan
Menuangkan anggur para perawi menakwilkan mimpi
Mimpi menjelma ibu mengajariku menulis puisi
Aku menunggu sepucuk tunas tumbuh di kepalaku
Menjulurkan akar-akar sabar hingga kubisa terduduk
di samping keteduhan mutholib mengelus-ngelus punggungku

Lantaidua, 2008

Sajak-Sajak S Sopian

http://www.kompas.com/
April

mungkin kau lupa hari ini
di mana kedatanganmu adalah senyum
bagi pohon dan sekawanan binatang rumah
dan mungki kau tak sadar
kelahiranmu adalah celengan dosa
pun gadaian doa

Blanakan, 2008



Kupu-Kupu

ketika aku selesai mencumbu dan menyetubuhimu
kudengar ringisan entah di sela mana
kutebak di sudut bibir rayumu
atau di baju lusuh yang kau pakai?

dan kucoba melihat cermin retak
di mana kau berdandan
membersihkan sperma yang menempel di wajahmu
“ya! aku melihat itu, di matamu.
di matamu ringisan itu merintih!”

kutenggelamkan diri pada cermin retak
dan remang kamarmu
sekarang aku benar-benar melihatnya
dan aku mengerti sebuah jawaban
“di matamu, ringisan itu adalah tangisan seorang ibu
berawal dari cermin yang menjadikanmu kupu-kupu!”

Blanakan, 2008



Aku Harus Pulang

aku harus pulang kemana?
di depan jalan sudah gelap
suara desah lelah angin malam
tak lagi akrab di telingaku

di antara debu dan karat tiang lampu
genang air sehabis hujan kemarin
tak membayang wajahku
“sebenarnya malam apa sekarang?”
tak ada cahaya pun sekedar pendar lilin

malam begitu panjang nampak di dahi
dan gelap begitu gulita terlukis di mataku
dan kudengar lantunan entah apa

setelah ku telusuri dan berjalan jauh sampai ke entah
aku menyadari lukisan ini dalam mimpiku
sepertinya inilah musim yang akan terjadi
setelah waktu berhenti di jantungku
kegelapan dan kesendirian adalah semesta paling setia
untuk aku yang terlahir picik

Blanakan, 2008



Afdoreisme

(1)
sebelum waktu
benar-benar berhenti di jantungku
dan layak menjadi kaku
aku berharap kau membuka pintu rumahmu

(2)
kini malam hampir habis ditelan sunyi
sebelum aku mengetuk pintumu
aku akan pergi sembunyi-sembunyi
mencoba mencuri rindumu
yang kau sembunyikan untukku

(3)
dan akan kubawakan kembang
bagi pertemuan kita
di rumahmu

Blanakan, 2008



Aku Tak Ingin Kau Menjadi Air Mataku

aku tak ingin kau menjadi air mataku
seperti luka yang kau tanam di dadaku diam-diam
suatu nanti entah kapan
aku bisa seperti penyair mati
---kehilangan kata-kata
jika suatu nanti entah kapan
kau mengucap selamat tinggal
biarkanlah luka itu menganga, sayang
dan menjadi catatan paling indah

aku tak ingin kau menjadi air mataku
janganlah sekali-kali mengucap selamat tinggal
sebab kau adalah ibu dari sajak-sajakku

Blanakan, 2008



Aku Masih Menunggumu Di Sudut Partere

aku masih menunggumu di sudut partere
dengan hati gamang dan karangan kembang
untuk kutanam di jari manismu
“melihatmu datang
adalah melihat kerinduan”
namum, bagaimana aku melihat rindu
sampai sekarang kau tak pernah datang

tapi kulihat siang kemarin
kau melintas di antara rerumputan
entah kau pura-pura atau benar-benar tak mau melihatku
atau mungkin untuk cinta yang lain.

tiba-tiba langit yang menghamparkan panorama
dipecahnya oleh bocah-bocah
yang sedang belajar meletuskan pistol
hingga satu-persatu kembang itu pun letai

dengan hati gamang aku tetap yakin
suatu hari, entah kapan, kau pun datang menemuiku
meranumkan kembali kembang telah letai
untuk kau tanam sendiri di jari manismu

Blanakan, 2008



Aku Tergoda Celanamu
:Jokpin

aku tergoda celanamu
banyak gambar warna
dan kembang-kembang segar

om, susahkah mendapatkannya
kutelusuri jalanan pasar kota kembang
di tukang loak dan pasar murah
kok tak pernah ada yang menjual?

atau hanya kau yang menjual celana itu
dan kapan kau mati
agar cenamu bisa aku pakai?

Blanakan, 2008



Aku Mencoba Menemukan Wajahmu

aku mencoba menemukan wajahmu
di sisa-sisa penghabisan ini
mungkinkah aku layak bermimpi di kelopak matamu
sebab perjalanan telah menemukan
kubur terakhir bagi para kelana

jika ini hari adalah waktu penutup kelahiran
aku berharap hatimu yang menjadi reinkarnasiku
di barat di mana aku diam
angin telah memendar air mata pada cahaya remang
mencoba menggambarkan rindu-rinduku

entah harus kelana kemana aku
untuk sekedar menemukan bayang
atau siluet rupamu
pada tepian, pada gugur hujan
sampai kubur yang akan menyusuiku telah kucari.
tapi kau selalu sembunyi
dan pura-pura lelah telah mengikut jalur waktu

baiklah di rumahmu
kan kugambarkan warna rinduku
agar benar-benar tahu
di kelanaku kau adalah tujuannya

Blanakan, 2008



Kepada Aktifis

dengan hati biru
aku rindu benar tentangmu
kau pergi tanpa surat dan kata di atas meja
kemana jejakmu melangkah
meninggalkan cinta
dan mimpi yang pernah kita dongengkan

aku tak bisa diam sendiri di sini
melihat penjarahan terus mencuri air mataku
“kau yang pulang
adalah kau yang mengerti rinduku”*

pulanglah dan lihatlah pelataran rumah kita
sudah semacam renta tinggal ajal
selamatkan aku, ibu, dan adik-adikmu

Blanakan, 2008
*pinjam dari larik sajak Nenden Lilis A



Akhirnya Aku Sampai Di Tanah Ibu

akhirnya aku sampai di tanah ibu
tapi, tak kurasakan desah wangi ranting tua
di mana aku pernah belajar tentang sakit

dan apa kabar sawah yang sakit
masihkah sampai ini mengenduskan nafasnya
bersama kaki-kaki bocah lincah
menerbangkan layang-layang kala panen?

hari ini aku datang semua lengang
tak ada angin sejuk menjemput
hanya gersang menyelimut jalan
kemana mereka sahabat kecilku

jauh pandang
pabrik-pabrik tegak seakan merekalah lebih baik
padahal kulihat tak ada sopan santun dan tenggang rasa

Mak, aku rindu musim lalu
di mana rerumputan, ranting, sawah, dan layang-layang
selalu mengajarkan keakraban dan sopan santun
pada orang datang
pun bocah-bocah di antara aku

Blanakan, 2008

27/02/09

Sajak-Sajak Acep Zamzam Noor

http://cetak.kompas.com/
Lagu Kasmaran

1
Bertahun-tahun aku menyusuri jejakmu. Pergi ke segala penjuru
Mengikuti setiap arah mata angin, menembus ruang, memotong waktu:
Aku mencatat banyak tempat tapi bukan alamatmu, menghapal banyak
Hurup tapi bukan namamu, mengingat banyak wajah tapi bukan parasmu
Menyentuh banyak rambut tapi bukan rambut ikalmu, mendengar banyak
Suara tapi bukan nyanyianmu dan mencium banyak wewangian, sayangku
Tapi bukan napasmu. Aku mendatangi dermaga-dermaga, mengunjungi
Agen-agen tenaga kerja, ladang-ladang kelapa sawit serta kilang-kilang
Minyak. Aku mencarimu ke hotel-hotel, ke panti-panti pijat, ke sal-sal
Rumah sakit. Aku kembali ke selatan, ke riuh pasar dan bising terminal
Menonton organ tunggal di balai desa, berkaraoke di lapangan sepak bola
Numpang joget sampai pagi. “Mabuk lagi ah ah ah...” suara penyanyi itu
Mirip suaramu, goyang pinggul penyanyi itu mirip goyanganmu


2
Aku kasmaran membayangkan jarak dan rindu. Lalu diam-diam
Melangkah ke barat, mendaki bukit, menuruni lembah, melintasi
Jalan setapak. Berteriak pada laut yang lengang, menggugat ombak
Yang mendadak lunak. Telah kulepaskan semua mahkota, cintaku
Kutinggalkan kedudukan dan kubuang keyakinan yang masih tersimpan
Di balik baju. Kulupakan langgar dan katedral, sembahyang di altar diskotik
Makan di partai politik, mabuk di organisasi terlarang serta muntah darah
Di instansi pemerintah. Suaramu di mana-mana, foto bugilmu tersebar
Ke mana-mana dan senyum nakalmu menghiasi bibir para pengacara
Kudengar desahanmu di rapat wakil rakyat yang lucu, di sidang kabinet
Yang selalu ragu. Eranganmu menjelma gempa bumi, menjelma
Semburan lumpur panas, menjelma angin puting beliung yang ganas
Lalu pesawat-pesawat berjatuhan, kereta api-kereta api bertabrakan


3
Aku berjalan tanpa bicara. Berlari dari tenggara ke utara
Ke ujung jazirah paling renta. Aku berziarah ke makam raja-raja
Siapa tahu nama Arabmu terpahat indah di salah satu batu nisannya
Aku memasuki stadion, siapa tahu wajah Acehmu terpampang megah
Di dinding-dindingnya. Aku ambil radio, siapa tahu cengkok Sundamu
Masih mengalun merdu. Aku pergi ke sungai, siapa tahu tubuh cokelatmu
Tengah dicuci. Aku sembunyi di hutan ganja, semadi di gudang ekstasi
Sambil berharap sekali waktu dapat melihat alis mata Frida Kahlomu
Lebih dekat. ”Mabuk lagi ah ah ah...” sayup-sayup lagu kebangsaanmu
Dinyanyikan para gerilyawan. Kemudian terdengar serentetan tembakan
Sejumlah dentuman. Ah, kenapa masih menuntut setoran, pujaanku
Bukankah tahu sebagai penyair penghasilanku tak menentu? Kenapa
Terus minta dikirimi pulsa padahal kau sudah aman dipelihara tentara?

4
Aku kasmaran mengingat goyanganmu. Aku tak bisa menyanyi
Tapi sanggup joget tanpa henti. Telah kujelajahi warung-warung kopi
Kusatroni tenda-tenda pengungsi, main remi atau membacakan puisi
Bersama relawan kureguk segala bantuan, bersama pejuang kutenggak
Semua sumbangan. Kau sedang apa, biduanku? Suaramu terbawa angin
Nyanyianmu hanyut bersama tembok dan genting, mengalir diseret banjir
Mengendap di bumi dan menguap kembali. Kini syair-syair dangdutmu
Semakin merajalela. Aku terkesima, namamu diabadikan jalan-jalan raya
Dibahas lembaga-lembaga penjual bencana, dikaji komite-komite penjaja
Kemiskinan negara. Lalu dengan bahasa tubuh kauajari mereka demokrasi
Kauceramahi mereka kebebasan berekspresi serta kaukuliahi mereka
Apa itu hak asasi. Kulihat matamu nanar, dadamu bergetar, pinggulmu
Berkobar dan kekhusyukanmu total, wahai panutanku yang sintal


5
Bertahun-tahun aku merasa kehilangan. Sejak kau pergi subuh itu
Sejak kereta membawamu ke Jakarta, sejak Lion Air menerbangkanmu
Dari Cengkareng ke ujung Sumatera, sejak gempa dan gelombang pasang
Menghancurkan semuanya. Aku pun merasa telah kehilangan semuanya
Kehilangan segalanya. Dan mulailah aku mencatat nama-nama ganjil
Yang bukan lagi namamu, melukis wajah-wajah kasar yang bukan lagi
Wajahmu, menyentuh rambut-rambut kusut yang bukan lagi rambutmu
Mendengar suara-suara gombal yang bukan lagi suaramu dan mencium
Napas-napas busuk yang bukan lagi napasmu. Mulailah aku menapaki
Jejak-jejak samar yang bukan lagi jejakmu, membaca tulisan-tulisan kabur
Yang bukan lagi tulisanmu. Mulailah aku meniduri ranjang-ranjang dingin
Yang bukan lagi ranjangmu, malam-malam sepi yang bukan lagi malammu
Tahun-tahun panjang yang bukan lagi tahunmu. ”Mabuk lagi ah ah ah...”


6
Aku teringat sebuah gubuk bambu, di mana kita makan sepiring berdua
Di mana kita tidur setikar bersama, dengan baju satu kering di badan
Terkenang ketika kita jatuh bangun, ketika harus memilih sakit gigi
Ketimbang sakit hati. Terbayang juga sewaktu berkelana, sewaktu
Begadang di pos ronda, sewaktu penasaran ingin menaklukkan ibukota
Dengan gitar tua. Sebuah majalah hiburan kemudian menobatkan kita
Sebagai pasangan termiskin di dunia. Kau berada di mana, pemimpinku?
Gardu-gardu dibangun di setiap perempatan jalan, milisi-milisi muncul
Dari setiap perkampungan. Kini semua orang berebut menjadi lurah
Bupati, gubernur atau presiden. Semua orang berlomba menjadi nomer satu
Tolong tunjukkanlah pada mereka bagaimana menjadi seorang guru bangsa:
Angkat tanganmu, kibarkan bulu ketiakmu, ngangakan sedikit mulutmu
Guncangkan pelan bahumu dan putarkan patah-patah selangkanganmu



Lima Puisi tentang Sepi

1
Ketika bertemu aku tidak langsung memeluknya tapi membiarkan
Rindu berjalan-jalan dulu di antara dengung kulkas dan detak jam
Aku tidak segera menciumnya tapi mempersilakan sisa ingatan
Mengembara dalam keheningan ruang yang lama tidak kami huni
Aku memandangnya lekat-lekat sebagaimana dia memandangku
Tanpa mengedipkan mata. Aku berdiri saja seperti halnya dia
Mematung tanpa suara. Tiga tahun memang bukan waktu yang lama
Rambutnya masih ikal dan alisnya tebal. Dulu aku menyayanginya
Tapi banyak hal terjadi di muka bumi. Aku memalingkan wajah
Karena tak tahan melihat butiran air yang bergulir di pipinya


2
Jam di dinding berdetak nyaring ketika aku duduk dekat jendela
Menulis puisi bukanlah pekerjaan gampang jika perasaan dan pikiran
Disayat-sayat sepi. Sambil terpejam aku menelungkup di atas meja
Betapa mengerikan mendengar dengung yang terus berulang-ulang
Dari arah kulkas. Betapa menakutkan bertarung melawan kesendirian
Yang banyak sekali pasukannya. Nampak masih ada ranjang, kelambu
Yang sudah menguning, kasur yang dingin, bantal serta guling
Juga sulaman yang tergantung miring. Ah, menulis puisi bukanlah
Pekerjaan mudah jika celanaku dan kutangnya masih berserak di lantai
Jika detak jam dan dengung kulkas seperti maut yang mengintai


3
Setelah dia pergi lama aku tidak bisa menulis puisi, lama juga
Tidak menerima kabar apa-apa. Ketika ada teman menghadiahkan
Cemara udang mungil pada ulangtahunku, aku langsung jatuh cinta
“Akan kurawat bonsai ini seperti merawat kenangan,” seruku girang
Hanya dalam tiga bulan aku sudah mengoleksi ratusan jenis pohon
Dari berbagai spesies. Kegemaranku yang aneh ini ternyata upaya lain
Melawan sepi. Pagi dan sore aku menyiram tanah, memangkas daun
Memotong ranting yang liar atau membalut batang dengan kawat
Seminggu tiga kali aku berburu pohon baru layaknya penyair
Mengejar kata-kata. Menyusuri pinggiran sungai dan tebing pantai


4
Ketika kami bertemu kembali aku tidak langsung menyapanya
Tapi menarik napas agar dadaku ringan. Aku menarik napas panjang
Sambil membuang kalimat-kalimat yang sudah lama kupersiapkan
Dan ingin menggantinya dengan haiku. Kucari tujuh belas suku kata
Tapi yang muncul empat puluh lima sehingga kalimatku yang nyinyir itu
Kembali memenuhi kepala. Akhirnya aku hanya diam dan tersenyum
Begitu juga dia, hanya diam dan tersenyum tanpa sedikit pun bicara
Tiga tahun bukanlah waktu yang lama meski telah membuat kami
Asing satu sama lain. Dulu aku selalu merindukan kehadirannya
Tapi banyak hal terjadi di muka bumi. Aku ingin menulis puisi lagi


5
Tak ada lagu yang terdengar selain detak jam dan dengung kulkas
Yang ditingkah bunyi cengkerik dan kodok di sawah. Aku masih duduk
Kutegakkan wajahku ke langit-langit dan kuketuk-ketukkan jemariku
Pada permukaan meja. Ada cecak merayap dan banyak laron terbang
Di sekitar lampu. Bunyi kayu dari ketukan jemariku terdengar satu-satu
Seperti napas serdadu di bawah tiang gantungan, seperti tetes-tetes sunyi
Dari mulut keran yang bocor di bak mandi. Tak ada kretek atau cerutu
Tak ada kopi apalagi alkohol. Kembali aku menelungkup di atas meja
Menulis puisi bukanlah pekerjaan sederhana jika kesewenang-wenangan
Terus merajalela. Jika kekuasaan tidak bisa dilawan dengan kata-kata



Sajak Seorang Pengungsi
Buat Frans Nadjira

Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun
Di jantungku gedung-gedung yang tinggi telah kukaramkan
Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku
Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat
Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Dalam mabuk
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini
Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan pedang terhunus
Kemudian melempari para pejabatnya yang suka nampang
Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah bendera
Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun
Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan
Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan kini memaksaku
Menjadi serdadu. Kembali aku mengembara dalam kesamaran
Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak
Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:
Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh
Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi

09/02/09

Sajak-Sajak Abidah el Khalieqy

http://www.infoanda.com/
KIDUNG SIMALAKAMA

Aku berdiri di bawah khuldi
saat senja menyamar
seperti iblis tanpa diundang
berbilah racun bersarung pedang
menusuk lambungku
di langit terang

Aku berdiri menangkar sunyi bumi
sendiri
menerbangi titik niskala
menyusupkan jiwa
ke puncak tahta
cahaya Cinta

Tak ada waktu membayang
merekah dan mengaku kalah
jengkal tanah selalu begitu
menghisap semua bunga
sekaligus putiknya

Hawa menembang lagu merdu
serupa kidung simalakama

2003



INTA WAHDAH
(Dikau Saja)

Hausku bukan Iqlima memeluk Qabil
bukan pula Cleopatra
Aphrodite atau Zulaikha

Cukup sudah cinta!
Tak usai Hawa ngembara
menyelami airmata
pohon apa bakal tumbuh
jika Layla abadi koma
di barak kumuh dan luka

Wahai Majnun di puncak resah!

Sudah kuhafal kata kata bijak
huruf batu dari kaum botak
namun kosa kata cinta
baru ketemu kamusnya
saat matamu purnama
dan subuh menderu
memanggil ruh di tubuh

Dikaulah cuma, kidung dadali kuping tuliku
juga ombak yang timbul tenggelam
bagai iman samudra jiwaku

Dan malam menggelombang
karna bintang berjumpaan
di pangkuan kasih dan cinta
mendesirkan sukma
semilir jiwaku
bukan perempuan bukan lelaki
bukan budak atau tuan
jika ingin menakarku
kecuali mummi sedang menimbang
diri sendiri

Burung burung terbang tinggi
menguntai tasbih
langit abadi
rindu rumah di syurga Rabi'ah
asing dan sunyi

2005

04/02/09

Sajak-Sajak Dina Oktaviani

http://www.infoanda.com/Republika
MIMPI BURUK

maut, aku tak mampu lagi
berlari dalam pengejaran ini
langkahmu membuatku gila
nafasmu menyakitiku

ini sungguh kekanak-kanakan!

di tengah kesunyian antara kau dan aku
pulangkan cinta yang butuh
kembalikan waktu yang lumpuh
dan begitulah kau mengalah
pada usia mudaku



KETIKA IBUMU TAKUT

aku tak bisa meninggalkanmu sekarang
tidurmu mengikat kegelisahanku
dengan matanya yang awas

tak ada siapa-siapa, tak ada lagi waktu

aku tak bisa mengajakmu serta
cuaca demikian buruk di luar sana
dan kau punya mimpimu sendiri



SEMESTAKU

di alam semestaku
kamu dingin
dan gelap adalah tuhan
jika kita bertemu
cinta harus membantuku bernafas
pelan-pelan
cinta
harus membantuku bunuh diri



MY FAVORITE PATH

lorong gelap, lorong impianku
tempat seluruh rasa takut tumbuh bebas
tempat setiap bayangan demikian nyata
di atas hujan yang belum pernah berhenti
sejak kutinggalkan pekarangan
di atas tangis anakku yang belum kering
ketika kututup pintu kamarnya yang jauh
di atas punggungku yang remuk
dan tak ada cukup uang selain pada rencana
di atas mimpiku yang jauh, tinggi, dan ditinggalkan
di atas segalanya, aku seorang seniman
maka kumasuki kamu dari malam ini



LORONG

dalam hidupku
aku akan menangisi bagian ini
ketika datang cinta yang baik
dan masih aku merasa berjalan-jalan
di lorong yang gelap
sendirian
menatap segala ihwal yang muncul di pikiranku
seperti pintu-pintu
yang tak akan menyelamatkanku
dari apa pun
tuhanku, musuh yang paling setia
apakah kau akan menghukumku karena cinta ini atau masa laluku.

Dina Oktaviani lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 11 Oktober 1985. Menulis puisi dan cerpen. Sajak-sajaknya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Lampung Post, Sumatera Post dan BlockNot Poetry Jogjakarta. Juga dalam beberapa antologi bersama. Buku puisinya yang telah terbit adalah Biografi Kehilangan (InsistPress, 2006). Buku cerpennya, Como Un Sueno (Penerbit Orakel, 2005). Saat ini tinggal di Yogyakarta.

25/01/09

Sajak-Sajak Teguh Ranusastra Asmara

http://sastrakarta.multiply.com/
Siapakah Aku

di antara bunyi yang sepi
kulewati jalan setapak ini
tak kan jejakku berpaling pada kasih pengembara
disini ada setumpuk lengking yang bisik
seperti wajah orang dengan kerut-kerut tuanya
memandang bulan mengaca di telaga

Yogya, Awal April 1969



Jalan yang Putus

katakan bahwa kereta tak akan berhenti lagi
di rel ini yang tua
sinya-sinyal mengangguk tunduk berkarat
dulu kereta selalu lewat
dengan bunyi desah yang mengisi senja hari
termakan muatan, manusia penuh tanda tanya
mana kepala setasiun ?
disini kereta tak mau lagi berhenti
rel kembali membujur, dan setasiun
dimakan beribu-ribu kesepian

Yogya, 1969



Sebuah Ruangan Tua

sudahkan tirai ini kau buka kembali
bau busuk, dan debu menambah
ruangan makin hitam
ramat-ramat adalah lukisan dinding tanpa pigura
semua serba mendekap
mentari pertama yang menyentuh dinding
jamur pada melekat
untuk inikah kau akan memulai
langkah yang baru, jalan lenggang

bukalah tirai lebar-lebar
kalau tak ingin mati dibius kepadatan mimpi

Yogya, 1970



K a l i K u n i n g

masih seperti dulu
bening dan sejuk dari lereng merapi
ketika hasrat dibangkitkan lewat cinta
segalanya mencair, batu jadi api
tinggal abu yang memutihkan cemara
seperti rambutmu terbasuh di kali kuning
di kaki bukit
tertinggal luka dan darah membekukan langkah
yang tak pernah sampai
dan jika angin september tiba
mengantar doa-doa
untuk ditaburkan pada hati
menyimpan sepi, penuh misteri

Yogya, 1981



Masih Tersisa

kueja namamu di balik kalender tua
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim kemarau meninggalkan
ranting-ranting patah, disini tak ada lagi
ringkik kuda sumbawa dalam padang tandus
mari jendela purba dibuka, menerbarkan wangi
di halaman rumah kita

Yogya, 1982

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita