Eko Darmoko
Siapa bilang sepak bola cuma sekedar olahraga? Sepak bola adalah simbol
ideologi, perlawanan, politik, semangat daerah (golongan), jati diri bangsa,
candu, dan penggerak massa terbesar di planet bumi ini. Lebih dari itu, dalam
lampauan batas lainnya, sepak bola juga menjelma ‘agama’ tidak hanya bagi
pemainnya, tapi juga bagi para pendukungnya. R.N. Bayu Aji menarasikannya
secara cerdik dalam bukunya yang berjudul “Mewarisi Sepak Bola, Budaya dan
Kebangsaan Indonesia”.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
08/07/21
MENCARI MAKNA HIDUP DIBALIK PENDERITAAN CINTA
Judul Buku : Derita Cinta Tak Terbalas
Pengarang : Iriana Stephanie
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung
Tahun terbit : 2005 Akhir
Tebal Halaman : xxiv + 164 Hlm;15x21cm
Peresensi: Denny Mizhar
Pengarang : Iriana Stephanie
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung
Tahun terbit : 2005 Akhir
Tebal Halaman : xxiv + 164 Hlm;15x21cm
Peresensi: Denny Mizhar
20/05/21
Perang Troya, Kisah Tragedi Manusia vs Dewa
Peresensi : Ajie Najmudin
Judul Buku : The Iliad of Homer (Novel)
Penerjemah: Asep Rachmatullah
Penerbit: Oncor Semesta Alam
ISBN/EAN : 978-602-96828-5-4
Cetakan : I, Januari, 2011
Jumlah Halaman : vi + 254 halaman
kabarindonesia.com
Judul Buku : The Iliad of Homer (Novel)
Penerjemah: Asep Rachmatullah
Penerbit: Oncor Semesta Alam
ISBN/EAN : 978-602-96828-5-4
Cetakan : I, Januari, 2011
Jumlah Halaman : vi + 254 halaman
kabarindonesia.com
25/02/21
MEMUNGUT JEJAK FIGUR RAHMATAN LIL’ALAMIN
Judul Buku: Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Jenis Buku: Kumpulan Esai Budaya dan Agama
Pengarang: Aguk Irawan MN
Tahun: 2013
Penerbit: Jalasutra Yogyakarta
Tebal: x + 434 hlm; 15 cm x 23 cm
Peresensi: Imamuddin SA
Jenis Buku: Kumpulan Esai Budaya dan Agama
Pengarang: Aguk Irawan MN
Tahun: 2013
Penerbit: Jalasutra Yogyakarta
Tebal: x + 434 hlm; 15 cm x 23 cm
Peresensi: Imamuddin SA
31/10/20
BILA AKSARA BERDANSA TANGO
Judul Buku : TANGO
Penulis : Avi Basuki
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke : I/Agustus 2006
Tebal : xiii + 165 halaman
Peresensi: Amril Taufiq Gobel
amriltgobel. net
Penulis : Avi Basuki
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke : I/Agustus 2006
Tebal : xiii + 165 halaman
Peresensi: Amril Taufiq Gobel
amriltgobel. net
08/09/20
25/11/19
CINDERELLA DAN DAPURNYA
Anindita S Thayf
Harian Kompas, 05/10/2019
Seumpama Hawa masih hidup, kira-kira akan seperti apakah nasibnya? Sudah tentu tetap menjadi terhukum sebagaimana keturunannya yang hidup pada hari ini. Perempuan yang terpenjara entah di atas kasur atau dapur. Ironisnya, yang mengurung perempuan di kedua tempat itu, sekaligus menjadi sipirnya, adalah keluarganya sendiri.
Harian Kompas, 05/10/2019
Seumpama Hawa masih hidup, kira-kira akan seperti apakah nasibnya? Sudah tentu tetap menjadi terhukum sebagaimana keturunannya yang hidup pada hari ini. Perempuan yang terpenjara entah di atas kasur atau dapur. Ironisnya, yang mengurung perempuan di kedua tempat itu, sekaligus menjadi sipirnya, adalah keluarganya sendiri.
23/11/19
Menjaga Tranformasi Keilmuan
Judul Buku : Aku Menulis Maka Aku Ada
Penulis : KH. Zainal Arifin Thoha
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Edisi : Maret 2009
Tebal : xviii + 182 Halaman
Peresensi : MG. Sungatno *
cawanaksara.blogspot.com
Penulis : KH. Zainal Arifin Thoha
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Edisi : Maret 2009
Tebal : xviii + 182 Halaman
Peresensi : MG. Sungatno *
cawanaksara.blogspot.com
08/12/17
Rahasia Syair Cinta Jalaluddin Rumi
Judul: Senandung Cinta Jalaluddin Rumi
Penyusun: Nur Kholis Anwar
Cetakan: Maret 2015
Penerbit: Araska
Tebal: CXXVI+224 halaman
ISBN:
978-602-300-110-1
Peresensi: Nurul Anam *
15/09/15
Eksotisme Kalimantan Timur dalam Sebuah Novel
Judul novel: Di Antara Dua Cinta (Mencumbu Jenggala, Berkalang Jeram)
Penulis: Inni Indarpuri
Penerbit: Qiyas Media
Cetakan I: April 2011
Harga: 45.000
Peresensi: RF. Dhonna
Tribun Kaltim, 19 Juni 2011
Penulis: Inni Indarpuri
Penerbit: Qiyas Media
Cetakan I: April 2011
Harga: 45.000
Peresensi: RF. Dhonna
Tribun Kaltim, 19 Juni 2011
17/05/14
Sastra Islami dan ‘Jalan Tengah’
Judul Buku: Pesan Al-Qur’an untuk Sastrawan
Penulis: Aguk Irawan MN
Penerbit: Jalasutra, Jogjakarta
Cetakan: I, November 2013
Tebal: x + 434 hlm.
Peresensi: Ridwan Munawwar Galuh *)
Jawa Pos, 01 Des 2013
Penulis: Aguk Irawan MN
Penerbit: Jalasutra, Jogjakarta
Cetakan: I, November 2013
Tebal: x + 434 hlm.
Peresensi: Ridwan Munawwar Galuh *)
Jawa Pos, 01 Des 2013
27/03/13
Madre: Salah Satu Cerita Tentang Ibu dan Semarak Kehidupan
Judul Buku: Madre; Kumpulan Cerita
Penulis: Dewi Lestari “Dee”
Penerbit: PT. Bentang Pustaka
Tebal: 162 Halaman
Cetakan: Kedua Bulan Agustus 2011
Peresensi: Sari Oktafiana
http://www.kompasiana.com/sarioktafiana
Penulis: Dewi Lestari “Dee”
Penerbit: PT. Bentang Pustaka
Tebal: 162 Halaman
Cetakan: Kedua Bulan Agustus 2011
Peresensi: Sari Oktafiana
http://www.kompasiana.com/sarioktafiana
02/03/13
Sinema Kekuasaan Absolut
Judul Buku : Absolute Power (Kekuasaan Absolut)
Pengarang : David Baldacci
Penerjemah : Hidayat Saleh
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1997
Tebal : 715 halaman
Peresensi : Sutejo *
Kompas, 10 Sep 1997
Pengarang : David Baldacci
Penerjemah : Hidayat Saleh
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1997
Tebal : 715 halaman
Peresensi : Sutejo *
Kompas, 10 Sep 1997
19/12/12
“Ijtihad” Demokrasi Kuntowijoyo
Judul buku: Identitas Politik Umat Islam
Pengarang: Kuntowijoyo
Penerbit: Mizan, Bandung, 1997
Tebal: xxvii+253 halaman
Peresensi: Sutejo
Merdeka, 2 Nop 1997
Pengarang: Kuntowijoyo
Penerbit: Mizan, Bandung, 1997
Tebal: xxvii+253 halaman
Peresensi: Sutejo
Merdeka, 2 Nop 1997
01/04/12
Kisah-kisah Sastra Tanjungpinang
DERMAGA SASTRA INDONESIA: KEPENGARANGAN TANJUNGPINANG DARI RAJA ALI HAJI SAMPAI SURYATATI A. MANAN
Penulis: Jamal D. Rahman, Al-Azhar, Abdul Malik, Agus R. Sarjono, dan Raja Malik Hafrizal
Penerbit: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dan Komodo Books
Tahun: 2011
Peresensi: Budi Darma
http://majalah.tempointeraktif.com/
Penulis: Jamal D. Rahman, Al-Azhar, Abdul Malik, Agus R. Sarjono, dan Raja Malik Hafrizal
Penerbit: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dan Komodo Books
Tahun: 2011
Peresensi: Budi Darma
http://majalah.tempointeraktif.com/
31/03/12
Suara Perlawanan Seorang Pluralis
Judul Buku : Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama
Penulis : Moh. Shofan.
Penerbit : Samudra Biru, Jogjakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : 156 Halaman + Indeks
Peresensi : Ahmad Fatoni*
http://sastra-indonesia.com/
Penulis : Moh. Shofan.
Penerbit : Samudra Biru, Jogjakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : 156 Halaman + Indeks
Peresensi : Ahmad Fatoni*
http://sastra-indonesia.com/
20/03/12
Membedah Jejak Politik Ali Syariati
Judul buku : Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner
Penulis : Ali Rahnema
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Edisi : I, 2006
Tebal : xvi + 648 halaman
Peresensi: Muhammadun AS (pemerhati sosial, tinggal di Yogyakarta).
http://gp-ansor.org/1327-14122006.html
Penulis : Ali Rahnema
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Edisi : I, 2006
Tebal : xvi + 648 halaman
Peresensi: Muhammadun AS (pemerhati sosial, tinggal di Yogyakarta).
http://gp-ansor.org/1327-14122006.html
29/12/11
Novel Klasik tentang Cinta dan Materialisme
Judul Buku: bREAKFAST AT TIFFANY’S
Pengarang: Truman Capote
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Serambi, 2009
Tebal: 164 halaman
Harga: Rp 27.900
Peresensi: Anton Kurnia*
http://www.ruangbaca.com/
Pengarang: Truman Capote
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Serambi, 2009
Tebal: 164 halaman
Harga: Rp 27.900
Peresensi: Anton Kurnia*
http://www.ruangbaca.com/
24/12/11
Kearifan Spiritual Syeikh Siti Jenar
Judul: Manunggaling Kawula-Gusti
Penulis: KH Muhammad Sholikhin
Penerbit: Narasi, Yogyakarta
Cetakan: 1 (pertama) 2008
Tebal: 420 Halaman
Peresensi: Matroni
http://nu.or.id/
Dalam catatan sejarah, penyebaran Islam di Jawa, menunjukkan bahwa Islam tersebar luas kepada masyarakat Indonesia hingga saat ini berkat perjuangan dan jasa besar para ulama. Hingga sekarang dan kemudian hari dikenal dengan sebutan Walisongo. Sayangnya biografi mereka, hingga saat ini masih banyak didominasi mitos dan hikayat, dan belum menunjukkan realitas historis serta ajaran yang betul-betul valid.
Di antara para wali yang paling mendatangkan kontroversi dan paling banyak diselimuti kabut mitos adalah wali nyentrik, yaitu Syeikh Siti Jenar dan ajarannya sangat populer di masyarakat. Sayangnya, penulisan ajarannya secara utuh dan sahih belum banyak dilakukan.
Syeikh Siti Jenar menghadirkan kearifan spiritual Islam di Jawa, atau yang umum disebut sekarang sebagai Islam Esoteris. Ia mengambil langkah tersebut, di samping alasan utama bahwa kebenaran agama tidak bisa disembunyikan, dan bahwa dia sendiri adalah seoarang esoteris dan esensialis yang telah mencapai pengalaman spiritual tertinggi (mencapai kemanunggalan, tauhid al-wujud). Syeikh Siti Jenar sendiri juga menyadari bahwa Islam yang sudah diterima masyarakat Jawa sejak awal abad ke-13 (jauh sebelum Walisongo hadir), adalah Islam yang mampu berinteraksi dengan religiusitas lokal, dan menjalin-kelindan dengan peradaban serta budaya masyarakat yang ada.
Hasilnya adalah sebuah antropologi keagamaan yang mengasyikkan, bahwa zikir adalah salat daim, yakni seluruh tingkah laku kita yang berhubungan timbal-balik dengan Allah. Dan, ternyata, ajaran Syeikh Siti Jenar diperoleh dengan sanad (mata rantai periwayatan) yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara syar’i, sufi dan bahkan filsafat. Tujuan utama Syeikh Siti Jenar adalah mengajak manusia untuk selalu tumbuh berkembang seperti pohon sidratul muntaha, yang selalu aktif, progresif dan positif.
Membangkitkan pribadi “insun sejati” melalui tauhid al-wujud, atau yang kenal dengan judul buku ini adalah “manunggaling kawula-gusti”. Gerakan yang dilakukan Syeikh Siti Jenar bersumbu pada pembebasan kultural, yang meliputi pembebasan kemanusiaan dari kungkungan struktur politik yang berdalih agama, sekaligus pembebasan dari pasungan keagamaan yang formalistik. Jadi, Syeikh Siti Jenar bukan hanya seorang penyebar agama Islam awal di Indonesia, namun sekaligus seorang suci yang sangat dihormati berbagai kalangan sampai saat ini, karena memang ajarannya yang aplikatif secara lahir dan batin juga mampu membawa rasa kebebasan bagi para penganutnya. Unsur kebebasan di bawah naungan kemanunggalan inilah mutiara yang termahal dalam hidup.
Wajar jika di balik kesunyian dan kesepian makamnya dari para penziarah, Syeikh Siti Jenar jauh melebihi para wali yang lain dalam konsep “berkah” dan “karamah”-nya bagi masyarakat. Tangisan, doa, dan jeritan tidak diberikan di makamnya yang terpencil di Kemlaten atau Giri Amparan Jati (Cirebon, Jawa Barat), tetapi hal-hal tersebut diwujudkan dalam tangisan, doa, dan jeritan histeris batin, para pengikut dan penganut ajarannya, baik terhadap Syeikh Siti Jenar, dan lebih utama lagi adalah jeritan histeris karena puncak pengalaman spiritualnya, yakni kondisi manunggal.
Buku ini mengajak kita untuk mengetahui sejauh mana pengelaman penulis sejak pertengahan 2002 dari hasil pengalaman tersebut, maka melalui penulisan buku ini, penulis mencoba mengumpulkan ajaran Syeikh Siti Jenar yang tercecer dan saling terpisah menjadi satu ketentuan yang utuh. Lebih tepatnya, buku yang penulis susun ini memiliki tujuan utama melakukan rekonstruksi ajaran Syeikh Siti Jenar. Dengan membaca buku ini, diharapkan para pembaca mendapatkan gambaran yang lengkap tentang sosok Syeikh Siti Jenar berserta ajaran-ajaran otentiknya.
Tentunya, arti penting bagi pembaca adalah mendapatkan kepastian mengenai sosok Syeikh Siti Jenar sebagai tokoh sejarah Islam di Indonesia. Sebab, selama ini, kebanyakan penulis dan pembaca tetap belum yakin benar bahwa Syeikh Siti Jenar merupakan sosok historis (manusia sejarah) yang benar-benar pernah hidup di bumi Indonesia, yang ajarannya masih hidup lestari hingga kini. Bahkan, dari kajian penulis dalam buku ini, nampaknya Syeikh Siti Jenar pernah memiliki karya tulis yang sebutnya sendiri, di antaranya adalah kitab Balal Mubarak, Tal-misan dan Musakhaf. Tetapi, seiring pelarangan ajarannya setelah dia wafat, kitab-kitab tersebut kemudian “hilang”.
Dengan demikian, ajaran-ajarannya masih tetap terpelihara melalui para pengikutnya, baik yang memeliharanya di dalam batin dan memori pikiran, yang kemudian diungkapkan dalam bentuk suluk dan serat, atau juga melalui kajian para sastrawan keraton pada abad ke-17 dan 18. Kemudian, pada era 1930-an sampai era 1955-an, muncul karya-karya ulasan yang lebih mendalam atas ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Penulis yakin ajaran Syeikh Siti Jenar tidak akan pernah surut dari panggung sejarah dan kebudayaan, sebagai salah satu varian kebenaran Islam. Dan hal tersebut menjadi khazanah yang sangat mahal bagi bangsa Indonesia, di pentas sejarah pemikiran dan perkembangan Islam pada umumnya.
Buku ini merupakan yang pertama dalam menyajikan filsafat kemenunggalan Syeikh Siti Jenar di mana ungkapan “Aku adalah Allah” yang telah mendatangkan kontroversi karena dinilai sebagai persyaratan penuhanan terhadap diri. Apa dan bagaimana sesungguhnya konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos menurut Syeikh Siti Jenar yang diurai dalam buku ini. Buku ini menyajikan itu semua.
*) Peresensi adalah Pustakawan Kutub Yogyakarta, dan Pengelola Taman Baca Dua Mata Air, Yogyakarta
Dijumput dari: http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/13217/Buku/Kearifan_Spiritual_Syeikh_Siti_Jenar.html
Penulis: KH Muhammad Sholikhin
Penerbit: Narasi, Yogyakarta
Cetakan: 1 (pertama) 2008
Tebal: 420 Halaman
Peresensi: Matroni
http://nu.or.id/
Dalam catatan sejarah, penyebaran Islam di Jawa, menunjukkan bahwa Islam tersebar luas kepada masyarakat Indonesia hingga saat ini berkat perjuangan dan jasa besar para ulama. Hingga sekarang dan kemudian hari dikenal dengan sebutan Walisongo. Sayangnya biografi mereka, hingga saat ini masih banyak didominasi mitos dan hikayat, dan belum menunjukkan realitas historis serta ajaran yang betul-betul valid.
Di antara para wali yang paling mendatangkan kontroversi dan paling banyak diselimuti kabut mitos adalah wali nyentrik, yaitu Syeikh Siti Jenar dan ajarannya sangat populer di masyarakat. Sayangnya, penulisan ajarannya secara utuh dan sahih belum banyak dilakukan.
Syeikh Siti Jenar menghadirkan kearifan spiritual Islam di Jawa, atau yang umum disebut sekarang sebagai Islam Esoteris. Ia mengambil langkah tersebut, di samping alasan utama bahwa kebenaran agama tidak bisa disembunyikan, dan bahwa dia sendiri adalah seoarang esoteris dan esensialis yang telah mencapai pengalaman spiritual tertinggi (mencapai kemanunggalan, tauhid al-wujud). Syeikh Siti Jenar sendiri juga menyadari bahwa Islam yang sudah diterima masyarakat Jawa sejak awal abad ke-13 (jauh sebelum Walisongo hadir), adalah Islam yang mampu berinteraksi dengan religiusitas lokal, dan menjalin-kelindan dengan peradaban serta budaya masyarakat yang ada.
Hasilnya adalah sebuah antropologi keagamaan yang mengasyikkan, bahwa zikir adalah salat daim, yakni seluruh tingkah laku kita yang berhubungan timbal-balik dengan Allah. Dan, ternyata, ajaran Syeikh Siti Jenar diperoleh dengan sanad (mata rantai periwayatan) yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara syar’i, sufi dan bahkan filsafat. Tujuan utama Syeikh Siti Jenar adalah mengajak manusia untuk selalu tumbuh berkembang seperti pohon sidratul muntaha, yang selalu aktif, progresif dan positif.
Membangkitkan pribadi “insun sejati” melalui tauhid al-wujud, atau yang kenal dengan judul buku ini adalah “manunggaling kawula-gusti”. Gerakan yang dilakukan Syeikh Siti Jenar bersumbu pada pembebasan kultural, yang meliputi pembebasan kemanusiaan dari kungkungan struktur politik yang berdalih agama, sekaligus pembebasan dari pasungan keagamaan yang formalistik. Jadi, Syeikh Siti Jenar bukan hanya seorang penyebar agama Islam awal di Indonesia, namun sekaligus seorang suci yang sangat dihormati berbagai kalangan sampai saat ini, karena memang ajarannya yang aplikatif secara lahir dan batin juga mampu membawa rasa kebebasan bagi para penganutnya. Unsur kebebasan di bawah naungan kemanunggalan inilah mutiara yang termahal dalam hidup.
Wajar jika di balik kesunyian dan kesepian makamnya dari para penziarah, Syeikh Siti Jenar jauh melebihi para wali yang lain dalam konsep “berkah” dan “karamah”-nya bagi masyarakat. Tangisan, doa, dan jeritan tidak diberikan di makamnya yang terpencil di Kemlaten atau Giri Amparan Jati (Cirebon, Jawa Barat), tetapi hal-hal tersebut diwujudkan dalam tangisan, doa, dan jeritan histeris batin, para pengikut dan penganut ajarannya, baik terhadap Syeikh Siti Jenar, dan lebih utama lagi adalah jeritan histeris karena puncak pengalaman spiritualnya, yakni kondisi manunggal.
Buku ini mengajak kita untuk mengetahui sejauh mana pengelaman penulis sejak pertengahan 2002 dari hasil pengalaman tersebut, maka melalui penulisan buku ini, penulis mencoba mengumpulkan ajaran Syeikh Siti Jenar yang tercecer dan saling terpisah menjadi satu ketentuan yang utuh. Lebih tepatnya, buku yang penulis susun ini memiliki tujuan utama melakukan rekonstruksi ajaran Syeikh Siti Jenar. Dengan membaca buku ini, diharapkan para pembaca mendapatkan gambaran yang lengkap tentang sosok Syeikh Siti Jenar berserta ajaran-ajaran otentiknya.
Tentunya, arti penting bagi pembaca adalah mendapatkan kepastian mengenai sosok Syeikh Siti Jenar sebagai tokoh sejarah Islam di Indonesia. Sebab, selama ini, kebanyakan penulis dan pembaca tetap belum yakin benar bahwa Syeikh Siti Jenar merupakan sosok historis (manusia sejarah) yang benar-benar pernah hidup di bumi Indonesia, yang ajarannya masih hidup lestari hingga kini. Bahkan, dari kajian penulis dalam buku ini, nampaknya Syeikh Siti Jenar pernah memiliki karya tulis yang sebutnya sendiri, di antaranya adalah kitab Balal Mubarak, Tal-misan dan Musakhaf. Tetapi, seiring pelarangan ajarannya setelah dia wafat, kitab-kitab tersebut kemudian “hilang”.
Dengan demikian, ajaran-ajarannya masih tetap terpelihara melalui para pengikutnya, baik yang memeliharanya di dalam batin dan memori pikiran, yang kemudian diungkapkan dalam bentuk suluk dan serat, atau juga melalui kajian para sastrawan keraton pada abad ke-17 dan 18. Kemudian, pada era 1930-an sampai era 1955-an, muncul karya-karya ulasan yang lebih mendalam atas ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Penulis yakin ajaran Syeikh Siti Jenar tidak akan pernah surut dari panggung sejarah dan kebudayaan, sebagai salah satu varian kebenaran Islam. Dan hal tersebut menjadi khazanah yang sangat mahal bagi bangsa Indonesia, di pentas sejarah pemikiran dan perkembangan Islam pada umumnya.
Buku ini merupakan yang pertama dalam menyajikan filsafat kemenunggalan Syeikh Siti Jenar di mana ungkapan “Aku adalah Allah” yang telah mendatangkan kontroversi karena dinilai sebagai persyaratan penuhanan terhadap diri. Apa dan bagaimana sesungguhnya konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos menurut Syeikh Siti Jenar yang diurai dalam buku ini. Buku ini menyajikan itu semua.
*) Peresensi adalah Pustakawan Kutub Yogyakarta, dan Pengelola Taman Baca Dua Mata Air, Yogyakarta
Dijumput dari: http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/13217/Buku/Kearifan_Spiritual_Syeikh_Siti_Jenar.html
Belajar dari “Intelektual Orde Baru”
M Fadjroel Rachman
KOMPAS, Sabtu 17 Sep 2005
Judul Buku: Revolusi Dari Luar (Demokratisasi di Indonesia)
Penulis: R. William Liddle
Penerbit: Penerbit Nalar dan Freedom Institute
Tahun: Cetakan Pertama, Agustus 2005
Halaman: xxii+258
“Intelektual Orde Baru!” Itulah kesimpulan saya ketika membaca artikel R. William Liddle, Merekayasa Demokrasi di Indonesia, yang dimuat Kompas pada 6-7 Februari 1990 (hlm.17). Saya membaca artikel itu di dalam penjara Badan Koordinasi Strategis Nasional Daerah (Bakorstanasda) Jawa Barat, di Jl. Sumatera 37 Bandung, penjelmaan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda). Lembaga ekstra konstitusional ini menjaga stabilitas politik Orde Baru, bertanggungjawab langsung kepada Jenderal Besar (purn.) Soeharto.
Ber-13 kami di penjara, disiksa, diinterogasi polisi, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen), dan Bakorstanasda, juga dipecat dari Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh Prof. Wiranto Arismunandar (rektor) dan Dr. Indra Djati Sidi (pembantu rektor III). Enam orang kemudian divonis 3 tahun penjara (1989-1992), berpindah-pindah ke 7 penjara, termasuk Nusakambangan. Puluhan aktifis ITB lainnya diskorsing 1-2 semester, dan sejumlah organisasi mahasiswa dilarang dan dibekukan. Semua ini berawal dari Gerakan 5 Agustus 1989 di ITB, yang menentang rezim fasis-militeristik Orde Baru dan kediktatoran Jenderal Besar (purn.) Soeharto.
Semua kejadian buruk itu membuat saya sukar untuk berjarak terhadap setiap pendapat yang “positif” terhadap Soeharto dan Orde Baru (Orba). Saya tentu meradang dan sinis membaca artikel R.William Liddle itu, guru besar di Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Columbia, AS. Walaupun sejumlah bukunya cukup mendapat perhatian di Indonesia seperti Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study; Cultural and Class Politics in New Order Indonesia; Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Awal Orde Baru; dan lainnya.
Simaklah “usulan kongkrit” Liddle (hlm.29), “…Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sedang mempersiapkan sebuah peraturan baru, yang akan menggantikan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, … dengan senat mahasiswa yang konon lebih mandiri dan berwibawa. Tindakan positif ini [huruf miring dari penulis], menurut pendapat saya, sebaiknya dibarengi dengan usaha untuk meyakinkan para pemimpin dan aktifis bahwa kampus bukanlah wahana untuk berpolitik praktis…yang diperlukan pada tahap sekarang bukan demonstrasi.”
Liddle juga menerima kebijakan konglomerasi (hlm.26), ”…dari segi efisiensi pembangunan ekonomi dan untuk menggalakkan ekspor nonmigas, pemerintah merasa perlu memberi prioritas utama kepada apa yang sekarang disebut konglomerat.” Liddle melanjutkan,”…tanpa meremehkan dan mengesampingkan kebijakan [konglomerasi] itu,saya hanya ingin menekankan pentingnya bagi pembangunan demokrasi kelak usaha untuk menciptakan puluhan juta wiraswasta, buruh terampil, dan tenaga professional yang tersebar di seluruh Nusantara.” Dalam artikel ini juga Liddle menilai (hlm.23), “…UUD 1945 sebagai kerangka pengambilan keputusan politik sudah kukuh.Kendati pemantapan Pancasila sebagai asas tunggal masih belum rampung, pendukungnya di organisasi Islam cukup banyak dan menempati kedudukan yang strategis.”
Tentu saya terheran-heran di dalam penjara, apa maunya Liddle dengan “politik praktis” yang merasionalisasi kebijakan Soeharto-Orba ini, sementara “politik praktis” mahasiswa dikecamnya. Pengekangan, pemecatan, dan penangkapan aktifis kampus adalah praktik umum politik Soeharto-Orba, selain aktifis politik lainnya. UUD 1945 dan konglomerasi menjadi basis legitimasi fasisme-militeristik Orde Baru, setiap penentangnya dicap anti UUD 1945 dan anti pembangunan. Bahkan, kurang dari 4 bulan menjelang tergulingnya Soeharto-Orba, Liddle di Kompas (6 Januari 1998) dalam artikel Revolusi dari Luar masih keras kepala meyakini bahwa, “Di Indonesia yang jelas diinginkan oleh para investor dan mungkin oleh sebagian besar masyarakat bukanlah demokratisasi, melainkan kelanjutan stabilitas politik Orde Baru.”
Bila kita susuri artikel terakhir sebelum jatuhnya Soeharto dan Orba ini, tak terlihat adanya gambaran realitas politik yang menunjukkan kemungkinan berakhirnya Soeharto-Orba. Apakah Liddle tak melihat kemungkinan tersebut? Bahkan Liddle masih “memuji-muji” Orba dan meremehkan gelombang demokratisasi dari kampus-kampus sejak Januari-Februari 1997.
Realitas “ala” Liddle
Menggelikan memang, ketika Liddle memimpikan demokrasi di Indonesia, prasyarat demokrasi politik seperti hak hidup, hak berbicara atau berbeda pendapat, hak berorganisasi, hak berdemonstrasi dihabisi. Semua kekuatan kritis masyarakat sipil diberangus dan dikooptasi untuk mengendalikan seluruh aktifitas masyarakat di bawah negara korporatis Orba. Liddle tidak melihat bahwa gerakan mahasiswa sebagai benteng terakhir mempertahankan kritisisme dan memelihara sesedikit mungkin prasyarat demokrasi politik itu. Kritisisme dan gerakan politik nilai (values political movement) mahasiswa merupakan jantung terakhir demokrasi, itulah yang ditakuti gerakan politik kekuasaan (power political movement) dari negara korporatis Orba.
Demonstrasi yang dikecam Liddle itu hanya seperseribu dari aktifitas gerakan politik nilai mahasiswa untuk memelihara dan mengembangkan kritisisme. Menyedihkan memang bila ilmuwan politik sekaliber Liddle menyamakan gerakan politik nilai mahasiswa dengan demonstrasi, lalu merasionalisasi praktik politik negara Orba untuk membungkam kritisisme yang berkembang di kampus-kampus.
Begitu pula dengan konglomerasi, kebijakan pembangunan inilah sumber malapetaka krisis ekonomi yang berujung dengan tergulingnya Soeharto-Orba pada Mei 1998. Kebijakan ini dilindungi dengan slogan trickle down effect, membenarkan kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi. Padahal yang terjadi trickle up effect, merampas hak sosial, hak ekonomi, hak budaya masyarakat. Karena itu tentu kontradiktif bila Liddle mengharapkan tumbuhnya puluhan juta wiraswasta, mikro, kecil, dan menengah yang bakal menjadi basis pengembangan kelas menengah sembari mendukung konglomerasi, oligarki modal nasional. Tentu pembaca yang lebih kritis lagi tidak akan menemukan artikel Liddle tentang kejahatan Hak Asasi Manusia berat yang terjadi sepanjang Soeharto-Orba berkuasa. Sebut saja peristiwa 1965, Tanjung Priok, Kedung Ombo, Penembakan Misterius, Talang Sari, Tragedi 27 Juli, Penjajahan Timor Timor, Daerah Operasi Militer Aceh, dan lainnya.
Kehatian-hatian ataukah perhitungan politik praktis yang melatarbelakangi semua artikelnya pada periode Orba ini, sukar diputuskan. Walaupun Liddle sendiri dengan gagah menyatakan,”…[setiap] analisis saya membicarakan kenyataan belaka dan tidak bermaksud mematikan harapan orang untuk sebuah masa depan yang lebih demokratis.” Liddle menegaskan lebih jauh lagi (hlm.57),”…Malah, saya percaya bahwa telaah yang realistis tentang keadaan politik masa kini merupakan suatu keharusan atau sine qua non buat pengertian kita mengenai kemungkinan-kemungkinan masa depan. Tanpa batu loncatan yang kukuh (yang buat saya dasarnya haruslah kebenaran), kita pasti tidak bisa meloncat jauh.”
Kembali pada kritik sebelumnya, segera kita membuat jarak dan bertanya, mana realitas atau kenyataan belaka “pada umumnya”? Lalu mana realitas atau kenyataan belaka “ala” Liddle?
Kelas Menengah dan Demokrasi
Klaim Liddle bahwa setiap analisisnya merupakan kenyataan dan telaah yang realistis tentu sangat mengganggu karena banyak pihak bisa menunjukkan kenyataan sebaliknya. Tetapi kita dapat belajar dari “kekeraskepalaan” Liddle terhadap “kenyataan belaka” yang diperolehnya.
Liddle seorang guru yang baik dan jujur, sederhana merumuskan pikirannya, dan memberikan inspirasi berharga bila dia tidak langsung menilai atau mengomentari fakta keras sehingga terjerembab memberikan “rasionalisasi” praktik fasis-militeristik Soeharto-Orba. Akan tetapi bila Liddle menggambarkan kenyataan umum, mengajukan pertanyaan kritis, maka kritisisme dan rasa ingin tahu kita terpancing untuk menelaah lebih jauh. Bacalah artikelnya Demokratisasi dan Kelas Menengah, adalah wacana yang hidup di masa Orba, juga pada pasca-Orbasekarang. Kata Liddle, “pemerintahan demokratis tanpa dukungan kelas menengah hampir-hampir tidak ada.” Bukankah kita masih berputar membuat anti-tesis atau sistesis dari tesis umum modernisasi ini?
Liddle menegaskan keyakinannya (hlm.10), “demokrasi parlementer sulit berjalan dengan baik tanpa didahului revolusi industri yang menciptakan kelas pengusaha swasta dan profesional yang cukup besar dan mandiri. Kelas ini nyaris merupakan satu-satunya golongan dalam masyarakat yang bisa diandalkan menjadi tulang punggung sistem perwakilan modern yang cukup kuat, sadar, dan berkepentingan untuk menuntut pemerintahan yang responsive dan responsible, mau mendengarkan dan bertanggungjawab.” Demikian pula artikel Mengenang Soedjatmoko, kita segera disergap pertanyaan abadi tentang modernisasi dan tradisi, yang melengkapi pertanyaan dan deskripsi sosial pada artikel Peristiwa Bersejarah di Imogiri.
Artikelnya Tiga Tantangan Politik Masa Depan ditulis pada 12 Juni 1995, juga memberikan gambar menarik yang bisa kita uji dalam realitas politik pasca-Orba tentang tiga kekuatan masyarakat yang sedang muncul akibat proses perubahan dari kebijakan ekonomi, sosial, dan budaya Orba, dan faktor eksternal lainnya seperti perpindahan modal, pasang-surutnya ide besar, dan teknologi. Kata Liddle, pertama, sudah muncul Islam dengan segala variasinya, selain modernis inklusif seperti Nurcholis Madjid (alm.) juga ada modernis eksklusif melalui usroh, harakah, dan tarbiah. Kita mudah melacaknya pada kebangkitan Partai Keadilan Sejahtera, atau Hizbut Thahir Indonesia, dan lainnya. Kedua, terjadi proses borjuasi akibat pertumbuhan ekonomi Orba yang merombak struktur sosial masyarakat Indonesia. Inikah sumber daya politik yang menggulingkan Soeharto-Orba, dan demokrasi kita berikutnya? Ketiga, bangkitnya aspirasi kedaerahan dalam bentuk baru. Ketiga tantangan ini menurut Liddle mendorong proses pengelompokan politik baru yang akan menuntut banyak dari pemerintah di masa mendatang. Dibutuhkan penelitian sangat serius untuk menguji ketiga tesis ini.
Dua Periode, Dua Sikap Berbeda
Tentu ada pembaca yang bertanya, apakah Liddle pernah mengeluarkan kritik tegas terhadap Orba? Kita bagi saja ada dua periode artikel Liddle dalam buku ini: Periode Orba dan Periode Pasca-Orba. Pada artikel periode Orba, Liddle tidak pernah mengutarakan kritik tegas terhadap Soeharto-Orba, “hanya” mengiyakan kenyataan itu saja. Mengutip kata-kata Liddle sendiri dalam artikel favorit saya Dua Wajah Individualisme, pada periode Orba, Liddle menjadikan sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang seharusnya. What “is’ has become what “ought to be” (hlm.65). Akibat langsungnya, misalnya Liddle kehilangan kepekaan “dengan telaah realitas atau kenyataan belakanya” terhadap tanda-tanda berakhirnya Soeharto-Orba. Termasuk peremehannya terhadap gerakan mahasiswa dan gerakan sosial yang mengakhiri Soeharto-Orba pada Mei 1998.
Pada periode pasca-Orba, Liddle membuka artikelnya Modal Politik (Kompas,12 Oktober 1998) dengan gempuran yang sangat keras dan tegas terhadap Soeharto-Orba, padahal para musuh Orba, seperti saya dan kawan-kawan, sudah tak berselera lagi memakai kata-kata sekeras itu. Tulis Liddle (hlm.87), “Sekitar 30 tahun lalu sisa-sisa pemerintah demokratis di Indonesia dimusnahkan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan perwira ABRI pendukung Soeharto.”
Lalu dalam wawancara dengan Salomo Simanungkalit (Kompas, 21 Februari 2001) Liddle menegaskan (hlm.187), “Kalau UUD 1945 betul-betul dilaksanakan sebagai undang-undang dasar yang demokratis – maksud saya, tidak diselewengkan oleh diktator seperti Soeharto.” Liddle menyebut Soeharto sebagai diktator! Ini adalah slogan gerakan mahasiswa ketika menentang Soeharto-Orba. Saya juga tercengang, Liddle menganggap UUD 1945 versi asli sebelum amandemen sebagai UUD demokratis, hanya Soeharto yang menyelewengkannya sebagai diktator? Tetapi, seandainya Liddle menulis kalimat tersebut ketika saya dan kawan-kawan dipenjarakan Soeharto-Orba dan disiksa Bakorstanasda, Bakin, dan Polisi, tentu tak akan keluar kata-kata, “Intelektual Orde Baru!”
Artikel periode pasca-Orba kebanyakan adalah upaya Liddle menggambarkan keadaan politik sebagai pengamat “netral”. Tetapi kecamannya terhadap Soeharto-Orba terlihat sangat keras dan langsung. Bahkan alasan penolakan gerakan mahasiswa terhadap Soeharto-Orba, selain sebutan Liddle bahwa Soeharto itu diktator, dirumuskan dengan baik pada artikel periode pasca-Orba Warisan Buruk Orde Baru (hlm.92), “sistem politik Orde Baru dibangun atas dasar otoriterisme. Lembaga-lembaga legislatif, partai, pemilu, ormas, pers, dan hampir semua organisasi yang berpotensi mengancam kedudukan pemerintah dikuasai dan dikekang oleh Presiden Soeharto dan bawahan-bawahannya.”
Kita tidak tahu kenapa kesadaran di atas demikian terlambat datangnya pada Liddle. Bahkan bila gerakan politik nilai mahasiswa mengikuti saran Liddle, maka bukan hanya Soeharto-Orba terus berkuasa hingga hari ini, tetapi juga kita tak akan menemukan artikel Liddle periode pasca-Orba. Lalu di manakah posisi Liddle sekarang? Murid-muridnya – umumnya bukanlah penentang Soeharto-Orba – sebagian besar menjadi “peleton intelektual” Jenderal (purn.) Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) presiden RI terpilih pada pemilu 2004, baik di dalam maupun di luar struktur. Kita belum bisa menilainya sekarang, karena artikel Liddle tentang SBY hanya sekitar 3 buah dalam buku ini, walaupun sudah cukup untuk memancing kontroversi baru bagi Liddle. Tetapi sekarang Liddle tidak sendiri, kita juga bisa mengamati dan belajar dari murid-muridnya yang menjadi “peleton intelektual” SBY. Apakah sekarang ini periode Liddle+murid-muridnya? Waktu yang akan menjawabnya.
Penutup
Sayangnya, pengantar buku yang ditulis Hamid Basyaib sangat seadanya, padahal untuk buku yang dikumpulkan dari artikel terpisah, sebuah pengantar berkualitas sangat menentukan sebagai penjahit “benang merah” pemikiran. Tentu kita berharap –dan sangat pantas berharap- sebuah pengantar yang berkualitas dan inspiratif seperti pengantar Ignas Kleden untuk kumpulan artikel Sudjatmoko dalam Etika Pembebasan (LP3ES, 1985) misalnya.
Liddle masih dan akan terus berkarya, kita juga akan terus belajar dari guru yang santun, jujur, dan kontroversial ini. Di hari mendatang, kita semua akan terus bergulat, bertempur, membongkar diri, menguji apa yang ia pikirkan (what he thinks), dan bagaimana ia memikirkannya (how he thinks). Guru yang baik, adalah guru yang siap dikecam, dimusuhi dan dilampaui orang-orang yang belajar –langsung dan tak langsung kepadanya. Prof. R.William Liddle adalah salah satunya!
M. Fadjroel Rachman, Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]
Dijumput dari: http://nalar.co.id/belajar-dari-intelektual-orde-bari-91.php
KOMPAS, Sabtu 17 Sep 2005
Judul Buku: Revolusi Dari Luar (Demokratisasi di Indonesia)
Penulis: R. William Liddle
Penerbit: Penerbit Nalar dan Freedom Institute
Tahun: Cetakan Pertama, Agustus 2005
Halaman: xxii+258
“Intelektual Orde Baru!” Itulah kesimpulan saya ketika membaca artikel R. William Liddle, Merekayasa Demokrasi di Indonesia, yang dimuat Kompas pada 6-7 Februari 1990 (hlm.17). Saya membaca artikel itu di dalam penjara Badan Koordinasi Strategis Nasional Daerah (Bakorstanasda) Jawa Barat, di Jl. Sumatera 37 Bandung, penjelmaan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda). Lembaga ekstra konstitusional ini menjaga stabilitas politik Orde Baru, bertanggungjawab langsung kepada Jenderal Besar (purn.) Soeharto.
Ber-13 kami di penjara, disiksa, diinterogasi polisi, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen), dan Bakorstanasda, juga dipecat dari Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh Prof. Wiranto Arismunandar (rektor) dan Dr. Indra Djati Sidi (pembantu rektor III). Enam orang kemudian divonis 3 tahun penjara (1989-1992), berpindah-pindah ke 7 penjara, termasuk Nusakambangan. Puluhan aktifis ITB lainnya diskorsing 1-2 semester, dan sejumlah organisasi mahasiswa dilarang dan dibekukan. Semua ini berawal dari Gerakan 5 Agustus 1989 di ITB, yang menentang rezim fasis-militeristik Orde Baru dan kediktatoran Jenderal Besar (purn.) Soeharto.
Semua kejadian buruk itu membuat saya sukar untuk berjarak terhadap setiap pendapat yang “positif” terhadap Soeharto dan Orde Baru (Orba). Saya tentu meradang dan sinis membaca artikel R.William Liddle itu, guru besar di Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Columbia, AS. Walaupun sejumlah bukunya cukup mendapat perhatian di Indonesia seperti Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study; Cultural and Class Politics in New Order Indonesia; Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Awal Orde Baru; dan lainnya.
Simaklah “usulan kongkrit” Liddle (hlm.29), “…Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sedang mempersiapkan sebuah peraturan baru, yang akan menggantikan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, … dengan senat mahasiswa yang konon lebih mandiri dan berwibawa. Tindakan positif ini [huruf miring dari penulis], menurut pendapat saya, sebaiknya dibarengi dengan usaha untuk meyakinkan para pemimpin dan aktifis bahwa kampus bukanlah wahana untuk berpolitik praktis…yang diperlukan pada tahap sekarang bukan demonstrasi.”
Liddle juga menerima kebijakan konglomerasi (hlm.26), ”…dari segi efisiensi pembangunan ekonomi dan untuk menggalakkan ekspor nonmigas, pemerintah merasa perlu memberi prioritas utama kepada apa yang sekarang disebut konglomerat.” Liddle melanjutkan,”…tanpa meremehkan dan mengesampingkan kebijakan [konglomerasi] itu,saya hanya ingin menekankan pentingnya bagi pembangunan demokrasi kelak usaha untuk menciptakan puluhan juta wiraswasta, buruh terampil, dan tenaga professional yang tersebar di seluruh Nusantara.” Dalam artikel ini juga Liddle menilai (hlm.23), “…UUD 1945 sebagai kerangka pengambilan keputusan politik sudah kukuh.Kendati pemantapan Pancasila sebagai asas tunggal masih belum rampung, pendukungnya di organisasi Islam cukup banyak dan menempati kedudukan yang strategis.”
Tentu saya terheran-heran di dalam penjara, apa maunya Liddle dengan “politik praktis” yang merasionalisasi kebijakan Soeharto-Orba ini, sementara “politik praktis” mahasiswa dikecamnya. Pengekangan, pemecatan, dan penangkapan aktifis kampus adalah praktik umum politik Soeharto-Orba, selain aktifis politik lainnya. UUD 1945 dan konglomerasi menjadi basis legitimasi fasisme-militeristik Orde Baru, setiap penentangnya dicap anti UUD 1945 dan anti pembangunan. Bahkan, kurang dari 4 bulan menjelang tergulingnya Soeharto-Orba, Liddle di Kompas (6 Januari 1998) dalam artikel Revolusi dari Luar masih keras kepala meyakini bahwa, “Di Indonesia yang jelas diinginkan oleh para investor dan mungkin oleh sebagian besar masyarakat bukanlah demokratisasi, melainkan kelanjutan stabilitas politik Orde Baru.”
Bila kita susuri artikel terakhir sebelum jatuhnya Soeharto dan Orba ini, tak terlihat adanya gambaran realitas politik yang menunjukkan kemungkinan berakhirnya Soeharto-Orba. Apakah Liddle tak melihat kemungkinan tersebut? Bahkan Liddle masih “memuji-muji” Orba dan meremehkan gelombang demokratisasi dari kampus-kampus sejak Januari-Februari 1997.
Realitas “ala” Liddle
Menggelikan memang, ketika Liddle memimpikan demokrasi di Indonesia, prasyarat demokrasi politik seperti hak hidup, hak berbicara atau berbeda pendapat, hak berorganisasi, hak berdemonstrasi dihabisi. Semua kekuatan kritis masyarakat sipil diberangus dan dikooptasi untuk mengendalikan seluruh aktifitas masyarakat di bawah negara korporatis Orba. Liddle tidak melihat bahwa gerakan mahasiswa sebagai benteng terakhir mempertahankan kritisisme dan memelihara sesedikit mungkin prasyarat demokrasi politik itu. Kritisisme dan gerakan politik nilai (values political movement) mahasiswa merupakan jantung terakhir demokrasi, itulah yang ditakuti gerakan politik kekuasaan (power political movement) dari negara korporatis Orba.
Demonstrasi yang dikecam Liddle itu hanya seperseribu dari aktifitas gerakan politik nilai mahasiswa untuk memelihara dan mengembangkan kritisisme. Menyedihkan memang bila ilmuwan politik sekaliber Liddle menyamakan gerakan politik nilai mahasiswa dengan demonstrasi, lalu merasionalisasi praktik politik negara Orba untuk membungkam kritisisme yang berkembang di kampus-kampus.
Begitu pula dengan konglomerasi, kebijakan pembangunan inilah sumber malapetaka krisis ekonomi yang berujung dengan tergulingnya Soeharto-Orba pada Mei 1998. Kebijakan ini dilindungi dengan slogan trickle down effect, membenarkan kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi. Padahal yang terjadi trickle up effect, merampas hak sosial, hak ekonomi, hak budaya masyarakat. Karena itu tentu kontradiktif bila Liddle mengharapkan tumbuhnya puluhan juta wiraswasta, mikro, kecil, dan menengah yang bakal menjadi basis pengembangan kelas menengah sembari mendukung konglomerasi, oligarki modal nasional. Tentu pembaca yang lebih kritis lagi tidak akan menemukan artikel Liddle tentang kejahatan Hak Asasi Manusia berat yang terjadi sepanjang Soeharto-Orba berkuasa. Sebut saja peristiwa 1965, Tanjung Priok, Kedung Ombo, Penembakan Misterius, Talang Sari, Tragedi 27 Juli, Penjajahan Timor Timor, Daerah Operasi Militer Aceh, dan lainnya.
Kehatian-hatian ataukah perhitungan politik praktis yang melatarbelakangi semua artikelnya pada periode Orba ini, sukar diputuskan. Walaupun Liddle sendiri dengan gagah menyatakan,”…[setiap] analisis saya membicarakan kenyataan belaka dan tidak bermaksud mematikan harapan orang untuk sebuah masa depan yang lebih demokratis.” Liddle menegaskan lebih jauh lagi (hlm.57),”…Malah, saya percaya bahwa telaah yang realistis tentang keadaan politik masa kini merupakan suatu keharusan atau sine qua non buat pengertian kita mengenai kemungkinan-kemungkinan masa depan. Tanpa batu loncatan yang kukuh (yang buat saya dasarnya haruslah kebenaran), kita pasti tidak bisa meloncat jauh.”
Kembali pada kritik sebelumnya, segera kita membuat jarak dan bertanya, mana realitas atau kenyataan belaka “pada umumnya”? Lalu mana realitas atau kenyataan belaka “ala” Liddle?
Kelas Menengah dan Demokrasi
Klaim Liddle bahwa setiap analisisnya merupakan kenyataan dan telaah yang realistis tentu sangat mengganggu karena banyak pihak bisa menunjukkan kenyataan sebaliknya. Tetapi kita dapat belajar dari “kekeraskepalaan” Liddle terhadap “kenyataan belaka” yang diperolehnya.
Liddle seorang guru yang baik dan jujur, sederhana merumuskan pikirannya, dan memberikan inspirasi berharga bila dia tidak langsung menilai atau mengomentari fakta keras sehingga terjerembab memberikan “rasionalisasi” praktik fasis-militeristik Soeharto-Orba. Akan tetapi bila Liddle menggambarkan kenyataan umum, mengajukan pertanyaan kritis, maka kritisisme dan rasa ingin tahu kita terpancing untuk menelaah lebih jauh. Bacalah artikelnya Demokratisasi dan Kelas Menengah, adalah wacana yang hidup di masa Orba, juga pada pasca-Orbasekarang. Kata Liddle, “pemerintahan demokratis tanpa dukungan kelas menengah hampir-hampir tidak ada.” Bukankah kita masih berputar membuat anti-tesis atau sistesis dari tesis umum modernisasi ini?
Liddle menegaskan keyakinannya (hlm.10), “demokrasi parlementer sulit berjalan dengan baik tanpa didahului revolusi industri yang menciptakan kelas pengusaha swasta dan profesional yang cukup besar dan mandiri. Kelas ini nyaris merupakan satu-satunya golongan dalam masyarakat yang bisa diandalkan menjadi tulang punggung sistem perwakilan modern yang cukup kuat, sadar, dan berkepentingan untuk menuntut pemerintahan yang responsive dan responsible, mau mendengarkan dan bertanggungjawab.” Demikian pula artikel Mengenang Soedjatmoko, kita segera disergap pertanyaan abadi tentang modernisasi dan tradisi, yang melengkapi pertanyaan dan deskripsi sosial pada artikel Peristiwa Bersejarah di Imogiri.
Artikelnya Tiga Tantangan Politik Masa Depan ditulis pada 12 Juni 1995, juga memberikan gambar menarik yang bisa kita uji dalam realitas politik pasca-Orba tentang tiga kekuatan masyarakat yang sedang muncul akibat proses perubahan dari kebijakan ekonomi, sosial, dan budaya Orba, dan faktor eksternal lainnya seperti perpindahan modal, pasang-surutnya ide besar, dan teknologi. Kata Liddle, pertama, sudah muncul Islam dengan segala variasinya, selain modernis inklusif seperti Nurcholis Madjid (alm.) juga ada modernis eksklusif melalui usroh, harakah, dan tarbiah. Kita mudah melacaknya pada kebangkitan Partai Keadilan Sejahtera, atau Hizbut Thahir Indonesia, dan lainnya. Kedua, terjadi proses borjuasi akibat pertumbuhan ekonomi Orba yang merombak struktur sosial masyarakat Indonesia. Inikah sumber daya politik yang menggulingkan Soeharto-Orba, dan demokrasi kita berikutnya? Ketiga, bangkitnya aspirasi kedaerahan dalam bentuk baru. Ketiga tantangan ini menurut Liddle mendorong proses pengelompokan politik baru yang akan menuntut banyak dari pemerintah di masa mendatang. Dibutuhkan penelitian sangat serius untuk menguji ketiga tesis ini.
Dua Periode, Dua Sikap Berbeda
Tentu ada pembaca yang bertanya, apakah Liddle pernah mengeluarkan kritik tegas terhadap Orba? Kita bagi saja ada dua periode artikel Liddle dalam buku ini: Periode Orba dan Periode Pasca-Orba. Pada artikel periode Orba, Liddle tidak pernah mengutarakan kritik tegas terhadap Soeharto-Orba, “hanya” mengiyakan kenyataan itu saja. Mengutip kata-kata Liddle sendiri dalam artikel favorit saya Dua Wajah Individualisme, pada periode Orba, Liddle menjadikan sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang seharusnya. What “is’ has become what “ought to be” (hlm.65). Akibat langsungnya, misalnya Liddle kehilangan kepekaan “dengan telaah realitas atau kenyataan belakanya” terhadap tanda-tanda berakhirnya Soeharto-Orba. Termasuk peremehannya terhadap gerakan mahasiswa dan gerakan sosial yang mengakhiri Soeharto-Orba pada Mei 1998.
Pada periode pasca-Orba, Liddle membuka artikelnya Modal Politik (Kompas,12 Oktober 1998) dengan gempuran yang sangat keras dan tegas terhadap Soeharto-Orba, padahal para musuh Orba, seperti saya dan kawan-kawan, sudah tak berselera lagi memakai kata-kata sekeras itu. Tulis Liddle (hlm.87), “Sekitar 30 tahun lalu sisa-sisa pemerintah demokratis di Indonesia dimusnahkan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan perwira ABRI pendukung Soeharto.”
Lalu dalam wawancara dengan Salomo Simanungkalit (Kompas, 21 Februari 2001) Liddle menegaskan (hlm.187), “Kalau UUD 1945 betul-betul dilaksanakan sebagai undang-undang dasar yang demokratis – maksud saya, tidak diselewengkan oleh diktator seperti Soeharto.” Liddle menyebut Soeharto sebagai diktator! Ini adalah slogan gerakan mahasiswa ketika menentang Soeharto-Orba. Saya juga tercengang, Liddle menganggap UUD 1945 versi asli sebelum amandemen sebagai UUD demokratis, hanya Soeharto yang menyelewengkannya sebagai diktator? Tetapi, seandainya Liddle menulis kalimat tersebut ketika saya dan kawan-kawan dipenjarakan Soeharto-Orba dan disiksa Bakorstanasda, Bakin, dan Polisi, tentu tak akan keluar kata-kata, “Intelektual Orde Baru!”
Artikel periode pasca-Orba kebanyakan adalah upaya Liddle menggambarkan keadaan politik sebagai pengamat “netral”. Tetapi kecamannya terhadap Soeharto-Orba terlihat sangat keras dan langsung. Bahkan alasan penolakan gerakan mahasiswa terhadap Soeharto-Orba, selain sebutan Liddle bahwa Soeharto itu diktator, dirumuskan dengan baik pada artikel periode pasca-Orba Warisan Buruk Orde Baru (hlm.92), “sistem politik Orde Baru dibangun atas dasar otoriterisme. Lembaga-lembaga legislatif, partai, pemilu, ormas, pers, dan hampir semua organisasi yang berpotensi mengancam kedudukan pemerintah dikuasai dan dikekang oleh Presiden Soeharto dan bawahan-bawahannya.”
Kita tidak tahu kenapa kesadaran di atas demikian terlambat datangnya pada Liddle. Bahkan bila gerakan politik nilai mahasiswa mengikuti saran Liddle, maka bukan hanya Soeharto-Orba terus berkuasa hingga hari ini, tetapi juga kita tak akan menemukan artikel Liddle periode pasca-Orba. Lalu di manakah posisi Liddle sekarang? Murid-muridnya – umumnya bukanlah penentang Soeharto-Orba – sebagian besar menjadi “peleton intelektual” Jenderal (purn.) Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) presiden RI terpilih pada pemilu 2004, baik di dalam maupun di luar struktur. Kita belum bisa menilainya sekarang, karena artikel Liddle tentang SBY hanya sekitar 3 buah dalam buku ini, walaupun sudah cukup untuk memancing kontroversi baru bagi Liddle. Tetapi sekarang Liddle tidak sendiri, kita juga bisa mengamati dan belajar dari murid-muridnya yang menjadi “peleton intelektual” SBY. Apakah sekarang ini periode Liddle+murid-muridnya? Waktu yang akan menjawabnya.
Penutup
Sayangnya, pengantar buku yang ditulis Hamid Basyaib sangat seadanya, padahal untuk buku yang dikumpulkan dari artikel terpisah, sebuah pengantar berkualitas sangat menentukan sebagai penjahit “benang merah” pemikiran. Tentu kita berharap –dan sangat pantas berharap- sebuah pengantar yang berkualitas dan inspiratif seperti pengantar Ignas Kleden untuk kumpulan artikel Sudjatmoko dalam Etika Pembebasan (LP3ES, 1985) misalnya.
Liddle masih dan akan terus berkarya, kita juga akan terus belajar dari guru yang santun, jujur, dan kontroversial ini. Di hari mendatang, kita semua akan terus bergulat, bertempur, membongkar diri, menguji apa yang ia pikirkan (what he thinks), dan bagaimana ia memikirkannya (how he thinks). Guru yang baik, adalah guru yang siap dikecam, dimusuhi dan dilampaui orang-orang yang belajar –langsung dan tak langsung kepadanya. Prof. R.William Liddle adalah salah satunya!
M. Fadjroel Rachman, Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]
Dijumput dari: http://nalar.co.id/belajar-dari-intelektual-orde-bari-91.php
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita