Tampilkan postingan dengan label Damanhuri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Damanhuri. Tampilkan semua postingan

24/12/11

Buku, Iman, Pembebasan

Damanhuri *
Lampung Post,3 Mei 2009

“Biara tanpa buku seperti kota tanpa harta, tangsi tanpa tentara,
dapur tanpa bumbu, kebun tanpa tumbuhan, padang tanpa bunga,
pohon tanpa daun.”
The Name of the Rose, Umberto Eco

11/09/10

Sastra Malin Kundang, Sastra Kontekstual, Sastra…

Damanhuri
http://www.lampungpost.com/

MEREPETISI atau bahkan replika gagasan tampaknya masih menjadi salah satu ciri tabiat buruk yang terus dipelihara sebagian anak bangsa ini. Pengulangan gagasan itu menjadi kian menyedihkan jika pelakunya justru mereka yang selama ini dikenal sebagai orang-orang yang menyibukkan diri dan memungut takdir hidupnya, dalam dunia kreatif-penciptaan. Padahal siapa pun tahu, repetisi adalah cacat dalam proses kreatif.

Repetisi tersebut mungkin menjadi sedikit termaafkan jika ada sisipan pengayaan eksplorasi dalam gagasan lama yang dihidupkan dan dibesar-besarkan kembali itu. Sebab, memang, seperti kata pepatah lama, “tak ada hal yang baru di kolong langit (nothing is new under the sky)”. Tetapi harapan itu tak akan kita temukan dalam esai Binhad Nurrahmat, “Sastra Malin Kundang” (Lampung Post, 27-2), maupun dalam afirmasinya yang dirayakan Galih Priadi S.S., “Sastra Malin Kundang Versus Sastra Kontekstual” (Lampung Post, 6-3).

Sebab, alih-alih “menjawab” isu krisis kritikus sastra (di) Lampung seperti mengemuka akhir-akhir ini, esai Binhad–dalam batas-batas tertentu–malah seolah kian menegaskan kebenaran isu tersebut. Sedangkan dalam esai tanggapan Galih Priadi S.S., yang hampir sepenuhnya mengiyakan gagasan Binhad, yang kita pergoki juga tak lebih dari tawaran “sastra kontekstual” yang dihadapkan dengan “sastra tekstual” (sic!). Di samping puja-pujinya yang sedikit berlebihan baik untuk Binhad maupun untuk penyair Y. Wibowo yang menurut dia banyak memublikasikan puisi-puisi yang sukses mengeksplorasi tematik sekaligus jelajah estetik di banyak media massa nasional!

Dus, kedua esai itu, hemat saya, selain tak lebih dari pengulangan gagasan lama–dengan serakan distorsi di banyak tempat–yang agak menjenuhkan, juga dalam waktu yang sama memunculkan beberapa sesat-pikir seputar dinamika dunia sastra Indonesia. Untuk mengokohkan beberapa simpul penilaian saya atas kedua esai tersebut, berikut saya sodorkan bata argumen yang disusun alakadarnya, tapi mudah-mudahan kian mempertegas benang merah posisi yang saya pilih.
***

Untuk esai Binhad, bagi siapa pun yang sedikit melek wacana sastra adalah sebuah turisme belaka apa yang dipaparkan sepanjang tujuh paragraf awal esainya itu. Sebab, sejak “Tentang Tema & Machiavelisme Kesusastraan”-nya Goenawan Mohamad yang termuat dalam Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1971) hingga Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden (2004), apa yang diutarakan Binhad adalah kembar siamnya belaka.

Tetapi, beberapa pertanyaan jadi layak diajukan ketika Binhad secara serampangan meringkus kategori sosiologis-antropologis masyarakat Indonesia menjadi hanya “agraris”, “bahari”, dan “keagamaan”. Kejanggalan serupa kembali muncul saat Binhad menyebut-nyebut Taufik Abdullah menulis sejarah pemberontakan masyarakat petani Banten.

Juga saat ia mengutarakan adanya semacam “ideologi sastra”, yang menurut dia, menyarankan “karya sastra harus membangun otonomi sendiri meskipun tanpa harus berhubungan dengan kenyataan yang ada di luar teks”. Sepenggal dalih yang tak lain, lagi-lagi kata Binhad, “sebagai bentuk nyata dari sikap rendah diri sikap jumawa yang terlalu apatis terhadap kenyataan yang bertaburan dan merubung setiap hari di depan hidung”.

Tentang dua soal pertama, kategori sosiologis siapakah yang dijadikan rujukan Binhad? Geertz, Marx, Homi Bhabha, Pierre Bourdieu atau Koentjaraningrat, misalnya? Sejak kapan pula Taufik Abdullah menulis sejarah Banten? Bukankah topik disertasi yang dia tulis adalah gerakan kaum muda di Minangkabau? Mungkin yang dimaksud Binhad adalah Hoesein Djajadiningrat atau Sartono Kartodirdjo.

Kekeliruan yang terkesan agak remeh tersebut bagaimanapun cukup krusial diungkapkan karena kecermatan tilikan sosiologis dan (kesadaran) sejarah itulah dua di antara beragam syarat yang niscaya hadir dalam telaah sastra. Sebab, dengan absennya dua syarat itu, hampir tak cukup ada alasan mengharapkan hadirnya kritik sastra yang bisa dibanggakan.

Ihwal soal yang terakhir, “otonomi sastra”, menurut dia, muasal dari apa yang disebut-sebut sebagai “sastra Malin Kundang” itu, lagi-lagi saya dibuat bingung dengan apa yang dimaui Binhad. Karena sejauh jelajah bacaan sastra yang saya lakukan, rasa-rasanya tak pernah menemukan kritikus atau teoretisi sastra yang menjajakan dalil seperti itu.

Mungkin yang dimaksud adalah “otonomi semantik”-nya Paul Ricoeur: teks otonom dari sang pengarangnya, mandiri dari konteks tempat teks diproduksi, dan tak harus dipertautkan ulang dengan audiens yang semula (hendak) disapanya.

Jika itu soalnya, otonomi (teks) sastra tersebut jelas tak bersangkut paut dengan pilihan kerangka tematik penggarapan karya sastra. Wacana otonomi semantik justru baru mengemuka saat kita membincang jelajah tafsir atas teks yang lahir dan telah dianggap mandiri dengan “otonomi rangkap tiga”-nya di atas. Bahwa tafsir versi pengarang hanya salah satu saja dari kemungkinan tafsir lain yang dimunculkan pembaca.

Last but not least, ihwal khazanah karya sastra Indonesia yang dia tuduh didominasi ideologi “sastra Malin Kundang” (sayangnya dengan tanpa menyebut sepotong karya pun sebagai contohnya), lalu ditaruh di manakah tetralogi Pulau Buru dari Pram, Para Priyayi (Umar Kayam), Mantra Pejinak Ular (Kuntowijoyo), Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), Tarian Bumi (Oka Rusmini), To Kill the Radio (Dorothea Rosa Herliany), Di Dalam Rahim Ibuku tak Ada Anjing, dan Seperti Novel yang Malas Mengisahkan Manusia (Afrizal Malna), Masa Depan Kesunyian (Radhar Panca Dahana) atau yang paling mutakhir Perempuan Pala (Azhari) maupun Rumah Kawin (Zen Hae).

Dari sebukit buku prosa dan puisi yang ditetaskan tangan-tangan piawai sastrawan yang sebagian kecilnya saya sebut di atas, masih tetap jumawakah kita menuding khazanah karya sastra modern kita gagal (dan bahkan emoh) menangkap denyut nadi realitas? Lain soalnya, memang, jika yang dijadikan rujukan Binhad menguatkan tilikan gegabahnya itu tak pernah beranjak dari Jangan Main-Main dengan Kelaminmu Djenar Maesa Ayu atau karyanya sendiri, Kuda Ranjang, yang berpusing-pusing dan akhirnya mentok tak jauh dari tema seputar kelamin.

Inilah memang sastra Malin Kundang itu. “Sastra yang diam dalam kulkas,” kata Afrizal Malna dan Saut Situmorang. Sastra yang seolah memilih murtad dari hiruk-pikuk kenyataan sosial, asyik dengan dunianya sendiri, dan dengan takabur bahkan diam-diam memunggungi sebukit persoalan serius yang justru tengah berlangsung.
***

Tentang tawaran Galih Priadi S.S. perihal isu local genius–dengan memancangkan garis pembatas tegas antara yang lokal yang global–sebagai pilihan tematik membongkar hegemoni kanon sastra, saya kira ada baiknya menengok tradisi sastra poskolonial di mancanegara. Tengoklah The God of Small Things dari Arundhati Roy, misalnya, yang melakukan counter-hegemony atas narasi besar yang diimlakan kaum penjajah justru dengan menyetubuhkan lokalitas dan globalitas. Hasilnya, seperti pernah diungkapkan Melani Budianta, bukan sekadar yang global mampu bersanding intim dengan yang lokal, tapi juga membuatnya malah menjadi glo-kal.

Apalagi penggunaan bahasa Inggris yang secara kreatif diciptakan kembali lewat permainan pelbagai kata dan idiom cantik yang menyubversi kanon bahasa Inggris Anglo-Saxon, pada akhirnya menunjukkan “pemakai bahasa Inggris bukan meminjam atau memakai bahasa orang lain, yang notabene eks penjajah, tetapi mendaur-ulang, mencacah-kunyah, dan merangkainya kembali untuk berkomunikasi dengan Barat, tetapi sekaligus juga memilikinya.”

Di titik ini, jangan kaget jika dalam bab penutup buku karya bersama Bill Ashcroft, Garreth Griffiths, dan Hellen Tiffin, Menelanjangi Kuasa Bahasa (The Empire Writes Back), kita menemukan judul sangat menarik; “Mengutamakan bahasa inggris (dengan “i” kecil) dari bahasa Inggris (dengan “I” besar)”.

Alhasil, jika karya sastra Lampung hendak melakukan wacana tanding atas kanon sastra nasional, mengapa tidak meneladani strategi-strategi tekstual yang dicontohkan secara memukau dalam beragam karya sastra poskolonial negeri-negeri lain?

Sebab, apalah artinya keinginan menyubversi apa yang sering disebut-sebut “pusat sastra” itu jika diam-diam sastrawan yang berada di luar porosnya, mereka yang berada di wilayah periferi “kekuasaan sastra”, selalu mengamini kecenderungan estetik yang dipeluk teguh “pusat sastra” itu.

Strategi tekstual yang tentu saja tak cukup dengan sekadar memulung satu-dua kosakata dan idiom bahasa Lampung dan kemudian menyematkannya dalam teks-teks sastra yang dilahirkan. Tapi juga ma(mp)u melakukan–seperti dilakukan dalam sastra pascakolonial di mancanegara itu–abrograsi dan apropriasi atas bahasa Indonesia, misalnya, sehingga bahasa tersebut bukan saja dipinjam dan dipakai; tetapi juga didaur-ulang, dicacah-kunyah, dan dirangkai kembali untuk sekaligus juga dimiliki. ***

*) Penyuka sastra, peserta Magister Filsafat ICAS-Paramadina, Jakarta.

05/04/09

Adonis, ‘Modernitas Loakan’, Pembebasan

Damanhuri*
http://www.lampungpost.com/

SEBELUM para kritikus sastra berkali-kali mengelu-elukannya sebagai calon penerima Nobel Sastra, Adonis jelas bukan nama yang terlalu akrab di telinga kita. -lit

Sosok bernama asli Ali Ahmad Said Asbar itu barangkali baru mulai mencuri perhatian kita ketika salah satu karya terbaiknya, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Dirasah fi al-Ibda’ wa al-Itba ‘Inda al-Arab–menyusul penerjemahan beberapa puisinya dan dibukukan menjadi Perubahan-Perubahan Sang Pencinta (Grasindo, 2005)–diterjemahkan menjadi Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam (LKiS, 2007).

Popularitas Adonis kian menanjak saat awal November lalu menyampaikan ceramah budaya bertajuk Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama di Teater Salihara, Jakarta. Padahal, jika kritikus sastra Adam Shatz bisa dipercaya, konon tidak pernah ada seorang pun dari sastrawan Arab modern yang dikagumi seperti Adonis.

Dalam sebuah esainya, An Arab Poet Who Dares to Differ (The New York Times, 13-7-02), Shatz bahkan menabalkan sosok kelahiran Qassabin, Suriah, 78 tahun yang lampau itu, sebagai penyair terbesar dunia Arab modern.

Dalam nada agak hiperbolik, penyair Samuel Hazo yang menerjemahkan puisi-puisi Adonis ke bahasa Inggris, malah menjadikan Adonis sebagai penanda utama dinamika puisi Arab. Karena dalam pandangan Hazo, hanya ada tiga tonggak puisi Arab modern: puisi Arab era pra-Adonis, era Adonis, dan era pasca-Adonis.

Dua tilikan yang terkesan berlebihan di atas sebenarnya jauh-jauh hari sudah didahului Edward Said saat menyebut Adonis sebagai “penyair Arab paling provokatif dan paling berani” sepanjang sejarah Arab modern. Dalam buku Kebudayaan dan Kekuasaan (1995: 408), perintis tradisi kritik pascakolonial itu menunjuk Adonis sebagai eksemplar par excellence penafsir warisan sastra Arab dan hampir sendirian menantang persistensi dari apa yang dianggapnya sebagai tradisi Arab yang membelenggu.

Masa-Lalu-isme dan Modernitas Loakan

Adonis adalah sastrawan cendekia yang menempuh karier sebagai seorang penyair, aktivis politik, penggiat sastra, dan budaya, penyunting berbagai antologi puisi Arab klasik, kemudian memantapkan diri menjadi penyair cum kritikus sastra-budaya yang masyhur karena selalu memunculkan pemikiran baru, ganjil, sekaligus menyegarkan.

Sebagai seorang penyair, eksperimen estetik Adonis setidaknya bisa kita tengok dalam antologi puisi Perubahan-Perubahan Sang Pencinta. Sedangkan pemikiran-pemikiran bernasnya dalam batas-batas tertentu terekam dalam buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam yang semula merupakan disertasinya di Universitas St. Joseph, Beirut.

Dalam buku empat jilid (baru diterjemahkan dua jilid) itu, kita bisa menerka apa yang dipotret Adonis dengan detail seputar pertarungan dua kekuatan yang terus bersitegang dalam sejarah kebudayaan Arab-Islam. Di satu sisi, menurut dia, ada kekuatan dominan yang berkeras terus merawat dan mengadiluhungkan tradisi serta mengandaikan seluruh warisan masa lalu itu sebagai panasea bagi segala. Kekuatan inilah yang disebut Adonis sebagai “yang mapan”, al-tsabit. Dan, di sisi lain, muncul arus berbeda yang meneriakkan keharusan perubahan.

Sayang, suara terakhir yang disebut Adonis sebagai al-mutahawwil (”yang dinamis”) itu selalu dianggap sebagai ancaman bagi kemapanan (al-tsubut) dan mengakibatkan perjumpaan antarkeduanya lebih bersifat kontradiktif dan represif ketimbang dialektis. Sehingga, setiap arus dinamis menuju perubahan selalu tenggelam ditelan gelombang pasang suara dominan yang lebih memilih kehangatan selimut warisan masa lalu–betapapun telah apaknya warisan yang terus dipuja itu.

Dengan begitu, apa yang disebut Adonis sebagai kecenderungan “masa-lalu-isme” (past-ism) akhirnya bersimaharajalela. Sementara itu, tiap upaya kritik atasnya disambut sebagai bidah yang dianggap anti-Arab dan bahkan anti-Islam. Padahal, menurut dia, tanpa “revolusi kesadaran” melepaskan diri dari belenggu tradisi sekaligus sikap kritis menyambut budaya asing, yang tumbuh subur dalam kebudayaan Arab tidak akan bergeser dari fenomena “modernitas loakan” (second-hand modernity) alih-alih sebuah pembebasan.

Kebudayaan Arab, menurut Adonis, memang telah menjadi “modern” dan bisa dibilang sepenuhnya ter-Barat-kan. Tapi cakupan makna kemodernan itu ironisnya belum beringsut dari tren konsumerisme yang mewujud dalam perayaan atas komoditas budaya apa pun yang datang dari Barat. Sementara itu, perkara-perkara krusial seperti kebebasan berpendapat atau etos pembaruan yang merupakan tulang punggung kemajuan dan kemodernan-sejati justru tidak kebagian tempat untuk diruangkan.

“Kami hidup dalam impitan budaya yang tidak memberikan sepetak pun ruang untuk bertanya,” ujar Adonis dengan masygul. “Sebab, kebudayaan kami seolah telah mengetahui semua jawab atas pertanyaan apa pun yang akan dilontarkan. Bahkan, Tuhan pun seakan tidak berhak lagi untuk bersabda.”

Yang menarik, sembari memekikkan “pemberontakan” atas tradisi yang dianggapnya meringkus kreativitas itu, Adonis bukanlah pencemooh tradisi yang teralienasi dari akar tradisinya. Penguasaannya atas khazanah sastra Arab klasik, seperti dicatat Kamal Abu-Deeb dalam Encyclopaedia of Arabic Literature (1998), adalah salah satu yang menonjol dan tak lain buah didikan sang ayah.

Sedangkan benih-benih pemikiran kritis serta warna baru dalam puisi-puisinya ditakik dari perjumpaan dengan, dan dipengaruhi oleh, Antun Sa’ada (aktivis Partai Sosialis Syiria) serta sensibilitas puisi baru yang dirintis para penyair seperti Jubran Khalil Jubran, Ilyas Abu Shabaka, Sa’id ‘Aql, dan Salah Labaki.

Dari Antun Sa’ada pula, menurut Abu-Deeb, muasal kesadaran Adonis ihwal keharusan merawat mitos dan sejarah dalam ekspresi puitik–khususnya ketika puisi dipandang wajib berperan penting dalam merespons tantangan Barat. Tidak mengherankan jika pada dekade 50-an Adonis menunjukkan ikhtiar keras memintal serakan sumber-sumber klasik dalam rajutan eksperimen puitiknya yang menggemakan keyakinan sosial-politik.

Namun, sembari menggelorakan pentingnya komitmen sosial, dalam satu helaan napas yang sama Adonis pun tetap berkukuh memandang urgensi hadirnya ruang yang otonom dan bahasa yang indah bagi puisi sekaligus menampik memerosotkannya jadi bahasa sehari-hari. Dan, corak paling nyata dalam gerak kepenyairannya itu dilihat Abu-Deeb memuncak dalam Aghani Mihyar al-Dimashqi (1961), ketika ia telah sampai pada “sebuah keseimbangan yang begitu padu dalam menyandingan peran sosial-politik puisi dan bahasa simbolik ketakhadiran yang diyakininya sebagai sebuah keniscayaan dalam puisi”.

Sebait puisi berjudul Bangsa dari analektanya itu menunjukkan kecenderungan estetik tersebut: untuk wajah bangsa yang merengut di bawah kepuasan impian-impian/ aku iba; pada tanah yang telah kulupakan tetesan airmata yang menggenanginya/…dan demi batu karang yang kucadaskan dengan rasa laparku/ dia adalah hujan yang tersimpan di balik kelopak mataku/ dan demi rumah yang kutinggalkan bersama debu yang sia-sia/ aku merasa iba—-semua itu adalah wajah bangsaku, bukan Damaskus.

Suara itu diulangi Adonis dalam Inilah Namaku saat ia menulis: telah kumasukkan selku ke dalam sebuah selat/ yang telah digali oleh jam-jam/ aku bertanya-tanya, apa bangsaku sungai tanpa muara?/ kunyanyikan bahasa mata belati/ kuberteriak, keabadian telah terlubangi/ dan dinding-dindingnya telah runtuh di antara usus-ususku/ aku muntah/ sejarah dan masa kini belum ada yang kembali padaku.

Puisi bagi Adonis adalah visi dalam menghadapi dan menciptakan masa depan. Penyair adalah “pendobrak kebudayaan” yang memosisikan diri sebagai penghancur aturan-aturan usang, pengubah kemapanan dan kebekuan, pemberontak serta penggugat aneka bentuk penindasan. Begitu simpul Issa J. Boullata dalam buku-esai Batu Cadas dan Segenggam Debu (2007).

Tapi sebagaimana buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam yang tidak ubahnya jejak dari ziarah intelektual Adonis ke dalam hampir semua lekuk khazanah pemikiran Arab-Islam yang paling jauh, eksperimen puitik Adonis pun begitu kompleks, subtil, dan berliku. Pada suatu ketika ia menyuguhkan warna anarki-revolusioner. Tapi di waktu lain tiba-tiba menyemburkan aroma mistik-sufistik. Atau melebur kedua kutub tersebut dalam sebuah harmoni yang menjadikan karyanya benar-benar menyuguhkan karakter khas.

Langkah dan pilihan dinamis (kadang-kadang eklektik) itu juga tampak dalam rambahan tematik puisi-puisinya. Tidak hanya berkutat dengan persoalan khusus menyangkut nasib bangsanya yang tidak kunjung usai dirundung rusuh itu, tema puisi Adonis pun sebenarnya menjamah tiap serpih pengalaman manusia yang bersifat universal: Penderitaan, kematian, cinta, dan seterusnya.

Nabi Pagan di Neraka Pengasingan

Itulah Ali Ahmad Said alias Adonis. Penyair yang dalam usia 16 tahun telah didapuk jadi redaktur sastra sebuah koran karena kecemerlangan puisi-puisinya. Kritikus sastra dan budaya Arab yang kerap bersuara lantang menggugat standar ganda politik Amerika, tapi juga tidak jarang dituding sebagai sang juru bidah perusak akhlak oleh bangsanya sendiri.

Begitulah kiprah Adonis. Penyair yang kerap diolok-olok rekan-rekannya sesama penyair–ia tidak begitu hirau dengan, dan bahkan menikmati, julukan–sebagai sang nabi pagan. Penyair yang terus dirundung gelisah karena melihat “segalanya telah menjadi lebih penting dari manusia. Segalanya, bahkan baju, bahkan sepatu”. (Pembuka Akhir Abad, 1980). Gundah menyaksikan saudara sebangsanya yang masih bergeming dalam pseudo-modernitas, dimabuk oleh–meminjam frase Adonis sendiri–”hidangan konsumerisme-dangkal sarat bahaya” (a dangerous brew of hollow consumerism).

Boleh jadi, sengkarut soal di atas itu pula yang mendorongnya memilih tinggal di Paris dan mengajar di berbagai universitas sejak 1985. Pilihan yang suatu waktu diungkapkannya, dengan nada getir, sebagai simalakama: Tinggal di “neraka pengasingan” sekadar untuk menghindari “neraka kehidupan sehari-hari” di negeri sendiri yang telah papa secara kultural akibat invasi budaya Barat yang terus menohok ke tiap arah mata angin. Proses pem-Barat-an yang sialnya, kata Adonis lagi, cuma memampatkan budaya bangsa Arab dalam kubangan konsumtivisme yang menangkarkan kebanalan dan menggagalkan tiap ikhtiar pembebasan.

*) Penulis, tinggal di Bandar Lampung.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita