11/09/10

Sastra Malin Kundang, Sastra Kontekstual, Sastra…

Damanhuri
http://www.lampungpost.com/

MEREPETISI atau bahkan replika gagasan tampaknya masih menjadi salah satu ciri tabiat buruk yang terus dipelihara sebagian anak bangsa ini. Pengulangan gagasan itu menjadi kian menyedihkan jika pelakunya justru mereka yang selama ini dikenal sebagai orang-orang yang menyibukkan diri dan memungut takdir hidupnya, dalam dunia kreatif-penciptaan. Padahal siapa pun tahu, repetisi adalah cacat dalam proses kreatif.

Repetisi tersebut mungkin menjadi sedikit termaafkan jika ada sisipan pengayaan eksplorasi dalam gagasan lama yang dihidupkan dan dibesar-besarkan kembali itu. Sebab, memang, seperti kata pepatah lama, “tak ada hal yang baru di kolong langit (nothing is new under the sky)”. Tetapi harapan itu tak akan kita temukan dalam esai Binhad Nurrahmat, “Sastra Malin Kundang” (Lampung Post, 27-2), maupun dalam afirmasinya yang dirayakan Galih Priadi S.S., “Sastra Malin Kundang Versus Sastra Kontekstual” (Lampung Post, 6-3).

Sebab, alih-alih “menjawab” isu krisis kritikus sastra (di) Lampung seperti mengemuka akhir-akhir ini, esai Binhad–dalam batas-batas tertentu–malah seolah kian menegaskan kebenaran isu tersebut. Sedangkan dalam esai tanggapan Galih Priadi S.S., yang hampir sepenuhnya mengiyakan gagasan Binhad, yang kita pergoki juga tak lebih dari tawaran “sastra kontekstual” yang dihadapkan dengan “sastra tekstual” (sic!). Di samping puja-pujinya yang sedikit berlebihan baik untuk Binhad maupun untuk penyair Y. Wibowo yang menurut dia banyak memublikasikan puisi-puisi yang sukses mengeksplorasi tematik sekaligus jelajah estetik di banyak media massa nasional!

Dus, kedua esai itu, hemat saya, selain tak lebih dari pengulangan gagasan lama–dengan serakan distorsi di banyak tempat–yang agak menjenuhkan, juga dalam waktu yang sama memunculkan beberapa sesat-pikir seputar dinamika dunia sastra Indonesia. Untuk mengokohkan beberapa simpul penilaian saya atas kedua esai tersebut, berikut saya sodorkan bata argumen yang disusun alakadarnya, tapi mudah-mudahan kian mempertegas benang merah posisi yang saya pilih.
***

Untuk esai Binhad, bagi siapa pun yang sedikit melek wacana sastra adalah sebuah turisme belaka apa yang dipaparkan sepanjang tujuh paragraf awal esainya itu. Sebab, sejak “Tentang Tema & Machiavelisme Kesusastraan”-nya Goenawan Mohamad yang termuat dalam Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1971) hingga Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden (2004), apa yang diutarakan Binhad adalah kembar siamnya belaka.

Tetapi, beberapa pertanyaan jadi layak diajukan ketika Binhad secara serampangan meringkus kategori sosiologis-antropologis masyarakat Indonesia menjadi hanya “agraris”, “bahari”, dan “keagamaan”. Kejanggalan serupa kembali muncul saat Binhad menyebut-nyebut Taufik Abdullah menulis sejarah pemberontakan masyarakat petani Banten.

Juga saat ia mengutarakan adanya semacam “ideologi sastra”, yang menurut dia, menyarankan “karya sastra harus membangun otonomi sendiri meskipun tanpa harus berhubungan dengan kenyataan yang ada di luar teks”. Sepenggal dalih yang tak lain, lagi-lagi kata Binhad, “sebagai bentuk nyata dari sikap rendah diri sikap jumawa yang terlalu apatis terhadap kenyataan yang bertaburan dan merubung setiap hari di depan hidung”.

Tentang dua soal pertama, kategori sosiologis siapakah yang dijadikan rujukan Binhad? Geertz, Marx, Homi Bhabha, Pierre Bourdieu atau Koentjaraningrat, misalnya? Sejak kapan pula Taufik Abdullah menulis sejarah Banten? Bukankah topik disertasi yang dia tulis adalah gerakan kaum muda di Minangkabau? Mungkin yang dimaksud Binhad adalah Hoesein Djajadiningrat atau Sartono Kartodirdjo.

Kekeliruan yang terkesan agak remeh tersebut bagaimanapun cukup krusial diungkapkan karena kecermatan tilikan sosiologis dan (kesadaran) sejarah itulah dua di antara beragam syarat yang niscaya hadir dalam telaah sastra. Sebab, dengan absennya dua syarat itu, hampir tak cukup ada alasan mengharapkan hadirnya kritik sastra yang bisa dibanggakan.

Ihwal soal yang terakhir, “otonomi sastra”, menurut dia, muasal dari apa yang disebut-sebut sebagai “sastra Malin Kundang” itu, lagi-lagi saya dibuat bingung dengan apa yang dimaui Binhad. Karena sejauh jelajah bacaan sastra yang saya lakukan, rasa-rasanya tak pernah menemukan kritikus atau teoretisi sastra yang menjajakan dalil seperti itu.

Mungkin yang dimaksud adalah “otonomi semantik”-nya Paul Ricoeur: teks otonom dari sang pengarangnya, mandiri dari konteks tempat teks diproduksi, dan tak harus dipertautkan ulang dengan audiens yang semula (hendak) disapanya.

Jika itu soalnya, otonomi (teks) sastra tersebut jelas tak bersangkut paut dengan pilihan kerangka tematik penggarapan karya sastra. Wacana otonomi semantik justru baru mengemuka saat kita membincang jelajah tafsir atas teks yang lahir dan telah dianggap mandiri dengan “otonomi rangkap tiga”-nya di atas. Bahwa tafsir versi pengarang hanya salah satu saja dari kemungkinan tafsir lain yang dimunculkan pembaca.

Last but not least, ihwal khazanah karya sastra Indonesia yang dia tuduh didominasi ideologi “sastra Malin Kundang” (sayangnya dengan tanpa menyebut sepotong karya pun sebagai contohnya), lalu ditaruh di manakah tetralogi Pulau Buru dari Pram, Para Priyayi (Umar Kayam), Mantra Pejinak Ular (Kuntowijoyo), Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), Tarian Bumi (Oka Rusmini), To Kill the Radio (Dorothea Rosa Herliany), Di Dalam Rahim Ibuku tak Ada Anjing, dan Seperti Novel yang Malas Mengisahkan Manusia (Afrizal Malna), Masa Depan Kesunyian (Radhar Panca Dahana) atau yang paling mutakhir Perempuan Pala (Azhari) maupun Rumah Kawin (Zen Hae).

Dari sebukit buku prosa dan puisi yang ditetaskan tangan-tangan piawai sastrawan yang sebagian kecilnya saya sebut di atas, masih tetap jumawakah kita menuding khazanah karya sastra modern kita gagal (dan bahkan emoh) menangkap denyut nadi realitas? Lain soalnya, memang, jika yang dijadikan rujukan Binhad menguatkan tilikan gegabahnya itu tak pernah beranjak dari Jangan Main-Main dengan Kelaminmu Djenar Maesa Ayu atau karyanya sendiri, Kuda Ranjang, yang berpusing-pusing dan akhirnya mentok tak jauh dari tema seputar kelamin.

Inilah memang sastra Malin Kundang itu. “Sastra yang diam dalam kulkas,” kata Afrizal Malna dan Saut Situmorang. Sastra yang seolah memilih murtad dari hiruk-pikuk kenyataan sosial, asyik dengan dunianya sendiri, dan dengan takabur bahkan diam-diam memunggungi sebukit persoalan serius yang justru tengah berlangsung.
***

Tentang tawaran Galih Priadi S.S. perihal isu local genius–dengan memancangkan garis pembatas tegas antara yang lokal yang global–sebagai pilihan tematik membongkar hegemoni kanon sastra, saya kira ada baiknya menengok tradisi sastra poskolonial di mancanegara. Tengoklah The God of Small Things dari Arundhati Roy, misalnya, yang melakukan counter-hegemony atas narasi besar yang diimlakan kaum penjajah justru dengan menyetubuhkan lokalitas dan globalitas. Hasilnya, seperti pernah diungkapkan Melani Budianta, bukan sekadar yang global mampu bersanding intim dengan yang lokal, tapi juga membuatnya malah menjadi glo-kal.

Apalagi penggunaan bahasa Inggris yang secara kreatif diciptakan kembali lewat permainan pelbagai kata dan idiom cantik yang menyubversi kanon bahasa Inggris Anglo-Saxon, pada akhirnya menunjukkan “pemakai bahasa Inggris bukan meminjam atau memakai bahasa orang lain, yang notabene eks penjajah, tetapi mendaur-ulang, mencacah-kunyah, dan merangkainya kembali untuk berkomunikasi dengan Barat, tetapi sekaligus juga memilikinya.”

Di titik ini, jangan kaget jika dalam bab penutup buku karya bersama Bill Ashcroft, Garreth Griffiths, dan Hellen Tiffin, Menelanjangi Kuasa Bahasa (The Empire Writes Back), kita menemukan judul sangat menarik; “Mengutamakan bahasa inggris (dengan “i” kecil) dari bahasa Inggris (dengan “I” besar)”.

Alhasil, jika karya sastra Lampung hendak melakukan wacana tanding atas kanon sastra nasional, mengapa tidak meneladani strategi-strategi tekstual yang dicontohkan secara memukau dalam beragam karya sastra poskolonial negeri-negeri lain?

Sebab, apalah artinya keinginan menyubversi apa yang sering disebut-sebut “pusat sastra” itu jika diam-diam sastrawan yang berada di luar porosnya, mereka yang berada di wilayah periferi “kekuasaan sastra”, selalu mengamini kecenderungan estetik yang dipeluk teguh “pusat sastra” itu.

Strategi tekstual yang tentu saja tak cukup dengan sekadar memulung satu-dua kosakata dan idiom bahasa Lampung dan kemudian menyematkannya dalam teks-teks sastra yang dilahirkan. Tapi juga ma(mp)u melakukan–seperti dilakukan dalam sastra pascakolonial di mancanegara itu–abrograsi dan apropriasi atas bahasa Indonesia, misalnya, sehingga bahasa tersebut bukan saja dipinjam dan dipakai; tetapi juga didaur-ulang, dicacah-kunyah, dan dirangkai kembali untuk sekaligus juga dimiliki. ***

*) Penyuka sastra, peserta Magister Filsafat ICAS-Paramadina, Jakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita