19/05/11

MANIFESTASI DUNIA DAN PELAYANAN SOSIAL*

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Tentu sudah bukan menjadi pemikiran yang baru ketika saya di sini memulai mengungkapkan kembali mengenai nilai keuniversalan karya sastra dan skemanya sebagai suatu manifestasi dunia kehidupan. Pembacaan pada karya sastra akan membawa kita pada fenomena masyarakat atas dunia kehidupan yang dipahami seorang sastrawan sebagai salah satu agen edukasional. Saya mendasarkan ini pada pendapat Horatius yang menempatkan sastra sebagai media yang mengandungi dua nilai utama, yaitu mendidik dan menggerakkan. Berbekal nilai ini karya sastra, tidak menjadi hal yang muluk kalau, sastrawan sebagai agen edukasional bertanggung jawab sebagai “guru humanis”. Kedudukan ini merupakan suatu kehormatan bagi para sastrawan, di samping paradigma lain yang menempatkan karya sastra sebagai teks yang mensucikan jiwa manusia, khatarsis dalam bahasa Aristoteles. Mengantongi pendapat Aristoteles ini, karya sastra menempati posisi yang begitu tinggi. Tidak sekedar sebagai lembaga pengajaran bermediumkan bahasa, di dalamnya juga menanggung tanggung jawab berat. Bobot karya sastra, karena itu, dapat dilacak dari muatan edukasional yang terkandung, tentu saja edukasional yang mencerahkan. Tidak ada salahnya kalau kemudian kita mengatakan bahwa sastra memiliki kedekatan dengan agama.

Sastra dalam penyampaiannya memuat tiga faktor penting seperti yang sudah saya sebutkan di atas, yaitu mendidik, menggerakkan, dan selanjutnya mencerahkan. Tiga muatan ini akan mengarahkan kita pada sastra bertendens, mengantongi misi tertentu yang dimaksudkan oleh subjek kreator. Kita akan menemukan berbagai bentuk (sastra) propaganda, seperti yang diungkapkan Lu Hsun (1928) bahwa “semua sastra sebagai propaganda”.

Di tempat lain, Leon Trotsky mengungkapkan peran seni (dan sastra) sebagai perwujudan dari pelayanan sosial. Hal ini saya kira karena didasari oleh tiga muatan sastra tadi; melakukan pelayanan sosial dengan mendidik, berusaha menggerakkan, dan untuk mensucikan jiwa manusia.

Menjadi seorang sastrawan (pekerja sastra) bagi saya adalah sebagai suatu pilihan. Saya tidak tahu, apakan saya memiliki bakat alam atau karena faktor sosial lain. Karena menjadi pilihan itu, pekerja sastra menghadapi pilihan lain dalam menempatkan diri dan karya yang dihasilkan. Hal yang saya sadari betul sebagai tanggung jawab yang secara sadar telah saya ambil sebagai sastrawan (kalau “gelar” sastrawan itu pantas saya sandang, namun saya lebih senang disebut dengan propagandis).

KEMUNCULAN “PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA”

Ada Pembunuh di Istana Negara, hal ini yang coba saya angkat ke dalam sebuah tema cerita, sekaligus inti dari novel (baca saja: propaganda) yang saya kreasikan. Novel ini lahir di tengah maraknya eksotis dan ekstase cinta yang menebar di dalam nuansa kesusastraan Indonesia. Hadir dalam rangka mengangkat ruh perjuangan di masa lalu ketika sastrawan memiliki keberanian untuk memainkan peran sebagai pilar penopang demokrasi. Saya menyakini, kalau sastrawan harus berani mengabil sikap, memperjelas paradigma kenegaraan sebagai warga negara untuk beroposisi atau penyokong status quo pemerintah.

Menghadapi kenyataan yang teramat nyata, sungguh terlalu banyak di kalangan sastrawan yang melepaskan kebersinggungan dengan dunia politik. Bahkan para penulis yang telah dilabeli dengan bandrol penulis paling inspiratif, penulis best-seller dan seabrek istilah lainnya, menempatkan wilayah politik dalam nuansa yang abu-abu. Saya merasa kalau banyak sastrawan yang merasa tabu berhadapan dengan masalah politik sampai terkadang hanya tersentil sedikit sebagai bumbu yang entah itu sebagai pemanis atau sebagai percikan garam.

Dengan memperkenalkan PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA (PDIN) yang terbit tahun 2010, sebagai seorang propagandis saya merasakan kebermanfaatannya. Melalui novel itu saya berusaha menempatkan diri, memperlihatkan pada masyarakat sastra secara gamblang tentang bumi mana yang dipijak oleh M.D. Atmaja. Jelas, untuk menempatkan siapa lawan dan siapa kawan. Lawan dan kawan saya berada jauh dari peperangan dunia sastra, misalnya antara kawan Saut Situmorang (boemipoetra) VS Teater Utan Kayu (TUK). Musuh saya adalah setiap sendi kehidupan yang menjadi penghalang bagi terwujudnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (PDIN, 2010: 5).

Soekarno telah memesankan pada kita untuk tidak melupakan sejarah, paradigma M-D-H (Materialisme-Dialektika-Historis) mengarahkan penulis untuk memahami realitas historis, dan juga falsafah Pancasila mengajarkan untuk menjadi “manusia”, karena itu saya memperkenalkan PDIN sebagai novel pertama. Saya yakin, bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah perlawanan pada kesewenangan dan ketidak-adilan, sejarah perlawanan pada penindasan manusia atas manusia lain, dan saya secara sadar menempatkan PDIN sebagai mukadimah perang itu. Bahwa di tanah merah darah Indonesia, masih tersisa beberapa orang, salah satunya M.D. Atmaja sebagai propagandis, pun ada juga si Politikus Sastra (Saut Situmorang) yang belum berhasil dibinasakan. Sastra harus menempatkan dirinya, sebagai suara keadilan.

BERSAMA PDIN; PEREMPUAN, CINTA, DAN POLITIK

Penempatan novel PDIN sebagai sastra yang berada di garis politik tidak semerta-merta sebagai kedangkalan pola berpikir. Memang, tidak ada kritikus yang mengatakan kalau novel PDIN sebagai naskah penting yang memperjuangkan berbagai aspek sosial masyarakat. Tapi, apakah nilai sastra ditentukan oleh kritikus sastra yang terkadang tidak mau tahu, terkadang pula sarat dengan berbagai kepentingan? Saya rasa tidak, sastra memiliki ruhnya sendiri dan pergolakan pemikiran dan kesadaran yang akan menjawab bagaimana posisi karya di dalam kehidupan masyarakatnya.

Perempuan memiliki strukturnya yang tersendiri dalam novel ini. Tidak mencolokkan mengenai peran perjuangan dalam kebebasan seksualitas, karena saya tidak melakukan eksploitasi pada tubuh secara besar-besaran. Saya juga tidak memberikan space yang cukup besar (juga tersendiri) pada aspek seksualitas ini, namun saya tetap menyuarakan dan memposisikan perempuan dengan lebih baik.

Namun mungkin saja, ini tidak akan menjadi “perjuangan gender” seperti yang dilakukan Sastrawangi Ayu Utami melalui “Saman”nya. Tapi saya merenungi nasib, apakah harus dengan ekspolitasi tubuh dalam khasanah seksualitas sebagai gerakan pembebasan kaum perempuan?

PDIN menempatkan perempuan dalam posisi seperti ini:

Bagaimana jadinya kehidupan ini tanpa perempuan? Apakah dia [lelaki] masih mampu berdiri dan berteriak: Aku sang lelaki! (hlm. 7).

Perempuan tidak sekedar sebagai pelengkap akan hubungan seksualitas, namun dia menjadi ruh di dalam kehidupan bagi seorang lelaki. Kehadirannya bagi saya melalui PDIN adalah sebagai EMPU yang mana mengandungi kekuatan kosmis (makro dan mikro) yang kalau dalam permainan catur, perempuan adalah pemainnya sedangkan lelaki adalah bidak caturnya. Melalui pandangan ini, tidak lantas saya merendahkan lelaki, karena saya seorang lelaki, namun keberadaan perempuan jauh dari sekedar permainan seksualitas itu tadi.

Ia (perempuan) sebagai empu, yang mana memberikan pengaruh gerakan dari seorang petarung seperti Wiku Sapta Seloka. Dapat dikatakan, kalau perempuan yang bermanifestasi dalam diri Gadis Indriani membentuk dan sekaligus mengarahkan jiwa pemberontakan Wiku. Bisa kita melihat bagaimana Gadis mengembalikan semangat Wiku (yang juga suaminya). Peran tokoh Gadis membuat Wiku lebih matang dapat disaksikan dalam pandangan Wayang (hlm. 72) atau ketika Gadis menguatkan suaminya untuk tetap berani menghadapi masalah seperti dalam halaman 286:

“Ada harga yang harus kita bayar untuk sesuatu yang ada di dalam dada kita sebagai harapan”

Posisi perempuan dalam kehidupan lelaki yang saya wujudkan dalam tokoh Gadis (yang secara dominan) dan Rini merupakan suatu dialektika perjuangan tersendiri. Lelaki tidak akan menjadi lelaki tanpa keberadaan perempuan yang sebenarnya memiliki dua nilai yang sama-sama menentukan kehidupan. Kedudukan perempuan itu, misalnya:

“Tidak seperti itu!” sahut Oka sambil menggelengkan kepala. “Kehadiranmu yang selama ini menguatkanku. Membuatku mampu berdiri tegak selayaknya karang yang menerima debur ombak di setiap harinya.”

“Menjadi kuat dan rapuh secara bersamaan seperti karang, yang pelan-pelan dikikir untuk menjadi pasir.” Ucap Gadis dalam senyuman yang dilanjutkan dengan mencium kening Oka kembali. “Sebenarnya aku adalah beban yang kamu tanggung, Mas, kekuatan dan kelemahan yang datang bersama-sama.”

“Itulah titik kehidupan seorang pahlawan. Istri dan keluarga adalah nyawanya, sekaligus menjadi kematiannya.” (PDIN, hlm 303).

Perempuan saya anggap sebagai bangunan struktur estetik yang penuh dengan makna kehidupan. Perempuan hadir sebagai ruh bersama dalam cinta yang tidak dapat ditolak atau dimanipulasi. Kecenderungan dalam melakukan atau mengeksplorasi seksualitaslah yang bisa dimanipulasi untuk terlibat menjadi perek (perempuan eksperimen, jika meminjam istilah Ayu Utami), atau menuju pilihan lain untuk menjadi Empu seperti dalam sejarah bangsa Indonesia.

Gerakan yang dilakukan Kapten Agung Sutomo pun, didorong oleh rasa cinta pada perempuan. Yaitu, karena keluarga kekasihnya, melalui tokoh Rina, yang mengalami kesewenangan pemerintah. Penggusuran petani yang melahirkan kesengsaraan baru, membuat Agung berani melepaskan tembakan pada orang yang selama ini dikawal. Lantas, apakah kita masih mempertanyakan peran perempuan dalam kehidupan kita?

Dalam ruang ini sengaja saya membahasnya, sebab saya pernah mendapatkan sapaan dari Robin Al Kausar yang menulis, “Ada pembunuh cinta di Istana Negara”, yang menyatakan bahwa di sana tidak adanya suatu gerakan politik dalam tragedi usaha pembunuhan presiden. Saya memang melandaskan diri untuk memulai sesuatu berasal dari rasa cinta. Termasuk, penembakan seorang Paspampres pada Presiden.

Kenapa harus cinta? Saya tidak bermain logika di sini. Tidak pula membuat suatu perumpaan lain, bahwa adanya konspirasi besar yang sengaja dipersiapkan untuk menggulingkan kekuasaan negara. Memang pernah terpikir untuk membuat suatu skema seperti itu, namun pembunuhan presiden dengan skematisasi kekacauan politik tidak menarik dan tidak murni. Saya masih berpandangan adanya gerakan kepentingan yang hanya akan melahirkan suatu sistem baru yang tentu saja, belum tentu lebih baik dari sistem sebelumnya. Dan masih menurut pandangan saya, pembunuhan atas nama cinta menjadi hal yang paling logis.

Novel ini saya pergunakan untuk mengungkapkan aspirasi politik yang selama ini, menurut saya gagal dilaksanakan oleh agen politik bangsa kita. Bahwa sebuah negara hanyalah berbentuk wadah untuk menampung kekuasaan besar rakyat. Sastra menjadi media penyampaian informasi, bahwa rakyat berada posisi atas dan pemerintah harus benar-benar mengakui secara dejure dan defacto atas kedaulatan itu. Tidak sekedar sebagai retorika yang gersang, yang dimanfaatkan ketika suksesi negara dilaksanakan. Skematisasi pemerintahan negara ideal versi PDIN dapat dilihat dalam diagram pada halaman 310.

Sistem Negara Ideal

Penggarapan PDIN sebagai perwujudan politik praktis yang pernah hilang dalam kesusastraan Indonesia setelah hebatnya kemenangan Gestok. Kalau dikarenakan estetika politik tersebut kemudian novel ini tidak bisa memasuki sastra, karena tidak pantas menjadi naskah sastra, maka biar saja PDIN tetap berada dalam identitasnya sendiri sebagai naskah politik.

Studio SDS Fictionbooks, 2011

*) Disuguhkan dalam Diskusi Sastra Novel PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA (SDS Fictionbooks, 2010) karya M.D. Atmaja pada hari Jumat tanggal 15 April 2011 di Komunitas Matapena.
Sumber: http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/2011/04/15/manifestasi-dunia-dan-pelayanan-sosial/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita