Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Ketika dinyatakan tidak jadi mati, Nyonya Sugondo seperti manusia setengah mayat. Orang-orang kampung sering memelesetkan dengan Nyonya Gondo Mayit, artinya bau mayat. Namanya sendiri sebenarnya Satemi. Sugondo adalah nama suaminya yang telah meninggal dunia.
Setiap hari pekerjaannya hanya duduk di kursi sampai senja menjemput. Ketika langit tampak merona merah, Nyonya –dimikian ia terbiasa dipanggil dalam keluarga besar Sugondo- telah siap dengan dandanannya. Ketika Lastri pembantunya yang telah bertahun-tahun merawatnya, mengajak ke kamar, Nyonya melambaikan tangan pada senja yang meredup.
Nyonya Sugondo, atau tepatnya Nyonya Satemi Sugondo, sejak empat tahun yang lalu sebenarnya sudah mati. Ia sudah mati ketika suaminya, Sugondo, meninggal bersama selesainya karir politik yang disandangnya selama berkuasa, karena serangan bertubi-tubi dari lawan-lawannya. Nyonya Sugondo sebenarnya sudah mati, ketika jasad sang suami dikubur di pemakaman tempat kelahirannya. Sementara anak-anaknya hanya mengirim ucapan bela sungkawa, hanya lewat telepon. Kemudian dengan suara sedih, mereka menyatakan tidak bisa menghadiri pemakaman bapaknya, karena sedang ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Hanya itu.
Sejak saat itu, ketika terompah penjaga kubur berderapan, sebenarnya Nyonya Sugondo sudah benar-benar mati. Tetapi entah mengapa, Tuhan masih menginjinkannya untuk hidup, meski separuh tubuhnya sudah membusuk. Dokter yang telah merawatnya satu bulan lebih, sudah angkat tangan. Tetapi kemudian, seperti mendapat bisikan Tuhan, dokter yang berkulit putih itu, menyatakan, Nyonya sembuh dari segala penyakit yang dideritanya.
“Saya akan dibawa kemana? Saya bosan tinggal di rumah seperti kuburan ini!” seru Nyonya. Lastri tidak menjawab. Ia segera menyiapkan makanan untuk Nyonya.
“Lastri kamu tahu tidak, ini bukan rumah kita. Besok pagi-pagi antarkan aku ke Jl. Musirin! Aku tidak mau makan, kalau tidak kamu antarkan!”
“Lo, ini jalan Musirin, Nyah…!”
“Bukan begitu, lo. Jalan Musirin itu, rumahnya besar, ramai dengan anak-anak. Ini sepi begitu. Yang ada cuman setan!” sahut Nyonya.
“Setan-setan gundhul….” ledek Lastri.
“Gundhulmu atos itu. Setannya kamu itu!” Lastri berlalu sambil membawa sisa makanan, sekeranjang obat dan beberapa butir obat penenang..
Suami Nyonya empat tahun lalu meninggal dunia mendadak. Tanpa diduga ia terlibat korupsi secara ‘berjamaah’. Begitulah kata orang-orang. Konon, Sugondo tidak tahu menahu, karena dia hanya terima uang saja. Namun ternyata uang yang dikira bonus dari rekanan itu, ternyata hasil penggelapan dana pembangunan dan pajak. Sugondo tidak bisa mengelak.
Waktu itu, usai menonton Berita Malam, Sugondo tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat di dada kirinya. Nyonya tidak menyadari, kalau malaikat maut sedang menjemput suaminya. Meski suaminya sekarat, Nyonya asik memindah cenel televisi. Ketika Nyonya mendapatkan acara kesukaannya, tiba-tiba suaminya mengerang kesakitan. Sepontan Nyonya berteriak memanggil Lastri.
Sugondo dilarikan ke dokter terdekat. Sayang rumah dokter itu gelap gulita. Lastri menggedor-gedor pintu, ketika napas tuanya semakin megap-megap. Sedetik atau dua detik tak ada jawaban. Namun, tiba-tiba jendela sebesar kepala terbuka. Dari dalam terlihat wajah tanpa dosa dengan rambut tak teratur. “Sudah malam, besok saja!” dokter berkacamata tebal itu menutup jendela.
Lastri pantang menyerah. Ia menggedor pintu lebih keras, dan bicara amat cepat. Dokter baru membukakan pintu ketika Sugondo terkulai tak berdaya dan hampir jatuh ke tanah. Lastri menyeretnya begitu saja. Begitu dibaringkan Nyonya berteriak histeris, karena ia tahu, suaminya telah tiada.
Dokter yang hanya memakai celana kolor itu, berusaha membuat napas buatan. Sayang tangan malaikat maut begitu terampil. Tanpa menunggu waktu karir politik Sugondo yang semakin gemilang itu berhenti seketika. Begitu juga harapan-harapan Nyonya Sugondo untuk bisa berumah seperti Nyonya Suprapto yang kini suaminya berhasil menjadi wakil bupati, terjungkal ke lubang gelap tak berdasar. Sejak saat itu Nyonya memang seperti kehilangan kendali. Hidupnya hanya tinggal menunggu mati.
“Kopi Bapakmu mana?” tanya Nyonya.
“Tidak punya kopi, Nyah.”
“Kalau habis ya beli. Masak, tidak tahu kalau kesukaan Bapak kopi?” sahut Nyonya.
“Tapi..Bap…”
“Tidak usah tapi-tapian. Pergi sana dan buatkan kopi segera. Ia nanti marah!” sergah Nyonya.
Lastri segera beranjak. Nyonya diam dengan napas tersengal-sengal. Dari mulutnya keluar kata-kata yang tak sedap didengar. Ia memang suka sekali marah. Kalau marah perangainya jelek sekali. Meski tampak lemah, kalau berteriak seperti harimau kelaparan. Ia sering marah dengan kemarahan yang meledak-ledak. Bila tak segera dituruti maka ledakan itu berubah menjadi kemarahan yang merusakan.
Sejak kelakuan berubah seperti itu, anak-anaknya tak pernah menjenguk. Tidak tahu mengapa mereka tidak mau menjenguk? Apa karena kemarahan yang membikin telinga merah? Atau kerena kesibukan? Memang sejak penyakit itu berubah menjadi kemarahan, anak-anaknya memilih merantau. Maka perempuan yang malang itu, sendirian menungu sepi.
Kalau ingin bertemu Nyonya, anak-anaknya hanya telpon. Atau kalau Nyonya kangen, mereka hanya mengirim poto-poto terbaru mereka. Meskipun mereka sering telpon, sebenarnya Nyonya tak pernah menerimanya. Lastri lebih sering menerima, dan menggantikan peran Nyonya. Dari dialah semua keadaan Nyonya disampaikan. Jarang sekali, Nyonya berbicara di telpon dengan anak-anaknya. Begitu juga ketika kiriman foto-foto lucu, cucu-cucunya mata tuanya sudah tak bisa lagi mengenali siapa yang dilihatnya, Lastrilah yang menerangkan. Bahwa ini Mas Tono yang kerja di Medan, ini Mbak Rika yang kerja di Brunei, ini Dik Dina yang kerja di Arab, dan Ini Dik Urip yang kerja di Hongkong. Semua diterangkan dengan detail.
Semua yang dilakukan anak-anaknya bagai orang mengirim bunga setaman di pekuburan. Itu dilakukan hampir setiap bulan sekali. Atau bahkan terkadang tidak sama sekali. Setelah empat tahun itu, mereka hanya lebih suka mengirim surat lewat wesel. Di dalam wesel itu terdapat kata-kata yang tak bisa dibacanya sendiri. Meski kata-kata itu jelas terucap, ‘Anak-anak dirantau sehat. Semoga ibu sehat juga.’ Kata-kata itu tak pernah lupa dan sepertinya kata-kata itulah yang pantas diucapkan bagi anak di perantauan.
Dulu anak-anak Nyonya Sugondo adalah anak-anak yang sangat patuh. Karena bapaknya sendiri adalah orang yang terhormat dilingkungannya. Di rumahnya berlaku hukum ketertiban. Semua anak-anaknya tak ada yang boleh membandel. Sebagai anak pejabat, mereka harus bisa menjadi contoh. Contoh apa saja. Nyonya memang beruntung, keempat anaknya tak ada yang membandel. Bahkan mereka juga sangat menjaga nama baik keluarga.
Tetapi bagi keluarga besar Sugondo itu belum cukup. Untuk menjadi keluarga terhormat harus cukup secara ekonomi. Maka tak ayal lagi, anak-anaknya adalah para pekerja keras yang tak pernah mengenal lelah. Sepanjang siang dan malam mereka bekerja. Setiap hari, Tono yang sekarang bekerja di Medan itu, tak pernah pulang sore. Tono yang bekerja sebagai kontraktor itu, setiap hari kerja lembur. Baru menjelang pagi dia pulang, dan ketika matahari belum separuh jalan, ia terbangun kemudian bergegas pergi.
Begitu juga Mbak Rika, setiap hari pulang usai magrib. Kalau lembur bisa jadi pulang jam sebelas malam. Tak kalah hebat lagi adiknya si Dina, dua hari sekali ia pulang. Perempuan sekretaris sebuah perusahaan besar ini memang sering keluar kota. Lebih gila lagi Urip, setiap minggu ia pulang. Pekerjaannya menuntut demikian. Hampir setiap minggu ia harus pergi ke luar pulau untuk mengantar barang-barang. Ketika mereka sukses dan telah menikah, satu persatu meninggalkan rumah yang dirasakan seperti neraka.
Bahkan setelah berpisah rumah, mereka jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. Ketika bapaknya meninggal, hanya Lastri yang berada di rumah, mengurus ini itu, bahkan sampai menyambut para pejabat yang datang berta’jiah. Sementara anak-anaknya hanya mengucapkan bela sungkawa dari balik gagang telpon, kemudian berjanji akan mengirim bantuan dana untuk selamatan sampai seribu hari.
Melihat kehidupan seperti itu, sebenarnya Nyonya pantas disebut mayat hidup. Betapa tidak, selama ini Nyonya Sugondo memang tak lebih fotokopian suaminya. Ketika suaminya disebut-sebut sebagai pejabat ini-itu, ia tak lupa disebut-sebut sebagai orang yang menyebabkan suaminya menjadi ini-itu. Ketika suaminya berpidato tak pernah lupa menyebut peran istrinya itu. Semua yang dilakukan suaminya pasti pantas dan baik untuk istrinya. Dan hukum itu seperti menemukan kebenarannya. Pernah suatu kali, suaminya tersangkut penggelapan uang negara, dengan sabar dan penuh cinta kasih, Nyonya mendorong mental suaminya, sampai ia dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan.
Itulah peristiwa yang membuat keluarga Sugondo terguncang. Hampir semua publik tidak percaya, orang yang diyakini jujur itu melakukan kejahatan korupsi. Sementara lawan-lawan politiknya terus memojokannya, sampai ke liang lahat.
Perisitiwa itu juga menjadi titik balik karir politik Sugondo. Meski hakim memutuskan Sugondo tidak bersalah, serangan demi serangan tak pernah berhenti. Bahkan sampai dirinya meninggal dunia, khasus itu belum juga tuntas, karena putusan hakim masih perlu ditinjau kembali. Bahkan baru-baru ini, rumah Sugondo dan beberapa kekayaan yang lain ditengarai hasil kejahatan selama menjadi pejabat. Maka rumah itu, perlu disita.
“Kalau misalnya Bapak masih di rumah, pasti saya tidak kesepian seperti ini.” kata Nyonya sambil membaringkan tubuhnya pelan-pelan ke tempat tidur dekat televisi. “Besok kita pulang ya, Las? Ibu kangen betul dengan Bapakmu,” lanjutnya dengan memejamkan mata.
“Iya, Nyah,” jawab Lastri.
***
“Pos! Pos!”
“Kok tumben bukan wesel, Pak?” tanya Lastri.
“Bukan itu surat dari kantor Keadilan,” kata pegawai Pos.
“Apa isinya?”
“Baca sendiri.” Kemudian pegawai Pos yang setiap kali mengantar wesel itu berlalu.
Lastri hendak membacanya, tetapi Nyonya keburu memanggilnya.
“Itu pasti wesel dari anaku?”
Lastri tak bisa menjawab. Ia membuka surat dari kantor Keadilan.
“Apa isinya? Pasti mereka kirim uang banyak. Kalau kirim uang kita bikin nyusul Bapak saja, Las,” kata Nyonya.
Lastri tidak memperhatikan kata-kata Nyonya. Ia mengeja, bunyi surat itu.
“Cepat Lastri katakan apa kata mereka? Berapa yang dikirimkan. Saya sudah kangen betul dengan, Bapak,” kata Nyonya lagi. Lastri tidak mengatakan apa-apa. Ia menyerahkan surat itu kepada Nyonyanya.
“Disita?” kata Nyonya yang kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Lastri berteriak histeris. Kali ini mengundang para tetangga berbondong-bondong datang. Nyonya benar-benar menyusul suaminya. Orang-orang mengantarkannya ke pekuburan dengan gremeng-gremeng, bukan doa, tetapi suara-suara sumbang. “Ia mati karena banyak makan uang rakyat dari suaminya!”
Besoknya, pegawai Pos datang lagi. Kali ini ia tidak berteriak. Ia hanya meletakan ucapan bela sungkawa dari anak Nyonya Sugondo yang dikirim dari seberang. Ia menyandarkan karangan bunga kecil dekat pengumuman yang dipasang oleh petugas kantor Keadilan : ‘Rumah ini disita negara.’
Surabaya, 2006.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar