Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/
SYAHADAT sosial adalah hal yang baru, kendati tidak benar-benar baru di hadapan pengetahuan. Teori baru, selalu bersifat historis, memiliki konteks yang spesial dengan semangat zaman yang menerangi. Entah berwarna cerah maupun redup dalam perwujudannya sebagai wacana ataupun pengetahuan praktis.
Wacana ini, terutama di dalam Islam, pernah menjadi teori-teori mutakhir. Sebenarnya sebagai wacana liar, tidak perlu susah payah mendeklarasikan sebagai teori dalam satu rangkaian epistemologis yang otentik. Kiranya lebih adil, kalau menyebut pemikiran-pemikiran pendahulu sebagai inspirasi kelahiran ke-baru-an.
Dari beberapa pemikiran, sebut saja tauhid sosial, teologi transformatif, ilmu sosial profetik, pribumisasi Islam dan lain sebagainya, telah menjadi arus lain, di samping pemikiran lama yang telah mapan.
Teori-teori ini bukan a historis. Sekali lagi, sinaran zaman yang paling nyata, menghendaki adanya pemikiran yang lebih baru dari sebelumnya. Dalam sejarah Indonesia misalnya, kolonialisme berabad-abad lamanya, penderitaan, kemiskinan, kemunduran ilmu pengetahuan dan problem-problem kebudayaan yang kompleks memberikan corak pada ide-ide yang terbit.
***
Sebenarnya sahadat sosial (the social creed) tidak hanya ada di dalam Islam (Christian Iosso dan Elizabeth Hinson-Hasty, 2008). Tradisi agama-agama seperti Kristianitas, Yudaisme dan Budhisme dan beberapa pemikiran fisika-holistik yang sangat terpengaruh oleh filsafat kesejatian timur (Ken Wilber, 2006), turut meramaikan khazanah pemikiran agama dan pembebasan sosial ini. Bahkan, pemikiran Hegel kiri (David James, 2009: 55-60), maupun materialisme Marx (Karl Marx, 2001: 21-23), bermula dari sebuah refleksi keagamaan. Jadi, tipologi pemikiran yang bercorak keagamaan pembebasan ini, sejak lama mewarnai pelbagai belahan dunia.
***
Dalam tradisi Kristen, ada sejarah gugatan-gugatan yang bertubi dan mampu mengguncang dogmatisme gereja. Konteks afiliasi gereja dan kekaisaran saat itu, menimbulkan banyak prasangka oleh rakyat yang tidak terduga sebelumnya, sampai akhirnya meletus protes dan revolusi kristianitas melalui gerakan sosial yang masif.
Despotisme, korupsi, penyelewengan kekuasaan, pemalsuan berkas-berkas administrasi kerajaan, seringkali mendapatkan legitimasi oleh tafsiran kitab suci. Tafsir keagamaan yang jahat ini, memang bukan secara terang-terangan mendukung tirani. Tetapi karena celah-celah politis dalam pemikiran keagamaan, telah dibelokkan menjadi alat kekuasaan yang pragmatis dan merugikan pihak oposisi. Modus operasi hermeneutik atas Bible yang gelap dan memuakkan.
Kristen pinggiran, adalah pihak Protestan yang mewakili golongan non-pemerintah dan borjuasi para pendeta, yang banyak bergerak dengan semangat tafsir keagamaan yang sudah diperbaharui (Max Weber, 2003: 79-94). Muncullah spirit keagamaan yang lebih humanis, yaitu pencapaian pahala dengan kerja keras, kehendak untuk memiliki kapital yang besar dan gairah penguasaan pasar untuk golongan miskin, serta keadilan ekonomi oleh seluruh rakyat.
Semangat ini terus berkembang, dalam kerangka dan spirit pembebasan yang mengemuka di Amerika Latin. Dominasi dan hegemoni oleh negara, menginspirasi gereja-gereja lokal untuk melakukan gerakan massa yang menuntut keadilan ekonomi dan egalitarianisme. Lahirlah teori yang kita sebut belakangan sebagai teologi pembebasan (Gustavo Gutierrez, 1988).
Di Skandinavia juga lahir pikiran-pikiran kristianitas sosial yang orisinil, melalui nasionalisme, sekolah rakyat, kebudayaan dan sastra oleh N.V.S. Gruntvig. Sebab-sebab ide pembebasan kultural ini lahir, karena pemikiran keagamaan saat itu yang stagnan, bahkan terjebak dalam hal yang melulu spritualisme. Selain itu, masyarakat bawah semakin terpuruk dengan ketidakmampuan sistem pendidikan dan kondisi menjadi semakin sulit karena gempuran kebudayaan yang mengancam nasionalisme bangsa. Di sinilah kemanusiaan di ajarkan dari jarak yang terdekat. Nasehat yang sangat terkenal dari Gruntvig adalah, “Yang pertama adalah kemanusiaan, barulah Kristianitas.” (E.E. Fain, 1971: 70).
***
Tidak jauh berbeda dengan agama Yahudi. Pelbagai buku-buku kuno (perjanjian lama) menceritakan adanya perlawanan yang justru dilakukan oleh hamba-hamba Allah (bani Israel), terhadap penguasa setempat yang melakukan eksploitasi kemanusiaan besar-besaran, perbudakan dan penimbunan makanan.
Agama berbelok arah menjadi tiran, karena para agamawan juga mendukung penuh kekaisaran Pharaoh, dengan harapan mendapatkan perlindungan dan persediaan makanan yang cukup.
Gerakan massa oleh Musa yang menantang langsung kaisar Firaun yang agung, adalah fakta sejarah yang paling nyata di mana agama termanifestasi secara sosial dalam kehidupan. Tidak ada sama sekali penafsiran agama disertai kejahatan yang akan bertahan lama.
Di masa kini, kaum Yahudi yang hidup sebagai bangsa terasing, mendapat tantangan rasial oleh banyak bangsa. Salah satu sebabnya karena kebebalan berberapa golongan dan dogmatisme oleh kaumnya sendiri. Lambat laun, hal ini menjelma menjadi gerakan sosial yang pesat di seantero dunia, khususnya di Eropa.
Zionisme muncul dan mengemuka sebagai pemikiran dan gerakan keagamaan yang mendominasi banyak bidang peradaban. Termasuk sebagai penguasa dunia pengetahuan, sains dan teknologi, terlebih karena didukung perekonomian yang sangat kuat. Jelas, pencahayaan historis tidak hanya melahirkan gerakan dengan semangat iman yang mencerahkan, namun juga kelam, berbau anyir, trauma-trauma dan anti kemanusiaan. (Walter Laqueur, 2003).
Perebutan tanah warisan di al-Maqdis, perdebatan di dunia internasional, perang untuk kedaulatan dan negosiasi yang tak kunjung usai di sebagian wilayah Palestina, menjadi contoh yang aktual bagi kontekstualisasi iman suatu agama tertentu.
Namun, ada pula gerakan iman lainnya, di luar fanatisme sempit dari agama Yahudi yang rasis. Mereka pada umumnya mendukung kemanusiaan, menuntut penghentian perang dan menolak segala pemikiran ekstrim dalam agama bani Israel. Mereka berkehendak agar pemikiran agama ini, dikembalikan pada paham asalnya, menjadi agama pembebasan. (Naeim Giladi, 2006).
***
Budhisme menjadi contoh yang baik, untuk diambil pelajaran dalam persoalan iman dan kontekstualisasi ajaran di tengah masyarakat. Di India, tempat kelahiran Sidharta Gautama, ajaran tentang manusia yang suci dan keutuhan kemanusiaan, mencoba menata ulang iman yang mencoba membeda-bedakan status sosial pemeluk agama.
Kendatipun sebenarnya kastaisasi Hinduisme bermaksud baik, dalam rangka menata pemerintahan dalam hidup bernegara (warnasramadharma), namun tidak jarang penyelewengan dan tindakan yang arogan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Hindi.
Faktor lain yang mendukung dakwah Budhisme adalah ekspansi militer dan penguasaan wilayah oleh Persia yang dipimpin oleh Darius I. Pada hakikatnya, krisis kemanusiaanlah yang menyebabkan Sang Budha menaruh tahta, lagu pergi mengembara untuk melatih diri menjernihkan kemanusiaannya. Ia mengolah rasa, kepekaan sosial, menghendaki derajat yang sama, menghindari membunuh, tidak memakan daging dan berhubungan seksual atau hidup selibat dalam kerahiban, serta mengajar kebijaksanaan kemanusiaan.
Demikianlah, pada mulanya kelahiran agama ini, adalah respon yang konstruktif terhadap agama lainnya. Agama Weda yang diselewengkan oleh kehendak brutal kekuasaan, mencoba dikontrol oleh kebajikan-kebajikan jiwa yang menjaga diri dari segala bentuk nafsu dan angkara murka.
Ajaran ini terus bertahan begitu lama hingga sekarang. Bahkan tatkala kekuasaan dan militer di Thailand sedang tidak bersahabat dengan mayoritas rakyat, korupsi, tindak laku yang anti manusiawi mengemuka, maka para biksu justru memimpin protes dan demontrasi bersama-sama umat di hadapan kekuasaan yang mengekang.
***
Kontekstualisasi ajaran agama di dalam Islam, lahir atas rahim revolusi sosial dan gerakan massa yang dimulai oleh Muhammad. Menurut sejarah sosial dan politik, putra Abdillah ini begitu dibenci oleh kaum kafir Quraisy, bukan sekedar karena membawa agama baru. Latar belakang pembebasan sosial adalah hal yang paling membakar amarah kelompok oposisi, di mana struktur borjuasi Mekkah menjadi goyang dan terancam.
Zakat atau pajak yang padamulanya dikumpulkan oleh seluruh rakyat – termasuk golongan miskin – kepada para penguasa, pemuka agama dan pemilik modal penyokong kuil-kuil keagamaan, diruntuhkan oleh suara jerit sosial yang mengemuka begitu hebatnya. Zakat dengan takaran dua setengah persen dari kekayaan dan makanan pokok, bukan sekedar memberikan jaminan bagi keadilan ekonomi, namun juga memberikan kepercayaan baru bagi suksesi kepemimpinan bagi Muhammad.
Nilai pemerdekaan ini lambat laun mempengaruhi banyak negara untuk mulai merombak kekuasaan lama, kebudayaan, bahkan pandangan hidup agar menjadi pemikiran yang mencerahkan dan membebaskan. Misalnya saja Imam Khomeini dan Ali Shariati menjadi penyulut api kemerdekaan dan revolusi Iran dari rezim Shah yang mengekang di Iran.
Dalam pergumulan pemikiran Islam di Mesir juga mengemuka cendekiawan yang mengusung ide-ide pembebasan sosial, seperti Hassan Hanafi dalam bidang agama-politik, al-Jabiri dalam kajian pemikiran Islam dan epistemologi, Nasr Hamid Abu Zayd dalam sastra, tafsir dan studi al-Quran, Mohammed Arkoun dalam pemikiran dan filsafat Islam, Naquib Mahfouzh dalam sastra dan kemanusiaan, dan banyak lagi yang lainnya.
***
Ide-ide pemikiran Islam dan pemerdekaan di Indonesia, bisa kita pelajari dari Haji KH. Abdurrahman Wahid (Pribumisasi Islam), Nur Khalik Ridwan (Agama Rakyat), Syafi’i Ma’arif (Revitalisasi Islam Pancasila), Amien Rais (Tauhid Sosial), Moeslim Abdurrahman (Islam Transformatif), Kuntowijoyo (Ilmu Sosial Profetik) dan lain sebagainya.
Ide ini lahir dari rahim kekuasaan yang bermasalah dan penderitaan rakyat yang sangat riil dalam kehidupan. Indonesia yang sejatinya adalah kaya raya gemah ripah loh jinawi, tertata sebagai negara miskin dengan arsitektur kemelaratan, kelaparan dan jerit tangis rakyat sepanjang tahun.
Islam yang sekian lama dianut sebagai agama, seolah tak kuasa menjawab tantangan zaman yang tribal dan memprihatinkan. Kolonialisme, orientalisme, fatalisme ekstrim dan pemikiran mistik yang terlampau abstrak mengukuhkan kebebalan bagi keberagamaan rakyat.
Di sinilah upaya pembaruan melalui pemikiran, pertarungan wacana dan perwujudannya sebagai gerakan sosial serta perlawanan menjadi sangat mendesak. Agama, hendaknya kembali pada maknanya yang paling kuno, yaitu membimbing manusia agar menemukan jati dirinya sendiri. Memanusiakan manusia.
Semakin orang larut dalam angkara murka, maka agama berwujud sebagai nasehat, tatkala masyarakat brutal, radikal, kerap berkecimpung dalam kerusuhan, agama berlaku sebagai diktum perdamaian, dan tatkala manusia bingung, seluruh hidupnya yang fenomenal adalah kegelisahan, agama adalah obat bagi jiwa yang resah. Demikianlah agama, sebagai keseluruhan nilai dan prinsip moral kemanusiaan.
Namun, hal ini bukan sekedar spirit untuk menuju hakikat yang Absolut, memenuhi kepuasan spiritual dan meraup kepenuhan batin. Yang paling utama adalah, spirit ini harus nyata, terjadi, bisa dirasakan secara langsung, dan karena Tuhan adalah Dzat yang tak terbatas dan tak terbelenggu apa pun, maka sejatinya segala nilai ketuhanan adalah membebaskan. Sekali lagi, inilah makna dan praksis memanusiakan manusia.
Kalau problem utamanya adalah kemiskinan, maka harus dientaskan. Begitu juga dengan sederet problem lainnya, kekuasaan korup, penindasan, penghisapan, dominasi dan hegemoni ekonomi, maka harus diselesaikan dengan cara seadil mungkin dengan niat beribadah atau mengabdi atas nama agama. Di sinilah esensi agama dan pembebasan sosial.
Dengan demikian, menyebut syahadat sosial sebagai hal yang baru dan tidak sekaligus, karena praktik sejarah telah mencatatnya dengan baik. Yang perlu dilakukan adalah membicarakannya terus-menerus dalam pasar raya tafsir dan menghendaki kemenangan perebutan makna agama yang memihak orang-orang miskin.
Wacana, praksis sosial, tradisi dan kebudayaan adalah wilayah dan cara sekaligus yang paling memungkinkan, untuk diapresiasi secara optimis bahwa memperjuangkan agama pembebasan adalah trend baru. Jelas, hal ini bernilai jauh lebih utama dari pada sekedar menganut spiritualisme atau memperbincangkan agama “elit” di hadapan kasta sosial yang tinggi pula, karena didukung oleh kepemilikan kapital dan kekuasaan politik-ekonomi.
Di samping itu, kebutuhan mendesak akan syahadat sosial, bukan hanya soal praksis agama dan pembebasan, namun juga mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan dalam ranah akademis. Pelbagai universitas cukup terpengaruh dan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap wacana kerakyatan tersebut.
Di samping pengetahuan yang telah mapan, rupanya geliat persentuhan aliran pemikiran, menciptakan arus baru pemikiran dan teori-teori pengetahuan yang lebih berani, ekstrim, terus-terang dalam pemihakan tertentu, melawan, menari dalam kegilaan, menjunjung lokalitas, menaruh perhatian kunci pada subalternitas, pembongkaran dan pembangunan kembali, spiritualisme baru, serta banyak lagi gejala dan proses yang asing bagi pengetahuan klasik (modern) dengan cita dan kategori yang sempit.
Pada wilayah keilmuan mana, teori-teori, filsafat dan kemanusiaan, serta orto-praksis keagamaan (kita sebut saja sebagai teori syahadat sosial) berkembang pesat pada ranahnya yang paling cair, menjadi suatu rumah baru yang sangat menarik minat para pengkajinya. Tetapi yang paling kentara untuk dirasakan bersama adalah subyektivitas-religius bagi para penganutnya, cendekiawan, akademisi, agamawan, ilmuwan dan lain sebagainya.
Syahadat Sosial: Filsafat Memihak Si Miskin
Memanusiakan manusia, itulah ungkapan kuncinya. Sejak Feurbach menerbitkan kritisismenya akan fenomena spirit Hegelian yang terlampau abstrak dalam Phänomenologie des Geistes, ide tentang teologi yang direduksi menjadi antropologi, menjadi penafsiran gaya baru yang diakui keberadaannya.
Terlebih saat Marx berkampanye secara akademis bahwa hendaknya spirit yang dimaksud Hegel, menjadi hal yang riil di tengah masyarakat yang sedang kesusahan. Entäusserung atau pembebasan secara radikal digubah maknanya dari “pembebasan terhadap asingnya manusia dari Tuhan Yang Ideal (spiritualisme),” menuju “pembebasan asingnya para buruh (entfremdung) dari kemanusiaan manusia pada umumnya (egalitarianisme).”
Di tengah gelombang hebat spiritualisme Hegelian, yang mengumandangkan spirit yang mengalienasi diri (der sich entfremdete geist) dari ragawi menuju ruhani, Marx membalik logika ini agar puncak religiusitas adalah menuju dunia nyata.
Marx memandang bahwa spirit adalah hasrat. Hasrat bukan secara dogmatis harus memenuhi kepentingan teologis. Sebaliknya, akan sangat bermanfaat jika ada semacam sikap untuk mematerialisasi gagasan yang metafisis.
Tapi poin penting yang paling utama dari ide materialisme Marx muda, bukan sekedar soal-soal dialektika filsafat yang abstrak dan teoritis, justru pembebasan yang paling nyata itulah yang dikedepankan.
Ide dari sebagian pemikir praksis agama dan pembebasan sosial saat ini memang tidak secara langsung mendapatkan pengaruh dari filsafat modern di Eropa, namun pengalaman studi akademis dan penelitian panjang, telah memberikan jalan bagi persentuhan intelektualitas yang melampaui ruang dan waktu.
Hal lain yang diperhitungkan membentuk corak baru teori keagamaan ini adalah posmodernitas. Kematian mazhab pemikiran Barat Modern oleh pembunuhnya, – Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Marx – telah menggeser paradigma khazanah filsafat dari yang obyektif total dan bebas nilai, menjadi subyektif dan meninggikan kehendak kemanusiaan.
Kondisi alam dan situasi dunia yang sama sekali berbeda, pada umumnya ditandai dengan adanya akses informasi lintas batas yang tak terbatas, lahirnya dunia cyberspace, globalisasi, interaksi sosial dan budaya yang mendunia dan lain sebagainya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi umat manusia (Amin Abdullah, 1995).
Postmodernisme di satu sisi barangkali memberikan skeptisisme ekstrim terhadap agama atau pemikiran keagamaan yang tidak berdaya dihadapan kegilaan dunia. Relativisme pemikiran kemanusiaan menjadi titik tolak bagi iman nihilisme yang menggoncang pemikiran keagamaan yang terlembagakan.
Di sisi lain, beberapa pemuka agama dengan kejernihan pikir telah menduga akan terjadi hal ini di kemudian hari. Kesalahpahaman, terhadap agama dan seluruh pengetahuan agama adalah masalah utamanya. Jürgen Habermas yang memandang cita cinta agama secara optimis, mengindikasikan adanya kesalahan komunikasi dan transformasi ide di tengah masyarakat. Karena itu, agama mesti dikomunikasikan dengan baik.
Beberapa agamawan, filsuf dan ilmuan sosial berkehendak untuk mengembalikan ide agama pada maknanya yang paling otentik dan cair, yaitu memanusiakan manusia. Kendati demikian, soal-soal kemanusiaan, bahasa dan kekuasaan, menjadi wacana yang tidak sederhana. Pelbagai ujian bertubi, secara liar, tajam dan membabi-buta mampu mengacaukan segala dasar pijak agung dan tak terbantahkan (logos).
Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, Michel Foucault menyebutkan bahwa keseluruhan keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, adalah upaya untuk mengetahui ide-ide memanusiakan manusia (Michel Foucault, 1964: 183-184). Tentu saja, ini sangat berhubungan dengan ide agama sebagai tujuan ruhaniah yang paling asasi dan sekali lagi, “otentik”.
Lebih jauh menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Keseluruhan daya dan upaya untuk memahami manusia, salah satunya yang paling mutahir dalam tradisi posmodern adalah dengan psikoanalisis. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda, karena itu mutlak pembaca adalah penafsir. Setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri. Logos itu sistem dan hukum pengetahuan, selayaknya tuhan yang tidak bisa digantikan atau digugat eksistensinya (Michel Foucault dan Alain Badiou, 1965: 65-71).
Semua orang beragama, atau yang tidak beragama sekalipun, berpikir dan membincang tentang agama, selalu memiliki logosnya tersendiri sebagai ruh yang paling esensial. Tatkala logos ini dikehendaki untuk berkuasa dan mendapat pengakuan di hadapan yang lainnya, maka perilaku resentimen atau penguasaan, dominatif, hegemonik dan segala manifestasi kepentingan menjadi tak terelakkan. Di sinilah, setiap pemikiran berpeluang terjebak dalam hukum pengetahuannya sendiri. Jacques Derrida menyebut gangguan yang menyebabkan dogmatisme pengetahuan ini sebagai logosentrisme (Jacques Derrida, 1967).
Orang beragama bisa saja berlaku konservatif dan radikal karena pemberhalaan terhadap teks secara membabi-buta, sebab utamanya adalah logosentrisme. Di lain pihak skeptisisme, keberatan, keraguan dengan motif tertentu juga membuat orang menangguhkan kepercayaan terhadap dunia yang metafisis, termasuk tidak menghendaki kelembagaan suatu agama atau ateis. Dalam situasi ini, mereka juga terjebak dalam logosnya yang dogmatis.
Di tengah perebutan makna “logos” dalam ranah perlombaan kehendak pewacanaan, terlalu lama manusia melupakan dunia yang senyatanya, yang paling sederhana, yang paling material dan misalnya fenomena tentang kelaparan dan penderitaan manusia, bukanlah hal yang abstrak.
Inilah titik tolak yang paling pasti, di mana bukan sekedar gagasan atau pemikiran, muncul di hadapan publik untuk mengkampanyekan dengan segera perilaku kebajikan di tengah masyarakat miskin. Lebih pantas hal ini disebut sebagai suara-suara lantang manusia-manusia para pembebas. Tugas suci ini tidak jarang diakomodir sebagai pemikiran atau filsafat setelah postmodernisme yang dungu menghadapi kebebasan tiada batas. Inilah filsafat keagamaan dan praksis pembebasan sosial, sebagai filsafat yang mengatasi postmodernisme.
Ada satu hal yang ingin ditekankan bahwa, berfilsafat bukanlah netralitas atau bahkan netralisme, tetapi pemihakan. Netralisme bukan sekedar merujuk pada maknanya yang paling sempit, obyektivisme. Keterjebakan manusia terhadap iman netral ini sudah barang tentu juga diwakili oleh kebangkitan subyek dan kehendak postmodern.
Pemihakan adalah hal yang paling penting. Entah apa yang dibela, tetapi memihak kemanusiaan adalah hal yang utama. Karena itu sekali lagi, berfilsafat tidak pernah netral. Karl Mannheim mencatat bahwa, “hanya filsafat yang mampu memberikan jawaban konkrit untuk pertanyaan ‘apa yang harus kita lakukan?’ hal ini dapat diajukan sebagai seruan untuk mengatasi relativisme” (Karl Mannheim, 1952: 128-9).
Kita bisa saja memanfaatkan postmodernisme untuk menjawab tantangan postmodernisme. Argumentasi filosofis untuk melawan logosentrisme dunia postmodern nihilis, salah satunya dengan nihilisme itu sendiri. Filsuf peletak dasar postmodernitas, Nietzsche, membuat lelucon bahwa, segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran yang tengah berteriak menantangnya (Gilles Deleuze, 2002: 4). Demikianlah, kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung.
Menghadapi itu semua, penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, untuk membongkar kedok suatu ideologi, – termasuk filsafat – adalah dengan membongkar apa kepentingan mereka, tujuan-tujuan dan melayani seseorang atau menghendaki sesuatu tertentu (Karl Mannheim, 1952: 141). WS Rendra pernah menantang kita, “Niat baik saudara memihak siapa?” Inilah perenungan bahwa sebenarnya filsafat yang kita anut, semestinya memihak para kaum mustadl’afun.
Pembaca yang budiman, melalui rekomendasi ini, selamat berenang, menari, larut dan lenyap bersama teori syahadat sosial sebagai ilmu baru yang awas terhadap logosentrisme. Selamat berevitalisasi.
17 November 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar