Fahrudin Nasrulloh
http://www.jawapos.co.id/
JALAN menulis bagi siapa pun ibarat kelokan bercabang dari sehampar cerita manusia. Seakan di pedalamannya tersimpan setangkup ”kitab kehidupan” yang terus berpendaran dan menggelitik untuk diamati dan dilacak, meski tak bakal pernah selesai. Selalu ada sisa di balik yang tersembunyi. Oase hening, tapi sayup-sayup dari kejauhan masih nyaring. Seberkas kenangan, dari ratusan tulisannya, yang kini semangat menulisnya itu terus berdetak.
Dialah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Saya selalu geringgingan, ketawa-ketiwi, dan berdecak saat membaca karya-karyanya yang terbit sekitar ‘80-an dan ‘90-an. Hingga sekarang, dia masih tetap menulis, meski sudah tidak begitu intens.
Barangkali ”Kitab Garing” atau lebih spesifik dunia menulis, bagi Cak Nun sudah selesai dalam tataran jika untuk sekadar ”mati-matian” dipertahankan sebagai jalan hidup. Dia pernah menulis esai, Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank di majalah Tempo, 28 Agustus 1982. Di situ dia berkata: Sastra barangkali hanya semacam Sekolah Rakyat yang ikut berproses, diproses, dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ”kekaburan”-nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.
Cak Nun barangkali telah melampaui dunia ”Kitab Garing” ini, dunia yang tampak dari perspektif lahiriah. Dan kini pada tahap ”Kitab Teles”: menguliti, menelusuri, atau berlelaku secara Ilahi dalam segala aspek kehidupan nyata. Ya, seperti penggalan sajak W.S. Rendra: Rasanya setelah mati berulangkali, tak ada lagi yang mengagetkan di dalam hidup ini (Hai, Ma!). Tentu saja, bukan kematian berkali-kali pada diri Cak Nun. Namun, kesadarannya menyelami intisari keilahian hidup ini bagai berproses menjalani ‘’seribu kehidupan menuju Tuhan” sebagaimana nyanyian Simurgh dalam Mantiq al-Thair-nya Fariduddin Attar. Membagi kesadaran berislam dan berbangsa selama 13 tahun lalu bersama jamaah pengajian Padang Bulan di Menturo, Jombang. Pun jamaah Maiyyah di Kasihan, Bantul, Jogja.
Tak ada yang tidak fenomenal, bahkan subversif, dari cetusan pemikiran Cak Nun. Membaca ketidakpastian situasi Indonesia detik ini ibarat menonton dagelan yang bisa meledakkan tawa sekaligus kepahitan yang mendesak dada. Di sinilah Emha mengocok permenungan kita. Seperti getar air bah, lakonnya terus bergerak seiring perubahan waktu. Terbukti, penyair dan budayawan itu juga menyimpan empati yang tanpa henti terhadap nasib bangsanya yang remek dan mengalami kebangkrutan jati diri. Bak Kiai Slilit, Emha mengorek slilit sekisar keruwetan bangsa dengan analisis yang tajam, luwes, aktual-progresif, jernih, cemerlang, bebal, ngludruk, dan menohok, mulai soal kemiskinan sampai kebobrokan institusi-institusi pemerintah yang tak becus mengatur negara.
Kita bisa melongok buku Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Buku tersebut merupakan rekaman yang memuat 43 percikan permenungan Emha. Ada yang pendek, ada yang panjang. Dia mengulik problematik sosial dalam sejumlah esainya. Misalnya, Wong Cilik dan Dendam Rindu Jakarta; SDM Vs Manusia Indonesia Seutuhnya; Buruh Itu Kekasih; Kasih Sayang dan Reformasi Internal; Gunung Jangan Pula Meletus; dan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Tentu tak lepas dari karisma ketokohan Emha yang serba-empatik menyikapi problem umat dan kebangsaan, juga keterlibatannya dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban lumpur Lapindo.
Dari tulisan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki itulah, Emha terus berikhtiar mengungkai watak kotor kesombongan manusia bangsa ini. Terkait dengan ketakaburan orang berkuasa, kesombongan orang kaya, kesombongan orang pandai, dan kesombongan orang saleh. Proposisi ini diawali dari identifikasi sederhana bahwa semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa, yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Sebab itu, rakyat adalah yang miskin, yang bodoh, dan yang selalu belum saleh. Rakyat akhirnya hanya dipandang sebagai organisme rapuh-lemah yang mesti diberdayakan dari ketertinggalan ekonomi, diselamatkan dari kemiskinan, dan dientaskan dari keterpurukan.
Bagi Cak Nun, ”Pandangan ini sangat laknat terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap penguasa. Dan, setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan mengubah kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.” Karena itu, tegas Emha, siapa pun yang bertengger dalam struktur pemerintah negeri ini adalah Kiai Bejo, Kiai Untung atau Kiai Hoki. Mereka mendapatkan keuntungan meski tanpa bekerja. Salah satu pemeo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo. Setiap pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu. Sebab, mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya, dan bejo.
Maka, dampak secara keseluruhan atas kondisi culas itu terasa sungguh memedihkan bagi wong cilik. Sebab, ”kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, menikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri secara berjamaah dengan modus-modus yang makin kasat mata. Namun, ‘ubet’ ekonomi rakyat, budaya ‘kaki lima’ yang cair dan longgar menciptakan semacam ‘pernapasan dalam’ yang membuat rakyat terus survive, meskipun tak ada suplai udara dari negara.”
Kepusparagaman tema dari kumpulan tulisan itu cukup inspiratif. Misal, isu santri sebagai agen teroris, SDM bangsa, buruh, ekspor ibu-ibu asuh, poligami, fundamentalisme, kriteria kepemimpinan, narkotika kebudayaan.
Situasi bangsa yang karut-marut dan terempas seabrek bencana tak kunjung menyadarkan kita untuk berupaya memupuk tenggang rasa dan keprihatinan sosial. Generasi bangsa yang memimpin negara ini dilukiskan Emha seperti bocah ”Si Gundul Pacul” yang nakal pol, mblunat, mbetik, mbeling, cengengesan, sok benar, dan tak mau belajar. Kelakuannya seenak udelnya sendiri. Petentang-petenteng. Tak beres menjadi pemerintah. Risi berbuat kebajikan. Bisanya, membikin program kebaikan demi kesejahteraan perutnya sendiri. Ketika ribut memelototi bokong Inul yang ngebor pun goyangan Dewi Persik yang naudzubillah itu, juga riwayat santer si kanibal Sumanto, secara kualitatif, di situlah sebenarnya tampang asli rai-remek kita. Tapi, Sumanto hanyalah kanibal kelas teri. Dia cuma bernyali makan mayat. Itu pun mayat nenek-nenek yang dicolongnya dari kuburan. Sumanto tak berani makan rakyat sebagaimana yang dilakukan pengurus negara yang menguras dan nyesep habis kehidupan rakyatnya.
Apa yang terjadi dengan masyarakat kita yang sepintas terlihat teguh dan semarak beragama ini? Warga kita yang telanjur dikenal religius, juga aparatur pemimpinnya, kok bisa-bisanya ruwet mendefinisikan dan mensterilkan mental dan jati diri. Semuanya kok bertopeng. Memang dampak modernitas dan globalisasi berimbas pada cara berpikir kita yang cenderung berpola industrial alias instan. Kondisi masyarakat demikianlah yang diparabi Cak Nun sebagai ”Generasi Kempong”. Kita kelabakan digeruduk modernisme yang sejatinya ”hantu” sosial yang tersamar. Kebudayaan kita jadi instan. Minya instan. Lagunya juga instan. Sinetron dan filmnya instan. ”Kalau bisa,” gojek Emha, ”gak kerja tapi punya uang buanyak. Bahkan jika perlu, ndak usah ada Indonesia, ndak usah ada Nabi, ndak usah ada Tuhan juga ndak apa-apa, asal kurukan duit banyak.”
Daya gugah dan sentilan Cak Nun yang menerobos batas hingga ke wilayah persoalan-persoalan keseharian kita yang paling renik itulah yang jarang dibabah oleh kebanyakan tokoh kebudayaan kita. Dan, ini hanya soal ritme atau strategi budaya. Toh, dunia sastra, yang dilakoninya sejak awal, akan jadi biang narsis jika dijalani dengan methentheng di benteng ”menara gading”, mengumpulkan dan meracik ampas rohani yang tujuan akhirnya dapat menelurkan karya sastra yang adiluhung. Bagi Cak Nun, perkara berkarya mungkin tidak melulu melahirkan karya. Tapi, laku sosial dengan spirit punakawan ”Petruk si Kantong Bolong”: yang tak mengharap dapat apa dan menetaskan apa. Itulah yang lebih penting demi kemanfaatan manusia secara luas. Khairun nas anfauhum lin nas: sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling berguna bagi manusia lain. (*)
*) Fahrudin Nasrulloh bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar