Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Dalam beberapa obrolan dan jagongan tentang seni-budaya Jombang, ada seorang pegiat seni yang dengan antusias tapi terkesan chauvinistik menyebut bahwa banyak ikon Jombang yang perlu dilestarikan keberadaannya. Misalnya ia menyebut sosok Besut, pengremo legendaris Mbah Bolet, warisan Topeng Jatiduwur, Watu Gilang di Ploso, situs Sendang Made, tradisi warga Sandur Mandura, dan lain-lain. Sejumlah pejabat pemerintah juga kerap mengkopi-ucap data inventaris kesenian itu kala memberi sambutan pada acara-acara resmi tertentu. Nimbrung nanya, seberapa akurat dan seperti apa jenis deretan kesenian itu telah ditelusuri dan selanjutnya diketahui sebagai sebuah pengetahuan yang menjadi kesadaran milik bersama warga Jombang? Boleh jadi saya keliru mengudar rasa bahwa topik macam demikian semata hanya bahan kelakaran sambil-lalu atau gosip di jedah istirahat makan siang di sebuah acara resmi pejabat atau seniman yang merasa ngurusi kesenian, misalnya.
Ambil contoh lanskap lain, katakanlah ludruk sebagai sebentuk kesenian yang muncul di Jombang, apa yang sudah dilakukan pemerhati ludruk Jombang untuk mengembangkannya? Haruskah kita berkali-kali mendaku tanpa gagasan riset baru bahwa ludruk adalah anak sejarah yang lahir di tlatah Jombang sejak 1907 dengan munculnya lerokan Pak Santik, Pak Amir, dan Pak Pono? Apakah Paguyuban Ludruk Arek Jombang (Palambang) yang konon dimunculkan dari rahim gagasan Bupati Suyanto telah benar-benar memberi kontribusi positif dan kondusif bagi mekarnya ludruk Jombang, ataukah malah sebaliknya? Jika Palambang yang lahir pada 2007 telah nyata-nyata memberikan sumbangsih bagi seluruh seniman ludruk dan warga Jombang, lagi-lagi saya bertanya, apa implementasi riil baik yang bersifat fisik maupun yang visioner?
Kita bisa mencatat peristiwa yang agak tragis dan miris bagi Palambang yang bertampil ludruk dengan lakon “Kebo Nyusu Gudel” saat pengukuhan Dewan Kesenian Jombang pada 25 Februari 2010 di mana salah satu pemeran perempuan, Darwati namanya, diganti begitu saja oleh “pihak dalam” Palambang dengan pemain lain. Padahal Darwati sudah didapuk pada gladi resik sebelumnya. Dan tanpa pemberitahuan, ia digajul begitu saja. Darwati pulang dengan sesak sesal dan tersepelekan harga dirinya. Ada yang bilang dan sempat terdengar, “Ngurus pentas ludruk saja nggak becus. Bagaimana pula memikirkan masa depannya?” Yang aneh dan lebih menggelikan lagi, pengukuhan itu sampai menghadirkan artis Ayu Azhari dengan pesangon 15 juta hanya untuk berjoget dengan lagu “Terajana”. Sungguh mewah acara resmi ini. Sementara kita lupa ada Wak Bari si seniman ludruk gaek asal Kabuh yang lama digelut stroke yang tak lagi bisa kita mendengar riwayat ludruk Jombang darinya sebagai data sejarah ludruk. Apa hubungan yang masuk akal si artis ini dengan pengukuhan DeKaJo? Yang saya tahu ia cuma teman baru nan akrab Bupati Suyanto saat keduanya jadi bintang tamu di Empat Mata-nya Tukul Arwana. Tak lebih dari itu. Dimensi kesadaran ruang sosial telah hilang di sana. Dunia intertainment, gosip, selebritisme, dicampur-baur dengan ruang apresiasi lembaga kesenian yang baru saja dibentuk itu yang sebenarnya harus disadari bersama.
Di tempat lain, dan lantaran peristiwa itu, sejumlah seniman ludruk yang tidak terlibat dalam pementasan Palambang malam itu merasa tersinggung dengan amat sangat atas perlakuan yang tidak etis terhadap Darwati itu sehingga mereka melayangkan surat protes dengan tembusan langsung kepada yang terhormat Bupati Suyanto. Ketidakberesan ini menguarkan citra buruk bahkan telah menyebar ke seabrek telinga di luar Jombang.
Tapi benarkah demikian kasus yang menimpa Darwati? Bila memang begitu ceritanya, jangan salah sangka jika ada kesan bahwa ludruk Jombang itu bermasalah dan oleh sebab itu imbasnya banyak pula grup ludruk Jombang kurang diminati masyarakat. Complicated problems. Kadang saya lebih suka diperhadapkan pada berbagai masalah pelik agar jiwa tercambuk dan tangguh karenanya, dengan catatan, segera selesaikan masalah yang bejibun itu. Tidak dibiarkan, nanti bisa membusuki diri sendiri. Belum lagi soal ludruk tobongan asal Jombang yang nyaris punah. Sebut saja Ludruk Mamik Jaya yang kini ketlarak di tegalan sawah pedalaman Madiun, sebelumnya mereka ngamen di daerah Tulungagung, Trenggalek, Ngawi, dan Magetan. Sudah 12 tahun mereka nobong. Banyak cap yang terlekat dalam grup ludruk ini di rantau, misalnya: “panorama kenelangsaan”, “drama kemelaratan”, “yang bersetia penuh nguri-nguri ludruk”, “berjaya hidup-mati di tobongan”, “kemalasan kreativitas”, “kaum seniman martir yang terbuang”, “sasaran empuk politisasi kesenian”, dan bla-bla-bla. Mustinya sejak dulu Bupati Suyanto memikirkan apa solusi terbaik atas kondisi mereka. Atau memang demikiankah garis nasib seni tradisi: ia kelak bakal lenyap sendiri, menguap dideru perubahan zaman, seperti takdir Ludruk Mandala yang tutup tobong tahun 2008, yang pimpinannya tak lain adalah Dayat dari Peterongan.
Baiklah, itu satu contoh kasus yang boleh bagi siapapun untuk mengklarifikasi dan urun rembug. Soal lain, tentang ikon yang, untuk sementara, dianggap milik Jombang, yakni Mbah Bolet. Ia memang tidak disangkal lagi bahkan di seantero Jawa Timur akan dedikasi dan kehebatannya dalam olah-karya tari remo. “Remo Boletan” adalah sebutan yang prestisius. Tokoh ini sampai melahirkan dan menginspirasi generasi seniman remo lain semisal Ali Markasa, Mujiono, Pak Gendut dari Kediri, dan Bu Sur dari Mojowarno. Sekedar nanya, siapakah yang mengenal lekat Mbah Bolet dan menangi masa hidupnya? Ini pertanyaan konyol pula, dan dapat dibalik-tanya: kalau memang ada lantas kenapa dan mau apa?
Hanya beberapa orang mungkin yang masih hidup saat ini yang kenal dan paham betul dan punya pengalaman yang mendalam dengannya. Pernah saya tanya pada sesepuh seniman atau pemerhati ludruk Jombang, apakah anda punya foto Mbah Bolet? Ini pertanyaan sepele, tapi tak gampang dijawab dengan data konkrit, sebab banyak pejabat atau seniman Jombang yang ingin mengabadikan sosok ini dalam bentuk lukisan, cinderamata, monumen patung, dan lain-lain dengan bayangan bahwa dari tokoh ini bisa dijadikan industri kreatif yang menjanjikan untuk penabalan sekaligus penguatan identitas dan potensi Jombang. Ataukah jika saja anda pernah menemukan sebuah tulisan atau riset kecil-kecilan yang cukup bisa dijadikan sumber awal untuk lebih mengenal sosoknya? Dari beberapa pertanyaan enteng itu, jawaban sementara yang saya pungut hanyalah seraut wajah: BENGONG.
Padahal, Pak Ali Markasa, pernah cerita pada saya, bahwa ia mengenal Mbah Bolet sejak tahun 1966. Ia tak tahu kapan Mbah Bolet lahir. Sumber cerita lain menyebut nama asli Mbah Mbolet adalah Sastro Bolet Amenan. Kiranya ada bau ningrat dari nama itu. Ia meninggal pada Selasa Pon, 17 Agustus 1987, di Jombang. Nama dia silakan saja dijadikan ikon seniman besar Jombang. Tapi sejauh mana kita mengenalnya dengan baik? Untuk mengenalnya pasti membutuhkan sejarah hidupnya, bukan? Jadi setali tiga uang, jika pembaca ada yang memiliki data tertulis atau apapun yang berkaitan dengan sosok ini, anda bisa membagi informasi tersebut kepada Bupati Suyanto yang telah menabalkan dirinya sebagai pengayom (dan pelestari?) ludruk dan seniman ludruk Jombang. Atau jika anda sungkan menginjakkan kaki di rumput indah kabupatenan, anda bisa berbagi cerita pada Komite Seni Tradisonal di Dewan Kesenian Jombang yang ketuanya kini adalah Pak Eko Wahyudi.
Soal terkait lain, tentang warisan Topeng Jatiduwur. Saya kira, menurut data rekaman saya dari cerita Pak Supriyo di Jatiduwur, seniman pengampu tradisi topeng di sana sudah susah diajak maju. Cara berpikir mereka yang menilai pihak pemerintah yang mengurusi kesenian hanya mengambil untungnya saja dan mereka merasa bahwa diri mereka dan keseniannya hanya diperhatikan saat dibutuhkan, seperti sewaktu ada undangan tampil di propinsi atau di TVRI dengan bajet sekian lalu mereka dapat jatah sekian. Ironisnya, mereka merasa dikibuli dengan dapat honorarium yang tak sebegitu yang seharusnya menurut sangkaan mereka harusnya dapat sebegini dan bla-bal-bla. Kini, mereka sudah susah diajak kerja sama lagi dengan pemerintah yang mengurusi kesenian itu. Peristiwa tersebut seolah menjelma “batu” di kepala masing-masing orang yang pernah terlibat langsung di dalamnya dan lama-kelamaan pasti mengeras jadi fosil rapuh yang gampang dikibas angin lalu. Apalagi bahwa Mbah Nasrim sebagai penari Topeng Jatiduwur yang sangat piawai telah lama meninggal. Dan anak turunnya tak ada yang mewarisi keahlian tersebut. Kalau pun ada, tak bisa diandalkan. Maka, apa yang tersisa dari warisan Topeng Jatiduwur? Mungkin masih ada jejak yang bisa terus digali dari sana. Tapi siapa yang mau bergerak intensif untuk itu?
Dari kondisi beberapa jenis kesenian dan sosok seniman yang karut-marut dan kabur demikian, masihkah ada yang ngimpi bahwa Jombang punya ikon kesenian yang dapat dibanggakan dan jadi maskot di tingkat nasional? Jika Bupati Suyanto, atau pemerhati kesenian Jombang, atau DeKaJo (Dewan Kesenian Jombang) menilai persoalan-persoalan ini tidak penting bagi identitas Jombang di kemudian waktu. Jangan semudah ngimpi dengan berkata: “Jombang kelak akan menjadi mercusuar kebudayaan Nusantara.” Guyonan saya, kalimat gagah bin keren ini sebagai “kata benda”, “kata kerja”, atau “impian kosong”?
Atau, jika suatu saat ada kunjungan kenegaraan dari Istana Kepresidenan, lalu ada yang bertanya karena tertarik pada tokoh-tokoh nasional yang lahir dari Jombang, kapankah Hari Jadi Kelahiran Kabupaten Jombang? Adakah semacam buku tentang “Sejarah Kabupaten Jombang”? Bupati Suyanto tentu berharap tidak ada pertanyaan yang seperti itu. Tapi, jika pertanyaan semacam itu muncul dari Pusat suatu saat, boleh saja Bupati Suyanto mengalihkan obrolan ke topik lain. Ini soal yang sebenarnya sederhana, namun sesungguhnya mendasar. Ya, soal identitas wilayah pemerintahan dan kesejarahannya. Memang upaya penelurusan Hari Jadi Jombang sudah pernah dilakukan pada 2007. Namun hingga kini tak terdengar kabarnya lagi.
Sekedar contoh, Kabupaten Nganjuk telah memiliki buku sejarah asal-usul Kabupatennya. Si penulisnya, Harimintadji dan timnya, bertahun-tahun menelusuri sejarah berdirinya Nganjuk, sampai pada 1994 terbitlah buku Nganjuk dan Sejarahnya. Dengan munculnya buku tersebut tidak sepenuhnya diterima warga Nganjuk. Perdebatan dalam sejumlah seminar dan bedah buku tersebut terus berkembang. Sebuah dilektika yang menarik sebenarnya, di mana warga, tokoh masyarakat, budayawan, merasa terlibat di dalamnya, hingga tahun 2004 Harimintadji secara khusus membuat buku dari dinamika itu dengan judul Kontroversi Sekitar Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Dan dalam bentuk pementasan drama kolosal sejarah Nganjuk ia menganggit naskah Pelangi di Anjuk Ladang (2005). Yang perlu diacungi salut dari dinamika kota ini adalah bahwa empat masa periode bupati Nganjuk dari yang sekarang dan sebelumnya sungguh mendukung penuh dan mendanai tim penulis yang dipimpin oleh Harimintadji yang mana dia bukanlah sejarawan kesohor. Ia hanya si tua pensiunan dari Dinas Tata Pemerintahan Pusat, tapi mau bergerak dan berkeringat. Untuk penulisan sejarah Jombang, kayaknya jika mau serius, Bupati Suyanto bisa saja “ngedok dengan SK Bupati” bahwa penelusuran sejarah Jombang perlu ditindaklanjuti dan diprioritaskan sebagai agenda mendesak. Dengan catatan beliau tepat dan benar menunjuk tim riset dan konsultan ahli dari beberapa sejarawan yang kredibel dan berintegritas tinggi. Ini akan menjadi catatan penting sebagai salahsatu tinggalan Bupati Suyanto yang paling berharga sampai akhir jabatannya pada 2013.
Pastinya, masih banyak persoalan seni-budaya yang berkerumuk di lorong terdalam kesejarahan Jombang. Kepada Bupati Suyanto, para seniman dan budayawan, pemerhati kesenian, guru-guru, pelajar, semua pihak yang bersepaham dengan soal ini, serta warga Jombang yang budiman, bahwa dalam paparan tulisan ini, boleh dibantah diuji dan ditanggapi. Paling tidak, dari dialektika ini ada yang bisa kita ambil manfaatnya di kemudian hari.
Jombang, 25 Maret 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar