18/08/10

Nasionalisme Pasca-Mishima

Sunlie Thomas Alexander *
lampungpost.com

SUATU pagi di tahun 1970, sastrawan Jepang Yukio Mishima bersama sejumlah anak buahnya yang terlatih secara militer menyerbu markas Kementerian Pertahanan di Tokyo. Usai berpidato tentang Jepang yang kehilangan keagungan klasik, di hadapan perwira tinggi yang disanderanya, penulis novel Senandung Ombak dan Kuil Kencana itu pun menjalankan seppuku. Seorang pengikutnya yang disebut khaisakunin kemudian memenggal kepalanya.

Syahdan, kematiannya itu adalah sebuah rasa masygul terhadap westernisasi dan kelemahan Jepang yang menurutnya telah tenggelam dalam rutinitas politik dan ekonomi modern tanpa keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan.

Untuk kita, bunuh diri Mishima mungkin sebentuk nasionalisme sempit yang menakutkan, tapi sebagai seorang pejuang (warrior) dalam perspektif Jepang lama, apa yang ia lakukan tentunya sesuatu yang menggetarkan bagi sebagian orang. Mishima adalah pendukung politik sayap kanan, pujaannya pada semangat berani mati para samurai masa silam telah mendorongnya membentuk organisasi Tatenokai yang berupaya mengembalikan keagungan kaisar dan kejayaan para samurai.

Kebangkitan Asia-Afrika

Nasionalisme memang tak sesederhana selembar bendera dikibarkan dan lagu kebangsaan dikumandangkan. Dalam perspektif Barat, ia dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Yang mana dalam hal ini, ia memiliki kapasitas memobilisasi massa lewat janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas.

Sebagai penemuan sosial paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah selama seratus tahun terakhir, boleh dikatakan tak satu pun ruang sosial di muka bumi terlepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, di sini jalan sejarah tentu saja lain sama sekali.

Namun sebagai negara dengan bangsa yang homogen, nasionalisme Jepang tak lain adalah kesinambungan genealogi kekaisaran Jepang selama berabad-abad. Memang, di zaman feodal (1200-1600) banyak terjadi kekacauan di seluruh penjuru negeri Jepang akibat perebutan kekuasaan oleh kelas prajurit. Tetapi kedudukan Kaisar sebagai pemersatu negeri toh tak tergoyahkan hingga kini. Kendati setelah Perang Dunia II misalnya, gelar “dewa” sang kaisar konon telah dilucuti Jenderal McArthur dari Amerika Serikat.

Dengan demikian, nasionalisme Jepang lebih dekat kepada nasionalisme romantik (disebut juga nasionalisme organik). Ia adalah perwujudan budaya etnis yang menempati idealisme romantik; tatkala cerita tradisi direka sebagai sebuah konsep. Bukankah “nation” sendiri berasal dari kata Latin, “natio” yang mengakar pada kata “nascor” (saya lahir) di mana semasa Kekaisaran Romawi, kata ini digunakan untuk mengolok-olok orang asing?

Karena itu dalam etnonasionalisme, kita pun menemukan bagaimana fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dari sudut pandang inilah, nasionalisme adalah konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa silam yang disebut sebagai “ethnie”, suatu kelompok sosial terikat perangkat kultural yang meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Sehingga di sini, gerakan politik nasionalisme merupakan sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya.

Hal ini berbeda dengan banyak bekas jajahan Barat–bersuku-bangsa majemuk–di Asia-Afrika yang mana nasionalismenya merupakan sebuah sikap poskolonial. Atau meminjam Ben Anderson dalam “Imagine Community”, adalah hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Lahir dari perasaan senasib-sepenanggungan; berdasarkan suatu image mengenai kesatuan bersama. Nasionalisme semacam ini di banyak negara Asia-Afrika adalah jawaban yang mengemuka sejak akhir abad 19 atas perasaan tertindas. Ia pun lekat dengan “kebangkitan”.

Maka pernah di Indonesia, Bung Karno dengan berapi-api berpidato tentang “kepribadian nasional” dan karena itu politik demokrasi liberal yang “kebarat-baratan” dan segala corak pemikiran yang “tak autentik/tak nasional” haruslah dibuang karena bakal meracuni bangsa. Akibatnya musik “jingkrak-jingkrak” The Beatles pun diharamkan, kran kebebasan terbendung sehingga nasionalisme pun menjadi collective identity yang berfungsi sebagai instrumental dalam berinteraksi dengan sosial grup lain demi kepentingan mobilisasi politik.

Padahal, kendati bertumbuh pada budaya lokal sebagaimana negara-negara Asia-Afrika lainnya, Indonesia, baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya tak lepas dari produk kolonialisme yang diilhami oleh semangat modernitas dengan budaya Barat sebagai sumber inspirasi utama.

Persoalan nasionalisme Jepang berpijak lebih jauh ke masa lampaunya. Dalam sejarahnya, politik isolasi yang pernah dijalankan Keshogunan Tokugawa tak lain juga sebentuk ekspresi nasionalisme. Selama 200 tahun sejak 1633, Jepang menutup pintu ke dunia luar sebagai akibat kecemasan akan penyebaran pengaruh Barat dan Kristen.

Dalam kasus Jepang, proses pertemuan dengan Barat dan modernisasi selepas keberhasilan Komodor Perry memaksa shogun menandatangani perjanjian dagang dengan Amerika yang kemudian mencetuskan Restorasi Meiji, telah timbul perdebatan tentang seberapa banyak Jepang dapat meminjam kemajuan peradaban Barat. Dalam waktu singkat setelah 1868, sebagian besar orang Jepang pun berubah dari xenofobia ke xenophilia. Yang tak hanya mengadopsi banyak aspek luar peradaban Barat seperti dansa ballroom, juga mengadopsi banyak ide-ide dan lembaga-lembaga Barat sebagai oligarki Meiji dengan menerapkan kebijakan fukoku ky’hei (negara kaya, militer yang kuat) untuk mengejar ketinggalannya. Restorasi Meiji hendak membawa Jepang memasuki dunia Barat dengan segenap budaya: busana, life style, dan peralatan tempur.

Di sinilah awal dihapusnya fungsi samurai sehingga menjadi kelas kedua yang memicu pemberontakan terbesar pada 1877. Sebagaimana dapat kita saksikan dalam film The Last Samurai besutan Edward Zwick (2003), tak kurang 40 ribu samurai ditumpas tentara pemerintah yang bersenjata modern.

Nasionalisme Tak Stabil

Namun apabila di masa lampaunya, terbawa semangat kemenangan perang atas Rusia pada 1905, nasionalisme Jepang telah mengembangkan imperialisme Asia yang mengerikan, seperti apa sebetulnya nasionalisme yang dimiliki masyarakatnya dewasa ini? Apakah benar yang dikatakan pengamat sosial Takahara Motoaki (2006), bahwa saat ini Jepang sedang memasuki Fuan-gata Nashonarizumu Jidai atau zaman nasionalisme tak stabil?

Tingkah laku para remaja menggambar bendera Hinomaru di pipi tatkala mendukung Tim Jepang dalam Piala Dunia misalnya, menurut analisis sosial Kayama Rika, juga salah satu bentuk nasionalisme masyarakat Jepang dewasa ini. Meskipun aksi mereka sebagai suporter sepak bola tersebut hanyalah sebatas persoalan kejiwaan belaka, yang tak berkaitan dengan sikap politik. Untuk ini, ia pun mengenalkan istilah “Petite Nationalism” atau nasionalisme kecil (Kayama, 2002). Namun berbeda Kayama, bagi Takahara kendati kelakuan para remaja ini bukanlah termasuk sikap politik yang serius, toh komentar-komentar pribadi mereka di internet mengenai hubungan Jepang dengan negara lain (contohnya hubungan Jepang-China-Korea) telah dapat dikategorikan ke dalam sebuah sikap politik.

Syahdan, di tahun 1960-1970 perkembangan rasa kebangsaan masyarakat Jepang pascakekalahan Perang Dunia II dipicu oleh beberapa hal. Antara lain, telah dewasanya anak-anak yang lahir saat baby boom (1945-1955). Kekritisan mereka—dengan kemudahan akses pendidikan—memicu banyak demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, misalnya perpanjangan perjanjian pertahanan keamanan Jepang dan Amerika. Demikian pula di tahun 90-an ketika perekonomiannya mengalami masa keemasan dan sebagian besar masyarakatnya yang bekerja di sektor bisnis dan jasa berlomba-lomba dalam perdagangan luar negeri, nasionalisme Jepang cenderung berbasis faktor kepentingan ekonomi.

Tetapi seiring dengan krisis perekonomian pada akhir tahun 1990, para remaja yang lahir pada masa baby boom kedua (1975-1980-an) pun tumbuh menjadi remaja yang pesimistis dan cuek pada masa depan mereka sendiri, apalagi masa depan bangsa.

Karena itulah, pemerintah Jepang dan kalangan lain yang peduli pada degradasi moral masyarakatnya lalu berupaya menformulasikan rumus yang tepat agar masyarakat Jepang kembali bangkit dari keterpurukan moral ini. Rencana reformasi dalam bidang pendidikan dirancang agar daya saing dan SDM Jepang dapat ditingkatkan. Untuk itu, dipersiapkan secara tersembunyi ide-ide moralitas bushido sebelum jaman perang. Beberapa contoh upaya untuk mengembalikan rasa kebangsaan dan patriotisme ini, antara lain lewat penayangan drama-drama yang bertema kehidupan samurai di zaman feodal oleh stasiun NHK, penggagalan usaha pembicaraan tentang kaisar wanita, dukungan terhadap pembentukan pasukan perang Jepang, dan kunjungan ke Kuil Yasukuni oleh para pemimpin pemerintah. Upaya-upaya ini terutama digalang oleh kelompok sayap kanan.

Tentu saja, ide mengembangkan semangat bushido pada zaman modern merupakan sesuatu yang menarik. Walaupun pada hakikatnya bushido (jalan prajurit) adalah untuk mati, tapi toh ia memiliki pemaknaan lebih mendalam: bahwasannya anugerah hidup ini hendaknya dijalani dengan sungguh-sungguh. Meraih kesuksesan melalui kerja keras merupakan cita-cita luhur dari setiap manusia—di mana untuk mewujudkannya, membutuhkan disiplin tinggi dengan ditunjang mentalitas pantang menyerah. Maka apabila bagi para samurai, mati dalam melaksanakan tugas sebagai wujud kesetiaan pada tuannya adalah cita-cita tertinggi, bagi manusia Jepang kontemporer, kerja keras untuk menggapai keberhasilanlah cita-cita tertinggi itu. Tentu saja tak cuma dalam bushido nilai-nilai semacam ini terkandung, lantaran ia merupakan nilai-nilai universal yang terdapat dalam setiap kebudayaan…

Bagaimana dengan Indonesia setelah 102 tahun Boedi Oetomo? Ini sebuah pernyataan buat kita semua!

Ah, Mishima, novelis besar itu, baru berumur empat puluh lima tahun dan sedang berada di masa puncak kepenulisannya. Tatkala perutnya robek oleh tanto di tangannya, tubuhnya yang ia rawat melalui olahraga keras itu tampak bagus dengan otot-otot menggembung. Begitulah.

*) Cerpenis; Periset Parikesit Institute Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita