08/04/12

Ayo, Siapa Lagi yang Nanggap Ludruk Brawijaya?

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.radarmojokerto.co.id/

Mojokerto tretek terusan
Kali gede dalane prahu
Dadi joko ojok adol kebagusan
Nyambut gawe sing paling perlu

Pada hari Jumat, 25 September 2009, ludruk Brawijaya ditanggap Bapak Supendik asal Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan. Hajatan Pak Supendik ini dalam rangka menyunatkan anak tunggalnya, Alvin Sugiyanto. Acara Khitanan sekaligus ruwatan dimulai bakda Jumatan dengan menampilkan paguyuban ”Cambuk Api” dengan tradisi “ujung”nya yang dipimpin Pak Pardi di Dusun Mbancang. Kelompok kesenian ”adu cambuk rotan” ini telah dirintisnya sejak tahun 1988. Hajatan itu kemudian diteruskan dengan wayang Purwakalan dengan menampilkan dalang Ki Kamim Sarpokenopo, dan malam harinya pementasan ludruk Brawijaya digelar dengan menampilkan lakon ”Wewe Putih Gandrung” yang disutradarai Sawi Gembel.

Sebagaimana biasanya, lawakan ludruk yang dipentaskan merupakan sajian paling memikat yang ditunggu-tunggu penonton. Sekitar seribuan penonton membludak dan berdusel-duselan. Puluhan penjual dari pedagang plembungan sampai Soto Lamongan terjejer panjang dari rumah penanggap hingga memanjang ke timur jalan. Pelawak Memet asal Kecamatan Kabuh, Jombang tampil pertama dengan jula-julian dan salawatan. Lalu menyembullah Wak Jambul asal Tuban yang langsung diteter Memet dengan guyonan dan tebak-tebakan. Ini mengocok perut penonton hingga terpingkal-pingkal. Dua pelawak lantas nongol, Ciplis dan dan Wulung dengan “dagelan bacokan” yang sontak membikin Wak Jambul keringetan karena ditotol berkali-kali oleh kawan-kawannya tersebut. Sungguh gembira, betapa masih saja ada bocah-bocah kampung yang terpukau dan cekakakan saat mereka asyik-larut dalam gojekan dagelan itu dan melupakan tayangan Tawa Sutra, Segeerrr, OKB dan sinetron-sinetron TV yang cengeng dan menumpulkan otak itu.

Perjalanan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah

Ludruk Brawijaya yang bermarkas di Desa Pandanarum, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, didirikan pada 16 Mei 2008 oleh Pak Mulyono dan disokong kakaknya, Abdul Fatah. Pak Mul, demikian panggilannya, lahir 7 September 1966 di Desa Pandanarum. Pada umur 19 tahun, yakni tahun 1985. Dia tertarik menyimak klenengan seni ludruk di paguyuban ludruk Sapta Mandala di Desa Centong, Kecamatan Gondang, yang saat itu dikelola oleh Pak Fatah. Sapta Mandala tidak berumur lama. Tahun 1988, ludruk ini bubar karena pengelolaannya yang bersifat organisasi, tidak berjalan dengan baik.

Pada 1987, Pak Mul bergabung dengan ludruk Sari Wijaya dari Ngoro yang dipimpin oleh Pak Rodal. Ia terus menimba pengalaman ngludruk ke banyak grup ludruk, terutama di bidang pemeranan atau penokohan yang selanjutnya ia dikenal sebagai sutradara ludruk. Sari Wijaya kemudian pecah, dan muncullah pecahannya yang bernama ludruk Perdana yang diketuai oleh Eko Supeno. Pak Mul memilih ikut ludruk Perdana dari tahun 1990 sampai 2007. Perjalanan tanggapan juga tobongan ludruk ini telah merambah dari kota ke kota seperti Malang, Surabaya, Jombang, dan Mojokerto sendiri. Ia juga sering di-job ludruk Sidik Cs, baik sebagai pemeran lakon maupun sutradara, dari tahun 1990 hingga tahun 1996.

Lahirnya ludruk Brawijaya jika dirunut bermula dari ludruk Mulya Budaya yang dirintis Abdul Fatah pada 16 Mei 2007. Sempat nama Mulya Budaya diganti nama dengan sebutan ludruk Gajah Mada. Namun ludruk ini tidak bertahan lama karena beberapa hal, lalu Pak Mul berinisiatif membentuk ludruk sendiri yang selanjutnya dirembug dengan Pak Fatah. Pak Mul berkeyakinan bahwa kemandirian dan kesolidan sebuah grup ludruk itu penting. Pendanaan dan pengaturan serta pengelolaan merupakan hal mendasar yang musti secara interen dimiliki oleh setiap grup ludruk. Dengan modal sekisar 70-an juta, ia dan dengan dukungan Pak Fatah mendirikan ludruk Brawijaya pada 16 Mei 2008. Perjuangan dan kecintaan mereka akan ludruk tampaknya semakin menguat dan terus mereka jalani sebagai bagian hidup mereka dalam berkesenian. Nama ”Brawijaya” yang dipilih menjadi satu pertanda bagaimana mereka ingin mengangkat nama Mojokerto dengan simbol-simbol kejayaan kerajaan Majapahit.

Selama setahun lebih, ludruk ini dibentuk hingga sekarang, tak kurang dari 100-an tanggapan terop yang mereka peroleh. Ini merupakan suatu prestasi yang gemilang. Kendati dalam setiap tanggapan yang rata-rata bernilai Rp 7 jutaan itu mereka sering tekor (merugi) sampai harus tombok (menalangi) sekitar 1 jutaan. Hal ini karena mereka belum sepenuhnya memiliki sarana dan peralatan transportasi ludruk yang layak. Semisal mereka belum punya inventaris berupa sound-system, satu set gamelan dan truk. Kondisi yang serba pas-pasan ini sejak awal telah disadari Pak Mul dan Pak Fatah. Lalu bagaimana mereka masih terus bisa eksis dengan kondisi yang demikian? Tujuan Pak Mul yang terpenting adalah sejauh mana masyarakat dapat mengenal dengan baik ludruk Brawijaya.

Yang kedua terkait dana talangan yang justru dirogoh dari kocek pribadi mereka sendiri. Keguyuban warga ludruk ini juga menyadari kondisi ”mepet” mereka. Maka kerap kali honor mereka rela dipotong 10 persen sampai 25 persen untuk melengkapi dana talangan itu. Semisal untuk bayaran kelas A (pelawak) Rp 300 ribu, kelas B (tokoh peran): 150 ribu, kelas C (gontok, sinden, dan wiyogo, dll) Rp. 50 ribu sampai 100 ribu. Mereka ikhlas dipotong dengan prosentase itu. Meski begitu, kesetiaan mereka dalam bentuk kedisiplinan dalam setiap tanggapan ludruk Brawijaya tetap terjaga, kecuali memang kala ludruk ini tidak ditanggap, para awak ludruk bisa saja ikut grup ludruk lain yang mentas.

Ludruk Brawijaya yang beranggotakan 63 orang, terdiri dari Wayang (tokoh peranan): Sugi, Sulkan, Wandi, Said, Wol, Kastam, Sumadi, Cahyo, Didit, dan Mondro. Tandak terdiri dari: Riska, Mamik, Rara, Dina, Menik, Diah, Mintuk, Candra, Mei, Anik, Daripah, Tini, Susi, Kesi, Tina, Suliati, dan Nuryati. Para gontok: Sariman, Edi, Juni, Yuli, dan Anam. Sinden: Sukeni. Para panjak: yang terdiri dari grup Suwari CS adalah Bambang, Warsito, Santriman, Sarno, Poniran, Ngarso, Kumadi, Sarno, dan Antok. Penata dekorasi: Sonto CS. Sound system: Fata Cs. Ketua juru gamelan: Gembur Cs. Kekompakan awak ludruk ini sungguh benar-benar diperhatikan oleh Pak Mul, lebih-lebih ia pun berpikir keras akan kesejahteraan mereka di kemudian hari.

Sosok Pak Mul sebagai seniman ludruk yang sekaligus bekerja sebagai perangkat desa di desanya sendiri telah mampu menghidupi istri dan membesarkan anak-anaknya dari penghasilan di dunia ludruk. Ia beristri Supiyatun (lahir 14 Juli 1967), sedangkan anak-anaknya: Dian Aprilia (lahir 13 Februari 1992, dari istri pertamanya bernama Fatimah yang pernah ikut grup ludruk Baru Budi), Lia Mulyana (lahir 1 Oktober 1992), Dwiki Indra Lesmana (lahir 10 Oktober 1996). Dua anak yang terakhir ini berasal dari istrinya, Supiyatun. Sebagai sutradara, Pak Mul tetap berupaya menggali kreativitas dalam menciptakan lakon-lakon ludruk, di antaranya adalah lakon: ”Tebu Berduri” yang tokoh utamanya Bajuri, ”Golok Setan”, ”Pendekar Gunung Sumbing”, dan yang terakhir yang sedang digarapnya adalah ”Rebutan Ajining Sandal Jepit” yang mengangkat kehidupan wong cilik yang berdesak-desakan memperjuangkan pencairan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang beberapa bulan yang lalu ramai diperdebatkan masyarakat Indonesia yang melarat dan terpinggirkan.

Sementara, sosok Abdul Fatah yang lahir pada tahun 1955, menerjuni kesenian ludruknya berawal dari mengikuti wayang kulitnya Pak Leman dari Japanan pada tahun 1969. Lalu ia masuk grup ludruk Irama Baru dari Sidoarjo yang disokong oleh Pak Yassin dari KODIM 0816 Sidoarjo yang selanjutnya pimpinan rombongan ludruk ini diurus oleh Pak Dono. Selama 10 tahun ia bergabung dengan ludruk ini, dari tahun 1970 sampai tahun 1980. Tahun 1980 hingga tahun 1985 ia bergabung dengan ludruk Massa Baru dari Jombang yang saat itu dipimpim Pak Akhmad dari Desa Pacarpeluk Kecamatan Megaluh. Lalu, tahun 1985 sampai 1987 ia masuk grup ludruk Sari Murni Jombang yang dipimpin oleh Pak Gimin dan Pak Kusnan. Selanjutnya ia mendirikan ludruk Sapta Mandala yang eksis dari tahun 1987 sampai 1992. Selain itu ia pernah terlibat dalam siaran ludruk RRI Surabaya (1992-2002), juga pernah di ludruk Karya Baru Mojokerto (2002-2007), dan yang terakhir ia bersama adiknya, Pak Mul, mengembangkan ludruk Brawijaya sejak 16 Mei 2008 hingga sekarang.

Selain sebagai pendamping Pak Mul, mata pencaharian Pak Fatah terbilang tidak jauh dari pernak-pernik di seputar dunia ludruk. Ia merupakan teknisi panggung, pembuat peraga kewan-kewanan (berbagai kostum yang berbentuk aneka macam binatang sesuai lakon ludruk yang dipilih), busana ludruk, busana manten dan tari, busana travesti, dan lain-lain. Usaha ini ia kembangkan di rumahnya bersama keluarganya dan pula tetangganya. Banyak juga pesanan dari berbagai kalangan baik dari grup-grup ludruk maupun dari masyarakat umum. Setiap busana seperti busana pengreman, yang mengandalkan ketelatenan tangan itu, ia kerjakan selama sebulan dengan ongkos pesanan 1 juta hingga 1,5 juta. Meski penghasilan ngludruk tidak seberapa, justru dari home industry inilah Pak Fatah dapat membahagiakan istrinya, Sri Muliyah, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana: Eko Siswodiono (lahir 1980), Irfan Dwi Efendi (lahir 1983, kini dosen SHS bidang perhotelan dan staf inti di Hotel Sangrila Surabaya), dan Triyuda (lahir 1992) yang masih berkuliah di jurusan Informatika Unesa Surabaya.

Ludruk Brawijaya di antara 10 grup Ludruk Lain

Menurut Pak Mul, di Mojokerto telah sejak lama bercokol banyak grup ludruk. Ada sekitar 160-an grup. Tapi kondisi tiap grup ludruk sebagaimana perkembangan jaman terus bergulat dan bertarung dengan hiburan lain terutama ketika muncul televisi swasta di tahun 1990-an yang kian menambah surutnya apresiasi masyarakat khususnya di Jawa Timur terhadap ludruk. Kini, pemerintah kabupaten, semisal di daerah Mojokerto, Jombang, dan lain-lain menerapkan sebuah aturan dalam bentuk ketertiban grup-grup ludruk agar lebih dapat diakomodasi dan diidentifikasi keberadaannya. Penerapan ini semacam pengidentifikasian induk organisasi atau kepemilikan suatu grup ludruk, sebagaimana juga jenis kesenian lain semisal grup orkes dangdut, karawitan, wayang, dan lain-lain.

Dengan adanya ketertiban tersebut di mana setiap grup ludruk harus didaftarkan di kantor dinas Porabudpar setempat, maka, menurut Pak Mul, dari keseluruhan grup ludruk di Mojokerto yang kini tercatat dengan nomor induknya masing-masing berjumlah 10 grup ludruk. Mereka adalah ludruk Brawijaya, ludruk Karya Budaya, ludruk Karya Baru, ludruk Teratai Jaya, ludruk Indah Wijaya, ludruk Cakra Wijaya, ludruk Gelora Budaya, ludruk Karya Mukti, ludruk Sekar Budaya, dan ludruk Among Budaya Roman Cs.

Tak dipungkiri bahwa setiap ludruk di era sekarang saling berpacu untuk meluaskan pengaruh dan tanggapannya dengan sajian-sajian yang inovatif dan dioptimalkan jaringan publikasinya agar tidak disoraki sebagai ludruk yang asal manggung dan karenanya bakal mengecewakan penonton. Ludruk Brawijaya juga tak ingin ketinggalan. Untuk bulan September dan Oktober 2009, mereka telah mengantongi terop sekitar sepuluhan. Angka ini sudah terbilang bagus dibanding sejumlah ludruk lain yang mungkin sejumlah itu, atau sepi sama sekali, atau bahkan lebih banyak dari itu. ”Jika ada ludruk yang sepi tanggapan, itu karena orang-orangnya sendiri yang malas nyari tanggapan. Semua awak saya juga bergerak mencari terop. Ono dino ono upo, ada tanggapan ya ada upah!” demikian seru Pak Mul pada anggotanya.

Catatan: Wawancara dilakukan pada Jumat malam, 25 September 2009 dengan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah di Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan.

*) Peminat ludruk dari Komunitas Lembah Pring Jombang

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita