Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Alam imajinasi adalah alam tanpa batas. Puisi sebagai teks produksi imajinasi merupakan “hutan lambang” (meminjam ungkapan Charles Baudelaire pada puisi “Perimbangan”) sehingga pembaca berhak membentuk peta perambahan dan nama-nama binatang yang disukai. Pada teks puisi, pada hutan lambang tersebut, seseorang bebas memilih jenis kelamin yang diinginkan. Puisi yang cerdas menyediakan segala menu identitas, dan karenanya, cenderung tanpa kepastian identitas.
Camp, satu dari—setidak-tidaknya—lima idiom bahasa estetik postmodernisme, menandai perlawanan terhadap pemusatan ruang melalui peniadaan batas genre. Strategi teks yang ditawarkan, anehnya, justru mengambil realitas-realitas kecil yang rentan eksistensi. Menurut Susan Sontag, ‘camp’ adalah satu model ‘estetisisme’—satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik, namun estetik bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian ‘keartifisialan’ dan ‘penggayaan’. Jauh berbeda dengan cara pandang estetik modernisme yang bermain dalam realitas absolut (grand narrative). Tetapi mungkin juga, camp sama persis dengan bahasa estetik modernisme apabila tanda-tanda yang diproduksi dipahami sebagai teks simbolis (wakil dari realitas absolut). Esai ini mereduksi pemahaman hanya dalam batasan realitas kecil, dengan harapan sederhana; menghormati “sebuah gagasan melawan absolutisme subyek”.
Puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan (karya Afrizal Malna, 1995) sebagai “anak kandung” zaman postmodernisme, tidak terlepas dari pengaruh semangat perlawanan terhadap pusat. Benih-benih camp tumbuh subur dan turut membangun bahasa estetik yang ditawarkan.
Seperti dalam puisi “Liburan Keluarga dan Pipa-Pipa Air” bait pertama berikut: Arsitektur sungai dan sawah, tikus-tikus dan batang-batang pisang menyusun jalan untukmu, warnanya coklat penuh kebimbangan. Tetapi kota tidak diturunkan dari situ, Agus. Jangan bergegas! Kita buat tenda penuh hujan di tengah hutan, sebelum lampu senter mengubah pikiran menjadi kantong-kantong plastik. Sungai ini tidak hanya membawa batu-batu, Agus, tetapi juga softex, bungkusan mie, dan sisa-sisa makan penuh pecahan kulit telur.
Nampak sekali, ilustrasi-ilustrasi yang disajikan adalah realitas-realitas khusus yang dekat dengan kehidupan nyata. Dalam hal ini tidak ada kejadian-kejadian besar—entah itu politik pemerintahan, entah itu keagamaan—yang biasa dimunculkan pada layaknya puisi. Perhatian terhadap realitas kecil (baca: remeh) mengisyaratkan ketidakinginan untuk menjadi pahlawan, sekaligus penolakan terhadap kepahlawanan.
Modernisme Barat (Eropa) yang bermula pada abad-abad Renaisance dan ditandai dengan pelayaran ke benua-benua Amerika Latin, Australia, Afrika, dan Asia melihat diri sebagai masyarakat maju, lebih “bersifat manusia”, dan berkebudayaan. Terhadap masyarakat benua lain, Barat melihatnya sebagai masyarakat terbelakang. Ada keinginan untuk menularkan budaya masyarakat maju. Eropa adalah pusat budaya. Lacur yang terjadi, humanisasi yang dilakukan Barat dirasakan sebagai kolonialisasi oleh masyarakat benua lain. Contoh paling dekat, Indonesia telah menerima proyek humanisasi (baca: penjajahan) selama 350 tahun oleh Belanda. Humanisme, sikap kepahlawanan, pada pihak pendatang adalah kolonialisme bagi pihak penerima. Sikap estetik camp pada puisi “Liburan Keluarga dan Pipa-Pipa Air” dapat diartikan telah membaca resiko kebahayaan dari sikap kepahlawanan, dan karenanya, memilih beroperasi pada realitas-realitas kerdil.
Persinggungan-persinggungan realitas dalam puisi camp mendapat perhatian yang serius. Puisi “Antropologi dari Kaleng-Kaleng Coca-Cola” bait pertama berikut ini dapat dijadikan pijak-bahasan: Holger, di Beerental Weg ini, apatemenmu, aku lihat wayang kulit Jawa, seperti jendela-jendela tertutup itu. Kau sembunyikan juga, Marx dan Budha dalam rak-rak buku. Di manakah manusia kalian temukan, di antara kartu pos, donat, dan serakan tissue. Langit mencium sisa-sisa waktu, pada detak sepatumu, putih melulu, putih melulu.
Realitas (konteks ilustrasi) dalam puisi di atas amat beraneka macam. Dalam satu bait tersebut, aneka realitas kecil dipersinggungkan dengan cepat, tidak ada penjelasan paradigmatis untuk tiap penampakan. Sebuah realitas kecil perlu dijelaskan dengan serangkaian realitas kecil lain. Tetapi, sangatlah riskan mengambil realitas pertama sebagai pusat dari penjelasan, sebab bisa jadi, realitas pertama atau kedua berfungsi menjelaskan realitas ketiga atau yang lain. Pilihan yang lebih bijak, realitas-realitas kecil pada puisi di atas berfungsi untuk saling menjelaskan. Serangkaian realitas yang dimunculkan memutar dan mengulir. Puisi yang menolak alur linier, atau puisi yang menggunakan alur nyaris simultan.
Diksi-diksi pada puisi-puisi yang penulis analisis seakan-akan saling berlewatan, saling bersapa, saling bertubrukan, saling singgung, sekaligus saling meniadakan. Alur puisi demikian jauh berbeda—bertentangan—dengan model puisi epik yang menggunakan alur linier. Pada puisi epik, misalnya puisi-puisi dalam antologi Balada Orang-Orang Tercinta karya Rendra, alur dibangun dengan pola realitas pertama dijelaskan oleh realitas kedua, demikian seterusnya hingga membentuk kisah. Bahkan, seringkali satu puisi berhenti pada satu realitas besar yang mengandung tragedi perilaku. Puisi camp menghindari berhenti pada satu realitas. Menurut Yasraf Amir piliang, camp menjadikan artifisial sebagai ideal. Puisi bukan sosok pahlawan yang hendak menyelamatkan dunia, seperti pada utopia simbolis, tetapi sosok sembarangan yang menghormati perbedaan.
Kepercayaan “bahwa realitas tidak tunggal” menjadi pedoman dalam gerak ilustrasi. Ketika yang disajikan dalam sebuah puisi adalah realitas kerdil, berarti ada pengakuan terhadap keberadaan realitas-realitas. Begitu juga tentang kebenaran, ada kebenaran-kebenaran lain yang berdiri sejajar. Bangsa-bangsa Barat yang berusaha menerapkan konsep humanismenya ke dalam bangsa-bangsa benua lain merupakan satu tindakan yang mempercayai ketunggalan realitas. Demikian juga, perang-perang antar etnis, perang-perang antar agama, serta penguasaan/ pengurasan terhadap kekayaan alam.
Pola camp pada antologi Arsitektur Hujan memberi pula perhatian pada persoalan eksistensi manusia. Hal ini dapat disimak puisi “Masyarakat Rosa” bait kedua berikut: Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Makhluk baru itu kian membesar jadi sejumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang mendengarkannya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi dirimu.
Pertanyaan kontekstual yang muncul adalah: Siapakah Rosa? Bagaimanakah Rosa membangun keyakinan aktivitasnya?
Pada puisi di atas, tokoh Rosa bermetamorfosis, selalu melihat dan meyakini diri sebagai identitas baru dengan cara meniadakan identitas masa silam. Seperti seorang bayi yang menghancurkan diri untuk meyakini bahwa dirinya telah dewasa. Penghancuran diri, pada kesadaran ego dituntut oleh lingkungan. Apakah sang bayi akan lebih berharga atau berbahagia dalam penghancuran diri, lingkungan yang menentukan, atau lebih tepatnya, kesadaran berlingkungan. Kepemilikan terhadap penetapan dan perubahan diri, menjadi tarik-menarik antara aku dengan lingkungan aku, dan Rosa ikhlas dikalahkan lingkungan. Tetapi, kiranya Rosa tidak sendirian. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Gelombang pasang problematika yang dihadapi Rosa, melekat, dan menghantui setiap orang. Menjadi masyarakat yang punya problem homogen, seperti Rosa, menjadi masyarakat Rosa. Puisi berkode bahasa estetik camp adalah yang berhasil memasarkan produksi lokal—problem Rosa—ke dalam universalitas kenyataan.
Puisi “Masyarakat Rosa”, kecuali menghadapi problem penghancuran identitas juga melibatkan problem kapitalis yang lain. Larik puisi makhluk baru itu kian membesar jadi sejumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa, satu individu yang kemudian menjadi wakil dari masyarakat, membesar atau mengubah diri menjadi berciri sama dengan benda-benda. Memang ada persamaan antara manusia dengan benda, yaitu sama-sama punya warna. Tetapi, persoalan identitas dan budaya adalah ciri paling paten dari manusia, sedang binatang pun tidak dapat memilikinya.
Apakah yang dimaksudkan dengan “membesar jadi sejumlah benda-benda’? Rene Descartes merumuskan satu jalur legal menguasai alam, “manusia adalah pusat semesta”. Manusia menciptakan benda-benda dan pabrik pengganda benda-benda. Hal ini melebihi kebutuhan dasar manusia, kebutuhan menyambung nyawa. Karenanya, benda-benda diarahkan untuk membantu kegiatan rutin keseharian. Misalnya memasak, bepergian, kenyamanan tempat tidur, kebersihan halaman, dan periasan wajah. Berkat Rene Descartes manusia dapat menjalani hidup lebih mudah, nyaman, dan manja.
Kiranya, benda-benda mempunyai kebiasaan-kebiasaan tidak terduga. Benda-benda tidak hanya membantu kebutuhan tetapi juga menciptakan kebutuhan. Benda-benda membantu kegiatan keseharian bagi manusia, sekaligus, benda-benda menuntut kegiatan keseharian yang baru bagi manusia. Ketika seorang ibu rumah tangga membeli mesin jahit, kegiatan menyulam yang sangat menjenuhkan dapat diatasi dengan mudah. Sebab, ada mesin jahit. Tetapi sang ibu rumah tangga mesti menjalani beberapa ritual baru; mengganti jarum lama dengan jarum baru, memindahkan beberapa perabot untuk tempat benda baru dan keserasian ruang, menjaga anak lebih cermat agar tidak memutar-mutar roda, dan sang ibu mesti menjaga mesin jahit kesayangannya agar tidak berdebu. Penyesuaian diri, atau lebih kejamnya, pemenuhan tuntutan benda-benda terhadap manusia itulah yang mungkin dimaksudkan dengan “membesar jadi sejumlah benda-benda”. Manusia bermetamorfosis dari mencipta dan menguasai benda-benda, menjadi berbalik, dicipta dan dikuasai benda-benda ciptaannya.
Lebih parah lagi, simbol mesin—pabrik dan lintasan kabel-kabel telpon—mengarah pada kesadaran perilaku manusia. Manusia mengidentifikasikan diri pada cara kerja mesin. Pada akhirnya, mesin diciptakan dengan disiplinan cara kerja yang paten. Apabila seseorang memiliki hutang dan membayarnya tepat waktu yang dijanjikan, ini adalah kesadaran primitif manusia. Tetapi, apabila seseorang mengecat rambutnya dengan warna-warna aluminium dan menyewa manajer untuk menyusun kepadatrumitan jadwal kegiatan sehari-hari; ini adalah terapan “cara kerja mesin pada perilaku manusia”. Rosa membesar menjadi mesin—berperilaku seperti mesin—dan Rosa mengecil jadi dirimu.
Penggunaan cara kerja mesin dalam perilaku manusia, sehingga merasa diri paling getol mengatasi trend zaman, kiranya hanyalah sebuah pengulangan karya sastra. Sebelas butir Manifesto Futuristik—digagas oleh F.T. Marinetti (sastrawan Itali) pada tahun 1909—adalah gejolak keinginan untuk hidup mengandalkan percepatan mesin dan kekuatan berlebih. Salah satu pernyataannya ialah, “Kami bermaksud mengagung-agungkan tindakan agresif, demam begadang, gerak cepat sang pembalap, kemerosostan moral, jotosan dan tamparan”. Periksa Erich Fromm, Akar Kekerasan, Bentang, Yogyakarta, 2000.
Kelanjutan pembacaan puisi “Masyarakat Rosa”, dapat disimak pada kutipan bait terakhir berikut: Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: … dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan kacamata hitam. Mereka mengunyah permen karet, turun dari layar-layar film, dan menyanyi: seperti lagu, yang menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.
Suatu akhir yang mengenaskan, Masyarakat Rosa hanya mampu meratap, “… dunia wanita dan lelaki sangat kelam, melintir-lintir, jatuh, dan sengak”.
Percik gagasan realitas dari diksi-diksi puisi sangatlah menarik untuk ditelusuri. Paling mudah diawali dengan sebuah pertanyaan. Mengapa perlu memakai “dunia wanita dan lelaki” dan bukannya “dunia manusia” saja? Pemilihan diksi puisi pastilah bukan tanpa sebab, ada latar pertimbangan literer tentunya.
Genre legal manusia, hingga saat ini, adalah wanita dan lelaki (biasanya kata “lelaki” ditulis lebih dulu, sebagai tanda superioritas). Pergulatan kaum feminis menandai adanya kesadaran pada ketimpangan tradisi perlakuan terhadap wanita. Berpusat di Eropa, isu feminisme merebak ke seluruh bumi, termasuk di Indonesia. Di Indonesia isu feminisme menjadi booming pada tahun 1990-an, sangat marak, bahkan lebih mirip dengan keinginan untuk mendirikan negara baru. Sampai-sampai Kris Budiman menengarai tumbuhnya para feminis Tiban, feminis Cangkeman—ungkapan yang lebih patut diberikan kepada Kris pribadi—, orang-orang yang tiba-tiba saja teramat peduli terhadap gerakan feminisme. Periksa Kris Budiman, Feminografi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
Pandangan feminisme selalu melihat wanita ditempatkan pada posisi yang lebih rendah daripada lelaki. Wanita adalah obyek kepuasan seksual lelaki. Wanita hanya dapat menemukan kehadiran melalui metonimi kehadiran lelaki. Puisi “Masyarakat Rosa” menepis jargon-jargon tersebut. Rosa, entah wanita dan entah lelaki, adalah wakil manusia. Rosa bisa menjelma lelaki, atau bisa juga wanita. Yang pasti, dua genre manusia -wanita dan lelaki- dirudung kelam. Sebuah sikap androgini. Sikap yang menjadi ciri karya sastra berbentuk camp.
Karya seni (baca: sastra, puisi) camp, dengan begitu, bukan berarti tidak ingin menyedot perhatian massa. Perlu diingat, camp dicirikan oleh upaya-upaya melakukan sesuatu yang luar biasa, dengan pengertian ingin menjadi berlebihan, spesial, atau glamour. Lebih jelasnya, dapat disimak kutipan puisi “Masyarakat Rosa” bait kelima berikut: Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara mengenai kemanusiaan, keadilan dan kemakmuran, seperti menyebut nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan itu, kini telah bernama Rosa pula.
Atau, kutipan puisi “Kembang Api di Jembatan Merah” bait kedua berikut: Tetapi ada sejumlah orang merayakan Jembatan Merah, 10 Nopember di Surabaya. Aku hanya ingin melihat penyanyi Neno Warisman, menjeritkan “Merdeka!” di situ, membawa tubuhku hanyut ke sebuah peperangan yang tak kukenal, di antara letusan kembang api, dan lampu warna-warni. Tetapi kantor dan toko- toko menutup diri, menyimpan nasionalisme yang cemas itu. Aku berlari kembali jadi orang ramai, di antara sabun pembersih, dan nasi goreng.
Puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan berkeinginan besar—demikian menurut yang penulis tafsirkan—membongkar pusat. Puisi bertujuan untuk meluruhkan narasi-narasi besar, melunturkan angker rezim kekuasaan, lalu diganti dengan tawaran yang penuh ironi dan gelak tawa. Itulah pesona puisi camp!
________Studio Teater Gapus, Surabaya
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/11/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
1 komentar:
Kapan Main ke Curup, Bengkulu nih,, anak-anak teater disini lagi haus pertunjukan untuk kepentingan perkembangan diri
Posting Komentar