Editor: Maman S Mahayana
Guna mengetahui serba sedikit proses penyusunan buku ASPI, berikut saya sertakan semacam Pertanggungjawaban Editor. Silakan dicermati.
“Penyair yang baik adalah penulis esai yang baik!” Ini bukan konon! Tetapi, begitulah keyakinan Sapardi Djoko Damono, salah seorang penyair terkemuka kita yang hingga kini masih terus berkarya. Maka, kita dapat melihat, esai-esai yang ditulis Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri atau Goenawan Mohamad—sekadar menyebut tiga nama—nyaris selalu hadir dengan penyajian yang mengalir lancar, renyah, dan sedap. Di sana, dalam esai-esai mereka, kalimat, ungkapan atau idiom, bahkan juga kata-kata tertentu kerap begitu trengginas, lincah, gesit, dan kadang kala juga tajam, keras, dan nyelekit, meski dikemas secara metaforis. Hampir selalu ada informasi baru dan ungkapan atau metafora yang segar dan inspiratif dalam esai-esai mereka.
Pernyataan Sapardi tadi terbukti banyak benarnya ketika kami—tim editor buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (selanjutnya disingkat: ASPI)—menghadapi hampir 900 email yang masuk yang berisi biodata para (calon) penyair Indonesia yang ditulis dalam bentuk esai. Sebagian besar penyair yang baik, biodatanya juga baik. Dengan begitu, editor tak perlu bekerja keras mengeditnya lagi. Hanya, dilakukan penyesuaian dan pemangkasan serba-sedikit dengan pertimbangan proporsionalitas, agar biodatanya tidak terlalu domplang dengan biodata penyair lain. Editing dilakukan sebatas pengurangan jumlah kata dan persoalan teknis penulisan.
Ketentuan dalam “Maklumat kepada Penyair Indonesia” yang disampaikan melalui facebook, whatsApp, dan media sosial lainnya, menetapkan, bahwa biodata yang ditulis dalam bentuk esai itu panjangnya tidak lebih dari 500 kata. Kenyataannya, kami menghadapi begitu banyak esai yang ditulis melebihi jumlah kata yang telah ditentukan. Tidak sedikit dari mereka itu yang bercerita tentang proses kreatif, tema puisi, keadaan rumah tangga, karier suami, kegemarannya menulis puisi sejak kecil—lalu berceritalah tentang masa kecilnya—dan kegiatan lain yang tidak ada hubungannya dengan puisi dan kepenyairan. Akibatnya, beberapa esai itu ada yang panjangnya bisa lebih dari lima belas halaman dengan jumlah kata mencapai 8000 kata. Wow!
Begitu banyak biodata yang dikirim langsung lewat e-mail ke alamat bukupuisi@gmail.com tanpa melewati kurator yang ditunjuk dan dimintai tolong memilih, memilah, dan memeriksa kebenaran data yang ditulis mereka, penyajiannya sebagian agak berantakan. Persoalan teknis penulisan yang sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), hasilnya jauh panggang dari api; kejernihan kalimat yang bersih dari informasi yang tidak relevan dengan dunia kepenyairan, masih bertaburan di sana-sini; data publikasi yang berkaitan dengan penerbitan buku, kerap diabaikan; penyusunan kalimat dalam membangun alinea dalam konteks kepenyairan, masih terseok-seok, dan pencantuman nama suratkabar dan majalah, terkesan sebagai senarai media massa cetak. Mirip daftar koran dan majalah di lapak penjual koran pinggir jalan yang menyediakan media massa cetak itu. Untungnya mereka tidak menyertakan daftar harganya sekalian.
Jika sudah begitu, timbul pertanyaan: apakah itu yang dimaksud Chairil Anwar, “Carilah makna kata sampai ke putih tulang?” Artinya, bagi penyair perlu kesadaran, bahwa senjata utama mereka adalah kata, kalimat–bahasa. Maka, kosa kata atau kata apa pun, janganlah mudah dimuntahkan begitu saja. Setiap kata ditapis, disaring, diolah, dipertimbangkan, dan dibenturkan dengan kata lain. Terjadi perkelahian dan perebutan kekuasaan antara kata yang satu dengan kata lain. Oleh karena itu, diandaikan, bahwa setiap kata yang hadir dalam sebuah puisi (yang baik), telah melewati seleksi dan pertimbangan yang sangat serius. Jadi, tidak sekadar jeplak! Nah, jika membedel dagingnya pun mereka belum berhasil, bagaimana mereka dapat menguak makna kata sampai ke putih tulang? Pembiasaan menapis kata, memilih diksi, dan menyandingkan dengan kata atau ungkapan lain, atau menawarkan metafora atau idiom baru yang lebih segar, bagi penyair boleh dikatakan harus sudah menjadi habitus. Maka, ketika ia menulis esai, pembiasaan itu mengalir atau mencelat begitu saja, karena dalam isi kepalanya, kata-kata terbiasa berloncatan, bersenda-gurau, kadang-kadang ngumpet atau saling mencakar.
Seperti sudah disebutkan, sebagian besar biodata yang dikirim dalam bentuk esai itu, celakanya (atau lucunya?) ditulis secara berpanjang-panjang. Jadi, cenderung tidak menarik. Kami sangat menghargai niat baik dan usaha mereka memperkenalkan diri secara lebih lengkap. Tetapi kami sangat mempertimbangkan secara serius perkara jumlah halaman, ketebalan buku, dan proporsionalitas.
Di samping perkara tadi, ada pula penyair yang mengirimkan biodatanya dalam bentuk daftar riwayat hidup: Nama, Tempat Tanggal Lahir, Alamat, Daftar Karya, 1, 2, 3, dan seterusnya. Maka, editor bertugas menyusunnya kembali dalam bentuk esai. Jadi, pekerjaan editor tidak hanya memperbaiki teknis penulisan—yang sesuai dengan PUEBI, model penyajian, jumlah kata yang proporsional, tetapi juga membersihkan kalimat-kalimat yang buruk, tulalit, berantakan, dan tersengal-sengal. Mereka mesti disusun kembali dengan bahasa yang lebih cair dan tidak terkesan narsistik.
Itulah masalah yang sungguh berat dalam penyusunan buku ASPI ini: memangkas jumlah kata, memperbaiki dan membersihkan kalimat dari noda hitam, dan melakukan penyeragaman dalam teknis penulisan. Persoalan lain berkaitan dengan waktu penerbitan dan rencana peluncurannya yang sudah ditetapkan 4 Oktober 2017. Idealnya, penyusunan buku sejenis ini, perlu waktu lebih longgar dan dikerjakan dengan nyaman dan bahagia. Tetapi fakta berbicara lain.
Meskipun demikian, kami –termasuk Rida K Liamsi, salah seorang penggagas penyusunan buku ASPI ini—tetap bertekad hati dan bersiteguh menerbitkannya tepat waktu. Apalagi jika mengingat, bahwa buku yang memuat khusus biodata penyair Indonesia, sejauh ini, belum ada –dan mungkin juga tidak akan pernah ada. Dalam hal itulah pentingnya buku ini disusun dan diterbitkan. Mungkin suatu hari kelak, ada orang yang menyusun buku sejenis ini. Boleh jadi juga pemerintah, entah melalui Balai Pustaka yang makin senyap keberadaannya atau lewat Badan Bahasa, punya keberanian untuk menyusun buku biodata khusus penyair. Tetapi, pertanyaannya, kapan itu terjadi? Menunggu lebaran kuda? Tidak perlulah kita berharap banyak pada pemerintah, sebab sampai kini pun penghargaan pemerintah pada penyair—sastrawan dibandingkan pada para atlet atau selibritas, cenderung lebih kerap menyakitkan daripada memberi kebahagiaan. Nah, menunggu pemerintah menerbitkan buku sejenis ini, rasanya tidak beda dengan tindakan menunggu godot. Jadi, lupakan sajalah!
Memang, kita pernah berjumpa dengan buku-buku sejenis, sebagaimana yang disusun Pamusuk Eneste (Gramedia, 1982; Djambatan, 1990; Kompas, 2001), Korrie Layun Rampan (Balai Pustaka, 2000), Ahmadun Y. Herfanda, dkk (DKJ, 2003), Pusat Bahasa (2003), dan Hasanuddin WS (Titian Ilmu, 2004). Tetapi, buku-buku itu tidak khusus memuat biodata para penyair Indonesia. Dalam buku yang pernah terbit itu, novelis, cerpenis, dramawan, peneliti asing, penerjemah, bahkan juga nama peristiwa dan istilah sastra, termuat di dalamnya. Meskipun begitu, semua buku yang disebutkan tadi, ditambah dengan buku-buku dan referensi lain, tetaplah penting dan menjadi rujukan penyusunan buku ini. Dalam beberapa kasus, kami juga membuka Wikipedia sebagai informasi awal. Dari sana dicari sumber lain yang lebih terpercaya.
Dalam beberapa buku antologi puisi bersama, seperti Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968), Laut Biru Langit Biru (1977), Tonggak 1—4 (1987), Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002), Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia (2011), Negeri Poci 1-4 (2016), Yang Tampil Beda setelah Chairil (2016), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), dan sejumlah buku lain yang sejenis, ada juga biodata beberapa penyair. Tetapi tentu saja, selain biodatanya terlalu ringkas, juga jumlah penyair Indonesia yang tercantum di sana, tidak sebanding dengan kenyataannya. Tambahan pula, belakangan ini, buku-buku puisi berterbitan di mana-mana, dan kegiatan baca puisi merembet dan meluas ke berbagai daerah di seluruh Indonesia, maka sangat mungkin dinamika dan kegairahan berpuisi dan kiprah para penyair dalam menerbitkan buku puisi, telah mengubah peta kesusastraan kita, khususnya dunia perpuisian Indonesia. Betapapun kecil kiprah dan peranannya, semangat memberi apresiasi pada kinerjanya, sepatutnya disematkan pada mereka. Dalam konteks itulah—salah satunya—yang menjadi bahan pertimbangan penerbitan buku ASPI ini, mesti segera diwujudkan.
***
Di tengah pudarnya pamor media cetak, bahkan beberapa di antaranya sudah betul-betul almarhum, di antara gonjang-ganjing pemberlakuan pajak yang absurd dan tidak masuk akal untuk para penulis buku, dan makin enggannya beberapa pihak—terutama penerbit—menerbitkan buku sejenis ini, bahkan juga buku-buku sastra pada umumnya, Yayasan Hari Puisi—seperti kata pepatah Melayu: “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang!” merasa perlu menerbitkan buku ASPI dengan tujuan—terutama—memberi apresiasi pada para penyair kita, baik yang baru muncul dan tumbuh berkembang, maupun yang sudah almarhum. Tujuan lain adalah sebagai usaha pendataan, seberapa banyak bangsa Indonesia melahirkan penyair, berapa banyak pula buku puisi yang sudah terbit, bagaimana pula pemetaan penyair kita di berbagai kota di Indonesia, dan seterusnya, dan seterusnya.
Untuk menjangkau nama-nama penyair di berbagai daerah, kami meminta bantuan beberapa sahabat—penyair yang mengetahui peta kepenyairan di daerahnya. Mereka, antara lain, Amin Wangsitalaja (Samarinda), Anwar Putra Bayu (Palembang), Badaruddin Amir dan Gunawan Monoharto (Barru dan Makassar), D. Kemalawati dan Helmi Has (Aceh), Fakhrunnas MA Jabbar (Riau), Gunoto Sapari (Semarang), Isbedy Stiawan (Lampung), Iverdixon Tinungki (Manado), Iyut Fitra (Padang), Kurniawan Junaedhie (Jakarta), Micky Hidayat dan Jamal T Suryanata (Banjarmasin), Nurel Javissyarqi (Lamongan), Ramayani Riance (Jambi), Ramon Damora (Batam), Syaifuddin Ghani (Kendari), Suryadi San (Medan), Tjahjono Widarmanto (Ngawi), Warih Wisatsana dan Wayan Jengki Sunarta (Bali), Yo Sugianto dan Umi Kulsum (Yogyakarta), Yohanes Sehandi dan Julia Daniel Koten (NTT), dan beberapa nama dari daerah lain yang dengan suka rela mengirimkan biodata para penyair yang dikenalnya –mohon maaf jika ada nama yang luput disebutkan di sini.
Indonesia sebagai bangsa yang begitu beragam dengan wilayah yang luar biasa luasnya, mustahil mengabaikan peranan tokoh-tokoh dari berbagai kota dan pelosok Tanah Air. Di sinilah para kurator dan kontributor dari berbagai daerah itu sangat penting. Tetapi, mereka juga terkendala oleh keterbatasan ruang dan jangkau komunikasi. Oleh karena itu, sangat mungkin masih banyak nama yang tercecer, yang luput dari pengamatan atau rikuh dan berbesar hati untuk tetap berkiprah di wilayahnya, tanpa mesti terpublikasikan namanya ke luar wilayah tempat mukimnya.
***
Sebagai usaha pendataan, buku ini tidak berpretensi melegitimasi kepenyairan seseorang. Harus diakui, masih berlaku pernyataan: “Banyak penulis puisi, tetapi sedikit yang menjadi penyair!” Buku ini tidak dapat menghindar dari pernyataan itu. Meskipun begitu, pernyataan Chairil Anwar yang mengatakan: “Yang bukan penyair, tidak perlu ambil bagian” tidak berlaku bagi penyusunan buku ini. Sesiapa pun, punya hak menulis puisi, punya hak pula menjadi penyair. Perkara bagus atau berbobot tidaknya puisi mereka, biarlah publik sastra sendiri yang menilainya. Tetapi, kami merasa perlu mengapresiasi langkah mereka yang menulis puisi—apalagi menerbitkannya dalam bentuk buku. Nama-nama mereka dengan sejumlah karyanya, perlu didata, dicatat, dan diapresiasi, bahwa mereka pernah mempublikasikan puisi-puisinya dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Mereka mesti ditempatkan sebagai bagian dari kepenyairan Indonesia. Maka judul “Apa dan Siapa Penyair Indonesia” tidak berarti semua yang menjadi entri buku ini, sudah menjadi penyair (mapan), melainkan apa yang mereka lakukan, peranan dan keterlibatannya dapat dianggap: tidak terpisahkan dengan dunia kepenyairan Indonesia. Itulah yang menjadi dasar pemikiran pilihan judul tersebut.
Apakah nama-nama mereka layak dimasukkan sebagai entri buku ini? Tentulah sangat layak, tokh penerbitan buku ini penekanannya bukan sebagai alat legitimasi kepenyairan, melainkan sebagai usaha pendataan yang boleh jadi lebih lengkap dibandingkan dengan buku-buku sejenis yang pernah ada. Jadi, tak perlulah merasa diri lebih layak dan memandang orang lain, tidak layak. Cara bersikap seperti itu, selain terkesan arogan dan sok hebat, juga tidak mencerminkan sosok penyair sejati yang berjiwa besar: rendah hati dan menghargai setiap pekerjaan apa pun, sejauh untuk kebaikan umat manusia.
Begitulah, masuknya nama-nama yang mungkin belum layak disebut penyair sebagai entri buku ini, tokh tetap tidak akan menghancurkan reputasi dan kewibawaan para penyair besar kita. Penyair yang lewat karyanya menempatkan namanya sebagai tonggak dalam sejarah perpuisian Indonesia, tetap saja namanya menjulang sebagai tonggak, meski ia dikepung dan dikerubuti oleh para penyair kacangan atau calon penyair. Lalu mengapa harus risau dengan nama-nama baru, nama-nama yang belum dikenal atau nama-nama yang termasuk sebagai penggembira? Menunjukkan jiwa besar, bersikap bijaksana, dan terbuka menerima kedatangan calon penyair dan para penulis puisi lainnya, jauh lebih mustahak dibandingkan berpikir sempit menempatkan diri sebagai lalat dalam gelas. Santai sajalah, tokh waktu jualah yang nanti akan menyeleksi kiprah kepenyairan mereka dalam konstelasi perpuisian Indonesia.
Meskipun demikian, jangan salah duga pula menganggap para editor dan kurator berpangku tangan dan membiarkan semua data yang dikirim lewat e-mail dimasukkan begitu saja tanpa seleksi. Pertimbangan mereka diminta mengirimkan biodata + foto terbaru, semata-mata agar kami memperoleh data lebih lengkap dengan foto terbaru. Kami sangat menyadari, bahwa para penyair mapan yang malas, emoh atau tidak mau mengirimkan biodatanya, akan mengabaikan seruan kami. Ya, tidak apa-apa. Tokh kami juga punya data mereka, baik yang terdapat pada buku-buku antologi puisinya, maupun buku antologi puisi bersama. Buku-buku yang digunakan sebagai referensi dalam penyusunan buku ASPI ini, juga menyediakan data mereka. Jadi, begitulah. Semua data itu diperiksa, dicermati, ditapis, dan diseleksi lagi. Ada proses pemilahan dan pemilihan. Tidak samabruk, tidak asal masuk! Adapun prosesnya dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, semua data yang dikirim lewat e-mail diunduh dan disusun kembali secara alfabetis. Pilihan penyusunan berdasarkan urut abjad, selain paling aman, juga lebih mudah dibandingkan dengan penyusunan urut kacang (kronologis) berdasarkan urutan tarikh lahir. Meskipun cara ini lebih mudah, di dalam proses pengunduhan dan penyusunannya, persoalan data yang masuk ke empat e-mail yang tersedia, terkendala oleh lambatnya para penyair mengirimkan biodatanya. Meski batas waktu pengiriman sudah berakhir dan kami sudah menyatakan tak lagi menerima e-mail biodata, masih saja ada yang mengirimkan biodatanya. Bahkan, sampai saat proses editing dan nama-nama sudah diperiksa para kurator, masih ada juga yang iseng mengirim biodatanya. Proses ini ternyata memakan waktu yang cukup lama, karena pada dasarnya, kami tidak berharap ada nama penyair yang tercecer, padahal ia layak diapresiasi.
Kedua, bersamaan dengan proses penyusunan biodata yang dikirim lewat e-mail, kami melacak data penyair lain yang tersebar di banyak buku antologi puisi, buku leksikon sastra, buku antologi yang diterbitkan berkaitan dengan acara atau program tertentu, surat-surat kabar, dan majalah sastra dan budaya, seperti Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe, Indonesia, Horison, Basis dan majalah lain yang relevan. Di samping itu, kami juga memanfaatkan map-map sastrawan Indonesia yang menjadi koleksi Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, sebuah lembaga yang paling lengkap dalam menyimpan berbagai arsip yang berkaitan dengan kiprah sastrawan Indonesia. Di tengah keprihatinan dan kesabaran para pegawai PDS H.B. Jassin, mereka masih menunjukkan dedikasi dan loyalitasnya melayani kami mencari bahan-bahan yang diperlukan. Buku lain yang juga kami jadikan rujukan penting adalah karya E.U. Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988).
Ketiga, proses penggabungan dan penyusunan kembali data yang berasal dari kiriman e-mail dan data yang kami telusuri lewat sejumlah buku, suratkabar, majalah, dan sumber-sumber lain yang terpercaya. Dari penggabungan data itu, tercatatlah sekitar 1600 entri biodata penyair. Pernyataan “sekitar” menegaskan, bahwa proses pengumpulan data sebenarnya belum final. Selalu ada nama yang terselip, tercecer, luput dari ingatan dan baru muncul belakangan. Pada tahap ini, kami juga mencermati nama-nama yang biodatanya meragukan atau yang tidak punya keterlibatan dengan dunia kepenyairan. Jadi, dalam proses ini, editor menggabungkan data yang dikirim lewat email dan data yang kami cari sendiri dalam sejumlah buku antologi puisi atau sumber lain. Menyusunnya kembali secara alfabetis dan mencermati kemungkinan ada nama yang tercecer, mengeluarkan nama yang sama yang mengirimkan biodatanya lebih dari dua kali, dan menandai nama-nama yang meragukan atau yang biodatanya disusun dengan kecenderungan menyampaikan informasi bohong.
Keempat, dalam proses penyusunan secara alfabetis, kami menandai dengan:
(1) warna merah untuk nama-nama yang kemungkinan dikeluarkan sebagai entri. Kriterianya: (a) bukan penyair, tidak ada karyanya yang berupa antologi puisi, tidak pernah karyanya masuk dalam buku antologi puisi bersama, (b) puisinya baru masuk dalam satu atau dua antologi tingkat lokal, (c) puisinya baru masuk dalam satu atau dua antologi tingkat nasional yang tanpa seleksi atau proses kuratorialnya begitu longgar, sehingga siapa pun yang mengirimkan puisinya, akan diloloskan dan dimuat dalam buku antologi puisi tersebut, (d) data yang disampaikan orang yang bersangkutan, meragukan atau dicurigai palsu. Misalnya, puisinya dimuat di banyak majalah sastra dan koran nasional, tetapi di daerahnya sendiri namanya tidak dikenal sebagai penyair atau sama sekali tidak pernah ikut kegiatan sastra. Jika ada data yang meragukan seperti itu, kami mengkonfirmasikannya kepada kurator di daerah atau pada teman penyair yang tinggal satu kota dengan orang yang datanya meragukan itu, (e) adanya masukan dari teman kurator di daerah, bahwa nama itu pernah atau sering melakukan plagiasi, (f) tidak pernah menulis puisi dalam bahasa Indonesia, meskipun ia dikenal sebagai penyair berbahasa daerah.
(2) warna kuning untuk nama-nama yang patut diperhatikan para kurator, kemungkinan masuk atau tidaknya nama-nama itu sebagai entri. Kriterianya: (a) dilihat dari segi usia, dia senior, tetapi editor tidak (belum) pernah mendengar nama itu sebagai penyair, (b) kemungkinan dia sastrawan tetapi tidak pernah dikenal sebagai penyair. Pertimbangan kurator digunakan sebagai dasar memasukkan atau mengeluarkannya sebagai entri.
(3) warna hijau untuk nama-nama yang perlu data tambahan. Dalam hal ini, kurator diminta untuk memberi referensi atau buku lain yang mungkin diketahui kurator.
Daftar nama yang sudah tersusun secara alfabetis dengan beberapa nama yang diberi tanda warna merah, kuning, dan hijau itu, kami kirimkan kepada para kurator, agar dicermati dan disetujui. Dalam proses ini, ada pula nama-nama yang diusulkan para kurator. Nama-nama baru yang diusulkan itu, kami periksa lagi dengan melacak jejak kepenyairannya berdasarkan sejumlah buku referensi.
Kelima, daftar nama yang sudah diperiksa dan disetujui para kurator, kami edit biodatanya, dipangkas jumlah katanya, disesuaikan format penulisannya, diseragamkan referensi yang digunakan sesuai PUEBI. Pada proses penyuntingan bagian inilah, nama-nama yang awalnya tercatat sekitar 1600 entri, menyusut jadi 1526 entri setelah melalui proses kuratorial. Jangan salah, beberapa nama—entah sengaja atau tidak—mengirimkan beberapa kali biodatanya, juga fotonya dengan berbagai pose. Untuk tidak menambah stress, kami mengambil biodata yang dikirim terakhir. Lalu, bagaimana pula fotonya yang tampil dengan berbagai pose? Tentu saja kami mengambilnya cukup satu, sisanya biar makhluk entah berantah menyimpannya di ruang angkasa.
Dari sana, dimulailah proses penyuntingan. Tim editor dihadapkan pada 1526 entri para (calon) penyair, baik yang masih hidup, maupun yang sudah wafat. Inilah tugas berat berikutnya, yaitu mengedit, menyunting, dan memangkas kembali jumlah kata, karena dengan jumlah entri yang sebanyak itu, kemungkinan ketebalan buku bisa mencapai 1500 halaman atau lebih.
Demikianlah, pada bagian ini, proses editing dan penyuntingan lebih menekankan pada pemangkasan jumlah kata. Tujuannya, jangan sampai buku itu melebihi 1500 halaman. Tetapi, persoalan pemangkasan jumlah kata ini pun bukan perkara mudah. Informasi penting tentang kepenyairan dan data lain yang berkaitan dengan kiprahnya, hendaklah tidak dihilangkan. Sementara itu, waktu yang tersedia begitu mendesak, dan naskah harus segera dikirim ke penerbit untuk segera disetting, dibuat dummy-nya, lalu naik cetak. Dengan kesadaran bahwa tim editor punya keterbatasan waktu dan kekuatan fisik, kami bersepakat untuk meminta tolong para sahabat –yang kami kenal sebagai penyair yang baik—yang punya kerelaan sebagai manusia istiqomah, sering dan rajin memberi pertolongan, dan punya kesadaran untuk mengangkat martabat dan harkat perpuisian Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi. Para sahabat yang dimintai tolong itu juga dikenal sebagai editor dan penyunting yang andal, punya reputasi yang baik dan terpercaya.
Dalam kesempatan ini, di antara perasaan malu dan rasa syukur, kami menyampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada para sahabat yang sudah bersedia meluangkan waktu ikut terlibat dalam proses editing dan penyuntingan. Mereka adalah: (1) Ahmadun Yosi Herfanda, (2) Amin Wangsitalaja, (3) Bambang Kariyawan, (4) Fakhrunnas MA Jabbar, (5) Handoko F Zainsam, (6) Rini Intama, (7) Umi Kulsum, (8) Yo Sugianto, (9) Wenny Suryandari, (10) Nila Hapsari, (11) Julia Utami, (12) Cut Hani Bustanova, (13) Lucki Purwantini, (14) Rinidiyanti Ayahbi, (15) Ali Satri Effendi, dan (16) Zham Sastera. Di saat-saat kritis, mereka dengan ikhlas telah menyelamatkan kami dari waktu yang begitu mepet dan stress yang makin memuncak.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada para mahasiswa Program Studi Indonesia FIB-UI: (1) Mita Mihtahul Jannah, (2) Annisa Luthfia, dan (3) Lestari Ningsih yang ikut bertungkus lumus membantu proses penyelesaian editing dan penyuntingan. Penguasaan mereka mengenai PUEBI telah banyak meringankan pekerjaan editor.
***
Pentingkah penyusunan buku ASPI ini? Jawabnya: bisa penting, bisa juga tidak, bergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Bagi perpuisian Indonesia dan sebagai bentuk apresiasi bagi mereka yang terlibat dalam lingkaran dunia kepenyairan kita, tentu saja buku ASPI ini penting. Sejarah sastra Indonesia telah mencatat: begitu banyak nama yang tercecer atau sengaja ditenggelamkan, lalu hilang dari catatan sejarah. Mereka berkiprah, berkarya, dan punya peranan penting dalam komunitasnya, maka eloklah kita mencatat dan menempatkannya dalam posisi yang sewajarnya. Dengan begitu, bangsa ini tidak melupakan peran, kiprah, dan kontribusi mereka dalam peta perpuisian Indonesia, sebesar atau sekecil apa pun sumbangannya.
Ada kerendahhatian dari sikap para ulama kita dulu tentang kiprah dan kontribusi mereka dalam kehidupan bangsa ini. “Biarlah, malaikat yang mencatatnya!” Sikap itu tentu saja tidak salah. Tetapi, ketika generasi baru menggantikan mereka, usaha mencari benang merah pada masa lalu, pelacakan jejak para pendahulu kita yang telah berperan penting bagi masyarakat zamannya, kerap terkendala oleh missing link, rumpang, seolah-olah perjalanan kebudayaan—kesusastraan kita dibatasi oleh garis demarkasi lama—baru, tradisional—modern. Di situlah pencatatan sejarah menjadi penting. Dalam konteks itu, pencatatan biodata penyair Indonesia penting artinya, tidak sekadar pendokumentasian nama-nama, melainkan menyambungkan kembali sebuah perjalanan kebudayaan—kesusastraan dan perpuisian Indonesia, tanpa garis demarkasi itu. Bukankah setiap perkembangan kebudayaan pada hakikatnya berlangsung kontinu dan berkesinambungan.
Adanya pembagian angkatan, aliran atau generasi pada dasarnya sekadar usaha untuk melihat sebuah perkembangan. Faktanya perkembangan yang kemudian tidak terlepas dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Jadi, masa depan hadir lantaran ada masa kini, dan masa kini bergerak tidak terlepas pula dari peristiwa masa lalu. Begitulah. Perkembangan kebudayaan-kesusastraan dan perpuisian Indonesia, hakikatnya juga lantaran tidak terlepas dari masa lalu yang melatarbelakanginya. Maka, usaha-usaha yang dilakukan kini, tidak lain, sebagai salah satu bagian dari investasi masa depan. Dengan demikian, buku ini penting agar generasi berikutnya tak gamang lagi menyimak masa lalu, terbebas dari sebutan tunasejarah, dan punya kesadaran, bahwa sebelum mereka berkiprah, ada yang sudah melakukan itu: generasi sebelumnya. Boleh jadi sejumlah besar penyair masa kini tidak mengenal penyair generasi Angkatan 45 atau generasi Pujangga Baru. Nah, buku ini –salah satunya—dapat diperlakukan sebagai langkah awal pengenalan pada generasi masa lalu kita.
Tidak hanya itu. Mengingat buku ini menghimpun biodata para penyair dari seluruh Indonesia, maka informasi tentang para penyair di pelosok Tanah Air dapat dimaknai sebagai pintu terbuka bagi terjadinya ajang silaturahmi, saling mengenal sesama saudara, sesama penyair, siapa pun dia dengan latar belakang etnik mana pun dan dengan agama apa pun. Gerak kehidupan kepenyairan Indonesia tidak lain adalah representasi keindonesiaan kita.
Perlakukanlah buku ini sebagai langkah awal pengenalan sesama kita yang dipersatukan oleh kecintaan pada puisi. Bukankah leluhur kita sejak awal sudah akrab dengan puisi? Bukankah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 –seperti yang diyakini Sutardji Calzoum Bachri—tidak lain adalah sebuah puisi yang membayangkan Indonesia? Jika Ben Anderson (1986) mengatakannya sebagai komunitas bayangan (imagined community), maka puisi yang berjudul “Sumpah Pemuda” itu tidak lain adalah metafora Indonesia. Dengan begitu, selama bangsa ini hidup, selama itu pula puisi tak pernah mati! Kitalah yang menghidupinya! Begitulah, puisi mesti menjadi senjata rohani membangun manusia Indonesia yang lebih cerdas dan kreatif, sambil tetap menerima segala perbedaan dan menghormati segala gagasan yang konstruktif.
Dalam konteks yang lebih luas, pencatatan biodata penyair dari seluruh Indonesia ini juga dapat dimaknai sebagai “potret” baru peta perpuisian Indonesia. Ia tidak lagi terpusat di Jakarta atau di Pulau Jawa dan Sumatera, melainkan di segenap pelosok Tanah Air. Puisi kita tidak lain adalah potret keindonesiaan yang di sana ada ruh kultural: etnik, urban, hibrida, juga diaspora; desa, kota, negara. Itulah potret Indonesia yang terus bergerak dalam proses menjadi. Seperti kata Sutardji Calzoum Bachri: NKRI bagi penyair—bagi seniman sejati, adalah harga hidup. Para penyair dan mereka yang bergerak dalam permainan kreativitas itulah yang menghidupkan NKRI sebagai negara yang bermarwah, bermartabat, dan berperadaban luhur.
***
“Tidak ada kamus yang sempurna!” Begitulah nasib yang digariskan pada kamus apa pun. Selalu ia terbit dalam keadaan yang tak lengkap, tidak sempurna. Buku ASPI ini pun tidak dapat melepaskan diri dari suratan takdir itu: tidak lengkap. Mungkin masih ada yang tercecer, luput dari pencatatan, ketelingsut atau ngumpet di antara deretan nama-nama. Tentu saja ketidaklengkapan itu bukanlah kesengajaan. Jadi, maklumi saja, meskipun kami coba bekerja keras menghasilkan yang terbaik –dan terlengkap.
Sebagai buku yang paling lengkap memuat biodata penyair Indonesia, tentu saja buku ASPI dapat digunakan sebagai rujukan penting bagi siapa pun hendak memasuki dan mengetahui dunia kepenyairan –dan perpuisian—Indonesia. Para pengamat asing dapat pula memanfaatkan buku ini sebagai langkah awal memasuki potret perpuisian kita. Jika ia hendak meneliti perkembangan perpuisian di suatu daerah di Indonesia, ia dapat dengan mudah melacak biodata para penyair yang lahir dan mukim di daerah itu. Silakan menghubungi para penyairnya, datang ke sana, melihat dan mencermati dinamika masyarakatnya, segalanya dapat ditelusuri lebih cepat dan mudah.
***
Akhirnya, tidak dapat tidak, kami mesti menyampaikanrasa syukur dan terima kasih kepada pihak-pihak yang dengan segala kerelaannya, telah membantu kami, sehingga buku ASPI mewujud sebagaimana yang menjadi harapan dan tekad kami sejak awal. Dalam hal ini, kami berutang banyak pada penyair Rida K Liamsi yang telah menggagas buku ini, memantau perkembangannya, dan membiayai seluruh ongkos penerbitannya. Atas segalanya itu, kami menyampaikan terima kasih yang mendalam. Terima kasih juga kami sampaikan pada para sahabat kurator dan sekaligus contributor yang di tengah kesibukannya, mereka masih meluangkan waktu membantu kami, melacak keberadaan penyair di wilayahnya, dan mengirimkan biodatanya dengan bahasa yang tidak merepotkan (lihat daftar kurator dan kontributor). Terima kasih juga kepada para sahabat yang tiba-tiba mendapat “musibah” menjadi editor dadakan (lihat catatan dalam proses penyuntingan). Terima kasih kami sampaikan juga kepada dewan kurator: Rida K Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Hasan Aspahani.
Dalam proses penyusunan buku ASPI ini, kami juga kerap diselamatkan oleh arsip dan bahan-bahan lain yang tersedia di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih kepada Mbak Ariany Isnamurti dan Mbak Nel beserta segenap karyawan PDS H.B. Jassin.
Kami yakin, masih banyak nama yang telah membantu kami. Izinkan kami memohon maaf tidak menyebutkan semua nama itu.
Akhirnya, hanya satu harapan kami yang utama, yaitu semoga buku ini bermanfaat bagi kehidupan kepenyairan kita dan bagi sastra Indonesia.
Bojonggede, 18 September 2017
Editor:
Maman S Mahayana
Ko-editor:
Jimmy Johansyah
Nana Sastrawan
Sihar Ramses Simatupang
Sofyan RH Zaid
TIM PENYUSUN
Editor:
Maman S Mahayana
Ko-editor:
Jimmy Johansyah
Nana Sastrawan
Sihar Ramses Simatupang
Sofyan RH Zaid
Kurator:
Rida K Liamsi
Sutardji Calzoum Bachri
Abdul Hadi WM
Ahmadun Yosi Herfanda
Hasan Aspahani
Kurator dan Kontributor:
Amin Wangsitalaja (Samarinda)
Anwar Putra Bayu (Palembang)
Badaruddin Amir dan Gunawan Monoharto (Barru dan Makassar)
D. Kemalawati dan Helmi Has (Aceh)
Fakhrunnas MA Jabbar (Riau)
Gunoto Sapari (Semarang)
Isbedy Stiawan (Lampung)
Iverdixon Tinungki (Manado)
Iyut Fitra (Padang)
Kurniawan Junaedhie (Jakarta)
Micky Hidayat dan Jamal T Suryanata (Banjarmasin)
Nurel Javissyarqi (Lamongan)
Ramayani Riance (Jambi)
Ramon Damora (Batam)
Syaifuddin Ghani (Kendari)
Suryadi San (Medan)
Tjahjono Widarmanto (Ngawi)
Warih Wisatsana dan Wayan Jengki Sunarta (Bali)
Yo Sugianto, Hasta Indriyana, dan Umi Kulsum (Yogyakarta)
Yohanes Sehandi dan Julia Daniel Kotan (NTT).
https://www.facebook.com/dewamahayan/posts/10212471847365432
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar