11/08/11

TEROR DALAM KEHIDUPAN BERINGAS

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Gelombang cerpen Indonesia mutakhir sungguh seperti gerak roda kereta; gemertak-keras-memekakkan, sangat beragam, bising dan kadang kala terlalu nyaring. Selepas Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, Agus Noor, Hudan Hidayat, Herlino Soleman, dan sederet panjang nama-nama yang acapkali menggelisahkan kita di hari Minggu, kini Teguh Winarsho AS coba meluncurkan antologi cerpennya. Meski namanya sudah sejak lama sering kita jumpai di banyak koran Minggu dan sejumlah tabloid atau majalah, sejauh pengamatan, kumpulan cerpennya Bidadari Bersayap Belati ini merupakan antologi pertamanya. Lalu, apakah kehadiran antologi ini sekadar semacam penggembira, menambah daftar nama dalam leksikon sastra –meski bukunya tak ikut terpanjang pada rak buku– atau cukup signifikan dan dipandang boleh mewarnai peta konstelasi cerpen Indonesia?

Dalam konteks itu, keterpukauan pada nama besar sering malah menjerumuskan kita pada sikap apriori dan subjektif. Akibatnya, belum apa-apa kita sudah terpengaruh dan mengendurkan sikap kritis kita untuk mencermati ihwal estetikanya. Di sini pula, teks menjadi jauh lebih penting daripada nama. Nama besar jika ekornya jatuh pada karya yang biasa saja, tentu juga tidaklah sedap didengar. Sebaliknya, nama baru namun menyodorkan karya yang menjanjikan, niscaya bakal memberi secercah optimisme dan pengharapan; kelak, menorehkan bentuk estetika yang khas dan cerdas dalam karya-karya berikutnya. Jadi, terimalah Bidadari Bersayap Belati ini secara lebih objektif. Siapa tahu, dari situ kita memperoleh banyak hal dan pertanyaan: adakah di sana tersembul sebuah kecenderungan yang menjanjikan?
***

Antologi ini memuat 18 cerpen. Sebagian besarnya sangat mungkin pernah mengganggu pikiran para pembaca koran hari Minggu. Mengganggu pikiran, lantaran dari sejumlah cerpennya itu, kadang kala menyeruak teror psikologis dan gertak makhluk banal yang kejam; gaya teror yang sangat berbeda dengan teror mental model Putu Wijaya. Atau, pikiran kita tiba-tiba dihadapkan pada sosok raja tega, pelaku tindak kriminal, atau pembunuh yang sengaja menikmati suasana mencekam yang menerkam persekitarannya dengan enteng. Dari sudut ini, Teguh tampak punya keseriusan yang cukup menakjubkan. Kadang kala, ia menggerakkan tokoh-tokohnya dengan pelahan, bahkan terkesan terlalu tenang, tanpa memperlihatkan ketergopohannya; satu sikap yang penting ditumbuhkan dalam diri seorang cerpenis, agar perenungannya dapat lebih intens.

Kesabaran membangun alur cerita dan usahanya mengecoh horison harapan pembaca, sungguh merupakan modal yang sangat berharga. Dengan itu, dalam sejumlah besar cerpennya, Teguh berhasil membina alur ceritanya menyerupai kisah-kisah detektif; memanfaatkan benar berbagai kejutan dan menciptakan trik-trik yang mengecoh. Sebuah siasat yang sering menjadi model estetik cerita detektif.

Meski begitu, ke-18 cerpen yang termuat dalam antologi ini tidak ada satu pun yang menampilkan sosok tokoh spion atau detektif yang coba membongkar kasus pembunuhan. Teguh sekadar mengambil pola alurnya yang mengecoh itu. Maka, kisah tentang seorang ibu yang gila, ayah yang bandit, anak yang sama brengseknya, preman gendeng atau perselingkuhan yang busuk, semua nyaris selalu berakhir dengan peristiwa yang tidak terduga; surprise yang menjengkelkan atau kejutan yang piawai.

Secara tematis, ada hal baru yang tampak hendak disodorkan antologi ini: dunia hitam dengan naluri-naluri gelapnya. Sememangnya tema model ini pernah juga diangkat beberapa cerpenis kita. Joni Ariadinata dalam Kali Mati (1999), tercatat salah satu di antaranya yang menonjol. Gambaran orang-orang marjinal yang tergusur, sebagaimana yang diangkat Ariadinata lebih dekat pada keliaran kaum gelandangan. Sementara Teguh, coba menyentuh kehidupan yang serba buas dan bergelimang teror: dunia pelacuran, perselingkuhan, ketertindasan dan penindasan perempuan, naluri lesbian dan homoseks, atau kegelisahan para preman. Dengan begitu, pikiran kita dibawa pada suasana yang terasa selalu dikejar teror psikologis; ketakutan, kecemasan, kepanikan, keteraniayaan, dan serangkaian peristiwa rencana pembunuhan. Kita seolah-olah sengaja dihadapkan pada bayangan tubuh yang bersimbah darah dan melesatnya roh yang mengejang kematian: segalanya menjadi begitu tragis. Dalam dunia yang demikian itu, nyawa manusia sungguh seperti tak punya makna apa-apa dan jasadnya boleh saja diperlakukan seenaknya menjadi alat permainan.

Jika ditarik lewat sebuah garis, antologi ini dapat dibagi ke dalam tema-tema besar yang mengangkat dunia wanita dalam sudut pandang yang gelap, kehidupan preman yang lebih gelap lagi, hubungan seks yang menyimpang atau naluri premanisme yang dapat menggoda siapa saja. Dilihat dari perspektif gender, kebusukan dunia wanita cenderung dihadirkan tidak berdiri sendiri. Ada penganiayaan dan ketidakadilan yang yang melatarbelakanginya, dan itu ditimpakan kaum lelaki pada kehidupan perempuan. Dengan begitu, kegelapan kehidupan kaum perempuan yang digambarkan dalam lebih dari separoh cerpen dalam antologi ini, semata-mata lantaran kebusukan lelaki. Dalam hal ini, Teguh agaknya hendak memprotes perlakuan itu, meski ia mengangkatnya lewat sisi gelap; sebuah keberpihakan gender yang ditampilkan secara paradoksal.

Bagaimana, misalnya, pilihan menjadi pelacur semata-mata untuk menggenapkan dosa ayah-ibu; atau pengabdian dan kesetiaan seorang istri kepada suami diejawantahkan lewat sajian hidangan kepala manusia, dan masih banyak peristiwa lain yang justru mencitrakan sosok perempuan dengan sejumlah naluri manusia-binatang. Maka, mencermati antologi ini patutlah kita menyiapkan kearifan (wisdom) dan menafsirkannya melalui logika akibat-sebab atau lewat perspektif gender jika hendak ditempatkan dalam konteks kritik sosial.

Sungguhpun begitu, dalam cerpen “Ibu: Hantu Sepanjang Hari,” “Iblis di Kepala Manusia,” “Ular Betina,” dan “Embun Cinta dan Sepasang Sayap Jelita” kita justru merasakan adanya kegeraman narator pada sosok seorang ibu. Ada dendam mendalam pada perlakuan biadab. Citra yang memancar dari keempat cerpen itu terkesan sebagai salah satu bentuk kesumat kegagalan seorang wanita menjadi ibu. Barangkali, inilah citra seorang ibu yang digambarkan paling busuk yang pernah muncul dalam cerpen Indonesia. Dalam konteks ini, Teguh tidak sekadar melawan prototipe dan pandangan klise tentang citra seorang ibu, tetapi juga menyodorkan model kritik sosial yang agaknya sengaja dibungkus dalam serangkaian peristiwa mengancam yang memaksa kita memasuki suasana tegangan yang mengasyikkan.
***

Model seperti tadi, tentu saja berbeda ketika kita mencermati cerpen-cerpen yang mengangkat premanisme atau kehidupan rumah tangga seorang preman. Digambarkan, bagaimana sosok raja tega menikmati keadaan jasad istrinya –lidah menjulur dengan mata melotot—yang mati dijerat tali jemuran (“Menjadi Mayat”), ayah yang tak sadar memperkosa anak gadisnya (“Ning di Mulut Harimau”) atau ayah yang berhasrat besar membunuh anak sendiri (“Televisi”). Dari kacamata moralitas, tentu perilaku yang demikian itu tak masuk daftar. Tetapi, penggambaran kesadisan itu memberi penyadaran kepada diri kita untuk melakukan retrospeksi, betapa keadaan itu sesungguhnya banyak terjadi dalam kehidupan kita dewasa ini. Dan Teguh sekadar mencoba memotret problem sosial itu. Persoalannya tinggal bergantung pada sensitivitas kita dalam menanggapinya; membiarkan kondisi masyarakat kita tetap carut marut seperti itu atau memusuhinya?
***

Bagaimanapun juga, sadar atau tidak, cerpen (sastra) dapat diperlakukan sebagai dunia alternatif ketika saluran-saluran komunikasi yang legal, tidak berfungsi. Sastra lalu berkesempatan untuk menawarkan dunia lain sebagai salah satu bentuk pemihakan atas diri manusia dan kemanusiaan dalam lingkaran problem sosial. Di sinilah, sastrawan punya caranya sendiri untuk melakukan pemihakan. Jika ia berteriak lantang menentang ketidakadilan dan penganiayaan, maka ia akan terjerumus pada propaganda dan dakwah. Karyanya akan hanyut dalam arus deras makna yang artifisial.

Sebaliknya, jika pemihakannya dikemas dengan halus dan pembelaannya pada manusia dan kemanusiaan disembunyikan dalam substansi cerita, maka sangat boleh jadi pembaca tak cukup jeli menangkap pesan estetiknya. Atau mungkin juga, pembaca tanpa sadar, ikut melakukan pemihakan dan tergoda menentang kebrengsekan dan ketakadilan. Di sinilah, sastra memainkan fungsinya. Ia tak perlu berkhotbah. Juga tak usah berbusa-busa membual macam tukang obat kaki lima. Sastra cukuplah menyajikan satu sisi potret sosial macam apapun kondisinya. Bahwa ia menyajikan potret buram, gelap, abu-abu, atau panorama indah yang cerah ceria, makna pesannya (massage) bukanlah terletak pada bentuk luarnya, melainkan pada sesuatu yang berada di balik itu.

Dalam jalur yang menampilkan sisi gelap, periksa saja, misalnya, kejorokan para penumpang kereta sebagaimana yang diangkat Idrus (“Kota-Harmoni”) atau kebusukan para gembel dalam “Lampor” atau Kali Mati, Joni Ariadinata. Apanya yang indah dari pelukisan Idrus tentang bau keringat dan terasi serta kaca jendela kereta yang penuh bekas ludah dan air sirih? Apanya yang menakjubkan dari deskripsi lumpur kental air comberan, belatung, dan bangkai binatang yang mengapung seperti yang dapat kita cermati dalam sejumlah cerpen Ariadinata? Estetika model apa pula yang ditawarkan Luxun ketika ia menguak kebringasan dan naluri liar seorang gila? Bagaimana pula Naguib Mahfouz yang mengumbar imajinasi dengan begitu beringas seperti sengaja lepas kendali?

Niscaya, kita masih dapat menderetkan contoh yang lebih panjang lagi perihal pesan moral dan nilai estetik yang ditawarkan sastrawan di belahan bumi ini. Bagaimana pula dengan antologi Bidadari Bersayap Belati yang menampilkan kebusukan perilaku manusia-binatang? Di manakah letak moralitasnya ketika Teguh bercerita tentang manusia-manusia yang justru tidak bermoral, biadab dan berhati iblis?

Dengan mengangkat tokoh-tokoh macam itu, Teguh sesungguhnya mengajak kita untuk memusuhi perilaku iblis macam yang digambarkannya. Itulah pesan moralnya, jika Bidadari Bersayap Belati hendak dikaitkan dengan persoalan moralitas. Dalam penggambaran manusia-binatang yang berperilaku iblis itu pula letak salah satu nilai estetiknya, di antara unsur intrinsik lainnya yang membangun struktur karya yang bersangkutan. Di situ pula kita secara proporsional dapat menempatkan Bidadari Bersayap Belati ini sebagai karya imajinatif, buah refleksi evaluatif atas problem sosial kita yang sudah mencapai ambang gawat.
***

Sesungguhnya, banyak hal dapat kita diskusikan atas kehadiran antologi Bidadari Bersayap Belati ini. Boleh jadi, sejumlah cerpen yang mengangkat tema-tema beringas dalam antologi ini bakal mengundang reaksi dan kontroversi. Justru di situlah, sastra mempertegas kembali fungsinya. Maka, anggap sajalah antologi ini sebagai provokator yang siap menjalankan tugasnya. Jika ia melakukan teror pada rasa kemanusiaan kita, eloklah kita tidak tergoda untuk melakukan kerusuhan!

Bojonggede, 18 Agustus 2002

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita