29/11/10

Melayu, Puisi, Mantra

Jamal D Rahman*
http://cetak.kompas.com/

Usaha merevitalisasi kebudayaan Melayu akhir-akhir ini berlangsung cukup marak, terutama di Riau. Berbagai kegiatan berkaitan dengan usaha menghidupkan atau menyemarakkan kembali kebudayaan Melayu kerap dilakukan, mulai dari penerbitan buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan kepada individu-individu yang memainkan peran tertentu dalam memajukan kebudayaan Melayu.

Semua itu jelas menunjukkan adanya kesadaran generasi Melayu kini akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkan juga memajukannya sampai pada tingkat yang membanggakan, seperti telah dicapai kebudayaan Melayu pada masa silam.

Salah satu unsur penting dari kebudayaan Melayu tentu saja bahasa Melayu. Ini bukan saja karena bahasa Melayu sejak berabad-abad silam merupakan lingua franca di kawasan Nusantara, melainkan terutama juga karena corak atau watak yang memang inheren dalam bahasa Melayu itu sendiri. Dengan wataknya yang unik, bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai bahasa komunikasi dalam pergaulan sehari-hari di dunia Melayu dan kawasan Nusantara, tetapi juga berkembang menjadi bahasa yang kokoh sebagai alat ekspresi spiritual dan intelektual sehingga lingkup pengaruhnya melampaui wilayah geografis dunia Melayu itu sendiri.

Watak bahasa Melayu adalah terbuka, egaliter, dan praktis atau mudah digunakan. Tiga hal itu sangat cocok dengan kecenderungan atau orientasi masyarakat modern. Kemodernan adalah keterbukaan, kesamaan, dan kepraktisan. Keterbukaan bahasa Melayu menjadikan bahasa ini berkembang begitu kaya dan kokoh: ia menyerap berbagai bahasa asing berikut konsep-konsep modern dalam berbagai aspek kehidupan. Kiranya ia juga mendorong masyarakat menuju masyarakat terbuka dan toleran. Sementara itu, kesamaan atau egaliterianisme bahasa Melayu pastilah turut mendorong masyarakat berkembang menjadi masyarakat egaliter dan demokratis, baik menyangkut hak-hak ekonomi, politik, maupun budaya. Dalam pada itu, kepraktisan bahasa Melayu membuat bahasa ini memiliki daya guna maksimal, baik secara sosial, sastra, maupun keilmuan.

Dalam proses panjang pembentukan bahasa dan kebudayaan Melayu yang berlangsung khususnya sejak abad ke-17, Islam jelas memainkan peran sangat penting. Seiring dengan islamisasi yang berlangsung sangat efektif di kawasan ini, Islam merupakan salah satu sumber isi sekaligus bentuk kebudayaan Melayu, yang tentu saja turut memperkaya khazanah kebudayaan setempat. Di samping bentuk puisi khas Melayu, seperti pantun, terus berkembang, kebudayaan Melayu selanjutnya diperkaya oleh bentuk puisi Arab yang kemudian dikenal dengan syair. Sementara itu, pemikiran Islam—bahkan sampai bentuknya yang paling muskil, spekulatif, dan kontroversial, seperti faham wahdatul wujud—mewarnai dunia intelektual Melayu setidaknya sejak abad ke-17. Transmisi ajaran dan pemikiran Islam serta berbagai polemik yang menyertainya, yang sangat marak di dunia Melayu sejak abad itu menunjukkan intensitas pergaulan intelektual dunia Melayu dengan dunia Islam secara luas. Dalam arti itulah Islam secara umum memberi isi pada kebudayaan Melayu. Dan, dengan cara itu, kebudayaan Melayu mewujud sebagai sebuah entitas kebudayaan yang kokoh.

Jika inti atau substansi dari agama adalah aspek kerohaniannya, Islam benar-benar diterima bukan saja pada aras formalnya, melainkan juga pada aras substansialnya, yakni aspek moral dan kerohaniannya. Demikianlah misalnya pemikiran atau ajaran Islam ditransmisi dan diajarkan kepada masyarakat luas, dan bersamaan dengan itu pemikiran dan praktik tarekat-kesufian dikembangkan pula di tengah masyarakat luas. Kita tahu, Raja Ali Haji, ulama dan pujangga kenamaan itu, adalah pemuka tarekat Naqsyabandiyah yang berbasis di Pulau Penyengat, Riau, pusat penting kebudayaan Melayu pada abad ke-19. Melihat begitu maraknya kehidupan intelektual dan praktik kerohanian Islam di dunia Melayu, sumsum kebudayaan Melayu pada dasarnya adalah moralitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, yang antara lain—karena kuatnya pengaruh Islam di kawasan ini—secara formal terlembaga melalui praktik kesufian kelompok tarekat.

Turut memperkaya

Uraian di atas sama sekali tidak bermaksud menafikan sumber-sumber lain dalam proses pengayaan kebudayaan Melayu. Harus dikatakan bahwa beberapa kebudayaan dan agama lain juga hidup di kawasan Melayu dan tentulah turut memperkaya kebudayaan Melayu itu sendiri, seperti China, India, dan Persia. Dengan demikian, kebudayaan Melayu pada dasarnya bersifat jamak, dengan Islam sebagai arus utama yang sekaligus merupakan orientasi umum kebudayaannya. Hal ini merupakan konsekuensi yang wajar belaka dari pergaulan yang intens dan berlangsung lama antara dunia Melayu dan dunia Arab-Islam.

Ketika bahasa Melayu diterima sebagai bahasa Indonesia, ia telah mencapai tingkat kematangan yang cukup mengesankan. Ditambah dengan keinginan melahirkan Indonesia sebagai negara-bangsa pada awal abad ke-20 dan kemudian hasrat menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa modern pada paruh kedua abad itu, bahasa Indonesia adalah alat yang amat sejalan dengan semangat modernitas. Modernisasi Indonesia dengan demikian didukung oleh bahasa nasionalnya yang memang berwatak modern. Membawa serta watak bahasa Melayu yang terbuka, egaliter, dan praktis tidaklah mengherankan bahwa bahasa Indonesia dengan cepat berkembang menjadi bahasa modern. Ia segera menyerap bahasa etnis-etnis lain, menyerap juga bahasa negara-negara lain sehingga ia benar-benar mampu menjadi alat artikulasi modern.

Di bidang sastra kita tahu lahirlah sastra Indonesia modern, yang berbeda, baik bentuk maupun isinya dari sastra Melayu-Indonesia lama. Jika kemodernan adalah semangat melakukan pembaruan, modernisasi sastra Indonesia berlangsung dengan amat baiknya. Sastra Indonesia modern membebaskan diri dari belenggu atau kungkungan masa silamnya dan mencoba menerobos batas-batas bentuk dan isi konvensionalnya. Dirumuskan secara konsisten dengan watak bahasa Melayu yang terbuka, sastra Indonesia modern pun terbuka menerima bentuk-bentuk sastra asing, seperti roman, soneta, dan puisi bebas, sama seperti kebudayaan Melayu dulu terbuka terhadap bentuk syair dan bahasa asing. Sastra Indonesia modern diperkaya oleh pergaulannya secara terbuka dengan sastra belahan dunia lain.

Dalam pada itu, pengarang-pengarang modern kita dari dunia Melayu tetap berusaha berdiri kokoh dan menggali akar kebudayaan mereka sendiri. Itu merefleksikan betapa mereka menyadari sekaligus percaya diri bahwa mereka lahir dari kebudayaan besar mereka sendiri. Dalam konteks terakhir inilah mereka turut merayakan dan mengarnavalkan bahasa dan sastra Indonesia.

Salah satu sumbangan penting yang telah mereka berikan pada sastra Indonesia modern adalah elaborasi mantra dan memaknainya secara baru yang kemudian diturunkan ke dalam puisi Indonesia modern. Penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah adalah tokoh paling penting dalam hal ini. Puisi-puisi Sutardji, seperti diakuinya sendiri, adalah usaha mengembalikan bahasa pada mantra, di mana kata-kata dibebaskan dari beban makna. Mantra konon memiliki kedudukan penting dalam kebudayaan Melayu Riau sehingga usaha Sutardji Calzoum Bachri memaknai mantra secara baru dan menurunkannya dalam puisi merupakan usaha menggali kebudayaan Melayu Riau, kebudayaan Sutardji sendiri. Dan itu memang memberikan kebaruan sekaligus kesegaran pada puisi Indonesia modern.

Diteruskan

Usaha mengelaborasi mantra sebagai sebuah tradisi Melayu Riau untuk menciptakan puisi diteruskan oleh penyair yang lebih muda, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib, seperti tampak misalnya dalam buku puisinya Negeri Airmata (2004). Sapardi Djoko Damono membicarakan pengaruh mantra dalam puisi-puisi Akib dalam diskusi buku itu di Taman Ismail Jakarta, 2004. Akib sendiri mengakui itu, seraya menekankan bahwa mantra merupakan tradisi Melayu Riau.

Sehubungan dengan pengaruh mantra Melayu Riau dalam puisi Indonesia modern, pada hemat saya, ada yang perlu dipertimbangkan. Mantra jelas bukanlah tradisi khas Melayu. Mantra terdapat juga dalam kebudayaan-kebudayaan lain, misalnya Sunda, Jawa, dan Madura. Meskipun mungkin intensitasnya berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain, fungsi dan kedudukan mantra pada hemat saya sama di mana-mana. Sehubungan dengan puisi Indonesia modern, mantra dalam kebudayaan Melayu seakan-akan memiliki kedudukan khusus, menonjol, dan amat penting. Padahal, dalam khazanah kebudayaan Melayu yang sangat kaya dengan capaiannya yang begitu cemerlang, terutama di bidang sastra dan pemikiran pada abad-abad silam, pada hemat saya, mantra hanyalah ”tradisi kecil”. Dalam kebudayaan Melayu, mantra bukan ”tradisi besar”. Dilihat dari kacamata hubungan pusat-pinggiran, mantra hanyalah ”tradisi pinggiran” dalam kebudayaan besar Melayu, bahkan mungkin merupakan tradisi yang sesungguhnya cenderung dihindari atau kurang diinginkan.

Dilihat dari konteks ini, mantra dalam kebudayaan Melayu menjadi penting bukan karena kedudukannya yang begitu penting dalam kebudayaan Melayu itu sendiri, melainkan karena ia mengilhami penyair untuk melahirkan karya baru dalam puisi Indonesia modern—dan penyair itu berasal dari Melayu Riau.

Namun, pada hemat saya, tidak seharusnya kenyataan itu lantas mendudukkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam struktur kebudayaan Melayu. Menempatkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam kebudayaan Melayu, pada hemat saya, hanya akan membuat ”tradisi kecil” ini mengaburkan atau bahkan menutupi sama sekali ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Orang jadi silau pada ”tradisi kecil” dan sementara itu dia lupa pada ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu yang agung. Bagi saya, sesungguhnya agak mengherankan bahwa generasi Melayu kini lebih mewarisi ”tradisi kecil” mereka tinimbang mewarisi secara sungguh-sungguh ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Penyair Melayu kini, demikianlah saya berharap, sejatinya mewarisi ”tradisi besar” mereka setidaknya dengan cara yang sama kreatif dan produktifnya dengan cara mereka mewarisi ”tradisi kecil” kebudayaan Melayu.

Apa ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu itu? Bagi saya, tak lain adalah moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang. Inilah sumsum kebudayaan Melayu, yang telah dicapai dengan gemilang dan diwariskan antara lain oleh Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji. Jika mantra mengilhami penyair untuk bereksperimen dalam puisi, bagaimana pula Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji tidak mengilhaminya bereksperimen dalam puisi? Jika penyair berfilsafat dengan mantra, bagaimana pula penyair tidak berfilsafat dengan Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji?

Inilah satu eksemplar masalah kebudayaan Melayu dalam hubungannya dengan puisi Indonesia modern.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison

Sosok HB Jassin

Budi Darma
http://www2.kompas.com/

HB JASSIN dan Chairil Anwar lahir pada saat yang tepat, karena itu saling ketergantungan antara mereka kemudian berhasil memberi warna indah dalam perkembangan sastra kita. Seandainya mereka tidak muncul bersama pada tahun 1940-an dan 1950-an, warna perkembangan sastra kita mungkin akan berbeda. Tahun 1940-an dan 1950-an adalah tahun-tahun menjelang kemerdekaan dan pascaperang kemerdekaan, sehingga, dengan demikian, peran letupan-letupan intuisi dalam seni, khususnya sastra, menjadi sangat menonjol.

Mengenai letupan-letupan intuisi, lihatlah misalnya sajak-sajak Chairil Anwar. Memang benar sajak-sajak Chairil Anwar menawarkan kontemplasi, dan tentunya juga lahir dari kontemplasi, namun, sebagai produk, sajak-sajak Chairil Anwar muncul sebagai intuisi-intuisi pendek, yang lahir berkat impuls-impuls yang kuat. Sajak-sajak Chairil Anwar, pada dasarnya, mirip dengan lukisan-lukisan Affandi, dan juga mirip dengan lirik lagu-lagu Ismail Marzuki, yaitu lukisan dan lirik sebagai letupan intuisi.

Bahwa kemudian Chairil Anwar “ditemukan” oleh HB Jassin, dan kemudian ditasbihkan oleh HB Jassin, tidak lain terjadi juga karena tuntutan zaman. Kritik sastra HB Jassin terhadap Chairil Anwar memang sangat berbobot dan karena itu pantas menjadi monumen. Namun, pada dasarnya, kritik sastra HB Jassin lebih banyak dipicu oleh letupan-letupan intuisi, bukan oleh anasir-anasir lain. Karena itu pertemuan antara Chairil Anwar dengan HB Jassin benar-benar “klop.”

Mungkin adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Chairil Anwar adalah penyair yang semata menggantungkan diri pada bakat alamnya. Tidak benar, karena, pada hakikatnya, Chairil Anwar mampu menyampaikan wawasan-wawasannya, kendati cara menyampaikannya seolah sekadar melalui letupan-letupan intuisi. Dalam perjuangannya untuk menjadi penyair, tampak benar usaha Chairil Anwar untuk memanfaatkan segala daya upaya, dan karena itu tidak sekedar tergantung pada bakat dan inspirasinya.

Adalah juga tidak benar, sementara itu, untuk menyatakan bahwa HB Jassin adalah kritikus semata berbakat alam. Usaha-usaha HB Jassin untuk menambah wawasan, sebagai upaya untuk menunjang bakatnya sebagai kritikus, benar-benar tampak, khususnya dalam pembelaannya terhadap Ki Panji Kusmin, pengarang Langit Makin Mendung, ketika dia menyampaikan orasi pada saat dia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. Namun, serupa halnya dengan Chairil Anwar, hakikat kritik sastra HB Jassin tetap merupakan letupan-letupan intuisi.

Justru karena hakikat kritik sastra HB Jassin merupakan letupan-letupan intuisi, maka HB Jassin dengan sangat mudah mampu bergandeng tangan dengan sastrawan-sastrawan berbakat alam. Lihatlah misalnya generasi majalah Kisah, sebagaimana yang tampak dalam cerpen-cerpen Sukanto SA, SM Ardan, Riyono Prakikto, Jamil Suherman, M Alwan Tafsiri, dan sebagainya. Para pengarang cerpen ini tidak lain adalah raja-raja besar sastra pada waktu itu. Mayoritas karya mereka adalah pengalaman harfiah mereka, yaitu ciri yang amat dominan pada sastrawan-sastrawan berbakat alam. Mereka adalah sahabat-sahabat karib HB Jassin, dan HB Jassin pulalah yang menasbihkan mereka menjadi sastrawan-sastrawan penting.

Lalu, lihatlah sastrawan-sastrawan lain yang ditasbihkan oleh HB Jassin. Mereka, antara lain, Kirjomulyo dan Muhammad Ali. Kritik sastra HB Jassin terhadap karya sastra Kirjomulyo dan Muhammad Ali nampak “klop,” karena Kirjomulyo dan Muhammad Ali, demikian pula mayoritas sastrawan pada tahun 1950-an dan 1960-an, adalah sastrawan-sastrawan berbakat alam.

HB Jassin, sementara itu, juga sanggup melihat bakat besar Rendra pada saat-saat awal Rendra menjadi penyair, dan karena itulah HB Jassin juga sangat bertanggung jawab dalam menasbihkan Rendra sebagai penyair penting. Namun ingat, HB Jassin menemukan Rendra pada saat Rendra masih bergelut dengan lirik, dengan letupan-letupan intuisi. Waktu itu, Rendra belum berkembang lebih jauh. Dan ingat pula, pada saat HB Jassin menemukan Rendra, sebetulnya HB Jassin sudah agak terlambat.
***

MENGENAI makna “agak terlambat,” dapat kita lihat kembali cerita Rendra kepada saya (dulu), ketika dia masih kadang-kadang datang ke kampus Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada di Jl Yudonegaran, Yogya. Pada waktu itu, sajak-sajak Rendra sudah dimuat oleh HB Jassin dalam berbagai majalah sastra asuhan HB Jassin. Namun, kata Rendra, sebelum sajak-sajaknya dimuat HB Jassin, secara bertubi-tubi HB Jassin selalu menolak, dan selalu mengembalikan sajak-sajak Rendra. Sajak-sajak yang sama itulah yang kemudian dimuat oleh HB Jassin sendiri. Penolakan terhadap sajak-sajak Rendra, dengan demikian, tidak terjadi karena waktu itu jumlah sajak yang masuk ke meja HB Jassin terlalu banyak, dan karena itu sajak-sajak Rendra harus menunggu giliran untuk dimuat.

Pengalaman Rendra tentu berbeda dengan pengalaman Darmanto Yatman. Pada waktu HB Jassin mengasuh majalah Sastra, Darmanto mengirim sejumlah esai kepada HB Jassin. Ternyata, tidak lama kemudian, Sastra mati. Lalu, dalam suratnya kepada Darmanto Yatman HB Jassin menyatakan bahwa dia akan berusaha untuk menerbitkan esai-esai Darmanto Yatman yang tidak termuat dalam Sastra di media-media lain.

Lalu, apa yang terjadi pada Iwan Simatupang? HB Jassin tidak bisa menerima kehadiran Simatupang, paling tidak pada awalnya, karena Iwan Simatupang bukanlah tipe sastrawan yang meletup-letupkan intuisi. Novel-novel Iwan Simatupang memang fragmentaris, sehingga, seolah antara satu bagian dengan bagian lainnya lepas tanpa ikatan. Namun, sejak awal Iwan Simatupang sadar, bahwa untuk menjadi sastrawan dia perlu belajar banyak.

Komentar A Teeuw dalam Modern Indonesian Literature (jilid II) mengenai kritik sastra dalam hubungannya dengan HB Jassin, tentu tidak lepas dari hakikat Jassin sebagai kritikus dengan letupan-letupan intuisi. Kata A Teeuw, “literary criticism … is indeed rather underdeveloped”, yaitu, kritik sastra benar-benar dalam keadaan terkebelakang. Lalu, kata A Teeuw pula, sepanjang pengetahuan A Teeuw, HB Jassin tidak pernah “published any fundamental ideas,” dan juga tidak pernah melakukan “declaration of principles of criticism.” HB Jassin, kata A Teeuw, tidak pernah menerbitkan gagasan-gagasan pokok, dan juga tidak pernah mendeklarasikan prinsip-prinsip kritik sastra.

Teeuw benar. Namun, justru pada letupan-letupan intuisi dengan tidak menganut prinsip-prinsip tertentu itulah, letak kekuatan HB Jassin. Karena itu, ketika menyampaikan orasi penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, HB Jassin menyatakan, bahwa dia justru khawatir jangan-jangan pekerjaannya sebagai orang sastra menjadi ilmiah. Kalau sudah menjadi ilmiah, maka, katanya, mau tidak mau dia harus mempergunakan otak. Sementara itu, bagi dia, sastra adalah suara hati, dan karena itu harus ditanggapi dengan hati pula.

Prinsip bahwa sastra adalah suara hati telah meneguhkan HB Jassin sebagai pembela sastra Indonesia. Dia berjuang dengan teguh untuk menyatakan bahwa Chairil Anwar bukan penjiplak, ketika sementara khalayak bisa membuktikan, bahwa sebagian sajak Chairil Anwar tidak lain adalah saduran. Ketika Hamka juga dituduh sebagai penjiplak dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, HB Jassin dengan penuh keyakinan juga menyatakan, bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah karya asli Hamka. Karena itu, dalam tulisan-tulisannya, beberapa kali HB Jassin menekankan, bahwa dalam sastra, pengaruh-mempengaruhi adalah wajar.

Bagi HB Jassin, penjiplakan tidak ada, sebab kemiripan antara satu karya sastra dengan karya sastra tidak lain hanyalah masalah pengaruh.
***

TERHADAP pemikiran rasional, tampaknya HB Jassin juga selalu menentang, kendati penentangannya kemudian muncul sebagai pembelaan. Lihatlah, misalnya, ketika pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an ada tuduhan dari khalayak bahwa sastra Indonesia mengalami krisis. Dengan rasional khalayak berusaha untuk membuktikan, bahwa pada waktu itu memang karya-karya sastra yang baik boleh dikatakan tidak ada. Maka, HB Jassin pun tidak berpijak pada alasan mengapa oleh khalayak sastra dianggap mengalami krisis, tetapi pada kenyataan bahwa karya sastra tokh tetap ada. Karena penyair masih menulis dan pengarang juga masih menulis, maka, dalam pandangan HB Jassin, sastra Indonesia sama-sekali tidak mengalami krisis.

Keyakinan bahwa sastra adalah suara hati, mau tidak mau mendorong HB Jassin untuk membela generasi muda. Sastra harus terus hidup, dan karena itu, regenerasi harus tetap jalan. Sementara sastrawan-sastrawan senior lain cenderung untuk kurang memperhatikan generasi muda, dengan tekun HB Jassin berusaha untuk mencari titik-titik kuat pada sastrawan-sastrawan yang belum mapan. Titik-titik kuat itu, tentu saja, adalah titik kuat sastra sebagai suara hati, bukan sastra sebagai kerja otak. Karena itulah, maka HB Jassin sangat senang sastra model “Kucing,” cerpen Hudan Hidayat. Dalam sebagian besar cerpennya tampak benar, setidaknya sampai sekarang, bahwa Hudan Hidayat benar-benar mengandalkan kemampuannya pada letupan-letupan intuisi.

Sejak tahun 1980-an, sementara itu, tampak gejala kuat bahwa kritik sastra intuitif kena kutuk. Karena itu, ada kecenderungan kuat untuk menopang kritik sastra dengan berbagai pemikiran rasional, antara lain dengan penggunaan teori-teori. Apa pun anggapan khalayak terhadap HB Jassin, ia adalah peletak dasar kritik sastra sebagai salah-satu genre sastra. Sebelum HB Jassin tampil, kehadiran kritik sastra tidak dianggap sebagai keharusan dalam kehidupan sastra yang sehat, namun sebagai sesuatu yang hadir boleh, tidak hadir pun tidak apa-apa, bahkan mungkin lebih baik.

Lalu, apakah kritik sastra model HB Jassin mesti dikutuk, tentu saja tergantung pada individu masing-masing kritik sastra. Ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional, ditopang pula dengan teori-teori, belum tentu sanggup menembus persoalan sastra. Dan ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional dengan dimuati teori ini dan teori itu, ternyata tidak jarang hanya bergerak pada format penulisan dan bukan pada jantung substansi sastra.

Dalam hal-hal tertentu, HB Jassin sangat benar. Sastra adalah suara hati. Karena itu, peran common sense atau akal sehat, dalam menghadapi sastra, tidak mungkin ditinggalkan. Kritik sastra yang berusaha rasional dengan mengangkut teori ini dan teori itu, sebaliknya, justru cenderung untuk melawan kekuatan dasar sastra, yaitu common sense atau akal sehat.

Lalu, marilah kita tengok kritik sastra Goenawan Mohammad dan Sutarji Calzoum Bachri dalam menghadapi sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Marilah kita tengok pula, kritik Sapardi Djoko Damono sendiri dalam menghadapi sajak-sajak Abdul Hadi WM. Tanpa berusaha rasional, apa lagi dengan mengangkut teori ini dan teori itu, kritik sastra mereka benar-benar intuitif, dan benar-benar berwibawa.

*) Sastrawan, tinggal di Surabaya.

Coba Menghindari ‘Dosa Generasi’ *

Karena tidak menghargai karya sastra
Marwanto
http://www.kr.co.id/

SALAH SATU persoalan ‘klasik’ yang dihadapi dunia kesusasteraan kita adalah tidak dihargainya karya sastra. Dalam dialog antara sastrawan (yang dimotori Taufiq Ismail dan kawan-kawan) dengan pelajar maupun mahasiswa, memperlihatkan adanya keprihatinan mendalam pada eksistensi sastra dalam masyarakat. Di samping itu, dari hasil dialog ke berbagai sekolah dan universitas itu, menunjukkan pelajaran mengarang menjadi pelajaran paling terlantar di institusi pendidikan Indonesia.

Memang sastrawan (dan budayawan umumnya) tidak akan merengek-rengek minta karya sastra dihargai. Tradisi narsisisme lambat laun sudah ditinggalkan kaum sastrawan-budayawan. Namun kita sebagai manusia biasa, seharusnya mengelus dada atas kondisi demikian. Bila dibiarkan terus-menerus, kita khawatir bisa menjadi “dosa generasi” yang efeknya akan terasa pada anak cucu kita.

Sastra, yang pada hakekatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bahasa (Andre Harjana, 1994: 10), menjadi cermin sekaligus anasir pokok bagi berlangsungnya kebudayaan dan peradaban yang berkiblat pada nilai-nilai humanisme. Peraih nobel sastra 1992, Derek Walcott memposisikan bahasa sebagai titik sentral kebudayaan. Menurut sastrawan tersebut, kebudayaan akan menjadi amburadul jika masyarakat kehilangan ‘rasa hormat’ terhadap bahasa. Memang bahasa tidak mungkin musnah, tapi bahasa menjadi kering jika ‘rasa hormat’ terhadap bahasa (sastra) berlangsung terus-menerus. Sebab, wujud akhir setiap proses penalaran muncul dalam bentuk ekspresi yang jelas, jujur dan apa adanya.

Nah, lewat sastra, ekspresi bahasa seperti itu diwujudkan sehingga dapat memperkaya (kebutuhan) batin manusia. Para sastrawan, selain orang yang jujur pada fakta dan pengungkapan, juga mampu memenuhi kebutuhan batin manusia lewat karyanya. Seperti diungkap Sapardi Djoko Damono (saat menjadi salah satu juri pada Khatulistiwa Literary Awards) kekuatan sastra memang terletak bagaimana ia mampu memperkaya kebutuhan batin manusia.

Kita dapat menyaksikan sendiri ketika bahasa dikuasai dan menjadi alat bagi kekuasaan politik. Periode rezim Soeharto (orde baru) adalah contoh yang sangat gamblang. Mungkin kita masih ingat, kata ‘penyelewengan’ (yang dilakukan aparat negara) sering diganti dengan kata ‘salah prosedur’. Atau kata ‘penangkapan’ dan ‘pemenjaraan’ (terhadap ativis yang kritis) sering diganti dengan kata ‘diamankan’. Dan masih banyak contoh ‘ketidakhormatan’ lain terhadap bahasa, yang dapat mengaburkan fakta sebenarnya.

Di tangan rezim otoriter, bahasa tidak saja menjadi absurd dan sukar dicerna oleh akal secara wajar-jujur. Lebih dari itu, bahasa menjadi kering. Ketika rezim orde baru mencapai titik puncak keotoriterannya, Afrizal Malna lewat puisinya yang berjudul “Di Bawah Sihir Gergaji” (1997) menulis : Pilihan kata tak banyak lagi. Bahasa seperti sumber air yang mengering. Kita maklum, mengapa Afrizal menulis Pilihan kata tak banyak lagi. Sebab, kata dan istilah yang mengisi lalu-lintas wacana sebatas yang diproduksi oleh kekuasaan. Hanyalah kata dan istilah yang mendukung secara efektif doktrin kekuasaan negara otoriter.

Di bawah pemerintahan otoriter, bahasa dan sastra adalah ‘anak nakal’ yang harus (pertama) dipenjarakan dalam ruang gelap, pengap, sesak dan dilenyapkan sama sekali atau (kedua) dikebiri sehingga menjadi ‘anak penurut’.
***

KINI zaman tak lagi berada di bawah pemerintahan otoriter. Meski ‘bahaya laten’ negara otoriter tetap ada, dan selalu terbuka peluang. Namun secara umum, pasca lengsernya penguasa otoriter orde baru, terbitlah era euforia. Kebebasan berpendapat, berserikat, berbicara kita rasakan. Demikian pula kebebasan untuk mengeluarkan ide, dalam bentuk apapun termasuk kesusastraan. Namun mengapa masih ada keluhan sastra terpinggirkan, tidak dihormati, tidak mendapat tempat layak di masyarakat?

Hemat penulis ada semacam sistem yang secara halus (invisible hand?) memisahkan sastra dengan masyarakat. Pada zaman otoriter orde baru, karya sastra yang cerdas-jernih memandang persoalan kemanusiaan dipasung, sehingga yang muncul hanyalah ‘sastra pesanan’ (kekuasaan) dan sastra populer atau tepatnya sastra yang berkiblat pada permintaan pasar. Namun demikian ada saja karya sastra brilian yang lahir (iklim represif, bagi sastrawan tertentu, justru menjadi pemacu daya kritis), meski nilai karya sastra seperti ini tak dapat disosialisasikan ke masyarakat secara efektif.

Kini di era reformasi lain lagi. Meski banyak faktor penyebab sastra tak melekat di hati masyarakat, tapi mungkin bisa dirunut dengan logika begini: era reformasi yang dihadapi masyarakat Indonesia juga masih dibarengi dengan berbagai krisis yang berkepanjangan (krisis ekonomi, hukum, kepercayaan, nilai-nilai, dsb). Menghadapi momentum demikian, sebagian besar masyarakat kita lalu berpegangan pada hal-hal yang praktis dan profan saja. Karya sastra, yang sarat muatan nilai isoterisme kemanusiaan, menjadi kontraproduktif untuk menghadapi krisis, utamanya krisis ekonomi. Kondisi demikian ternyata dibarengi dengan pertumbuhan teknologi yang semakin canggih. Dan sastra, secara umum kurang mampu mengambil ‘ruh teknologi’ untuk dijadikan tema-tema besar kesusastraan. Jadi dinamika teknologi dan ekonomi itulah yang menjadi semacam (invisible hand) dan memisahkan sastra dengan masyarakat.

Barangkali pandangan di atas terlalu prematur. Namun soal gamangnya kebudayaan menghadapi ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah menjadi kritikan cukup lama. Misalnya kritikan Daoed Joesoef: kebudayaan kita tidak merangkum ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang lahir dan dikembangkan oleh seni dianggap unsur budaya, tapi pengetahuan ilmiah (sains) tidak dianggap demikian. Masih ada anggapan ilmu pengetahuan mencekik seni (makalah “Satu Kebudayaan di Abad Iptek”, 28-8-1991).

Selain itu di abad teknologi informasi, manusia bisa menjadi sangat terlena. Sebuah abad informasi, memang melahirkan keterbelahan, skizofrenia. Dalam lautan informasi, lautan imaji-imaji, lautan penanda-penanda, dapat saja kita tenggelam secara nyaman tanpa kegelisahan untuk menghasilkan karya budaya, apalagi karya budaya besar (Nirwan Dewanto, 1996: 33).

Lantas bagaimana menghadapi kondisi dan masalah demikian? Hemat penulis, langkah awal adalah bercermin, mengaca diri: sudahkah sastra menggambarkan fakta kehidupan secara menyeluruh dan mutakhir? Kita setuju sastra (utamanya novel) adalah potret zaman yang sedang dialami masyarakat. Kini berapa banyak karya sastra yang seperti itu ? Kalaupun banyak, adakah yang membawa pesan humanisme, yang mampu memberi pencerahan batin manusia yang hidup di zaman sumpek teknologi, informasi, limbah industri dan khayalan-khayalan ekonomi?

Dinamika teknologi dan ekonomi adalah fenomena mutakhir yang akan terus menggerus nilai-nilai humanisme, suka tak suka, mau tak mau. Bahkan menurut Dr Damardjati Supajar, sinyalemen “suatu saat manusia akan tenggelam oleh keringatnya sendiri”, maksud ‘keringat’ disini adalah bahasa teknologi dan ekonomi. Kenyataannya amat sedikit karya sastra yang mampu menangkap ruh dinamika teknologi dan ekonomi untuk dijadikan tema kajian sastra dalam pesan-pesan humanisme. Selama ini, teknologi dan ekonomi hanya dijadikan piranti dalam memasarkan karya sastra.

Dengan demikian, pemahaman terhadap unsur-unsur kebudayaan secara luas untuk diambil dinamika yang paling fenomenal dan mutakhir, lalu dijadikan tema kesusasteraan dalam pesan nilai humanisme inilah yang akan ‘menyelamatkan’ eksistensi sastra dalam masyarakat. Selain itu, akan menghapus stigma terhadap kebudayaan, apakah itu kebudayaan sebagai terdakwa (istilah Mochtar Pabotinggi) atau kebudayaan sebagai kambing hitam (istilah Prof Syafri Sairin).

Mungkin pandangan tersebut terlalu sentrisme. Maksudnya, melihat teknologi dan ekonomi sebagai determinan pokok perubahan peradaban. Perlu disadari, yang dimaksud di sini adalah ruh sains dan teknologi. Jadi tidak dalam pandangan monopoli Barat-modern terhadap teknologi. Tiap masyarakat punya pandangan sendiri terhadap ruh ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Seperti dicontohkan dengan baik oleh Levi-strauss (dalam Nirwan Dewanto, ibid, hlm 36): apakah diagram rumit yang digambar suku Aborijin untuk menjelaskan sistem kekerabatannya kepada orang Eropa, jauh kurang ilmiah dibandingkan diagram matematis yang digambar seorang profesor di Ecole Polytechnique? Meski harus diakui ada hasil sains dan teknologi Barat-modern yang mengglobal, berpengaruh luas ke penjuru dunia.

Dengan langkah bercermin tersebut, penulis yakin sastra akan mendapat tempat layak di (hati) masyarakat. Kita tak usah memaksakan pada masyarakat untuk menikmati suguhan (karya sastra) kita, jika apa yang kita hidangkan bukan menjadi perhatian utama mereka. Ada baiknya juga langkah bercermin ini dibarengi dengan usaha yang katakanlah, bersifat materiil seperti proyek buku sastra seberat 15 ton dari Taufiq Ismail. Tentu bagi sastrawan dan budayawan yang gandrung nilai isoterisme, tidak melupakan esensi di balik materi. Semua ini adalah usaha-usaha dalam rangka penghormatan terhadap kesusastraan, yang akan menyelamatkan budaya dan peradaban.***

*) Penulis alumnus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, pecinta sastra, bermukim di Kulon Progo, Yogyakarta.

Ghirah Sastra Tionghoa Terus Menyala

Lan Fang
http://www.jawapos.com/

China adalah negara besar yang dikenal dengan timbul tenggelamnya banyak kerajaan dan dinasti. Juga karena kesengsaraan dan kemiskinan akibat perang yang berlarut-larut selama berabad-abad. Selain itu, yang penting dicatat dari China adalah kearifan yang diwariskan para filsufnya melalui berbagai macam bentuk karya sastra. Salah satunya adalah puisi.

Sejarah sastra dunia menahbiskan China sebagai negeri puisi. Bila hendak diteliti, selama masa Dinasti T’ang (618-906) saja sudah tercatat kira-kira 2.200 penyair yang menghasilkan lebih dari 50.000 puisi.

Pada waktu itu, perkembangan puisi di China mencapai puncaknya dengan kelahiran penyair-penyair besar seperti Wang Wei, Li Po, Tu Fu, dan Po Chu I. Bahkan, Po Chu I pernah menjabat ketua dewan pada 841. Karena itu, dia juga dikenal sebagai politikus sekaligus penyair yang menguasai seni kaligrafi, melukis, dan pandai bermain catur.

Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa China berikut keturunannya pun tersebar di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia, sehingga terjadi proses adaptasi terhadap seni, budaya, dan bahasa setempat ke dalam seni, budaya, dan bahasa asalnya. Sudah tentu saling serap dan saling silang ini meliputi puisi sebagai salah satu budaya tulisnya.

Leo Suryadinata, direktur Chinese Heritage Center di Singapura, dalam buku Antalogi Puisi Resonansi Indonesia, membagi sastra Tionghoa (China) di Indonesia menjadi dua jenis.

Pertama, sastra Tionghoa (China) peranakan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, sastra Tionghoa (China) peranakan yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu terus berkembang menjadi cikal-bakal sastra Melayu yang kemudian melahirkan sastra Indonesia modern.

Kedua, sastra yang tetap ditulis dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa China. Pada awal 1960-an, karya-karya itulah yang diserap koran-koran berbahasa Tionghoa (China) yang pada umumnya dimiliki warga negara keturunan Tionghoa (China) di Indonesia. Di antaranya, majalah Xing Ho dan koran Ta Kung Siang Pao yang terbit sejak 1947-an.

Media-media itu mengakomodasi kebutuhan membaca dan menulis bagi orang-orang China yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Kemudian, sastra itu disebut yinhua wenxue (sastra Tionghoa Indonesia).

Tapi, sejalan dengan Inpres Tahun 1967 yang merupakan kelanjutan pembekuan terhadap semua kegiatan yang beraroma oriental, koran-koran dan majalah-majalah itu pun terbungkamkan. Kebijakan politik zaman Orde Baru yang meniadakan aksara China (Tionghoa) membuat perkembangan sastra yinhua wenxue mati suri. Ibarat kata pepatah: mati segan, hidup pun tak mau. Karya-karyanya tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori sastra Indonesia karena tidak ditulis dalam bahasa Indonesia.

Mengenai hal tersebut, Sapardi Djoko Damono, guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sekaligus penyair, berpendapat bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Seperti halnya, sastra Jepang ditulis dalam bahasa Jepang, sastra Arab ditulis dalam bahasa Arab, sastra Sunda ditulis dalam bahasa Sunda, sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa, termasuk sastra China pun ditulis dalam bahasa China.

Dengan demikian, eksistensi sastra yinhua wenxue pun semakin termarginalkan. Nama-nama seperti Rong Zi, Yuliana Susilo (Yan Shi), Wilson Tjandinegara (Chen Donglong) Antono (Ye Chu) , Yi Rou, dan Antonius Hadi (Hai Fung) luput dari penglihatan dan pendengaran publik serta pengamat sastra tanah air. Karya-karya mereka sulit diapresiasi oleh khalayak luas karena adanya keterbatasan penguasaan aksara China (Tionghoa).

Tampaknya, pembekuan penggunaan bahasa China selama lebih dari 30 tahun itu membuat sumber daya manusia di Indonesia yang menguasai bahasa tersebut menipis. Mati suri selama lebih dari 30 tahun membuat lubang menganga setidaknya untuk tiga generasi.

Peralihan tiga pemerintahan -Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono- belum cukup mempunyai daya kait yang kuat untuk merapatkan nganga tersebut. Karena itu, rentang jarak yang jauh dari generasi ke generasi berikutnya mengakibatkan perkembangan sastra yinhua wenxue ini semakin tersendat-sendat.

Suci Susianie (Zhou Su Xin), ketua Perhimpunan Sastra Tionghoa untuk Wilayah Timur Indonesia, membenarkan bahwa sejak Inpres Tahun 1967 diberlakukan, kegiatan tulis-menulis para penulis yang menguasai bahasa China sangat terbatas. Bahkan, sampai sekarang kebebasan yang diberikan era reformasi pun masih belum cukup memacu eksistensi para penulis yinhua wenxue tersebut di tanah air.

Sebab, para penulis yinhua wenxue itu juga menghadapi tingkat kesulitan tertentu bila harus menulis dalam bahasa Indonesia. Mereka gagap dan keteteran ketika harus berhadapan dengan struktur serta diksi perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia.

Kendati demikian, para penulis yinhua wenxue itu tetap setia pada dunia mereka. Sampai saat ini mereka tetap mencetak dan mendistribusikan karyanya walaupun hanya untuk kalangan internal. Mereka juga tetap menulis meski segmen pembacanya semakin terbatas. Tampaknya, kepuasan menulis adalah motivasi utama yang tidak bisa dibendung walaupun penguasa menciptakan situasi politis yang sulit saat itu.

Karena itu, bila setiap Mei dijadikan salah satu kilas balik refleksi agenda politis bangsa ini, rasanya tidak berlebihan bila keberadaan para penulis yinhua wenxue direspons positif sebagai rekam jejak bahwa ghiroh (semangat) mereka untuk terus berkarya tetap menyala-nyala walaupun waktu pernah ”berhenti”. (*)

*) Penulis prosa dan puisi. Telah menerbitkan delapan buku prosa. Di antaranya, Perempuan Kembang Jepun (2006) dan Lelakon (2007).

Sapardi: Kembalikan Sastra sebagai Seni, Bukan Ilmu

Yurnaldi
http://oase.kompas.com/

Pendidikan formal yang berkaitan dengan bahasa dan kebudayaan harus ditata sedemikian rupa, sehingga mampu menawarkan dan memperkenalkan sebanyak mungkin hasil kebudayaan seperti dongeng kepada sebanyak mungkin khalayak lewat bahasa Indonesia.

Demikian ditegaskan oleh sastrawan dan guru besar emeritus Sapardi Djoko Damono pada seminar Strategi Kebudayaan dan Pengelolaannya, yang digelar oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Jabotabek, Senin (1/6) di Jakarta.

Sapardi mengatakan, dongeng, kitab klasik, dan berbagai konsep kebudayaan harus dikemas baik-baik untuk disebarluaskan lewat pendidikan. Sastra dikembalikan ke fungsi dan kedudukannya sebagai seni, yakni permainan yang mengasyikkan, bukan sebagai ilmu.

“Hanya dengan dikembalikannya sastra sebagai seni, mereka yang berminat menjadi sastrawan memiliki keleluasaan dalam proses kreatifnya. Hanya dengan demikian pula khalayak bisa menerima karya sastra Indonesia sebagai miliknya sendiri, bukan terjemahan,” kata Sapardi.

Menurut Sapardi, sastra Indonesia adalah hibrid, hasil silangan dari begitu banyak kebudayaan, bahasa, dan dongeng. Mereka yang membiarkan berbagai hal itu berkembang dalam dirinya dan menjadikannya dorongan penting dalam proses kreatifnya, kita sebut sastrawan Indonesia. Kita, tambah Sapardi, boleh saja mengatakan bahwa dengan demikian ia (sastra) tidak memiliki identitas, atau kehilangan identitas. Namun, bisa juga kita nyatakan bahwa itulah identitasnya.

Sapardi menambahkan bahwa karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan non-Inggris bisa memiliki kekuatan yang melebihi karya sastra yang dihasilkan oleh penutur asli. Dalam hal kita, bahasa Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan bahasa Inggris dalam hal ini.

“Sebab, bahasa kita ini adalah bahasa baru yang kita ciptakan bersama, bukan bahasa yang sebelumnya sudah ada dan masih tetap dipergunakan dengan aktif oleh pemiliknya,” ungkap Sapardi. Strategi pengembangan sastra Indonesia, tandas dia, harus didasarkan pada kenyataan tersebut.

Sastra, Politik, Realisme Tiada Henti

Maroeli Simbolon S. Sn
http://www.sinarharapan.co.id/

Selain homo fabulans (makhluk bersastra), kita juga homo politicus (makhluk berpolitik) karena berpolitik adalah hak setiap orang. Jadi, jelas sastra berkait dengan politik. Sehingga, dalam berkarya, pengarang tidak dapat melepaskan masalah politik di sekitarnya.

Dalam pengertian praktis, politik berarti ikut aktif mengambil bagian dalam kehidupan bernegara. Tetapi, dalam proses ambil bagian itu sering terjadi salah persepsi – masing-masing orang membuat pengertiannya sendiri. Itulah sebabnya, Wiratmo Soekito menilai, hubungan sastra dengan politik adalah masalah kompletif – dapat ditinjau dari berbagai segi.1) Juga, reaksi pengarang dalam menghadapi masalah-masalah politik: spontan atau berjarak.
*

Orangtua saya pernah memberi petuah kepada saya: ”Seindah-indah mimpi, lebih indah kenyataan.
Sepahit-pahit mimpi, lebih pahit kenyataan.” Petuah ini mengetuk hati dan pikiran kala menyimak buku Leontin Dewangga karya Martin Aleida (Penerbit Buku Kompas, 2003, xviii + 230 hlm). Apalagi keesokan hari, saya baca running text di layar Indosiar, peluncuran buku ini dihadiri oleh beberapa tokoh kiri. Di samping itu, latar belakang penulis yang pernah diciduk dan diceburkan penguasa ke kamp konsentrasi yang menurutnya lebih buruk dari kandang babi (sebagai realitas), juga dari 17 cerpen yang terangkum, 9 di antaranya bertema atau berkaitan dengan politik, menjadi dasar saya mengaitkan karya Martin ini dengan politik.
*

Pada mulanya adalah fakta, sesudah itu imajinasi. Adalah tak mungkin teks sastra lahir tanpa fakta, demikian Gus tf Sakai,2) yang diistilahkan Seno Gumira Ajidarma sebagai ”pembocoran fakta”.3) Apa pun istilahnya, fakta tetap diperlukan dalam berkarya untuk hadirnya (kebenaran) teks sastra. Mengangkat dan menggugat fakta melalui karya bukan dosa, malah pertanggungjawaban selamanya. Itulah yang dilakukan sastrawan-sastrawan Rusia, seperti Ivan Turgenev dan Nicolai Gogol atas tragedi politik di negaranya di abad ke-19 adalah ”pembocoran fakta”, realitas pertanggungjawaban untuk dunia. Kekejaman pemerintahan Rusia disambut sastrawan dengan napas realisme – reaksi berjarak.

Demikianlah cerpen-cerpen Martin. Ide dasar dan tema adalah peristiwa-peristiwa yang ada di sekitar kita.

Dari 17 cerpen yang termuat, kecuali cerpen ”Jakarta 3030”, semuanya (mungkin) berangkat dari peristiwa yang ada dan pernah terjadi. Semua realis, sederhana, bahkan (mungkin) pernah dialami, dirasakan, dilihat pengarang. Fakta diolah secara selektif dengan imajinasi. Fakta dan imajinasi menjadi satu kesatuan utuh.

Cerita yang sesungguhnya dapat menukik dan meninggi, sayang, lebih banyak bermain pada pemilihan kata dan pemaparan. Cerita dijejali pemaparan panjang peristiwa, kurang dalam karakter dan pemadatan konflik. Sehingga sebuah cerpen sepertinya menjadi sebuah lukisan (lanskap). Sebagai contoh, kita petik dari ”Malam Kelabu”:

Matahari menghilang ke dalam bumi tiga jam yang lalu. Jembatan Bacan, kira-kira lima kilometer di selatan Soroyudan, mulai sepi. Hanya orang-orang yang mengenderai sepeda lewat di sana. Jembatan itu gelap sejak tiga jam yang lalu. Cuma kedua ujungnya yang diterangi cahaya listrik berkekuatan rendah, takkan lebih terang dari lampu teplok…

Penggambaran seperti ini banyak kita temui. Bahkan, sepertinya menjadi teknik kepengarangan Martin. Dalam menampilkan tokoh pun, Martin melakukan penggambaran yang sama atau hampir sama. Penggambaran tokoh lebih sering berpanjang mengenai latar belakang, bukan karakter — berkaitan dengan fisik dan psikologis.

Sehingga, tokoh-tokoh nyaris tak berkembang. Tidak ada lompatan-lompatan konflik, termasuk lompatan karakter. Juga, beberapa tokoh hampir mirip dengan tokoh yang lain. Misalnya, tokoh Kamaluddin Armada mirip Anwar Saeedy. Bahkan ada tiga cerpen dengan latar belakang tokoh yang sama, sebagai penjual bensin di pinggir jalan. Padahal, penggambaran tokoh yang ditampilkan Martin melalui dialog jauh lebih kuat. Selain lebih menarik, juga mampu meningkatkan konflik sekaligus merangsang imajinasi pembaca. Seperti dialog dalam ”Kalau Boleh Engkau Kusembah”, berikut:

”Apa…? Bagaimana sebagai seorang Muslim kau bisa berkata begitu. Tukang bersih itu pekerjaan orang
Yahudi ketika mereka diperbudak Fir’aun. Cleaner bukan pekerjaan Islam. Aku tak mau membiarkan diriku dihina. Tidak. Walau tak sedarah, kita dipersatukan kepercayaan. Aku tetap tak bisa menerima pekerjaan sebagai cleaner. Aku yakin kau bisa berbuat sesuatu. Kalau kau mau…” Bahar memalingkan mukanya. Dia letakkan arit di pahanya. Diraba-rabanya mata perkakas itu, sebagaimana biasa kalau dia sedang bertanya pada dirinya sendiri masihkah dia mampu menebas semak belukar setebal pinggang dengan sekali sabet.

”Ini keputusan New York,” sambut Omara cepat. Sikapnya tak berubah, bersahabat…

Seperti tak dapat dielak, penggambaran berpanjang ini membawa ekses banyaknya kalimat panjang. Meski tidak seekstrem Danarto, tetapi kalimat-kalimat pilihan Martin cukup membuat kita menarik napas panjang saat membaca. Gaya ini mengingatkan pada cerpen-cerpen Satyagraha Hoerip, Wildan Yatim, dan Arie MP Tamba yang juga kerap memilih kalimat-kalimat panjang dengan bentuk penggambaran. Seperti petikan ”Leontin Dewangga”, berikut:

Para interrogator yang memeriksanya melihat surat wasiat itu sebagai petunjuk bahwa tangkapan mereka:
seorang pemuda dengan tinggi sedang, rambut ikal dan dua bola mata yang agak menjorok ke dalam tengkorak
dengan tatapan yang tajam, bibir yang tipis serta hidung yang agak mancung, dan tanpa tedeng aling-aling
mengaku sebagai anggota oraganisasi film di bawah pengaruh kaum komunis itu, tidak perlu berlama-lama
disekap di dalam tahanan.
*

Sutardji Calzoum Bachri menilai, ada empat penyakit dalam cerpen Indonesia. Yaitu: abstraksi, kecenderungan ingin merangkum terlalu banyak ide, kurangnya disiplin menulis, dan kurangnya keterampilan dalam mempergunakan bahasa Indonesia. 4) Tentang abstraksi, bukan masalah bagi Martin. Sebab, semua ceritanya berangkat dari kehidupan sehari-hari, dengan gaya penceritaan sederhana, lugas dan menarik. Dari kesederhanaan itu pula cerita mengalir, dengan bahasa yang lancar dan cerdas. Apa yang ditulisnya adalah hal yang benar-benar ia pahami. Ia bukan menulis antah-berantah, yang di luar jangkauannya. Dalam cerpen-cerpennya tidak kita temukan istilah-istilah klise, sok keren, dan pakem-pakem daerah manapun — tidak terjebak dengan warna lokal yang getol dibawa pengarang lain. Bahasa Martin adalah bahasa terpilih, indah dan kuat — seperti berikut ini:

Agak ke belakang, mata saya tertumbuk pada patung yang bagaikan baru turun dari langit, dan dengan syahdu
menatap pohon-pohon yang berderai…(hlm. 59). Menyusuri jalan tol dengan matahari yang seperti gundu merah
raksasa menggelinding perlahan ke balik garis pertemuan antara kaki langit yang jingga dan horison
yang biru gelap, jauh di depan sana. (hlm. 88).

Permainan bahasa sarat menghiasi lembaran cerita. Bahkan, dalam beberapa bagian, kita temukan
kalimat-kalimat penting yang menjadi tanda-tanda (simbol atau perlambang) memperkuat cerita; misalnya:

Di bawahku air Kali Ciliwung tiada bergerak, seakan-akan mati membeku. Angin malam mati. (hlm.
104). Angin yang menjanjikan bertiup di depan hidungnya. (hlm. 153). Selembar daun kering
dihempaskan angin ke pintu toko itu. (hlm. 205).

Sayang, kekuatan ini terganggu dengan banyaknya cerpen diakhiri kesimpulan. Ending disimpulkan. Pesan sering ditampilkan di akhir cerita. Apakah ini disengaja pengarang sebagai gaya baru, atau (jangan-jangan) mengarahkan pembaca agar tidak timbul persepsi dan pengertian ganda? Padahal, salah satu kekuatan teks sastra adalah multitafsir.

Selain itu, masih terdapat unsur kebetulan. Bertemunya tokoh-tokoh terjadi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa proses, tanpa planting information. Seperti, bertemunya Kamaluddin Armada dengan Carik, bertemunya tokoh Pensiunan dengan anak muda. Meski unsur kebetulan bukan haram dalam sastra, tetapi sebaiknya kemunculan tokoh diberi informasi lebih dulu. Tidak perlu panjang, cukup informasi pendek atau selintas–misalnya lewat dialog.

Dari keseluruhan cerpen, ada dua cerpen yang kurang lancar. Yakni, ”Perempuan di Depan Kaca” kurang fokus, terutama terhadap tujuan. Tokoh aku lebih banyak memaparkan teman seprofesinya, padahal cerita diawali dengan kekhawatiran tokoh belum mendapat pasangan di usia merangkak senja. Lebih rancu lagi ”Jangan Kembali Lagi, Juli” selain kurang fokus, juga kurang kuat pada ide, penceritaan, dan tujuan. Cerita mengembara dengan melupakan tujuan awal. Semula (bermaksud) memaparkan konflik batin yang dihadapi pasutri baru di tengah kerasnya kota, tetapi seperempat jalan, cerita berubah menjadi kisah hubungan si tokoh dengan Juli, anjingnya.

Cerita melenceng begitu anjing dimunculkan. Padahal kehadiran anjing cuma sebagai teman tokoh mengisi kesepian di saat suaminya bekerja, bukan berkaitan dengan hidup mati. Melihat persoalan yang diangkat, meski tidak sama, cerpen ini mengingatkan saya dengan cerpen ”Nenek Anjing” karya Poniman (didikan Hudan Hidayat), yang semula mengisahkan konflik batin seorang nenek, tetapi baru seperempat, cerita berubah menjadi kesibukan mencari-cari anjing si nenek yang hilang.
*

Pada mulanya politik adalah abstrak. Tetapi setelah dibentuk menjadi pemerintahan atau negara dengan berbagai simbol, seperti presiden, raja, bendera, lambang negara, dan diakui rakyat, baru menjadi realitas. Demikian pula sastra, pada mulanya hanya imajinasi, tetapi setelah ditulis, berubah menjadi realitas.

Jadi, jika satu persoalan kekuasan dan politik diceritakan (teks sastra), di saat itu pula politik lebur dalam sastra–seperti tepung dalam adonan kue. Kita tidak dapat lagi menyebut politik bersastra atau sastra berpolitik. Sebaliknya, jika politik hanya ditampilkan dengan amarah, teriakan, omong besar (janji kosong)– seperti kerap dilakukan politikus–maka politik tetap abstrak.

Dan, karya Martin tidak seperti itu. Apa yang dicapai Martin sudah melalui tahapan besar.

Hal-hal yang dialaminya—kekekerasan dan siksaan—bukan menjadi amarah dan dendam, juga bukan menjadi ratapan yang mendorongnya bereaksi spontan: protes dengan spanduk, poster atau pamflet. Tetapi, semuanya dijadikan renungan. Perenungan inilah yang membentuk jarak antara pengarang dengan peristiwa. Seperti penegasan Sapardi Djoko Damono, harus ada jarak yang aman antara sastrawan dengan kejadian yang diceritakan. Jarak inilah yang memungkinkan lahirnya karya-karya bermutu. Sastra dan politik tidak dijadikan pengarang sebagai kendaraan.

Sebagai insan bersastra dan berpolitik, Martin telah mampu mengolahnya menjadi adonan yang enak dan perlu, dengan berjarak. Tak bisa dipungkiri, banyak pengarang yang berusaha mengangkat masalah politik, tetapi hanya sedikit yang berhasil melahirkan karya bernapas realisme yang kuat – antara lain, Umar Kayam, Kipanjikusmin, Gerson Poyk. Dari sedikit nama itu tercatat Martin Aleida. Dan, tentu, Martin tidak akan berhenti… .

*) Penulis adalah pekerja seni.

Berkesenian dari Pinggiran

Ilham khoiri, Dahono Fitrianto
http://cetak.kompas.com/

Geliat seni modern di Indramayu, Jawa Barat, mungkin bisa mewakili gambaran susahnya berkesenian dari daerah pinggiran. Para seniman di kawasan pantai utara Jawa ini gamang: belum kukuh mengolah kekuatan lokal, tetapi juga sulit mengikuti dinamika seni kontemporer. Bagaimana usaha mereka mencari jati diri?

Gerimis merintik di Kota Indramayu, Kamis (26/11) siang. Sejumlah seniman berkumpul di Panti Budaya, gedung pertemuan bersahaja yang disulap jadi ruang seni, sanggar tari, sekaligus markas Dewan Kesenian Indramayu (DKI). Beberapa orang sibuk berlatih menari, sebagian bermain musik, beberapa lagi asyik berbincang.

”Kami sering berkumpul di sini untuk sekadar ngobrol atau mengurus kegiatan seni,” kata Syayidin (43), pelukis sekaligus Ketua DKI. Dua pelukis muda lain, Abdul Gani alias Adung dan Abdul Aziz, ikut menemani.

Lulusan Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1992 itu bercerita, ada 15-an pelukis di situ yang aktif berkarya secara modern. Mereka pernah berpameran di beberapa gedung di daerah itu. Bagaimana karya mereka?

Syayidin banyak mengangkat figur manusia yang umumnya tengah memainkan alat musik. Lukisannya cenderung impresionis-ekspresif: disapukan cepat, hanya menonjolkan bagian tertentu, serta menonjolkan aspek gerak.

Beda lagi dengan lukisan Adung yang bergaya realisme fotografi. Obyek manusia digambar tunggal dan rinci dengan latar bidang diblok satu warna. Kadang, diimbuhi unsur topeng merah berwajah Klana, tokoh populer dalam tari topeng Indramayu.

Karya dua seniman ini tak jauh berbeda dari tren seni rupa di kota besar. Corak lukisan Syayidin mengingatkan pada sapuan SP Hidayat, pelukis asal Indramayu yang dianggap sukses dan rajin berpameran lewat Linda Gallery di Jakarta. Gaya Adung selaras dengan realisme-fotografis ala lukisan kontemporer China yang masih digemari di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

”Kami memang sering melihat-lihat katalog pameran di kota,” kata Syayidin yang pernah mencoba berkesenian di Jakarta, tetapi kemudian balik lagi ke Indramayu.

Mengkota

Hasrat mengacu pada seni kota (sebut saja mengkota) juga berlangsung di bidang seni modern lain, katakanlah sastra dan teater modern. Kegiatan sastra di Indramayu ditopang banyak penyair dan beberapa penulis cerpen muda. Mereka mendirikan Yayasan Sastra Indramayu dan Forum Masyarakat Indramayu, menggelar pentas baca puisi dalam kegiatan ”Panen Puisi” serta menerbitkan sejumlah buku antologi puisi, seperti Tanah Garam (1992) dan Percakapan Ombak (2002).

Beberapa penyair menerbitkan antologi sendiri. Penyair Yohanto A Nugraha menerbitkan Orasi Sunyi (2005), Supali Kasim dengan Bergegas ke Titik Nol (2007), dan Acep Syahril lewat Negri Yatim (2009). Mereka pernah mengundang sejumlah penyair nasional, seperti Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, Jamal D Rahman, dan Afrizal Malna.

Ketimbang terus berkubang dengan problem lokal, puisi mereka banyak membicarakan isu nasional, mulai dari soal Reformasi, ketimpangan kota dan desa, berbagai kisruh negeri, atau fenomena televisi. Bagaimana dengan gaya puisinya?

”Kami dekat dengan gaya puisi Afrizal Malna,” kata Yohanto alias Abuk. Gaya berpuisi Afrizal yang reflektif, visual, dan seakan tanpa beban narasi dianggap cocok dengan para penyair di situ.

Dalam berteater, Indramayu punya sejumlah kelompok teater modern, seumpama Basic/Coret, Studio 50, Merah-Putih, dan Gigin Lintang. Hanya saja, pertunjukan teater belum stabil karena masih bergantung pada kegiatan seremoni tahunan, seperti ulang tahun kabupaten atau tanggapan. Pentas terakhir, ”Monolog Tarling Jumiatin” oleh Studio 50, dianggap mencerminkan bentuk terbaru.

Naskah garapan Ucha M Sarna itu ditangani sutradara Candra N Pangeran, jebolan STSI Bandung. Lakon ini mengangkat kisah TKI yang bermasalah saat pulang kampung. ”Bentuknya seperti tarling yang diabsurdkan, agak dekat dengan gaya teater Payung Hitam Bandung,” kata Ucha.

Gamang

Pertumbuhan seni rupa, sastra, dan teater modern di Indramayu menggambarkan para seniman di daerah itu masih gamang. Pada satu sisi mereka berusaha menguntit dinamika seni kontemporer dengan mengadopsi tema urban beserta gaya kesenian di kota. Usaha itu belum melahirkan karya bernas yang mengukuhkan eksistensi mereka di pentas nasional.

”Kami masih kesulitan menembus kancah nasional,” kata Abdul Aziz, penyair dan pelukis kaligrafi.

Pada sisi lain, akibat usaha mengadopsi urbanisme itu mereka malah menjadi agak berjarak dari problem lokal dan akar tradisi. Lukisan seniman di sana, misalnya, tak lagi berangkat dari lukisan kaca tradisional atau lukisan dekorasi sandiwara, juga tak banyak merespons problem lokal. Sastra modern tak mengembangkan sastra tutur tradisi seperti Macapat alias Kepujanggan (syair yang ditembangkan). Begitu pula teaternya belum mengolah kekuatan sandiwara rakyat yang masih hidup sampai sekarang.

Sebenarnya para seniman di Indramayu menyadari, problem sosial di kawasan itu bisa jadi inspirasi berkarya. Kekuatan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terletak pada kemampuan mengangkat problem lokal di Banyumas. Di tangan Teater Garasi asal Yogyakarta, pergulatan hidup di jalanan pantura melahirkan lakon teater-tari Jejalan yang menarik.

”Masalahnya, kami masih kurang percaya diri, kurang total dalam mengeksplorasi kekuatan lokal dalam seni modern,” kata Ucha. Penggiat teater Suparto Agustinus menambahkan, dana kurang dan manajemen lemah juga turut mengganggu proses kreatif.

Meski begitu, para seniman itu bertekad bakal bekerja lebih keras demi menemukan jati diri. ”Kami tak akan pernah berhenti berkesenian,” kata Acep Syahril lantang.

Semangat semacam itu juga tersirat pada patung monumen perjuangan di belakang jalan Bundaran Mangga, salah satu persimpangan penting di Kota Indramayu. Patung buatan para seniman Indramayu dan Jakarta itu menampilkan sosok lelaki kekar mengacungkan galah panjang. Sayang, bentuk efek gerak pada patung itu juga tak lepas dari hasrat tampak mengkota: mirip gaya realisme patung karya Nyoman Nuarta di Bandung dan Jakarta.

Chairil Anwar dan Bahasa Baru dalam Sastra Indonesia

Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/

Sastra Indonesia ada zaman Jepang, seorang pemuda menulis sebuah sajak yang salah satu barisnya adalah “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Hanya beberapa tahun sesudah itu, yakni pada 1949, ia meninggal dunia pada usia menjelang 27 tahun. Tetapi sajak-sajaknya tetap hidup sampai hari ini dan mungkin sampai seribu tahun lagi. Pada tahun terakhir menjelang kematiannya, ia menulis “Hidup hanya menunda kekalahan…, sebelum pada akhirnya kita menyerah”.

Pada zaman Jepang itu pula ia berkenalan dengan H.B. Jassin, dan sejak saat itu mereka praktis tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa membayangkan Chairil Anwar tanpa H.B. Jassin, atau sebaliknya. Seandainya H.B. Jassin tidak ada, mungkin Chairil Anwar juga tidak pernah ada; seandainya Chairil Anwar tidak ada, mungkin H.B. Jassin tidak pernah akan menjadi “Paus” Sastra Indonesia. Dua orang itulah sebenarnya yang telah menjadikan sastra Indonesia seperti sekarang.

Zaman pemerintahan militer Jepang adalah zaman sensor karena pemerintah tidak mau kecolongan. Tetapi Jassin, yang dari awal tampaknya sudah terpesona oleh puisi Chairil Anwar, tidak kekurangan akal. Puisi Chairil tidak akan bisa disiarkan pada zaman itu karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Jassin pun menulis sebuah artikel di majalah Pandji Poestaka tentang sajak-sajak ekspresionistis, dan untuk artikel itu dilampirkannya—atau lebih tepat “diselundupkannya”—beberapa sajak Chairil Anwar.

Tahun-tahun sesudah kematiannya ditandai dengan penemuan beberapa pihak yang nengungkapkan bahwa sejumlah sajak Chairil Anwar merupakan curian, saduran, atau jiplakan puisi asing. Sajak Kepada Peminta-minta adalah kolase kutipan beberapa sajak asing; Cintaku Jauh di Pulau adalah saduran sajak penyair Spanyol, Federico Garcia Lorca; Kerawang Bekasi adalah saduran sajak Archibald McLeish; Datang Dara Hilang Dara, yang pernah diakuinya sebagai sajaknya sendiri, ternyata adalah terjemahan sebuah sajak Cina. Tetapi H.B. Jassin, dengan caranya sendiri, membelanya. Dan kita pun percaya kepada H.B. Jassin.

Percaya atau tak percaya pada alasan pembelaan H.B. Jassin, kita kemudian mengakui bahwa Chairil Anwar memang penyair, yakni orang yang urusannya adalah memperhatikan kata, yang memberi gaya baru kepada bahasa Indonesia—seperti yang pernah dikatakannya tentang Amir Hamzah. Ia adalah penyair, yakni orang yang gelisah karena mendapati sastra pada zamannya “tak lebih dari angin lalu saja, menyejukkan kening dan dahi pun tidak”. Ia tidak bisa belajar dari sastra di sekelilingnya. Rupanya, ia pun tidak bisa belajar dari Amir Hamzah karena, meskipun dipujinya, penyair-pangeran yang banyak belajar dari puisi Timur itu telah menciptakan puisi gelap karena mempergunakan banyak kosakata Melayu lama. Dan Chairil Anwar tidak hendak mengikuti jejaknya.

Ia mengarahkan pandangannya ke Barat; di sana ditemukannya Lorca, Du Perron, Marsman, Rilke, dan Eliot. Dalam sajak-sajak karya para penyair itulah ia menemukan apa yang dicarinya. Ia pun menerjemahkan, menyadur, dan mencurinya. Proses itulah ternyata yang telah memberinya jalan untuk menciptakan gaya baru pada bahasa Indonesia. Pengalaman dan emosi yang ada dalam sajak-sajak asing itu dipindahkan ke habitatnya yang baru, bahasa Indonesia. Untuk itu ia harus menciptakan bahasa “baru”, di samping berusaha menundukkan pengalaman dan emosi asing itu agar bisa hidup di lingkungan bahasanya yang baru. Dalam proses itu ia tidak perlu setia pada puisi aslinya dan juga tidak harus setia pada bahasa Indonesia yang diwarisinya dari penyair-penyair sebelumnya. Ia hanya setia pada usaha untuk mengungkapkan penghayatan baru dalam bahasa yang baru.

Sepanjang proses itu, diterjemahkannya sajak-sajak apa saja, baik yang tradisional maupun modern; baik yang terikat maupun bebas. Ia menerjemahkan sajak-sajak Du Perron dan Rilke yang merupakan bentuk tetap yang ketat, yakni kuatren dan soneta. Ia pun menerjemahkan sajak T.S. Eliot yang sangat bebas, yang merupakan biang modernisme Eropa. Ia sama sekali tidak peduli pada penggolongan sajak-sajak itu dalam bahasa aslinya. Yang penting, sajak-sajak itu telah memesonanya dan ia tak putus-putusnya belajar dengan menerjemahkannya dan menyadurnya—mengkhianatinya secara kreatif.

Chairil Anwar jelas memandang ke Barat; itulah perbedaannya yang hakiki dengan Amir Hamzah, “raja penyair” yang menerjemahkan dan mengumpulkan sajak-sajak dari Timur dalam bunga rampai Setanggi Timur. Ia sama sekali tidak berusaha mencari akar di negeri sendiri. Hanya satu atau dua sajaknya, seperti Cerita Buat Dien Tamaela, yang berusaha kembali pada semacam mantra, yang merujuk pada tradisi sendiri, dan itu pun bukan tradisi Melayu miliknya. Puisinya umumnya disangkutkan ke mitologi Barat: Eros, Ahasveros, Romeo, dan Juliet.

Dan jika dalam awal perkembangan ia membebaskan dirinya dengan menulis puisi bebas sebebas-bebasnya, seperti “1943″, dalam perkembangan selanjutnya ia ternyata berusaha menguji bahasa barunya dengan menulis bentuk-bentuk tetap yang ketat. Kepada Pelukis Affandi, Kabar dari Laut, dan Tuti Artic, misalnya, adalah soneta yang patuh terhadap aturan rima. Sementara itu, sajak-sajaknya yang paling kuat seperti Senja di Pelabuhan Kecil, Yang Terampas dan yang Luput, dan Derai-Derai Cemara disusun dalam kuatren yang ketat, yang setia pada rima a-a-b-b dan a-b-a-b. Ia tampaknya berpandangan bahwa keterampilannya menciptakan bahasa baru itu harus diuji dengan menyusun bentuk-bentuk tetap.

Dan ia berhasil. Sementara bahasa puisi penyair-penyair lain yang menulis sezaman dengannya, dan bahkan jauh sesudahnya, segera menjadi sejarah, bahasa puisi Chairil Anwar tetap menjadi masa depan bagi penyair Indonesia. Dan jasa seorang penyair terhadap bangsanya “hanyalah” berupa sumbangannya terhadap perkembangan bahasanya. Gagasan besar, pandangan hidup yang muluk-muluk, dan pikiran yang berlian dapat dikembangkan oleh siapa pun, tetapi penciptaan bahasa yang baru, yang mampu menampung emosi dan penghayatan hidup yang baru pula, adalah tugas penyair.

Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media

Vino Warsono*
http://edukasi.kompasiana.com/

Hari ini merupakan hari pertama bagi para pelajar kita memasuki tahun ajaran baru sekolah, yang mungkin sebelumnya sudah jauh-jauh hari dinanti-nanti oleh para calon siswa baru itu sendiri. Mereka yang sebelumnya belum berseragam akan mengenakan seragam baru SD yang putih merah, yang sebelumnya berseragam merah putih akan mengenakan seragam baru SMP putih biru, dan yang sebelumnya berseragam putih biru berganti dengan seragam SMA putih abu-abu. Inilah tahun ajaran baru sekolah yang penuh dengan pengharapan akan majunya intelegensi siswa sampai pada tingkat dan jenjang yang optimal yang dikemudian hari bisa menciptakan prestasi luar biasa dan tentunya membanggakan bumi pertiwi Indonesia.

Menyoroti maraknya kehidupan di berbagai bidang pendidikan dan media yang terus-menerus saling bersaing, saling tindih-menindih, saling apit-mengapit dan apapun itu juga namanya, kita tidak hanya bisa diam terlongo pada tingkah laku berbagai komunitas itu, sehingga dengan aktif turut andil tentunya kita bisa melahirkan karya yang berdaya guna, intinya mari kita memperbaiki karya yang usang, dan yang berkadaluarsa.

Sekedar untuk menyimak arus karya-karya yang sudah terlahir dari dunia pendidakan dan yang ada di berbagai media, khususnya tentang perkembangan sastra, maka kembali sebisa mungkin kita merunut ke landasan awal, yaitu seberapa besar dunia pendidikan sudah memberikan konstribusi dan apresiasinya terhadap karya sastra.

Dari sekian banyak hal ikhwal kerancuan dan pergolakan dalam dunia sastra, media pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan ditilik keberadaannya. Karena bukan tidak mungkin dari permasalahan ini akan berimplikasi kepada hasil karya lainnya. Keterkucilan bidang sastra, sekaratnya pasar dan lesunya penjualan buku sastra, dan keengganan para siswa membaca buku-buku sastra, minimnya kuantitas dan kualitas koreksi terhadap hasil karya sastra, juga diperlengkap dengan sedikitnya media sastra, sebagai contoh, adalah gambaran di mana kurang suksesnya dan optimalnya pembelajaran pada bidang sastra, entah, mungkin di sekolah menengah (SMP atau SMU) atau mungkin justru di jurusan sastra (pendidikan maupun non pendidikan) di perguruan tinggi. Sebab jika pembelajaran sastra berhasil, maka kita boleh berharap banyak problematika-problematika itu akan larut, surut, sehingga akhirnya terkikis habis.

Dalam hal ini sebenarnya saya tidak bermaksud langsung mendikte dunia pendidikan atau menafsirkan suatu diagnosa, kemudian menghamparkan berbagai tips dan terapi perbaikan dalam menggarap sebuah pembelajaran sastra. Akan tetapi saya hanya akan mencoba memfokuskan pada permasalahannya saja guna menyoroti kondisi riil yang sedang berlangsung di sekolah atau di kampus yang menyelenggarakan program studi—pendidikan—bahasa dan sastra yang berada di berbagai kota besar Indonesia ini. Kita bisa dan perlu berasumsi bahwa berbagai perguruan tinggi yang mengadakan jurusan bahasa dan sastra Indonesia, merupakan lembaga yang sebagian besar adalah penghasil guru sastra Indonesia di kebanyakan di sekolah menengah (SMP atau SMU) baik yang berembel-embel negeri maupun milik “pengusaha”.

Dengan memandang konsep kehidupan sastra secara lebih luas, kita dapat menggelontorkan komentar sejauh mana peranan perguruan tinggi—dalam hal ini khusunya kampus yang menyediakan jurusan bahasa dan sastra—berapresiasi mengembangkan serta memasyarakatkan gaya sastra Indonesia kepada khalayak umum. Dari sini kita tentunya mampu menimbang lebih khusus lagi pertumbuhan karya sastra, minat, kajian juga kritik sastra terhadap hasil karya sastra itu sendiri.

Apabila kita tidak bisa mengimplementasikan gagasan sastra tersebutdengan tepat, untuk kemudian didiskusikan di forum yang paling kecil terlebih dahulu, mungkin salah satunya ialah sekolah, jadilah permasalahan sastra ini layaknya benang kusut, begitu benang yang satu teruraikan, benang yang lain menyelinap membelit lagi, dan sepertinya akan terus-menerus begitu, kecuali kita berkonsisten melakukan perbaikan secara menyeluruh yang melibatkan berbagia pihak. Tampaknya dunia pendidikan dewasa ini membutuhkan banyak keterlibatan para sastrawan yang sudah lebur ke dalam dunia kesusastraan Indonesia dan media-media—majalah—sastra.

Saya yakin kita akan bersepakat, ataupun kalau ada yang berselisih pendapat itu adalah suatu keniscayaan yang tetap harus dihargai keberadaannya, pemanfaatan sastra Indonesia bisa kita mulai dari dunia pendidikan, dengan menanamkan minat baca yang tinggi dan menciptakan kesan positif terhadap apresiasi sastra.

Salah satu yang lain yaitu memaksimalkan tatap muka pelajaran di sekolah atau mata kuliah sastra dalam perkuliahan, karena untuk menambah jam pertemuan mata pelajaran sastra di sekolah menengah dengan sistem kurikulum berbasis kompetisi (KBK) yang digulirkan diknas sekarang ini cukup sulit. Kenapa?…karena agaknya dalam kurikulum yang baru ini (KBK) sebagai pengganti suplemen GBPP 1994, porsi materi sastra belum beranjak jauh dari angka 19%, ekstremnya kurikulum di sekolah dan kampus menganaktirikan sastra.

Merujuk ke perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia, memang ada perubahan kurikulum. Mata kuliah sastra sekarang mencapai 22 sks, bahasa 41 sks, namun kurangnya guru dan dosen yang berwibawa di sekolah menengah dan di kampus yang memiliki jurusan bahasa dan sastra semakin nyata dengan minimnya tulisan-tulisan seperti kritik apresiasi, kritik jurnalistik, dan kritik yudisial yang ditulis sendiri oleh para lulusan sarjana sastra dan dimuat di Koran-koran, majalah-majalah sastra, jurnal-jurnal seni budaya dan media umum lainnya.

Hanya saja kita boleh menggumamkan secuil kebanggaan bagi dunia pendidikan sastra Indonesia, karena terapat dosen semisal Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma, juga Moh. Wan Anwar yang pernah memimpin jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia pada Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta) Banten—sekedar menyebutkan beberpa nama diantaranya.

Indonesia pasti akan kebanjiran karya-karya sastra yang berkualitas, dan ini bisa jadi daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya guna membangun dunia sastra yang berkompeten, melalui Koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya yang mengedepankan karya sastra sebagai topik pembahasan utamanya. Tentu jika saja sekolah menengah dan perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa dan sastra Indonesia, berkenan merekrut guru dan dosen bahasa dan sastra dari kalangan sastrawan yang sudah cebur-lebur di jalan raya—media atau dunia—sastra kita.

Jadi persoalannya kini mengerucut pada pertanyaan ; sekolah menengah umum—SMP atau SMU—dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia mana yang hendak menarik dan merekrut sastrawan sebagai guru atau dosen?…dan media apa yang mau berkibar dengan topik bahasan utama sastra?…ENTAH…

*) Kelahiran 30 Juni/5 Sya’ban 1399 di Kaplongan Lor, Karangampel, Indramayu. Pernah berkuliah di Sospol UNDIP Semarang dan kuliah Bisnis di UNTAG Cirebon. Pernah bergabung dalam partai PPP & PAN. Pernah memimpin beberapa Ormas (Islam & Umum). Pernah aktif menulis Sastra untuk Majalah Muslimah, Mitra Dialog Cirebon-Pikiran Rakyat Group, dan Cirebon FM (2001-2004). Pernah bekerja sebagai Waiter, Pramuniaga, dan menjadi seorang Manager di sebuah Perusahaan Retail Swasta Nasional. Sekarang sedang membangun sebuah usaha dalam bidang Olahraga (Vino Sportainment Store) sebagai seorang Entrepren…

Ziarah ke Setapak Jalan Kepenyairan

Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001
Arif B. Prasetyo
http://majalah.tempointeraktif.com/

Karya : Goenawan Mohamad Penerbit :Metafor Publishing, 2001
Seperti dalam film lama kota pun terbelah besi trem terendam dalam kabut (Seperti dalam Film Lama, 2000) Goenawan Mohamad, penyair unggul yang masih terus menulis puisi itu, tahun ini mengetengahkan buku puisi terbaru yang berisi semua karyanya dari rentang penciptaan paling awal hingga terkini.

Dalam buku ini, puisi yang benar-benar baru sesungguhnya hanya berjumlah 12 judul, ditulis pada tahun 2000-2001. Sisanya, hampir 90 persen, adalah puisi-puisi yang sudah muncul dalam kumpulan terdahulu, Asmaradana (1992) dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998)-keduanya masih cukup mudah didapati di toko buku.

Sebagian kecil puisi berasal dari kumpulan lebih tua, Pariksit (1971) dan Interlude (1973), yang sudah lenyap dari pasaran. Dan sejumlah amat kecil berupa karya-karya yang, dengan berbagai pertimbangan, oleh penyairnya di masa silam tidak pernah diloloskan masuk bukunya.

Momen penerbitan buku puisi lengkap ini bersamaan dengan 60 tahun usia penyairnya. Dalam momen yang sama pula, terbit buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (TEMPO, 2001)-sehimpun karya yang juga sudah pernah dipublikasikan di sana-sini.

Mungkin bukan kebetulan jika, bersama momen semacam ini, buku puisi terbaru Goenawan menyingkapkan paradoksnya sendiri: seraya menyajikan puisi, ia menggeser pusat pemaknaan dari puisi. Pergeseran itu terbaca pada pesan penerbit di sampul belakang buku: “Inilah buku pertama yang merupakan himpunan lengkap puisi-puisi dari rentang waktu lima windu karir seorang penyair Indonesia.

Menghimpun seluruh puisi yang ditulis Goenawan Mohamad, sang penyair, esais dan wartawan, selama 40 tahun proses kepenyairannya.” Cukup jelas, tekanan memang terasa lebih memberat pada “karir seorang penyair Indonesia” dan “proses kepenyairannya”. Yang dipersembahkan buku ini pada dasarnya adalah teks kepenyairan pengarangnya-bukan “sekadar” teks puisi.

Esai pengiring dari Sapardi Djoko Damono, kolega Goenawan sesama penyair, berjudul Mencoba Menghayati Si Malin Kundang, terasa semakin mempertegas ruang pemaknaan puisi dari sudut biografi kepengarangan penyairnya.

Sebuah posisi yang seakan menggemakan kepercayaan Octavio Paz, pemenang Nobel Sastra 1990, bahwa “penyair dan kata-katanya adalah satu”. Dalam konteks Indonesia, posisi ini sekaligus mengisyaratkan bahwa kepenyairan hingga kini masih lebih penting dibanding syair, ketika sejarah sastra nasional masih terus hanya ditulis berdasarkan nama-nama sastrawan dan peristiwa di seputarnya.

Lantas, apakah yang khas pada jalan kepenyairan Goenawan? Buku ini menampakkan bahwa Goenawan, sebagai seorang penyair papan atas Indonesia, ternyata tak terlalu produktif menghasilkan puisi. Jumlah 132 puisi yang meliputi lima windu proses kepenyairannya, berarti setiap tahun puisi yang lahir tak sampai empat buah. Namun, yang luar biasa, jumlah puisi yang tak seberapa itu secara relatif diimbangi dengan ketekunan menuliskan pemikiran tentang puisi.

Di antara para penyair terkemuka nasional lainnya, hampir pasti Goenawan paling rajin dan konsisten menulis esai-esai tentang puisi yang layak dikenang berkat mutunya, sejak awal kepenyairannya sampai masa yang jauh belakangan.

Pada Goenawan, kepenyairan sebagai sebentuk aktivitas verbal memang seakan menggigil dengan gigih di tepi hamparan berbagai aktivitas lain. Goenawan adalah penyair, tapi khalayak luas pasti lebih mudah membayangkan sosoknya sebagai tokoh jurnalis, industrialis pers, intelektual publik, aktivis prodemokrasi, deklarator partai politik, atau yang lain.

Sebagian besar dari kegiatan itu bersentuhan langsung dengan arus peristiwa aktual dan seakan menempatkan Goenawan di latar depan pentas sejarah dengan kerumun dan kampiunnya, gelinjang dan gejolaknya.

Puisi-puisi Goenawan muncul dengan membentangkan sehampar jarak terhadap sejarah, tapi tanpa menafikannya. Realitas historis tetap diakui, tetapi seraya dijaga ketat agar tidak menenggelamkan autentisitas manusia.

Menulis puisi, dalam tradisi kepenyairan Goenawan, seolah tindak penebusan yang membebaskan manusia dari gerak roda sejarah yang ingar-bingar dan cenderung menderetkan eksemplar-eksemplar.

Berpuisi adalah berjuang menyelamatkan sekeping wajah manusia-autentik tatkala disadari bahwa “Hidup hanya sehimpun headline” (Bintang Kemukus, 1970) dan “Ingatan hanya akan membentuk sebuah kontinu-itas yang asing dan merisaukan, ketika hidup berpindah-pindah dalam berjuta-juta lempeng yang patah” (K.T.P, 2000).

Dengan menampik tirani sejarah dan kebanalan realitas, puisi-puisi Goenawan jadi cenderung berwatak “hermetik”, terselubung, dengan visi yang seakan digelayuti mendung. Auranya sering bergelimang suasana mirip perkabungan-bahkan saat berbicara tentang gelegak erotika, misalnya.

Berbagai ihwal dan peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan nyata, dalam puisi-puisi Goenawan, diaransemen sedemikian rupa hingga terkesan tidak natural, asing, enigmatik-menjelma jadi kehadiran puitik yang kadang terasa sulit dipahami.

Memang, Goenawan sendiri kerap menyatakan, baik tersurat maupun tersirat, bahwa puisinya bukan ditulis untuk melayani pemahaman, pengertian, atau “pengetahuan”. Puisinya hanya membujuk pembaca agar hanyut menikmati petualangan puitik penyair, tanpa pretensi menguasai arti.

Sebab, bagi Goenawan, “Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa,” dan berpuisi hanyalah “mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia” (Pada Sebuah Pantai: Interlude, 1973).

Makna puisi-puisi Goenawan tidak terletak di seberang kata puisi, tapi berlangsung di dalamnya. Dalam gairah pemaknaan semacam ini pula Goenawan cenderung menulis puisi yang amat sadar-bunyi, kadang bahkan berkualitas musikal-meski ia bukanlah tipe penyair yang piawai melantunkan puisi di atas panggung.

Namun, betapapun, pembaca yang serius akan tetap tergoda untuk meraih secercah “maksud” di seberang kata-kata puisi Goenawan. Bagaimana mungkin pemikiran pembaca bisa tenteram jika puisi-puisi itu sering kali menghadirkan pokok yang punya “kuasa” tertentu di benak khalayak: Asmaradana, Gatoloco, Sinterklas, Yap Thiam Hien, Frida Kahlo, Aung San Suu Kyi, Internasionale, Pemilihan Umum, Oedipus, Minotaur, Winnetou, Nuh, Berlin, Hiroshima, Yerusalem, Sarajevo, serta masih banyak lagi.

Tapi, lewat puisi, Goenawan mengubah perbendaharaan umum itu jadi privat, justru untuk meng-”umum”-kan khazanah pribadinya sendiri. Sebuah paradoks? Barangkali kepenyairan memang ditakdirkan untuk hidup di jantung paradoks, kontradiksi, dan ironi.

Dalam esai pengiring kumpulan puisi lengkap ini, Sapardi Djoko Damono-lewat pembacaan atas esai terkenal Goenawan, Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang-mengungkapkan berbagai paradoks dan kerumitan yang dihadapi Goenawan dalam merumuskan jalan kepenyairannya.

Bukan hanya esai itu, sebetulnya. Semua esai Goenawan tentang puisi pada dasarnya dapat dibaca sebagai upaya keras-kepala untuk memahami (dan membela) posisi puisi yang tampak absurd-baik di hadapan latar personalnya sebagai penyair maupun di tengah zaman yang kian menempatkan “nilai-guna”, bahkan “nilai-tukar”, di atas segalanya.

Goenawan tahu puisinya adalah seonggok keganjilan. Tidak berguna, tak selaras dengan dunia yang kian pragmatis, tidak likuid sebagai ajang pertukaran komoditi. Tapi Goenawan toh tetap setia kepadanya. Bila kata-kata ibarat cahaya, pancaran sinar terangnya akan menerpa tubuh penyair dan menghasilkan bayang-bayang berupa puisi yang menghantui ke mana pun penyair pergi.

Puisi lahir, karena memang tak dapat ditolak oleh penyair. Di titik ini pula, sebuah buku puisi lengkap menganugerahkan secercah “hadiah”. Pembaca yang cermat dapat menikmati pergulatan Goenawan dengan kata-kata puisi, yang sulit terlihat dalam kumpulan puisi pilihan.

Ungkapan puitik “malam yang mengigau dengan gerimis tak kelihatan” pada puisi Saya Cemaskan Sepotong Lumpur (1978) kembali muncul pada puisi Di Serambi (1979) dan Di Tengah Rumah (sekitar 1986)-dengan sedikit perubahan redaksional. Dua puisi terakhir yang berjarak tahun penciptaan cukup jauh itu juga mengandung frase yang sama, yakni “hutan hendam-karam”. Kenapa bisa terjadi? Tentu karena puisi adalah misteri. Dalam puisi selalu “ada sesuatu yang tak perlu terjangkau, juga oleh aku dan engkau” (Di Nara, 2001).

Dengan cara yang ganjil dan irasional, kata-kata puisi memang bisa muncul dan bergaung di sepanjang jalan kepenyairan seseorang, entah untuk apa. Di antara banyak kemungkinan tafsir, barangkali adalah puisi itu sendiri yang ditunjuk Goenawan saat mengatakan bahwa “ada sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang” (Seperti Sebuah Negeri, 2001).

Masih tersisa “hadiah” lain di buku ini. Khalayak sastra mengenal Goenawan sebagai penyair murung yang berkutat dengan lirik-lirik personal dan simbolik, sang konseptor pasemon dan “puisi suasana” yang khidmat, juga penanda tangan Manifes Kebudayaan yang menolak doktrin realisme-sosialis ala rezim revolusioner Demokrasi Terpimpin di awal 1960-an.

Namun, ternyata, Goenawan pernah menulis puisi bernuansa “sosialis” yang sarat simpati terhadap penderitaan rakyat (Surat-Surat tentang Lapar, 1961). Bahkan ia sempat pula mengguriskan baris-baris puisi bernada “progresif-revolusioner” yang menggelora, berjudul Batasan (1963): Revolusi adalah getar-getar peluh dan nadi Membatas lapar kelam hari-hari Revolusi adalah kembang kristal air hujan Di jam kemarau yang kita habiskan Revolusi adalah bintang-bintang putih yang abadi Di langit dunia, riwayat anak-anak manusia

Arif B. Prasetyo, penyair

Membaca Catatan Aktivis; Membaca Sastra Perlawanan*

Denny Mizhar**
http://sastra-indonesia.com/

“Hanya ada satu kata: Lawan!”

Penggalan Sajak di atas mengingatkan saya pada sosok Wiji Thukul, seniman progresif yang hingga kini masih menjadi misteri di mana keberadaanya. Sajaknya yang berjudul “Tentang Gerakan” tersebut melegenda. Tidak hanya Thukul tapi ada 12 orang lainya yang hilang yakni Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, DediHamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Ucok MunandarSiahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nase (3 Desember 2008, Direktorat Informasi Dan Media). Tetapi di kalangan seniman atau sastrawan yang terkenal adalah Wiji Thukul karena telah banyak menciptakan puisi-puisi perlawanan. Inspirasi yang didapat dari pembacaan realitas di sekitarnya juga kondisi politik pada zamannya. Sikap kritis dan keikutsertaan pada organisasi yang menentang pemeritahan pada zaman orde baru membuat mereka hidup tidak nyaman, dikejar-kejar, disiksa hingga dihilangkan dengan paksa.

Persoalan penghilangan orang masih menjadi PR bagi bangsa Indonesia, sebab hingga kini kasus HAM, penghilangan orang masih belum menemui jawabannya, siapa dalang dan pelaku di balik penghilangan paksa tersebut. Bahkan seakan-akan dibiarkan mengambang. Dapat diamati pada kasus Munir aktivis HAM dari Kota Batu.

Berdekatan dengan Kota Munir. Tepat pada tanggal 24 September 1973 di Malang, Petrus Bima Anugrah lahir dari pasangan Misiati dan Dionyus Utomo Rahardjo. Bimped pangilan yang diberikannya oleh teman-temannya, memang tidak seterkenal Whiji Thukul dalam dunia sastra Indonesia. Tetapi jika kita melihat kehidupanya yang tak tampak teryata banyak juga tulisan-tulisannya yang “nyastra”. Bahkan sejak SMA Bimpet sudah menulis keresahan dan pandangan hidupnya. Hal tersebut terdapat pada kaos olaraga yang awalnya sama keluarganya dijadikan kain pembersih motor ternyata terdapat kata-kata yang puitis.

“Bapakku bilang jadilah anak baik, ibuku bilang jadilah anak saleh, kakakku bilang, lindungi teman-temanmu. Mungkin aku adalah satu di antara seribu anak negeri yang disusui oleh caci maki. Dibesarkan dalam kandang sapi, diasuh oleh mantri. Karena aku anak-anak zaman, zaman di mana hati nurani hanyalah robot tanpa gigi” (Dokumentasi Keluarga Bima)

Tulisan Bimpet tersebut adalah “nyastra”: ada diksi, metafora, dan nilai kemanusiaan atau upaya kritik terhadap kemanusiaan. Sastra mensyaratkan persoalan kehidupan kemanusiaan. Hal tersebut telah dilakukan oleh Bimped ketika masih duduk di SMA. Tentu tidak hanya di kaos olahraga yang berwarna biru itu saja tulisan-tulisannya dapat di lacak. Munkin saja dibuku-buku pelajan atau media-media lainya. Bimped juga menulis surat pada Ibunya semasa kepindahannya di Jakarta.

“Meskipun Bima enggak menjelaskan pun, ibu sudah tahu kalau Bima memang sayang sama ibu. Tidak biasa bagi adat Jawa kita mengungkapkan perasaan sayang itu kepada seseorang, lebih-lebih orang tuanya. Bagi adat Jawa, terbatas sekali. Rasa pekewuh, takut salah, lebih mendominasi ekspresi anak……Ada saatnya yang tepat untuk mengungkapkan perasaan sayang kepada seorang ibu. Mungkin, saat-saat seperti ini yang cocok bagi Bima untuk bilang sayang sama ibu. Hingga suatu saat yang lain pun demikian keadaanya.” (Dokumentasi Keluarga Bima)

Penggalan surat tersebut, memberi gambaran akan kritik terhadap budaya feodal. Tradisi yang harus selalu tunduk pada orang tua, atasan, pimpinan dan tidak boleh membantah walaupun orang tua , atasan, pimpinan tersebut salah. Hal tersebut pada zaman orde baru sangat lumrah dilakukan oleh para orang tua, atasan atau pimpinan. Sehingga ada jarak, hingga membuat daya kritis melemah. Kalaupun berani melawan, pasti dapat teguran atau peringatan bahwa apa yang dilakukannya adalah salah dan tidak etis. Tetapi Bimpet mengutarakan pada Ibunya lewat surat tersebut, keinginannya adalah mendekatkan jarak antara anak dan Ibu.

Kekritisan Bimped dan untuk menjalani hidup tidak biasapun diutarakan pada Ibunya. Bahwa Ia tidak ingin menjalani hidup yang linier: lahir, hidup dan mati. Bimped ingin hidupnya memiliki makna. Hal tersebut yang menjadikannya tidak seperti mahasiswa kebanyakan. Hanya kuliah dan pulang ke kost, tetapi Bimped ingin melakukan hal-hal yang penting. Diantaranya keaktifan pada oragnisasi SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi) dan PRD (Partai Rakyat Demokatik). Kesadaran Bimped untuk memperjuangkan demokarasi menyala-nyala di tengah-tengah bungkaman orde baru yang diktaktor yang akhirnya tumbang juga dengan menyisakan luka hingga kini belum sembuh.

Gambaran hidup yang akan ditempuh oleh Bimped dapat dilihat dalam penggalan surat berikut: “Bima enggak pengen jadi seperti kucing. Kucing itu dari lahir, bayi masih nyusu, belajar jalan, belajar cari makan, kemudian besar, kawin dan sesudah itu mati. Begitu terus. Manusia kan enggak cukup lahir, besar, kawin, dan mati begitu saja. Bima pengin lebih dari itu. Kebanyakan seorang anak diharapkan semenjak lahir, disusui, disekolahkan, kalo lulus diharapakan dapat kerja, hidup mapan, jadi orang baik-baik, kawin dan mati. Kalo hanya seperti itu saja, banyak contohnya. Dan itu sah-sah saja. Persoalannya, bagi Bima enggak cukup disitu saja persoalan hidup ini. Banyak yang jauh lebih penting,…” (Dokumnetsi Keluaga Bima)

Kebermaknaan untuk orang banyak, itulah yang dianggap Bimped banyak hal yang jauh lebih penting. Bimped tengah mengutarakan pada Ibunya “Bima pengen masa muda Bima betul-betul bermakna.” (Dokumentasi Keluaga Bima).

Bimped juga tidak hanya kritis, tetapi relegius. Kerelegiusannya dapat kita simak pada surat balasan yang ditujukan pada sobatnya yang ditulis ketika didalam penjara. Bimped mengingatkan pada kawannya bahwa kitab sucinya harus terus dibaca. Tentu Injil kitab sucinya karena agamanya adalah Kristen Katolik. “…Oh ya sobat ku, dari surat kau (yang panjang lebar itu) kemarin, ada satu hal yang cukup mengusik ketenangan dan mebuat aku merenung kembali (tentunya sebelum ketangkap) kata-kata kau dalam surat itu bikin aku selama 2 minggu cari refrensinya, ke sana ke mari cari-cari buku, baca dan berdiskusi dengan kawan-kawan dan masih juga belum ketemu, tapi suatu hari ketemu juga. Dimana? Di Injil sobatku, yang selama ini sering kita tinggalkan. Benar adanya, yang kamu tulis itu, sobatku. Bahwa kita melakukan tugas masing-masing karena kita MENCINTAI HIDUP!…” (AMIGOZ, Edisi 12/ Tahun IV/ September 1998). Kereligiusannya tampak juga pada puisi-puisi yang mengandung niali teologi pembebasan: Engkaulah Allah yang memihak orang melarat/ bukan pada orang yang gila harta Engkaulah Allah yang berdiri pada di sisi orang yang tertindas/ bukan pada orang yang gila kuasa/ Engkaulah Allah yang berbelas kasih pada orang yang hina/bukan pada orang yang gila hormat (Bapa Kami Yang Ada di Surga).

Pada peringatan kelahiran Bimped semoga menjadi momen mengenang pemuda-pemuda yang idealis dan semangat perlawanannya tak pernah padam hingga membawa perubahan pada bangsa. Maka patut kita kenang dalam sejarah bangsa Indonesia bukan malahan dihapus. Tidak hanya gerakan dan perlawanan patut dikenang. Tetapi cacatan-catatannya perlu dikaji kembali sebagai upaya pembacaan sastra perlawanan, sastra yang memihak, atau sastra pembebasan yang selalu memberikan inspirasi dan memberi daya dorong untuk bersikap kritis serta mengungkap realiatas yang tidak berpihak pada kemanusiaan. Semoga Bimped dan juga kawan-kawannya tenang dan bahagia di manapun berada, kasih Tuhan bersamanya.

*Tulisan ini di buat saat menjelang acara pelangi sastra malang [on stage] #4 dalam rangka memperingati ulang tahun Bimped.

**Pegiat Pelangi Sastra Malang
Malang, 24 September 2010

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan

Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Judul asli tulisan ini adalah Sastra dan Peningkatan Kualitas Kecendekiaan, sebuah judul yang mengandaikan bahwa sastra dapat menjadi sumber nilai, sumber inspirasi, dan sumber pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya. Itu adalah pengandaian yang berpijak pada pendekatan yang pragmatik tentang sastra, bahwa karya sastra ditulis bukan hanya untuk tujuan literer (estetik) tapi juga tujuan yang bersifat pragmatik atau non-literer.

Kalangan pragmatik yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya berkeyanikan bahwa karya sastra dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan mereka..

Lebih dari itu, kalangan pragmatik bahkan meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial bukannya tidak mungkin akan dapat digerakkan..

Dalam pemahaman seperti itu, intelektual sosialis seperti Arief Budiman dan Ariel Heryanto (misalnya melalui buku Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985), meyakini pentingnya sastra terlibat (sastra kontekstual) sebagai wujud kepedulian sastrawan pada persoalan-persoalan sosial-politik di sekitarnya, dan agar kesastraan tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri..

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan (meminjam istilah Umar Kayam), tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif..

Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq Ismail tak henti-hentinya menganjurkan agar masyarakat terpelajar banyak membaca karya sastra, setidaknya sejak mereka di bangku SLTA. Karena itu pula, Taufiq mendorong agar sistem pengajaran sastra di sekolah diubah, supaya siswa lebih banyak membaca karya sastra. Tidak seperti sekarang, yang menurutnya, ”pengajaran sastra dengan nol buku.”.

Keyakinan atas fungsi sastra seperti itu pula yang mendorong Taufiq, belakangan ini, banyak menulis ‘sajak pencerahan’. Misalnya, sajak-sajak tentang bahaya rokok dan narkoba, seperti dibacakannya pada peringatan Hari Anti Narkoba Internasional di plasa Gedung Pemuda, Senayan, Jakarta, pada 24 Juni 2006, yang diadakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Kutipan sajak Tuhan Sembilan Senti berikut ini menegaskan keyakin. an Taufiq terhadap manfaat sastra sebagai media pencerahan:

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir. Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan? Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaiith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok. Jadi, ini PR untuk para ulama. Tapi, jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya dimakruh-makruhkan saja. Jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruang ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai batuk-batuk….

Meyakini kebermaknaan dan peran sastra dalam proses perubahan sosial sebenarnya tidak terlalu berlebihan, meskipun tidak semua sastrawan mempercayainya (Sapardi Djoko Damono, misalnya, menganggap karya sastra hanyalah ‘lebah tanpa sengat’). Apalagi, sekadar meyakini manfaat sastra untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya, tidaklah terlalu naif.

Jika keyakinan non-literer tersebut dirujukkan kepada pemikiran MH Abrams (dalam A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), pandangan pragmatik itu sesuai dengan ‘orientasi kedua’ yang memandang karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.

Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel Max Havelar karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.

Orientasi kedua itu pula sebenarnya yang menjadi tujuan penciptaan karya sastra di kalangan kaum sosialis dengan konsep realisme sosialnya. Tetapi kemudian, pada perkembangannya yang ekstrem, seperti tampak pada para sastrawan Lekra, sastra hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan ideologi, politik, dan kekuasaan. Ini memang ‘jebakan’ yang paling berbahaya dari orientasi yang terlampau pragmatis. Pencapaian prestasi estetik tidak lagi menjadi tujuan, sebab sastra sekadar sebagai alat politik, dan politik itulah sang panglima yang harus diabdi oleh sastra untuk tujuan kekuasaan.

Tanpa bermaksud mensejajarkan agama dengan ideologi kaum Marxis, penciptaan karya sastra untuk tujuan dakwah — seperti dipraktekkan oleh para penulis Forum Lingkar Pena (FLP) dengan gerakan yang sering disebut sebagai ‘gerakan fiksi Islami’ — sebenarnya juga berada pada jalur orientasi yang pragmatis tersebut. Indikasi yang ekstrem dari ‘gerakan fiksi Islami’ adalah cenderung dikesampingkannya tujuan dan prestasi estetik, dengan sikap yang sangat ‘hitam-putih’ dalam mendekati persoalan-persoalan kehidupan yang diangkat ke dalam karya. Nilai-nilai agama diformulasikan secara sangat formalistik dan tujuan-tujuan non-literer (dakwah) cenderung ditempatkan sebagai yang utama.

Orientasi yang terlampau pragmatis, baik dalam konteks sastra dakwah maupun sastra ideologi, memang sah-sah saja. Tetapi, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa orientasi yang terlampau pragmatis akan menyebabkan pertumbuhan sastra menjadi pincang, karena prestasi-prestasi estetiknya akan cenderung tertinggal. Ini sangat tampak, baik pada karya-karya sastra kaum sosialis maupun gerakan sastra dakwah. Itu pula, antara lain, kenapa karya-karya fiksi Islami yang dewasa ini marak di Tanah Air tidak cukup mengundang perhatian dari kalangan kritisi maupun akademisi sastra.

Guna menghindari jebakan orientasi yang terlampau pragmatis itu, diperlukan keseimbangan antara orientasi pragmatis dan orientasi estetik dalam proses penciptaan, agar karya sastra yang lahir tidak hanya bermakna secara tematik tapi juga unggul estetikanya. Bagaimanapun, karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang secara estetik mampu menggetarkan rasa keindahan dan secara tematik mampu mencerahkan nurani pembacanya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya.

Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.

Karya sastra juga memiliki efek pencerahan yang tidak jauh berbeda, ketika sang pengarang (penyair) memanfaatkan alam sebagai simbol pemikirannya, seperti misalnya dilakukan Abdul Hadi WM dalam sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang mengkristalkan konsep tasawuf dan menyadarkan kedekatan mahkluk dengan Tuhannya, sekaligus sebuah kesaksian (syahadat) sang penyair bahwa ia adalah ‘arah’ pada angin (titah) Tuhan:

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai api dan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai angin dan arahnya
Aku arah pada anginmu

Begitu juga ketika karya sastra diorientasikan sebagai pancaran perasaan dan pikiran sastrawannya. Ketika pikiran sastrawannya adalah sikap kritis terhadap keadaan di sekitarnya, maka tanpa disengaja karya sastranya akan memiliki kekuatan pencerahan. Dan, ketika perasaan yang diekspresikan sang penyair adalah perasaan cinta, kasih sayang, pada sesama, maka perasaan itu akan menjadi kekuatan sugestif untuk memancarkan perasaan cinta dan kasih sayang pembaca pada sesama.

Dengan demikian, sebenarnya, tidak semua karya sastra yang memiliki kekuatan pencerah dan menjadi sumber inspirasi perubahan sosial adalah ‘sastra Marxis’ atau realisme sosialis. Tetapi, ia adalah karya sastra yang lahir dari sikap peduli terhadap pentingnya peningkatan kualitas hati nurani dan intelektualitas pembacanya dan sikap kritis terhadap lingkungannya. Hati nurani dan intelektualitas pada dasarnya adalah inti kecendekiaan seseorang. Dari sisi ini pula karya sastra diyakini dapat ikut meningkatkan kecendekiaan pembacanya.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita