Karena tidak menghargai karya sastra
Marwanto
http://www.kr.co.id/
SALAH SATU persoalan ‘klasik’ yang dihadapi dunia kesusasteraan kita adalah tidak dihargainya karya sastra. Dalam dialog antara sastrawan (yang dimotori Taufiq Ismail dan kawan-kawan) dengan pelajar maupun mahasiswa, memperlihatkan adanya keprihatinan mendalam pada eksistensi sastra dalam masyarakat. Di samping itu, dari hasil dialog ke berbagai sekolah dan universitas itu, menunjukkan pelajaran mengarang menjadi pelajaran paling terlantar di institusi pendidikan Indonesia.
Memang sastrawan (dan budayawan umumnya) tidak akan merengek-rengek minta karya sastra dihargai. Tradisi narsisisme lambat laun sudah ditinggalkan kaum sastrawan-budayawan. Namun kita sebagai manusia biasa, seharusnya mengelus dada atas kondisi demikian. Bila dibiarkan terus-menerus, kita khawatir bisa menjadi “dosa generasi” yang efeknya akan terasa pada anak cucu kita.
Sastra, yang pada hakekatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bahasa (Andre Harjana, 1994: 10), menjadi cermin sekaligus anasir pokok bagi berlangsungnya kebudayaan dan peradaban yang berkiblat pada nilai-nilai humanisme. Peraih nobel sastra 1992, Derek Walcott memposisikan bahasa sebagai titik sentral kebudayaan. Menurut sastrawan tersebut, kebudayaan akan menjadi amburadul jika masyarakat kehilangan ‘rasa hormat’ terhadap bahasa. Memang bahasa tidak mungkin musnah, tapi bahasa menjadi kering jika ‘rasa hormat’ terhadap bahasa (sastra) berlangsung terus-menerus. Sebab, wujud akhir setiap proses penalaran muncul dalam bentuk ekspresi yang jelas, jujur dan apa adanya.
Nah, lewat sastra, ekspresi bahasa seperti itu diwujudkan sehingga dapat memperkaya (kebutuhan) batin manusia. Para sastrawan, selain orang yang jujur pada fakta dan pengungkapan, juga mampu memenuhi kebutuhan batin manusia lewat karyanya. Seperti diungkap Sapardi Djoko Damono (saat menjadi salah satu juri pada Khatulistiwa Literary Awards) kekuatan sastra memang terletak bagaimana ia mampu memperkaya kebutuhan batin manusia.
Kita dapat menyaksikan sendiri ketika bahasa dikuasai dan menjadi alat bagi kekuasaan politik. Periode rezim Soeharto (orde baru) adalah contoh yang sangat gamblang. Mungkin kita masih ingat, kata ‘penyelewengan’ (yang dilakukan aparat negara) sering diganti dengan kata ‘salah prosedur’. Atau kata ‘penangkapan’ dan ‘pemenjaraan’ (terhadap ativis yang kritis) sering diganti dengan kata ‘diamankan’. Dan masih banyak contoh ‘ketidakhormatan’ lain terhadap bahasa, yang dapat mengaburkan fakta sebenarnya.
Di tangan rezim otoriter, bahasa tidak saja menjadi absurd dan sukar dicerna oleh akal secara wajar-jujur. Lebih dari itu, bahasa menjadi kering. Ketika rezim orde baru mencapai titik puncak keotoriterannya, Afrizal Malna lewat puisinya yang berjudul “Di Bawah Sihir Gergaji” (1997) menulis : Pilihan kata tak banyak lagi. Bahasa seperti sumber air yang mengering. Kita maklum, mengapa Afrizal menulis Pilihan kata tak banyak lagi. Sebab, kata dan istilah yang mengisi lalu-lintas wacana sebatas yang diproduksi oleh kekuasaan. Hanyalah kata dan istilah yang mendukung secara efektif doktrin kekuasaan negara otoriter.
Di bawah pemerintahan otoriter, bahasa dan sastra adalah ‘anak nakal’ yang harus (pertama) dipenjarakan dalam ruang gelap, pengap, sesak dan dilenyapkan sama sekali atau (kedua) dikebiri sehingga menjadi ‘anak penurut’.
***
KINI zaman tak lagi berada di bawah pemerintahan otoriter. Meski ‘bahaya laten’ negara otoriter tetap ada, dan selalu terbuka peluang. Namun secara umum, pasca lengsernya penguasa otoriter orde baru, terbitlah era euforia. Kebebasan berpendapat, berserikat, berbicara kita rasakan. Demikian pula kebebasan untuk mengeluarkan ide, dalam bentuk apapun termasuk kesusastraan. Namun mengapa masih ada keluhan sastra terpinggirkan, tidak dihormati, tidak mendapat tempat layak di masyarakat?
Hemat penulis ada semacam sistem yang secara halus (invisible hand?) memisahkan sastra dengan masyarakat. Pada zaman otoriter orde baru, karya sastra yang cerdas-jernih memandang persoalan kemanusiaan dipasung, sehingga yang muncul hanyalah ‘sastra pesanan’ (kekuasaan) dan sastra populer atau tepatnya sastra yang berkiblat pada permintaan pasar. Namun demikian ada saja karya sastra brilian yang lahir (iklim represif, bagi sastrawan tertentu, justru menjadi pemacu daya kritis), meski nilai karya sastra seperti ini tak dapat disosialisasikan ke masyarakat secara efektif.
Kini di era reformasi lain lagi. Meski banyak faktor penyebab sastra tak melekat di hati masyarakat, tapi mungkin bisa dirunut dengan logika begini: era reformasi yang dihadapi masyarakat Indonesia juga masih dibarengi dengan berbagai krisis yang berkepanjangan (krisis ekonomi, hukum, kepercayaan, nilai-nilai, dsb). Menghadapi momentum demikian, sebagian besar masyarakat kita lalu berpegangan pada hal-hal yang praktis dan profan saja. Karya sastra, yang sarat muatan nilai isoterisme kemanusiaan, menjadi kontraproduktif untuk menghadapi krisis, utamanya krisis ekonomi. Kondisi demikian ternyata dibarengi dengan pertumbuhan teknologi yang semakin canggih. Dan sastra, secara umum kurang mampu mengambil ‘ruh teknologi’ untuk dijadikan tema-tema besar kesusastraan. Jadi dinamika teknologi dan ekonomi itulah yang menjadi semacam (invisible hand) dan memisahkan sastra dengan masyarakat.
Barangkali pandangan di atas terlalu prematur. Namun soal gamangnya kebudayaan menghadapi ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah menjadi kritikan cukup lama. Misalnya kritikan Daoed Joesoef: kebudayaan kita tidak merangkum ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang lahir dan dikembangkan oleh seni dianggap unsur budaya, tapi pengetahuan ilmiah (sains) tidak dianggap demikian. Masih ada anggapan ilmu pengetahuan mencekik seni (makalah “Satu Kebudayaan di Abad Iptek”, 28-8-1991).
Selain itu di abad teknologi informasi, manusia bisa menjadi sangat terlena. Sebuah abad informasi, memang melahirkan keterbelahan, skizofrenia. Dalam lautan informasi, lautan imaji-imaji, lautan penanda-penanda, dapat saja kita tenggelam secara nyaman tanpa kegelisahan untuk menghasilkan karya budaya, apalagi karya budaya besar (Nirwan Dewanto, 1996: 33).
Lantas bagaimana menghadapi kondisi dan masalah demikian? Hemat penulis, langkah awal adalah bercermin, mengaca diri: sudahkah sastra menggambarkan fakta kehidupan secara menyeluruh dan mutakhir? Kita setuju sastra (utamanya novel) adalah potret zaman yang sedang dialami masyarakat. Kini berapa banyak karya sastra yang seperti itu ? Kalaupun banyak, adakah yang membawa pesan humanisme, yang mampu memberi pencerahan batin manusia yang hidup di zaman sumpek teknologi, informasi, limbah industri dan khayalan-khayalan ekonomi?
Dinamika teknologi dan ekonomi adalah fenomena mutakhir yang akan terus menggerus nilai-nilai humanisme, suka tak suka, mau tak mau. Bahkan menurut Dr Damardjati Supajar, sinyalemen “suatu saat manusia akan tenggelam oleh keringatnya sendiri”, maksud ‘keringat’ disini adalah bahasa teknologi dan ekonomi. Kenyataannya amat sedikit karya sastra yang mampu menangkap ruh dinamika teknologi dan ekonomi untuk dijadikan tema kajian sastra dalam pesan-pesan humanisme. Selama ini, teknologi dan ekonomi hanya dijadikan piranti dalam memasarkan karya sastra.
Dengan demikian, pemahaman terhadap unsur-unsur kebudayaan secara luas untuk diambil dinamika yang paling fenomenal dan mutakhir, lalu dijadikan tema kesusasteraan dalam pesan nilai humanisme inilah yang akan ‘menyelamatkan’ eksistensi sastra dalam masyarakat. Selain itu, akan menghapus stigma terhadap kebudayaan, apakah itu kebudayaan sebagai terdakwa (istilah Mochtar Pabotinggi) atau kebudayaan sebagai kambing hitam (istilah Prof Syafri Sairin).
Mungkin pandangan tersebut terlalu sentrisme. Maksudnya, melihat teknologi dan ekonomi sebagai determinan pokok perubahan peradaban. Perlu disadari, yang dimaksud di sini adalah ruh sains dan teknologi. Jadi tidak dalam pandangan monopoli Barat-modern terhadap teknologi. Tiap masyarakat punya pandangan sendiri terhadap ruh ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Seperti dicontohkan dengan baik oleh Levi-strauss (dalam Nirwan Dewanto, ibid, hlm 36): apakah diagram rumit yang digambar suku Aborijin untuk menjelaskan sistem kekerabatannya kepada orang Eropa, jauh kurang ilmiah dibandingkan diagram matematis yang digambar seorang profesor di Ecole Polytechnique? Meski harus diakui ada hasil sains dan teknologi Barat-modern yang mengglobal, berpengaruh luas ke penjuru dunia.
Dengan langkah bercermin tersebut, penulis yakin sastra akan mendapat tempat layak di (hati) masyarakat. Kita tak usah memaksakan pada masyarakat untuk menikmati suguhan (karya sastra) kita, jika apa yang kita hidangkan bukan menjadi perhatian utama mereka. Ada baiknya juga langkah bercermin ini dibarengi dengan usaha yang katakanlah, bersifat materiil seperti proyek buku sastra seberat 15 ton dari Taufiq Ismail. Tentu bagi sastrawan dan budayawan yang gandrung nilai isoterisme, tidak melupakan esensi di balik materi. Semua ini adalah usaha-usaha dalam rangka penghormatan terhadap kesusastraan, yang akan menyelamatkan budaya dan peradaban.***
*) Penulis alumnus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, pecinta sastra, bermukim di Kulon Progo, Yogyakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar