29/11/10

Coba Menghindari ‘Dosa Generasi’ *

Karena tidak menghargai karya sastra
Marwanto
http://www.kr.co.id/

SALAH SATU persoalan ‘klasik’ yang dihadapi dunia kesusasteraan kita adalah tidak dihargainya karya sastra. Dalam dialog antara sastrawan (yang dimotori Taufiq Ismail dan kawan-kawan) dengan pelajar maupun mahasiswa, memperlihatkan adanya keprihatinan mendalam pada eksistensi sastra dalam masyarakat. Di samping itu, dari hasil dialog ke berbagai sekolah dan universitas itu, menunjukkan pelajaran mengarang menjadi pelajaran paling terlantar di institusi pendidikan Indonesia.

Memang sastrawan (dan budayawan umumnya) tidak akan merengek-rengek minta karya sastra dihargai. Tradisi narsisisme lambat laun sudah ditinggalkan kaum sastrawan-budayawan. Namun kita sebagai manusia biasa, seharusnya mengelus dada atas kondisi demikian. Bila dibiarkan terus-menerus, kita khawatir bisa menjadi “dosa generasi” yang efeknya akan terasa pada anak cucu kita.

Sastra, yang pada hakekatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bahasa (Andre Harjana, 1994: 10), menjadi cermin sekaligus anasir pokok bagi berlangsungnya kebudayaan dan peradaban yang berkiblat pada nilai-nilai humanisme. Peraih nobel sastra 1992, Derek Walcott memposisikan bahasa sebagai titik sentral kebudayaan. Menurut sastrawan tersebut, kebudayaan akan menjadi amburadul jika masyarakat kehilangan ‘rasa hormat’ terhadap bahasa. Memang bahasa tidak mungkin musnah, tapi bahasa menjadi kering jika ‘rasa hormat’ terhadap bahasa (sastra) berlangsung terus-menerus. Sebab, wujud akhir setiap proses penalaran muncul dalam bentuk ekspresi yang jelas, jujur dan apa adanya.

Nah, lewat sastra, ekspresi bahasa seperti itu diwujudkan sehingga dapat memperkaya (kebutuhan) batin manusia. Para sastrawan, selain orang yang jujur pada fakta dan pengungkapan, juga mampu memenuhi kebutuhan batin manusia lewat karyanya. Seperti diungkap Sapardi Djoko Damono (saat menjadi salah satu juri pada Khatulistiwa Literary Awards) kekuatan sastra memang terletak bagaimana ia mampu memperkaya kebutuhan batin manusia.

Kita dapat menyaksikan sendiri ketika bahasa dikuasai dan menjadi alat bagi kekuasaan politik. Periode rezim Soeharto (orde baru) adalah contoh yang sangat gamblang. Mungkin kita masih ingat, kata ‘penyelewengan’ (yang dilakukan aparat negara) sering diganti dengan kata ‘salah prosedur’. Atau kata ‘penangkapan’ dan ‘pemenjaraan’ (terhadap ativis yang kritis) sering diganti dengan kata ‘diamankan’. Dan masih banyak contoh ‘ketidakhormatan’ lain terhadap bahasa, yang dapat mengaburkan fakta sebenarnya.

Di tangan rezim otoriter, bahasa tidak saja menjadi absurd dan sukar dicerna oleh akal secara wajar-jujur. Lebih dari itu, bahasa menjadi kering. Ketika rezim orde baru mencapai titik puncak keotoriterannya, Afrizal Malna lewat puisinya yang berjudul “Di Bawah Sihir Gergaji” (1997) menulis : Pilihan kata tak banyak lagi. Bahasa seperti sumber air yang mengering. Kita maklum, mengapa Afrizal menulis Pilihan kata tak banyak lagi. Sebab, kata dan istilah yang mengisi lalu-lintas wacana sebatas yang diproduksi oleh kekuasaan. Hanyalah kata dan istilah yang mendukung secara efektif doktrin kekuasaan negara otoriter.

Di bawah pemerintahan otoriter, bahasa dan sastra adalah ‘anak nakal’ yang harus (pertama) dipenjarakan dalam ruang gelap, pengap, sesak dan dilenyapkan sama sekali atau (kedua) dikebiri sehingga menjadi ‘anak penurut’.
***

KINI zaman tak lagi berada di bawah pemerintahan otoriter. Meski ‘bahaya laten’ negara otoriter tetap ada, dan selalu terbuka peluang. Namun secara umum, pasca lengsernya penguasa otoriter orde baru, terbitlah era euforia. Kebebasan berpendapat, berserikat, berbicara kita rasakan. Demikian pula kebebasan untuk mengeluarkan ide, dalam bentuk apapun termasuk kesusastraan. Namun mengapa masih ada keluhan sastra terpinggirkan, tidak dihormati, tidak mendapat tempat layak di masyarakat?

Hemat penulis ada semacam sistem yang secara halus (invisible hand?) memisahkan sastra dengan masyarakat. Pada zaman otoriter orde baru, karya sastra yang cerdas-jernih memandang persoalan kemanusiaan dipasung, sehingga yang muncul hanyalah ‘sastra pesanan’ (kekuasaan) dan sastra populer atau tepatnya sastra yang berkiblat pada permintaan pasar. Namun demikian ada saja karya sastra brilian yang lahir (iklim represif, bagi sastrawan tertentu, justru menjadi pemacu daya kritis), meski nilai karya sastra seperti ini tak dapat disosialisasikan ke masyarakat secara efektif.

Kini di era reformasi lain lagi. Meski banyak faktor penyebab sastra tak melekat di hati masyarakat, tapi mungkin bisa dirunut dengan logika begini: era reformasi yang dihadapi masyarakat Indonesia juga masih dibarengi dengan berbagai krisis yang berkepanjangan (krisis ekonomi, hukum, kepercayaan, nilai-nilai, dsb). Menghadapi momentum demikian, sebagian besar masyarakat kita lalu berpegangan pada hal-hal yang praktis dan profan saja. Karya sastra, yang sarat muatan nilai isoterisme kemanusiaan, menjadi kontraproduktif untuk menghadapi krisis, utamanya krisis ekonomi. Kondisi demikian ternyata dibarengi dengan pertumbuhan teknologi yang semakin canggih. Dan sastra, secara umum kurang mampu mengambil ‘ruh teknologi’ untuk dijadikan tema-tema besar kesusastraan. Jadi dinamika teknologi dan ekonomi itulah yang menjadi semacam (invisible hand) dan memisahkan sastra dengan masyarakat.

Barangkali pandangan di atas terlalu prematur. Namun soal gamangnya kebudayaan menghadapi ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah menjadi kritikan cukup lama. Misalnya kritikan Daoed Joesoef: kebudayaan kita tidak merangkum ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang lahir dan dikembangkan oleh seni dianggap unsur budaya, tapi pengetahuan ilmiah (sains) tidak dianggap demikian. Masih ada anggapan ilmu pengetahuan mencekik seni (makalah “Satu Kebudayaan di Abad Iptek”, 28-8-1991).

Selain itu di abad teknologi informasi, manusia bisa menjadi sangat terlena. Sebuah abad informasi, memang melahirkan keterbelahan, skizofrenia. Dalam lautan informasi, lautan imaji-imaji, lautan penanda-penanda, dapat saja kita tenggelam secara nyaman tanpa kegelisahan untuk menghasilkan karya budaya, apalagi karya budaya besar (Nirwan Dewanto, 1996: 33).

Lantas bagaimana menghadapi kondisi dan masalah demikian? Hemat penulis, langkah awal adalah bercermin, mengaca diri: sudahkah sastra menggambarkan fakta kehidupan secara menyeluruh dan mutakhir? Kita setuju sastra (utamanya novel) adalah potret zaman yang sedang dialami masyarakat. Kini berapa banyak karya sastra yang seperti itu ? Kalaupun banyak, adakah yang membawa pesan humanisme, yang mampu memberi pencerahan batin manusia yang hidup di zaman sumpek teknologi, informasi, limbah industri dan khayalan-khayalan ekonomi?

Dinamika teknologi dan ekonomi adalah fenomena mutakhir yang akan terus menggerus nilai-nilai humanisme, suka tak suka, mau tak mau. Bahkan menurut Dr Damardjati Supajar, sinyalemen “suatu saat manusia akan tenggelam oleh keringatnya sendiri”, maksud ‘keringat’ disini adalah bahasa teknologi dan ekonomi. Kenyataannya amat sedikit karya sastra yang mampu menangkap ruh dinamika teknologi dan ekonomi untuk dijadikan tema kajian sastra dalam pesan-pesan humanisme. Selama ini, teknologi dan ekonomi hanya dijadikan piranti dalam memasarkan karya sastra.

Dengan demikian, pemahaman terhadap unsur-unsur kebudayaan secara luas untuk diambil dinamika yang paling fenomenal dan mutakhir, lalu dijadikan tema kesusasteraan dalam pesan nilai humanisme inilah yang akan ‘menyelamatkan’ eksistensi sastra dalam masyarakat. Selain itu, akan menghapus stigma terhadap kebudayaan, apakah itu kebudayaan sebagai terdakwa (istilah Mochtar Pabotinggi) atau kebudayaan sebagai kambing hitam (istilah Prof Syafri Sairin).

Mungkin pandangan tersebut terlalu sentrisme. Maksudnya, melihat teknologi dan ekonomi sebagai determinan pokok perubahan peradaban. Perlu disadari, yang dimaksud di sini adalah ruh sains dan teknologi. Jadi tidak dalam pandangan monopoli Barat-modern terhadap teknologi. Tiap masyarakat punya pandangan sendiri terhadap ruh ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Seperti dicontohkan dengan baik oleh Levi-strauss (dalam Nirwan Dewanto, ibid, hlm 36): apakah diagram rumit yang digambar suku Aborijin untuk menjelaskan sistem kekerabatannya kepada orang Eropa, jauh kurang ilmiah dibandingkan diagram matematis yang digambar seorang profesor di Ecole Polytechnique? Meski harus diakui ada hasil sains dan teknologi Barat-modern yang mengglobal, berpengaruh luas ke penjuru dunia.

Dengan langkah bercermin tersebut, penulis yakin sastra akan mendapat tempat layak di (hati) masyarakat. Kita tak usah memaksakan pada masyarakat untuk menikmati suguhan (karya sastra) kita, jika apa yang kita hidangkan bukan menjadi perhatian utama mereka. Ada baiknya juga langkah bercermin ini dibarengi dengan usaha yang katakanlah, bersifat materiil seperti proyek buku sastra seberat 15 ton dari Taufiq Ismail. Tentu bagi sastrawan dan budayawan yang gandrung nilai isoterisme, tidak melupakan esensi di balik materi. Semua ini adalah usaha-usaha dalam rangka penghormatan terhadap kesusastraan, yang akan menyelamatkan budaya dan peradaban.***

*) Penulis alumnus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, pecinta sastra, bermukim di Kulon Progo, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita