Budi Darma
http://www2.kompas.com/
HB JASSIN dan Chairil Anwar lahir pada saat yang tepat, karena itu saling ketergantungan antara mereka kemudian berhasil memberi warna indah dalam perkembangan sastra kita. Seandainya mereka tidak muncul bersama pada tahun 1940-an dan 1950-an, warna perkembangan sastra kita mungkin akan berbeda. Tahun 1940-an dan 1950-an adalah tahun-tahun menjelang kemerdekaan dan pascaperang kemerdekaan, sehingga, dengan demikian, peran letupan-letupan intuisi dalam seni, khususnya sastra, menjadi sangat menonjol.
Mengenai letupan-letupan intuisi, lihatlah misalnya sajak-sajak Chairil Anwar. Memang benar sajak-sajak Chairil Anwar menawarkan kontemplasi, dan tentunya juga lahir dari kontemplasi, namun, sebagai produk, sajak-sajak Chairil Anwar muncul sebagai intuisi-intuisi pendek, yang lahir berkat impuls-impuls yang kuat. Sajak-sajak Chairil Anwar, pada dasarnya, mirip dengan lukisan-lukisan Affandi, dan juga mirip dengan lirik lagu-lagu Ismail Marzuki, yaitu lukisan dan lirik sebagai letupan intuisi.
Bahwa kemudian Chairil Anwar “ditemukan” oleh HB Jassin, dan kemudian ditasbihkan oleh HB Jassin, tidak lain terjadi juga karena tuntutan zaman. Kritik sastra HB Jassin terhadap Chairil Anwar memang sangat berbobot dan karena itu pantas menjadi monumen. Namun, pada dasarnya, kritik sastra HB Jassin lebih banyak dipicu oleh letupan-letupan intuisi, bukan oleh anasir-anasir lain. Karena itu pertemuan antara Chairil Anwar dengan HB Jassin benar-benar “klop.”
Mungkin adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Chairil Anwar adalah penyair yang semata menggantungkan diri pada bakat alamnya. Tidak benar, karena, pada hakikatnya, Chairil Anwar mampu menyampaikan wawasan-wawasannya, kendati cara menyampaikannya seolah sekadar melalui letupan-letupan intuisi. Dalam perjuangannya untuk menjadi penyair, tampak benar usaha Chairil Anwar untuk memanfaatkan segala daya upaya, dan karena itu tidak sekedar tergantung pada bakat dan inspirasinya.
Adalah juga tidak benar, sementara itu, untuk menyatakan bahwa HB Jassin adalah kritikus semata berbakat alam. Usaha-usaha HB Jassin untuk menambah wawasan, sebagai upaya untuk menunjang bakatnya sebagai kritikus, benar-benar tampak, khususnya dalam pembelaannya terhadap Ki Panji Kusmin, pengarang Langit Makin Mendung, ketika dia menyampaikan orasi pada saat dia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. Namun, serupa halnya dengan Chairil Anwar, hakikat kritik sastra HB Jassin tetap merupakan letupan-letupan intuisi.
Justru karena hakikat kritik sastra HB Jassin merupakan letupan-letupan intuisi, maka HB Jassin dengan sangat mudah mampu bergandeng tangan dengan sastrawan-sastrawan berbakat alam. Lihatlah misalnya generasi majalah Kisah, sebagaimana yang tampak dalam cerpen-cerpen Sukanto SA, SM Ardan, Riyono Prakikto, Jamil Suherman, M Alwan Tafsiri, dan sebagainya. Para pengarang cerpen ini tidak lain adalah raja-raja besar sastra pada waktu itu. Mayoritas karya mereka adalah pengalaman harfiah mereka, yaitu ciri yang amat dominan pada sastrawan-sastrawan berbakat alam. Mereka adalah sahabat-sahabat karib HB Jassin, dan HB Jassin pulalah yang menasbihkan mereka menjadi sastrawan-sastrawan penting.
Lalu, lihatlah sastrawan-sastrawan lain yang ditasbihkan oleh HB Jassin. Mereka, antara lain, Kirjomulyo dan Muhammad Ali. Kritik sastra HB Jassin terhadap karya sastra Kirjomulyo dan Muhammad Ali nampak “klop,” karena Kirjomulyo dan Muhammad Ali, demikian pula mayoritas sastrawan pada tahun 1950-an dan 1960-an, adalah sastrawan-sastrawan berbakat alam.
HB Jassin, sementara itu, juga sanggup melihat bakat besar Rendra pada saat-saat awal Rendra menjadi penyair, dan karena itulah HB Jassin juga sangat bertanggung jawab dalam menasbihkan Rendra sebagai penyair penting. Namun ingat, HB Jassin menemukan Rendra pada saat Rendra masih bergelut dengan lirik, dengan letupan-letupan intuisi. Waktu itu, Rendra belum berkembang lebih jauh. Dan ingat pula, pada saat HB Jassin menemukan Rendra, sebetulnya HB Jassin sudah agak terlambat.
***
MENGENAI makna “agak terlambat,” dapat kita lihat kembali cerita Rendra kepada saya (dulu), ketika dia masih kadang-kadang datang ke kampus Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada di Jl Yudonegaran, Yogya. Pada waktu itu, sajak-sajak Rendra sudah dimuat oleh HB Jassin dalam berbagai majalah sastra asuhan HB Jassin. Namun, kata Rendra, sebelum sajak-sajaknya dimuat HB Jassin, secara bertubi-tubi HB Jassin selalu menolak, dan selalu mengembalikan sajak-sajak Rendra. Sajak-sajak yang sama itulah yang kemudian dimuat oleh HB Jassin sendiri. Penolakan terhadap sajak-sajak Rendra, dengan demikian, tidak terjadi karena waktu itu jumlah sajak yang masuk ke meja HB Jassin terlalu banyak, dan karena itu sajak-sajak Rendra harus menunggu giliran untuk dimuat.
Pengalaman Rendra tentu berbeda dengan pengalaman Darmanto Yatman. Pada waktu HB Jassin mengasuh majalah Sastra, Darmanto mengirim sejumlah esai kepada HB Jassin. Ternyata, tidak lama kemudian, Sastra mati. Lalu, dalam suratnya kepada Darmanto Yatman HB Jassin menyatakan bahwa dia akan berusaha untuk menerbitkan esai-esai Darmanto Yatman yang tidak termuat dalam Sastra di media-media lain.
Lalu, apa yang terjadi pada Iwan Simatupang? HB Jassin tidak bisa menerima kehadiran Simatupang, paling tidak pada awalnya, karena Iwan Simatupang bukanlah tipe sastrawan yang meletup-letupkan intuisi. Novel-novel Iwan Simatupang memang fragmentaris, sehingga, seolah antara satu bagian dengan bagian lainnya lepas tanpa ikatan. Namun, sejak awal Iwan Simatupang sadar, bahwa untuk menjadi sastrawan dia perlu belajar banyak.
Komentar A Teeuw dalam Modern Indonesian Literature (jilid II) mengenai kritik sastra dalam hubungannya dengan HB Jassin, tentu tidak lepas dari hakikat Jassin sebagai kritikus dengan letupan-letupan intuisi. Kata A Teeuw, “literary criticism … is indeed rather underdeveloped”, yaitu, kritik sastra benar-benar dalam keadaan terkebelakang. Lalu, kata A Teeuw pula, sepanjang pengetahuan A Teeuw, HB Jassin tidak pernah “published any fundamental ideas,” dan juga tidak pernah melakukan “declaration of principles of criticism.” HB Jassin, kata A Teeuw, tidak pernah menerbitkan gagasan-gagasan pokok, dan juga tidak pernah mendeklarasikan prinsip-prinsip kritik sastra.
Teeuw benar. Namun, justru pada letupan-letupan intuisi dengan tidak menganut prinsip-prinsip tertentu itulah, letak kekuatan HB Jassin. Karena itu, ketika menyampaikan orasi penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, HB Jassin menyatakan, bahwa dia justru khawatir jangan-jangan pekerjaannya sebagai orang sastra menjadi ilmiah. Kalau sudah menjadi ilmiah, maka, katanya, mau tidak mau dia harus mempergunakan otak. Sementara itu, bagi dia, sastra adalah suara hati, dan karena itu harus ditanggapi dengan hati pula.
Prinsip bahwa sastra adalah suara hati telah meneguhkan HB Jassin sebagai pembela sastra Indonesia. Dia berjuang dengan teguh untuk menyatakan bahwa Chairil Anwar bukan penjiplak, ketika sementara khalayak bisa membuktikan, bahwa sebagian sajak Chairil Anwar tidak lain adalah saduran. Ketika Hamka juga dituduh sebagai penjiplak dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, HB Jassin dengan penuh keyakinan juga menyatakan, bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah karya asli Hamka. Karena itu, dalam tulisan-tulisannya, beberapa kali HB Jassin menekankan, bahwa dalam sastra, pengaruh-mempengaruhi adalah wajar.
Bagi HB Jassin, penjiplakan tidak ada, sebab kemiripan antara satu karya sastra dengan karya sastra tidak lain hanyalah masalah pengaruh.
***
TERHADAP pemikiran rasional, tampaknya HB Jassin juga selalu menentang, kendati penentangannya kemudian muncul sebagai pembelaan. Lihatlah, misalnya, ketika pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an ada tuduhan dari khalayak bahwa sastra Indonesia mengalami krisis. Dengan rasional khalayak berusaha untuk membuktikan, bahwa pada waktu itu memang karya-karya sastra yang baik boleh dikatakan tidak ada. Maka, HB Jassin pun tidak berpijak pada alasan mengapa oleh khalayak sastra dianggap mengalami krisis, tetapi pada kenyataan bahwa karya sastra tokh tetap ada. Karena penyair masih menulis dan pengarang juga masih menulis, maka, dalam pandangan HB Jassin, sastra Indonesia sama-sekali tidak mengalami krisis.
Keyakinan bahwa sastra adalah suara hati, mau tidak mau mendorong HB Jassin untuk membela generasi muda. Sastra harus terus hidup, dan karena itu, regenerasi harus tetap jalan. Sementara sastrawan-sastrawan senior lain cenderung untuk kurang memperhatikan generasi muda, dengan tekun HB Jassin berusaha untuk mencari titik-titik kuat pada sastrawan-sastrawan yang belum mapan. Titik-titik kuat itu, tentu saja, adalah titik kuat sastra sebagai suara hati, bukan sastra sebagai kerja otak. Karena itulah, maka HB Jassin sangat senang sastra model “Kucing,” cerpen Hudan Hidayat. Dalam sebagian besar cerpennya tampak benar, setidaknya sampai sekarang, bahwa Hudan Hidayat benar-benar mengandalkan kemampuannya pada letupan-letupan intuisi.
Sejak tahun 1980-an, sementara itu, tampak gejala kuat bahwa kritik sastra intuitif kena kutuk. Karena itu, ada kecenderungan kuat untuk menopang kritik sastra dengan berbagai pemikiran rasional, antara lain dengan penggunaan teori-teori. Apa pun anggapan khalayak terhadap HB Jassin, ia adalah peletak dasar kritik sastra sebagai salah-satu genre sastra. Sebelum HB Jassin tampil, kehadiran kritik sastra tidak dianggap sebagai keharusan dalam kehidupan sastra yang sehat, namun sebagai sesuatu yang hadir boleh, tidak hadir pun tidak apa-apa, bahkan mungkin lebih baik.
Lalu, apakah kritik sastra model HB Jassin mesti dikutuk, tentu saja tergantung pada individu masing-masing kritik sastra. Ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional, ditopang pula dengan teori-teori, belum tentu sanggup menembus persoalan sastra. Dan ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional dengan dimuati teori ini dan teori itu, ternyata tidak jarang hanya bergerak pada format penulisan dan bukan pada jantung substansi sastra.
Dalam hal-hal tertentu, HB Jassin sangat benar. Sastra adalah suara hati. Karena itu, peran common sense atau akal sehat, dalam menghadapi sastra, tidak mungkin ditinggalkan. Kritik sastra yang berusaha rasional dengan mengangkut teori ini dan teori itu, sebaliknya, justru cenderung untuk melawan kekuatan dasar sastra, yaitu common sense atau akal sehat.
Lalu, marilah kita tengok kritik sastra Goenawan Mohammad dan Sutarji Calzoum Bachri dalam menghadapi sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Marilah kita tengok pula, kritik Sapardi Djoko Damono sendiri dalam menghadapi sajak-sajak Abdul Hadi WM. Tanpa berusaha rasional, apa lagi dengan mengangkut teori ini dan teori itu, kritik sastra mereka benar-benar intuitif, dan benar-benar berwibawa.
*) Sastrawan, tinggal di Surabaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
29/11/10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar