29/11/10

Ziarah ke Setapak Jalan Kepenyairan

Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001
Arif B. Prasetyo
http://majalah.tempointeraktif.com/

Karya : Goenawan Mohamad Penerbit :Metafor Publishing, 2001
Seperti dalam film lama kota pun terbelah besi trem terendam dalam kabut (Seperti dalam Film Lama, 2000) Goenawan Mohamad, penyair unggul yang masih terus menulis puisi itu, tahun ini mengetengahkan buku puisi terbaru yang berisi semua karyanya dari rentang penciptaan paling awal hingga terkini.

Dalam buku ini, puisi yang benar-benar baru sesungguhnya hanya berjumlah 12 judul, ditulis pada tahun 2000-2001. Sisanya, hampir 90 persen, adalah puisi-puisi yang sudah muncul dalam kumpulan terdahulu, Asmaradana (1992) dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998)-keduanya masih cukup mudah didapati di toko buku.

Sebagian kecil puisi berasal dari kumpulan lebih tua, Pariksit (1971) dan Interlude (1973), yang sudah lenyap dari pasaran. Dan sejumlah amat kecil berupa karya-karya yang, dengan berbagai pertimbangan, oleh penyairnya di masa silam tidak pernah diloloskan masuk bukunya.

Momen penerbitan buku puisi lengkap ini bersamaan dengan 60 tahun usia penyairnya. Dalam momen yang sama pula, terbit buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (TEMPO, 2001)-sehimpun karya yang juga sudah pernah dipublikasikan di sana-sini.

Mungkin bukan kebetulan jika, bersama momen semacam ini, buku puisi terbaru Goenawan menyingkapkan paradoksnya sendiri: seraya menyajikan puisi, ia menggeser pusat pemaknaan dari puisi. Pergeseran itu terbaca pada pesan penerbit di sampul belakang buku: “Inilah buku pertama yang merupakan himpunan lengkap puisi-puisi dari rentang waktu lima windu karir seorang penyair Indonesia.

Menghimpun seluruh puisi yang ditulis Goenawan Mohamad, sang penyair, esais dan wartawan, selama 40 tahun proses kepenyairannya.” Cukup jelas, tekanan memang terasa lebih memberat pada “karir seorang penyair Indonesia” dan “proses kepenyairannya”. Yang dipersembahkan buku ini pada dasarnya adalah teks kepenyairan pengarangnya-bukan “sekadar” teks puisi.

Esai pengiring dari Sapardi Djoko Damono, kolega Goenawan sesama penyair, berjudul Mencoba Menghayati Si Malin Kundang, terasa semakin mempertegas ruang pemaknaan puisi dari sudut biografi kepengarangan penyairnya.

Sebuah posisi yang seakan menggemakan kepercayaan Octavio Paz, pemenang Nobel Sastra 1990, bahwa “penyair dan kata-katanya adalah satu”. Dalam konteks Indonesia, posisi ini sekaligus mengisyaratkan bahwa kepenyairan hingga kini masih lebih penting dibanding syair, ketika sejarah sastra nasional masih terus hanya ditulis berdasarkan nama-nama sastrawan dan peristiwa di seputarnya.

Lantas, apakah yang khas pada jalan kepenyairan Goenawan? Buku ini menampakkan bahwa Goenawan, sebagai seorang penyair papan atas Indonesia, ternyata tak terlalu produktif menghasilkan puisi. Jumlah 132 puisi yang meliputi lima windu proses kepenyairannya, berarti setiap tahun puisi yang lahir tak sampai empat buah. Namun, yang luar biasa, jumlah puisi yang tak seberapa itu secara relatif diimbangi dengan ketekunan menuliskan pemikiran tentang puisi.

Di antara para penyair terkemuka nasional lainnya, hampir pasti Goenawan paling rajin dan konsisten menulis esai-esai tentang puisi yang layak dikenang berkat mutunya, sejak awal kepenyairannya sampai masa yang jauh belakangan.

Pada Goenawan, kepenyairan sebagai sebentuk aktivitas verbal memang seakan menggigil dengan gigih di tepi hamparan berbagai aktivitas lain. Goenawan adalah penyair, tapi khalayak luas pasti lebih mudah membayangkan sosoknya sebagai tokoh jurnalis, industrialis pers, intelektual publik, aktivis prodemokrasi, deklarator partai politik, atau yang lain.

Sebagian besar dari kegiatan itu bersentuhan langsung dengan arus peristiwa aktual dan seakan menempatkan Goenawan di latar depan pentas sejarah dengan kerumun dan kampiunnya, gelinjang dan gejolaknya.

Puisi-puisi Goenawan muncul dengan membentangkan sehampar jarak terhadap sejarah, tapi tanpa menafikannya. Realitas historis tetap diakui, tetapi seraya dijaga ketat agar tidak menenggelamkan autentisitas manusia.

Menulis puisi, dalam tradisi kepenyairan Goenawan, seolah tindak penebusan yang membebaskan manusia dari gerak roda sejarah yang ingar-bingar dan cenderung menderetkan eksemplar-eksemplar.

Berpuisi adalah berjuang menyelamatkan sekeping wajah manusia-autentik tatkala disadari bahwa “Hidup hanya sehimpun headline” (Bintang Kemukus, 1970) dan “Ingatan hanya akan membentuk sebuah kontinu-itas yang asing dan merisaukan, ketika hidup berpindah-pindah dalam berjuta-juta lempeng yang patah” (K.T.P, 2000).

Dengan menampik tirani sejarah dan kebanalan realitas, puisi-puisi Goenawan jadi cenderung berwatak “hermetik”, terselubung, dengan visi yang seakan digelayuti mendung. Auranya sering bergelimang suasana mirip perkabungan-bahkan saat berbicara tentang gelegak erotika, misalnya.

Berbagai ihwal dan peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan nyata, dalam puisi-puisi Goenawan, diaransemen sedemikian rupa hingga terkesan tidak natural, asing, enigmatik-menjelma jadi kehadiran puitik yang kadang terasa sulit dipahami.

Memang, Goenawan sendiri kerap menyatakan, baik tersurat maupun tersirat, bahwa puisinya bukan ditulis untuk melayani pemahaman, pengertian, atau “pengetahuan”. Puisinya hanya membujuk pembaca agar hanyut menikmati petualangan puitik penyair, tanpa pretensi menguasai arti.

Sebab, bagi Goenawan, “Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa,” dan berpuisi hanyalah “mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia” (Pada Sebuah Pantai: Interlude, 1973).

Makna puisi-puisi Goenawan tidak terletak di seberang kata puisi, tapi berlangsung di dalamnya. Dalam gairah pemaknaan semacam ini pula Goenawan cenderung menulis puisi yang amat sadar-bunyi, kadang bahkan berkualitas musikal-meski ia bukanlah tipe penyair yang piawai melantunkan puisi di atas panggung.

Namun, betapapun, pembaca yang serius akan tetap tergoda untuk meraih secercah “maksud” di seberang kata-kata puisi Goenawan. Bagaimana mungkin pemikiran pembaca bisa tenteram jika puisi-puisi itu sering kali menghadirkan pokok yang punya “kuasa” tertentu di benak khalayak: Asmaradana, Gatoloco, Sinterklas, Yap Thiam Hien, Frida Kahlo, Aung San Suu Kyi, Internasionale, Pemilihan Umum, Oedipus, Minotaur, Winnetou, Nuh, Berlin, Hiroshima, Yerusalem, Sarajevo, serta masih banyak lagi.

Tapi, lewat puisi, Goenawan mengubah perbendaharaan umum itu jadi privat, justru untuk meng-”umum”-kan khazanah pribadinya sendiri. Sebuah paradoks? Barangkali kepenyairan memang ditakdirkan untuk hidup di jantung paradoks, kontradiksi, dan ironi.

Dalam esai pengiring kumpulan puisi lengkap ini, Sapardi Djoko Damono-lewat pembacaan atas esai terkenal Goenawan, Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang-mengungkapkan berbagai paradoks dan kerumitan yang dihadapi Goenawan dalam merumuskan jalan kepenyairannya.

Bukan hanya esai itu, sebetulnya. Semua esai Goenawan tentang puisi pada dasarnya dapat dibaca sebagai upaya keras-kepala untuk memahami (dan membela) posisi puisi yang tampak absurd-baik di hadapan latar personalnya sebagai penyair maupun di tengah zaman yang kian menempatkan “nilai-guna”, bahkan “nilai-tukar”, di atas segalanya.

Goenawan tahu puisinya adalah seonggok keganjilan. Tidak berguna, tak selaras dengan dunia yang kian pragmatis, tidak likuid sebagai ajang pertukaran komoditi. Tapi Goenawan toh tetap setia kepadanya. Bila kata-kata ibarat cahaya, pancaran sinar terangnya akan menerpa tubuh penyair dan menghasilkan bayang-bayang berupa puisi yang menghantui ke mana pun penyair pergi.

Puisi lahir, karena memang tak dapat ditolak oleh penyair. Di titik ini pula, sebuah buku puisi lengkap menganugerahkan secercah “hadiah”. Pembaca yang cermat dapat menikmati pergulatan Goenawan dengan kata-kata puisi, yang sulit terlihat dalam kumpulan puisi pilihan.

Ungkapan puitik “malam yang mengigau dengan gerimis tak kelihatan” pada puisi Saya Cemaskan Sepotong Lumpur (1978) kembali muncul pada puisi Di Serambi (1979) dan Di Tengah Rumah (sekitar 1986)-dengan sedikit perubahan redaksional. Dua puisi terakhir yang berjarak tahun penciptaan cukup jauh itu juga mengandung frase yang sama, yakni “hutan hendam-karam”. Kenapa bisa terjadi? Tentu karena puisi adalah misteri. Dalam puisi selalu “ada sesuatu yang tak perlu terjangkau, juga oleh aku dan engkau” (Di Nara, 2001).

Dengan cara yang ganjil dan irasional, kata-kata puisi memang bisa muncul dan bergaung di sepanjang jalan kepenyairan seseorang, entah untuk apa. Di antara banyak kemungkinan tafsir, barangkali adalah puisi itu sendiri yang ditunjuk Goenawan saat mengatakan bahwa “ada sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang” (Seperti Sebuah Negeri, 2001).

Masih tersisa “hadiah” lain di buku ini. Khalayak sastra mengenal Goenawan sebagai penyair murung yang berkutat dengan lirik-lirik personal dan simbolik, sang konseptor pasemon dan “puisi suasana” yang khidmat, juga penanda tangan Manifes Kebudayaan yang menolak doktrin realisme-sosialis ala rezim revolusioner Demokrasi Terpimpin di awal 1960-an.

Namun, ternyata, Goenawan pernah menulis puisi bernuansa “sosialis” yang sarat simpati terhadap penderitaan rakyat (Surat-Surat tentang Lapar, 1961). Bahkan ia sempat pula mengguriskan baris-baris puisi bernada “progresif-revolusioner” yang menggelora, berjudul Batasan (1963): Revolusi adalah getar-getar peluh dan nadi Membatas lapar kelam hari-hari Revolusi adalah kembang kristal air hujan Di jam kemarau yang kita habiskan Revolusi adalah bintang-bintang putih yang abadi Di langit dunia, riwayat anak-anak manusia

Arif B. Prasetyo, penyair

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita