Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001
Arif B. Prasetyo
http://majalah.tempointeraktif.com/
Karya : Goenawan Mohamad Penerbit :Metafor Publishing, 2001
Seperti dalam film lama kota pun terbelah besi trem terendam dalam kabut (Seperti dalam Film Lama, 2000) Goenawan Mohamad, penyair unggul yang masih terus menulis puisi itu, tahun ini mengetengahkan buku puisi terbaru yang berisi semua karyanya dari rentang penciptaan paling awal hingga terkini.
Dalam buku ini, puisi yang benar-benar baru sesungguhnya hanya berjumlah 12 judul, ditulis pada tahun 2000-2001. Sisanya, hampir 90 persen, adalah puisi-puisi yang sudah muncul dalam kumpulan terdahulu, Asmaradana (1992) dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998)-keduanya masih cukup mudah didapati di toko buku.
Sebagian kecil puisi berasal dari kumpulan lebih tua, Pariksit (1971) dan Interlude (1973), yang sudah lenyap dari pasaran. Dan sejumlah amat kecil berupa karya-karya yang, dengan berbagai pertimbangan, oleh penyairnya di masa silam tidak pernah diloloskan masuk bukunya.
Momen penerbitan buku puisi lengkap ini bersamaan dengan 60 tahun usia penyairnya. Dalam momen yang sama pula, terbit buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (TEMPO, 2001)-sehimpun karya yang juga sudah pernah dipublikasikan di sana-sini.
Mungkin bukan kebetulan jika, bersama momen semacam ini, buku puisi terbaru Goenawan menyingkapkan paradoksnya sendiri: seraya menyajikan puisi, ia menggeser pusat pemaknaan dari puisi. Pergeseran itu terbaca pada pesan penerbit di sampul belakang buku: “Inilah buku pertama yang merupakan himpunan lengkap puisi-puisi dari rentang waktu lima windu karir seorang penyair Indonesia.
Menghimpun seluruh puisi yang ditulis Goenawan Mohamad, sang penyair, esais dan wartawan, selama 40 tahun proses kepenyairannya.” Cukup jelas, tekanan memang terasa lebih memberat pada “karir seorang penyair Indonesia” dan “proses kepenyairannya”. Yang dipersembahkan buku ini pada dasarnya adalah teks kepenyairan pengarangnya-bukan “sekadar” teks puisi.
Esai pengiring dari Sapardi Djoko Damono, kolega Goenawan sesama penyair, berjudul Mencoba Menghayati Si Malin Kundang, terasa semakin mempertegas ruang pemaknaan puisi dari sudut biografi kepengarangan penyairnya.
Sebuah posisi yang seakan menggemakan kepercayaan Octavio Paz, pemenang Nobel Sastra 1990, bahwa “penyair dan kata-katanya adalah satu”. Dalam konteks Indonesia, posisi ini sekaligus mengisyaratkan bahwa kepenyairan hingga kini masih lebih penting dibanding syair, ketika sejarah sastra nasional masih terus hanya ditulis berdasarkan nama-nama sastrawan dan peristiwa di seputarnya.
Lantas, apakah yang khas pada jalan kepenyairan Goenawan? Buku ini menampakkan bahwa Goenawan, sebagai seorang penyair papan atas Indonesia, ternyata tak terlalu produktif menghasilkan puisi. Jumlah 132 puisi yang meliputi lima windu proses kepenyairannya, berarti setiap tahun puisi yang lahir tak sampai empat buah. Namun, yang luar biasa, jumlah puisi yang tak seberapa itu secara relatif diimbangi dengan ketekunan menuliskan pemikiran tentang puisi.
Di antara para penyair terkemuka nasional lainnya, hampir pasti Goenawan paling rajin dan konsisten menulis esai-esai tentang puisi yang layak dikenang berkat mutunya, sejak awal kepenyairannya sampai masa yang jauh belakangan.
Pada Goenawan, kepenyairan sebagai sebentuk aktivitas verbal memang seakan menggigil dengan gigih di tepi hamparan berbagai aktivitas lain. Goenawan adalah penyair, tapi khalayak luas pasti lebih mudah membayangkan sosoknya sebagai tokoh jurnalis, industrialis pers, intelektual publik, aktivis prodemokrasi, deklarator partai politik, atau yang lain.
Sebagian besar dari kegiatan itu bersentuhan langsung dengan arus peristiwa aktual dan seakan menempatkan Goenawan di latar depan pentas sejarah dengan kerumun dan kampiunnya, gelinjang dan gejolaknya.
Puisi-puisi Goenawan muncul dengan membentangkan sehampar jarak terhadap sejarah, tapi tanpa menafikannya. Realitas historis tetap diakui, tetapi seraya dijaga ketat agar tidak menenggelamkan autentisitas manusia.
Menulis puisi, dalam tradisi kepenyairan Goenawan, seolah tindak penebusan yang membebaskan manusia dari gerak roda sejarah yang ingar-bingar dan cenderung menderetkan eksemplar-eksemplar.
Berpuisi adalah berjuang menyelamatkan sekeping wajah manusia-autentik tatkala disadari bahwa “Hidup hanya sehimpun headline” (Bintang Kemukus, 1970) dan “Ingatan hanya akan membentuk sebuah kontinu-itas yang asing dan merisaukan, ketika hidup berpindah-pindah dalam berjuta-juta lempeng yang patah” (K.T.P, 2000).
Dengan menampik tirani sejarah dan kebanalan realitas, puisi-puisi Goenawan jadi cenderung berwatak “hermetik”, terselubung, dengan visi yang seakan digelayuti mendung. Auranya sering bergelimang suasana mirip perkabungan-bahkan saat berbicara tentang gelegak erotika, misalnya.
Berbagai ihwal dan peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan nyata, dalam puisi-puisi Goenawan, diaransemen sedemikian rupa hingga terkesan tidak natural, asing, enigmatik-menjelma jadi kehadiran puitik yang kadang terasa sulit dipahami.
Memang, Goenawan sendiri kerap menyatakan, baik tersurat maupun tersirat, bahwa puisinya bukan ditulis untuk melayani pemahaman, pengertian, atau “pengetahuan”. Puisinya hanya membujuk pembaca agar hanyut menikmati petualangan puitik penyair, tanpa pretensi menguasai arti.
Sebab, bagi Goenawan, “Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa,” dan berpuisi hanyalah “mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia” (Pada Sebuah Pantai: Interlude, 1973).
Makna puisi-puisi Goenawan tidak terletak di seberang kata puisi, tapi berlangsung di dalamnya. Dalam gairah pemaknaan semacam ini pula Goenawan cenderung menulis puisi yang amat sadar-bunyi, kadang bahkan berkualitas musikal-meski ia bukanlah tipe penyair yang piawai melantunkan puisi di atas panggung.
Namun, betapapun, pembaca yang serius akan tetap tergoda untuk meraih secercah “maksud” di seberang kata-kata puisi Goenawan. Bagaimana mungkin pemikiran pembaca bisa tenteram jika puisi-puisi itu sering kali menghadirkan pokok yang punya “kuasa” tertentu di benak khalayak: Asmaradana, Gatoloco, Sinterklas, Yap Thiam Hien, Frida Kahlo, Aung San Suu Kyi, Internasionale, Pemilihan Umum, Oedipus, Minotaur, Winnetou, Nuh, Berlin, Hiroshima, Yerusalem, Sarajevo, serta masih banyak lagi.
Tapi, lewat puisi, Goenawan mengubah perbendaharaan umum itu jadi privat, justru untuk meng-”umum”-kan khazanah pribadinya sendiri. Sebuah paradoks? Barangkali kepenyairan memang ditakdirkan untuk hidup di jantung paradoks, kontradiksi, dan ironi.
Dalam esai pengiring kumpulan puisi lengkap ini, Sapardi Djoko Damono-lewat pembacaan atas esai terkenal Goenawan, Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang-mengungkapkan berbagai paradoks dan kerumitan yang dihadapi Goenawan dalam merumuskan jalan kepenyairannya.
Bukan hanya esai itu, sebetulnya. Semua esai Goenawan tentang puisi pada dasarnya dapat dibaca sebagai upaya keras-kepala untuk memahami (dan membela) posisi puisi yang tampak absurd-baik di hadapan latar personalnya sebagai penyair maupun di tengah zaman yang kian menempatkan “nilai-guna”, bahkan “nilai-tukar”, di atas segalanya.
Goenawan tahu puisinya adalah seonggok keganjilan. Tidak berguna, tak selaras dengan dunia yang kian pragmatis, tidak likuid sebagai ajang pertukaran komoditi. Tapi Goenawan toh tetap setia kepadanya. Bila kata-kata ibarat cahaya, pancaran sinar terangnya akan menerpa tubuh penyair dan menghasilkan bayang-bayang berupa puisi yang menghantui ke mana pun penyair pergi.
Puisi lahir, karena memang tak dapat ditolak oleh penyair. Di titik ini pula, sebuah buku puisi lengkap menganugerahkan secercah “hadiah”. Pembaca yang cermat dapat menikmati pergulatan Goenawan dengan kata-kata puisi, yang sulit terlihat dalam kumpulan puisi pilihan.
Ungkapan puitik “malam yang mengigau dengan gerimis tak kelihatan” pada puisi Saya Cemaskan Sepotong Lumpur (1978) kembali muncul pada puisi Di Serambi (1979) dan Di Tengah Rumah (sekitar 1986)-dengan sedikit perubahan redaksional. Dua puisi terakhir yang berjarak tahun penciptaan cukup jauh itu juga mengandung frase yang sama, yakni “hutan hendam-karam”. Kenapa bisa terjadi? Tentu karena puisi adalah misteri. Dalam puisi selalu “ada sesuatu yang tak perlu terjangkau, juga oleh aku dan engkau” (Di Nara, 2001).
Dengan cara yang ganjil dan irasional, kata-kata puisi memang bisa muncul dan bergaung di sepanjang jalan kepenyairan seseorang, entah untuk apa. Di antara banyak kemungkinan tafsir, barangkali adalah puisi itu sendiri yang ditunjuk Goenawan saat mengatakan bahwa “ada sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang” (Seperti Sebuah Negeri, 2001).
Masih tersisa “hadiah” lain di buku ini. Khalayak sastra mengenal Goenawan sebagai penyair murung yang berkutat dengan lirik-lirik personal dan simbolik, sang konseptor pasemon dan “puisi suasana” yang khidmat, juga penanda tangan Manifes Kebudayaan yang menolak doktrin realisme-sosialis ala rezim revolusioner Demokrasi Terpimpin di awal 1960-an.
Namun, ternyata, Goenawan pernah menulis puisi bernuansa “sosialis” yang sarat simpati terhadap penderitaan rakyat (Surat-Surat tentang Lapar, 1961). Bahkan ia sempat pula mengguriskan baris-baris puisi bernada “progresif-revolusioner” yang menggelora, berjudul Batasan (1963): Revolusi adalah getar-getar peluh dan nadi Membatas lapar kelam hari-hari Revolusi adalah kembang kristal air hujan Di jam kemarau yang kita habiskan Revolusi adalah bintang-bintang putih yang abadi Di langit dunia, riwayat anak-anak manusia
Arif B. Prasetyo, penyair
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar