29/11/10

Sastra, Politik, Realisme Tiada Henti

Maroeli Simbolon S. Sn
http://www.sinarharapan.co.id/

Selain homo fabulans (makhluk bersastra), kita juga homo politicus (makhluk berpolitik) karena berpolitik adalah hak setiap orang. Jadi, jelas sastra berkait dengan politik. Sehingga, dalam berkarya, pengarang tidak dapat melepaskan masalah politik di sekitarnya.

Dalam pengertian praktis, politik berarti ikut aktif mengambil bagian dalam kehidupan bernegara. Tetapi, dalam proses ambil bagian itu sering terjadi salah persepsi – masing-masing orang membuat pengertiannya sendiri. Itulah sebabnya, Wiratmo Soekito menilai, hubungan sastra dengan politik adalah masalah kompletif – dapat ditinjau dari berbagai segi.1) Juga, reaksi pengarang dalam menghadapi masalah-masalah politik: spontan atau berjarak.
*

Orangtua saya pernah memberi petuah kepada saya: ”Seindah-indah mimpi, lebih indah kenyataan.
Sepahit-pahit mimpi, lebih pahit kenyataan.” Petuah ini mengetuk hati dan pikiran kala menyimak buku Leontin Dewangga karya Martin Aleida (Penerbit Buku Kompas, 2003, xviii + 230 hlm). Apalagi keesokan hari, saya baca running text di layar Indosiar, peluncuran buku ini dihadiri oleh beberapa tokoh kiri. Di samping itu, latar belakang penulis yang pernah diciduk dan diceburkan penguasa ke kamp konsentrasi yang menurutnya lebih buruk dari kandang babi (sebagai realitas), juga dari 17 cerpen yang terangkum, 9 di antaranya bertema atau berkaitan dengan politik, menjadi dasar saya mengaitkan karya Martin ini dengan politik.
*

Pada mulanya adalah fakta, sesudah itu imajinasi. Adalah tak mungkin teks sastra lahir tanpa fakta, demikian Gus tf Sakai,2) yang diistilahkan Seno Gumira Ajidarma sebagai ”pembocoran fakta”.3) Apa pun istilahnya, fakta tetap diperlukan dalam berkarya untuk hadirnya (kebenaran) teks sastra. Mengangkat dan menggugat fakta melalui karya bukan dosa, malah pertanggungjawaban selamanya. Itulah yang dilakukan sastrawan-sastrawan Rusia, seperti Ivan Turgenev dan Nicolai Gogol atas tragedi politik di negaranya di abad ke-19 adalah ”pembocoran fakta”, realitas pertanggungjawaban untuk dunia. Kekejaman pemerintahan Rusia disambut sastrawan dengan napas realisme – reaksi berjarak.

Demikianlah cerpen-cerpen Martin. Ide dasar dan tema adalah peristiwa-peristiwa yang ada di sekitar kita.

Dari 17 cerpen yang termuat, kecuali cerpen ”Jakarta 3030”, semuanya (mungkin) berangkat dari peristiwa yang ada dan pernah terjadi. Semua realis, sederhana, bahkan (mungkin) pernah dialami, dirasakan, dilihat pengarang. Fakta diolah secara selektif dengan imajinasi. Fakta dan imajinasi menjadi satu kesatuan utuh.

Cerita yang sesungguhnya dapat menukik dan meninggi, sayang, lebih banyak bermain pada pemilihan kata dan pemaparan. Cerita dijejali pemaparan panjang peristiwa, kurang dalam karakter dan pemadatan konflik. Sehingga sebuah cerpen sepertinya menjadi sebuah lukisan (lanskap). Sebagai contoh, kita petik dari ”Malam Kelabu”:

Matahari menghilang ke dalam bumi tiga jam yang lalu. Jembatan Bacan, kira-kira lima kilometer di selatan Soroyudan, mulai sepi. Hanya orang-orang yang mengenderai sepeda lewat di sana. Jembatan itu gelap sejak tiga jam yang lalu. Cuma kedua ujungnya yang diterangi cahaya listrik berkekuatan rendah, takkan lebih terang dari lampu teplok…

Penggambaran seperti ini banyak kita temui. Bahkan, sepertinya menjadi teknik kepengarangan Martin. Dalam menampilkan tokoh pun, Martin melakukan penggambaran yang sama atau hampir sama. Penggambaran tokoh lebih sering berpanjang mengenai latar belakang, bukan karakter — berkaitan dengan fisik dan psikologis.

Sehingga, tokoh-tokoh nyaris tak berkembang. Tidak ada lompatan-lompatan konflik, termasuk lompatan karakter. Juga, beberapa tokoh hampir mirip dengan tokoh yang lain. Misalnya, tokoh Kamaluddin Armada mirip Anwar Saeedy. Bahkan ada tiga cerpen dengan latar belakang tokoh yang sama, sebagai penjual bensin di pinggir jalan. Padahal, penggambaran tokoh yang ditampilkan Martin melalui dialog jauh lebih kuat. Selain lebih menarik, juga mampu meningkatkan konflik sekaligus merangsang imajinasi pembaca. Seperti dialog dalam ”Kalau Boleh Engkau Kusembah”, berikut:

”Apa…? Bagaimana sebagai seorang Muslim kau bisa berkata begitu. Tukang bersih itu pekerjaan orang
Yahudi ketika mereka diperbudak Fir’aun. Cleaner bukan pekerjaan Islam. Aku tak mau membiarkan diriku dihina. Tidak. Walau tak sedarah, kita dipersatukan kepercayaan. Aku tetap tak bisa menerima pekerjaan sebagai cleaner. Aku yakin kau bisa berbuat sesuatu. Kalau kau mau…” Bahar memalingkan mukanya. Dia letakkan arit di pahanya. Diraba-rabanya mata perkakas itu, sebagaimana biasa kalau dia sedang bertanya pada dirinya sendiri masihkah dia mampu menebas semak belukar setebal pinggang dengan sekali sabet.

”Ini keputusan New York,” sambut Omara cepat. Sikapnya tak berubah, bersahabat…

Seperti tak dapat dielak, penggambaran berpanjang ini membawa ekses banyaknya kalimat panjang. Meski tidak seekstrem Danarto, tetapi kalimat-kalimat pilihan Martin cukup membuat kita menarik napas panjang saat membaca. Gaya ini mengingatkan pada cerpen-cerpen Satyagraha Hoerip, Wildan Yatim, dan Arie MP Tamba yang juga kerap memilih kalimat-kalimat panjang dengan bentuk penggambaran. Seperti petikan ”Leontin Dewangga”, berikut:

Para interrogator yang memeriksanya melihat surat wasiat itu sebagai petunjuk bahwa tangkapan mereka:
seorang pemuda dengan tinggi sedang, rambut ikal dan dua bola mata yang agak menjorok ke dalam tengkorak
dengan tatapan yang tajam, bibir yang tipis serta hidung yang agak mancung, dan tanpa tedeng aling-aling
mengaku sebagai anggota oraganisasi film di bawah pengaruh kaum komunis itu, tidak perlu berlama-lama
disekap di dalam tahanan.
*

Sutardji Calzoum Bachri menilai, ada empat penyakit dalam cerpen Indonesia. Yaitu: abstraksi, kecenderungan ingin merangkum terlalu banyak ide, kurangnya disiplin menulis, dan kurangnya keterampilan dalam mempergunakan bahasa Indonesia. 4) Tentang abstraksi, bukan masalah bagi Martin. Sebab, semua ceritanya berangkat dari kehidupan sehari-hari, dengan gaya penceritaan sederhana, lugas dan menarik. Dari kesederhanaan itu pula cerita mengalir, dengan bahasa yang lancar dan cerdas. Apa yang ditulisnya adalah hal yang benar-benar ia pahami. Ia bukan menulis antah-berantah, yang di luar jangkauannya. Dalam cerpen-cerpennya tidak kita temukan istilah-istilah klise, sok keren, dan pakem-pakem daerah manapun — tidak terjebak dengan warna lokal yang getol dibawa pengarang lain. Bahasa Martin adalah bahasa terpilih, indah dan kuat — seperti berikut ini:

Agak ke belakang, mata saya tertumbuk pada patung yang bagaikan baru turun dari langit, dan dengan syahdu
menatap pohon-pohon yang berderai…(hlm. 59). Menyusuri jalan tol dengan matahari yang seperti gundu merah
raksasa menggelinding perlahan ke balik garis pertemuan antara kaki langit yang jingga dan horison
yang biru gelap, jauh di depan sana. (hlm. 88).

Permainan bahasa sarat menghiasi lembaran cerita. Bahkan, dalam beberapa bagian, kita temukan
kalimat-kalimat penting yang menjadi tanda-tanda (simbol atau perlambang) memperkuat cerita; misalnya:

Di bawahku air Kali Ciliwung tiada bergerak, seakan-akan mati membeku. Angin malam mati. (hlm.
104). Angin yang menjanjikan bertiup di depan hidungnya. (hlm. 153). Selembar daun kering
dihempaskan angin ke pintu toko itu. (hlm. 205).

Sayang, kekuatan ini terganggu dengan banyaknya cerpen diakhiri kesimpulan. Ending disimpulkan. Pesan sering ditampilkan di akhir cerita. Apakah ini disengaja pengarang sebagai gaya baru, atau (jangan-jangan) mengarahkan pembaca agar tidak timbul persepsi dan pengertian ganda? Padahal, salah satu kekuatan teks sastra adalah multitafsir.

Selain itu, masih terdapat unsur kebetulan. Bertemunya tokoh-tokoh terjadi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa proses, tanpa planting information. Seperti, bertemunya Kamaluddin Armada dengan Carik, bertemunya tokoh Pensiunan dengan anak muda. Meski unsur kebetulan bukan haram dalam sastra, tetapi sebaiknya kemunculan tokoh diberi informasi lebih dulu. Tidak perlu panjang, cukup informasi pendek atau selintas–misalnya lewat dialog.

Dari keseluruhan cerpen, ada dua cerpen yang kurang lancar. Yakni, ”Perempuan di Depan Kaca” kurang fokus, terutama terhadap tujuan. Tokoh aku lebih banyak memaparkan teman seprofesinya, padahal cerita diawali dengan kekhawatiran tokoh belum mendapat pasangan di usia merangkak senja. Lebih rancu lagi ”Jangan Kembali Lagi, Juli” selain kurang fokus, juga kurang kuat pada ide, penceritaan, dan tujuan. Cerita mengembara dengan melupakan tujuan awal. Semula (bermaksud) memaparkan konflik batin yang dihadapi pasutri baru di tengah kerasnya kota, tetapi seperempat jalan, cerita berubah menjadi kisah hubungan si tokoh dengan Juli, anjingnya.

Cerita melenceng begitu anjing dimunculkan. Padahal kehadiran anjing cuma sebagai teman tokoh mengisi kesepian di saat suaminya bekerja, bukan berkaitan dengan hidup mati. Melihat persoalan yang diangkat, meski tidak sama, cerpen ini mengingatkan saya dengan cerpen ”Nenek Anjing” karya Poniman (didikan Hudan Hidayat), yang semula mengisahkan konflik batin seorang nenek, tetapi baru seperempat, cerita berubah menjadi kesibukan mencari-cari anjing si nenek yang hilang.
*

Pada mulanya politik adalah abstrak. Tetapi setelah dibentuk menjadi pemerintahan atau negara dengan berbagai simbol, seperti presiden, raja, bendera, lambang negara, dan diakui rakyat, baru menjadi realitas. Demikian pula sastra, pada mulanya hanya imajinasi, tetapi setelah ditulis, berubah menjadi realitas.

Jadi, jika satu persoalan kekuasan dan politik diceritakan (teks sastra), di saat itu pula politik lebur dalam sastra–seperti tepung dalam adonan kue. Kita tidak dapat lagi menyebut politik bersastra atau sastra berpolitik. Sebaliknya, jika politik hanya ditampilkan dengan amarah, teriakan, omong besar (janji kosong)– seperti kerap dilakukan politikus–maka politik tetap abstrak.

Dan, karya Martin tidak seperti itu. Apa yang dicapai Martin sudah melalui tahapan besar.

Hal-hal yang dialaminya—kekekerasan dan siksaan—bukan menjadi amarah dan dendam, juga bukan menjadi ratapan yang mendorongnya bereaksi spontan: protes dengan spanduk, poster atau pamflet. Tetapi, semuanya dijadikan renungan. Perenungan inilah yang membentuk jarak antara pengarang dengan peristiwa. Seperti penegasan Sapardi Djoko Damono, harus ada jarak yang aman antara sastrawan dengan kejadian yang diceritakan. Jarak inilah yang memungkinkan lahirnya karya-karya bermutu. Sastra dan politik tidak dijadikan pengarang sebagai kendaraan.

Sebagai insan bersastra dan berpolitik, Martin telah mampu mengolahnya menjadi adonan yang enak dan perlu, dengan berjarak. Tak bisa dipungkiri, banyak pengarang yang berusaha mengangkat masalah politik, tetapi hanya sedikit yang berhasil melahirkan karya bernapas realisme yang kuat – antara lain, Umar Kayam, Kipanjikusmin, Gerson Poyk. Dari sedikit nama itu tercatat Martin Aleida. Dan, tentu, Martin tidak akan berhenti… .

*) Penulis adalah pekerja seni.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita