31/05/11

YANG DIBANGUN DAN TERBANGUNKAN

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Agaknya hanya diriku yang jadi kagok, ketika berlangsung lomba pidato di kalurahan, siang itu, sehari sebelum hari perayaan Agustusan. Soalnya, pada lumrahnya pidato-pidato yang berdengung, di kampung-kampung, maka lebih dari limapuluh perkataan “pembagunan” disebut-sebut, yang teramat bersifat klise, lagipula membuat pidato itu mirip sebagai ungkapan yang verbal semata. Saya hanya menyebit tiga patah kata pembangunan, yang saya kaitkan dengan istilah “pembangunan mental spiritual”, “pembangunan bangsa dan manusia seutuhnya”, dan upaya untuk “membangun ciri budaya ethnis yang menuju Zaman Baru”, sebelum kita berbicara tentang “sesuatu etos yang terbangunkan”, begitu godam revolusi mengguntur di antariksa.

28/05/11

Sekali Lagi, Mengolah Pengalaman

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

ALHAMDULILLAH laman Mata Kata bisa kembali hadir ke hadapan kita semua. Dalam kesempatan kali ini, dua penyair dari Bandung (Rian Ibayana) dan Magetan (Syukur A. Mihran) mendapat kesempatan untuk tampil di halaman ini. Syukur alhamdulillah laman ini mendapatkan perhatian yang menggembirakan dari para pengirim puisi, meski hingga hari ini pihak manajemen belum bisa mengasih honorarium. Bagi Anda yang ingin turut serta memublikasikan sejumlah puisinya bisa dikirim ke matakata@pikiran-rakyat.com. Insya Allah akan dipilih dengan ketat.

Rian dan Syukur telah menunjukkan kemampuannya dalam mengolah pengalaman batinnya, dalam sejumlah puisi yang ditulisnya itu. Berkait dengan itu, bicara soal pengalaman kita baca sajak Rendra di bawah ini. Tanpa pengalaman dilanda gairah cinta yang demikian hebat dalam batinnya, penyair Rendra tentunya sangat mustahil bisa menulis sebuah puisi yang indah, yang diungkap dengan rangkaian kata-kata --yang begitu sederhana—namun sarat makna dan rasa. Selain itu, letak keberhasilan sebuah puisi dalam mengungkap sebuah pengalaman, tentunya tidak terletak pada daya ungkap yang rumit, akan tetapi terletak pada kesederhanaan kata demi kata yang dipilihnya, yang membuka ruang seluas-luasnya bagi daya komunikasi yang dikandung oleh puisi tersebut. Kita baca sebuah puisi cinta yang ditulis Rendra di bawah ini: dipetik dari Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya,. Cet. Ketiga, 1981:18)

EPISODE

Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.

Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.

Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.

Tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”

Aku hanya tertawa.

Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku
Sementara itu
aku bersihkan
guguran daun jambu
yang mengotori rambutnya

Dalam puisi di atas, gairah cinta yang diungkap Rendra terasa demikian romantis, dikarenakan Rendra mampu menggambarkan sekaligus memvisualkan hal-hal yang bersifat fisik secara nyata di benak para apresiatornya lewat larik demi larik puisi yang ditulisnya. Di dalam puisi tersebut ada halaman rumah, ada guguran daun jambu, ada bangku, ada pohon jambu, ada kain baju yang terbuka, ada aku lirik dan lawan bicaranya, yang jadi kekasih aku lirik.

Bahan-bahan fisik yang diamati dengan cermat oleh Rendra dalam puisinya itu, pada akhirnya menjelma menjadi sebuah pengalaman yang indah, di mana cinta tidak hanya menumbuhkan rasa suka di dalam diri manusia, tetapi juga ketenangan. Nah, suasana romantis semacam itulah yang ingin dikomunikasikan Rendra kepada kita. Ada pun apa dan bagaimana makna yang dikandung oleh puisi tersebut sepenuhnya sangat bergantung pada daya tafsir kita. Dengan demikian makna puisi tidak tunggal. Dan kita dalam konteks yang demikian itu tidak sedang membicarakan atau membongkar makna puisi tersebut, akan tetapi sedang membicarakan bagaimana pengalaman yang bersifat fisik dan batiniah itu tengah dioperasikan Rendra dalam menulis puisi yang bertema cinta.

Dari pemaparan semacam itu, dapat disimpulkan bahwa seorang penyair ketika menulis puisi – selain harus peka – terhadap apa yang dialaminya, ia harus peka pula terhadap suasana yang melingkupi objek puisi yang hendak ditulisnya. Tanpa peka terhadap objek-objek yang hendak ditulisnya itu, tentu saja Rendra tidak akan berhasil menulis puisi yang indah semacam itu. Demikian pula dengan puisi yang saya tulis, tanpa peka terhadap suasana yang terjadi di dalam dan di luar batin saya, pastilah saya tidak akan mampu menulis puisi yang tidak hanya mengangkat tema kerinduan pada si mati, akan tetapi juga mengangkat tema tentang betapa fananya manusia di hadapan Yang Maha Kuasa.

Lantas apakah menulis puisi itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja? Jawabnya tentu saja tidak. Menulis puisi bisa dilakukan oleh siapa saja. Secara teknis; apa dan bagaimana menulis puisi bisa dipelajari oleh setiap orang. Namun demikian soal isi dan kualitas puisi bergantung pada jam terbang, dan kesungguhan sang penyair dalam menghayati, maupun memahami objek puisi yang akan ditulis dan diekspresikannya di atas kertas secara sungguh-sungguh. Uraian di atas adalah hanya sebuah contoh kecil bagaimana pengalaman itu diolah dan dioperasikan oleh saya dan Rendra dalam menulis puisi.

**

LEPAS dari persoalan tersebut di atas, pada sisi yang lain ada pula puisi yang ditulis dengan cara lain, yakni dalam mengolah pengalaman hidup ditinggal mati, atau saat jatuh cinta; tidak menamapilkan citraan visual (fisik) sebagaimana dua puisi di atas. Puisi yang ditulis dalam kaitan di bawah ini adalah sepenuhnya puisi renungan. Misalnya hal itu bisa kita temukan dalam puisi yang ditulis oleh penyair Chairil Anwar, yang dikenal sebagai tokoh penulis puisi Indonesia modern, yang melepaskan dirinya dari tradisi pantun. Puisi Chairil di bawah ini dipetik dari antologi puisi Aku Ini Binatang Jalang (PT Gramedia, Maret 1986: 3)

NISAN
- untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerindlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta

Oktober, 1942

Dalam puisi di atas Chairil Anwar mengolah pengalaman rohaninya yang bersumber dari pengalamannya saat ia ditinggal mati oleh neneknya tercinta. Kata demi kata yang dipilih dan ditulis oleh Chairil Anwar dalam puisinya itu begitu ringkas dan padat, bahkan sarat makna. Dengan ditampilkannya contoh di atas, ini artinya bahwa sebuah puisi bisa ditulis tanpa harus melibatkan hal-hal yang bersifat visual sebagai bahan dasarnya. Demikian juga dengan puisi di bawah ini yang ditulis oleh penyair Subagio Sastrowardoyo, dipetik dari antologi puisi Dan Kematian Makin Akrab (PT Grasindo, 1995: 36)

KATA

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri dalam kata

Renungan macam apa yang ingin disampaikan oleh penyair Subagio Sastrowardoyo dalam puisi tersebut di atas? Yakni tentang pengalamannya yang berhadapan dengan kata, baik kata-kata yang berasal dari Tuhan (firman Tuhan), maupun yang berasal dari manusia. Bila kita sembarangan dalam berkata-kata, pastilah akan celaka, termasuk menjual firman Tuhan untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya. Apalagi bila bermain-main dengan firman Tuhan, misalnya mengubahnya. Orang yang demikian jelas orang yang celaka adanya. Karena itu hati-hatilah berkata-kata, termasuk menulis puisi.

Dalam bait terakhir ditulis: dan menenggelam/ diri dalam kata//…tiada lain adalah bahwa menulis puisi pada satu sisi memang merupakan sebuah proses penenggelaman diri ke dalam kata, dan pada sisi yang lain adalah berupa proses menafsir kata, entah itu ketika menafsir ayat-ayat suci yang bersumber dari kitab suci, atau berupa teks puisi, novel, naskah drama, dan berbagai karya seni lainnya yang masih ada hubungannya dengan kata-kata, seperti lirik-lirik tembang apa pun bentuknya.

Jadi pengalaman yang diolah oleh seorang penyair dalam puisi-puisi yang ditulisnya itu bisa beragam, dengan atau tanpa citraan visual yang ditulis di dalam larik-larik puisinya. Dan apa yang dinamakan citraan visual pada satu sisi bisa berupa simbol yang akan diungkap pada halaman yang lain. Sedangkan pada sisi lainnya bisa juga berfungsi sebagai penegas suasana dari sebuah latar puisi, entah itu mengolah pengalaman religius, sosial, cinta, atau pun kematian. Ada kalanya orang menyebut bahwa apa yang disebut dengan pengalaman sebangun dengan tema. Sementara itu ada juga yang menolak mengatakan hal tersebut itu sama dengan tema.

Tapi apa pun, sekali lagi, ingin saya tekankan dalam bagian ini, bahwa memahami dan menghayati sebuah pengalaman dari sisi mana pun pengalaman itu akan ditulis dalam sebuah karya sastra, khususnya puisi, adalah sebuah hal yang tidak bisa diabaikan atau dianggap sepele. Tanpa kesadaran bahwa mengolah pengalaman itu penting dalam berkarya sastra, maka karya yang ditulisnya hanyalah tumpukan kata-kata hampa makna dan rasa. Karya yang demikian akan selalu gagal menemui pembacanya yang kritis, yang selalu mengharap adanya nilai-nilai yang bisa dipetik dari sebuah puisi yang tengah dibacanya. (Soni Farid Maulana/PRLM).***

Sajak-sajak Rian Ibayana
DI KOTA INI

Hujan menggerus usia
cerita dan peristiwa seperti tersesat
di gorong-gorong pengap penuh sampah.
Sementara bayanganmu tampak kuyup di banjir cileuncang
namun buyar digilas roda yang melintas.

Kekasih, aku kesepian di kota ini ,
berjalan jinjit menelusuri trotoar basah
meratapi umur yang luruh dimamah musim.
Lampu-lampu rindu di pinggir jalan
seakan pucat mengiringi tahun-tahun yang berlalu cepat.

Sebenarnya masih kusimpan kenangan kita meramu sendu
saling mengungkap kegelisahan
sambil menyimak bercucurannya peluh tukang rokok
serta ketabahan penjual koran.
Masih kutata apik kisah kita
dekat tiang listrik serta di sebuah parkiran lama.

Kekasih, aku kesepian di kota ini ,
berjalan jinjit menelusuri trotoar basah
meratapi umur yang luruh dimamah musim,
meratapi tubuh yang renta, disapa resah cuaca.

Okltober 2010



TJIBUNI JAVA

Kurasa ini terlalu dini
untuk memakamkan lembar demi lembar kenangan
serta seribu ingatan tentang hamparan hijau.
Di sebuah kampung tua yang diselimuti berlapis-lapis tirai dingin.
Tjibuni yang hening.

Di ujung Desember yang lindap serta berbalut gerimis
sempat kupahat jejak, tanda kehadiran
di atas tanah merahmu yang lembab dan basah.
Aroma teh hitam menyerbak dari cerobong pelayuan
mengudara bersama sepenggal kisah
kuntum rindu yang baru rekah.

Pohon cemara berbaris di pinggir danau biru
nampak menaungi berkas sejarah
yang terukir di atas batu berlumut,
sepotong romansa di antara deru pabrik
yang menggaung gelisah.

Kurasa ini terlalu dini
untuk memadamkan obor cerita
di Tjibuni yang hening
kampung tua berkabut.

2009



HILANG

Sosok asing itu harus hilang
padahal masih basah luka di tangan
masih rindu untuk mengenang.

Apa daya detik membawanya pergi
membawanya hilang sampai nanti.

Sosok asing itu harus hilang
semakin terukir rindu menggebu.

Sosok asing itu memang harus hilang
Semakin singkat wangi menyerbak.
Semakin perih ujung rambut menusuk.

23 Juni 2004



SEPI

Ini benar-benar mencekik
menyesakan
bahkan puisipun enggan lahir.

2011

Rian Ibayana lahir di Ciwidey Bandung Selatan. 25 April 1988. Belajar menulis secara otodidak. Sekarang aktif bergiat di Majelis Sastra Bandung dan Komunitas Layung Beureum Ciwidey. Tinggal di Ciwidey dan bercita-cita dikubur di Ciwidey juga.
***

Sajak-sajak Syukur A. Mirhan,
DI LADANG JEJAK KUTEMUKAN BERCAK-BERCAK SEBUAH SAJAK

Di ladang jejak kutemukan bercak-bercak sebuah sajak. Bercampur nanah perasaan ayah di retak tanah si emak. Diksi-diksinya bau amis. Menebarkan aroma biografi tragis. Tertimbun rimbun belukar tangis

Serupa cinta terlunta yang berabad tiada pernah dijenguk. Lirik-liriknya membusuk di tangkai waktu yang melapuk. Mengeram dalam pembuluh darah dendam. Meracun dalam kenyataan hidup yang berkhianat membunuh ayah

Di ladang jejak kutemukan bercak-bercak sebuah sajak. Sajak yang pernah kucampakkan ke dalam tong sampah keadilan. Sebab ia tak mau berteriak apalagi bertindak. Ketika ayah terkapar sehabis kalah berduel melawan para begal berseragam kekuasaan

Penyair memang seharusnya memilih diam sebuah sajak daripada tajam sebilah kapak. Diam sebuah sajak akan membuat ladang jejak tetap hijau karena dima krifat kemilau damai. Sedangkan tajam sebilah kapak akan membuat ladang jejak merah karena dijulumat gulita amarah!

Sayup-sayup angin yang menyemilir dedzikir mengantar mauizhah ruhani literamu. Sampai juga ke dangau renung, tempatku menyaungkan gebalau rundung. Karena telah membunuh sajak. Sebab dia tak mau berteriak apalagi bertindak. Ketika para begal berseragam kekuasaan terkapar sehabis kalah berduel melawan diriku yang tertipu oleh diam sebilah

kapak yang menyamar tajam sebuah sajak yang bertahun-tahun tak kukuduskan.

Magetan, 2010



SIKLUS SUCI KESETIAAN

Seperti hujan yang jatuh hati abadi pada kota kelahiran cinta kita. Sepanjang musim akan kutumpahkan seluruh gairah air semesta langit yang terus menderas dan mengalir sampai jauh ke laut jiwamu. Mengairi rahimbumimu yang berabad-abad tandus dikuras nafsurakus. Hingga dirimu tiada pernah lagi melahirkan bayi-bayi khalifah fil ard yang menjagamu dari pertumpahan darah anak-anak Adam

Seperti hujan yang jatuh hati abadi pada kota kelahiran cinta kita. Sepanjang musim akan kutumpahkan seluruh gairah air semesta

langit yang akan menjadi telaga suci di tepi kanan hatimu yang perawan dari perasaan hawa’. Dan dari telaga sucimu itu naiklah ke udara uap-uap tetasbihan yang menguntai hijau. Lalu diterbangkan

angin lugu yang tak pernah mengembara ke negeri radiasi. Kemudian
menjadi hujan belia yang akan menumbuhkan beribu-ribu telaga suci lagi

di tepi kanan hatimu yang perawan dari perasaan hawa’. Hingga rahimbumimu pun kembali melahirkan bayi-bayi khalifah fil ard yang akan memeliharamu dengan tangan dan hati seribu nabi

Demikianlah kita. Hidup dalam hakikat siklus kesetiaan Tuhan. Lima puluh ribu tahun sebelum kau dan aku diciptakan

Magetan, 2010



TUKANG DAUN PANDAN DI GIGIL DINI HARI JEMBATAN MERAH

Pulang ke kota kanak-kanak kita. Masih seperti mudik tahun ketiga. Menyisakan kisah sama. Kisah sederhana. Kisah yang tidak akan mengusik ketenangan Keluarga Cikeas. Kisah yang tidak lebih berharga daripada sehelai rumput di mulut seekor anak kijang istana kebun raya

Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan mimpi yang paling bersahaja: Hari Minggu bersama keluarga pelesiran ke kebun raya. Menggelar tikar di bawah teduh cemara. Makan nasi buntel daun pisang, lauk asin, sambal terasi, kerupuk kulit, dan lalap timun muda.

Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan cita-cita yang cuma setinggi langit-langit gubuknya: Menjelang Ramadhan lunas semua hutangnya. Sebulan penuh tenang menjalankan ibadah puasa. Tiga hari ba’da lebaran --dengan dada plong-- mudik ke rumah mertua.

Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan hiburan murah meriah di TV Warteg Ceu Mirah: Siaran langsung pertandingan El Clasico: Barcelona Versus Real Madrid. Derbi Duo Milan: AC Milan Lawan Inter Milan. Dan Big Match: Liverpool Kontra Menchester United.

Pulang ke kota kanak-kanak kita. Masih seperti mudik tahun ketiga.
Menyisakan kisah sama. Kisah sederhana. Namun menyesak di dada:
Biayapendidikan bersekongkol tunggakankreditan sungguh bengis merampok habis seluruh malam tukang daun pandan.

Bogor, 2010

Syukur A. Mirhan, lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus Fakultas Bahasa dan Seni IKIP/UPI Bandung (1990-1997). Pengasuh LanggarALITliterA dan Forum Lingkar Pena Se-Eks Kresidenan Madiun. Puisi-puisinya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Tabloid Hikmah Bandung, , Mitra Budaya, Pikiran Rakyat Cirebon, Isola Pos, Bandung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Swadesi, Annida, Ummi, MPA Surabaya, SuaraSantri Al-Madinah, Jurnal Bogor, Sabili, Fajar Banten, Oase Kompas Online, Antologi Puisi Forum Kebun Raya, dan Airmata yang Jatuh di Negeri Rembulan Timur. Alamat: MA Al-Fatah Temboro Karas Magetan 63395, email: syukur.amirhan9@gmail.com, dan HP 085233738177

Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan

Arif Bagus Prasetyo
http://majalah.tempointeraktif.com/

Sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan dan kejuangan. Salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.

SEMANGAT kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, memang seakan melekat pada citra Chairil Anwar (1922-1949). Chairil aktif berpuisi pada zaman revolusi, sebuah kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Puisi-puisi awalnya ditulis pada masa pendudukan Jepang dan karya-karya terakhirnya diguratkan pada pengujung dasawarsa 1940-an.

Kepenyairan Chairil bersinar ketika Indonesia masih ”bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ’aku’” (Buat Gadis Rasid) sehingga masih harus berjuang keras mempertahankan diri dari berbagai kekuatan eksternal dan internal yang ingin menghapus eksistensinya. Chairil semasa hidupnya konon bergaul dengan para tokoh elite pejuang-pendiri negara-bangsa Indonesia, seperti Bung Karno dan Bung Sjahrir.

Kritikus H.B. Jassin (almarhum) menobatkan Chairil sebagai ”Pelopor Angkatan 45”, sebuah periodisasi sastra(wan) Indonesia yang dinamai dengan angka keramat tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan dan kejuangan bangsa.

Itulah kiranya sebagian faktor yang membuat Chairil cenderung dinilai sebagai sosok penyair yang, lebih daripada penyair Indonesia lainnya di sepanjang sejarah, paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Banyak sudah pakar sastra Indonesia yang menyepakati bahwa nasionalisme/patriotrisme adalah bagian penting dari riwayat Chairil sang Penyair.

Sekadar contoh, dalam esai ”Chairil Anwar Kita” (Aku Ini Binatang Jalang, 1986) yang menutup buku koleksi lengkap puisi Chairil, Profesor Sapardi Djoko Damono menulis: ”Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan…. Bahkan sebenarnya… salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.”

Mendiang Dami N. Toda tegas menyatakan: ”Sehubungan dengan kelibatan sosial yang bermakna patriotisme, Chairil Anwar sepenuhnya menginsafi getar denyut dan tuntutan bangsanya. Seluruh perjuangan estetik dengan seluruh peralatan analis rasional yang tajam diabdikan kepada bangsa.” Karya Chairil Aku, Merdeka, Diponegoro, Cerita buat Dien Tamaela, Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Catetan Tahun 1946, dan Perjurit Jaga Malam, dalam pandangan Dami, ”Adalah jelas sajak-sajak patriotik.”

Pandangan khalayak awam tak berbeda dengan itu. Sampai sekarang, panggung perayaan Hari Kemerdekaan RI di kampung-kampung hampir tak pernah luput menampilkan ”sajak-sajak patriotik” Chairil yang populer, seperti Aku dan Krawang-Bekasi. Bahkan kemungkinan besar, dalam ingatan masyarakat di Indonesia, hanya ada Chairil ”sang penyair solider” yang berteriak, ”Bagimu negeri… maju. Serbu. Serang. Terjang” (Diponegoro). Barangkali tak pernah terlintas dalam benak orang ramai bahwa ada Chairil ”sang penyair soliter”, dengan puisi yang mendesahkan kesadaran humanis tragis: ”Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing” (Pemberian Tahu).

Tapi apa pendapat Chairil sendiri tentang ”sajak-sajak patriotik” yang diciptakannya? Dalam sebuah kartu pos tertanggal 10 Maret 1944 yang dikirimkan kepada Jassin, Chairil menulis: ”Begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti Diponegoro tidak lagi,” (Aku Ini Binatang Jalang, 1986). Faktanya, ”sajak-sajak patriotik”, yang tentunya dekat, bahkan lekat, dengan semangat kolektivisme, hanya mengisi sebagian kecil dari khazanah puisi Chairil. Sebagian besar puisi Chairil justru, meminjam ungkapan Sapardi, ”mencerminkan sikap individualistis”. Dan memang, analisis puisi Chairil yang dilakukan para sarjana sastra banyak yang menggarisbawahi ”ideologi” individualisme sang penyair.

Chairil lebih banyak berpuisi tentang problem eksistensial yang dihadapi dengan heroik dan tragis oleh seorang individual sejati. Sang Aku dengan perih-megap-meriang banyak bertutur tentang hubungan asmara yang jalang dan/atau getir, kesepian, kehampaan hidup, pencarian religius, maut, dan pergolakan batin lainnya yang bersifat personal.

Tentu saja ”keakuan” Chairil dalam puisi tidak mutlak harus dibaca sebagai ”sikap individualistis” pribadi, tapi bisa juga dimaknai sebagai pernyataan eksistensial dari bangsa yang baru merdeka dan ingin mandiri, sebuah ”bangsa muda menjadi” yang ”baru bisa bilang ’aku’”. Dami, misalnya, memasukkan puisi Aku dalam kelompok ”sajak-sajak patriotik”.

Sebaliknya, Sapardi mengatakan bahwa puisi yang sama mencerminkan sikap individualistis Chairil: ”Boleh dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis.” Barangkali Dami membaca aku-lirik puisi Aku sebagai personifikasi bangsa Indonesia, suatu pars pro toto dari ”kami bangsa Indonesia”, sedangkan Sapardi membacanya sebagai manifesto ego-pribadi. Kedua tafsir sama-sama boleh jadi.

Namun, pembaca yang peka tentu sulit menghilangkan kesan bahwa ”aku” dalam kebanyakan puisi Chairil cenderung muram, terkesan menjauh dari gelora semangat kolektif sebuah bangsa di tengah suasana revolusi. Kesan ini bahkan membayangi puisi dengan judul bergelora, Merdeka, yang oleh Dami juga digolongkan dalam ”sajak-sajak patriotik”. Setelah pada bait awal mengumandangkan kobar hasrat aku-lirik untuk ”bebas dari segala” dan ”merdeka”, puisi dikunci dengan bait bernada sendu-pilu-kelu: ”Ah! Jiwa yang menggapai-gapai, Mengapa kalau beranjak dari sini, Kucoba dalam mati.”

Sebagian di antara ”sajak-sajak patriotik” Chairil versi Dami ditulis pada tahun-tahun sesudah sang penyair menulis kartu pos yang menyatakan berhenti ”menulis sajak keperwiraan”: Catetan Tahun 1946 (1946), Cerita buat Dien Tamaela (1946), Persetujuan dengan Bung Karno (1948), Perjurit Jaga Malam (1948). Jika betul puisi-puisi tersebut adalah ”sajak-sajak patriotik”, berarti ”keadaan jiwa” Chairil telah berubah dari kondisi dua tahun sebelumnya, sehingga ia memutuskan untuk kembali menulis ”sajak keperwiraan”.

Tapi ada kemungkinan lain: puisi-puisi tersebut bukan ditulis dengan maksud melayani patriotisme, melainkan untuk menunjukkan betapa susahnya sang penyair mempertahankan subyektivitas individualnya di tengah suasana revolusi yang menihilkan eksistensi pribadi, menyeret dan mengubah individu jadi massa, sekadar sekrup dalam sebuah mesin kolektif revolusioner raksasa bernama ”bangsa Indonesia”.

Ambil contoh Persetujuan dengan Bung Karno, puisi bernada patriotik-nasionalistis yang dicap Sapardi sebagai ”sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang”. Dalam puisi itu cukup jelas tergambarkan transformasi ”aku” menjadi massa yang tersihir retorika Bung Karno yang terkenal mampu membius khalayak itu: setelah ”sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu”, ”aku sekarang api aku sekarang laut”.

Dengan mengoperasikan tafsir alternatif semacam ini, puisi-puisi ”individualistis” Chairil pun dapat dibaca sebagai strategi intelektualisme defensif, ketika sang penyair membina suatu kehidupan introspeksi batin di seberang aktivitas revolusioner yang melimpah-ruah. Karena gelora revolusi mengancam subyektivitas individualnya, Chairil menulis puisi sebagai suatu mekanisme pertahanan diri, yang secara spiritual melindunginya dari ancaman ”lenyap” terseret arus massa revolusioner.

Pada titik inilah, khazanah puisi Chairil kiranya dapat memberi pelajaran yang berharga bagi kita di sebuah era ketika otonomi kesadaran pribadi kian mudah terancam oleh gilasan mesin kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, budaya, agama) yang berbahan bakar massa, seperti era kita sekarang.

*) Kritikus Sastra.

Memetik hikmah dari puisi-puisi transendental, karya Moh. Gufron Chalid

Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/

“Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” ( Teeuw ).

Seperti yang dikatakan Teeuw di atas, seperti itulah yang saya temukan pada sajak-sajak Moh. Gufron Chalid yang terkumpul pada 17 sajak pilihan, yang di inbokkan ke saya untuk saya pelajari.

Setelah menelusuri setiap detak nafas sajak-sajak tadi, di sana saya dapat merasakan bagaimana penyair dalam menjalani proses pencarian jalan kebenaran melalui medium sastera.

Sebagai salah satu alat atau media untuk meletupkan rasa dan pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat mempengaruhi pola piker dan atau pola piker baru yang berdampak positip pada pribadi penyair serta penghayat selanjutnya, puisi,sajak, merupakan perwujudan yang tepat dari sekumpulan kata atau kalimat yang merupakan bagian dari yang namanya bahasa (baca: bahasa hati,bahasa piker,bahasa rasa, dll).

Bahwa Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Bahkan Jhon F Kennedy mantan presiden Amerika yang fonumenal mengkaitkan puisi dengan kehidupan bernegara: “ bila politik bengkok, maka Puisi yang akan meluruskannya”. Dari statemen tersebut, betapa penting dan berpengaruhnya puisi yang baik, tidak hanya dikaitkan dari sudut agama atau keyakinan saja, tapi juga terkait kuat (bila mau menyelaminya) bagi tatanan Bangsa,Negara, dan perbaikan pola piker positip bagi masyarakat dan atau indifidu penghayat.

Latar belakang budaya, pendidikan, pola hidup, kejiwaan, keyakinan, dll, sangat berpengaruh sekali akan hasil perwujudan puisi, baik dalam kapasitas tekstual puisi maupun muatan makna yang tersurat dan atau tersirat pada karya sastra puisi,sajak bersangkutan.

Dan factor-faktor seperti itu juga yang mempengaruhi karya-karya Moh. Ghufron Cholid yang terkumpul pada 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN.” Dimana nuansa transendental (kemenonjolan hal-hal yang bersifat spiritual/kerohanian) sangat menonjol pada setiap karyanya. Tidak perlu heran, karena lingkungan agamis yang kuat dari keluarganya serta atmosfir kehidupan pesantren, secara tidak langsung telah membentuk pola pikernya dalam berkarya cipta.

Seperti yang tertuang pada enam buah puisi Moh.Ghufron Cholid “ Menuju Pelabuhan, Sholat, Pertemuan, Selepas Subuh, Perempuan malam,dan Pengakuan “ yang saya anggap paling kuat dari segi alur, bunyi, pemaknaan, sehingga sangat-sangat menyita perhatian saya selaku penghayat, bila dibandingkan dengan puisi lainnya yang tergabung dalam 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN”, yang menurut saya terkesan hanya mengalir biasa saja.

Tajuk puisi ““Menuju Pelabuhan” yang sekaligus dijadikan sebagai puisi pembuka pada 17 kumpulan puisi pilihan Moh.Ghufron Cholid, begitu kental dengan nuansa transendental, betapa aku lirik beserta segala ketidak berdayaannya dalam menghadapi tipu daya pesona dunia nan fana, dengan tiga hal sifat yang senantiasa melekat pada insan Tuhan ( suka berkeluh kesah, tak pernah merasa puas, dan penyakit iri ), di sini aku lirik berusaha melawannya dengan cara mendekatkan diri pada sang pencipta, serta menyadari dengan sepenuh rendah hati, betapa tiada yang patut dia sombongkan di hadapan Illaihi Rabbi, serta berharap mendapat Ijabah dengan cara sujud yang sebenar-benar sujud atas segala kebesaran-Nya.

Dan nuansa seperti itu akan pembaca dapatkan pada Sajak “Menuju Pelabuhan” yang menjadi tajuk dan pembuka pada 17 kumpulan sajak terpilih Moh. Ghufron Cholid, saya petikan bait awal sajak tersebut, di bawah ini :

“Menuju pelabuhan kasihMu
Aku terkepung
Antara riak rindu dan ombak nafsu
Terkadang badai dan topan menerjangku
Aku serupa kapas
Berdansa di samudera lepas
Hilang arah tanpa batas”

Begitu kuatnya unsur transendental yang tersirat pada bait awal sajak tersebut. Dan saya yakin ini semua juga tidak terlepas dari pengaruh budaya hidup Moh.Ghufron Cholid yang sedikit tidak banyak dipengaruhi oleh atmosfir pesantren.

Puisi “Menuju Pelabuhan” ini, langsung mengingatkan saya dari sisi kekerabatan makna pada karya “CERITA BUAT IMANA TAHIRA” buah tangan penyair surealis spiritual Acep Zamzam Noor, yang sajak-sajak liris spiritualnya kebanyakan sering mengajak alam bawah sadar pemghayat untuk masuk ke dunia sufistik dalam mengungkap makna-makna yang bersifat transendental, melalui symbol-symbol alam, benda, cuaca, dll sebagai wujud pencitraan.

Seperti halnya “Menuju Pelabuhan”, Penyair Sepiritual Acep Zamzam Noor yang merupakan asset khasanah sastera tanah air ini, dalam “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, tersirat adanya suatu kekerabatan makna, yakni sama-sama tunduk dan tawaduk atas kebesaran Illaihi, betapa kita insan hanya serupa debu dihadapan Tuhan. Kurang lebih itu inti makna yang sama-sama ingin disampaikan. Mari kita baca dua bait yang saya kutip dari sajak Acep Zamzam Noor “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, di bawah ini :

“Memandang langit
Aku ingat wajah kekuasaan
Merah padam
Sedang menginjak bumi
Seperti kudengar suaraku yang sunyi

Di jalan setapak
Yang disediakan bumi tulus ini
Kata-kataku tumbuh dari udara
Kata-kataku membangun menara tinggi
Namun akhirnya runtuh juga” ( di petik dari sajak Acep Zamzam Noor )

Kekerabatan makna “Menuju Pelabuhan” ini juga bisa kita jumpai pada sajak “Doa” buah karya dari penyair D. Zawawi Imron, di mana pada karya “Doa”, penyair melalui aku lirik, betapa takjub akan kebesaran dan kekuasan Tuhan, dan betapa insan setiap mengingat kebesaranNya, terlihat kerdil tiada daya dibandingkan dengan segala kebesaran-Nya.

“bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam
rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh
membangkitkan gelombang lautan rindu
menggebu menyala
dan lagu-Mu yang gemuruh
menyangkarku dalam garden-Mu” ( Dipetik dari sajak “Doa” D. Zawawi Imron ).

Suasana transendental juga akan kita jumpai pada karya “SHALAT” yang ada pada 17 sajak pilihan Moh. Gufron Chalid. Sajak pendek yang hanya satu bait dan terpeta terdiri 3 baris, saya rasa cukup berhasil membawa penghayat untuk masuk ke dalam dunia renung akan pentingnya menjalankan syariat Tuhan dengan sebaik-baiknya iman.
Secara makna, sajak ini mengingatkan saya pada tembang “Tamba Ati” karya Sunan Bonang yang sering saya nyanyikan saat saya masih kecil dan mengaji di mushola di desa saya Malang.

Sekali lagi saya katakana, secara makna, sajak Sholat ini sangat dalam, hanya secara puitika bahasa, karya ini terasa mengalir begitu saja, dalam arti, cengkeraman kuat yang bisa menghisap imaji penghayat kurang terbentuk, hal ini bisa jadi di karenakan puitisasi bahasanya yang terkesan standart ( umum).

Saya tidak membandingkan karya “Sholat” dengan” Tamba Ati” karya Sunan Bonang, namun saya hanya ingin menggambarkan betapa dengan pilihan diksi yang kuat dan susunan yang tepat, walau pendek, tembang “Tamba Ati” tetap mengemakan bunyi yang begitu mengesankan.

Saya petikan sajak “ Shalat “ dan “ Tamba Ati “, yang secara kekerabatan inti makna tidak jauh berbeda; yakni mengajak insan untuk menjalankan Syariat Tuhan dengan setulus-tulusnya ikhlas.

“Tuhan
Kau dan aku
Tak ada tabir rahasia”

Betapa di sini penyair dalam sajak “Sholat” ingin menyampaikan, bilamana kita menjalankan segala perintah-Nya ( Shalat ), ibarat pengantin dan atau bila dalam suatu rumah tangga, suami istri, tiada lagi penyekat untuk senantiasa berdekatan ( dalam koridor tanda kutip ). Sebuah pesan tersirat yang mengingatkan setiap insane ( penghayat ) untuk senantiasa tawaduk dan iklas dalam mendapatkan ijabah dari Tuhan, seperti yang ada pada larik lengkap tembang “ tamba Ati” karya Sunan Bonang dalam syiar islaminya.

“Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi

Kurang lebih maknanya seperti ini :

Obat hati itu ada lima macamnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan mengamalkan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga menjalin silahturahmi dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat menjalankan ibadah berpuasa, agar bisa memetik hikmah dari penderitaan kaum miskin.
Kelima sering-sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan. “

Jadi secara implisit seperti itulah pesan yang terkandung pada puisi pendek yang hanya 3 baris di luar judul, mempunyai kandungan makna seperti pemaknaan yang ada pada tembang “tamba Ati”, khususnya dalam pencapaian tingkat ijabah Tuhan “Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan”.

Terlepas dari kurang kuatnya daya hisap imaji karya, sajak “Sholat” ini patut untuk dibaca sebagai bahan renung agar kita senantiasa ingat dan bisa lebih dekat dengan Tuhan. Amin.

Dan pembaca akan semakin diajak bertilawah hati dalam menangkap pesan-pesan transendental yang ada pada 17 sajak pilihan karya Moh.Ghufron Cholid, yang dengan bahasa lugas dan membumi. Walau dalam kesederhanaan puitisasi bahasa, dan minimnya penggunaan majas metaphora, tapi ketotalan penyair dalam menjiwai setiap gores baris sajaknya, menjadikan sajak-sajak tersebut serasa punya roh untuk bercerita, serta memudahkan setiap pembaca dalam menerjemahkan pesan tekstual sajak dengan mudah. Seperti pada sajak “ SELEPAS SUBUH” yang merupakan bentuk penghormatan dan kekaguman penyair pada gurunya yang telah berpulang ke Rahmattullah, saya kutip penuh , seperti di bawah ini:

SELEPAS SUBUH
Teruntuk guru tercinta Alm. KH. Moh. Tidjani Djauhari

Guru
Selepas subuh
Rumput-rumput bertahlilan
Beburung membaca yasin
Di sekitar nisanmu
Lalu
Kusaksikan pohon-pohon doa semakin lebat daunnya
Lantas
Meneduhi nisanmu
Kemudian
Aku mengerti
Suatu hari nanti
Wajahku berganti nisan
Namun
Aku belum tahu
Apakah nisanku akan seteduh nisanmu
Namun
Aku belum tahu
Jika wajahku telah berganti nisan
Apakah rumput-rumput akan bertahlilan
Dan beburung akan membaca yasin
Semisal yang kusaksikan selepas subuh ini (Al-Amien, 2009)

( andai saja mau sedikit menyentuh tipograpi puitikanya/pemetaan baitnya, saya yakin sajak ini akan kian bernas dan semakin enak dibaca)

Akhir kata, terlepas dari segala plus minus karya sajak ini,tidaklah berlebihan bila saya katakan 17 karya pilihan Moh.Gufron Cholid ini layak untuk dibaca, sebagai salah satu jalan mencari kebenaran melalui pemikiran-pemikirannya yang dia tuangkan dalam sajak bernuansa spiritual.

Memang pembaca tidak akan menemukan permainan-permainan symbol bahasa/majas sekuat dan sekental karya-karya Acep Zamzam Noor dan D. Zawawi Imron pada kumpulan sajak-sajak “ Menuju Pelabuhan “ ini, namun begitu, dalam kelugasan puitisasi bahasa sajaknya, pembaca akan diajak bertilawah pada keteduhan iman yang dalam.

Biodata Penyair :

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 M dari pasangan KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh. Ia adalah salah seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), selain itu adalah seorang tenaga edukatif di MTs TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465 dan ditengah kesibukannya menjadi ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Pondok Pesantren Al-Amien, ia menjadikan menulis puisi sebagai kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang.

Karya-karyanya bisa dibaca di Antologi.Net, Puitika.Net, penulisindonesia.com, www.kopisastra.co.cc dan diberbagai situs online lainnya.

Mengasah Alief (2007),Antologi puisinya yang mendapat kata sambutan positip dari D. Zawawi Imron, KH. Moh. Idris Jauhari, dan Penyair Jerman. Selain itu Antologi Puisi Yaasin (2007), Antologi Puisi Toples (2009), merupakan karya-karyanya yang telah berhasil dia bukukan.

Salam lifespirit! 20 Maret 2010

25/05/11

Ketika Bahasa Berbuah Cinta

Mahmud Jauhari Ali
www.tulisanbaru-mahmud.blogspot.com

Kita kadang mendengar adanya pertengkaran yang dipicu oleh kata-kata yang merupakan wujud dari bahasa. Bahkan, karena bahasa pula orang dapat saling membunuh satu sama lainnya di dunia ini. Jika kita merenungi kejadian-kejadian yang terjadi karena penggunaan kata-kata, kita akan sampai pada simpulan bahwa bahasa sebenarnya memiliki kekuatan yang dahsyat. Karena bahasa, orang dapat saling bertengkar, dendam, hingga saling membinasakan. Hal di atas merupakan dampak buruk yang disebabkan oleh dahsyatnya bahasa dalam kehidupan kita di dunia ini jika kita tidak dapat menggunakan bahasa sebagaimana mestinya. Akan tetapi, kedahsyatan bahasa dapat pula berdampak pada kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kapankah bahasa dengan kekuatan dahsyatnya dapat membawa kita kepada kebaikan dan kebahagian itu? Jawabnya adalah ketika bahasa berbuah cinta.

Terdengar asing memang di telinga kita jika bahasa dapat berbuah cinta. Walaupun demikian, kita tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa bahasa memang dapat berbuah cinta. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan menggunakan bahasa sebagaimana mestinya. Maksud sebagaimana mestinya itu adalah kita menggunakan bahasa dengan memilih kata-kata yang sopan, tidak tabu, tidak membuat orang lain kecewa, sedih, atau bahkan marah, dan tentunya memilih kata-kata yang membuat orang lain merasa senang, cinta, dan sayang kepada kita. Dengan demikian, bahasa yang kita gunakan akan berbuah cinta yang tumbuh dalam diri orang lain kepada kita. Percayalah dengan kata-kata seperti paparan saya di atas tadi, insya Allah orang-orang di sekitar kita akan senang, cinta, bahkan menyayangi kita.

Kita sebagai manusia yang normal tentulah lebih memilih dicintai bahkan disayangi oleh orang lain daripada dibenci atau bahkan dijauhi oleh orang lain di sekitar kita. Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan orang lain, kita sepantasnyalah berbenah diri sejak sekarang untuk menggunakan bahasa sebagaimana mestinya sehingga bahasa yang kita gunakan berbuah cinta dalam diri orang lain kepada kita. Dengan tumbuhnya cinta dalam diri orang lain tersebut, insya Allah kita akan mendapatkan kebaikan dan kebahagian di dunia ini dan di akhirat kelak.

Cinta orang lain kepada kita yang tumbuh dari penggunaan bahasa tersebut akan tetap ada selama kita tetap menggunakan bahasa sebagaimana mestinya kepada orang lain. Oleh kerena itulah, kita juga selayaknyalah menggunakan bahasa yang baik atau sebagaimana mestinya itu setiap hari. Dengan demikian, bahasa akan berbuah cinta setiap hari pula dan cinta orang lain kepada kita akan semakin kuat. Sebenarnya, dengan cinta yang timbul sebagai buah dari bahasa dapat mepererat tali persaudaran di antara kita. Bukan hanya persaudaran seagama, melainkan juga persaudaran bangsa Indonesia. Kita sebagai warga negara Indonesia dapat memanfaatkan buah dari bahasa yang berupa cinta ini untuk mempererat persaudaran dalam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengakhiri tulisan saya ini, marilah kita sejak sekarang mau berusaha untuk menggunakan kata-kata yang tidak membuat orang lain sedih, kecewa, marah, apalagi dendam kepada kita. Kata-kata seperti itu hanya akan membuat hubungan kita dengan orang lain menjadi renggang sehingga akan ada jurang pemisah antara kita dengan orang lain. Hal ini juga dapat menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa kita Sebaliknya, kita gunakan saja kata-kata yang menumbuhkan rasa senang, cinta, dan sayang dalam diri orang lain kepada kita. Ketika bahasa berbuah cinta seperti itu, kita akan memiliki hubungan yang harmonis dengan orang lain di sekitar kita dalam kaitannya dengan kita sebagai makhluk sosial. Dengan hal terakhir tadi, kita sebenarnya sudah mempererat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Hebat bukan?

Afrizal Malna dan Titarubi: Merajut Cinta Yang Hilang

Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/

Bagi kalangan perteateran dan sastra (puisi), siapa yang tidak mengenal sosok melankolis Afrizal Malna? Tokoh yang disebut-sebut sebagai seniman multidimensi, tajam sebagai seniman, sekaligus peka sebagai sosiolog. Sosok kondang sebagai tokoh kontroversi di era-korup, kolusif terhadap kebijakan orba, sekaligus eksis menjumpai generasi kontemporer setelah rezim orba tumbang.

Logikanya, Afrizal Malna ‘mati kutu’ setelah orba lengser, tidak ada lagi yang wajib ditegakkan, diluruskan semasa era-revormasi, sebab, pada era-revormasi, anak ingusan pun bebas mengkritisi kebijakan kaum elit, terutama di bidang kesuastraan sekali pun. Bunuh diri dalam bahasa, adalah gambaran gamblang untuk menganalisa keputusasaan Afrizal yang mengarah bahwa konsekwensi dirinya sebagai sastrawan, pekerja puitika, serta pemerhati timbulnya gejala semiotika, semantika, filologis dst, sudah selesai. Artinya, mubadzir melontarkan gagasan pada era-revormasi yang melanjutkan tongkat estafet era-tinggalandas orba. Harusnya, selesailah tanggungjawab membenahi Indonesia. Bukan Indonesia tidak bisa dirubah, tetapi tidak mau berubah.

Kiranya tidak demikian dengan Afrizal. Ia sejenak mengepompong dari carut-marut berkesenian untuk melahirkan sublimitas karya selanjutnya. Gagasan video art, adalah ketajaman seorang Afrizal sebagai formula baru dalam menganalisa kekurangsempurnaan dalam bahasa tulis. Untuk menjelaskan kecepatan cahaya misalnya, Afrizal memproyeksikan dengan audio visual, lebih jelas diskripsinya dari sekedar bahasa tulisan. Bagaimana warna dan gerak cahaya, menentukan berapa tingkat kecepatan cahaya melesat.

Gejala rezim sastra, juga tak luput dari sorotan tajam Afrizal. Di negara-negara Barat, sastra masih berdisiplin pada media sastra khusus. Berbeda dengan Indonesia, koran tiba-tiba marak sebagai ajang pembangunan jatidiri sastrawan. Koran juga menjadi tolakukur perkembangan sastra. Padahal, koran dan televisi sekali pun kinerjanya tak luput dari intervensi pemilik saham yang menentukan ke mana ujung pendulum akan diarahkan. Orientasi koran, ialah orientasi bisnis: mana yang laku, bukan mana yang bermutu. Dari sini, sastra bergerak menuruti aturan media yang kerapkali diperankan berdasarkan mood editor, kawan seperjuangan, teman dekat, bahkan ada ulah editor yang konyol memuat karya para penulis berparas cantik, dengan harapan kemudian menelponnya dan selanjutnya, dan sebagainya. Gejala semacam ini mengakibatkan perkembangan sastra menjadi sekedar tipikal, tipograf, baku dan basi.

Dalam dunia teater pun demikian. Afrizal mulai menyembulkan elevasi voltase yang ia rakit sekian puluh tahun berkeliteran seputar perteateran. Buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh Dan Kata yang dicetak penerbit: iCAN Yogyakarta setebal 428 halaman ini merupakan proses metamorfosis Afrizal dalam memandang dunia teater dengan kacamata ‘tua’nya.

Teater ke dua yang dimaksut Afrizal ialah dokumentasi atas catatan-catatannya selama menyaksikan pertunjukan taeter, sedang teater pertamanya berupa pertunjukan teater yang sedang berlangsung. Selanjutnya pembaca buku Teater Kedua berposisi sebagai teater ke tiga dan selanjutnya.

Teater ke dua, berawal dari persinggungan kecil semasa kanak-kanak, di mana Afrizal sering berkeliaran di area parkir sekitar gedung pertunjukan: Wayang Orang Adhiluhung, Wayang Orang Bharata, Miss Tjitjih dan Bioskop Grand. Ketakutan Afrizal atas peran aktor yang ia saksikan di malam pertunjukan, terjawab ketika siang harinya Afrizal melihat aneka kostum horor yang dijemur berjajar di area parkir gedung tersebut (kawasan pasar Senen Jakarta). Dari sanalah Teater ke dua berlangsung, bahwa ketika pertunjukan usai, gelaran pentas ditutup, sesungguhnya teater sedang berpindah proses ke penonton, bagaimana mereka akhirnya menerjemahkan bahasa tubuh, kata serta ruang ke dalam laku hidup.

Afrizal menyinggung detail ketika mengantarkan buku cetakan I, 2010 tersebut dalam acara yang digelar Dewan Kesenian Jombang pada Minggu 10 April 1011 dengan tajuk: Launcing, Diskusi Teater dan Senirupa bersama Afrizal Malna dan Titarubi. Pendiskriptian Afrizal mengenai teater, bermula sejak orang bangun tidur, ke kamar mandi, beraktifitas dan seterusnya, di sanalah sesungguhnya manusia melangsungkan teater dalam dirinya, di mana sabun dan benda-benda masing-masing memerankan diri sebagai tokoh teater. Ayah, anak, ibu dalam percaturan rumahtangga, masing-masing berperan sebagai dirinya atau justru tidak berperan dalam posisisnya. Artinya, jika ditanyakan: bagaimanakah Indonesia menurut kacamata Afrizal? Maka jawabnya ialah sabun mandi, sintron televisi, praktek pemerintahan, kondisi perekonomian, sosial, budaya yang berlangsung. Kemudian jika terjadi kejanggalan dalam naskah teater hidup tersebut, mulailah terjadi pembongkaran secara stereotip terhadap pembacaan teater. Bahkan ketika menjawab pertanyaan salah satu audiens perihal hidup sesudah mati, Afrizal menjawab secara ringan bahwa bagi dirinya kehidupan itu, ya, hari ini, tidak ada pemaknaan setelah mati. Logikanya, mengapa harus memikirkan nanti, jika hari ini tak berbuat baik. Esensinya bukanlah hari ini atau nanti, tetapi seberapa tinggi nilai yang dapat dibangun.

Lahirnya buku Perjalanan Teater Kedua ini, dari proses pencetakan menjadi bentuk, merupakan lakon teater tersendiri yang disebut teater pertama. Namun saya melihat ada teks yang tidak tertulis dalam buku ini tetapi diperankan oleh penulis, yaitu politik bahasa. Kenapa Afrizal memakai kata ‘teater ke dua’, dan bukan diksi lain yang bermakna setara, misal: teater transformasi, teater total, teater bersambung dll. Kalau pun sah memilih kata ‘teater ke dua’, kesannya Afrizal terburu-buru. Rendra belum pudar dari julukan sebagai Bapak Teater Kesatu, sebagai rujukan atas perkembangan perteateran di Indonesia. Kata ‘teater ke dua’, sepertinya sengaja dihembuskan sebagai isyu konsesi atas pertanyaan: siapakah yang terpilih menggantikan Rendra?

Berbeda dengan Afrizal, Titarubi, sang istri perupa kondang Agus Suwage, juga merangkai senirupa yang digelutinya lebih komprehensip. Pakaian yang ia rajut dari pernak-pernik plastik seberat 25 kilogram, mendapat apresiasi hangat dari negara-negara Barat. Pada proyektorfiled yang dipresentasikan, Titarubi menjelaskan bagaimana korelasi antara warna, bentuk dan ekspresi modeling yang menggambarkan beban seberat 25 kilogram tersebut.

Contoh lain adalah karya Titarubi berupa patung yang sekujur tubuhnya dipenuhi guratan ayat-ayat Alqur’an. Ia berasumsi bahwa seluruh partikel yang mengontruksi struktur fisik adalah ayat-ayat kauniah. Yang menarik dari proses kreatifitas Titarubi ialah bagaimana ia menggali peletakan arah pencahayaan dari atas, depan, bawah pada patung tersebut yang tiap arah akan menghasilkan kalderalisasi muatan cahaya berbeda terhadap bayang penumbra. Cahaya dari atas, lebih menerangi hampir 80% posisi benda (QS: An nur).

Menjawab pertanyaan salah satu guru yang hadir tentang bagaimana menghubungkan seni dengan materi pelajaran lain-non seni-di sekolah, Titarubi menjelaskan secara teoritik Golden Ratio dari Pytagoras. Yaitu bagaimana sebuah proses seni diciptakan dengan menentukan komposisi keindahan yang ideal dengan cara menghitung secara matematis, berapa prosen dauran warna hendak dituangkan?

Tidak heran apa yang diungkap Nasrul Ilaihi (Cak Nas) selaku moderator, bahwa kebesaran Agus Suwage sebagai perupa kaliber nasional adalah backing kuat dari sosok istri tercinta: Titarubi.

*) Penulis lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola media Forum Sastra Jombang.blogspot.

TELAAH METODE ANALISIS SASTRA JOHN WANSBROUGH TERHADAP AL-QURAN

Ahmad Syauqi Sumbawi *
http://sastra-indonesia.com/

Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi berbagai peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkuat identitas kolektif. Al-Qur’an juga digunakan dalam ibadah-ibadah publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan implementasi ajarannya dalam kehidupan merupakan kewajiban setiap Muslim.

Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluhan tahun, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Meskipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan berjilid-jilid kitab tafsir yang berusaha menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.

Pada umumnya, kaum Muslimin meyakini bahwa al-Qur’an bersumber dari Tuhan, dan al-Qur’an sendiri mengkonfirmasikan hal tersebut. Keyakinan sumber ilahiyah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad merupakan keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan semacam itu, tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai Muslim. Akan tetapi, keyakinan tersebut telah mendapat tantangan serius ketika diproklamirkan pertama kali oleh al-Qur’an dan berlanjut hingga dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.

Pengakuan Muhammad bahwa dirinya merupakan penerima wahyu dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab sezaman dengannya. Al-Qur’an sendiri tidak menyembunyikan adanya oposisi yang serius terhadap Nabi, tetapi justru merekam rentetan peristiwa tersebut tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan negatif para oposan Nabi tentang asal-usul genetik atau sumber wahyu yang diterimanya, juga bantahan terhadap miskonsepsi mereka.

Dalam beberapa bagian al-Qur’an, para penentang Nabi memandangnya sebagai kahin (tukang tenun) dan wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenun”. Nabi juga dituduh sebagai syaa’ir (penyair), majnun (kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya), sahir (tukang sihir) atau mashur (korban sihir), dan wahyu yang diterimanya dianggap sebagai sihr (sihir).

Berbagai gagasan para penentang Nabi di atas secara eksplisit mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Qur’an berasal dari ruh-ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh jin atau setan. Tanpa memutarbalikkan fakta, al-Qur’an telah merekam rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut pandang orang yang semasa dengan Nabi Saw mengenai asal-usul atau sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Sejalan dengan itu, al-Qur’an juga merespon para oposan Nabi tersebut. Meskipun respon spesifik al-Qur’an berbeda untuk setiap kasusnya, namun dalam berbagai jawaban tersebut, kitab ini selalu menekankan asal-usul ilahiyahnya, yaitu bersumber dari Tuhan semesta alam.

Rupanya gagasan para oposan Nabi di atas memiliki sisi kemiripan dengan konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan hingga dewasa ini. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang berbau apologetik. Pada abad pertengahan ini, Muhammad digagaskan sebagi penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, serta ajaran al-Qur’an yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu bentuk Kristen yang sesat dan penuh bid’ah.

Meskipun lebih merupakan mitos dan fiksi imajinatif, gagasan Barat abad pertengahan tersebut memiliki pengaruh kuat di kalangan sarjana Barat pada masa berikutnya, dan terlihat sulit untuk dihilangkan dari pikiran masyarakat Barat hingga dewasa ini. Akan tetapi, konsepsi abad pertengahan ini secara sederhana dapat diabaikan karena tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian ilmiah yang serius. Di sini, gagasan Barat abad pertengahan tidak dapat disejajarkan dengan gagasan Barat modern jika dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya.

Karya Barat modern yang berupaya melacak sumber-sumber al-Qur’an bisa dikatakan bermula pada tahun 1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen? Dalam penelitiannya, Geiger berkesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang tertuang di dalam al-Qur’an sejak awal telah menunjukkan sendiri asal-usulnya dari Yahudi secara transparan. Tidak hanya sebagian besar kisah para nabi, tetapi berbagai ajaran dan aturan al-Qur’an pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi. Akan tetapi, selama hampir setengah abad setelah publikasinya, tidak terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada tahun 1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan mempublikasikan karyanya, Juedische Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur’an), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.

Pasca kemunculan kedua karya di atas, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Qur’an. Dalam hal ini, terjadi semacam pertarungan akademik antara mereka yang menganggap al-Qur’an tidak lebih tiruan dari tradisi Yahudi dan mereka yang menganggap agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berusaha membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Qur’an secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan Muhammad merupakan seorang murid Yahudi tertentu. Sementara para sarjana Kristen juga berupaya membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih dari gema sumbang tradisi Kristiani, serta menganggap Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh dari agama Kristen.

Di kalangan para sarjana tersebut, John Wansbrough muncul dengan penerbitan karyanya, Quranic Studies: Sources and Methods of Sciptural Interpretation, pada tahun 1977. Dengan menggunakan metode kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan studi kritis terhadap redaksi (redaction criticism) atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an, John Wansbrough menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dengan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang berada di bawah pengaruh Yahudi, dan pada batas tertentu Kristen, sehingga asal-usul al-Qur’an sepenuhnya berada dalam tradisi tersebut.

Tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang perdebatan di kalangan para sarjana yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun sarjana muslim.

Berdasarkan uraian di atas, kajian ini berusaha menjelaskan beberapa masalah pokok terkait dengan tema di atas sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough? Kedua, bagaimana metodologi analisis sastra John Wansbrough dan penerapannya terhadap al-Qur’an? Ketiga, bagaimana wacana yang berkembang tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an?

Pembahasan

1. Historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough

Pada umumnya, gagasan bahwa Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama “dalam sejarah” telah diterima oleh banyak kalangan. Pandangan bahwa sejarah merupakan “medan percobaan”, di mana Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa-peristiwa sejarah adalah kebenaran yang paling penting yang dibuktikan oleh kedua agama tersebut —terlepas dari persoalan teologis—. Penekanan pada aspek kesejarahan di atas didorong oleh upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan kebenaran mutlak atau kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat tergantung pada pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan. Hipotesa bahwa sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar historis agama, khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang positif. Dalam hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis sumber —kitab suci— adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa yang sesungguhnya terjadi.”

Terlepas dari persolan teologis, ilmu modern berusaha mendekati Islam dengan cara yang sama, yang secara tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yaitu agama yang terpancang dalam sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan menggiring untuk bersikap sama terhadap sumber-sumber yang tersedia dalam kajian Islam masa awal sebagaimana gambaran sikap terhadap kajian Yahudi dan Kristen. Dari sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan rekaman atau data-data yang mendukung untuk menganalisis tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam —dalam hal ini, al-Qur’an yang menjadi sumber ajarannya—, dalam pandangan para orientalis Barat, memiliki tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.

Setidaknya terdapat empat pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat berkaitan dengan asal-usul atau sumber al-Qur’an. Pertama, bahwa asal usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi. Kedua, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Kristen. Ketiga, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu Yahudi dan Kristen, yang secara serempak mempengaruhinya. Keempat, bahwa latar belakang al-Qur’an —Islam— adalah milieu Arab, meskipun banyak terdapat unsur-unsur Yahudi-Kristen yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.

Pendapat-pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Qur’an di atas, sebenarnya berpijak pada asumsi tentang difusi agama Yahudi dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Akan tetapi, asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat legitimasi dari informasi-informasi historis yang terdapat dalam al-Qur’an sendiri —dengan catatan, apabila al-Qur’an dipandang sebagai sumber sejarah yang otoritatif—. Di samping itu, pengaruh kedua tradisi keagamaan Semit tersebut terhadap milieu Arab tampak tidak cukup menyakinkan. Memang benar, bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di kalangan masyarakat Arab. Bahkan al-Qur’an sendiri mengemukakan adanya upaya dari orang-orang Yahudi dan Kristen melakukan penyebaran ajaran agama mereka masing-masing kepada orang-orang Arab. Akan tetapi, tampaknya upaya ini tidak cukup membuahkan hasil yang maksimal, karena implikasi politik kedua agama tersebut. Orang-orang Arab lebih memilih untuk setia dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhur mereka.

Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yahudi-Kristen juga dijadikan sebagai basis oleh para orientalis Barat untuk teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Qur’an adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru —atau Tawrat dan Injil dalam istilah al-Qur’an—. Akan tetapi, barangkali kaum Muslim akan menisbatkan kemiripan dalam ketiga tradisi agama Ibrahim ini pada kesamaan sumber inspirasi kitab suci masing-masing ketiga agama tersebut. Dalam keyakinan Islam, seluruh kitab suci —bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit tersebut— bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab suci itu diutus oleh-Nya. Al-Qur’an memang menyebutkan bahwa para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang mereka sampaikan adalah universal dan identik. Semua risalah tersebut terpancar dari sumber tunggal, yaitu umm al-kitab (induk segala kitab), kitab maknun (kitab yang tersembunyi), atau lawh mahfuzh (luh yang terpelihara), yang merupakan esensi pengetahuan Tuhan. Dari esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada pada utusan Tuhan. Tawrat dan Zabur —merujuk pada Perjanjian Lama serta Injil, semuanya bersumber dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia harus mengimani seluruhnya.

Dalam al-Qur’an, di samping disebutkan kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen, Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan keimanan kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah. Oleh karena itu, agama Allah tidak dapat dipecah-pecah. Demikian juga dengan kenabian, di mana al-Qur’an mengharuskan keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi. Bagi al-Qur’an tidak ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi peringatan. Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi ajaran agama lain, tetapi karena tiap-tiap agama tersebut berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan semesta alam.

Meskipun uraian di atas dianggap lebih bersifat dogmatis, barangkali hanya jawaban semacam itulah yang bisa dikemukakan jika dikaitkan dengan perspektif al-Qur’an tentangnya. Sementara di kalangan orientalis Barat sendiri, masalah pelacakan sumber-sumber dan asal-usul genetik al-Qur’an masih tetap merupakan bidang kajian yang kontroversial.

Berkaitan dengan persoalan tersebut, John Wansbrough berpandangan bahwa historisitas al-Qur’an merupakan sesuatu yang mengada-ada. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri —juga Islam—. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian yang “netral” untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber di luar komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak dan upaya merekonstruksi bahan-bahan tersebut ke dalam kerangka historis menghadapi banyak kesulitan.

Sementara sumber-sumber lain yang tersedia, yaitu teks-teks Arab dari komunitas Muslim, terdiri dari sejumlah literatur yang berasal dari dua abad setelah fakta terjadi. Informasi yang terkandung dalam literatur ini ditulis selama dua abad tersebut. Sumber-sumber internal ini bermaksud mendokumentasikan basis keimanan, validitas kitab suci, dan bukti rencana Tuhan bagi manusia. Hal ini dapat dilihat dari karakter historis sumber-sumber tentang dasar-dasar Islam yang terbukti lebih lentur daripada dalam penafsiran al-Qur’an. Tafsir-tafsir mempunyai kategori informasi yang disebut asbaab al-nuzuul, sebab-sebab datangnya wahyu yang menurut para pengkaji al-Qur’an di Barat berguna untuk merekam peristiwa sejarah yang berkenaan dengan pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an. Analisis ayat dengan menggunakan asbab dalam tafsir menyatakan tentang signifikansi aktual sebab-sebab itu dalam kasus tertentu. Hal ini menghasilkan pemahaman bahwa al-Qur’an itu terbatas, di mana anekdot-anekdot dikemukakan, kemudian dicatat, dan disampaikan dengan tujuan untuk memberi gambaran situasi di mana penafsiran al-Qur’an dapat dibentuk. Materi-materi yang tercatat dalam tafsir bukan karena nilai sejarahnya, tetapi karena nilai tafsirannya. Fakta-fakta kesusastraan yang mendasar tentang materi tersebut sering diabaikan dalam kajian Islam dengan maksud untuk menemukan akibat-akibat historis yang positif.

Lebih jauh, Wansbrough memandang bahwa semua korpus dokumentasi Islam masa awal sebagai hal yang tidak dapat dipercaya. Semua yang berusaha dibuktikan oleh al-Qur’an, dan apa yang berusaha dijelaskan oleh karya-karya tafsir, sirah dan teologi, adalah bagaimana rangkaian peristiwa dunia yang terpusat pada masa Muhammad diarahkan oleh Tuhan. Seluruh komponen sejarah ini, yang disebut “Sejarah Penyelamatan Islam”, adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama —dengan Yahudi dan Kristen—, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran Tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan manusia. Akan tetapi, sejarah penyelamatan ini, dalam pandangan Wansbrough, tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa awal Islam, melainkan hanya berbentuk sastra yang mempunyai konteks historisnya sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.

2. Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dan Penerapannya dalam al-Qur’an

Dalam dua bukunya, yaitu Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation dan The Sektarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, John Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber dari sudut pandang sastra, dengan tujuan untuk melepaskan pandangan teologis dari sejarah dalam melihat asal-usul Islam. Hal ini disebabkan oleh pandangan John Wansbrough tentang tidak adanya kelayakan dalam penggunaan metode kritik historis terhadap sumber-sumber sejarah Islam masa awal tersebut.

Argumentasi Wansbrough, dalam hal ini, adalah bahwa kita tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Semua yang kita ketahui sekarang adalah apa yang dipercaya telah terjadi oleh orang-orang yang datang kemudian. Analisis sastra atas sumber semacam itu akan menyatakan pada kita tentang komponen-komponen yang digunakan orang untuk menghasilkan pandangan-pandangan mereka dan mendefinisikan secara tepat apa yang mereka kemukakan. Akan tetapi, analisis sastra tidak akan bicara tentang apa yang terjadi.

Terkait dengan persoalan di atas, seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagai respon Tuhan atas situasi sosio-moral masyarakat Arab pada abad ke-7 M. Pewahyuannya terentang selama kurang lebih dua puluh dua tahun, di saat mana Muhammad muncul dari posisi sebagai seorang pembaharu keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya, Makkah, menjadi pemimpin aktual di Madinah dan sebagian besar Jazirah Arab. Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan tujuan umat Islam selama masa-masa tersebut, maka adalah sebuah kewajaran kalau gaya sastra Al-Qur’an berubah-ubah serta susunannya tidak sistematis.

Metode yang digunakan oleh John Wansbrough untuk membuktikan tesis-tesisnya adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Kajian semacam ini berangkat dari proposisi bahwa rekaman-rekaman sastra “Sejarah Penyelamatan”, meskipun menampilkan diri seakan-akan semasa peristiwa yang dilukiskan, pada faktanya berasal dari periode setelah itu.

Dalam aplikasinya, Wansbrough “menemukan” bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi pada karakter referensialnya dan kemunculan sejumlah ayat “duplikat”. Dalam hal ini, menurut Wansbrough, audiens al-Qur’an dipandang mampu mengisi detail-detailnya yang hilang dalam narasi. Akan tetapi kemudian, ketika Islam sebagai entitas dengan mapan dan stabil —berdasarkan struktur politiknya— datang setelah ekspansi Arab keluar wilayah mereka, materi al-Qur’an menjadi jauh dari lingkungan intelektual aslinya dan membutuhkan eksplikasi tertulis —eksplikasi yang tersedia dalam tafsir dan sirah.

Untuk menjelaskan pandangannya mengenai karakter referensial al-Qur’an, Wansbrough memberikan contoh sebagai berikut, yaitu pertama, contoh tentang Yusuf dan “saudara-saudaranya yang lain” dalam surat Yusuf (12) ayat 59, paralel dengan kisah Injil dalam Genesis 42: 3-13, di mana pengetahuan tentang kisah dalam Genesis diterima oleh sebagian audiens al-Qur’an, karena di dalam al-Qur’an tidak disebutkan sebelumnya tentang Benjamin dan kepergiannya dari rumah karena ketakutan Ya’kub atas keselamatannya. Pernyataan Yusuf dalam al-Qur’an: “Bawalah padaku saudara laki-lakimu dari ayahmu”, tidak muncul dalam konteks al-Qur’an, meskipun kita tidak datang pertama kali dengan pengetahuan tentang kisah Injil.

Kedua, contoh berkaitan dengan kehendak Ibrahim untuk mengorbankan anak laki-lakinya, dan penyembelihan dalam al-Qur’an adalah implikasi dari kisah yang ada dalam Injil, di mana anak laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa dirinya adalah orang yang dipersembahkan. Di sini, permasalahannya jauh lebih kompleks karena tradisi tafsir Yahudi memainkan peran di dalamnya. Studi yang dilakukan Geza Vermes menjelaskan bahwa banyak tradisi Yahudi —dan Kristen— menyampaikan kisah bahwa Ishaq —dalam tradisi Islam adalah Ismail— mengetahui dirinya akan dikurbankan sebelum peristiwa sesungguhnya terjadi dengan tujuan untuk menekankan kehendak Ishaq untuk mempersembahkan dirinya sendiri. Tradisi tafsir Yahudi juga bersifat referensial. Tradisi ini berasumsi bahwa kisah tentang pengurbanan jelas bagi audiensnya dan bahwa signifikansi Ibrahim dalam kisah itu akan menjadi bukti bagi semua orang yang membaca Injil. Jadi, penekanannya pada Ishaq dan tentu saja bukan pada eksklusi peran Ibrahim. Posisi al-Qur’an juga sama. Pengetahuan tentang kisah Injil telah dikemukakan. Karakter referensial al-Qur’an perlu menjelaskan ketidakcukupan satu pendekatan terhadap al-Qur’an yang melihat apa yang disebut karakter “Arabia secara khusus” dari kitab ini dan mencoba mengabaikan latar belakang tradisi Yahudi-Kristen secara keseluruhan.

Pandangan tentang gaya referensial al-Qur’an juga membawa Wansbrough dalam dugaan bahwa kita sekarang ini sedang berhubungan dengan gerakan sektarian secara penuh dalam “lingkungan sektarian Yahudi-Kristen”. Paralelitas antara literatur al-Qur’an dan Qumran, walaupun tidak harus memainkan interdependensi, menunjukkan proses serupa dalam elaborasi teks Injil dan adaptasinya untuk tujuan-tujuan sektarian.

Menurut Wansbrough, al-Qur’an sebagai dokumen yang tersusun dari ayat-ayat referensial yang dikembangkan dalam framework polemik sektarian Yahudi-Kristen, diletakkan bersama-sama oleh sarana-sarana konvensi sastra, misalnya penggunaan qul (katakanlah), konvensi narasi, dan konjungsi paralelitas versi-versi kisah yang disebut Wansbrough sebagai “varian tradisi”, yang barangkali dihasilkan dari tradisi asli yang satu dengan sarana yang bervariasi melalui transformasi oral dalam konteks penggunaan liturgi. Cukup jelas di sini, varietas metode (misalnya analisis bentuk, analisis formula oral) yang telah dilakukan di luar kajian Islam, khususnya Injil, digunakan Wansbrough dalam analisisnya tentang al-Qur’an.

Analisis Wansbrough menyatakan bahwa al-Qur’an itu bukan sekedar “calque dari bentuk-bentuk yang mapan dari masa awal”, tetapi al-Qur’an juga berusaha mereproduksi Injil dalam bahasa Arab dan menyesuaikannya untuk masyarakat Arabia. Karena satu hal, al-Qur’an tidak mengikuti motif pemenuhan yang dipandang sebagai preseden oleh Perjanjian Baru dan penggunaannya dalam Injil Ibrani. Lebih dari itu, karena al-Qur’an muncul dalam situasi polemik, ada upaya yang jelas untuk memisahkan al-Qur’an dari wahyu Musa melalui sarana-sarana seperti modus pewahyuan dan penekanan pada bahasa dalam al-Qur’an.

Lebih lanjut Wansbrough menyatakan bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks al-Qur’an terjadi bersamaan dengan pembentukan komunitas. Teks kitab suci yang final tidak ada dan belum mungkin ada secara keseluruhan sebelum kekuasaan politik terkontrol secara sepenuhnya. Sehingga pada akhir abad ke- 2 H/ 8 M menjadi momen historis untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi oral dan unsur-unsur liturgi sehingga melahirkan kanon kitab suci yang final dan muncul konsep aktual tentang Islam.

Oleh karena itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan aI-Qur’an, dalam pan¬dangan Wansbrough, secara historis harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya. Semua informasi terse¬but adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut, barangkali disusun oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikut model periwayatan teks orisinal Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci Ibrani. Semua informasi tersebut mengasumsikan sebelumnya wujudnya standar (ca¬non) dan karena itu, tidak bisa lebih dahulu dari abad ke- 3 Hijriah.

Kritik sastra menggiring Wansbrough untuk menyimpul¬kan teks yang diterima (textus receptus) dan selama ini diyaki¬ni oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang bela¬kangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Menurut Wansbrough, teks Al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Wansbrough menyatakan bahwa riwayat-riwayat menge¬nai AI-Qur’an versi Utsman adalah fiksi yang muncul di masa kemudian, yang direkayasa oleh komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk menggambarkan asal-usulnya.

3. Wacana tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an

Tesis yang dikemukakan John Wansbrough banyak mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, tanpa mengurangi kapasitas para pengkaji yang lain, wacana yang dikemukakan oleh Andrew Rippin dan Fazlur Rahman tampaknya cukup mewakili perdebatan dalam kajian ini.

Secara umum, Andrew Rippin sependapat dengan John Wansbrough. Atas dasar pemikiran bahwa Islam adalah agama dalam sejarah, Rippin membenarkan penggunaan analisis sastra oleh Wansbrough dalam mengkritisi Al-Qur’an, sebagaimana juga dipergunakan dalam mengkritisi kitab suci Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan oleh posisi Islam yang tidak historis karena tidak ada dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia. Sumber-sumber berupa teks berbahasa Arab dari kalangan muslim sendiri, lanjut Rippin, terdiri dari literatur-literatur yang ditulis dua abad setelah fakta sejarah terjadi.

Selanjutnya, apa yang dikemukakan Wansbrough berkaitan dengan sumber-sumber Islam masa awal, menurut Rippin, bukanlah hal yang baru. Dalam hal ini Rippin beralasan bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah lebih dulu menyatakan hal demikian. Keduanya memahami bahwa sabda-sabda yang disandarkan kepada Muhammad dan digunakan uintuk mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarnya berasal dari periode kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan doktrin ini sedang mencari dukungan dari apa yang disebut sebagai sunnah.

Sementara dalam menanggapi tesis-tesis John Wansbrough dan pembelaan Andrew Rippin terhadap metode dan hasil yang dicapainya, Fazlur Rahman menyatakan bahwa keampuhan metode historis sebenarnya sudah cukup membuktikan tentang keaslian bahan-bahan historis kaum Muslim, dan pengalihan kepada suatu metode analisa sastra yang murni tidak diperlukan.

Fazlur Rahman memberikan contoh tentang sebuah konsekuensi yang terjadi apabila menghilangkan sisi historis dan hanya memakai pendekatan sastra —yang menjadikan para pendukung metode sastra tidak dapat memaknai al-Qur’an—, yaitu perbedaan-perbedaan tertentu dalam al-Qur’an dilihat dari kronologi periode Mekkah dan Madinah, seperti kisah perselisihan Ibrahim dengan ayahnya. Surat Maryam (19) ayat 47 (Makkiyah) mengatakan bahwa Ibrahim sementara bersahabat dengan ayahnya, ia (Ibrahim) menyatakan pada ayahnya bahwa dirinya akan terus berdoa memohonkan ampun baginya. Kemudian pada periode Madinah, ketika al-Qur’an memerintahkan kaum Muhajirin untuk melepaskan diri dari anggota keluarga dekatnya di Makkah agar tetap pagan dan terus mencela dan memusuhi Muslim. Al-Qur’an mengatakan pada mereka, yaitu, Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi ayahnya hanya karena dia pernah berjanji. Dengan kata lain, bahwa dia (Ibrahim) benar-benar telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya.

Menurut Rahman, masing-masing ayat ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Makkah dan Madinah. Ada satu, dua, atau ribuan tradisi semua yang ada dalam al-Qur’an berkaitan dengan situasi Nabi Muhammad. Kemudian surat Huud (11) ayat 27 sampai 29, di mana Nuh diminta oleh para “pembesar” kaumnya agar melemparkan para pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka bergabung dengannya adalah sesuai dengan situasi Nabi Muhammad pada tahun-tahun terakhir di Makkah. Atau lihat surat Al-A’raaf (7) ayat 85, di mana Syu’aib diutus kepada kaumnya untuk menasehati mereka agar jujur dalam berdagang, tentu saja ini juga merupakan problem yang dihadapi Nabi Muhammad dalam masyarakatnya.

Dalam pandangan Rahman, dengan melepaskan Al-Qur’an dari sandaran historisnya dalam kehidupan Muhammad, maka salah satu tugas utama Wansbrough adalah meletakkannya secara historis di tempat yang lain. Karena keharusan relokasi historis tidak bisa dikesampingkan oleh penolakan sederhana terhadap historisitas sumber-sumber awal Islam itu sendiri. Harus diketahui di mana Al-Qur’an berada dan pada kelompok atau individu mana al-Qur’an diturunkan. Di sini nampak bahwa gagasan yang menolak sejarah tradisional tanpa perdebatan lebih jauh adalah untuk melepaskan diri dari semua tanggung jawab historis.

Fazlur Rahman juga memberikan kritik terhadap tesis Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda. Rahman menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila Al-Qur’an hanya merupakan perpaduan serentak dari berbagai tradisi. Fazlur Rahman juga menilai bahwa Wansbrough kurang memiliki data-data historis mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an, menurut Fazlur Rahman, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang dalam suatu dokumen yang tunggal. Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya.

Berikutnya, pembelaan Rippin yang menyatakan bahwa Wansbrough bukanlah orang pertama yang mempermasalahkan sumber-sumber data Islam yang awal ini pun tidak luput mendapat dikritik dari Fazlur Rahman. Memang benar bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah mendahului Wansbrough, tetapi keduanya mempelopori pendekatan ini dalam hubungannya dengan kritik hadits. Menurut Fazlur Rahman, Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht bersandar pada metode sejarah untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits tertentu muncul setelah hadits lainnya. Oleh karena itu, lanjut Rahman, tidak jelas logika apa yang dipakai oleh Rippin untuk menawarkan metode sejarah Goldziher dan Schacht untuk mendukung analisis sastra Wansbrough, karena metode yang terakhir bersifat arbitrer.

Mengenai alasan Rippin tentang adanya beberapa pengkaji yang menekankan latar belakang Arab Islam dengan kontribusi Yahudi dan Kristen, Fazlur Rahman berpendapat bahwa Wansbrough telah melampau batas-batas yang dapat diterima akal dalam memandang al-Qur’an sebagai manifestasi sektarian Yahudi-Kristen sepenuhnya. Pada faktanya, di Arab sendiri

Terlepas dari perdebatan di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika di kalangan Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Di samping itu, dia pun menyayangkan bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci —yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu— terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim. Menurut Mohammed Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin dikembangkannya, di mana intervensi ilmiah John Wansborugh cocok dengan framework yang diusulkannya. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang hasilnya akan cukup meresahkan bagi kalangan fundamentalis.

Penolakan kalangan Muslim terhadap pendekatan kritis-historis al-Quran, dalam pandangan Mohammed Arkoun, lebih bernuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran dalam ranah ilmu kalam. Padahal, menurut Mohammed Arkoun, mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudian dijadikan ”tak terpikirkan” dan makin menjadi ”tak terpikirkan” karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.

Berkaitan dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd— seorang intelektual asal Mesir—, Mohammed Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid Abu Zayd tersebut. Padahal metodologi Nasr Hamid Abu Zayd, menurut Mohammed Arkoun, memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Quran. Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Quran adalah teks linguistik-historis-manusiawi yang berkembang dalam tradisi Arab.

Penutup

Berdasarkan uraian tentang permasalahan metodologi analisis sastra John Wansbrough terhadap al-Qur’an, tafsir, dan sirah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu pertama, John Wansbrough berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Untuk mengatasi hal tersebut, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.

Kedua, metode yang digunakan oleh John Wansbrough adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Dalam aplikasinya, John Wansbrough mendapatkan temuan bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi (dan Kriten), juga kemunculan ayat “duplikat” yang terdapat di dalamnya.

Ketiga, tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan antara Andrew Rippin (pro) dan Fazlur Rahman (kontra) di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd, di mana pandangannya tentang al-Qur’an mendapat reaksi yang bertentangan di kalangan Muslim.

DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, Muhammad Mustafa, Sejarah Teks al-Qur’an: Dari Wahyu Sampai Kompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2005

Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin, Jakarta: INIS, 1997

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001

Esack, Farid, Menghidupkan Al-Qur’an: Dalam Wacana dan Prilaku, terj. Norma Arbi’a Juli Setiawan, Depok: Inisiasi Press, 2006

Rahman, Fazlur, Islam Modern: Tantangan Pembaharuan Islam. Terj. Hamid Basyaib dan Rusli Karim, Yogyakarta: Solahudin Press, 1987

Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996

Rahman, Fazlur, “Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama” dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002

Rippin, Andrew, “Analisis Sastra Terhadap al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002

Setiawan, M. Nur Kholis, “Mengkaji Sejarah Teks Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003

Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003

Watt, W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an, edisi Indonesia, terj. Taufiq Adnan Amal, Jakarta: Rajawali, 1991

*)Ahmad Syauqi Sumbawi, sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008).
Sementara bukunya antara lain Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007). Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007, PUstaka puJAngga), dan Waktu; Di Pesisir Utara (Novel, 2008).

24/05/11

Pendekar Sakti dari Lamongan

Peresensi: Akbar Ananda Speedgo
Judul:Pendekar Sendang Drajat “Memburu Negarakertagama”
Penulis: Viddy AD Daery
Terbit: Februari 2011
Penerbit: Metamind- Tiga Serangkai Group –Solo
ISBN:978-979-30 Ukuran: 20 cm Cover:soft cover
Halaman: 146 halaman + XXX Kategori:fiksi sejarah
http://oase.kompas.com/

Lamongan, siapa kini yang tidak mengenal kota atau daerah itu? Semenjak Bupati Masfuk menyulap daerah miskin dan minus serta langganan banjir itu menjadi kota indah gemerlapan dan bebas banjir (sampai terancam banjir lagi, namun justru karena kelemahan kabupaten-kabupaten tetangganya yang gagal mengendalikan banjir lalu meluberi Lamongan), kini Lamongan dan Bupati Masfuk menjadi bahan pembicaraan semua kalangan di seluruh Indonesia.

Apalagi setelah para pedagang soto Lamongan, pecel lele dan sea-food muncul di tenda-tenda kaki-lima seluruh jengkal tanah Indonesia, Lamongan menjadi cap dagang yang paten,bahkan pengusaha Cina non-Lamonganpun banyak yang mendirikan restoran besar dengan merek Soto Lamongan,termasuk yang terbakar ludes di Jakarta Barat baru-baru ini.

Nah,apakah Lamongan zaman “prasejarah” juga top dan seterkenal Lamongan masa kini? “Prasejarah—dalam tanda petik” di sini bukan berarti Lamongan zaman sebelum Masehi,namun Lamongan sebelum dicatat sejarah Indonesia yang notabene baru dibicarakan mulai di era Bupati Masfuk.Karena Lamongan sejak Bupati pertama sampai sebelum Masfuk, dianggap Lamongan yang tak perlu digubris,bahkan sempat menjadi daerah yang selalu dijadikan olok-olok oleh para pelawak ludruk di pentas tobong maupun di layar TVRI di tahun 80-an,sebagai daerah minus dimana “yen ketigo ora iso cewok, yen udan ora iso ndhodhok” yang maknanya ialah jika kemarau tidak bisa membersihkan najis, jika hujan tidak bisa duduk manis”..

ERA PENDEKAR

Nah, era Lamongan zaman pendekar silat dan zaman wali atau sunan (abad 16) inilah yang dijadikan setting elaborasi novel “Pendekar Sendang Drajat” (PSD) karya Viddy AD Daery—sastrawan Indonesia yang justru terkenal di Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand selatan daripada di negaranya sendiri.

Lamongan sendiri waktu itu,sebagai kota malah belum ada,dalam novel PSD seri pertama yaitu “Pesisir Utara Majapahit di abad 16 M” dikisahkan secara selintas bahwa beberapa kyai dari Laren,Karang Cangkring, Latukan, Duri, Ngambeg, Drajat dan sebagainya berkumpul di pesantren Badu Wanar Pucuk, untuk membahas pembentukan kota katumenggungan/ kadipaten Lamongan dari desa kecil Keranggan Lamong. Dan yang dicalonkan sebagai Tumenggung / Adipati adalah Raden Hadi atau Sunan Hadi yang masih kerabat Sunan Giri, sebagai panutan kekuasaan politik-keagamaan di Jawa Timur pada saat itu.

Nah,ketika Lamongan justru baru direncanakan pembangunannya, desa-desa yang kini dilupakan sejarah seperti Laren, Pringgoboyo, Karang Cangkring, Sendang Duwur, Drajat, Trenggulun, Centhini, Brumbun dan sebagainya dalam novel PSD diceritakan sudah menjadi kota ramai (untuk ukuran zaman dulu) karena mereka rata-rata berlokasi di tepi bengawan Solo atau laut Jawa (pantura ), dan karena itu menjadi desa/kota perdagangan yang banyak berinteraksi dengan para saudagar-pelayar dari pulau lain bahkan dari Negara lain seperti Yaman / Hadramaut, Persia, Gujarat, Malaka dan Cina.

Bahkan diceritakan beberapa oknum bangsa Eropa juga sudah mulai datang berlabuh dan tujuan mereka tidak hanya berdagang tapi juga memata-matai kekuatan politik kerajaan-kerajaan keci/pesantren di pantai utara Jawa, dan karena itu mereka lalu diperangi para pendekar silat garis keras yang dipimpin Pendekar Syamrozi dari Pesantren Trenggulun. Mungkinkah mereka adalah leluhur Amrozi?

Boleh jadi,novel PSD bermain dengan symbol-simbol,karena sebagai karya sastra,juga sangat mungkin bermuatan dakwah dan pencerahan seperti zaman “roman bertendens” di ranah kesusastraan Indonesia masa lalu.

Jasa besar novel PSD adalah menyingkap sejarah masa lalu Lamongan yang minim data dan amat jarang dibicarakan oleh sejarawan Indonesia,padahal kalau merujuk beberapa situs dan folklore Lamongan,ada banyak hal yang bisa disumbangkan ke khasanah sejarah nasional Indonesia,antara lain bahwa desa Modo adalah tempat kelahiran Mahapatih Gajah Mada. Juga Bre Parameswara atau Raja Pamotan (Lamongan zaman Majapahit) adalah raja yang lari ke Palembang lalu ke Singapura lalu mendirikan Kerajaan Malaka. Jadi bisa dikatakan bahwa Malaysia itu milik wong Lamongan.Yaitu Gajah Mada (penguasa Nusantara) dan Bre Pamotan (pembangun kerajaan Malaka).

Sedang PSD jilid atau seri 2 yang berjudul “Memburu Kitab Negarakertagama”, mengisahkan bahwa Pendekar Sendang Drajat kedatangan serombongan tamu dari Kerajaan Johor-Malaka yang sedang melarikan diri dari kisruh perang di negaranya.

Mereka berlayar ke Tanah Jawa untuk mempelajari “Kitab Desawarnana aliasNegarakertagama”. Dalam perjalanan mengantar para pendekar Melayu mencari Kitab Negarakertagama itulah, sepanjang perjalanan banyak ditemui rahasia-rahasia sejarah lokal Lamongan yang banyak diungkap oleh Viddy AD Daery yang kaya pengetahuan mengenai kisah-kisah lokal yang tentunya sangat jarang diketahui oleh peminat sejarah nasional yang menafikan folklor.

Padahal bagi sejarawan aliran Annales kelas dunia, kini sudah menyatakan bahwa peran folklore lokal tidak bisa diremehkan sebagai sumber sejarah yang valid.

Kinilah saatnya, di zaman reformasi ini, pikiran para ilmuwan sejarah juga harus direformasi. Folklor-folklor lokal sudah waktunya layak menjadi sumber sejarah yang terpercaya, tentunya setelah melalui uji penyaringan unusr-unsur mitos dan mistik-gaibnya dibersihkan terlebih dahulu. Toh unsur mitos dan gaib itu sebenarnya juga adalah kenyataan yang memang ada di Nusantara juga.

*) Sarjana Teknik Sipil ITS-penyuka novel sejarah, 6 Mei 2011

Kembang Matahari Perpuisian Kita

Judul : Memburu Matahari
Pengarang : A. Faruqi Munif, dkk
Editor : Eko Putra
Pengantar : Wayan Sunarta
Penerbit : Bisnis, Maret 2011
Tebal : vi + 124 halaman
Peresensi : Asarpin *
http://www.lampungpost.com/

PUISI ibarat matahari dengan teriknya yang panjang, garang, yang berbeda dengan fajar dan senja yang memancarkan cahaya singkat. Sebagai matahari, maka terdapat puisi yang abadi, yang gema dan pengaruhnya sangat panjang. Maka tak heran jika banyak yang gerah terhadap kehadiran makhluk bernama puisi, terutama mereka yang terbiasa berhadapan dengan kata-kata biasa, bukan kata-kata yang memburu, membakar, memanggang serta menghanguskan sekujur tubuh mereka hingga terkulai tak berdaya.

Puisi juga ibarat pusat gravitasi yang mampu menjadi daya penarik bagi matahari-matahari kecil di sekitarnya. Ia bisa mewujudkan dirinya sebagai sesosok cumi-cumi yang memiliki seribu tangan dan kaki untuk menangkap setiap hal yang berkelebat di sekitarnya. Ia bisa amat sangat berbahaya kendati terasa amat sangat sederhana.

Maka, kalau di zaman yang supersibuk oleh tetek-bengek perekonomian dan politik nasional dan internasional yang aneh ini masih ada penyair yang bergelut dengan perih untuk menghadirkan sesosok makhluk bernama puisi, di saat ketika sebagian besar rekan mereka memburu pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil dengan gaji yang mantap dan stabil sehingga sangat dibangga-banggakan orang tua dan kekasih mereka, lidah saya terasa kelu dan sekujur tubuh saya merinding. Bukan saja karena saya mengamini apa yang diucapkan Oktavio Paz yang dikutip Wayan Sunarta dalam pengantar buku antologi puisi Memburu Matahari (Bisnis2030, 2011) yang akan menjadi fokus pembicaraan saya kali ini, bahwa puisi adalah puncak pencapaian derita para penyair, tapi banyak hal yang tak kuasa saya lukiskan.

Terus terang, saya iri dengan kemampuan 20 penyair yang mencatatkan diri dalam buku bunga rampai ini. Bukan karena usia mereka rata-rata masih 20-an tahun telah menghasilkan sejumlah sajak yang mantap, tapi pencarian yang mereka lakukan dan kemampuan untuk menuliskannya. Tidak hanya mantap dilihat dan dirasakan dari segi larik, tapi juga irama, pilihan kata dan tema. Bahkan di antara mereka tampak memiliki bakat sebagai penyair besar untuk ukuran nasional.

Masalah usia saya kira tak perlu lagi dipersoalkan, karena matang-tidaknya sebuah sajak sama sekali tak terpaut dari segi usia. Ada penyair yang menulis puisi sangat bagus dalam usia kanak-kanak atau remaja, tapi juga bakat-bakat sebagai penyair yang tangguh sering juga muncul di usia yang dianggap tidak muda lagi. Chairil dan Sapardi serta masih banyak lagi, mampu menghasilkan puisi dahsyat dalam usia relatif muda. Dulu Ahmad Yulden Erwin memublikasikan sejumlah sajaknya dengan pengucapan filosofis yang cantik ketika masih duduk di bangku SMP. Tapi Sutardji Calzoum Bachri justru menghasilkan puisi bagus di saat usia menjelang 30, bahkan di usia 35 tahun. Kategori tua-muda juga mesti segera ditangguhkan karena ini sering menyakitkan, juga menyesatkan.

Apresiasi pertama yang mesti disampaikan di sini, dan untuk buku himpunan puisi ini, saya tujukan kepada editor yang dengan tekun dan cerdas memilih sajak yang untuk kumpulan ini. Sekalipun ada satu-dua sajak yang masih tampak goyah dan kedodoran dari banyak segi, tapi secara keseluruhan telah menunjukkan usaha yang keras untuk menghadirkan para pemburu kedalaman kata dan makna.

Bolehlah kita sedikit lega dengan perkembangan perpuisian kita saat ini, dan menaruh harapan yang besar kepada beberapa penyair di masa mendatang untuk mencatatkan dirinya sebagai virtuoso di lapangan perpuisian kita, setidaknya untuk ukuran nasional.

Memang ada sedikit kecemasan, kalau bukan kekhawatiran, yang tampaknya telah menjadi gejala umum bagi perkembangan puisi kita, yakni keseragaman bentuk pengucapan dan pilihan pada bentuk lirik yang konvensional. Tapi kekhawatiran ini bisa segera ditepis sejauh mereka jujur dan memang sungguh-sungguh bergulat, bukan sebagai pengekor atau epigon yang memalukan. Jika terdapat kemiripan satu-dua sajak dari sajak para pendahulu, hal itu sangat lumrah tejadi kepada siapa pun, dan tak usah jadi beban bagi generasi kini.

Sajak-sajak yang saya anggap sudah selesai dari urusan teknis perpiuisian, dan terasa mantap dan menggugah ruang batin saya sebagai penikmat puisi lirik, dapat disebut, di antaranya sajak Anne Frank (Ammad Subki). Sebab Matahari Tak Pernah Bisa Menghapus Kesedihan (Dea Anugrah), Pada Sebuah Taman (Dwi S. Wibowo), Kampung Keramat, Desaku (Eko Putra), Padma Suci (Faisal Syahreza), Di Malam Purnama (Moh. Nurul Kamil), Percakapan (Muhammad Amin), Berkunjung ke Desamu (Na Lesmana), Ingatanku, Bayangan Sebuah Negeri (Pranita Dewi), Surat Dari Bandung (Zulkifli Songyanan), dan masih beberapa yang luput disebutkan.

Mungkin hanya kebetulan saja kalau sebagian besar puisi dalam buku ini yang berhasil justru ketika bicara soal matahari. Ada matahari dengan cahayanya yang kelewat panas, tapi ada yang sedang dan tak terlampau menyengat tapi bisa membuat tubuh tetap berkeringat. Ada yang terasa asing, aneh, lebai, tapi ada yang unik dan cantik menawan hati.

Kita mungkin tak terlampau betah hidup selamanya di bawah kaki langit dengan matahari yang menyilaukan dan membakar sepanjang siang, apalagi di saat berada dalam perjalanan, tapi cukup dengan matahari yang sedang, yang memancarkan cahaya yang tak kelewat garang. Kita membutuhkan keseimbangan antara malam dan siang, hangat dan dingin sehingga menyejukkan. Seperti kata salah satu penyair dalam buku ini, yang mungkin tidakditujukan kepada keseluruhan penyair yang disapanya kita, dengan kehadiran buku puisi ini, semoga kolam di langit akan tumpah malam nanti, dan kita bisa menjenguk sejuk siang hari sambil menatap kembang matahari.

Asarpin, pembaca sastra

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita