16/01/11

Aku tersesat di Rambutmu, dalam Kitab Suciku

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

adinda, kemana kau pergi.
rambutmu berjatuhan di jembatan rinduku.
baru saja aku dengar lantunan ayat-ayat suci
dari jejak kakimu. seketika itu, kau menghilang.

aku lihat kelelawar berterbangan di kamarku.
kelelawarkah yang membawamu pergi dari
rumahku. senja datang, aku kesepian.
mataku terpejam, hari menjadi malam.
kamarku kosong, langit malam menanti.

ada bintang sendiri, ketika rembulan tak datang.
angin tak berkutik sembunyi di bibir hidungku.
aku tarik nafas panjang agar kau datang kembali.
tetapi rembulan yang datang. padahal, bukan
rembulan yang kuharapkan. sebab aku bukanlah bintang.

aku melihat bidadari menari bersama datangnya rembulan.
bintang menyambutnya dengan menyodorkan tangannya
pada bidadari. aku masih tetap sendiri, dengan nafas yang
terjenggal menantimu. aku melihat wajahmu ada di punggung
bidadari sambil menggeraikan rambutmu.

kenapa kau tak turun adinda, teriakku.
gerak tubuh bidadari sedang bercinta dengan rembulan
dan bintang, ada kau di sana. rupanya kau ikut bercinta
dengan mereka. aku terdiam dengan kecemburuan.
memukul kepala berkali-kali hingga tumpah menjadi
sebuah peta yang gelap tak bisa terbaca. walau lampu
penerang memberikan cahaya dalam kamarku.

adinda, kalau saja kau katakan lebih awal tentang percintaan.
tentunya aku akan mengadu pada rerumputan yang bergoyang
di savana, saat kita sedang bercinta dulu.

kau menulis kata-kata puisi yang membuatku sakit hati.
kau kirim dengan menyambung rambutmu menjadi temali.
adinda, harum kamarku saat kau disini. kini tak ada lagi.
aku membuka kitab suci. ada rambutmu. apakah ini
jembatan yang menghubungkan surga buatku.
apakah kau menungguku di surga bersama bidadari.

ah, aku menyusuri huruf hijaiyah mencari dirimu
di sela harokat-harokat yang menjadi bunyian indah
di dadaku. aku bertemu maryam. ia menghiburku
dengan kesetiaannya pada tuhan. hingga tak mau ada
lelaki bercinta dengannya, kecuali tuhan. ah, apakah tuhan
laki-laki tanyaku. dia akan menjelma pada siapa saja yang sepi
hatinya merindukan peluknya. maka datanglah tuhan
mencari hati yang tergetar. aku pun tergetar, katanya.
maryam mengusirku sebab ia akan bercinta dengan tuhan.
aku pun melihat tuhan dalam diri maryam.

Aku masih saja memotong-motong huruf
yang ada dalam kitab suci. ada aisyah sembunyi
sedang bernyanyi bersama muhammad, takut
tuhan akan tahu. bahwa ia sedang selingkuh.
desah nafas aisyah seperti nafasku yang tersenggal.
aisyah mendekat padaku, memberikan nafas
sejenggal padaku meninggalkan muhammad.
lalu pergi mengantarkanku pada fatimah. diam-
diam ia membawa selimut buatku yang kedinginan
tanpa pelukmu, adinda.

adinda, dimana kamu? tubuhku lelah mencarimu.
datang khotijah padaku, membelikan aku sepeda
untuk mencarimu. aku mengayuh terus hingga
perutku lapar. aku temui masitah. ia menjadi menu
makan siangku. dalam tangis yang matang tubuhnya
ia memberikan aku semangkuk rindu, mengantarkanku
pada rabi’ah. ah, aku tak mau. aku masih belum mampu,
untuk tak bersama dengamu, adinda. rabi’ah mengusirku
melemparkan aku pada tengah-tengah rambutmu dan
memberikan aku api dan air. aku tak bisa. masih belum bisa,
aku tak bisa lihat wajahmu, aku tersesat di rambutmu, adinda.

bidadari yang mengajakmu bercinta dengan rembulan
dan bintang menepuk dadaku. aku diam. ada kamu di kitab
suciku. dan rambutmu patah. aku tersesat olehmu.

Malang, 20 November 2010

Pohon Insomnia Dari Puisi-puisi Alejandra Pizarnik

Dadang Ari Murtono
http://www.balipost.co.id/

mungkin malam adalah kehidupan dan
siang adalah maut
(malam)

1.
nokturno menghelaku
membelaku dari mata api

sunyi

ada yang bersiap bersemi

barangkali
cangkang tubuh mulai rapuh


2.
asin peluh
malam keruh
kuasah sangkur
kuasuh gembur

syair para penidur
mengalir dari dubur


3.
kusimpan setetes embun
sedepa humus ranum
dalam hening kambium

dan dadaku akan mekar
membawa nektar segar

menjaga yang ada
atau tak ada
atau tak perlu ada


4.
hijau membara
kelopak terjaga

ternyata

yang engkau hanyalah aku
yang rindu dan bisu


5.
sebisu retakan kun
lelubang buahku perlahan menenun

kata demi kata

bahasa yang mengada
dari yang kukira topeng senja


6.
aku meraba
akar tegar, batang tenang
rimbun daun, buah basah

namun fajar akan pecah
dan jantung akan terbelah

jangan persembahkan aku,
wahai tengah malam pilu,
kepada putih siang tercemar
(hati yang telah mengada)


7.
tetapi yang ada dan tiada
dan senantiasa
adalah tak akan
adalah tak pernah
adalah tak indah

lalu bertukar lidah

MITOS KEKUASAAN

Puji Santosa
http://sastra-indonesia.com/

Kekuasaan dimitoskan sebagai zat kudus, yang suci dan sakral sebagai berkas-berkas cahaya kekuatan Illahi sang penyelenggara makhluk (kang murbeng dumadi). Oleh karena itu, kekuasaan dipandang sebagai daya kosmis, semacam zat yang tunduk terhadap hukum kekekalan massa. Dari satu masa ke masa, dari zaman ke zaman, dan dari satu dinasti ke dinasti lainnya jumlah total massa zat kekuasaan itu tidak pernah bertambah atau berkurang. Zat kekuasaan hanya berubah bentuk. Ibarat es jadi air, air jadi uap, dan uap jadi embun, dan embun menggumpal menjadi awan hingga turun sebagai hujan. Apabila zat kekuasaan itu mengkristal pada diri seorang tumenggung, bupati, menteri, dan ke raja lain, maka sangat berkuranglah bobot kekuasaan raja tersebut. Akibatnya, timbullah kekacauan dalam negeri, terdapatnya pemberontakan, mewabahnya pageblug atau penyakit di mana-mana, bencana nasional seperti kebakaran hutan, lahan dan pekarangan, krisis moneter, krisis kepercayaan, bencana asap, gunung meletus, gempa bumi, hujan badai, banjir bandang, gelombang rob atau tsunami, pembantaian antaretnis, pembakaran dan penjarahan, pemerkosaan masal, dan kebejatan moral, yang disebut sebagai zaman edan.

Adalah pujangga besar R.Ng. Ranggawarsita (1802—1873) yang mampu meramalkan hadirnya kekuasaan zaman edan sehingga mengakibatkan derajat negera tampak sunya-ruri (suwung, sepi, suram), karena negara demikian kacau-balau, karut-marut, undang-undangnya tidak dihargai, rakyat semakin rakus dan loba, banyak berita bohong yang sulit dipercaya, banyak orang munafik, penuh fitnahan, tipu muslihat, banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, teledoran, alpa, banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat. Terjadi banyak peristiwa keanehan, tidak masuk akal, banyak orang yang stres dan putu asa, atau tidak bernalar sehingga serba sulit untuk bertindak. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang menjadi gila, edan, atau tidak ada yang waras. Rumah-rumah sakit jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita gangguan jiwanya. Empat catur bangsa (brahmana, ksatria, waisya, sudra) sudah rusak karena tidak menetapi darma masing-masing.

Di tengah kekacauan kekuasaan zaman edan itu hadirlah 6 ksatria piningit (Sasangka, Sarjana, Sujana, Sudibya, Wijaya, dan Suteja) sebagai Ratu Adil, Mesias, Juru Selamat, yang mengembalikan negara, menyelamatkan bangsa dan rakyat, mencapai peradaban dunia yang berwibawa dan bermartabat.

Mahasiswa dan Gerakan Politik Praktis

Heri Latief
http://politik.kompasiana.com/

Akibat dari terbelahnya Eropa setelah perang dunia kedua, maka terjadilah masa pergolakan pemikiran di kalangan kaum muda, misalnya gerakan politik praktis mahasiswa dan seniman pada zaman “generasi bunga dan cinta di Eropa”.

Tembok Berlin dan Checkpoint Charlie telah jadi saksi, sejarah manusia tak bisa dibatasi oleh tembok beton dan moncong meriam.

Eropa setelah 13 agustus 1961 menjadi beku kaku, pembangunan tembok beton sebagai simbol konflik blok Barat dan Timur pada saat itu.

Virus perang dingin membuat tatanan masyarakat Eropa jadi meriang tak keruan. Terutama kaum mudanya yang sudah muak dengan politik orang tuanya. Generasi yang lahir setelah perang dunia kedua muncul sebagai wakil dari ide pembaruan kaum progresif muda.

Salah seorang pemimpin gerakan kaum muda progresif Eropa bernama Daniel Cohn-Bendit (Montauban, 4 april 1945), seorang publisis dan politisi ulung, yang terlibat langsung pada saat demo protes besar-besaran yang telah membakar kota Paris (1968).

Demo besar-besaran di Paris tersebut adalah akibat dari tertembaknya seorang aktifis mahasiswa bernama Benno Ohnesorg di Berlin Barat sewaktu demonstrasi anti kedatangan Syah Iran (2 juni 1967). Reaksi dari kaum muda adalah membentuk grup ekstrem “Revolutionärer Kampf”.

Kameradnya Bendit segenerasi adalah Joschka Fischer, beken namanya di Jerman, lahir di Gerabronn, 12 april 1948, yang juga terkenal sebagai bekas mentri luar negeri Jerman dari partai Die Grünen.

Kedua aktifis revolusioner Eropa ini adalah lambang dari kegelisahan anak muda Eropa setelah bebas dari ancaman fasismenya Nazi.

Gerakan mahasiswa di Eropa di tahun 60an bergerak ke arah kiri dengan aksi-aksi demo anti perang Vietnam, semua yang berbau Yaankee adalah dosa yang tak termaafkan.

Pada saat itu kekuatan militer di dunia terbagi 2, Nato dan Pakta Warsawa. Tembok Berlin adalah suatu bukti terbelahnya pemikiran manusia di dunia ini.

Dinginnya perang dingin membuat perasaan orang jadi membeku. Karena mereka tahu, puluhan ribu peluru kendali antar benua berkepala nuklir saling mengancam dalam situasi ngeri akibat sengitnya konflik ideologi.

Tembok Berlin seakan-akan jadi saksi pembatas emosi sebuah bangsa yang sedang mengalami masa merenung karena terluka akibat kalah perang, tembok pembatas ideologi itu dibangun atas nama persaingan ideologi.

Di tahun 1982, sewaktu saya baru datang di kota Hamburg partai Die Grünen mulai muncul sebagai wakil rakyat di parlemen lokal pemerintahan kota Hamburg, mulailah era kaum hippies yang berambut gondrong orkes, blue jeans, dan anti dasi itu dipercaya oleh rakyat untuk memperjuangkan tuntutan orang bawahan.

Gerakan mahasiswa di Jerman telah sukses merambah masuk secara nasional ke parlemen (1983), maka terjadilah perubahan iklim politik di Jerman, suasananya jadi lebih berwarna akibat masuknya pemikiran kaum progresip muda di dalam gelanggang politik.

Sedangkan di Indonesia pada waktu itu sudah ada gerakan politik elite yang anti rezim Soeharto, dikenal dengan nama Petisi 50, tentunya mesti diingat bahwa pada sat itu ada praktik politik kekerasan negara yang dijuluki dengan nama Petrus (pembunuhan misterius) dan juga peristiwa berdarah Tanjung Periuk (1984).

Di kalangan mahasiswa Indonesia di Jerman pada saat itu sangat haus akan informasi tentang tanah airnya, informasi keadaan politik Indonesia didapat dari berbagai macam sumber, di antaranya dari salah seorang wartawan Radio Nederland cum aktifis (Tossi).

Ia mengirimkan berita-berita dari Indonesia ke Berlin Barat dalam bentuk koran, majalah, atau pun berbagai pernyataan politik dari para oposan di Indonesia.

Tahun 80an di abad yang lalu belum ada Internet, lalu lintas berita cetakan memakai jasa pos, dan biaya perangko itu mahal. Sehingga informasi dari Belanda ke Berlin Barat hanya datang ke satu alamat, lalu siapa yang memerlukan informasi silakan memfotokopinya.

Karena gerakan mahasiswa pro demokrasi Indonesia di Jerman semakin menyebar, maka kebutuhan informasi di kalangan mahasiswa yang kritis pun meningkat, karena ada kesempatan untuk belajar politik secara bebas dari versinya para pembangkang yang berkumpul di beberapa grup.

Misalnya PPI CaBe (Persatuan Pelajar Indonesia Cabang Berlin), IPMI (Ikatan Pemuda Mahasiswa Indonesia), PI Berlin Barat (Perhimpunan Indonesia).

Masing-masing grup oposisi tersebut punya penerbitan, misalnya PPI CaBe terbitannya bernama “Gotongroyong”, PI terkenal dengan terbitan analisa politiknya dalam “Berita Tanah Air”.

Seorang penulis tersohor dari kalangan oposisi di luar negeri di zaman itu namanya Pipit Rochijat, ia adalah menantu dari Doktor Mohammad Isa yang bekas Atase Kebudayaan di KBRI Praha pada zaman Nasakom.

Mahasiswa Indonesia yang kritis pun dituduh PKI. Tapi gertakan penguasa tak mempan. Gerakan mahasiswa di Berlin Barat makin nekat. Paspor Pipit lalu dicabut oleh Rezim Soeharto.

Seperti analisa politik dari I Gusti Nyoman Aryana (Komang) yang sekjen PI Berlin Barat di tahun 1986 , “rezim Soeharto suatu saat akan tumbang juga, tak ada diktator abadi di dunia ini, lalu setelah Soeharto jatuh mau apa? What next?” Kata Komang sembari memberikan contoh kasus Marcos dan masa depan Pilipina.

12 tahun kemudian, 1998, pemerintahan Soeharto jatuh dari singgasananya, tapi apa yang terjadi sekarang? Pengulangan dari keadaan rakyat miskin tertindas tanpa ada perubahan? Komang sudah meramalkan bahwa perubahan total mesti terjadi, tanpa itu hanya pengulangan cerita lama.

10 tahun Reformasi hanya menghasilkan apa yang kita lihat sekarang, Indonesia sakit yang rakyatnya setengah kelaparan, ditambah pula mahalnya ongkos pendidikan, dan makin suburnya budaya penyalahgunaan kekuasaan.

Gerakan mahasiswa Indonesia di luar negeri pun sekarang sudah berubah total, mahasiswa jadi malas berpolitik, mungkin takut karena ortunya juga lagi ikut menikmati kliknya kekuasaan.

Semboyan mahasiswa sekarang katanya: “belajar dan pesta”, semua sifat anak muda yang suka protes itu dipoles jadi karakter anak manis. Lagian, siapa yang bisa membuktikan bahwa ongkos kuliah di luar negeri yang mahal itu bukan dari hasil dari ngompas alias korupsi?

Perbedaan dasar dari gerakan mahasiswa di ahun 60an di Eropa dan Di indonesia adalah: di Eropa para eks aktifis mahasiswa zaman anti perang Vietnam itu sampai saat ini masih mengeritik masalah gawat di dunia ke 3, yaitu perang dan kelaparan.

Sedangkan di Indonesia para eksponen 66 hanya memikirkan merebut korsi kekuasaan yang sama sekali tak memihak pada penderitaan rakyat miskin.

Sampai saat ini di Eropa berkembang terus ide pengawasan dari rakyat terhadap jalannya pemerintahan, misalnya di Belanda ada “buurthuis”, terjemahan bebasnya: pusat kegiatan rakyat. Tempat segala macam aktifitas sosial, politik dan budaya.

Hal ini disebabkan oleh gigihnya usaha kaum termajinalkan di Eropa untuk memperjuangkan perubahan nasibnya, sedangkan di Indonesia terjadi kebalikannya, sifat militansi yang muda yang progresip makin lama apinya pun meredup.

Korlap gerakan mahasiswa 98 itu sekarang malahan jadi rebutan partai-partai politik, idealisme diobral karena kebutuhan hidup? Apakah ini karena akibat dari politik Indonesia yang masih taraf belajar merangkak menuju kehidupan berdemokrasi?

Tanpa adanya usaha rakyat mandiri untuk memperjuangkan perubahan sosial secara konkrit, akhirnya ide Reformasi itu hanya menuai persoalan: kembalinya para pemain lama, sang penyebab malapetaka.

Amsterdam, 11 April 2008

Antara Banaspati dan Mbah Jarmi

Vyan Taswirul Afkar
http://sastra-indonesia.com/

Langit belum terlalu gelap, Matahari masih menampakkan ujung kepalanya di cakrawala. Mega merah berjajar di ufuk barat kampungku. Burung-burung kelelahan belum sampai sarangnya. Bahkan, kelelawar hanya belasan yang sudah berterbangan di langit pasca senja. Tetapi di RT-ku ramai sekali. Bukan karena ada konser dangdut kawinan anak Pak Lurah seperti kemarin, melainkan salah satu rumah terbakar. Rumah itu adalah rumah Mbah Jarmi.

Para bapak berlarian membawa ember-ember berisi air yang digunakan untuk memadamkan api yang menjulurkan lidah-lidah keemasannya pada tiap bambu-bambu penyusun rumah Mbah Jarmi. Mas Hendi bahkan sampai melemparkan air sekaligus embernya. Tetapi tidak satupun orang yang menertawakannya. Karena semua yang ada di situ saat itu pasti meraskan hal yang serupa dengan Mas Hendi.

Ibu-ibu berteriak histeris hingga melupakan anak yang digendongnya. Aku yang melihatnya dari jauh masih bias merasakan panas menderu ke tubuhku. Abu berpijar dari bambu-bambu terbakar melayang-layang menerangi langit remang. Suara api itu mengingatkan aku pada waktu naik perahu di laut utara saat liburan semester satu dulu. Seperti angina yang berhembus ke arah telinga. Suara puing-puing jatuh terkadang juga terdengar menggaduhkan.

“Bima, mundur!”perintah Mas Hendi
“I-iya,”aku mundur tiga meter. Tetapi panas masih terasa.

Aku ditarik Ibu mundur lagi, hingga terlihat olehku sawah tebu di belakang rumah Mbah Jarmi.

“Bima, ajak adikmu pulang sana! Disini berbahaya.”titah Ibu

“Ibu tidak kembali?”

“Nanti, barengan sama Ayah. Cepatlah pulang!”

Dengan hati yang eman meninggalkan momen kebakaran seperti ini, aku terpaksa pulang menggandeng Tio,adikku.

“Mas, lewat jalan aja,” rengek Tio
“Nggak,ah kelamaan. Lewat sawah saja.”
“Takut , Mas,” ia mempererat pegangannya pada tanganku
“Mas gendong?”
“He’em.”
Tio merungkup erat di punggungku.

Baru tiga langkah berjalan ia menangis keras sambil semakin mengencangkan pegangannya, hampir mencekik leherku. Acuh tak acuh , aku terus berjalan menjauhi rumah Mbah Jarmi yang ada di belakangku.

“Mas!” teriaknya kencang
“Apa?”sentakku mulai jengkel
“I-itu apa?”
“Setan!” kataku menakuti.
“Aah, Mas!”
“Apa?”
“Itu,”
“Mana sih?”
“Itu lho”

Tio menunjuk ke belakang , tetapi matanya terpejam erat dan menempel di punggungku. Aku menoleh ke belakang.

“Se..,set..,setan!” Aku takut gemetaran, kakiku lemas ingin roboh tapi kutahan. Seseorang bertubuh api melolong kesakitan seperti serigala. Makhluk itu berteriak-teriak di tengah hamparan tebu.

Hatiku terus memerintahku lari, tetapi tak bisa.
“Yo, Tio!”
“Apa, Mas?”
“Mas takut, Yo”
“Aku, juga mas”

Tio lalu menangis lebih kencang karena ia baru saja sadar kalau yang dilihatnya tadi adalah kenyataan. Karena aku juga melihatnya.

Satu..Dua..Tiga. Lari! Aku berlari tunggang langgang dan terseok.

“Maas!Maas!” Tio terus berteriak.
Aku tidak memikirkannya. Aku tidak sempat memikirkannya. Atau, memang aku hanya berusaha menyelamatkan diriku sendiri.

Sesampainya di rumah, Aku mengunci rapat seluruh pintu dan jendela. Ayah dan Ibu belum pulang. Tio terus menangis ketakutan. Aku terengah-engah , keringat mengucur deras di pelipisku. Aku segera ke kamar, berbaring di atas kasur, dan menutup sekujur tubuh dengan selimut bersama Tio.
*

“Bima..!Bima..!” Seseorang memanggilku dari luar jendela. Suaranya sangat aku kenal, Ayahku.
“Iya, Yah. Sebentar!” Aku mengerjap lalu turun dari atas ranjang meninggalkan Tio yang sedang terlelap sendirian.
Aku membuka pintu, tampak Ayah dan Ibu dengan wajah lesu.
“Kenapa, Buk?” Tanyaku.
“Mbah Jarmi…,tewas!”
“Kebakar?”
“Nggak.”
“Lha terus kenapa?”
“Ibu tidak tega bercerita. Tanya Ayahmu saja.”
“Kenapa Yah?”
“Gantung diri,”
“Nggak mungkin! Mbah Jarmi itu orangnya baik, nggak mungkin dia melakukan hal seperti itu.”
“Kenyataanya?” Tanya Ibu
“Iya. Di rumahnya saja hanya ada uang tiga ribu. Kalau dibunuh, untuk apa coba?” Timpal Ayah
“Paling habis dibunuh uangnya dicuri. Nggak mungkin, pokoknya.”
“Uangnya tersimpan rapi di lemarinya,Nak. Lemarinya tidak terbakar.”
“Oh..” Aku menggeleng tak percaya
“Bima, cepat tidur! Besok kamu harus sekolah,” Pinta Ibu
“Baik, Buk. Selamat malam,”

Aku masih belum bisa tidur. Kulihat, bulan sudah berada tepat di atas atap rumahku. Air mataku menetes membasahi bantal. Aku ingin menangis terus-menerus mendengar kabar tentang Mbah Jarmi. Mbah Jarmi sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri sejak nenekku yang sebenarnya meninggal lima tahun lalu.

Pada saat ibu marah dan mengunciku dari dalam rumah, hanya ada satu tempat yang kutuju. Rumah Mbah Jarmi. Mbah Jarmi selalu membukakan rumahnya untukku. Terkadang aku juga tidur di rumahnya. Paling tidak, sampai Ibu memaafkanku.
Sekarang kudapati berita ini. Berita pahit. Tidak mungkin.
*

Langit cerah, awan stratus sedikit berserakan di langit timur. Sinar redup sang surya belum mampu melenyapkan butir-butir embun semalam. Aku duduk dikerubungi teman-temanku yang ingin mendengar pengalamanku semalam. Tapi bisa ditebak, mereka memasang mimic kecut setelah mendengarnya.

“Itu namanya Banaspati!” Kata Habib, satu-satunya anak yang percaya dan tidak bosan mendengar ceritaku meski sudah ku ulang berkali-kali.
“Banaspati?”
“Iya. Banaspati itu manusia setengah api. Biasanya makan anak kecil.”
“Masa’.”
“Aku belum pernah melihatnya, sih. Tapi semua orang tua di kampungku mengetahuinya.”
“Ooh..”

Sepulang sekolah aku menceritakan perihal Banaspati itu kepada orang tuaku. Awalnya mereka tidak percaya, namun berkat bantuan Tio mereka akhirnya Percaya juga.

“Dimana kau lihat Banaspati itu?” Tanya Ayah.
“Di belakang rumah Mbah Jarmi.”
“Ayo kita kesana!”
“Kenapa?”
“Ayah pingin tahu, kau berbohong atau tidak.”
*

Aku dan Ayah sampai di belakang rumah Mbah Jarmi. Oh, iya. Jasad Mbah Jarmi sudah dikebumikan saat aku masih di sekolah tadi. Tali tambang yang kata Ayah digunakan gantung diri oleh Mbah Jarmi masih terikat pada plavon rumahnya. Rumah bambu itu kini tinggallah puig-puing gosong berserakan.

“Ayo, kita cari.” Ajak Ayah
‘Misi dimulai.’ Bisikku dalam hati.

-Langkah Pertama (14.00)

Pertama, kami mengumpulkan benda-benda yang mencurigakan atau yang menurut kami tidak layak ada disana. Aku merasa lebih hebat dari Sherlock Holmes yang pernah aku baca di perpustakaan sekolah. Lebih keren dari Sinichi Kudo dan Conan Edogawa yang biasanya ku lihat bersama Tio setiap minggunya.

Sekitar lima belas menit kemudian, kami sudah mengumpulkan barang-barang yang mencurigakan. Antara lain: sebilah celurit, korek api kayu, botol bensin kosong, dan lentera yang kacanya pecah karena terjatuh.

-Langkah ke Dua (14.15)

Sekarang saatnya kami menduga dari mana datangnya barang-barang ini. Aku duduk di tanah sambil menggambar rumah dengan lidi. Ayah lalu berdiri.

“Mula-mula celurit ini! Ini milik Mbah Jarmi.” Kata Ayah dengan yakin.
“Lho, tahu dari mana, Yah?”
“Nih, ada inisialnya” jawab Ayah sambil menunjuk tulisan “J” pada pangkal celurit.
“Hah? Kalau korek api nya?”
“Mmm…ini punya Lek Mat.” Jawab Ayah dengan mantap nya lagi.

Aku heran kali ini. Memang sih, rumah Lek Mat tepat berada di sebelah timur rumah Mbah Jarmi. Tapi kenapa harus Lek Mat? Kenapa bukan Lek Supar yang rumahnya tepat di sebelah barat?
“ Kok bisa?”
“Nih, ada tulisannya lagi, Matches.”
Aku tertawa terpingkal-pingkal kali ini.
“Ayah, ayah. Matches itu Bahasa Inggris. Artinya korek api!”
“ya, maklum lah , Nak. Ayahmu ini kan, sekolah nggak sampai lulus SD.”
“Ayah tetap hebat kok. Kayak Jaka Tarub.”
“Jaka Tarub? Nggak. Begini-begini Ayahmu lebih hebat dari Jaka Tarub.”
“kok bisa?”
“Ayah bisa menjaga kesatuan keluarga. Sedangkan Jaka Tarub? Tidak, kan?”
“Ooh.”
“Yah, kalau botol ini milik siapa?”
“enggak mau , ah. Nanti kalau salah kamu ketawain, lagi. Tapi kalau lentera ini, Ayah tahu.

Ini milik pencari kodok yang biasanya mencari di sekitar sini itu lho.”
Kali ini aku percaya.

“Ayah memang hebat!”

Ayah tersenyum. Kami terduduk lelah di bawah pohon akasia yang berdaun jarang.

-Langkah ke Tiga (15.45)

Inilah langkah terakhir sekaligus tersulit bagiku. Membuat hipotesis. Karena jika salah bisa jadi fitnah. Bila benar pun pasti menimbulkan masalah. Ayah menyuruhku mengajukan hipotesis terlebih dahulu.

“Kalau hipotesis mu masuk akal, meskipun ngawur kamu akan Bapak belikan rujak kesukaanmu di warung Mbak Ngat.” Ayah berjanji.

“Ada seorang pemburu katak. Lha, pas saat dia mencari katak di sini, dia mendengar pekikan Mbah Jarmi. Dengan penasarannya pencari katak itu mengintip rumah Mbah Jarmi dari luar. Lalu sangat kaget ketika melihat Mbah Jarmi sedang di gantung orang. Sampai-sampai lenteranya jatuh, dan kebakar deh.” Aku tersenyum bangga “bagaimana, Yah? Masuk akal ,kan?”

“Nggak. Kamu masih membela Mbah Jarmi.”

“Maksudnya?”
“Tadi kamu bilang Mbah Jarmi di bunuh orang. Padahal sebenarnya kan , Mbah Jarmi bunuh diri.’’
Aku tertunduk malu. Aku merasa bersalah pada Ayah.
*

(Pukul 16.45)

Hari sudah sore. Sejak tadi Ayah telah mengajakku kembali. Tetapi aku selalu menolak. Karena aku ingin membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pembohong. Jadi, aku harus menemukan Banaspati itu. Atau paling tidak bekas dan jejaknya.

“Pulang, Nak. Sudah sore. Ibumu kasihan sendiri di rumah.”
“Nanti dulu, Yah. Pencariannya kan belum selesai.”
“Tidak usah dicari. Ayah percaya sama kamu.” Aku tak yakin dengan ucapan Ayah. Setahuku, itu hanya alasan Ayah agar kami bisa cepat pulang. Aku menggeleng.

“Ya sudah. Begini saja, di sebelah mana kamu melihat Banaspati itu?”
Oh, iya. Kenapa sama sekali tidak terpikirkan olehku.

Aku berlari menerjang persawahan tebu setinggi lututku. Ayah mengikutiku di belakang. Dia hanya berjalan saja.

Tiba-tiba aku terjatuh. Mataku kemasukkan debu. Aku memjamkan mata sesaat. Saat aku membuka mata, ku lihat sesuatu berwarna hitam tergeletak di depanku. Awalnya ku kira kayu bakar bekas petani membakar singkong. Tapi setelah ku amati benar-benar, itu manusia!

Tubuhnya hitam bak malam. Wajahnya tak lagi membentuk muka-muka manusia pada umumnya. Baju yang dipakainya ikut menggosong, mungkin karena api. Aku berteriak.

Ayah kaget. Lalu berlari ke arahku. Saat dia melihat melihat makhluk itu, dia langsung berlari. Aku ditinggalnya. Aku takut lalu berdiri mengikuti larinya entah ke mana.

Ayah terus berlari tanpa menghiraukanku. Saat berada di depan rumah Pak RT ia berbelok sambil berteriak-teriak. Pak RT kebingungan. Ayah pun menceritakan semua yang baru saja kami alami.
*

Usai dari rumah Pak RT kami langsung pulang. Namun saat melewati rumah Mbah Jarmi tadi sempat ku luhat ada beberapa polisi dan sebuah mobil ambulans di sana. Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Esoknya. Saat aku sedang duduk sendiri di teras rumah, Ayah mendekatiku dan duduk di sampingku.

“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, Yah.” Aku terdiam, lalu bertanya “bagaimana mayat yang kemarin?”
“Oh, itu. Ternyata itu pencari katak.”
“Kok bisa sampai begitu, Yah?”

“Kata Pak Polisi, saat orang itu mencari katak, dia mendengar suara Mbah jarmi yang memkik. Mungkin karena penasaran atau apa, dia mengintip. Saat melihat Mbah jarmi menggantung tanpa tenaga, dia kaget. Sampai-sampai lenteranya jatuh. Minyak gas dari lentera itu menyirami tubuhnya sendiri dan juga gedhek rumah Mbah Jarmi.. karena minyak itu, tubuhnya dan gedhek itu terbakar. Api cepat membesar. Dia sudah berteriak tetapi tidak terdengar karena teriakannya kalah dengan teriakan histeris ibu-ibu yang melihat kebakaran.” Ayah mengelus kepalaku.

“Terus?”
“Dia lari ke sawah mencari air. Tetapi telat. Begitulah jadinya.’’
‘’Jadi, Banaspati yang Aku lihat itu orang itu ?’’
‘’Mungkin saja. ‘’

Kami berdua terdiam dalam lamunan kami masing-masing.
“Eh, ayo ke warung Mbak Ngat, yuk!”
“Ngapain, Yah?”
“Kamu mau Ayah belikan rujak.”

Aku memeluk Ayah. Kami berjalan beriringan menapaki jalanan yang retak menuju ke sana. Aku tersenyum.

Saat ini Aku senang sekali. Tetapi, aku juga sangat sedih. Senang karena bisa membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pendusta. Sedih karena kenyataannya Mbah Jarmi tewas bunuh diri.

Sama sekali tidak ku sangka. Orang sebaik Mbah Jarmi mengakhiri hidupnya dengan cara yang semua agama mengecamnya. Bunuh diri. Hanya karena jeratan ekonomi yang semakin menjepitnya dalam jeruji kesusahan. Apalagi dia hanya seorang pemulung yang hidup sebatang kara. Tidak bisa aku bayangkan betapa kasihannya dia.

Namun bagiku tetap, Mbah Jarmi tidak bunuh diri. Pembunuh sebenarnya adalah pemerintah yang terus menaikkan harga kebutuhan kami. Mbah Jarmi hanyalah korban dari ulah mereka.

Masalah Banaspati itu, biarlah. Biarlah ia hanya menjadi misteri yang selamanya takkan terkuak dalam hidupku. Lagi pula, aku tak tahu akan bagaimana seumpama benar-benar bertemu dengannya. Ku harap, selamanya aku takkan pernah melihatnya. []

Ket:
Banaspati : manusia setengah api dalam mitos masyarakat Jawa.
Awan stratus : lapisan awan tipis yang letaknya paling dekat dengan Bumi.
Gedhek : dinding kayu yang biasanya terbuat dari anyaman bambu.

*) Penulis adalah siswa kelas 9B sekaligus redaktur majalah sekolah “Pink Star” di SMPN 3 Peterongan.
**) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Jakarta

Fathurrahman Karyadi
http://sastra-indonesia.com/

Angin sepoi-sepoi menyibak rambutku tanpa izin. Menyapu muka hingga kelopak mata. Menyegarkan, kawan. Telingaku bising. Bunyian kereta terdengar amat nyaring. Apalagi kini aku tengah di atasnya. Di luar jendela sana pemandangan asri terus berganti. Sayang aku tidak bisa menikmati dengan jelas karena kereta terus berjalan.

Sementara di sampingku semua orang terlihat sibuk. Beratus-ratus jiwa dalam satu tempat. Ada yang berjualan mencari pelanggan, ada juga yang panik belum dapat tempat duduk. Meski keadaan sumpek dan ruwet seperti ini, aku tetap gembira. Sebab sore ini aku pulang ke Jakarta.

Lama sudah aku hidup di Jawa. Terhitung sejak lulus SD hingga di janggutku tumbuh rambut. Mungkin sekitar enam tahun-an. Kangen rasanya aku pada Jakarta dan, segala yang ada di sana. Mulai tempat wisata, hiburan, peribadatan, sampai makanan khas gado-gado yang lezat itu. Tak sabar aku ingin segera tiba. Seandainya aku adalah masinis kereta niscaya akan kupercepat lajunya dengan kecepatan turbo. Oh Jakarta aku rindu kamu!

Tujuanku meninggalkan Jakarta hanya satu: menunutut ilmu. Bukan berarti di Jakarta tidak ada lembaga pendidikan yang bagus, tidak. Justru di Ibukota-lah semua pendidikan terjamin mutunya. Lihat saja sekolah unggulan, berprestasi, berbasis Internasional semuanya ada di Jakarta. Tak hanya itu, kawan. Lembaga pendidikan non formal pun banyak berdiri. Mulai kursus cepat berbahasa, computer, keterampilan ini dan itu, bahkan pesantren dan majelis taklim pun tak terhitung jumlahnya.

Tapi mengapa aku justru memilih untuk menempuh pendidikan di kampung halamanku, bukan Jakarta? Di samping ingin merasakan hidup di desa, sebagai pemuda yang setia, aku juga harus mencintai tanah asli kelahiranku. Fenomena yang menyedihkan banyak terjadi, di mana seorang miliarder yang asalnya ‘wong deso’ lupa–atau bahkan tidak tahu–tempat kelahirannya. Aku tidak mau seperti itu, kawan.

Sejak pertama kali di Desa aku tidak betah. Kehidupan di sini amat berbanding jauh dengan Jakarta. Jangankan untuk memanfaatkan teknologi, air untuk mandi saja harus mencari berkilo-kilo meter jauhnya. Inang…Sungguh dulu aku tak betah. Rasanya ingin tinggal di Jakarta saja selamanya. Ya begitulah manusia, selalu berharap yang enak-enak saja. Namun jika kita mengingat kembali tujuan awal yang telah kita rencanakan pasti semuanya akan lancar. Buktinya sampai enam tahun aku bisa bertahan hidup di sini hanya berbekal niat: AKU INGIN PINTAR.
***

“Masnya mau kemana?” seorang Ibu yang duduk tepat di dihadapanku bertanya. Sapaan ‘mas’ sudah tak asing lagi di telingaku. Dalam bahasa Jakarta bisa diartikan ‘bang’.

“Mau ke Jakarta, Bu.” Sejenak aku lipat surat kabar yang tengah kubaca. “Ibu sendiri mau ke mana?”

“Ibu mau ke Cirebon. Kira-kira sampai sana jam berapa ya? Ibu kok ndak tahu, maklum baru kali ini naik kereta.”

Akhirnya kami berbincang-bincang panjang. Ibu itu cerita tentang banyak hal. Mulai soal keluarga hingga masalah pemerintah. Benar apa kata banyak orang, kalau kita sedang dalam perjalanan hanya ada satu cara yang dapat menghilangkan rasa kejemuhan, yakni dengan obrolan. Dan, dalam konteks seperti inilah berkenalan dengan orang yang belum kita kenal amat dianjurkan. Siapa tahu dari sini hidayah Tuhan akan menemui kita. Dan, percayalah bahwa ta’aruf menyimpan banyak manfaat, kawan.
***

Cahaya matahari pagi menyingsing tajam. Menembus kaca menembak mukaku dengan kasar nun panas. Aku terbangun dari tidur nyenyakku. Bunyian kereta tak lagi terdengar di telinga. Kereta berhenti di sebuah stasiun. Entah stasiun apa aku kurang tahu.

“Mas mau turun dimana?” seorang bapak bertanya.
Suaraku masih belum jelas,“Jatinegara, Om.”
“Untunglah, tepat. Ini sudah di Jatinegara.”

Aku segera merapikan barang bawaanku. Tentunya dengan tergesa-gera dan panik. Kalau tidak, bisa-bisa tertinggal aku nanti.
“Dergh……. Dergh……”

Suara keras menggoyangkan kereta! Bertanda kereta akan memulai star menuju stasiun Senen. Setelah yakin tidak ada barang yang tertinggal aku langsung beranjak turun dari kereta. Aku tak perlu melompat lagi sebab stasiun di Jakarta berbeda dengan stasiun lainnya: trotoar samping rel dibuat sejajar dengan pintu kereta. Sehingga mempermudah penumpang ketika hendak keluar. Tampaknya sepele memang, tapi bagi perempuan–apalagi ibu-ibu–mereka amat kesal kalau jalanan tidak dibuat sejajar dengan pintu. Harus dibutuhkan kehati-hatian dan doa agar tidak jatuh terjungkur.

Perutku keroncongan. Selama perjalanan aku belum makan nasi kecuali saat berbuka puasa. Subuh pun aku tidak sahur saking nyenyaknya tidur. Bagi musafir sepertiku diperbolehkan tidak puasa, mengingat perjalanan jauh yang menguras tenaga sekalipun hanya duduk di atas kereta saja. Sebelum mencari mikrolet aku belokkan langkah ke warung dekat stasiun.

“WARTEG.” Kau tahu apa artinya? Baiklah: warung Tegal, kawan. Itulah sebuah warung yang penjualnya asli warga Tegal dengan menu yang khas. Meskipun dinisbatkan pada Tegal, jika kau mencari wareg di Tegal tidak akan ada. Warung ini hanya dijumpai di Jakarta. Sejak kecil aku juga binggung kenapa yang ada hanya warung Tegal saja, tidak yang lain. Kalau ada warung Semarang mungkin bagus, WARSEM!

Aku memesan makanan dengan porsi sederhana, sekedar mengisi perut. Satu piring nasi campur dan teh hangat tanpa gula. Saat hendak membayar aku teringat trik jitu yang pernah ditawarkan temanku di pesantren. Namanya Faqih dia asli Tegal.

“Kalau kau ingin menikmati masakan warteg dengan harga murah kau harus pakai jurus ampuhku ini: GUNAKAN BAHASA JAWA! Dengan berbahasa Jawa nanti si empunya warung akan simpati. Minimal dia akan memiliki gambaran ‘sama-sama orang Jawa di Jakarta harus bersaudara.’ Artinya, tak mungkin dia akan menembak dengan harga tinggi. Percayalah!”

Kini kucoba jurus itu.
“Sampun, Pak. Sekul kalian teh anget pinten nggeh?” untungnya aku sudah lancar berbahasa Jawa. Aku menyana pasti akan berhasil, semoga saja demikian!

Sejenak dia terdiam, mungkin agak heran melihat ektingku barusan.
“Lima ribu, Mas,” ucapnya santai.

Kukeluarkan uang sebesar Rp.10.000. Kusodorkannya lalu dijamah sopan. Aku sedikit kecewa. Susah payah aku bahasa Jawa, eh bapak itu malah menjawabnya bahasa Indonesia. Kuperhatikan terus gerak-geriknya.Tangannya tampak sibuk mencari kembalian. Mungkin karena masih terlalu pagi ia belum dapat pelanggan, apalagi di bulan Ramadhan ini semua orang tengah berpuasa. Bisa jadi aku adalah orang pertama sekaligus terakhir yang mengunjungi warungnya.

Tiba-tiba,
“Jenengan tiang Jowo tho, Mas?”

Ucapan itu membuat hatiku berbunga. Seperti seorang pelamar kerja yang mendapat SK diterima lamarannya.

“Oh enggeh, kulo asli tiang Jowo, Pak” jawabku agak terbata-bata.
“Sami, kula nggeh Jowo, Tegal kiyek” logat enyongnya kentara sekali. Andaikan dia tidak berkata demikian aku juga sudah tahu kalau sesungguhnya dia asli Tegal.

Dia merekahkan bibirnya tersenyum akrab.
“Niki wangsulanipun,” ia memberikan uang kembalian.

Sepertinya ada yang aneh. Uang kembalian yang seharusnya kuterima adalah Rp.5.000 tapi dia memberiku Rp.7.000, lebih dua ribu. Belum sempat aku menanyakan, bapak itu berujar.

“Enggeh sampun, wong podo Jowone kok. Ngitung-ngitung sodaqoh di bulan Ramadhan, Mas,” senyumnya ramah. Aku jadi tidak enak.
“Matur suwun sanget nggeh Pak. Mugo-mugo barokah. Assalamualaikum,” aku pamit meninggalkan warung setelah salamku dijawabnya.

Visi dan Misiku tak sia-sia. Walaupun hanya dikorting dua ribu, aku merasa beruntung. Dua ribu rupiah juga besar, kawan. Jangankan dua ribu, kalau kau punya uang satu juta tapi kurang seratus rupiah saja uangmu tidak dikatakan satu juta, iya bukan?

Ternyata tak begitu susah mencari kendaraan di Ibukota. Baru beberapa menit aku keluar dari Warteg, mikrolet berbagai jurusan sudah siap mengangkut penumpang ke segala penjuru Jakarta. Untung aku masih ingat mikrolet mana yang harus kunaiki untuk bisa sampai ke Kampung Rambutan. Mikrolet biru nomor punggung 06A.

Dalam perjalanan antara Jatinegara-Kampung Rambutan, banyak hal-hal aneh yang kutemui. Maklum kawan, aku tidak mendengar kabar Jakarta enam tahun lamanya. Hampir aku tak kenal kota apakah ini kok indah nian? Jalanan bagus dihiasi aneka lampu. Aspal hitam tanpa benjolan luka membuat penumpang betah dalam perjalanan. Tak ada gempa sugra. Hijau-hijauan turut menghiasi pinggiran jalan. Ini adalah salah satu upaya agar udara tetap sejuk, terhindar dari polusi kendaraan. Pak polisi lalu lintas yang gagah tiada henti mengawasi pengguna jalan. Kendaraan mewah yang biasa aku lihat di televisi kini ada di hadapanku semua. Takjub bukan main aku kini.

Sebentar…! Ada satu kendaraan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Persis seperti Bus, panjang dan mampu memuat banyak penumpang. Tampilan body indah enak dipandang. Melintas di jalur khusus dan berhenti di sebuah tempat pemberhentian yang–kalau tak salah seingatku–namanya halte. Tapi halte kok di tengah jalan? Sempat terbesit pula dalam benakku, “Sesampainya aku di rumah nanti, aku akan tanyakan pada orang-orang, sebenarnya mobil apa sih itu?”
***

Kedatanganku di Jakarta disambut luar biasa. Keluargaku sangat mengharapkanku sejak dulu. Apa lagi Ibu dan Bapak, tak henti-hentinya aku diperlakukan layaknya seorang raja, padahal aku adalah anaknya sendiri. Aku juga sempat tak percaya melihat kakakku yang paling besar kini sudah menggendong anak, dua! Kukira dulu ia tak akan menikah. Tak tahunya tidak. Malahan suaminya asli Betawi. Setahuku kakak tak suka orang betawi karena satu alasan yang cukup umum: lelaki asli Jakarta sukanya makan jengkol! Mungkin paradigma ini memang benar adanya, tapi jangan dikira dibalik kekurangan pasti tersimpan kelebihan: lelaki Jakarta tak mau makan sebelum Isterinya sudah makan! Paham kau, kawan?

Bapak yang dulu tak beruban sekarang rambutnya nyaris putih 60% hanya dalam jangka enam tahun. Ibu masih terlihat awet muda, entah racikan apa yang dipakai hingga tak sedikitpun wajahnya tampak keriput. Adikku, yang juga anak terakhir, kini sudah besar. Tumbuh dewasa layaknya seorang artis di pangggung pesta. Meski cantik dan manis tak mungkinlah aku berbuat yang tak semestinya. Dia adalah adikku selamanya.

Teman-temanku yang dulu satu sekolah di SDN 01 Rambutan Jaktim, kini pun berubah derastis. Hampir aku tak mengenalnya. Apalagi Ermi yang dulu terkenal julukan ‘Si Wanita Gajah’ kerena tubuhnya yang super besar, sekarang langsing singset. Hampir aku tak percaya. Ah…wajarlah namanya Jakarta apapun obat tersedia. Yang awalnya burik bisa saja cantik seketika. Asalkan kau punya uang itu saja.

Hari-hariku di Jakarta kumanfaatkan untuk berkeliling kampung. Suasana sungguh berubah. Bangunan rumah banyak yang megah sekalipun ini bukan di perumahan orang kaya. Penampilan mereka rapi dan bersih. Aku sudah mengamati berkali-kali. Sampai aku punya gambaran: anak muda Jakarta tidak ada yang berjerawat, amboi! Muka mereka putih pula. Aku jadi bingung masak iya terik matahari di Jakarta dapat menjadikan orang lebih mempesona? Hampir tak pernah aku melihat orang Jakarta yang berkulit hitam apalagi kusam gelam. Tidak ada kawan, percayalah!

Aktifitas warga Jakarta pun unik dan berfariasi. Jika pagi tiba–selain bulan puasa—mereka mengantri beli bubur ayam atau nasi uduk. Biasanya di setiap RT sudah ada yang menjualnya. Setelah itu mereka sibuk sesuai jabatannya. Anak-anak pergi sekolah, ayah bekerja dan sebagainya. Ketika suasana sepi inilah kaum ibu banyak yang keluar rumah, sekitar pukul 08.00. Tujuan mereka membersihkan halaman masing-masing. Tapi sebenarnya ada lagi yang lebih penting, yaitu NGERUMPI! Bu RT, Ibu tukang nasi, maupun Bu Haji tak ada bedanya. Mereka berkumpul dalam satu tempat yang sekiranya asyik untuk ngobrol. Problematika yang mereka usung cukup beragam, ada kalanya masalah keuangan, tataboga, model busana, kabar artis terkini, dan bahkan aku pernah mendengar mereka berbincang-bincang tentang permasalah pribadi dengan suaminya. Kalau diniati diskusi mungkin terhitung ibadah tapi jika tidak, mungkin kau lebih tahu…

Siang hari kebanyakan mereka mengisi waktunya untuk beristirahat. Atau bagi yang tak berminat mereka bisa membeli bakso yang sudah mangkal di dekat rumah pak RT. Sore hari setelah asar tak jarang diantara mereka yang berolahraga. Cabangnya ada sepak bola, tennis, basket atau sekedar bersepeda santai. Tentunya tidak di kampung ini mereka berolahraga. Kami biasa menuju komplek perumahan kaya yang bersebelahan dengan kampung kami namanya BHP: Bumi Harapan Permai. Di sana lahan amat luas.

Malam hari, sudah pasti ini acara khusus anak muda. Entah sejak kapan pemerintah Jakarta menetapkan hal ini. Di setiap tempat di Jakarta, pasti kita akan menemukan yang namanya anak muda. Aktifitas mereka pun berfariasi. Ada yang mejeng di pinggiran jalan, nongrong bareng-bareng sambil bergitar, browsing di warnet, shoping dll. Aku pun sering nimbrung dengan mereka. Ternyata mereka berhati baik, apalagi soal materi aku sering ditraktir makan. Aku jadi teringat sebuah syair indah:

Kalau kau orang pintar manfaatkanlah ilmumu
Kalau kau kaya, jadikan hartamu sebagai amal
Kalau kau bodoh dan miskin panjatkanlah doa,
Niscaya surga tempatmu kelak

Ibu selalu memperingatkanku saat aku ingin berkumpul dengan teman-teman.

“Kau sekarang di Jakarta, harus bisa menyesuaikan penampilan. Pakailah baju yang rapi, cuci muka dulu, kalau perlu pinjam minyak wangi Bapak. Biar nanti dalam pergaulan tidak ada yang canggung. Risih kayaknya kalau diantara mereka ada yang belum mandi atau baju yang culun…”

Nasihat Ibu memang benar, aku sendiri mengakuinya. Tapi aku rasa teman-temanku di sini tak pernah berperasangka buruk. Selama aku bergaul tak ada satu pun di antara mereka yang mengejekku karena aku berpenampilan katrok, jadul dan semerawut. Inilah salah satu yang aku salut dari pemuda Jakarta. Mereka sudah terbiasa menghormati orang lain, tidak ada istilah mengejek satu sama lainnya.

Akhir Ramadhan Jakarta sepi, kawan. Di sini ada budaya yang mungkin sering kita dengar. MUDIK, namanya. Mereka yang bukan penduduk asli Jakarta, kebanyakan memilih berlebaran di kampung masing-masing.
***

Saking betahnya aku di Jakarta tak terasa sudah lebaran. Kepayahan selama tiga puluh hari berpuasa seakan terbayar di hari yang fitri ini. Ketupat dan sayur opor sebagai menu khas lebaran warga Jakarta. Busana kebaya dengan payet gemerlap menjadi kebanggaan mereka. Pagi setelah salat id usai, tak ada yang menuju rumah masing-masing. Mereka bersalam-salaman satu sama lain. Tebaran senyum merekah di setiap wajah. Tetesan air mata melebur dosa. Inilah yang dinamakan halal bi halal. Sekalipun istilahnya berbahasa Arab, anehnya di Arab sendiri tak dijumpai budaya semacam ini.

Aku sedih meninggalkan Jakarta. Namun apa boleh buat, mau tak mau aku harus kembali ke Jawa. Pendidikanku belum usai, kawan. Meski hanya dua minggu di Jakarta aku cukup–atau lebih tepatnya amat–bahagia. Baru keliling kampung saja aku sudah puas. Apalagi kalau seumpama aku keliling ke banyak tempat di Jakarta, mungkin aku akan lupa Jawa. Kita akan bisa melepas setres di Ancol dengan seribu permainan fantastis, kita juga akan tahu banyak sejarah Indonesia di Museum Fatahillah atau Museum Gajah, kita bisa tahu bagaimana pernak pernik budaya Indonesia secara keseluruhan di TMII, kita akan merasa lebih bangga menjadi bangsa Indonesia jika mengunjungi museum proklamasi dan monas, kita bisa menemukan buku apa saja di Perpustakaan Nasional, kita bisa melihat langsung semua fauna dan flora Indonesia di ragunan, dan… Ah masih banyak lagi, kawan!

Di tengah lamunanku aku teringat sesuatu. Aku lupa menanyakan nama bus yang aneh itu. Tak apalah mungkin suatu saat nanti akan terjawab dengan sendirinya.
***

Sesampainya di pondok, aku menceritakan semua pengalamanku di Jakarta. Mereka takjub bukan main. Apalagi, Faqih. Dia sumringah luar biasa saat tahu kalau jurus ampuhnya kupraktikkan dan berhasil. Bahkan, ada satu hal yang sangat menyentuh hati. Aku sempat terharu membaca tulisan temanku di buku diarynya:

“Hari ini aku baru tahu bagaimana indahnya Jakarta. Temanku baru saja dari sana. Ia menceritakannya dengan detail tentang budaya, gaya hidup dan semua pesona yang ada di Jakarta. Ceritanya membuat hasratku ingin mengunjunginya. Menikmati sejuta keindahan di Ibukota Indonesia. Tuhan, kabulkanlah hamba semoga bisa ke Jakarta meski beberapa hari saja!”

*) Penulis adalah cerpenis dan redaktur pelaksana Majalah Tebuireng. Email:atunk.oman@gmail.co.id
**) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Njaran1

Wong Wing King
http://sastra-indonesia.com/

“Dapatkah kau teruskan pekerjaan bapakmu?”
“Yang mana pak?”
“Yang mana menurutmu layak diperjuangkan?”

Bapak memalingkan muka kearah timur, tepat dikanan pundaknya, jidatnya ditempelkan pada kaca yang tertutup rapat, seolah mencari matahari yang akan terbit dari balik rimbunan siluet batang bambu. Aku menatap batang lehernya yang mengkerut kulitnya, terlihat tulang tengkuknya. Kuarahkan pandangan keatasnya lagi, dari beningnya kaca padang mbulan2 menampakkan kalangan3 nya. Menyejukkan sekali mataku, cahaya terang menyirami batang – batang jagung muda, berumur empat puluh lima hari yang terhampar seluas lima hektar di samping rumah. Sedikit aneh dari pandangan mataku, bulan purnama sekarang, menyembul dari ubun – ubun bapak.

Aku nyalakan sebatang rokok khas lintingan4 bapak, tinggal beberapa batang saja tak akan cukup untuk jagongan5 semalam suntuk.

Bapak…bapak, ada…ada saja. Tak merasa rindukah padaku yang baru masuk rumah selama empat jam. Jantungku belum sepenuhnya meraskan kesejukkan angin desa. Kiranya apa untungnya aku menjawab pertanyaan itu., toh aku merasa sudah mampu menghidupi mulutku sendiri, bahkan sudah empat kalinya kedatangan ku sekarang ini hanya untuk mengajaknya lagi melihat kemegahan padang Arofah dan saksi bisu bukit Sofa – Marwa ketika Adam dan Hawa memperjuangkan diri dari kepunahan. Kemudian lahirlah aku, tapi bapak – ibuku dipertemukan dalam program pemerataan penduduk di zaman presiden ke dua negara ini. Rokok yang berat dihisap, membuat lidahku gatal, sedikit rasa takdim bahwa rokok hasil karya bapakku, aku menahan rasa sakit yang teramat sakit disertai nyeri di dada kiriku, spontan hampir batuk ketika itu juga bapak berjalan ke sebelah barat tangannnya menekan tombol power radio, suara langgam jawa dan campur sari meledak dari speaker, ku buka mulutku hendak batuk yang tak tertahan lagi, bapak menolehku, menetap tanpa air muka, sejenak kata – kata yang keluar dari mulutnya memukulku, batuk tak jadi, tersiksa malu aku.

Pada usia tujuh tahun aku dapat merasakan surga ada ditelapak kaki ibu. Ditahun – tahun selanjutnya surga ada di telapak kaki bapak. Kebiasaan yang sulit bapak rubah adalah kekolotannya terhadapku, di mata bapak aku masih bocah yang apapun kebutuhanku harus sesuai keinginan bapak. Itulah yang membuatku tidak enak tinggal di rumah joglo hasil keringatnya. Dan lebih memilih membiarkan bapak dalam kesendirian bapak merawat rumah.

Pak, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku saat ini. Cuti yang ku ambil hanya tujuh puluh dua jam di negara ini.

Channel radio di pindah bapak, irama musik menyedot kesunyian dan isi dalam tulang rusuknya, seakan tak perduli tentang pendapatku.
“Berapa lama kamu tidak melihat jaranan?”
“Sebelum aku menjadi tukang sapu di Negara paman sam!”
“Berapa tahun?”
“Lebih dari delapan belas tahun yang lalu”.
“Kalau begitu lihat ini”.

Bapak mematikan radio, berpindah tempat kearah berlawanan menghidupkan cd player, memasukkan cd dan menekan power televisi. Dalam layar monitor muncul turonggo budoyo, rakaman ala kadarnya menjadikan gambar – gambar yang muncul pun tak maksimal. Mataku panas terkena asap rokok. Suara kendang menusuk telinga, terompetnya seperti menjahit gendangku. Sudah lama pertunjukkan ini tak kulihat di tempatku bekerja video – video pertunjukkan jauh lebih hidup penyajiannya, lebih canggih dan iramanya sangat pas di telingaku yang ada di kepala, kampungan itu.

Ha,..ha..,ha.. bapak ada di rekaman video itu, terlihat masih agak muda meskipun gambarnya terlihat seperti video dokumentasi zaman perang, jadul banget.

Bapak melihatku meringis, diambilnya sisa rokok yang hanya sebatang. Di sulutnya, suara meledak dari rokok lintingannya sendiri, ada pijaran api seperti tungku masak tukang besi,bapak begitu menikmati sensasinya, di tiap hempasan asap kelabu. Kumisnya yang tebal tak dirapikan dan tubuhnya gagah, senyumnya sangat berwibawa seperti panglima perang, namun aku tak mewarisinya. Aku lebih mirip ibuku, kurus, tinggi berwajah lonjong.

“Lihatlah tukang sapu!”
“Aku berhasil naik kuda.”

“Pak aku lebih dari itu. kuda asli yang kunaiki, menjelajah hutan rimba di Misissippi lebih menegangkan.”

“Itu katamu. Ini kuda warisan leluhurmu, umurnya lebih panjang dari usia bapakmu ini, bahkan jauh lebih tua dari umur kakek buyutmu!”

“Apa hebatnya pak, hanya rajutan bambu saja yang di cat. Dulu aku pernah menyewa kuda hitam Mesir yang terkenal kekuatannya, aku tunggangi sehari semalam menyusuri bukit batu dan padang pasir. Hingga di stop petugas kuda di larang masuk di jalur bus way yaitu jalan menuju patung spinx”.

“Delapan belas tahun, yah waktu yang cukup lama membuatmu menjadi bangsa lain. Tapi bapakmu tak akan bergeming sepertimu. Dasar tukang sapu”.

Bapak terlihat sangat marah menetapku tajam, melihat mataku ada gelombang merambat dari pancaran matanya menerjuni otakku dan yang ada dalam hatiku. Aku tak mengerti hal aneh itu, tetapi betapapun bapak marah setalah itu tak perduli lagi dan aku akan mengulanginya lagi, pasti agar bapak tak diam saja otaknya dan aku membuat masalah, selanjutnya yang lebih menegangkan. Aku akan berusaha menjadi mahkluk trasparan saat bapak memarahiku hingga bapak tak menemukan apapun yang ada dalam tubuhku, entah itu tinja atau darah.

“Pak, aku di sana tidak menyapu jalan, atau jadi tukang kebun. Di luar negeri, semua sudah menggunakan perlatan canggih, apalagi kerjaku di dalam ruangan, jadi menyapu cukup memakai mesin penyedot debu. Ruangan yang ku sapu adalah kampus terkenal pak. Tak cukup menjadi tukang sapu saja pak, aku mendapat kesempatan ikut kuliah jurusan pengeboran minyak bumi. Apa mungkin aku mampu menaaikan haji bapak sampai beberapa kali dan semua kelas vip”.

“Jadi mentang – mentang kamu dapat ilmu dari luar, dapat duit banyak, kwalat kamu nanti. Kamu ndak ngerti uang yang kamu kirim itu semua ada di bank sana, tidak bapak gunakan serupiah pun, bapak ini masih banyak tanggapan kayak yang kamu tonton tadi. Itulah caraku melupakan rinduku padamu, menjadi penari jaranan belasan tahun yang akhirnya aku menjadi seoarang pelatih tari jaranan. Kamu lihat di depan rumah ini, di halaman stiap bulan tujuh kali di penuhi anak – anak belajar menari jaranan.

“Lalu…”
“itukah hasil belajar di luar negeri. Kamu tidak pernah di ajari sejarah negara asalmu, pantas kamu memuja negara tempatmu sekolah. Dan kamu sudah menjadi turis saat kembali ke rumah ini”.

“Pak tugas yang ku kerjakan lebih berat dari bapak, di daerah Irak aku di tugaskan mengebor sumber minyak, sedang disana terjadi perang. Nyawa, nyawa taruhannya pak”.

“Tapi kamu lupa asalmu, yang terlihat hanya uang di matamu. Bapak minta kamu tidak usah lagi kembali lagi ke luar negeri, jadi tki. Mulai besok kamu mencari bamboo di ujung sawah itu”.

Aku tak menjawab bapak yang aku kira bicara ngelantur. Aku menyulut rokok baru yang ku siapkan dari luar negeri kemarin, ada hal aneh menusuk langit – langit lidahku, mantap rasanya.

“Besok buat setelah mencari bambu, bapak aajri kamu membuat jaranan. Dan sorenya kamu harus ikut latihan anak – anak muda desa ini latihan menari di halaman depan”.

Aku tak menjawab bapak, aku melihat ke luar jendela, ladang jagung sangat gelap sekali, semua tampak siluet, alunan musik jaranan membuat kupingku terasa penuh beban. Aku keluar rumah, mengirup angin segar, melihat ladang jagung sangat luas, keluar lewat lubang jendela aroma mistik setelah terompet jaranan melengking lewat telingaku, merinding bulu kudukku. Bau wangi kemenyen baru saja mnyebar seluruh ruangan dan keluar rumah, bapak membakarnya sambil bersila, sambil menoleh kearahku, terlihat dari kaca jendela, berkata lembut, dalam diri manusia ada sifat jaran6 le7, kamu harus menaklukkannya.

Beweh- Ngogri Jombang

Keterangan:
1. Sedang menaiki kuda lumping
2. Bulan terang benderang
3. Lingkaran cahaya yang ada di sekitar bulan
4. Rokok yang di kerjakan manual
5. Duduk –duduk bersama
6. Kuda
7. Le = Nak

*) Aktif di Sanggar Sinau Lentera, dan Komunitas Teater Sanggar Seni Mentari Indonesia.

Air Mancur Kedua

A. Junianto
http://www.surabayapost.co.id/

Tiba-tiba saja aku sudah menemukan diriku di tempat ini. Dingin bangku di taman yang biasa disebut orang sebagai Alun-Alun Kota ini sudah bersiap menyambut. Rimbun beringin yang tertanam di empat sudutnya, juga sudah hendak menuntun tubuhku untuk masuk lebih dalam ke taman itu. Riuh orang yang berada di sana seperti terus memanggil namaku untuk masuk ke dalamnya dan duduk di salah satu bangkunya yang lembab dan dingin. Begitu pula tekukur ribuan burung dara yang terdengar seperti teriakan histeris yang terus memanggil-manggil namaku.

Lalu coba kuperhatikan sepintas, tidak ada yang berubah dari taman ini sejak tepat sebulan lalu aku ke sini. Sebuah masjid besar yang mulutnya menganga tepat mengarah ke gerbang taman juga masih tampak sama. Di sanalah kini aku sedang berdiri. Menatap ke arah kolam yang berada tepat di tengah taman.

Semua tampak diam, tampak bisu. Puluhan orang yang berada di dalam taman, tak ubahnya seperti sebuah manekin berjalan. Kulihat bibir mereka bergerak-gerak, tapi sama sekali tak kudengar suara bahasa mereka.”Seperti melihat pantomim saja,” pikirku.

***

Sebelumnya, perkenalkan, namaku Arya Wibisana. Sebenarnya aku bukan penduduk kota ini. Aku adalah seorang pendatang dari kota lain yang berjarak lebih dari 91 km ke arah utara kota ini.

Dengan sebuah kamera SLR yang tergantung di leherku, orang pasti mengira aku ini adalah seorang fotografer, atau bahkan sepintas dari caraku berpakaian yang terkesan seadanya, lebih mirip seorang jurnalis.

Tidak salah memang. Di kota tempatku tinggal, aku memang dikenal sebagai seorang jurnalis media cetak, meski hanya untuk sebuah media cetak lokal. Mungkin alasan pekerjaan itulah yang paling tepat untuk membawa langkah kakiku menuju ke tempat ini.

”Ah, tak usah naiflah,” pikirku membantah. Sebenarnya, lebih karena alasan perempuan itulah aku datang ke tempat ini, rela selama 3 jam berada di atas kereta bising dan pengap. Memang, 3 jam buatku bukanlah waktu yang singkat. Apalagi di atas kereta yang bising dan pengap, buatku begitu terasa membosankan, ditambah lagi dengan diriku yang tidak pernah bisa tertidur saat berada di atas kereta yang terus berguncang serta bunyi mesin yang tak pernah berhenti mendesing.

Tidak hanya itu, bayangan perempuan yang sebulan lalu kujumpai untuk kelima kalinya di taman alun-alun itu juga ternyata turut andil untuk menghalangi kelopak mataku untuk terpejam.

Aku membayangkan perempuan itu tengah termenung menatap kosong tepat ke arah kolam air mancur yang berada di tengah taman. Kubayangkan pula seutas senyum tersungging di bibirnya kala tepat pukul 2 sore air mulai muncrat dari 4 buah pipa besi yang berdiri mengacung dari dalam air kolam, serta sebuah cawan yang berada di atasnya yang mulai mengalirkan air jatuh ke dalam kolam yang ada di bawahnya. Itulah air mancur kedua. Saat-saat yang selalu dinantinya.

Aku membayangkan pula pipi tirusnya yang kuyakin kini sudah lebih tampak gemuk. Tubuh putih bersih kurusnya yang kubayangkan kini pasti sudah semakin sintal. Betapa tidak, sebulan lalu, kutemui perempuan itu—dengan pipi tirus, badan putih bersih namun kurus, tampak begitu memesonaku dengan tatapannya yang sangat kosong ke arah air mancur itu.

”Dengan kedua matanya, perempuan itu seperti hendak segera memuncratkan air keluar dari pipa-pipa yang berdiri mengacung di kolam itu,” pikirku.

Waktu itu, kucoba untuk sekadar menebak apa yang tengah dipikirkannya. Imajinasi mulai beraksi.

”Pasti perempuan itu adalah orang gila yang tengah menikmati teduhnya sore di taman alun-alun ini,” pikirku ketika pertama kujumpai perempuan itu 6 bulan lalu.

Ternyata, setelah tiap bulan, pada tanggal yang sama perempuan itu kujumpai, hampir tanpa perubahan—hanya pakaian yang melekat di tubuh putihnya saja yang senantiasa berbeda tiap kali kujumpai dia.

”Tapi dia terlalu bersih untuk seorang gila,” pikirku kemudian.

Akhirnya, kuingat, masih sebulan lalu itu, kali kelima aku melihatnya, ketika rasa penasaranku sudah mulai membuncah, kucoba menghampiri perempuan itu.

Setelah kupastikan dudukku di tepat di sebelahnya, segera saja kutatap matanya. Tanpa kuduga, tak sedetikpun perempuan itu menoleh kepadaku. Kedua bola matanya tetap saja mengarah ke arah air mancur. Begitu kosong. Begitu sunyi.

Aku seperti melihat sebuah lorong gelap nan panjang tanpa ujung di kedua mata perempuan itu.

Setelah lebih dari setengah jam kucoba menarik perhatiannya—dengan mencuri lirikannya, atau bahkan sesekali menepuk bahunya, tetap saja perempuan itu bergeming.

Maka rasa penasaranku pun sedikit demi sedikit meredup pula akhirnya.

Melihatku yang tengah putus asa, seorang penjual minum keliling, kulihat memberikan isyarat untuk segera meninggalkan perempuan itu.

Tak lama, kulihat bibirnya kemudian menyungging. ”Dia tersenyum. Ya. Dia tersenyum,” batinku berseru.

Sejak saat itulah kutahu bahwa perempuan itu akan selalu tersenyum ketika kedua kalinya air memuncrat dari 4 pipa yang berdiri mengacung dari dalam air kolam di tengah taman alun-alun itu.

Tak lama, mulai kukenal perempuan itu. Namanya Anjani. Ratna Anjani lengkapnya. Dia adalah perempuan asli kota ini. Kepadaku, perempuan itu bercerita perihal dirinya yang selalu menatap erat namun kosong ke arah air mancur itu.

Kepadaku dia bercerita bahwa saat air mancur kedua mulai muncul, yakni sekitar pukul 2 sore, calon suaminya yang tak pernah perempuan itu bersedia menyebutkan namanya, menghilang, akan kembali. ”Dia sudah berjanji, mas. Saat air mancur kedua, dia akan kembali kepadaku,” ujarnya bersemangat.

Ketika kutanya kemana perginya lelaki itu, dengan antusias pula perempuan itu menjelaskannya. Dikatakannya, 5 bulan lalu, lelaki itu pamit untuk pergi ke kota yang sama dengan kota tempatku tinggal. ”Dia ingin mencari uang tambahan untuk pernikahan kami akhir tahun ini,” serunya kepadaku.

Seperti sepasang sahabat, kami pun tampak semakin akrab. Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan dengan sangat detail, sejak mulai dari perkenalannya dengan lelaki itu sekian tahun lalu di tempat ini, di taman ini.

Diceritakannya, lelaki itu merupakan seorang sarjana sejarah dari sebuah universitas negeri di kota tempatku tinggal. Meski calon suaminya itu bukan berasal dari kota yang sama dengan Anjani, namun kecintaannya terhadap kota ini, kota kelahiran perempuan itu, membuat lelaki itu rela menghabiskan banyak waktunya di kota itu.

Sejak menyelesaikan studinya setahun lalu, lelaki itu kemudian memutuskan untuk menetap di kota ini. Tentu saja, pertemuannya dengan Anjanilah yang menyeretnya kembali ke kota ini.

Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan bagaimana sebuah Kantor Pos besar di sisi selatan taman inilah yang seperti selalu mengingatkan dirinya. ”Dia akan kembali,” begitu bisiknya kepadaku.

Tak lama, kemudian dia menyeretku ke arah jalan raya yang sore itu tampak lengang, telunjuknya kemudian menunjuk pada sebuah bangunan yang berarsitektur kolonial yang

di depannya kulihat plakat besar bertuliskan Hotel Pelangi. ”Menara kembar di sana itu. Katanya, itulah simbol kami, mas,” ujarnya pelan.

Awalnya aku bingung. Menara. Anjani menunjuk sepasang menara, padahal yang jelas, yang kulihat hanyalah sebuah hotel tua. Ternyata, baru kuingat, itulah menara kembar Hotel Pelangi. Dari informasi yang kutahu, menara itu sudah berdiri sejak tahun 1916. ”Bukankah itu menara Hotel Palace,” gumamku.

Sejenak Anjani termenung. Lalu ia mengajakku kembali duduk di bangku taman yang terasa dingin oleh angin sore yang basah.

Sejak itu, aku menjadi selalu ingin menemuinya di tanggal yang sama setiap bulannya. Entah kenapa aku begitu rindu akan cerita-ceritanya tentang lelaki itu, tentang tempat-tempat bersejarah mereka, tentang kota ini. Aku begitu rindu dengan suaranya tatkala berkisah tentang gedung-gedung tua di Kayutangan dan sejarah kota lama kota ini.

Aku merindukan seruannya ketika menunjuk salah satu gereja tua di sana, yang menurutnya merupakan lokasi awal dirinya bertemu dengan lelaki itu—saat kebaktian di suatu Minggu sekian tahun lalu.

***

Kini aku berada di sini. Di taman alun-alun ini. Langkah kakiku, tanpa diperintah menuju ke bangku taman yang dingin dan lembab, tempat biasa perempuan itu terduduk.

Tak lama, aku sudah menemukan tubuhku di bangku ini. Tetap tanpa suara. Gerak alam begitu terasa seperti gerak pantomim yang begitu alami. Tanpa skrip. Tanpa naskah.

Semua tetap terasa seperti manekin berjalan yang terus bergerak tanpa kudengar suara dan detak nafas mereka.

”Dimana perempuan itu,” pikirku memberontak kemudian.

Sesekali tanpa sadar, kulirik gerak jarum jam di lengan kananku. Menunjukkan pukul 13.50.

”10 menit lagi,” seruku. Pandanganku lalu membeku ke arah kolam di tengah taman itu.

Riak kolam membawa ingatanku menjelajah kota ini. Mulai dari Gereja Katolik tua di Kayutangan, Gedung Coryesu di Celaket, rumah tua dengan atap berkubah di Oro-Oro Dowo, Gedung Kembar di Jl. Arjuno-Semeru, hingga deretan rumah Belanda di Jl. Slamet, dan tentu saja, Hotel Pelangi lengkap dengan sepasang menara kembarnya dengan sebuah lambang tugu bertuliskan Malangkucecwara di bawahnya. ”Menara itu. Kita seperti menara itu,” gumamku tanpa sadar.

Terakhir, tekukur ribuan burung dara yang memadati sekitar kolam, menghentikan langkah ingatanku di alun-alun ini, tepatnya di kolam itu. ”Sebentar lagi air mancur kedua akan keluar,” pikirku. Sudah kusiapkan seutas senyum untuk menyambutnya.

Tak lama, saat itu pun tiba. Seperti terkena ledakan dari bawah, air tiba-tiba memuncrat dari 4 pipa besi yang mengacung dari dalam air kolam. ”Saatnya sudah tiba. Tidakkah engkau juga tiba?” seruku dalam hati, tanpa sadar tersungging seutas senyum di bibirku sambil kupandangi Kantor Pos Besar di sisi selatan yang sedari tadi terus mengingatkanku bahwa Anjani, akan datang sore ini.

”Engkau harus datang, istriku. Betapa aku ingin membunuhmu, sebelum kelak, salah satu benihmu akan melumatku,” gumamku yang lamat tertelan kecipak air jatuh di hamparan kolam yang ada di tengah taman itu.

Malang, 2010

Kalap

Akhmad Fatoni
Jurnal Jombangana, Nov 2010

Konon katanya, menurut cerita yang saya dengar sejak kecil. Kalap itu sejenis makhluk halus yang tinggal di air. Entah di sungai, di laut atau pun di danau. Bisa juga disebut sebagai makhluk halus yang menunggu tempat itu. Sehingga tempat itu dikeramatkan, bila berada di tempat itu harus berhati-hati dan tidak boleh berucap kotor. Bila tidak, maka akan hilang dan tak kembali. Konon orang hilang yang terkena Kalap itu sudah mati. Versi yang lain lagi bahwa orang yang hilang itu dijadikan abdi di alam lain, alam di mana Kalap itu tinggal. Versi lain lagi, bila kembali itu pun hanya bajunya saja, tetapi orangnya hilang.

Cerita Kalap terus turun-temurun dan dipercayai sebagai mitos di kampung saya. Ternyata setelah saya mencari tahu, mitos itu tidak hanya dipercaya di kampung saya saja, di kampung-kampung tetangga juga mempunyai tempat yang dijaga Kalap. Jadi ada beberapa tempat yang memang dipercayai ada Kalapnya. Di kampung saya, Kalap dipercaya menunggu Kedong Lengkong. Di kampung lain, terdapat di Sungai Wonokoyo dan di bantaran Kali Sepanjang, Sidoarjo. Untuk cerita di bantaran Kali Sepanjang, itu saya ketahui dari tetangga saya yang bekerja sebagai supir truk. Di mana ia selalu mengambil muatan dari sungai ke sungai, yang sudah dikumpulkan oleh warga sekitar kemudian dijual pada supir truk, seperti pada tetangga saya itu. Si supir truk tetangga saya itu kebetulan mengambil muatan di sekitar Kali Sepanjang. Saat itulah tetangga saya kecewa, sudah jauh-jauh tetapi tidak ada pasir yang bisa dimuat. Hal itu dikarenakan kemarin ada seorang pengambil pasir hilang tak diketemukan.

Kekosongan muatan itu sebenarnya tetangga saya juga tidak tahu penyebabnya. Namun sebelum meninggalkan lokasi, ada seorang pencari pasir lewat. Dan dipanggillah orang itu oleh tetangga saya. Barulah dari perbincangan itu, tetangga saya tahu kenapa tidak ada pasir. Cerita yang dituturkan si pencari pasir ke tetangga saya itu yakni kemarin ada orang menghilang, hilangnya orang itu dikarenakan lalap. Sebab di bantaran Kali Sepanjang memang ditunggui Kalap. Begitulah inti cerita si pencari pasir kepada tetangga saya. Ketakutan sebenarnya melanda seluruh warga, terutama para pencari pasir yang mengandalkan pendapatan dari sungai itu. Tetapi harus bagaimana lagi, para pencari pasir harus menerjang mitos itu demi menafkahi keluarga. Berusaha tidak menghiraukan mitos tentang adanya Kalap. Meski seperti itu, setiap bulan selalu ada saja yang hilang dan meninggal. Melihat kondisi satu persatu pencari pasir hilang, akhirnya sesepuh desa memutuskan untuk memberikan sesaji tiap bulan agar tidak ada lagi korban. Sesaji itu terdiri dari kembang tujuh rupa, nasi kuning yang berlauk udang.

Semenjak dilakukan ritual sesaji, kejadian orang hilang sudah tidak ada lagi. Namun sewaktu pencari pasir itu bercerita kepada tetangga saya, memang waktu itu warga lalai, yang ingat waktu untuk mengeluarkan sesaji hanya Sugondo, mudin desa. Karena Sugondo pergi menunaikan ibadah haji maka tak ada lagi yang tahu. Sehingga naas pun terjadi, sebab lupa tidak memberi sesaji. Konon si Kalap murka karena tidak ada sesaji, akhirnya membuat si Kalap mengambil korban warga sekitar yang sedang mencari pasir. Seluruh warga panik mendengar ada orang hilang lagi. Hal itu yang membuat seluruh warga bantaran Kali Sepanjang resah, lalu salah satu menelpon Sugondo. Namun usaha warga menelpon Sugondo juga sia-sia. Yang hilang tak mungkin dikembalikan lagi. Sukondo hanya berpesan, agar warga segera membuat sesaji, namun sesaji kali ini harus ditambah kembang telon dan telur angsa. Semenjak kejadian itu, warga sekitar kali Sepanjang sampai saat ini selalu mengadakan ritual sesembahan rutin tiap bulannya, dengan harapan tidak ada lagi orang yang hilang. Mendengar cerita tetangga saya itu, saya masih menyimpan tanya sekaligus tidak percaya. Apalagi sesaji yang disuguhkan bagi saya aneh. Yang membuat saya aneh dari beberapa rangkaian sesaji itu yakni udang. Kenapa harus udang? Kehadiran udang itu seperti tidak sinkron dengan beberapa fragmen sesaji yang lain.

Teka-teki itu terus menyelinap dan membuat saya terus resah. Sampai akhirnya, saya bermain ke rumah teman saya dan terjawablah teka-teki itu. Awalnya saya bercerita perihal sesaji itu pada teman saya, belum usai saya bercerita pada teman saya itu. Kakek teman saya itu, tiba-tiba memutus cerita saya. Mengambil alih saya sebagai sang pencerita waktu kemudian si kakek pun bercerita. Menurut kakek teman saya itu, Kalap memiliki tubuh seperti manusia pada umumnya. Akan tetapi ada bagian dari tubuhnya yang membuat berbeda dengan manusia yakni bentuk tangannya yang seperti supit kepiting dan di kepalanya ada bara api yang menyala-nyala. Di mana bara api itu digunakan oleh si Kalap untuk memanggang udang. Sebab si Kalap sangat suka dengan udang.

Atas dasar kesukaan si Kalap dengan udang, membuat si Kalap tidak mau diganggu sewaktu mencari udang. Entah ada orang di sekitarnya yang hanya melintas, mencuci atau apa pun. Maka orang itu oleh si Kalap langsung ditarik dan ditenggelamkan ke dalam air untuk disembunyikan. Mendengar cerita kakek dari teman saya itu, akhirnya teka-teki perihal sesaji yang dipersembahkan untuk si Kalap, terjawablah sudah. Kepercayaan akan keberadaan Kalap itu pun tidak begitu saja saya percayai. Saya tetap memberontak dan tidak mau percaya tentang hal-hal semacam itu. Ketidakpercayaan saya itu membuat saya terus mencari tahu, perihal Kalap itu.

***

Keragu-raguan saya terhadap cerita Kalap menjadi hilang ketika tetangga saya ada yang mati akibat Kalap. Namanya Ikhsan. Tetapi cerita kematian Ikhsan ini sangat lain dengan cerita-cerita yang selalu saya dengar.

Menurut cerita Kardi yang melihat peristiwa kematian Ikhsan. Kejadian berawal ketika ngerempah, mengalihkan aliran sungai. Setelah aliran tidak begitu deras obat ditaburkan dengan tujuan agar ikan-ikan pada bingung dan gelimbung. Setelah itu barulah menangkap ikan-ikan tersebut. Aktivitas mencari ikan mulai menyibukkan diri mereka masing-masing. Tidak mengurusi orang lain, tetapi segerombolan yang tadi berangkat bersama-sama untuk ngerempah mulai sibuk mencari cara bagaimana agar mendapatkan ikan banyak. Mengunakan jaring, seser, aret dan apapun dilakukan untuk menangkap ikan-ikan yang sedang limbung itu. Kemudian dimasukkan dalam tempat yang sudah disiapkan sebelum berangkat. Ada yang membawa kresek, tong atau hanya menggunakan alang-alang. Menyelundupkan dari sirip hingga tembus ke mulut ditumpuk hingga berjubel layaknya buah anggur yang masih menempel erat di tangkainya.

Kesibukan-kesibukan itulah yang membuat Ikhsan lalai. Ikhsan lupa bahwa di kedong Lengkong merupakan tempat yang angker. Nalar Ikhsan hilang ketika melihat rombongan ikan berduyun-duyun seperti pawai partai politik. Melihat itu, Ikhsan sigap dan mengejarnya hingga Ikhsan masuk dan mengikuti ikan-ikan itu makin ke tengah. Sontak Kardi yang melihat itu langsung berteriak, “San, jangan terlalu ke tengah, hati-hati.”

Ikhsan tak lagi memedulikan teriakan Kardi. Ikhsan makin ke tengah dan berenang ke dalam untuk menjaring ikan-ikan yang sedang limbung. Lama Ikhsan tidak njumbul. Kardi mulai panik, dan berteriak pada yang lain perihal yang ia lihat itu. Tak lama semuanya berkumpul di bibir kedung. Kecemasan mulai menghiasi seluruh wajah mereka. Ada yang komat-kamit mewirid apa yang ia percaya, memohon pada Tuhan, dengan harapan tidak terjadi apa-apa pada Ikhsan. Suasana hening nan senyap menyelimuti kedung. Keadaan makin mencekam setelah matahari terbenam, tetapi Ikhsan tak kunjung muncul. Semua orang diam, walau hanya sepatah kata. Yang terdengar hanya hembus nafas. Tetapi tiba-tiba Kardi memecah keheningan, “Hallo….Mbah Naim, saya Kardi.” Sontak semua mata tertuju pada Kardi. Tetapi tampaknya Kardi tak menghiraukan tatapan yang memojokkannya.

“Ini Ikhsan…tiba-tiba menghilang. Kami tadi berangkat ngerempah. Tapi Ikhsan menyelam di Kedong Lengkong dan belum muncul-muncul hingga sekarang.” Kardi memeragakan dengan tangan, dan matanya terpejam. Kemudian terdengar suara.

“Sudah berapa lama Ikhsan tak muncul setelah menyelam tadi?”

“Sdah agak lama mbah, kira-kira dua sampai tiga jam.” Mulut Kardi komat-kamit.

“Tadi kamu melihat kejadian sebelum Ikhsan menyelam hingga ia ke tengah kedung?”

“Iya…Mbah. Kebetulan saya tadi berada tidak jauh di belakang Ikhsan. Tadi ada segerombolan ikan lele, saya pun tadi sempat kaget dan tidak percaya. Jika saya perkirakan ikan-ikan itu sekitar 100-200. Melihat itu, Ikhsan langsung berlari mengejar. Berenang. Tapi ikan-ikan itu akhirnya menggiring Ikhsan ke Kedong Lengkong. Ikhsan tidak sadar akan hal itu. Sontak saya langsung berteriak mengingatkannya, tapi Ikhsan sepertinya sudah terhipnotis dengan begitu banyaknya ikan. Hingga Ikhsan pun menyelam dan masuk.”

Semua orang terpaku melihat Kardi, semua tak ada yang berkomentar. Seolah-olah semua percaya dan menaruh harap dengan Kardi. Memang di kampung saya, si Kardi cukup dikenal dan dipercaya. Banyak orang yang berobat ke Kardi dan sembuh.

“Ya sudah Kardi, sekarang pimpin orang-orang yang ada di sana untuk membacakan Ayat Kursi sebanyak 21 kali, tetapi sebelumnya kamu khususkan dulu ke Ikhsan, juga ke penjaga kedung.”
“Baiklah Mbah…terima kasih.” Setelah itu Kardi menutup telpon dan melakukan apa wejangan Mbah Naim. Kardi duduk di depan menghadap ke Kedung Lengkong dan di belakangnya semua orang duduk bersila. Ritual pun berjalan.

Setelah ritual selesai dilakukan, semua orang masih tidak ada yang bersuara. Di wajah mereka nampak keresahan, juga bulir-bulir keringat menetes, membuat mereka semakin tidak tenang. Hampir setengah jam, tidak ada tanda-tanda kemunculan Ikhsan. Kepanikan mulai melanda semua orang, hanya Kardi yang nampak masih tenang. Tiba-tiba Kardi menghampiri satu persatu semua orang dengan membawa tong. Kardi meminta kepada mereka semua untuk menyerahkan udang hasil tangkapan mereka. Setelah itu Kardi menuju ke bibir kedung lalu menyiramkan dengan pelan udang-udang dari tong yang ia bawa. Tak lama kemudian nampak tubuh Ikhsan melembang ke permukaan. Pelan-pelan Kardi berjalan ke tengah menuju jasad Ikhsan. Semua mata tertuju pada Kardi. Setelah sampai di pinggir kedung, beberapa orang membantu mengangkat tubuh Ikhsan. Namun wajah kecemasan kini diganti kesedihan, setelah melihat Ikhsan sudah meninggal.

***

Semenjak kejadian itulah, aku mulai memercayai akan kebenaran cerita tentang Kalap. Memang di jaman seperti ini, sudah banyak orang tidak percaya tentang kejadian semacam itu. Begitu pula dengan saya dan saya sebenarnya lebih setuju dengan jawaban teman saya sekantor. Ketika teman saya itu saya tanyai tentang Kalap ia menjawab dengan santainya, “Kalap itu ya Kepala Laboratorium. Padahal kau dikenal bahkan dijuluki Topan si kutu buku. Tapi Kalap saja tidak tahu.”

Mau tidak mau, setelah kematian Ikhsan saya mulai memercayai keberadaan Kalap. Dan saya hanya berpesan pada anda harap berhati-hati bila melintasi ketiga tempat itu. Kedung Lengkon, Kali Wonokoyo dan bantaran Kali Sepanjang Sidoarjo. Saya pun tidak memaksa anda percaya, tetapi hati-hati saja jangan sampai anda seperti Ikhsan dan si pencari pasir itu.
***

November 2010

13/01/11

Reformasi basa basi bung!

Heri Latief

seorang teman fb namanya filep mambor, asalnya dari papua, ia bilang gini: "jadi rindu 12 tahun silam. di jalanan berdemo ria tanpa pesanan sponsor tanpa iming2 amplop cumak inginkan supaya keadaan bisa jadi lebih baik, lebih demokratis. gak taunya malah seperti ini: "reformasi mandul".

kemandulan reformasi mengakibatkan frustrasi politik berkepanjangan, dan semoga tak menjadi alasan dari pikiran jail buat mimpi berevolusi. kerna kita tak punya syarat-syarat berevolusi kecuali suburnya kemiskinan dan anarki kecil-kecilan di jalanan.

"generasi 98" kecewa berat, sebagian kecil aktifis 98 ada di partai, sebagian besar bertebaran di lsm dan di bawah bergerak dalam keadaan terkotak-kotak. apakah ini kegagalan anak muda merubah indonesia menjadi negeri adil makmur yang demokratis tanpa syarat. sedangkan syarat-syarat berdemokrasi hanya di atas kertas, supaya para negara donor memberi bantuan hutang secara kontinyu untuk membiayai gendutnya birokrasi dan juga dikorupsi gerombolan tikus, maling dan garong berdasi.

setelah 12 tahun ternyata kita cuma mengalami basa basi reformasi, hanya pengulangan masa lalu dengan dengan jas baru buatan perancang ekonomi yang kebarat-baratan, sesuatu rencana yang tak bertanggung jawab terhadap hutang negara, korbannya adalah rakyat biasa, 30 juta orang miskin di negeri kita boleh ngiler melihat kemewahan hidupnya para pejabat pemerintah.

filep, reformasi indonesia sudah usang, basi dan bau busuk konspirasi politik elite demi kepentingan kekuasaan. perlu kesadaran baru yang percaya pada kekuatan diri sendiri, kemandirian politik tanpa basa basi!

Amsterdam, 20/12/2010

08/01/11

Maha Karya Sastra di Bumi Majapahit

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

1. Buku Sastra Raksasa.
Ruang sastra, yang turut membentuk berlangsungnya kebudayaan pasti mengalami titik klimaks dan titik nisbi. Kapan sastra berkulminasi, ia akan mendominasi kadar warna kebudayaan pada suatu komunitas atau negara. Sebaliknya sastra pada titik nisbi cenderung termarginalkan kekuasaan dan hanya menjadi keranjang luapan keluh bagi pecintanya.

Sepanjang meruangnya sastra dalam sejarah keindonesiaan, kembang kempisnya kesusastraan juga dipengaruhi pertarungan antar sekterianisme sastra. Yang mana dalam perhelatan itu tiap sempalan (golongan) justru mengamalkan kilas balik nilai pluralisme kebangsaan.

Sumpah Pemuda yang mengikat ke satu bangsa, satu bahasa, resmi melibas spora lokalitas. Padahal, keindonesiaan itu sendiri terbentuk dari berbagai lokalitas. Dalam wacana ini, sang ‘ibu sastra’ sebagai inti lokalitas didurhakai dengan mengagungkan ‘sastra pasar’ yang menjual dagangan di lapak media yang berbasis komunal sekterianistik. Disinilah inti lokalitas sebagai akar kesusastraan pluralitas tercerabut. Akibatnya kiblat sastra kehilangan arah. Di satu sisi menJogjakan genre sastra, di sisi lain menJakartakan atau meMelayukan. Pluralitas yang semestinya ialah mempertgas identitas masing-masing, dan bukan menggeneralisasikan.

Sumpah Palapa Gajah Mada di bumi Majapahit seolah menyembul kembali dan sekaligus menjawab perpecahan antar sekte sastra kontemporer. Terbukti Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto tanggal 23 Oktober 2010 nekat melauncing antologi puisi dan cerpen dengan tajuk ‘Majapahit dalam Sastra’. Tentu bukan gejala megalomania paranoid pihak penyelenggara ke arah MURI buku sastra. Kita tau! Sejarah kesusastraan Indonesia sejak Zaman Balai Pustaka yang lahir 1908 hingga kini belum tercatat adanya kemonceran sejarah sastra. Apalagi era-sekarang, percetakan akan gulung modal jika menerbitkan buku sastra. Inilah kegilaan sastrawan bumi Majapahit yang menerbitkan 94 judul cerpen setebal 706 halaman dan 620 judul puisi setebal 825 halaman.

Siapa pun bisa berpendapat gebyah uyah perihal proyek penerbitan buku yang ketebalannya melibas Das Kapitalisnya Karl Mark. Namun sejarah akan mencatat lain jika melongok beberapa poin yang berkaitan dengan terciptanya buku antologi Majapahit dalam Sastra tersebut. Pertama: Alokasi dana untuk biro sastra di Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto hanya 2,5 juta / tahun. Sedang kekurangannya disokong dana pribadi pegiatnya termasuk DKJT senilai 1,5 juta. Bisa dibayangkan hiruk pikuk yang terjadi dalam sebuah proyek pengadaan buku yang bersandar’ati karep, bondo cupet’ini. Kedua: Awak kurator biro sastranya yang menyisir hingga 6 rem cetakan pengirim email dari seluruh pelosok nusantara. Ketiga: Bagaimana kerja team dalam merumuskan standarisasi pengkategorian karya yang dimuat. Poin ketiga inilah yang perlu dicuatkan sebagai alegori kerja sastra / kerja puitik ke tengah bergelimangnya kesusastraan Indonesia.

2. Sastra Perawan.
Awal pencetakan buku Antologi Puisi dan Cerpen Majapahit dalam Sastra ini mencapai total: 1531 lembar. Sedangkan agenda ini digagas rutin tiap tahun. Bisa dibayangkan proyek sastra raksasa tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Pekerja sastra yang terlibat akan dihadapkan pada persoalan teknis-adsministratif yang amat gigantik ketika menangani karya sastra senusantara.

Berbeda dengan buku cetakan Jurnal Cerpen atau Puisi Indonesia yang diterbitkan tiap tahun. Jurnal Indonesia, hanya memuat puluhan karya sastrawan yang dinilai kelas kakap saja. Sedang antologi Majapahit dalam Sastra ini memuat karya penulis dari pelosok ‘deso kluthuk’ sekalipun, yang dimungkinkan luput dari incaran kesusastraan pusat sebagai data base analisis. Dengan sendirinya, kehadiran karya senusantara akan mendominasi unsur lokal dalam membentuk pluralitas yang bukan sentralitas.

Dominasi lokal dalam buku ini efektif jika dijadikan kajian kesusastraan Indonesia dalam menganalisa perubahan gen sastra kontemporer. Sebab karya sastra lokalitas pelosok adalah sastra yang masih ‘perawan’ sebelum dijamahi kecimpung pandangan sastra media yang notabenenya terbentuk hanya segelintir editor.

Penampungan gen sastra perawan yang apalagi se-nusantara, yang apalagi dilakukan pegiat sastra di area bumi Majapahit (biro sastra setempat) merupakan pengulangan gelombang waktu momental Sumpah Palapa Gajah Mada: Dimana kekuatan ekonomi pertanian pedalaman dirubah menjadi kekuatan ekonomi maritim federal yang bukan maritim sentralistik. Demikian agaknya rumusan yang melandasi terbitnya buku ini. Yaitu keberaniannya menampung indikasi perubahan genologi sastra nusantara. Orientasi yang diterapkan adalah merubah kekuatan sastra lokal pedalaman menuju kekuatan sastra maritim federal. Berbeda dengan konsep pusat yang menggeneralisasikan potensi lokal menuju karakter sentral.

Contoh kongkrit pergerakan sastra berbasis maritim federal dalam Antologi Majapahit dalam Sastra ditandai barisan nama dari belahan nusantara yang antara lain: Naqiyyah Syam (Lampung Timur), Maryam Zakaria (Gorontalo), Lola Giovani (Payakumbuh), Gracia Asri (asal Jogja tinggal di Perancis), Bambang Kariyawan (Pekanbaru), Yuli Duryat (asal Pemalang tinggal di Hongkong) dll. Nama nama ini tidak ditemukan dalam barisan sastrawan Indonesia. Sebagai sastrawan, nilai karya mereka sulit dideteksi secara individu ataupun komunitas. Namun memahami kesusastraan Indonesia secara komperehensif, karya mereka pasti membentuk karakter entitas teks serta entitas ruang tersendiri. Buku tebal dengan 94 judul cerpen dan 602 judul puisi telah tercetak. Silahkan menandingi!

MEMBACA KULIT LUAR “KITAB PARA MALAIKAT” NUREL JAVISSYARQI

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).

Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).

Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.

Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.

Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.

Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.

Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.

Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.

Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.

KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.

Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.

Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.

Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.

Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.

Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010

Indentitas Keindonesiaan dalam Sastra Indonesia

Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/

/1/
Di dalam khazanah sastra Indonesia modern kita mengenal suatu persoalan kemajemukan budaya bangsa sebagai akibat dari keragaman etnis. Menghadapi persoalan kemajemukan budaya bangsa ini kita harus berpandangan luas, tidak sempit, dan tidak primodial. Kita anggap bahwa keragaman etnis dapat menghadirkan temu budaya dan temu etnis yang terwadahi dalam sastra Indonesia modern. Martabat dan harga diri bangsa sebagai identitas keindonesia yang tertuang dalam nilai-nilai budaya etnis tersebut jelas dapat diapresiasi melalui karya sastra Indonesia modern. Sebab, di dalam kemajemukan budaya itulah mitologi yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis tertentu menjadi perantara yang dapat menghubungkan “Indonesia” dengan realitas budaya yang majemuk tersebut. Indonesia itu sendiri baru dianggap sebagai abstraksi dari keinginan untuk bersatu dari berbagai kelompok etnis di seluruh wilayah Nusantara.

Pandangan Umar Kayam yang tertuang dalam bukunya Seni, Tradisi, Masyarakat (1981) bahwa ada jadwal bagi berbagai kelompok etnis di Indonesia yang berbeda-beda dalam proses untuk “mengindonesia”-kan diri menjadi sebuah Indonesia, yang kini tentu hasil pengindo­nesiaan itu dapat dilihat dan dirasakan oleh kita semua. Untuk menjadi Indonesia itu tampaknya orang-orang dari daratan Melayu telah melakukannya pada jadwal yang termasuk paling awal dibandingkan dengan orang-orang dari daratan Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, misalnya dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Hal ini tidak serta merta harus ditafsirkan bahwa orang-orang Melayu lebih Indonesia daripada orang-orang Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Papua tersebut. Ini berarti lebih dahulu atau lebih kemudian dalam proses “mengindonesia” itu tidak menjadi jaminan mutlak karena perwujudan Indonesia itu merupakan sebuah proses panjang yang mengalami pasang surut dan silih berganti seiring dengan pasang surut dan silih bergantinya kondisi dan situasi politik negeri ini.

Proses menjadi Indonesia yang harus dialami oleh berbagai kelompok etnis di Nusantara ini harus dilalui dengan penggalian nilai-nilai budaya lokal atau budaya setempat yang untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam napas Indonesia. Begitulah, dalam penggalian sumber-sumber budaya lokal atau budaya setempat yang salah satu wujudnya adalah mitologi itu terjadi pengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkait dengan kelompok etnis. Ujung dari proses itu adalah ditemukannya mitologi Indonesia sebagai bentuk penafsiran manusia Indonesia dengan latar etnis yang beragam. Mitologi yang digalinya dari sumber budaya etnisnya itu dapat terjadi setelah “membaca” realitas Indonesia yang dihadapi dan dihidupinya dari masa lalu, kini, dan yang akan datang. Oleh karena itu, kita seharusnya mengenal mitologi Minang, mitologi Batak, mitologi Jawa, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi Bugis, mitologi Toraja, mitologi Sasak, mitologi Papua, dan juga mitologi Melayu.

Mitologi yang berakar pada budaya kelompok etnis itu boleh disebut sebagai “dasar pijakan” bagi kehadiran mitologi Indonesia dan sekaligus penghubung antara Indonesia yang abstrak dan realitas keindonesiaan yang tengah menjadi. Atas dasar pikiran itu, fungsi mitologi etnis adalah penghubung ke dunia realitas budaya yang konkret dan mampu menjembatani jarak budaya antarkelompok etnis di Indonesia. Oleh karena pentingnya mitologi sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya sangat relevan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999:43) bahwa tidak bisa dibayangkan adanya sastra yang sama sekali lepas dari mitologi. Dengan kata lain, sastra Indonesia modern yang dihidupi oleh pengarang dari berbagai kelompok etnis di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu itu tidak steril dari pengaruh mitologi dalam berbagai wujud dan jenisnya, termasuk mitologi Melayu. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa bahasa, sastra, dan budaya Indonesia yang kini telah terbentuk wujudnya itu berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Tentu hal itu telah mengalami perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan kini.

/2/
Orientasi sastrawan kita dalam berkarya, termasuk menulis puisi, pada awalnya memperlihatkan kecenderungan utama untuk memadukan antara “mendaerah” dengan “membarat”. Bahan yang ada, objek dan substansi puitik serta tradisi memang berasal dari daerah atau etnis, namun cara pandang dan pendidikan berasal dari dunia Barat. Dengan cara pandang seperti itu dimaksudkan adanya semangat di kalangan pengarang untuk mengungkapkan nilai-nilai yang berakar pada dunia kedaerahan yang dipadukan dengan pemikiran Barat, terutama dunia perkotaan dan modernisasi sebagai dasar berpijak mereka. Hal ini terwujud dalam bentuk puisi-puisi soneta atau balada, yang mencoba memadukan antara pantun Melayu dan mitologi daerah dengan tradisi puisi Barat. Hal ini tentu dapat dimaklumi bahwa kondisi dan situasi saat itu Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial Barat (Belanda) sehingga jalan masuk ke dunia internasional atau arus global mau tidak mau harus melalui Belanda.

Goenawan Mohamad dalam bukunya Potret Seorang Panyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972:44-45) menyebut ihwal seperti itu sebagai pendurhakaan terhadap nenek moyang yang dicitrakan sebagai kampung halaman dengan meminjam legenda “Malin Kundang” sebagai sangkutan pikiran untuk gejala itu. Disebutkannya Sitor Situmorang yang menulis sajak dengan judul “Si Anak Hilang” sebagai Malin Kundang yang setelah mengembara jauh dari kampung halamannya si anak itu tidak mau kembali. Apa yang dinyatakan oleh Goenawan Mohamad sebelumnya mengangkat persoalan keterpencilan sastra Indonesia dari khalayaknya yang disebabkan oleh ketercerabutan sastrawan Indonesia dari akar budaya etnis asalnya sehingga pembaca sastra Indonesia kehilangan sangkutan pikirannya ke bumi Nusantara (Indonesia yang terwujud dalam budaya etnis) tampaknya merupakan hasil kajian yang pumpunannya adalah sastra dasawarsa 1950-an yang terbatas pada bacaan Goenawan sendiri. Tentu saja sekarang hal itu telah berubah, bahkan warna setempat atau warna lokal karya sastra Indonesia modern kini menjadi suatu kecenderungan umum meskipun sikap, pandangan, dan perhatian dunia Barat tetap mempengaruhi ekspresi estetis para sastrawan Indonesia.

Pada perkembangan sastra Indonesia modern dengan “dipelopori” Amir Hamzah, penyair zaman Pujangga Baru, memulai kecenderungan baru dengan menulis di atas pijakan semangat budaya setempat atau lokal, yakni semangat kembali ke kampung halaman, yang disebut dengan nama tanah Melayu. Sajak baladanya yang berjudul “Hang Tuah”, “Batu Belah”, “Bonda I”, “Bondo II”, dan “Kamadewi” yang ditulis pada tahun 1930-an, jelas menunjukkan akar yang kuat pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Hal ini berarti ada kecenderungan baru dalam perkembangan dunia pemikiran di lingkungan para pengarang sastra Indonesia modern, meskipun tetap juga ada yang berpijak ke Barat, seperti pada diri Sutan Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang dan tentu saja Chairil Anwar dengan Ahasveros dan Eros-nya sebagai pewaris syah kebudayaan dunia.

Langkah Amir Hamzah itu kemudian diikuti oleh Mansur Samin Siregar dalam beberapa sajaknya, antara lain, “Jelmaan”, “Raja Singamangaraja XII”, “Harimau Pandan”, “Delitua”, “Sukadana”, “Buradaya”, dan “Sibaganding Sirajagoda”; Sitor Situmorang dengan sajaknya “Kisah Harimau Sumatera”, dan Iwan Simatupang dengan sajaknya “Apa Kata Bintang di Laut”, “Ada Tengkorak Terdampar ke Pulau Karang”, “Si Nanggar Tullo”, dan “Inang Sarge”. Tentu para sastrawan Indonesia lainnya untuk tetap dapat berpijak pada bumi sendiri, bumi Nusantara, memburu sastra lisan ataupun sastra rakyat untuk diaktualisasikan dalam karya sastra Indonesia modern, masih cukup banyak jumlahnya, seperti Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, dan Sapardi Djoko Damono. Itulah alasan mengapa ada perbedaan dan juga ada kemajemukan dalam sastra Indonesia modern sebagai wujud multikulturalisme.

Dalam salah satu karangannya secara tegas Ajip Rosidi (1959:8) menyatakan: “…bagi saya yang merasa goyah lantaran belum punya tempat berdiri yang tetap dalam mencari sosok keindonesiaan, daerah akan merupakan sumber ilham dan pegangan yang kuat dengan bagian-bagian yang sedikit-sedikit makin tersisa dalam dirinya.”

Pernyataan Ajip di atas tampaknya tidak dapat dilepaskan dari semangatnya ketika itu, yakni dasawarsa 1950-an dan 1960-an yang pada waktu itu sedang giat-giatnya mengumpulkan pantun Sunda dari berbagai daerah di Jawa Barat. Dapat dikatakan bahwa dengan semangat menggali nilai-nilai budaya daerah atau setempat yang terungkap dalam tradisi pantun Sunda itu–untuk kasus Ajip Rosidi–terbukalah jalan untuk masuknya mitologi daerah ke dalam sastra Indonesia modern. Hal itu dibuktikan oleh Ajip Rosidi dalam puisinya “Jante Arkidam” (1960). Dari berbagai kemungkinan adanya mitologi etnis-etnis di Indonesia itu kita dapat menyebut mitologi Nusantara sebagai salah satu perwujudan identitas keindonesia dalam sastra Indonesia modern.

/3/
Mitologi Nusantara pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya Indonesia yang dengannya manusia Indonesia mencari jawaban atas persoalan kehidupan yang dihadapi dan dihidupinya. Di dalam mitologi Nusantara itu terkandung kearifan lokal atau lokal genius yang seringkali melandasi sikap dan perilaku hidup sehari-hari orang Indonesia sebagai ideologinya. Sebagai hasil budaya, mitologi Nusantara di dalam sastra Indonesia modern menunjukkan sikap dan pandangan hidup orang Indonesia.

Dunia batin orang Indonesia itu sebenarnya dipenuhi dengan berbagai mitologi sebagai hasil kontak budaya orang Nusantara dengan lingkungan alam dan dengan budaya yang lebih besar. Ketika orang Indonesia berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan agama Hindu dan Budha, mulai terjadi pemasukan nilai-nilai budaya kedua agama itu dalam tradisi berpikir dan bersikap manusia Indonesia. Lihatlah hasil kreativitas manusia Indonesia yang telah berhasil “mengindonesiakan” mite yang berakar pada ajaran kedua agama itu dan tradisi sastra yang dihasilkannya dalam berbagai bentuk, misalnya relief yang terukir dalam candi Borobudur dan Prambanan, dalam hikayat-hikayat, dalam cerita-cerita yang mengandung kepercayaan (legenda dan fabel), bahkan dalam bentuk pantun-pantun berkait atau syair-syair Melayu dan daerah.

Sementara itu, ketika agama Islam datang dengan membawa serta mitologi yang berakar pada khazanah pemikiran agama tersebut, hikayat dan syair-syair tasawuf (sastra kitab) menjadi wahana yang canggih untuk memaparkan budaya mereka. Dalam konteks ini para sufi dan ustad-ustad atau guru agama menyebarluaskan agama Islam di kalangan orang Indonesia dengan memanfaatkan hikayat-hikayat kenabian, dongeng-dongeng Timur Tengah atau Arab Persia, legenda-legenda kepahlawanan Islam, dan juga syair-syair sufistik atau sastra kitab. Kemudian mereka memberinya ruh napas keislaman ke dalam berbagai media itu sehingga dikenal dengan hikayat nabi-nabi atau Kisasu L-Anbiya (Hanifah, 1996) atau Surat Al-Anbiya (Hassan, 1990), cerita-cerita eskatologi dari Nurruddin Ar-Raniri, dan sastra keagamaan atau sastra kitab dengan tokohnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Abdul Rauf Singkel menjadikan opini tentang orang Melayu adalah seorang muslim. Tentu juga mereka menokohkan para pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain sebagai teladan utama dalam berjihat. Di sini bermula terjadinya “dialog” antardua dunia, yaitu antara dunia Islam dan dunia Melayu. Dialog Islam dan Melayu itu, antara lain, terwujud dalam bentuk “pengislaman” hikayat dan syair-syair sufistik. Tokoh-tokoh sahibul hikayat yang mengandung unsur Hindu, seperti Bayan Budiman, Merong Mahawangsa, Malim Demam, Puspa Wiraja, Parang Punting, Langlang Buana, Marakarma, Inderaputra, Indera Bangsawan, Jaya Lengkara, dan Hang Tuah sekalipun digantikan dengan tokoh-tokoh yang diangkat dari dunia pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain yang kemudian menurunkan tradisi hikayat zaman Islam, seperti Tajus Salatin, Hikayat Wasiat Lukman Hakim, dan Sejarah Melayu atau Salalatus Salatin. Pada saat itu muncul pula syair-syair tasawuf dan puisi-puisi pengaruh Arab-Persia, seperti ruba’i, gazal, nazam, masnawai, dan kith’ah sehingga terbentuklah gurindam. Salah satu pelopor gurindam ini adalah Raja Ali Haji. Bagimana pula dengan karungut dari daratan Kalimantan Tengah?

Mitologi Melayu hakikatnya mitologi dunia hikayat dan syair-syair tasawuf yang terukir kuat dalam dunia batin orang-orang Melayu. Hikayat nabi-nabi atau Surat Al-Anbiya menjadi pegangan dan teladan hidup orang-orang Melayu. Demikian pula syair-syair tasawuf pengaruh Arab-Persia menjadi pedoman hidup sehari-hari mereka. Kini mereka mengidentikan diri dengan dunia muslimin, Islami, dan religiusitas atau mistikus-Islami, biasa disebut dengan istilah sufistik. Sehubungan daerah Melayu dikelilingi oleh laut, selat, dan samudera, maka dunia Melayu identik pula dengan dunia kelautan, seperti ombak, taufan, nahkoda, kuala, lautan mahatinggi, perompak atau lanun, bajak laut, berlayar, sauh, dan bertata niaga maritim. Iskandar Zulkarnain adalah mitos raja dan pahlawan di Lautan (Hasanuddin W.S., 2000:323). Situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan mitologi orang-orang Melayu pun berkisar tentang dunia kelautan, seperti Hang Tuah, Nahkoda Ragam, dan Malim Kundang. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan pengaruh Hindu dan daratan ikut mempengaruhi pula mitologi mereka, seperti kisah “Batu Belah” atau “Batu Bertangkup” yang ditulis oleh Amir Hamzah, atau “Kisah Harimau Sumatera” yang ditulis Iwan Simatupang ataupun “Harimau Pandan”-nya Mansur Samin. Kalimantan Tengah pun tentu menampilan “rumah betang”, “batang garing”, “tiwah”, “mandau”, “mitologi tangkiling”, “batu suli”, dan lain sebagainya.

Sebagai hasil penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan diri dalam berbagai manifestasi dan dengan beban pemikiran yang bersegi. Beban pemikiran yang terungkap dalam sastra dapat berupa aktualisasi diri dalam sastra, antara lain dapat berupa aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Dengan aktualisasi mitologi akan terungkap nilai-nilai mitologi diterapkan dalam konteks zaman, pengukuhan nilai-nilai mitos, dan menjadi sarana jembatan penghubung antara dunia tradisi dengan dunia modernitas. Sementara itu, dengan reinterpretasi terhadap mitologi akan terungkap penafsiran kembali dan dapat berupa pengingkaran atau pembalikan atas nilai-nilai yang terungkap dalam mitologi itu diperhadapkan dengan persoalan zaman. Reinterpretasi dalam hal ini dapat menghasilkan efek alienasi karena ada pengasingan dan penyimpangan dari nilai yang selama ini dikenal dalam mitologi itu. Di sini penyair mencoba mempertanyakan hal-hal yang dianggap mapan, stabil, atau stagnasi, kemudian dicari nilai-nilai dinamisnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pluralisme budaya atau multikulturalisme yang menjadi dunia sastra Indonesia modern tentulah juga dicirikan oleh pluralisme mitologi di dalam sastra Indonesia modern itu, termasuk di dalamnya pluralisme penafsiran terhadap mitologi tersebut. Hal ini berarti bahwa dalam sastra Indonesia modern akan dijumpai mitologi Minang, mitologi Batak, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi Toraja, mitologi Bugis, dan mitologi Papua sebagai kekayaan budaya dalam sastra Indonesia modern. Namun, dari sekian banyak mitologi etnis atau setempat yang disebut Melayu itu merupakan unsur mitologi yang menjadi akar dalam sastra Indonesia modern sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun-tahun 1920-an hingga kini 2000-an. Pendek kata, mitologi Melayu dalam sastra Indonesia mutakhir menjadi sesuatu yang niscaya, tidak hanya dalam bentuk puisi yang ditulis oleh penyair yang berasal dari etnis Melayu atau seputar Sumatera, bahkan dalam genre lain yang ditulis oleh orang luar etnis Melayu itu, seperti Subagio Sastrowardojo, Djoko Pinurbo, dan Abdul Hadi W.M.

/4/
Begitulah identitas keindonesiaan dalam karya sastra yang bermula dari mitologi. Sebab mitologi itu pada mulanya memiliki fungsi sakral, suci, profan, dan atau kudus sebagai pengendali moral dan pikiran khalayak pendukungnya dalam menanggapi dan memahami alam semesta. Melalui mitologi dalam karya sastra dapat diperoleh pemahaman atas apa yang telah terjadi dan bagaimana hal itu dapat terjadi. Pada perkembangan lebih jauh, mitologi tidak lagi dibebani fungsi sakral, suci, profan, ataupun kudus. Mitologi menjadi–dalam kata-kata Sapardi Djoko Damono–alat yang paling efektif dan tepat untuk mengungkapkan maksud dalam sastra, sebab ia merupakan hasil sulingan, atau hasil rekaman kebudayaan. Pendek kata, dengan mitologi komunikasi yang lebih efektif dapat dijalankan secara baik. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali di sini bahwa fungsi utama mitologi dalam teks sastra Indonesia modern adalah sebagai sangkutan gagasan yang dapat menyeret pembaca secara efektif ke dalam dunia pengalaman dan penghayatan pengarangnya.

Sumber: http://pujagita.blogspot.com/2010/12/indentitas-keindonesiaan-dalam-sastra.html

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita