16/01/11

Air Mancur Kedua

A. Junianto
http://www.surabayapost.co.id/

Tiba-tiba saja aku sudah menemukan diriku di tempat ini. Dingin bangku di taman yang biasa disebut orang sebagai Alun-Alun Kota ini sudah bersiap menyambut. Rimbun beringin yang tertanam di empat sudutnya, juga sudah hendak menuntun tubuhku untuk masuk lebih dalam ke taman itu. Riuh orang yang berada di sana seperti terus memanggil namaku untuk masuk ke dalamnya dan duduk di salah satu bangkunya yang lembab dan dingin. Begitu pula tekukur ribuan burung dara yang terdengar seperti teriakan histeris yang terus memanggil-manggil namaku.

Lalu coba kuperhatikan sepintas, tidak ada yang berubah dari taman ini sejak tepat sebulan lalu aku ke sini. Sebuah masjid besar yang mulutnya menganga tepat mengarah ke gerbang taman juga masih tampak sama. Di sanalah kini aku sedang berdiri. Menatap ke arah kolam yang berada tepat di tengah taman.

Semua tampak diam, tampak bisu. Puluhan orang yang berada di dalam taman, tak ubahnya seperti sebuah manekin berjalan. Kulihat bibir mereka bergerak-gerak, tapi sama sekali tak kudengar suara bahasa mereka.”Seperti melihat pantomim saja,” pikirku.

***

Sebelumnya, perkenalkan, namaku Arya Wibisana. Sebenarnya aku bukan penduduk kota ini. Aku adalah seorang pendatang dari kota lain yang berjarak lebih dari 91 km ke arah utara kota ini.

Dengan sebuah kamera SLR yang tergantung di leherku, orang pasti mengira aku ini adalah seorang fotografer, atau bahkan sepintas dari caraku berpakaian yang terkesan seadanya, lebih mirip seorang jurnalis.

Tidak salah memang. Di kota tempatku tinggal, aku memang dikenal sebagai seorang jurnalis media cetak, meski hanya untuk sebuah media cetak lokal. Mungkin alasan pekerjaan itulah yang paling tepat untuk membawa langkah kakiku menuju ke tempat ini.

”Ah, tak usah naiflah,” pikirku membantah. Sebenarnya, lebih karena alasan perempuan itulah aku datang ke tempat ini, rela selama 3 jam berada di atas kereta bising dan pengap. Memang, 3 jam buatku bukanlah waktu yang singkat. Apalagi di atas kereta yang bising dan pengap, buatku begitu terasa membosankan, ditambah lagi dengan diriku yang tidak pernah bisa tertidur saat berada di atas kereta yang terus berguncang serta bunyi mesin yang tak pernah berhenti mendesing.

Tidak hanya itu, bayangan perempuan yang sebulan lalu kujumpai untuk kelima kalinya di taman alun-alun itu juga ternyata turut andil untuk menghalangi kelopak mataku untuk terpejam.

Aku membayangkan perempuan itu tengah termenung menatap kosong tepat ke arah kolam air mancur yang berada di tengah taman. Kubayangkan pula seutas senyum tersungging di bibirnya kala tepat pukul 2 sore air mulai muncrat dari 4 buah pipa besi yang berdiri mengacung dari dalam air kolam, serta sebuah cawan yang berada di atasnya yang mulai mengalirkan air jatuh ke dalam kolam yang ada di bawahnya. Itulah air mancur kedua. Saat-saat yang selalu dinantinya.

Aku membayangkan pula pipi tirusnya yang kuyakin kini sudah lebih tampak gemuk. Tubuh putih bersih kurusnya yang kubayangkan kini pasti sudah semakin sintal. Betapa tidak, sebulan lalu, kutemui perempuan itu—dengan pipi tirus, badan putih bersih namun kurus, tampak begitu memesonaku dengan tatapannya yang sangat kosong ke arah air mancur itu.

”Dengan kedua matanya, perempuan itu seperti hendak segera memuncratkan air keluar dari pipa-pipa yang berdiri mengacung di kolam itu,” pikirku.

Waktu itu, kucoba untuk sekadar menebak apa yang tengah dipikirkannya. Imajinasi mulai beraksi.

”Pasti perempuan itu adalah orang gila yang tengah menikmati teduhnya sore di taman alun-alun ini,” pikirku ketika pertama kujumpai perempuan itu 6 bulan lalu.

Ternyata, setelah tiap bulan, pada tanggal yang sama perempuan itu kujumpai, hampir tanpa perubahan—hanya pakaian yang melekat di tubuh putihnya saja yang senantiasa berbeda tiap kali kujumpai dia.

”Tapi dia terlalu bersih untuk seorang gila,” pikirku kemudian.

Akhirnya, kuingat, masih sebulan lalu itu, kali kelima aku melihatnya, ketika rasa penasaranku sudah mulai membuncah, kucoba menghampiri perempuan itu.

Setelah kupastikan dudukku di tepat di sebelahnya, segera saja kutatap matanya. Tanpa kuduga, tak sedetikpun perempuan itu menoleh kepadaku. Kedua bola matanya tetap saja mengarah ke arah air mancur. Begitu kosong. Begitu sunyi.

Aku seperti melihat sebuah lorong gelap nan panjang tanpa ujung di kedua mata perempuan itu.

Setelah lebih dari setengah jam kucoba menarik perhatiannya—dengan mencuri lirikannya, atau bahkan sesekali menepuk bahunya, tetap saja perempuan itu bergeming.

Maka rasa penasaranku pun sedikit demi sedikit meredup pula akhirnya.

Melihatku yang tengah putus asa, seorang penjual minum keliling, kulihat memberikan isyarat untuk segera meninggalkan perempuan itu.

Tak lama, kulihat bibirnya kemudian menyungging. ”Dia tersenyum. Ya. Dia tersenyum,” batinku berseru.

Sejak saat itulah kutahu bahwa perempuan itu akan selalu tersenyum ketika kedua kalinya air memuncrat dari 4 pipa yang berdiri mengacung dari dalam air kolam di tengah taman alun-alun itu.

Tak lama, mulai kukenal perempuan itu. Namanya Anjani. Ratna Anjani lengkapnya. Dia adalah perempuan asli kota ini. Kepadaku, perempuan itu bercerita perihal dirinya yang selalu menatap erat namun kosong ke arah air mancur itu.

Kepadaku dia bercerita bahwa saat air mancur kedua mulai muncul, yakni sekitar pukul 2 sore, calon suaminya yang tak pernah perempuan itu bersedia menyebutkan namanya, menghilang, akan kembali. ”Dia sudah berjanji, mas. Saat air mancur kedua, dia akan kembali kepadaku,” ujarnya bersemangat.

Ketika kutanya kemana perginya lelaki itu, dengan antusias pula perempuan itu menjelaskannya. Dikatakannya, 5 bulan lalu, lelaki itu pamit untuk pergi ke kota yang sama dengan kota tempatku tinggal. ”Dia ingin mencari uang tambahan untuk pernikahan kami akhir tahun ini,” serunya kepadaku.

Seperti sepasang sahabat, kami pun tampak semakin akrab. Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan dengan sangat detail, sejak mulai dari perkenalannya dengan lelaki itu sekian tahun lalu di tempat ini, di taman ini.

Diceritakannya, lelaki itu merupakan seorang sarjana sejarah dari sebuah universitas negeri di kota tempatku tinggal. Meski calon suaminya itu bukan berasal dari kota yang sama dengan Anjani, namun kecintaannya terhadap kota ini, kota kelahiran perempuan itu, membuat lelaki itu rela menghabiskan banyak waktunya di kota itu.

Sejak menyelesaikan studinya setahun lalu, lelaki itu kemudian memutuskan untuk menetap di kota ini. Tentu saja, pertemuannya dengan Anjanilah yang menyeretnya kembali ke kota ini.

Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan bagaimana sebuah Kantor Pos besar di sisi selatan taman inilah yang seperti selalu mengingatkan dirinya. ”Dia akan kembali,” begitu bisiknya kepadaku.

Tak lama, kemudian dia menyeretku ke arah jalan raya yang sore itu tampak lengang, telunjuknya kemudian menunjuk pada sebuah bangunan yang berarsitektur kolonial yang

di depannya kulihat plakat besar bertuliskan Hotel Pelangi. ”Menara kembar di sana itu. Katanya, itulah simbol kami, mas,” ujarnya pelan.

Awalnya aku bingung. Menara. Anjani menunjuk sepasang menara, padahal yang jelas, yang kulihat hanyalah sebuah hotel tua. Ternyata, baru kuingat, itulah menara kembar Hotel Pelangi. Dari informasi yang kutahu, menara itu sudah berdiri sejak tahun 1916. ”Bukankah itu menara Hotel Palace,” gumamku.

Sejenak Anjani termenung. Lalu ia mengajakku kembali duduk di bangku taman yang terasa dingin oleh angin sore yang basah.

Sejak itu, aku menjadi selalu ingin menemuinya di tanggal yang sama setiap bulannya. Entah kenapa aku begitu rindu akan cerita-ceritanya tentang lelaki itu, tentang tempat-tempat bersejarah mereka, tentang kota ini. Aku begitu rindu dengan suaranya tatkala berkisah tentang gedung-gedung tua di Kayutangan dan sejarah kota lama kota ini.

Aku merindukan seruannya ketika menunjuk salah satu gereja tua di sana, yang menurutnya merupakan lokasi awal dirinya bertemu dengan lelaki itu—saat kebaktian di suatu Minggu sekian tahun lalu.

***

Kini aku berada di sini. Di taman alun-alun ini. Langkah kakiku, tanpa diperintah menuju ke bangku taman yang dingin dan lembab, tempat biasa perempuan itu terduduk.

Tak lama, aku sudah menemukan tubuhku di bangku ini. Tetap tanpa suara. Gerak alam begitu terasa seperti gerak pantomim yang begitu alami. Tanpa skrip. Tanpa naskah.

Semua tetap terasa seperti manekin berjalan yang terus bergerak tanpa kudengar suara dan detak nafas mereka.

”Dimana perempuan itu,” pikirku memberontak kemudian.

Sesekali tanpa sadar, kulirik gerak jarum jam di lengan kananku. Menunjukkan pukul 13.50.

”10 menit lagi,” seruku. Pandanganku lalu membeku ke arah kolam di tengah taman itu.

Riak kolam membawa ingatanku menjelajah kota ini. Mulai dari Gereja Katolik tua di Kayutangan, Gedung Coryesu di Celaket, rumah tua dengan atap berkubah di Oro-Oro Dowo, Gedung Kembar di Jl. Arjuno-Semeru, hingga deretan rumah Belanda di Jl. Slamet, dan tentu saja, Hotel Pelangi lengkap dengan sepasang menara kembarnya dengan sebuah lambang tugu bertuliskan Malangkucecwara di bawahnya. ”Menara itu. Kita seperti menara itu,” gumamku tanpa sadar.

Terakhir, tekukur ribuan burung dara yang memadati sekitar kolam, menghentikan langkah ingatanku di alun-alun ini, tepatnya di kolam itu. ”Sebentar lagi air mancur kedua akan keluar,” pikirku. Sudah kusiapkan seutas senyum untuk menyambutnya.

Tak lama, saat itu pun tiba. Seperti terkena ledakan dari bawah, air tiba-tiba memuncrat dari 4 pipa besi yang mengacung dari dalam air kolam. ”Saatnya sudah tiba. Tidakkah engkau juga tiba?” seruku dalam hati, tanpa sadar tersungging seutas senyum di bibirku sambil kupandangi Kantor Pos Besar di sisi selatan yang sedari tadi terus mengingatkanku bahwa Anjani, akan datang sore ini.

”Engkau harus datang, istriku. Betapa aku ingin membunuhmu, sebelum kelak, salah satu benihmu akan melumatku,” gumamku yang lamat tertelan kecipak air jatuh di hamparan kolam yang ada di tengah taman itu.

Malang, 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita