16/01/11

Mahasiswa dan Gerakan Politik Praktis

Heri Latief
http://politik.kompasiana.com/

Akibat dari terbelahnya Eropa setelah perang dunia kedua, maka terjadilah masa pergolakan pemikiran di kalangan kaum muda, misalnya gerakan politik praktis mahasiswa dan seniman pada zaman “generasi bunga dan cinta di Eropa”.

Tembok Berlin dan Checkpoint Charlie telah jadi saksi, sejarah manusia tak bisa dibatasi oleh tembok beton dan moncong meriam.

Eropa setelah 13 agustus 1961 menjadi beku kaku, pembangunan tembok beton sebagai simbol konflik blok Barat dan Timur pada saat itu.

Virus perang dingin membuat tatanan masyarakat Eropa jadi meriang tak keruan. Terutama kaum mudanya yang sudah muak dengan politik orang tuanya. Generasi yang lahir setelah perang dunia kedua muncul sebagai wakil dari ide pembaruan kaum progresif muda.

Salah seorang pemimpin gerakan kaum muda progresif Eropa bernama Daniel Cohn-Bendit (Montauban, 4 april 1945), seorang publisis dan politisi ulung, yang terlibat langsung pada saat demo protes besar-besaran yang telah membakar kota Paris (1968).

Demo besar-besaran di Paris tersebut adalah akibat dari tertembaknya seorang aktifis mahasiswa bernama Benno Ohnesorg di Berlin Barat sewaktu demonstrasi anti kedatangan Syah Iran (2 juni 1967). Reaksi dari kaum muda adalah membentuk grup ekstrem “Revolutionärer Kampf”.

Kameradnya Bendit segenerasi adalah Joschka Fischer, beken namanya di Jerman, lahir di Gerabronn, 12 april 1948, yang juga terkenal sebagai bekas mentri luar negeri Jerman dari partai Die Grünen.

Kedua aktifis revolusioner Eropa ini adalah lambang dari kegelisahan anak muda Eropa setelah bebas dari ancaman fasismenya Nazi.

Gerakan mahasiswa di Eropa di tahun 60an bergerak ke arah kiri dengan aksi-aksi demo anti perang Vietnam, semua yang berbau Yaankee adalah dosa yang tak termaafkan.

Pada saat itu kekuatan militer di dunia terbagi 2, Nato dan Pakta Warsawa. Tembok Berlin adalah suatu bukti terbelahnya pemikiran manusia di dunia ini.

Dinginnya perang dingin membuat perasaan orang jadi membeku. Karena mereka tahu, puluhan ribu peluru kendali antar benua berkepala nuklir saling mengancam dalam situasi ngeri akibat sengitnya konflik ideologi.

Tembok Berlin seakan-akan jadi saksi pembatas emosi sebuah bangsa yang sedang mengalami masa merenung karena terluka akibat kalah perang, tembok pembatas ideologi itu dibangun atas nama persaingan ideologi.

Di tahun 1982, sewaktu saya baru datang di kota Hamburg partai Die Grünen mulai muncul sebagai wakil rakyat di parlemen lokal pemerintahan kota Hamburg, mulailah era kaum hippies yang berambut gondrong orkes, blue jeans, dan anti dasi itu dipercaya oleh rakyat untuk memperjuangkan tuntutan orang bawahan.

Gerakan mahasiswa di Jerman telah sukses merambah masuk secara nasional ke parlemen (1983), maka terjadilah perubahan iklim politik di Jerman, suasananya jadi lebih berwarna akibat masuknya pemikiran kaum progresip muda di dalam gelanggang politik.

Sedangkan di Indonesia pada waktu itu sudah ada gerakan politik elite yang anti rezim Soeharto, dikenal dengan nama Petisi 50, tentunya mesti diingat bahwa pada sat itu ada praktik politik kekerasan negara yang dijuluki dengan nama Petrus (pembunuhan misterius) dan juga peristiwa berdarah Tanjung Periuk (1984).

Di kalangan mahasiswa Indonesia di Jerman pada saat itu sangat haus akan informasi tentang tanah airnya, informasi keadaan politik Indonesia didapat dari berbagai macam sumber, di antaranya dari salah seorang wartawan Radio Nederland cum aktifis (Tossi).

Ia mengirimkan berita-berita dari Indonesia ke Berlin Barat dalam bentuk koran, majalah, atau pun berbagai pernyataan politik dari para oposan di Indonesia.

Tahun 80an di abad yang lalu belum ada Internet, lalu lintas berita cetakan memakai jasa pos, dan biaya perangko itu mahal. Sehingga informasi dari Belanda ke Berlin Barat hanya datang ke satu alamat, lalu siapa yang memerlukan informasi silakan memfotokopinya.

Karena gerakan mahasiswa pro demokrasi Indonesia di Jerman semakin menyebar, maka kebutuhan informasi di kalangan mahasiswa yang kritis pun meningkat, karena ada kesempatan untuk belajar politik secara bebas dari versinya para pembangkang yang berkumpul di beberapa grup.

Misalnya PPI CaBe (Persatuan Pelajar Indonesia Cabang Berlin), IPMI (Ikatan Pemuda Mahasiswa Indonesia), PI Berlin Barat (Perhimpunan Indonesia).

Masing-masing grup oposisi tersebut punya penerbitan, misalnya PPI CaBe terbitannya bernama “Gotongroyong”, PI terkenal dengan terbitan analisa politiknya dalam “Berita Tanah Air”.

Seorang penulis tersohor dari kalangan oposisi di luar negeri di zaman itu namanya Pipit Rochijat, ia adalah menantu dari Doktor Mohammad Isa yang bekas Atase Kebudayaan di KBRI Praha pada zaman Nasakom.

Mahasiswa Indonesia yang kritis pun dituduh PKI. Tapi gertakan penguasa tak mempan. Gerakan mahasiswa di Berlin Barat makin nekat. Paspor Pipit lalu dicabut oleh Rezim Soeharto.

Seperti analisa politik dari I Gusti Nyoman Aryana (Komang) yang sekjen PI Berlin Barat di tahun 1986 , “rezim Soeharto suatu saat akan tumbang juga, tak ada diktator abadi di dunia ini, lalu setelah Soeharto jatuh mau apa? What next?” Kata Komang sembari memberikan contoh kasus Marcos dan masa depan Pilipina.

12 tahun kemudian, 1998, pemerintahan Soeharto jatuh dari singgasananya, tapi apa yang terjadi sekarang? Pengulangan dari keadaan rakyat miskin tertindas tanpa ada perubahan? Komang sudah meramalkan bahwa perubahan total mesti terjadi, tanpa itu hanya pengulangan cerita lama.

10 tahun Reformasi hanya menghasilkan apa yang kita lihat sekarang, Indonesia sakit yang rakyatnya setengah kelaparan, ditambah pula mahalnya ongkos pendidikan, dan makin suburnya budaya penyalahgunaan kekuasaan.

Gerakan mahasiswa Indonesia di luar negeri pun sekarang sudah berubah total, mahasiswa jadi malas berpolitik, mungkin takut karena ortunya juga lagi ikut menikmati kliknya kekuasaan.

Semboyan mahasiswa sekarang katanya: “belajar dan pesta”, semua sifat anak muda yang suka protes itu dipoles jadi karakter anak manis. Lagian, siapa yang bisa membuktikan bahwa ongkos kuliah di luar negeri yang mahal itu bukan dari hasil dari ngompas alias korupsi?

Perbedaan dasar dari gerakan mahasiswa di ahun 60an di Eropa dan Di indonesia adalah: di Eropa para eks aktifis mahasiswa zaman anti perang Vietnam itu sampai saat ini masih mengeritik masalah gawat di dunia ke 3, yaitu perang dan kelaparan.

Sedangkan di Indonesia para eksponen 66 hanya memikirkan merebut korsi kekuasaan yang sama sekali tak memihak pada penderitaan rakyat miskin.

Sampai saat ini di Eropa berkembang terus ide pengawasan dari rakyat terhadap jalannya pemerintahan, misalnya di Belanda ada “buurthuis”, terjemahan bebasnya: pusat kegiatan rakyat. Tempat segala macam aktifitas sosial, politik dan budaya.

Hal ini disebabkan oleh gigihnya usaha kaum termajinalkan di Eropa untuk memperjuangkan perubahan nasibnya, sedangkan di Indonesia terjadi kebalikannya, sifat militansi yang muda yang progresip makin lama apinya pun meredup.

Korlap gerakan mahasiswa 98 itu sekarang malahan jadi rebutan partai-partai politik, idealisme diobral karena kebutuhan hidup? Apakah ini karena akibat dari politik Indonesia yang masih taraf belajar merangkak menuju kehidupan berdemokrasi?

Tanpa adanya usaha rakyat mandiri untuk memperjuangkan perubahan sosial secara konkrit, akhirnya ide Reformasi itu hanya menuai persoalan: kembalinya para pemain lama, sang penyebab malapetaka.

Amsterdam, 11 April 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita