T
Agus Khaidir *
harian.analisadaily.com
harian.analisadaily.com
TAHUN 2003 kalau tidak silap mendekati akhir, saya pertama
kali menemukan ‘Cantik Itu Luka’. Saya sebut menemukan karena saya memang
mendapatinya secara tidak sengaja. Waktu itu saya hendak mencoba peruntungan
mengubek-ubek buku-buku bekas yang dijajar bertumpuk-tumpuk di lapak-lapak
pedagang buku di kawasan Kwitang, Jakarta.
Saya beberapa kali beruntung mendapatkan buku bagus yang
bisa saya tebus lebih murah empat-lima kali lipat dari harga semestinya.
Siapa tahu, harap saya, keberuntungan itu berulang dan ternyata memang
demikian. Bedanya, waktu itu saya tak menyadarinya sebagai sebuah keberuntungan
dan dengan luar biasa goblok. Saya meminjamkan buku itu kepada orang lain dan
tentu saja tak kembali.
Padahal
buku itu adalah edisi cetak pertama ‘Cantik Itu Luka’. Edisi pertama yang
dicetak terbatas lantaran biaya cetaknya sebagian besar ditanggung penulisnya,
Eka Kurniawan. Barangkali lantaran modal yang cekak, novel ini pun sungguh jauh
dari tampilan menarik.
Jangan
bicara soal artistik. Sampulnya akan langsung mengingatkan pada novel-novel
picisan yang marak di tahun 1980-an. Meriah, penuh dengan warna-warna
mentereng dan karenanya norak. Tentu saja, potret seorang perempuan yang barangkali
inginnya dipersepsikan anggun. Jatuh jadi kampungan lantaran gaun yang kelewat
gombrong dan terbuka pula di bagian bahu.
Jika
ada yang membedakan novel itu dengan novel-novel picisan lain yang bertumpuk
di sekitarnya, adalah ketebalannya yang luar biasa. Betapa tidak, dengan
ukuran font 10 dan jarak antar spasi yang rapat, halaman novel ini menyentuh
angka 517.
Kalimat pertama dalam ‘Cantik Itu Luka’ berbunyi: “Sore
hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua
puluh satu tahun kematian.”
Satu
tipikal novel horor ala Abdullah Harahap. Belakangan Eka memang
“menggila-gilai” penulis yang “misterius” ini. Dia membuat sejumlah cerita
pendek yang ide serta alurnya banyak berangkat (atau meminjam?) alur dalam
kisah-kisah horor Abdullah.
Bersama
Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad, mengumpulkan cerita-cerita pendek mereka
yang bernafas serupa dan menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul ‘Kumpulan
Budak Setan’.
Cantik Itu Luka ditulis sebelum Eka menekuni Abdullah
Harahap dan sejatinya memang bukan novel horor. Anda yang pernah membaca
Franz Kafka, membaca Metamorfosis? Tentu tak lupa pada kalimat pembuka novel
itu dan merasa betapa besar pengaruhnya terhadap novel Eka: “Kala Gregor
Samsa terjaga di suatu pagi dari mimpi‑mimpi buruknya, dia menemukan dirinya
berubah menjadi seekor kecoa yang menakutkan.”
Bergerak dari paragraf pembuka, Cantik Itu Luka
mengalirkan fragmen-fragmen yang serba tak terduga. Aneh, fantastik, lucu, namun
tak jarang sungguh kurang ajar tingkat kengibulannya, hingga siapapun yang
membacanya akan tergelak.
Eka
dengan seenak perut mencampuradukkan antara yang fiksi dengan yang fakta.
Antara yang realis dan surrealis. Ada Halimunda, negeri yang tiada jelas
letaknya di mana. Merayakan kemerdekaan pada 23 September 1945, atau satu
bulan lebih enam hari dari hari kemerdekaan Indonesia.
Apakah
Halimunda sebenarnya adalah Indonesia? Tidak tahu. Ada komunis di sana. Ada
partai komunis yang disebut dengan PKI pula. Ada pendudukan Belanda dan Jepang.
Begitulah,
Cantik Itu Luka menjadi sebuah bentuk lain dari sejarah. Tepatnya sejarah
fantasi (atau fantasi sejarah?). Barangkali Eka hendak menggugat perihal sejarah
di negeri ini (Indonesia) yang begitu mudah dipelencengkan dan
diputarbalikkan. Barangkali dia hendak mengulang apa yang pernah dilakukan
Kafka atau Gabriel Garcia Marquez. Si penulis Kolombia yang menciptakan
Mocondo, negeri antah barantah yang menjadi tempat orang-orang ajaib menjalani
kehidupan serba ajaib.
Tak semua pihak bisa menerima ketengilan Eka. Terutama
di kalangan akademisi sastra. Sejumlah kritikus menilai karya ini sebagai “karya
gagal seorang penulis pemula yang ambisius”. Novel Cantik Itu Luka disebut
tidak manut terhadap hukum sejarah (formal). Inovasi yang hanya sekadar
berbeda, tak memiliki landasan estetika yang kukuh karena itu jatuh pada
kubangan main‑main yang ngawur.
Kesimpulan
kritikus: novel ini tak lebih dari sekadar air bah yang mengalir deras tak
terkendali. Berat (untuk tidak menyebutnya tak mungkin) beranjak menjadi
monumen sejarah sastra, lebih dekat pada artefak tak bermakna.
Seingat saya, terjadi banyak perdebatan atas penilaian
ini. Para penulis muda, juga kritikus-kritikus underground, ramai-ramai
membela Eka. Debat berlangsung di forum terbuka maupun lewat balas-berbalas
esai di media massa. Eka sendiri tak banyak bicara. Tahu-tahu, dua tahun
kemudian, buku kualitas cetak stensilan ini dicetak ulang oleh perusahaan penerbitan
terbesar di Indonesia. Di saat hampir bersamaan, penerbit di Jepang menerjemahkannya
sebagai Bi Wa Kazu.
Kemudian,
setelah sempat dicetak ulang dengan desain sampul baru pada 2011 dan
diterbitkan di Malaysia dalam Bahasa Melayu, percakapan perihal Cantik Itu Luka
tidak lagi terlalu riuh. Eka kembali menulis cerita-cerita pendek dan
menerbitkan dua novel lain yang tidak kalah menghebohkan. Terutama sekali yang
terakhir, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Novel semi erotis yang
sepanjang kisah bercakap-cakap nakal perihal burung (baca: alat kelamin
laki-laki) yang merajuk. Enggan hidup pasca dipaksa terlibat dalam satu peristiwa
pemerkosaan paksa.
Tiba-tiba
(saya sebenarnya tidak yakin apakah frasa ini cocok digunakan) kejutan besar
terjadi. Cantik Itu Luka dialihbahasakan ke bahasa pergaulan internasional,
Bahasa Inggris. Tentu selama ini, sudah banyak karya sastra Indonesia yang
diterjemahkan ke Bahasa Inggris.
Belum
pernah ada yang dilirik oleh New Direction Publishing, perusahaan penerbitan
besar di Amerika Serikat yang banyak menerbitkan buku-buku bermutu tinggi.
Tak terkecuali karya-karya sastra.
New
Direction sangat selektif. Selain karya-karya penulis terkemuka Amerika dan
Eropa, mereka juga menerbitkan karya-karya penulis Amerika Selatan, Timur
Tengah dan Asia. Buku karya Eka Kurniawan merupakan karya pertama penulis Asia
Tenggara yang diterbitkan di perusahaan yang didirikan tahun 1936 ini.
Bukti
keselektifan New Derection langsung terbukti. Beauty Is A Wound, terjemahan
Cantik Itu Luka, mendapatkan banyak review positif. Termasuk dari dua kolom
review paling bergengsi di dunia. New York Times Book Review dan The New
Yorker Book Review. Eka Kurniawan diundang ke New York, berbicara di depan forum
sastra dan profilnya dimuat di New York Times.
Demikianlah
Cantik Itu Luka ternyata sampai pada titik yang barangkali tidak pernah dibayangkan
oleh siapapun. Tidak oleh kritikus, oleh pembaca, bahkan mungkin oleh Eka
Kurniawan sendiri. Saat ia merogoh koceknya untuk menerbitkan novel ini untuk
pertama kalinya di tahun 2002.
Dia
tidak membayangkan Cantik Itu Luka dapat membawanya jauh terbang ke New York.
Dibahas New York Times dan The New Yorker, tempatnya pertama kali membaca
Marquez dan Jose Luis Borges. Dua penulis Amerika Selatan yang membuatnya
jatuh cinta pada dunia kepenulisan. Mereka menyebutnya sebagai The Next
Pramoedya. Eka menolak sebutan itu. Menurut dia, Pramoedya terlalu besar untuk
dibandingkan dengan dirinya.
“Pramoedya
Ananta Toer tidak akan menulis perempuan dengan cara seperti yang saya lakukan.
Dia punya gaya tersendiri yang tak bisa diikuti oleh siapapun,” ujarnya.
Tentang
Cantik Itu Luka, Eka mengatakan waktu itu hanya punya satu keyakinan
sederhana. Apa yang ditulisnya bagus dan layak dibaca orang.
*) Wartawan
kemarin sore dan tukang foto sekadar. Sesekali ikut-ikutan menulis sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar