Lan Fang, Anung Wendyartaka
Kompas, 2 Juni 2008
DUA minggu lalu, tepatnya tanggal 13 Mei, adalah peringatan 10 tahun reformasi. Imbas positif dari gerakan reformasi yang mengorbankan nyawa beberapa mahasiswa Trisakti, Jakarta, ini bagi masyarakat di Indonesia adalah dibukanya keran-keran kebebasan berekspresi bagi seluruh elemen masyarakat yang selama ini sempat dibungkam oleh pemerintahan Orde Baru.
Salah satunya adalah dicabutnya larangan bagi etnis China untuk berekspresi sehingga berbagai kegiatan berbau kebudayaan China atau oriental yang dulunya dilarang sejak itu boleh muncul lagi.
Tiga puluh tahun lebih Pemerintah Indonesia menerapkan politik tertutup terhadap Pemerintah China. Akibatnya tidak hanya pada pembekuan hubungan diplomatis dan politis, tetapi juga merembet ke dalam dunia pendidikan. Setidaknya di Surabaya ada tujuh sekolah menengah atas berbahasa China yang ditutup pada era 1965-1966, yaitu Zhong Zhong, Xin Zhong, Qiao Guang, Qiao Zhong, Kai Ming, Fu Zhong, dan Hua Shi. Ketika itu, semua yang beraroma China tidak boleh digunakan. Tidak ada lagu China, film China, tulisan China, atau buku China. Otomatis, bahasa China terbungkamkan.
Pada era reformasi, dibukalah kunci itu. Semenjak itu warga etnis China mulai berani melakukan berbagai kegiatan budaya bernuansa China, yang selama ini dilarang, secara lebih terbuka, seperti perayaan Imlek, pemakaian simbol-simbol budaya China, hingga pemakaian bahasa China atau Mandarin di ruang publik. Bahasa Mandarin yang sebelumnya lebih banyak dipelajari untuk keperluan bisnis, seiring pesatnya kemajuan Republik Rakyat China sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia, sejak reformasi kian digunakan secara lebih luas. Koran-koran berbahasa China mulai jamak diterbitkan di kota-kota, seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Tak hanya itu penggunaan bahasa China juga semakin berkembang dengan munculnya sekolah-sekolah baru dengan label sekolah internasional atau sekolah dengan kurikulum plus plus yang memasukkan bahasa China sebagai salah satu bahasa pengantar, selain bahasa Indonesia dan Inggris. Bidang studi sastra Tionghoa pun dibuka di beberapa universitas negeri dan swasta. Lembaga kursus bahasa China pun menjamur bak cendawan di musim hujan.
Gairah untuk kembali menggunakan bahasa China ini juga dialami oleh para alumnus sekolah China di Kota Surabaya. Di Surabaya, misalnya, sebagian dari mereka yang dulunya punya hobi menulis puisi, cerpen, novel, maupun esai mulai menulis lagi kendati kadang hanya diterbitkan untuk kalangan terbatas. Seperti yang dilakukan Yuliana Susilo, Rong Zi, dan Zhou Su Xin. Mereka menerbitkannya dalam bentuk buku maupun mengirimkan ke majalah atau koran berbahasa China baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagai media untuk menampung dan menyalurkan tulisan- tulisan berbahasa China tersebut, mereka juga menerbitkan surat kabar, seperti yang dilakukan Kadir Chandra dengan mendirikan koran berbahasa China, Qiandao Ribao.
Menurut Soedomo Mergonoto, Ketua Dewan Pembina Yayasan Margo Utomo (perkumpulan warga bermarga Go) yang bernama asli Go Tek Hwei, mempelajari bahasa China saat ini merupakan kebutuhan untuk mengikuti perkembangan zaman. ”Bangkitnya ekonomi negara Tiongkok di tingkat dunia sebagai salah satu alasannya. Kalau kita sekarang ke Eropa, department store-department store yang besar-besar mempekerjakan orang Tiongkok untuk melayani turis dari Taiwan, Hongkong, dan China. Di Indonesia sendiri boleh dikatakan turis terbesar dari Tiongkok, 200.000 orang,” kata Soedomo, yang juga pemilik perusahaan kopi Kapal Api.
Soedomo juga menyayangkan begitu banyak buku-buku bagus berbahasa China yang ternyata diterjemahkan ke bahasa Inggris. Bukan saja buku-buku dengan nuansa kedalaman, seperti sastra dan filsafat, tetapi juga buku-buku ilmu pengetahuan lainnya, seperti pengobatan, teknologi, dan ekonomi. Di samping itu, menurut dia, dengan kualitas pendidikan yang baik, suatu bangsa otomatis mempunyai filter untuk menyaring ideologi mana yang cocok untuk dirinya.
Oleh karena itu, Soedomo, alumnus sekolah Xin Zhong Surabaya, bersama beberapa temannya mendirikan sekolah berstandar internasional dengan tiga bahasa. ”Kita melihat banyak orang Indonesia, terutama yang keturunan China, maunya kuliah di Amerika atau paling enggak di Singapura. Mereka banyak yang ndak kembali sehingga bisa dikatakan yang masih di sini tinggal yang grade 2,” ujar Soedomo. Hal ini tidak bisa disalahkan selama mutu pendidikan di Indonesia belum sebaik di Amerika atau setidaknya Singapura.
Resinifikasi atau revivalisasi?
Menurut Didi Kwartanada, peneliti sejarah etnis China di Indonesia, fenomena kegairahan sebagian warga etnis China di Indonesia untuk mempelajari, dan menggiatkan kembali penggunaan bahasa dan budaya China adalah bentuk dari kerinduan terhadap masa lalu. ”Dalam fenomena sosial ada namanya resinifikasi atau pencinaan kembali. Jadi, dulunya sempat hilang sekarang menjadi China kembali,” kata Didi Kwartanada. Namun, ia belum yakin benar apa yang terjadi saat ini adalah memang benar fenomena resinifikasi seperti yang terjadi pada saat zaman penjajahan Jepang dulu. ”Waktu Jepang masuk Indonesia karena Jepang anti-Belanda semua sekolah Belanda di tutup. Jepang mengharuskan orang China yang sebelumnya sekolah di sekolah Belanda berbahasa China kembali. Mereka diharuskan bisa menulis dalam bahasa China dan harus belajar bahasa China. Nah, itu saya berani bilang resinifikasi, tapi kalau yang terjadi sekarang saya belum berani ini masuk resinifikasi,” kata Didi.
Menurut Didi, identitas kecinaan itu didukung oleh tiga pilar. Pertama, sekolah dengan medium bahasa China. Kedua, pers bahasa China. Ketiga, organisasi China. ”Ketiganya memang sudah ada, tetapi yang saya dengar koran-koran berbahasa China masih terbatas dibaca di kalangan orang-orang tua saja, belum dibaca oleh kaum muda. Beritanya juga banyak yang tidak asli, banyak yang ngambil dari internet dari Hongkong, China. Berita asli Indonesia hanya separuhnya,” kata Didi yang juga seorang China peranakan.
Pendapat yang hampir senada juga muncul dari Mona Lohanda, pengarsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang banyak meneliti kehidupan etnis China di masa kolonial. Menurut Mona, aktivitas para alumnus sekolah China di Jakarta, Surabaya, maupun kota-kota lainnya menghidupkan lagi budaya China, seperti bahasa, kesenian, hingga mendirikan sekolah berbahasa pengantar China lebih bersifat nostalgia. Namun, ia juga melihat bahwa belakangan ini memang ada fenomena revivalisme atau kebangkitan kembali atau upaya menghidupkan kembali kebudayaan China di Indonesia, terutama sejak reformasi. ”Ada dua organisasi besar di Indonesia. Yang pertama INTI (Indonesia Tionghoa) yang bergerak di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Yang satu khusus kebudayaan, yaitu PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia),” papar Mona yang juga mengaku sebagai seorang China peranakan.
Menurut Mona, alumni sekolah China yang sudah mapan, seperti alumni sekolah Pahoa Jakarta, memikirkan untuk membentuk sekolah yang dapat mewarisi anak-anaknya nilai-nilai Konfusius yang pernah mereka pelajari. Alasannya, dalam ajaran Konfusius ada soal tata karma, etika, budi pekerti, sementara sekolah yang ada sekarang tidak mengajarkan hal itu.
Sekolah Xin Zhong
Hal serupa juga dilakukan Soedomo Mergonoto, ia bersama teman-teman alumni sekolah Xin Zhong Surabaya yang tergabung dalam Yayasan Sarana Hubungan Harmonis Sejahtera (SHHS) mendirikan sekolah tiga bahasa Xin Zhong Xue Xiao. ”Kita ingin buat sekolah yang bermutu. Jadi orang kita enggak perlu sekolah ke Singapura. Kita juga sudah amati sekolah-sekolah sekarang ndak ada yang diajari budi pekerti, murid berantem dengan guru. Mungkin budaya kita ini (China) pelan-pelan akan hilang. Kita akan mengembalikan sehingga murid- murid sekolah kita diajari budi pekerti, diajari bagaimana menghormati guru, orangtua, juga terhadap sesama,” ujar Soedomo.
Di dunia sastra, aktivitas membangkitkan kembali sastra China di negeri ini disambut positif . Salah satunya adalah ketertarikan beberapa penerbit besar, seperti Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan sastra klasik China semacam puisi ke dalam bahasa Indonesia.
Salah satu contohnya adalah kumpulan puisi Purnama di Bukit Langit karya penerjemah Zhou Fuyuan. Hal ini menunjukkan bahwa sastra bernuansa oriental ini cukup diminati pasar. Selain itu, sastra klasik China merupakan karya sastra yang bermutu dan bagi kalangan etnis China sastra genre ini bisa dijadikan jembatan untuk menyelami akar budaya leluhur. Oleh karena itu, tak heran apabila selain karya sastra belakangan ini buku-buku lain yang berisi kata-kata kebijaksanaan (chinese wisdoms), peribahasa, ungkapan atau kata-kata mutiara yang diambil dari budaya China (Chinese Sayings) pun banyak diminati, bahkan masuk dalam kategori buku laris di toko buku.
Di sisi lain, menurut penyair sekaligus dosen sastra FIB Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, runtuhnya pemerintahan Orde Baru membuka semacam gerbang bagi sastrawan etnis China di Indonesia untuk kembali berbicara banyak dalam kancah sastra Indonesia seperti pada zaman sebelum kemerdekaan. ”Waktu itu pers (penerbitan) dikuasai oleh kaum peranakan. Dari penelitian saya bersama teman-teman di Pusat Bahasa, ternyata terbitan karya sastrawan etnis Tionghoa jumlahnya puluhan kali lebih banyak dari Balai Pustaka,” kata Sapardi menjelaskan.
Maka dari itu, ia menyambut baik kehadiran sastrawan-sastrawan etnis China tak hanya yang berkarya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga yang berkarya dalam bahasa China di dunia sastra Tanah Air. ”Biar dunia sastra kita tambah berwarna- warni. Selain itu, biar komunikasi antar-etnis menjadi lebih terbuka karena hanya lewat sastra, hal ini bisa terjadi. Tidak lewat politik, ekonomi, atau yang lain,” imbuh Sapardi.
Kegairahan untuk kembali mengangkat budaya China ini ternyata masih menyisakan beberapa persoalan. Salah satunya adalah pesimisme bahwa gerakan ini hanya terbatas romantisme nostalgia bagi kalangan generasi tua China sehingga akhirnya tidak bergaung dan berhenti di tengah jalan. ”Kalau yang tua-tua masih semangat karena ingin mewarisi, tapi respons yang muda itu belum jelas. Mereka punya persoalan sendiri.
Dengan lebih dari 30 tahun ditutup, ekspresi budaya orang muda Tionghoa akan berbeda. Mereka tidak mengenal ”Tionghoa-nya karena sudah tidak pernah digunakan di rumah. Belum lagi pengaruh globalisasi,” kata Mona Lohanda.
* Lan Fang, Sastrawan
** Anung Wendyartaka, Litbang Kompas
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/06/sastra-china-bangkit-dari-mati-suri.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar