05/08/11

Peristiwa: Afair Manikebu, 1963-1964 (I – III)

Setelah menelisiki sumber terkait, dimungkinkan tulisan ini bertitel “Afair Manikebu, 1963-1964? karya Goenawan Mohamad (dan dengan segala maaf, pemosting membuat paragraf sendiri, karena sumbernya rapat).
http://tempointeraktif.com/

I

8 MEI 1964 pagi, sebuah berita terdengar dari radio: Presiden Soekarno melarang “Manifes Kebudayaan”.

Bagi saya, kejadian itu sangat menyentakkan hati. Dan mungkin bukan hanya saya yang gugup. Saya termasuk penanda tangan dokumen yang terlarang itu, dan meskipun saya aktif sejak mula, saya bukan orang terpenting.

Waktu itu umur saya belum lagi 23. Tapi saya merasa terlibat betul di dalamnya.
Apa yang terumuskan di sana – dengan segala keterbatasan dan kekonyolannya – bagaimanapun merupakan serangkaian pokok pikiran, suatu pendefinisian sikap dasar beberapa sastrawan dan intelektual Indonesia dalam menghadapi masalah yang akut waktu itu: hubungan kreativitas dan politik.

Sikap dasar itu sebenarnya tetap terungkap sampai sekarang walaupun ia bisa punya aneka yang lain. Tentu ini terutama karena mereka yang terlibat di dalamnya masih hidup. Tapi, tak kalah penting, juga karena soal-soal di Indonesia, dalam hal hubungan antara ekspresi kebudayaan, kekuasaan, dan masyarakat, secara esensial masih sering tampak sama.

Ditengok kembali ke 8 Mei 24 tahun yang lalu itu, Manifes Kebudayaan itu, justru karena dinyatakan dilarang, bisa menegaskan kembali, dengan dirinya sendiri, posisi yang dicita-citakannya bagi kesenian dan kesusastraan dalam menghadapi soal politik dan kekuasaan di negeri ini.

Dengan alasan itu, saya mencoba mengingat kembali peristiwa yang terjadi kurang-lebih seperempat abad yang lalu itu.
Sebenarnya masa silam seperti ini tak boleh teramat sering ditengok kembali: ada selalu kekenesan dalam memandangi sebuah album lama.

Bagaimanapun masa lalu selalu membentuk endapan yang diam-diam dalam beting dan tebing arus hidup kita, meskipun kita biasa melenggang saja dengan semacam amnesia sejarah.

Saya kira kita harus selalu bisa menghadapi masa lalu yang belum lama itu kembali. Tentu saja ada risiko bahwa luka yang mungkin belum lagi sembuh akan terulang sakitnya. Mungkin malah akan tergurat luka baru. Tapi pasti bukan untuk itu tujuan tulisan ini.

II

Pada bulan September 1963, majalah bulanan Sastra yang terbit di Jakarta keluar dengan sesuatu yang istimewa. Di halaman 27-29, tercantum semacam dokumen yang diberi nama “Manifes Kebudayaan”.

Bagian awalnya, satu pagina penuh: Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.)

Halaman berikutnya diisi dengan sebuah “Penjelasan” yang panjang. Di bawah halaman pertama itu tercantum 20 nama: 16 penulis, 3 pelukis, dan 1 komponis 2)

Orang-orang itu umumnya masih berada dalam usia 20-an, dan, seperti halnya saya, baru punya sejumput tulisan – puisi, cerita pendek, esei pendek. Yang pelukis juga umumnya belum lagi pernah berpameran tunggal.

Mungkin dari kelompok inilah Manifes Kebudayaan telah, dan akan, memperoleh tenaga geraknya. Tapi jika ada pengaruhnya yang kemudian terasa keluar, pasti itu akibat tiga nama pertama yang meneken pernyataan di majalah Sastra itu.

H.B. Jassin, kita tahu, adalah kritikus utama dalam kesusastraan Indonesia sesudah Perang. Orang memperolok-olokkannya sebagai sang “Paus”, karena penilaiannya begitu didengar para peminat sastra dan juga para penulis sendiri.

Trisno Sumardjo sudah dikenal sebagai penerjemah Shakespeare, penulis kritik seni, dan penulis cerita pendek. Wiratmo Soekito – yang banyak menulis esei kefilsafatan dan berceramah – waktu itu cukup berpengaruh di kalangan intelektual Indonesia yang lebih muda.

Dengan segera terlihat bahwa Manifes itu – apa pun niat kami semula untuk menyusun dan mengumumkannya – tampil seperti sebuah surat tantangan, atau, juga, sebuah undangan untuk pengganyangan.

Sejak September 1963 sampai dengan 8 Mei 1964, serangkaian kampanye yang sengit, kadang terasa tidak adil, dan yang jelas sistematis, dilancarkan terutama oleh para mereka yang punya hubungan dengan PKI dan PNI.

Selama tujuh bulan Manifes Kebudayaan itu diserang lewat statemen, pidato, dan tulisan, sampai pada akhirnya ia dinyatakan dilarang. Para penulis yang terlibat di dalamnya dengan segera dinyatakan sebagai “kontrarevolusi” sebuah cap kejahatan di masa itu.

Mereka tak lagi bisa menulis di penerbitan mana pun. Beberapa penanda tangan yang punya posisi di universitas ataupun di kepegawaian negeri, seperti H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito, digeser.

Rapat umum dan resolusi, terutama yang digerakkan PKI, terdengar, menuntut disingkirkannya “unsur-unsur Manikebu” (akronim ini diperkenalkan oleh koran resmi PKI Harian akjat – sebuah julukan jelek yang kemudian melekat, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh bahasa kaum komunis waktu itu) dari pelbagai lapangan kegiatan.

Kini memang harus diakui bahwa pengganyangan seperti itu belum sebanding dengan yang ditanggungkan para penulis dan cendekiawan prokomunis setelah hancurnya PKI secara keras dan berdarah beberapa waktu setelah 1965.
Namun, dalam suasana politik Indonesia pra-1965, ketika PKI tampak semakin dekat ke kemenangan, sementara lawan politiknya rontok satu demi satu, orang-orang “Manikebu” agaknya yang tak punya ilusi tentang apa yang bisa jadi nasib mereka bila PKI akhirnya mengambil alih kekuasaan di Indonesia.

Kami waktu itu memang belum pernah mendengar kata gulag – kamp-kamp tahanan yang kemudian disebutkan oleh Solzhenitsyn itu dari pengalaman Uni Soviet kami juga, dengan sendirinya, belum tahu apa yang dilakukan Pol Pot setelah dia menang terhadap cendekiawan Kamboja yang ia anggap “kontrarevolusioner”.
Tapi tabiat totalitarianisme – dan sikapnya terhadap lawan berpikir sudah bisa kami duga.

Apa yang kemudian kami ketahui telah terjadi di Kamboja, Vietnam, dan Cina (terutama di masa Revolusi Kebudayaan), hanya membenarkan dugaan itu. Karena itulah barangkali segera sesudah pelarangan “Manikebu”, sore harinya sejumlah penanda tangan Manifes mengetok kawat meminta maaf kepada Presiden Soekarno, sang Pemimpin Besar Revolusi.

Bagi sebagian kami, kawat itu (seingat saya dikirimkan dua kali) merupakan tindakan yang menistakan diri. Bagi sebagian yang lain, telegram itu hanya satu-satunya jalan yang mungkin buat melindungi beberapa teman dari pengganyangan lebih lanjut.

Ada suasana ketakutan, memang. Segera setelah pelarangan, majalah Sastra terbit dengan dua kolomnya dicat hitam. Di sana tercantum sejumlah nama yang dicoba disembunyikan – nama-nama mereka yang menyusul ikut menyatakan persetujuannya kepada Manifes Kebudayaan.

III

APA yang dikehendaki Manifes Kebudayaan, sebenamya?
Harus diakui bahwa naskah sepanjang tiga halaman itu tidak mudah diungkai. Barangkali di antara para penanda tangannya pun ada yang tak sepenuhnya memahami isinya mereka tampil berdasarkan semata-mata setiakawan atau naluri lain.

Sebagian besar, hampir 95%, isi “Manikebu” ditulis oleh Wiratmo Soekito. Ia sudah lama diketahui sebagai penulis yang nyaris tidak bisa dibaca karena sulitnya pengertian dan arus penalarannya – terutama bila ia berbicara tentang fenomenologi Husserl, tentang filsafat sejarah, tentang Marx dan Bergson.

Siapa yang tak terbiasa dengan gayanya akan sulit menembus kamus dan jalan deduksi Wiratmo meskipun orang sering bisa merasakan semangatnya. Tapi lebih penting dari faktor itu, hampir seluruh tubuh verbal Manifes Kebudayaan terbatasi oleh bahasa politik di masa itu.

Dengan jelas banyak dipakai kalimat, bahkan acuan, dari tulisan dan pidato Bung Karno – yang waktu itu kian lama kian merupakan sumber ajaran satu-satunya yang harus dijadikan landasan, sesuai dengan ketentuan “demokrasi terpimpin”.3)

Walau demikian, motif dasar Manifes Kebudayaan sebenarnya agak jelas: pernyataan itu suatu ikhtiar untuk memperoleh ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri – yang independen dari desakan politik dan pelbagai tata cara “revolusioner” tahun 1 960-an awal.

Naskah itu berbicara, setelah mampir ke sana-kemari, tentang “rakyat di mana-mana di bawah kolong langit ini”, yang “tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain, tidak mau dieksploitir oleh golongan-golongan mana pun, meskipun golongan itu adalah bangsanya sendiri”.

Rakyat itu, menurut Manifes, pada gilirannya “menuntut kebebasan dari kemiskinan dan rasa takut”, termasuk, tentu saja, “kebebasan untuk mengeluarkan pendapat”.

Dalam formulasi yang lebih langsung, tujuan Manifes juga tertera dalam sebuah artikel yang tanpa nama penulis yang mendampingi naskah pokok “Manikebu”.

Tulisan itu berjudul “Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan”, dan sebenarnya sayalah yang menulisnya: semacam usaha meringkaskan sejarah pemikiran para penggagasnya yang saya rumuskan dalam kalimat-kalimat yang melambung tapi juga terselubung, dalam usaha yang ruwet untuk menyesuaikan diri dengan bahasa masa itu. Tapi di situ salah satu konsep yang penting adalah kebebasan kreatif. Kreativitas, begitulah di sana tertulis, “dalam sejarahnya menolak belenggu”.

Para karyawan kebudayaan memang memilih sosialisme, karena sosialisme “menjanjikan kebebasan”. Meskipun demikian, kata artikel itu, dalam perjuangan ke arah kebebasan itu mereka “tidak hendak membuang kebebasan yang sekarang didapatkan buat memperoleh kebebasan yang lebih besar”. Sebab, “dengan kebebasan itu mereka berjuang”. Sebab, setiap situasi, “memaksakan kita untuk bebas.” 3) “Kebebasan” adalah kata yang besar – dan sebab itu cukup kabur – di tahun 1960-an.

Pada umumnya memang hanus diakui bahwa masa “demokrasi terpimpin” bukanlah jenis totalitarianisme yang persis seperti yang dilukiskan Orwell dalam novel 1984 yang termasyhur itu. Namun, sistem politik ini mempunyai apa yang oleh Orwell disebut newspeak, “basabaru”, dengan akronim-akronimnya yang membekukan daya analitis kita terhadap makna kata – suatu jenis kontrol terhadap jiwa dan pikiran yang secara tanpa disadari umumnya efektif.

Besarnya wewenang negara di masa itu juga menampilkan wajah kekuasaan yang sering menakutkan, suatu kecenderungan yang tak juga pungkas sampai hari ini.
Salah satu ciri “demokrasi terpimpin” adalah kerasnya imbauan, atau desakan, agar orang senantiasa sadar akan doktrin negara yang waktu itu disebut “Manipol”, singkatan dari “Manifesto Politik” Bung Karno. Nama itu dirumuskan dari pidatonya di tahun 1958. 4)

Di antara kita yang hidup di masa itu banyak yang akan ingat seruan yang tak putus-putusnya untuk menjalani “indoktrinasi”. Kursus-kursus ideologi ini berlangsung di hampir tiap organisasi, dengan beberapa bahan pokok yang sudah ditentukan – dan sudah semestinya “ajaran Bung Karno” merupakan komponen yang utama. Juga Marxisme.

Pada akhirnya, tak banyak orang yang berpidato atau menulis tanpa mengutip bahan indoktrinasi itu.
Kata “Revolusi” menjadi mantra yang bisa menenung: di depannya, kita dengan segera bisa menjadi pasrah atau menjadi garang. Akibat yang langsung, khususnya bagi seorang penulis, adalah terasa menjadi kakunya rentangan ekspresi bahasa Indonesia.

Bung Karno memang telah menyumbang banyak kata yang menambah warna perbendaharaan bahasa kita, tapi karakter bahasa yang dipakai saat itu umumnya bercorak agresif: kata “mengganyang” dan “mengeremus” dominan dalam idiom politik “demokrasi terpimpin”.

Ruang pun kian terbatas untuk bentukan konseptual yang menggunakan cara lain. Apalagi bila orang, untuk menunjukkan lencana “revolusioner”-nya, cenderung mengulang-ulang desain kata yang sudah jadi patokan itu.

Dengan cepatnya bahasa yang dipakai secara publik menjadi sebuah “bahasa otomatis”, yang didominasi oleh slogan-slogan politik yang dengan gampang diulang-ulang, seperti tanpa berpikir lagi.
Makin banyak kata benda bergerak menjadi abstrak: “Buruh”, “Tani”, “Rakyat”, “Tanah Air”, “Kemerdekaan” – kata-kata itu tidak lagi menunjuk ke suatu benda atau orang tertentu, melainkan ke arah maknanya yang generik, yang hanya mencakup ide.

Bagi seorang penyair yang hidup dengan rangkaian imaji yang kongkret – kata-kata yang dipetik dari benda-benda yang datang dan hilang di wilayah pancaindria – masa itu bukanlah masa yang mudah untuk menulis. Kian sedikit sastrawan yang mampu memperlakukan bahasa sebagai sumber avontur dan orisinalitas.

Pada suatu hari, duduk di bawah bayang-bayang pohon di Balai Budaya, Jakarta, saya lihat burung-burung gereja terbang-hinggap, bergerak antara keteduhan dan cahaya, dan tiba-tiba saya menyadari bahwa saya juga telah begitu jauh dari apresiasi terhadap obyek-obyek kecil yang tampaknya tak berarti di sekitar saya juga cendenung lebih mendengarkan dan menulis tentang ide-ide besar yang dikerudungi kata-kata besar.

Tidak mengherankan bila Rendra, penyair yang sangat dekat dengan alam yang mentah dan rimbun itu, kemudian – di akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, ketika “demokrasi terpimpin” runtuh tampil dengan lakon-lakon pendek yang bisa saya namakan “minikata”: dengan menggunakan seminimal mungkin kata, Rendra kembali ke bahasa yang lebih awal, yakni gerak dan komposisi tubuh.

Saya rasa itulah caranya untuk mengekspresikan diri secara sejati: dengan menjauhi bahasa Indonesia, yang hampir seluruh daya imaji dan kapasitas komunikasinya yang puitis telah dikuras oleh slogan-slogan.

Tapi tahun 1960-an awal itu barangkali memang bukan tahun untuk puisi. Setidaknya itulah masa ketika penyair akhirnya terdorong, karena satu dan lain hal, mengeksternalisasikan ruangnya yang inti, dunia batinnya.
Agaknya, seperti yang juga saya rasakan, ada sejenis perasaan tidak enak untuk terpisah dari rangsang dan riam “revolusioner” masa itu.

Awal tahun 1960-an adalah masa mobilisasi. Mula-mula adalah pengerahan tenaga dan opini untuk pembebasan Irian Barat (kini: Irian Jaya).
Segera sesudah itu di Jakarta diselenggarakan Asian Games – yang kemudian terbukti dapat membangkitkan perasaan nasionalistis, terutama ketika kemenangan yang luar biasa atlet-atlet Indonesia diganggu oleh pernyataan seorang pejabat pertandingan internasional itu, seorang India, bahwa Asian Games tidak sah, karena tak mengikut sertakan Israel.

Segera sesudah itu, menjelang akhir 1963, pernyataan awal terdengar ke arah “konfrontasi” dengan Malaysia yang baru dibentuk. Suatu pergolakan politik terjadi di Brunei, dan dengan dimulai oleh partai-partai kiri, Indonesia mendukung “gerakan pembebasan nasional Kalimantan Utara”.

Di tengah gemuruh seperti itulah (Orwell akan menyebutnya sebagai “a continuous frenz’), ada kesediaan yang tulus, meskipun barangkali naif, dari banyak penulis – dengan pelbagai kecenderungan aliran politik mereka – untuk membuat karya-karya yang berpaut dengan “tanah air” atau “massa rakyat”. Sajak-sajak liris, yang “subyektif”, dengan sendirinya seperti kehilangan peran, atau susut ke latar belakang.

Salah satu sajak yang saya tulis dari masa itu, misalnya, adalah “Lagu Pekerja Malam”. Cerita pendek terkemuka waktu itu ditulis oleh Bur Rasuanto, dengan latar belakang para pekerja di perusahaan minyak, yang kemudian dikumpulkan dalam Mereka Akan Bangkit. Hartojo Andangdjaja, seorang penyair dan penerjemah puisi yang menurut saya lebih kuat ketimbang Trisno Sumardjo, menerbitkan ode yang cukup panjang dengan judul “Rakyat”.5)

Bagi sebagian penulis lain, agaknya, kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan corak sastra seperti yang tampak dalam masa yang militan seperti itu lebih merupakan desakan dari luar. Seruan untuk senantiasa setia mengikuti “garis Manipol” bagaimanapun memang terasa doktriner.

Dalam suasana politik yang terbentuk dalam semangat pengganyangan seperti itu – beberapa harian sudah dibredel dan sejumlah pemimpin oposisi, juga Wartawan dan Novelis Mochtar Lubis, dipenjarakan – seruan “garis Manipol” itu juga mengandung nada ancaman, jelas ataupun sayup.

21 Mei 1988
Sumber: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1988/05/21/REF/mbm.19880521.REF27251.id.html
Sumber terkait: http://goenawanmohamad.com/puisi/lagu-pekerja-malam.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita