Setelah menelisiki sumber terkait, dimungkinkan tulisan ini bertitel “Afair Manikebu, 1963-1964? karya Goenawan Mohamad (dan dengan segala maaf, pemosting membuat paragraf sendiri, karena sumbernya rapat).
http://tempointeraktif.com/
IV
SEJAK akhir 1961, majalah Sastra – yang umumya belum lagi persis setahun – sudah diserang oleh para penulis yang tergabung dalam Lekra, sebuah organisasi kebudayaan yang punya hubungan kuat dengan PKI. Sasaran pertama adalah dua cerita pendek oleh B. Sularto, “Tanah” dan “Rapat Perdamaian”.
Sularto waktu itu berusia 26 tahun (lahir di Purworejo, 1936), seorang sastrawan dari Semarang yang bekerja di Kantor Dinas Kebudayaan setempat. Cerita pertamanya adalah tentang sejumlah gelandangan yang ditahan polisi (tapi segera dilepaskan kembali, setelah dinasihati) karena mereka menduduki sepetak tanah milik kota praja.
Cerita keduanya tentang sebuah rapat di kampung yang membahas ide perdamaian dunia. Dalam membela keputusannya memuat cerita Sularto, H.B. Jassin, yang memimpin Sastra, menulis sebuah esei awal tahun yang isinya seperti laporan dan pertanggungjawaban pengasuh kepada pembaca.
Di nomor Januari 1962 itu Jassin menolak “penyempitan daerah pengalaman” seorang sastrawan, “seperti ternyata dari hasil-hasil kesusastraan yang didasarkan pada slogan-slogan politik dan ideologi semata-mata”. Menurut Jassin, hasil penyempitan seperti itu mau tak mau akan “kering dan kerdil seperti yang kita lihat di masa Jepang” 6)
Dengan menyebut “masa pendudukan Jepang”, Jassin agaknya hendak menegaskan apa yang dimaksudkannya. Di masa Jepang itu (Jassin sendiri sudah membicarakannya dengan pelbagai contoh dalam sebuah buku khusus tentang masa ini, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang), di awal 1940-an, para penulis dan seniman Indonesia diletakkan di bawah regimentasi penguasa, untuk memproduksikan karya-karya yang sesuai dengan tujuan dan kebijaksanaan Negara.
Tampaknya, asumsi Jassin adalah bahwa para penulis Lekra dan para pengikut mereka ingin mendesakkan ide mereka tentang sastra sebagai bagian dari pekerjaan propaganda. Ini menimbulkan reaksi lebih lanjut dari kalangan penulis Lekra.
Mulai 16 Maret, 1962, Pramudya Ananta Toer, novelis Indonesia sesudah Perang yang paling terkemuka, membentuk sebuah lembaran kebudayaan di harian Bintang Timur, dengan nama “Lentera”. Sudah dalam nomor pertama lembaran itu pula disebutkan – dalam sebuah kolom ringkas agak di tengah halaman, berjudul “Teori & Realitet” – bahwa cerita Sularto yang dimuat Sastra itu bersifat “reaksioner” (suatu tuduhan yang keras waktu itu, karena berarti “musuh Revolusi”), dan bahwa penjelasan Jassin merupakan “garis politik”nya.
Meskipun demikian, segera sesudah tulisan di kolom kecil itu, tak ada kritik “Lentera” yang lain terhadap Sastra. Namun, lembaran koran Bintang Timur itu sendiri sudah jelas pokok pendiriannya.
Di awal Mei 1962, misalnya, “Lentera” memuat kutipan dari keputusan Sidang Pleno IV CCPKI, di bidang “intelektual dan budaya”. Isinya antara lain memperingatkan semboyan “seni untuk seni” dan “ilmu untuk ilmu”, dan memperingatkan pula, seraya mengutip Bung Karno, “jangan sampai subversif asing masuk ke dalam universitas-universitas”.
Agaknya, senada dengan itu, pada terbitan 23 Juni 1962 Bintang Timur memuat sebuah tulisan yang mengkritik film Badai Selatan, yang dipilih ikut Festival Film di Berlin. Film produksi Ibukota Film itu yang antara lain dibintangi W.D. Mochtar, Sukamo M. Noor, dan Sofia Waldy itu dianggap kurang memenuhi kriteria, yakni adanya “kepribadian nasional yang patriotik dan persahabatan antarbangsa”.
Film Indonesia, kata tulisan itu, harus punya “konsep yang gamblang”. Konsep itu “tidak perlu dicari-cari”, karena sudah ada, yaitu “Manipol”. Nada tulisan itu, yang rendah, persuasif, tidak, kemudian terasa lagi beberapa bulan kemudian. Sebuah tulisan parang terbit di “Lentera” awal Agustus 1962, dengan judul “Gejala Sebuah Skisma dalam Cerpen Indonesia Dewasa Ini”. Siapa pengarangnya tak disebut. Mungkin Pramudya sendiri.
Isinya adalah sebuah pembahasan yang agak terinci tentang beberapa cerita pendek yang dimuat majalah Sastra. Tilikannya cukup tajam, dan nada kemarahan di dalamnya terasa murni, ketika mengupas tulisan Titie Said, Bur Rasuanto, Rendra, Iwan Simatupang, dan lain-lain. Namun, pada akhirnya tulisan itu hanyalah penegasan kepada garis politik negara yang bernama “Manipol” itu:
“Tidak ada satu kekuatan sekarang ini yang bisa salahkan Manipol, yang merupakan rumusan yang tepat dari gerak hidup masyarakat dan nasion Indonesia dewasa ini.” Dalam pada itu, menurut tulisan ini pula, “nilai moral” yang ada dalam Sastra “meragukan”, karena “dia tidak berpihak pada the prespiring and toiling masses”.7)
Di pekan berikutnya, Pramudya pun memulai seri tulisannya yang berjudul “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”. Fokus kritiknya kini adalah sastrawan seperti S. Takdir Alisjahbana. Takdir dianggap sebagai seorang anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang sudah dilarang pemerintah di tahun 1960. Takdir juga merupakan satu tokoh yang jadi simbol pemikiran “pro-Barat” – satu anggapan yang melekat sampai kini.
Selama tahun 1960-an itu, Takdir hidup di luar negeri. Ini menyebabkan ia tampak seperti seorang renegade yang pas, dan siapa pun yang dihubungkan dengan namanya waktu itu akan merasa tak nyaman secara potik. Tampaknya, bagi Pramudya, sebagian penulis Indonesia seperti yang berkitar di majalah Sastra – trutama Iwan Simatupang, penulis cerita dan lakon yang aneh dan terasaasing itu – dengan jelas termasuk sekategori dengan Takdir.
Argumen Pramudya di sini kurang meyakinkan. Takdir bagaimanapun adalah penganjur adanya komitmen sosial dalam kesusastraan Indonesia satu hal yang juga dianjurkan Lekra, khususnya oleh Pramudya sendiri. Bahkan Takdir adalah orang pertama yang menggunakan alasan Maxim Gorki, penulis Uni Soviet yang ikut memelopori “realisme sosialis” itu, ketika ia mengedepankan posisinya yang menentang “seni untuk seni” dan menolak “indiviualisme”.8)
Toh di tahun 1962, agaknya banyak orang yang sudah lupa akan fakta itu. Nada Pramudya yang keras agaknya sesuai pula dengan tingkat militansi waktu itu, walaupun di dalamnya ia juga menggunakan serangan secara pribadi. Takdir disebutnya “telah berhasil mengeruk keuntungan berlimpah sampai dapat meningkatkan jumlah milyuner nasional dengan dirinya sendiri”, dan Iwan Simatupang disebutnya telah “gondol beberapa puluh ribu uang modal Pekan Teater”.9)
Bagi Pramudya, agaknya relevan kepada pokok soal jika ia menyebut soalsoal seperti itu, atau bahwa dalam serangan semacam itu, kesopanan lama harus dianggap adab “borjuis”. Tapi jika dilihat perkembangannya nanti, nada tulisan seperti itulah – disertai kata “dibabat” yang tak kenal ampun itu – yang menyebabkan banyak orang takut, sedikitnya marah, dan menyebabkan suatu diskusi yang berharga bagi pertumbuhan pemikiran gagal sebelum jalan.
Namun, tujuan pokok Pramudya adalah untuk menunjukkan kelirunya para sastrawan yang tak mengikuti semboyan Lekra yang terkenal itu, yakni “Politik Sebagai Panglima”. Pramudya menyamakan orang macam Takdir (juga penulis Pujangga Baru yang lain, J.E. Tatengkeng, yang ikut dalam pemberontakan Permesta di akhir tahun 1950-an) dengan seorang tokoh dalam roman pengarang Soviet yang terkenal, Sholokov, yang berjudul “Dan Sungai Don pun Mengalir Tenang”: seorang tokoh yang “hebat dalam Revolusi Bolsyewik”, tapi “karena tidak punya ketegasan dalam lapangan politik akhirnya mondar-mandir tidak keruan ke berbagai pihak, dan akhirnya lenyap sebagai sampah”.
Akhirnya, bagi Pramudya, “ketidaktegasan politik, yang menyebabkan timbulnya seni dan pemikiran gelandangan, harus disapu, harus dibabat”. Dengan keras dinyatakannya bahwa bagi mereka ini “tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnya pun”. Sedikit pun tak boleh dibiarkan “berkembang dan berlarut unsur-unsur penyakit ini, yang ternyate masih dapat mengembangkan sayapnya sampai dewasa ini”.
Dan ia menunjuk ke cerita-cerita yang dimuat dalam Sastra yang sebelum itu pernah ditunjuk “Lentera” sebagai “gejala sebuah skisrna” dalam kesusastraan Indonesia. 10) Kata-kata itu, tak ayal lagi, adalah sebuah rekomendasi untuk prosekusi, sebuah seruan untuk “pembabatan”. Maka, mulailah serangkaian debat yang kadang-kadang tak langsung, tapi bisa juga keras dan kasar, yang semakin lama semakin meletakkan para penulis Sastra dalam keadaan defensif. Sejak mula memang posisi mereka sebenamya rapuh.
V
MAJALAH itu dicetak dalam wujud yang bagi ukuran sekarang sederhana, seperti semua penerbitan masa itu. Orang di belakang keuangannya bukanlah seorang penerbit yang sudah terkenal seingat saya ia seorang pemilik usaha pembuatan sepatu kecil-kecilan, yang tertarik pada bisnis penerbitan mungkin karena ia pemah bekerja di majalah Kisah, bulanan kesusastraan yang di tahun 1950-an amat berpengaruh tapi yang di tahun 1960-an itu sudah tak terbit lagi.
Dilihat dari orang-orangnya, seperti H.B. Jassin dan D.S. Moeljanto, Sastra memang sebuah lanjutan Kisah. Oplahnya yang tertinggi pernah mencapai 15.000, sebuah angka bagus untuk waktu itu, dan untuk sebuah berkala kesusastraan. Tapi jelas, dibandingkan dengan harian, Sastra bukanlah sebuah tambang rezeki. Kantomya di Jalan Raden Saleh di Jakarta, sebuah ruangan tunggal sekitar 5 X 4 m2, di belakang sebuah perpustakaan tua yang tak terurus.
Para penulis yang mengirimkan karya mereka ke sini umumnya penulis yang tidak – atau belum tergabung dalam organisasi politik apa pun. Bahkan, di antara para penulis Sastra itu, tampak ada tendensi keengganan memasuki partai yang ada waktu itu. Dalam nomor pertama tahun kedua, Jassin menulis pengantar, “Kami tidak masuk partai kiri atau kanan, itu bukan berarti bahwa kami tidak punya pendirian, tetapi karena baik partai kiri atau kanan ada kekurangan-kekurangannya yang harus tetap kami hadapi dengan kritis.”
Menurut Jassin, dengan kalimat yang mirip proklamasi bersama, “Landasan kami adalah peri kemanusiaan, kemudi kami akal budi.” 11) Tapi di awal dasawarsa itu, mengutarakan pendapat yang semacam itu tampaknya bisa dianggap kurang bijaksana.
Tulisan Pramudya Ananta Toer yang mengecam sikap itu sebagai sikap politik “gelandangan” adalah salah satu reaksi jengkel yang tidak luar biasa. Bagaimanapun, Jassin seperti umumnya para sastrawan – bukanlah pengamat politik yang piawai. Sejak 1958, setelah serangkaian pemberontakan daerah, Indonesia dinyatakan berada di dalam keadaan perang. Angkatan bersenjata mengontrol banyak bidang kehidupan, tetapi pada saat yang sama partai-partai politik kiri sedang naik daun dengan semangat tinggi, dan dalam posisi ofensif terus – sampai hari yang menentukan di akhir Septembertahun 1965 itu.
Setiap tindakan terhadap mereka dihadapi dengan terbuka atau tak terbuka. Ketika Harian Rakjat dibreidel pada 3 Mei 1962, misalnya, CC (Komite Sentral) PKI mengirim delegasi agar pemberangusan itu dicabut. Mereka berhasil, meskipun yang terbungkam tetap ada: buku Pramudya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, dan kumpulan sajak Lekra, Matinja Seorang Petani, tetap tak boleh terbit. 12)
Di masa itu, protes PKI dan kaum prokomunis terhadap pemberangusan tampaknya tak ada hubungannya dengan kehendak untuk kemerdekaan berbicara dalam arti yang luas. Protes itu lebih merupakan percikan dari ketegangan antara pihak angkatan bersenjata dan PKI di dunia penerbitan.
Demikianlah, sementara seorang pemimpin PWI yang dekat dengan partai kiri menuntut “kemerdekaan pers” (atau dibebaskannya kekangan kepada penerbitan sayap kiri), pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa “kemerdekaan pers itu tidak boleh diberikan kepada pers yang anti Marlipol” 13.
Sikap yang mengancam siapa saja yang dituduh”anti-Manipol” itu mungkin yang ikut mendorong banyak penulis dan seniman merasa lebih aman terlindung dalam kekuatan politik yang ada. Terutama partai politik yang tergabung dalam “poros Nasakom” – front persatuan antara golongan “Nasionalis, Agama, Komunis” – yakni PNI (Partai Nasional Indonesia) dan NU (Nahdatul Ulama).
Dalam lindungan partai-partai itu, seorang dengan mudah dapat pembela, dan juga, sering, mendapat posisi. Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), misalnya, yang merupakan “onderbouw” PNI, mempunyai tokoh seperti Sitor Situmorang: penyair terkemuka, yang di tahun 1950-an menulis sajak-sajak liris yang memukau tentang cinta dan dosa, tapi di tahun 1960-an menerbitkan kumpulan puisi yang memuji-muji komune di RRC, setelah kunjungan resminya ke negeri itu.
Sitor pada saat itu boleh dibilang orang “resmi”, duduk dalam Dewan Nasional yang prestisius, dan dekat dengan para pemimpin Negara, termasuk Presiden, Pemimpin Besar Revolusi sendiri. Yang jauh dari “orang resmi” adalah para penulis di majalah Sastra. Kebanyakan mereka adalah orang muda yang berasal, atau tinggal, di daerah: di Medan, Bogor, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Ujungpandang.
Kaum “gelandangan” ini, seperti telah disinggung di atas, cenderung mengikuti semangat Jassin dalam hal tidak menunjukkan bendera partai. Sebagian mungkin menyimpan simpati mereka pada PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Partai Islam Masyumi, dua partai yang sudah dilarang itu.
Sebagian lain, yang punya kesukaan filsafat, membaca atau mengikuti ceramah Wiratmo tentang bahaya “pengkhianatan intelektual”: bahaya ketika para cendekiawan ikut membakar, dan ikut terbakar, “nafsu politik” – apalagi untuk kedudukan.
Selebihnya, sebagian besar, saya kira, menganggap keanggotaan serta kesetiaan kepada partai tak punya banyak arti bagi hidup dan kesenian mereka. Memang, dengan hidup tanpa payung politik seperti itu, mereka tak dapat memperoleh kesempatan yang relatif mudah, misalnya untuk kunjungan ke luar negeri – dan juga untuk memperoleh terjemahan karya mereka ke dalam bahasa asing.
Hal-hal itu umumnya waktu itu diatur oleh negara-negara sosialis. Konperensi penting seperti Konperensi Asia-Afrika tak ada mengundang mereka kebanyakan yang hadir adalah sastrawan Lekra. Tapi toh para penulis di sekitar Sastra, umumnya dalam usia mereka yang masih 20-an, menyukai posisi “gelandangan” itu.
Ada kemungkinan mereka menikmati citra romantik seorang penyair sebagai “binatang jalang” atau semacam itu, yang dibawakan Chairil Anwar. Apa pun dasarnya, mungkin tidak salah bila saya katakan bahwa konsep Rendra tentang “orang urakan”, yang ia kemukakan di pertengahan 1970-an, punya akar yang sama dengan yang terdapat di kalangan para sastrawan di tahun awal 1960-an itu: penyair dan intelektual sebagai orang yang tak tunduk kepada garis yang sudah umum, karena mereka adalah suara yang kreatif, yang ingin memperbarui selalu.
Namun, dalam cuaca politik yang berat oleh larangan-larangan di awal 1960-an, ketika “demokrasi terpimpin” sedang mencoba memimpin segalanya dan keadaan darurat perang mencoba mewaspadai semuanya, sikap seperti yang dibawakan para sastrawan itu bukanlah sikap yang gampang diterima.
Bagi PKI, khususnya, yang waktu itu paling dominan dalam front “Nasakom”, gagasan “emoh berpartai” adalah suatu rintangan. Argumen teoretisnya bahkan pernah dikemukakan oleh Lenin, ketika ia berbicara tentang “nonpartaisme revolusioner” (saya pemah membaca tulisan itu dalam salah satu jilid kumpulan karyanya yang sekarang tak dapat saya temukan lagi).
Bagi kaum Leninis, perjuangan lewat partai adalah penubuhan perjuangan kelas yang sedang berlangsung. Gagasan untuk bersikap “nonpartai”, menurut mereka, adalah suatu gejala yang umum terdapat dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap “nasional demokratis”, ketika pertentangan kelas belum menajam. Tapi pada saat ia menjadi suatu sikap yang disadari, menjadi suatu “isme”, ia akan mengaburkan garis antara kubu politik yang berbeda.
Serangkaian dengan itu di tahun 1905 Lenin, dengan sikap tanpa tolerasi yang tampaknya jadi cirinya, berseru, ketika berbicara tentang kesusastraan: “Rontoklah para literateur yang nonpartai!”. 14) Pada tingkat praktis, PKI melihat bahaya “nonpartaisme” dalam wujud gerakan politik dari pihak Angkatan Bersenjata. Ironis, memang, bahwa justru PKI-lah yang mengundang anggota “nonpartai” ke dalam daftar calon parlementernya dalam Pemilihan Umum 1955 – misalnya Pelukis Affandi.
Tapi rupanya perkaranya jadi lain di awal tahun 1960-an itu. Tanggal 18 September 1962, Ketua PKI D.N. Aidit menyatakan – dalam sebuah pidato di depan para perwira polisi dalam Kursus Persamaan Kom! saris Polisi di Sukabumi, bahwa “partaifobi” itu suatu “kejahatan”. 15) Apa pun yang dikatakan Aidit, pelbagai jenis “partaifobi” memang merupakan tendensi yang kuat di banyak kalangan Indonesia masa itu.
Banyak yang kecewa dengan pertikaian politik yang tak reda-redanya, terutama di sekitar pemilihan umum 1955, setelah Indonesia merdeka. Partai politik telah jadi lambang kepentingan segolongan, kemauan yang sektarian. Bahkan Presiden Soekarno sendiri, Oktober 1957, bermimpi untuk menguburkan semua partai yang ada, untuk persatuan. 16)
Pihak Angkatan Bersenjata, yang cenderung tak percaya kepada partai politik semenjak perang gerilya di tahun 1940-an, dengan sendirinya mencoba memperoleh kesempatan untuk melaksanakan niat Presiden waktu itu – atau setidaknya mengurangi kekuasaan politisi sipil. Dan Angkatan Bersenjatalah yang waktu itu merupakan pelaksana pemerintahan dalam keadaan perang.
Mungkin ke arah sinilah Aidit mengarahkan telunjuknya tentang “partaifobi”. Di kalangan “Manikebu”, satu varian “partaifobi” itu juga tampak, terutama dalam penggunaan kata “karyawan” di pelbagai tulisan mereka. Misalnya, dalam “sejarah” lahirnya Manifes Kebudayaan yang saya tulis, saya sebutkan, antara lain, bahwa berakhirnya “liberalisme” politik yang meruyak pra-1959, telah memberi ruang yang lebih besar bagi para “karyawan kebudayaan”.
Indonesia, demikian menurut tulisan itu, tak lagi mempunyai free fight competition di antara partai-partai politik, maka orang dapat ambil bagian untuk mencapai cita-cita nasional secara bersama, “di mana para karyawan tidak merupakan subordinasi kaum politik dan sebaliknya”.
Jika direnungkan kembali sekarang, pernyataan seperti itu terdengar simplistis, tapi itulah pemikiran yang terbit dari suasana waktu itu. Juga dari kegaduhan politik awal tahun 1960-an itulah Manifes Kebudayaan disusun.
Sumber: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1988/05/21/REF/mbm.19880521.REF27251.id.html
Sumber terkait: http://goenawanmohamad.com/puisi/lagu-pekerja-malam.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar