05/08/11

Peristiwa: Afair Manikebu, 1963-1964 (IV – V)

Setelah menelisiki sumber terkait, dimungkinkan tulisan ini bertitel “Afair Manikebu, 1963-1964? karya Goenawan Mohamad (dan dengan segala maaf, pemosting membuat paragraf sendiri, karena sumbernya rapat).
http://tempointeraktif.com/

IV

SEJAK akhir 1961, majalah Sastra – yang umumya belum lagi persis setahun – sudah diserang oleh para penulis yang tergabung dalam Lekra, sebuah organisasi kebudayaan yang punya hubungan kuat dengan PKI. Sasaran pertama adalah dua cerita pendek oleh B. Sularto, “Tanah” dan “Rapat Perdamaian”.

Sularto waktu itu berusia 26 tahun (lahir di Purworejo, 1936), seorang sastrawan dari Semarang yang bekerja di Kantor Dinas Kebudayaan setempat. Cerita pertamanya adalah tentang sejumlah gelandangan yang ditahan polisi (tapi segera dilepaskan kembali, setelah dinasihati) karena mereka menduduki sepetak tanah milik kota praja.

Cerita keduanya tentang sebuah rapat di kampung yang membahas ide perdamaian dunia. Dalam membela keputusannya memuat cerita Sularto, H.B. Jassin, yang memimpin Sastra, menulis sebuah esei awal tahun yang isinya seperti laporan dan pertanggungjawaban pengasuh kepada pembaca.

Di nomor Januari 1962 itu Jassin menolak “penyempitan daerah pengalaman” seorang sastrawan, “seperti ternyata dari hasil-hasil kesusastraan yang didasarkan pada slogan-slogan politik dan ideologi semata-mata”. Menurut Jassin, hasil penyempitan seperti itu mau tak mau akan “kering dan kerdil seperti yang kita lihat di masa Jepang” 6)

Dengan menyebut “masa pendudukan Jepang”, Jassin agaknya hendak menegaskan apa yang dimaksudkannya. Di masa Jepang itu (Jassin sendiri sudah membicarakannya dengan pelbagai contoh dalam sebuah buku khusus tentang masa ini, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang), di awal 1940-an, para penulis dan seniman Indonesia diletakkan di bawah regimentasi penguasa, untuk memproduksikan karya-karya yang sesuai dengan tujuan dan kebijaksanaan Negara.

Tampaknya, asumsi Jassin adalah bahwa para penulis Lekra dan para pengikut mereka ingin mendesakkan ide mereka tentang sastra sebagai bagian dari pekerjaan propaganda. Ini menimbulkan reaksi lebih lanjut dari kalangan penulis Lekra.

Mulai 16 Maret, 1962, Pramudya Ananta Toer, novelis Indonesia sesudah Perang yang paling terkemuka, membentuk sebuah lembaran kebudayaan di harian Bintang Timur, dengan nama “Lentera”. Sudah dalam nomor pertama lembaran itu pula disebutkan – dalam sebuah kolom ringkas agak di tengah halaman, berjudul “Teori & Realitet” – bahwa cerita Sularto yang dimuat Sastra itu bersifat “reaksioner” (suatu tuduhan yang keras waktu itu, karena berarti “musuh Revolusi”), dan bahwa penjelasan Jassin merupakan “garis politik”nya.

Meskipun demikian, segera sesudah tulisan di kolom kecil itu, tak ada kritik “Lentera” yang lain terhadap Sastra. Namun, lembaran koran Bintang Timur itu sendiri sudah jelas pokok pendiriannya.

Di awal Mei 1962, misalnya, “Lentera” memuat kutipan dari keputusan Sidang Pleno IV CCPKI, di bidang “intelektual dan budaya”. Isinya antara lain memperingatkan semboyan “seni untuk seni” dan “ilmu untuk ilmu”, dan memperingatkan pula, seraya mengutip Bung Karno, “jangan sampai subversif asing masuk ke dalam universitas-universitas”.

Agaknya, senada dengan itu, pada terbitan 23 Juni 1962 Bintang Timur memuat sebuah tulisan yang mengkritik film Badai Selatan, yang dipilih ikut Festival Film di Berlin. Film produksi Ibukota Film itu yang antara lain dibintangi W.D. Mochtar, Sukamo M. Noor, dan Sofia Waldy itu dianggap kurang memenuhi kriteria, yakni adanya “kepribadian nasional yang patriotik dan persahabatan antarbangsa”.

Film Indonesia, kata tulisan itu, harus punya “konsep yang gamblang”. Konsep itu “tidak perlu dicari-cari”, karena sudah ada, yaitu “Manipol”. Nada tulisan itu, yang rendah, persuasif, tidak, kemudian terasa lagi beberapa bulan kemudian. Sebuah tulisan parang terbit di “Lentera” awal Agustus 1962, dengan judul “Gejala Sebuah Skisma dalam Cerpen Indonesia Dewasa Ini”. Siapa pengarangnya tak disebut. Mungkin Pramudya sendiri.

Isinya adalah sebuah pembahasan yang agak terinci tentang beberapa cerita pendek yang dimuat majalah Sastra. Tilikannya cukup tajam, dan nada kemarahan di dalamnya terasa murni, ketika mengupas tulisan Titie Said, Bur Rasuanto, Rendra, Iwan Simatupang, dan lain-lain. Namun, pada akhirnya tulisan itu hanyalah penegasan kepada garis politik negara yang bernama “Manipol” itu:

“Tidak ada satu kekuatan sekarang ini yang bisa salahkan Manipol, yang merupakan rumusan yang tepat dari gerak hidup masyarakat dan nasion Indonesia dewasa ini.” Dalam pada itu, menurut tulisan ini pula, “nilai moral” yang ada dalam Sastra “meragukan”, karena “dia tidak berpihak pada the prespiring and toiling masses”.7)

Di pekan berikutnya, Pramudya pun memulai seri tulisannya yang berjudul “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”. Fokus kritiknya kini adalah sastrawan seperti S. Takdir Alisjahbana. Takdir dianggap sebagai seorang anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang sudah dilarang pemerintah di tahun 1960. Takdir juga merupakan satu tokoh yang jadi simbol pemikiran “pro-Barat” – satu anggapan yang melekat sampai kini.

Selama tahun 1960-an itu, Takdir hidup di luar negeri. Ini menyebabkan ia tampak seperti seorang renegade yang pas, dan siapa pun yang dihubungkan dengan namanya waktu itu akan merasa tak nyaman secara potik. Tampaknya, bagi Pramudya, sebagian penulis Indonesia seperti yang berkitar di majalah Sastra – trutama Iwan Simatupang, penulis cerita dan lakon yang aneh dan terasaasing itu – dengan jelas termasuk sekategori dengan Takdir.

Argumen Pramudya di sini kurang meyakinkan. Takdir bagaimanapun adalah penganjur adanya komitmen sosial dalam kesusastraan Indonesia satu hal yang juga dianjurkan Lekra, khususnya oleh Pramudya sendiri. Bahkan Takdir adalah orang pertama yang menggunakan alasan Maxim Gorki, penulis Uni Soviet yang ikut memelopori “realisme sosialis” itu, ketika ia mengedepankan posisinya yang menentang “seni untuk seni” dan menolak “indiviualisme”.8)

Toh di tahun 1962, agaknya banyak orang yang sudah lupa akan fakta itu. Nada Pramudya yang keras agaknya sesuai pula dengan tingkat militansi waktu itu, walaupun di dalamnya ia juga menggunakan serangan secara pribadi. Takdir disebutnya “telah berhasil mengeruk keuntungan berlimpah sampai dapat meningkatkan jumlah milyuner nasional dengan dirinya sendiri”, dan Iwan Simatupang disebutnya telah “gondol beberapa puluh ribu uang modal Pekan Teater”.9)

Bagi Pramudya, agaknya relevan kepada pokok soal jika ia menyebut soalsoal seperti itu, atau bahwa dalam serangan semacam itu, kesopanan lama harus dianggap adab “borjuis”. Tapi jika dilihat perkembangannya nanti, nada tulisan seperti itulah – disertai kata “dibabat” yang tak kenal ampun itu – yang menyebabkan banyak orang takut, sedikitnya marah, dan menyebabkan suatu diskusi yang berharga bagi pertumbuhan pemikiran gagal sebelum jalan.

Namun, tujuan pokok Pramudya adalah untuk menunjukkan kelirunya para sastrawan yang tak mengikuti semboyan Lekra yang terkenal itu, yakni “Politik Sebagai Panglima”. Pramudya menyamakan orang macam Takdir (juga penulis Pujangga Baru yang lain, J.E. Tatengkeng, yang ikut dalam pemberontakan Permesta di akhir tahun 1950-an) dengan seorang tokoh dalam roman pengarang Soviet yang terkenal, Sholokov, yang berjudul “Dan Sungai Don pun Mengalir Tenang”: seorang tokoh yang “hebat dalam Revolusi Bolsyewik”, tapi “karena tidak punya ketegasan dalam lapangan politik akhirnya mondar-mandir tidak keruan ke berbagai pihak, dan akhirnya lenyap sebagai sampah”.

Akhirnya, bagi Pramudya, “ketidaktegasan politik, yang menyebabkan timbulnya seni dan pemikiran gelandangan, harus disapu, harus dibabat”. Dengan keras dinyatakannya bahwa bagi mereka ini “tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnya pun”. Sedikit pun tak boleh dibiarkan “berkembang dan berlarut unsur-unsur penyakit ini, yang ternyate masih dapat mengembangkan sayapnya sampai dewasa ini”.

Dan ia menunjuk ke cerita-cerita yang dimuat dalam Sastra yang sebelum itu pernah ditunjuk “Lentera” sebagai “gejala sebuah skisrna” dalam kesusastraan Indonesia. 10) Kata-kata itu, tak ayal lagi, adalah sebuah rekomendasi untuk prosekusi, sebuah seruan untuk “pembabatan”. Maka, mulailah serangkaian debat yang kadang-kadang tak langsung, tapi bisa juga keras dan kasar, yang semakin lama semakin meletakkan para penulis Sastra dalam keadaan defensif. Sejak mula memang posisi mereka sebenamya rapuh.

V

MAJALAH itu dicetak dalam wujud yang bagi ukuran sekarang sederhana, seperti semua penerbitan masa itu. Orang di belakang keuangannya bukanlah seorang penerbit yang sudah terkenal seingat saya ia seorang pemilik usaha pembuatan sepatu kecil-kecilan, yang tertarik pada bisnis penerbitan mungkin karena ia pemah bekerja di majalah Kisah, bulanan kesusastraan yang di tahun 1950-an amat berpengaruh tapi yang di tahun 1960-an itu sudah tak terbit lagi.

Dilihat dari orang-orangnya, seperti H.B. Jassin dan D.S. Moeljanto, Sastra memang sebuah lanjutan Kisah. Oplahnya yang tertinggi pernah mencapai 15.000, sebuah angka bagus untuk waktu itu, dan untuk sebuah berkala kesusastraan. Tapi jelas, dibandingkan dengan harian, Sastra bukanlah sebuah tambang rezeki. Kantomya di Jalan Raden Saleh di Jakarta, sebuah ruangan tunggal sekitar 5 X 4 m2, di belakang sebuah perpustakaan tua yang tak terurus.

Para penulis yang mengirimkan karya mereka ke sini umumnya penulis yang tidak – atau belum tergabung dalam organisasi politik apa pun. Bahkan, di antara para penulis Sastra itu, tampak ada tendensi keengganan memasuki partai yang ada waktu itu. Dalam nomor pertama tahun kedua, Jassin menulis pengantar, “Kami tidak masuk partai kiri atau kanan, itu bukan berarti bahwa kami tidak punya pendirian, tetapi karena baik partai kiri atau kanan ada kekurangan-kekurangannya yang harus tetap kami hadapi dengan kritis.”

Menurut Jassin, dengan kalimat yang mirip proklamasi bersama, “Landasan kami adalah peri kemanusiaan, kemudi kami akal budi.” 11) Tapi di awal dasawarsa itu, mengutarakan pendapat yang semacam itu tampaknya bisa dianggap kurang bijaksana.

Tulisan Pramudya Ananta Toer yang mengecam sikap itu sebagai sikap politik “gelandangan” adalah salah satu reaksi jengkel yang tidak luar biasa. Bagaimanapun, Jassin seperti umumnya para sastrawan – bukanlah pengamat politik yang piawai. Sejak 1958, setelah serangkaian pemberontakan daerah, Indonesia dinyatakan berada di dalam keadaan perang. Angkatan bersenjata mengontrol banyak bidang kehidupan, tetapi pada saat yang sama partai-partai politik kiri sedang naik daun dengan semangat tinggi, dan dalam posisi ofensif terus – sampai hari yang menentukan di akhir Septembertahun 1965 itu.

Setiap tindakan terhadap mereka dihadapi dengan terbuka atau tak terbuka. Ketika Harian Rakjat dibreidel pada 3 Mei 1962, misalnya, CC (Komite Sentral) PKI mengirim delegasi agar pemberangusan itu dicabut. Mereka berhasil, meskipun yang terbungkam tetap ada: buku Pramudya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, dan kumpulan sajak Lekra, Matinja Seorang Petani, tetap tak boleh terbit. 12)

Di masa itu, protes PKI dan kaum prokomunis terhadap pemberangusan tampaknya tak ada hubungannya dengan kehendak untuk kemerdekaan berbicara dalam arti yang luas. Protes itu lebih merupakan percikan dari ketegangan antara pihak angkatan bersenjata dan PKI di dunia penerbitan.

Demikianlah, sementara seorang pemimpin PWI yang dekat dengan partai kiri menuntut “kemerdekaan pers” (atau dibebaskannya kekangan kepada penerbitan sayap kiri), pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa “kemerdekaan pers itu tidak boleh diberikan kepada pers yang anti Marlipol” 13.

Sikap yang mengancam siapa saja yang dituduh”anti-Manipol” itu mungkin yang ikut mendorong banyak penulis dan seniman merasa lebih aman terlindung dalam kekuatan politik yang ada. Terutama partai politik yang tergabung dalam “poros Nasakom” – front persatuan antara golongan “Nasionalis, Agama, Komunis” – yakni PNI (Partai Nasional Indonesia) dan NU (Nahdatul Ulama).

Dalam lindungan partai-partai itu, seorang dengan mudah dapat pembela, dan juga, sering, mendapat posisi. Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), misalnya, yang merupakan “onderbouw” PNI, mempunyai tokoh seperti Sitor Situmorang: penyair terkemuka, yang di tahun 1950-an menulis sajak-sajak liris yang memukau tentang cinta dan dosa, tapi di tahun 1960-an menerbitkan kumpulan puisi yang memuji-muji komune di RRC, setelah kunjungan resminya ke negeri itu.

Sitor pada saat itu boleh dibilang orang “resmi”, duduk dalam Dewan Nasional yang prestisius, dan dekat dengan para pemimpin Negara, termasuk Presiden, Pemimpin Besar Revolusi sendiri. Yang jauh dari “orang resmi” adalah para penulis di majalah Sastra. Kebanyakan mereka adalah orang muda yang berasal, atau tinggal, di daerah: di Medan, Bogor, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Ujungpandang.

Kaum “gelandangan” ini, seperti telah disinggung di atas, cenderung mengikuti semangat Jassin dalam hal tidak menunjukkan bendera partai. Sebagian mungkin menyimpan simpati mereka pada PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Partai Islam Masyumi, dua partai yang sudah dilarang itu.

Sebagian lain, yang punya kesukaan filsafat, membaca atau mengikuti ceramah Wiratmo tentang bahaya “pengkhianatan intelektual”: bahaya ketika para cendekiawan ikut membakar, dan ikut terbakar, “nafsu politik” – apalagi untuk kedudukan.

Selebihnya, sebagian besar, saya kira, menganggap keanggotaan serta kesetiaan kepada partai tak punya banyak arti bagi hidup dan kesenian mereka. Memang, dengan hidup tanpa payung politik seperti itu, mereka tak dapat memperoleh kesempatan yang relatif mudah, misalnya untuk kunjungan ke luar negeri – dan juga untuk memperoleh terjemahan karya mereka ke dalam bahasa asing.

Hal-hal itu umumnya waktu itu diatur oleh negara-negara sosialis. Konperensi penting seperti Konperensi Asia-Afrika tak ada mengundang mereka kebanyakan yang hadir adalah sastrawan Lekra. Tapi toh para penulis di sekitar Sastra, umumnya dalam usia mereka yang masih 20-an, menyukai posisi “gelandangan” itu.

Ada kemungkinan mereka menikmati citra romantik seorang penyair sebagai “binatang jalang” atau semacam itu, yang dibawakan Chairil Anwar. Apa pun dasarnya, mungkin tidak salah bila saya katakan bahwa konsep Rendra tentang “orang urakan”, yang ia kemukakan di pertengahan 1970-an, punya akar yang sama dengan yang terdapat di kalangan para sastrawan di tahun awal 1960-an itu: penyair dan intelektual sebagai orang yang tak tunduk kepada garis yang sudah umum, karena mereka adalah suara yang kreatif, yang ingin memperbarui selalu.

Namun, dalam cuaca politik yang berat oleh larangan-larangan di awal 1960-an, ketika “demokrasi terpimpin” sedang mencoba memimpin segalanya dan keadaan darurat perang mencoba mewaspadai semuanya, sikap seperti yang dibawakan para sastrawan itu bukanlah sikap yang gampang diterima.

Bagi PKI, khususnya, yang waktu itu paling dominan dalam front “Nasakom”, gagasan “emoh berpartai” adalah suatu rintangan. Argumen teoretisnya bahkan pernah dikemukakan oleh Lenin, ketika ia berbicara tentang “nonpartaisme revolusioner” (saya pemah membaca tulisan itu dalam salah satu jilid kumpulan karyanya yang sekarang tak dapat saya temukan lagi).

Bagi kaum Leninis, perjuangan lewat partai adalah penubuhan perjuangan kelas yang sedang berlangsung. Gagasan untuk bersikap “nonpartai”, menurut mereka, adalah suatu gejala yang umum terdapat dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap “nasional demokratis”, ketika pertentangan kelas belum menajam. Tapi pada saat ia menjadi suatu sikap yang disadari, menjadi suatu “isme”, ia akan mengaburkan garis antara kubu politik yang berbeda.

Serangkaian dengan itu di tahun 1905 Lenin, dengan sikap tanpa tolerasi yang tampaknya jadi cirinya, berseru, ketika berbicara tentang kesusastraan: “Rontoklah para literateur yang nonpartai!”. 14) Pada tingkat praktis, PKI melihat bahaya “nonpartaisme” dalam wujud gerakan politik dari pihak Angkatan Bersenjata. Ironis, memang, bahwa justru PKI-lah yang mengundang anggota “nonpartai” ke dalam daftar calon parlementernya dalam Pemilihan Umum 1955 – misalnya Pelukis Affandi.

Tapi rupanya perkaranya jadi lain di awal tahun 1960-an itu. Tanggal 18 September 1962, Ketua PKI D.N. Aidit menyatakan – dalam sebuah pidato di depan para perwira polisi dalam Kursus Persamaan Kom! saris Polisi di Sukabumi, bahwa “partaifobi” itu suatu “kejahatan”. 15) Apa pun yang dikatakan Aidit, pelbagai jenis “partaifobi” memang merupakan tendensi yang kuat di banyak kalangan Indonesia masa itu.

Banyak yang kecewa dengan pertikaian politik yang tak reda-redanya, terutama di sekitar pemilihan umum 1955, setelah Indonesia merdeka. Partai politik telah jadi lambang kepentingan segolongan, kemauan yang sektarian. Bahkan Presiden Soekarno sendiri, Oktober 1957, bermimpi untuk menguburkan semua partai yang ada, untuk persatuan. 16)

Pihak Angkatan Bersenjata, yang cenderung tak percaya kepada partai politik semenjak perang gerilya di tahun 1940-an, dengan sendirinya mencoba memperoleh kesempatan untuk melaksanakan niat Presiden waktu itu – atau setidaknya mengurangi kekuasaan politisi sipil. Dan Angkatan Bersenjatalah yang waktu itu merupakan pelaksana pemerintahan dalam keadaan perang.

Mungkin ke arah sinilah Aidit mengarahkan telunjuknya tentang “partaifobi”. Di kalangan “Manikebu”, satu varian “partaifobi” itu juga tampak, terutama dalam penggunaan kata “karyawan” di pelbagai tulisan mereka. Misalnya, dalam “sejarah” lahirnya Manifes Kebudayaan yang saya tulis, saya sebutkan, antara lain, bahwa berakhirnya “liberalisme” politik yang meruyak pra-1959, telah memberi ruang yang lebih besar bagi para “karyawan kebudayaan”.

Indonesia, demikian menurut tulisan itu, tak lagi mempunyai free fight competition di antara partai-partai politik, maka orang dapat ambil bagian untuk mencapai cita-cita nasional secara bersama, “di mana para karyawan tidak merupakan subordinasi kaum politik dan sebaliknya”.

Jika direnungkan kembali sekarang, pernyataan seperti itu terdengar simplistis, tapi itulah pemikiran yang terbit dari suasana waktu itu. Juga dari kegaduhan politik awal tahun 1960-an itulah Manifes Kebudayaan disusun.

Sumber: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1988/05/21/REF/mbm.19880521.REF27251.id.html
Sumber terkait: http://goenawanmohamad.com/puisi/lagu-pekerja-malam.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita